• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME (Studi di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME (Studi di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

(Studi di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung) (Skripsi)

Oleh

INTAN SYAPRIYANI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

(Studi di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung) Oleh

Intan Syapriyani, Tri Andrisman, Diah Gustiniati Maulani Email : Email: Intan_Syapriyani@yahoo.com

ABSTRAK

Selama ini, dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme digunakan metode follow the suspect yang dianggap belum mampu menghentikan aksi-aksi terorisme. Maka harus digunakan strategi baru oleh pemerintah dalam menanggulangi tindak kejahatan ini. Upaya atau strategi lain digunakan dengan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana(follow the money) yang bertujuan memutus mata rantai pendanaan terorisme yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap Tindak pidana pendanaan terorisme, dan Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana pendanaan terorisme. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian yakni Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana pendanaan terorime dilakukan melalui upaya pre-emtif melalui pencerahan keagamaan. Upaya preventif melalui peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api maupun bahan peledak. Upaya represif melalui pembentukan badan penanggulangan tindak pidana pendanaan terorisme. Adapun faktor penghambat yaitu faktor penegak hukum meliputi penegakan hukum yang kurang professional, faktor hukum yaitu belum sempurnanya perangkat hukum, faktor sarana dan prasarana meliputi teknologi dan informasi, faktor masyarakat termasuk di dalamnya masih rendahnya tingkat kesadaran hukum, dan faktor kebudayaan yang meliputi perkembangan teknologi dan informasi yang mengubah gaya hidup masyarakat.

(3)

EFFORTS TO COMBAT AGAINST ACTS OF CRIMINAL TERRORISM FUNDING (Studies in the region Police Region of Lampung)

By

Intan Syapriyani, Tri Andrisman, Diah Gustiniati Maulani Email : Intan_Syapriyani@yahoo.com

ABSTRACT

During this time, in an effort to combat the crime of terrorism is used follow the methods that are considered suspect hasn't been able to stop the actions of terrorism. Then a new strategy must be used by the Government in tackling these crimes. Attempts or other strategies to use with the system and the search mechanism of the flow of funds (follow the money) that aims to break the chain of funding terrorism in accordance with the provisions of law No. 9 years 2013 on the prevention and eradication of crime funding terrorism. The problems discussed in this thesis, by posing the problem, namely: How can the efforts of countermeasures against the funding of terrorism a criminal offence, and whether factors that hampered law enforcement officers in tackling the funding of terrorism a criminal offence. Approach the problem in this research is to use the juridical normative and empirical legal studies, using the The literature study and field research to answer the legal issues. Based on the research and discussion was done by witer which countermeasures against crime funding terrorism indicated that the attempt was with preemptive through religious enlightenment. The second is preventive efforts through increased security and surveillance against firearms as well as explosives. The repressive efforts through the establishment of agency crime prevention funding terrorism. Therefore, there is also an inhibitor of factor, that is factor law enforcement includes the quantity factor law enforcement, including a less professional law enforcement, including the legal factors has yet to perfect the legal system, and infrastructure factors include technology and information, community factors, including still low levels of awareness of the law, and the cultural factors that include the development of technology and information that changed the lifestyle of the community.

(4)

I. PENDAHULUAN

Pendanaan merupakan salah satu unsur utama dalam pelaksanaan kegiatan terorisme. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme mengatur mengenai upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana (follow the money). Pelaksanaan pemblokiran aliran dana terorisme dan penempatan dalam daftar terduga teroris , dan organisasi teroris yang diatur dalam undang-undang tersebut rentan terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara hukum wajib memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin melalui undang-undang.1

Terorisme merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan sebuah negara. Tindakan terorisme sangat bertentangan dengan ideologi dan tujuan Indonesia. Apabila terorisme semakin marak, maka upaya memberantas terorisme juga harus ditingkatkan. Memerangi terorisme dengan senjata tidak cukup. Salah satu yang menjadi sasaran pencegahan terorisme adalah melemahkan pendanaan terorisme (financing terrorism).

Selama ini memang sudah terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

1

Heri Tahir, Proses hukum yang adil dalam Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2010, hlm. 87

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, dan

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Undang-Undang No 15 Tahun 2003 (Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) hanya ada dua Pasal yang secara tegas mengatur pendanaan terorisme yaitu tindak pidana bagi orang yang sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme (Pasal 11) dan untuk mendapatkan bahan kimia dan pemusnah serta tindak pidana lain (Pasal 12). Ketentuan kedua Pasal tersebut dianggap kurang memadai karena menjerat hanya pendanaan terhadap tindakan terorisme (terrorist act) saja belum menjangkau pada finansial untuk operasional teroris individu atau organisasi terorisme. Salah satu tindak pidana pendanaan terorisme adalah yang dilakukan oleh Edi Santoso yang direkrut oleh pimpinan MIB Abu Rohan, peran Edi Santoso di jaringan teroris MIB ini, sebagai pengumpul dana untuk kegiatan atau mendanai teroris MIB dengan cara merampok Bank. Tersangka Edi Santoso pernah merampok Bank BRI di Pringsewu pada tahun 2013 silam, dalam aksi perampokan tersebut di pimpin langsung oleh Abu Rohan. Uang dari hasil rampokan senilai Rp 460 juta, dipakai untuk kegiatan terorisme kelompok MIB.2

2

(5)

Dapat dilihat urgensi untuk segera dibentuknya peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengatur tentang pemberantasan pendanaan terorisme. Hukum nasional yang selama ini digunakan, yakni undang-undang tentang pemberantasan terorisme dinilai belum secara komprehensif mengatur tentang pemberantasan pendanaan terorisme dan masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya :

1. Belum ada pengaturan tentang bentuk pelanggaran bagi setiap orang yang ”menyediakan dana” untuk seseorang atau badan hukum yang terdapat dalam daftar teroris menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB.

2. Belum ada pengaturan pemidanaan untuk setiap orang yang merencanakan dan atau menggerakkan orang lain untuk melakukan aksi terorisme, atau berkontribusi dalam pelaksanaan anti terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan untuk membantu kelancaran aksi terorisme.

3. Pemberantasan terorisme membatasi unsur pengetahuan dengan unsur ”dengan sengaja” saja namun tidak mencantumkan unsur”alasan yang kuat untuk meyakini atau unsur-unsur lain” yang akan mendukung pembuktian berdasarkan kejadian yang faktual dan objektif.

4. Belum ada pengaturan untuk pengumpulan dan penyediaan harta kekayaan baik secara langsung dan tidak langsung. 5. Belum ada pengaturan untuk

pendanaan atas teroris perorangan dan penyediaan harta kekayaan untuk organisasi teroris.

6. Penjatuhan hukuman harus efektif, proporsional dan preventif,

termasuk hukuman denda bagi subjek hukum perorangan dan hukuman administratif yang efektif bagi korporasi.

7. Masih mensyaratkan bahwa tindak pidana pendanaan terorisme harus dikaitkan dengan adanya aksi terorisme tertentu.

8. Dalam KUHP tidak dikenal tanggung jawab pidana untuk subjek hukum jamak, baik berupa sekelompok orang, korporasi maupun non korporasi, sedangkan dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur tentang tanggung jawab korporasi. Hal ini harus harus dipastikan untuk mencegah ketimpangan terkait dengan

ketentaun mengenai

tanggungjawab pidana korporasi dapat diatasi.

9. Belum ada pengaturan secara tegas agar pihak yang berwenang dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah pendekatan dimana seluruh dakwaan tentang tindak pidana pembiayaan terorisme ini harus berupa dakwaan kumulatif yang memerlukan satu putusan khusus untuk tindak pidana pendanaan terorisme.

10. Indonesia belum memiliki hukum atau prosedur yang efektif untuk membekukan aset-aset teroris lainnya dari pihak-pihak yang membiayai terorisme dan organisasi-organisasi teroris. 3

3

(6)

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah upaya penanggula-ngan terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ?

b. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat penegak hukum dalam penanggulangan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ?

Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan. Sedangkan Pendekatan Yuridis Empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dan kenyataan yang ada di lapangan, baik berupa pendapat, sikap, dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas penegakan hukum di Indonesia, data yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Mengumpulkan data dengan kajian terhadap literatur dan melakukan wawancara kepada narasumber.

II. PEMBAHASAN

A. Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Salah satu faktor utama yang melatar belakangi terjadinya aksi terorisme adalah adanya penyedia dana. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013 menyebutkan bahwa Pendanaan Terorisme adalah segala Perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau

meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, oraganisasi teroris, atau teroris.4

Berdasarkan hasil wawancara dengan Anjik Hermanto selaku Anggota Unit Jatanras di Polresta Bandar Lampung menyebutkan bahwa Salah satu bentuk upaya dalam meminimalisir Penanggulangan terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme adalah dengan mengantisipasi kepada masyarakat supaya tidak terpengaruh ataupun terprovokasi untuk melakukan tindakan kriminal khususnya yang mengatas namakan Jihad, baik itu melalui sosialisasi ataupun penyuluhan.5

Masyarakat Indonesia mengakui eksistensi multi agama dan multi etnik dan hidup berdampingan secara damai. Strategi penanggulangan pendanaan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah di implementasikan melalui upaya preemtif, prefentif dan represif. a. Upaya Pre-emtif

Upaya preemtif dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut: 1. Pencerahan ajaran agama oleh

tokoh-tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk mengeliminir ekstrimisme dan radikalisasi pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis garis keras.

4

Undang-Undang No 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

5

(7)

2. Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai berikut: a. Merespon tuntutan politik dengan

kebijakan politik yang dapat mengakomodir aspirasi kelompok sosial.

b. Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang potensial mengarah kepada tindakan teror dalam penyelesaian konflik secara damai melalui dialog, negoisasi, dan sebagainya.

3. Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan ideologi dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal.

4. Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.

b. Upaya Preventif

Langkah preventif yang diambil oleh

pemerintah dalam rangka

penanggulangan terhadap tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu:

1. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api. 2. Peningkatan kesiapsiagaan terhadap

teroris.

3. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom.

4. Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar masuk. 5. Pengawasan kegiatan masyarakat

yang mengarah kepada aksi teror . c. Upaya Represif

Langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan badan Penanggula-ngan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta pembentukan satuan khusus sebagai langkah pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.

2. Penyerbuan terhadap tempat persembunyian terorisme.

3. Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku tindak pidana pendanaan terorisme yang telah terbukti bersalah berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Eddy Rifai selaku dosen fakultas hukum unila, bahwa upaya penanggulangan terhadap tindak pidana pendanaan terorisme ini dapat dilakukan melalui penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam bidang penegakan hukum. Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, perlu dilihat dari Sumber daya penegak hukumnya, apakah mempunyai kemampuan dalam menanggulangi tindak pidana pendanaan terorisme serta mempunyai profesionalitas, karena dalam menjalankan tugas tersebut dilakukan dengan mengutamakan keadilan dan profesionalisme.6

Penulis mengutip mengenai Upaya pencegahan tindak pidana pendanaan terorisme yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013, Upaya pencegahan tersebut dilakukan melalui :

6

(8)

a. Penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa Keuangan;

b. Pelaporan dan pengawasan kepatuhan PJK;

c. Pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau pengiriman uang melalui sistem lainnya; dan

d. Pengawasan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia.7

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas maka Pendanaan terorisme ini harus diberantas dan menggunakan prinsip extraordinary

tapi juga harus rasional dan memberi perlindungan kepada HAM. Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan dengan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang. Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme di Indonesia bukan semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannya pun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara.

7

Undang-Undang No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

B. Faktor Penghambat Penegak Hukum dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor- faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor Penegak hukum 3. Faktor sarana dan fasilitas 4. Faktor masyarakat

5. Faktor kebudayaan8

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Ketut Seregig selaku Kepala Bagian Bina Operasional Polda Lampung bahwa Faktor-faktor Penghambat Penegak Hukum dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yaitu meliputi faktor penegak hukum, faktor hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.9

Penulis juga mengutip kajian mengenai faktor-faktor penghambat penegak dalam menanggulangi tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu sebagai berikut :

a. Faktor Penegak Hukum

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum , mungkin berasal

8

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 7

9

(9)

dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut adalah:

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;

2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi;

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;

4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel;

5. Kurangnya daya inovatis yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

b. Faktor Hukum

Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan karena :

1. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;

2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang;

Berdasarkan hasil wawancara dengan Anjik Hermanto di Polresta Bandar Lampung, bahwa penerapan Undang-Undang masih mempunyai kelemahan yaitu untuk melakukan penyidikan tindak pidana pendanaan terorisme bukan hanya instansi polri saja, namun penyidikan dapat juga dilakukan oleh Kejaksaan misalnya, hal ini malah mempersulit dalam melakukan penyidikan apabila satu kasus yang ditangani dilakukan penyidik kepolisian terlebih dahulu dan ternyata Kejaksaan juga melakukan penyidikan

tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu terhadap kasus yang sama.10 c. Faktor Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana hukum mutlak diperlukan untuk memperlancar dan terciptanya kepastian hukum. Sarana dan prasarana hukum yang memadai dimaksudkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan globalisasi, yang telah mempengaruhi tingkat kecanggihan kriminalitas, seperti kejahatan pembobolan bank, dengan menggunakan teknologi computer, kejahatan pemalsuan uang dengan menggunakan peralatan canggih, dan lain-lain, maka fasilitas komputer atau laptop tentu sangat dibutuhkan, maka kemampuan untuk menelusuri transaksi dan akun-akun akan dapat teratasi

d. Faktor Masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dapat menjadi hambatan bagi proses penegakan hukum. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya rasa

enggan masyarakat untuk

menyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses penegakan hukum. Memang diakui bahwa hal tersebut di atas tidak semata-mata menggambarkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat, karena masih ada faktor lain, seperti belum adanya jaminan perlindungan terhadap saksi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Anjik Hermanto, bahwa sebagian anggota masyarakat masih kurang menyadari akan kewaiiban atau tanggung jawabnya didalam penegak hukum. Keadaan seperti ini

10

(10)

menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan apabila mengetahui terjadinya suatu tindak pidana, termasuk mereka yang menjadi korban kejahatan, demikian juga menjadikan mereka acuh tak acuh untuk memberi dukungan kepada alat negara didalam penyidikan atau penyelesaian suatu perkara.11

e. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah spiritual atau non materiel.Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan).

Berdasarkan Hasil wawancara dengan I Ketut Seregig selaku kepala bagian bina operasional Polda Lampung mengatakan bahwa faktor kebudayan berkaitan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang mengubah gaya hidup masyarakat. Maraknya aksi pendanaan terorisme sangat dipengaruhi perkembangan teknologi informasi, terutama

kemunculan internet yang

menghilangkan batas-batas Negara. Dengan internet, dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya, kejahatan-kejahatan terorganisasi

(organized crime) oleh organisasi-organisasi kejahatan (criminal organizations) menjadi mudah dilakukan dan bersifat transnasional.12

11

Wawancara dengan Anjik Hermanto selaku Anggota Unit Jatanras Polresta Bandar Lampung, Tanggal 21 November 2016.

12

Wawancara dengan I Ketut Seregig selaku Kepala Bagian Bina Operasional Polda Lampung, Tanggal 22 November 2016.

Berdasarkan penjelasan di atas maka Penulis menganalisis bahwa hukum yang belum optimal dalam menanggulangi berbagai permasalahan meningkatkan rasa frustasi masyarakat ditengah kemiskinan yang semakin memperberat kehidupan masyarakat yang kurang beruntung. Kondisi ini diperburuk dengan melemahnya tingkat keyakinan sebagian masyarakat terhadap ideologi Pancasila sebagai akibat pengaruh globalisasi. Ketidakadilan dan kemiskinan semakin menjauhkan masyarakat yang termarginalkan dari ideologi Pancasila. Kelompok- kelompok masyarakat yang merasakan terpinggirkan ini tentu saja sangat rentan dan mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan jaringan teroris untuk melakukan tindakan yang mengarah pada aksi-aksi terorisme.

III. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diambil kesimpulan sebagai berikut :

(11)

peningkatan kesiapsiagaan terhadap teroris, pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom, pengetatan pengawasan perbatasan serta pengawasan kegiatan masyarakat, dan Upaya represif yang meliputi pembentukan badan penanggulangan tindak pidana pendanaan terorisme, penyerbuan terhadap tempat persembunyian teroris dan penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku tindak pidana pendanaan terorisme yang terbukti bersalah berdasarkan bukti-bukti yang ada.

2. Faktor penghambat Penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana pendanaan terorisme terdiri dari faktor penegak hukum yaitu penegakan hukum yang kurang profesional, tingkat aspirasi yang relative belum tinggi, kurangnya daya inovatis, serta langkah dalam strategi kontra terorisme yang belum optimal. Faktor hukum meliputi tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-Undang serta belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-Undang. Faktor sarana dan prasarana yaitu kecanggihan tekhnologi yang masih cukup minim untuk bisa diatasi oleh aparat penegak hukum. Faktor masyarakat berupa masih rendahnya tingkat kesadaran hukum, dan faktor kebudayaan yaitu kemunculan internet yang menghilangkan batas-batas negara sehingga kejahatan terorganisir menjadi mudah dilakukan dan bersifat transnasional.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perlu adanya peningkatan penguatan di sektor keuangan baik yang formal maupun informal menjadi hal penting yang harus dilakukan oleh regulator Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) dan PPATK.

2. Perlu adanya Pola koordinasi antar lembaga yang berperan dalam penanggulangan tindak pidana pendanaan terorisme dengan Aparat Penegak Hukum yang harus ditingkatkan agar lebih efektif dan berefek jera.

DAFTAR PUSTAKA A. Literatur

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali.

Tahir, Heri. 2010. Proses hukum yang adil dalam Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

B. Perundang-Undangan

Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Penjelasan Umum Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teorisme

D. Internet

Referensi

Dokumen terkait

Suatu benda mempunyai massa 500 gram dan percepatan gravitasi yang mempengaruhi benda tersebut 10 m/s 2 .Maka berat benda tersebut adalah….... Jika sebuah bus direm secara

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen kebijakan fiskal yang bertujuan untuk laju investasi, meningkatkan kesempatan kerja, memelihara kestabilan ekonomi dan

Pernyataan kepada dunia luar juga untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sejak saat itu sudah merdeka dan berdaulat, sehingga wajib dihormati oleh negara-negara

Menimbang bahwa merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 34 Ayat 2 yang berbunyi, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala

5 utama atau tokoh tambahan dalam cerita atau karya fiksi, dapat dilakukan dengan. berbagai cara dan pertimbangan,

The king of the Silver River stood at the edge of the Gardens that had been his domain since the dawn of the age of faerie and looked out over the world of mortal men.. What he saw

Pertumbuhan pada tanaman hanya dapat terjadi pada tempat-tempat tertentu saja,yaitu pada jaringan meristem yang terdapat diujung akar,ujung batang,bakal tunas,dan pada

“So,” Richard said as he gestured to the book on the table that Zedd and Berdine had looked at before, “when we do have a book like that one, we mark it unknown, or