II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.6Sub Sektor Perkebunan Kabupaten Simalungun
Sub sektor perkebunan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap
perekonomian Kabupaten Simalungun yaitu perkebunan besar/negara dan
perkebunan rakyat. Hasil perkebunan rakyat di Kabupaten Simalungun terdiri dari
karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren,
pinang, vanili dan tembakau (BPS, Sumatera Utara 2012).
Table 2. Produksi Perkebunan di Kabupaten Simalungun (Ton)
No Komoditi Tahun Rata-Sumber : BPS, Sumatera Utara (diolah).
Tabel 2. Menunjukkan produksi komoditas perkebunan di Kabupaten
Simalungun bervariasi. Produksi paling tinggi yaitu komoditi kelapa sawit dengan
rata-rata 506.218 ton per tahun. Sedangkan produksi komoditi yang paling rendah
2.2 Penelitian Terdahulu
Ropingi dan Agustono (2007) dalam penelitiannya mengenai
“Pembangunan Wilayah Kecamatan Berbasis Komoditi Pertanian di Kabupaten
Boyolali (Pendekatan Shift-Share Analisis)”, berdasarkan analisis LQ komoditi
sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi di Kabupaten Boyolali tahun 2005
di tiap-tiap kecamatan beragam jenis komoditinya. Kecamatan yang paling
banyak jumlah komoditi sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi adalah
Kecamatan Mojosongo (25 jenis komoditi) sedangkan yang paling sedikit adalah
Kecamatan Ampel (8 jenis komoditi).
Berdasarkan analisis Shift Share tahun 2004-2005 diketahui bahwa
komoditi pertanian yang tumbuh cepat diantaranya komoditi bahan pangan
penyedia karbohidrat adalah jagung, bahan pangan penyedia protein adalah
kacang tanah, kedelai, komoditi peternakan adalah sapi potong, kambing, domba;
komoditi sayur-sayuran adalah wortel, sawi, cabe, bawang merah, mentimun;
komoditi buah-buahan adalah durian, pisang, jambu air, jeruk nesar, jeruk siam,
dan komoditi perkebunan adalah jahe, kencur, teh, kopi arabika. Komoditi
pertanian basis yang tergolong berdaya saing baik diantaranya komoditi bahan
pangan adalah padi, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, ubi jalar; komoditi
hortikultura adalah bawang merah, bawang daun, sawi, tomat, kubis, durian,
pepaya, mangga, pisang; komoditi perkebunan adalah asem, kelapa, teh, kencur;
komoditi peternakan adalah sapi perah, sapi potong, domba, kambing, ayam
buras.
Jenis komoditi pertanian basis dan wilayah pengembangannya di
komoditi padi di Kecamatan Teras, Sawit, Banyudono, Nogosari, dan Andong;
Sapi potong di Kecamatan Ampel, Klego, Andong dan Juwangi; komoditi pepaya
di Kecamatan Mojosongo, kopi robusta di Kecamatan Ampel, komoditi
sayur-sayuran (wortel, kubis, bawang merah, bawang daun) di Kecamatan Selo;
komoditi kencur di Kecamatan Simo, Klego dan Nogosari; komoditi kacang tanah
di Kecamatam Sambi, Nogosari, Andong dan Juwangi.
Prihkhananto (2006) dalam penelitiannya mengenai “Penentuan Wilayah
Basis Komoditi Pertanian Unggulan dalam Menghadapi Otonomi Daerah di
Kabupaten Temanggung” menggunakan analisis Location Quotient (LQ) dan shift
share dalam penentuan komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Temanggung.
Berdasarkan analisis LQ, komoditi pertanian yang menjadi komoditi pertanian
basis adalah jagung, bawang putih, lombok, kelengkeng, kopi arabika, kopi
robusta, jahe, kunyit, tembakau, aren, domba, dan ayam buras. Untuk mengetahui
kemampuan bersaing suatu komoditi perlu diketahui komponen Pertumbuhan
Pangsa Wilayah (PPW). Berdasarkan analisis shift share, komoditi pertanian yang
mampu bersaing dengan komoditi dari daerah lain adalah padi, kacang panjang,
kubis, lombok, kelengkeng, pisang, kopi arabika, cengkeh, aren, dan sapi potong.
Berdasarkan analisis gabungan LQ dan shift share diketahui bahwa komoditi
lombok, kelengkeng, kopi arabika, dan aren merupakan komoditi pertanian
unggulan untuk Kabupaten Temanggung karena komoditi tersebut mampu
memenuhi kebutuhan kabupaten dan mengekspor ke daerah lain serta mempunyai
kemampuan bersaing dengan komoditi pertanian lain.
Rachmat Hendayana (2003) meneliti tentang “Aplikasi metode Location
penelitian membahas penerapan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas
pertanian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersifat time series tahun 1997–2001. Data yang dimaksud meliputi data areal
panen tanaman pangan, holtikultura (sayuran dan buah–buahan), perkebunan dan
populasi ternak. Dari hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai salah satu
teknik untuk mengidentifikasi komoditas pertanian.
Dalam hal ini komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 dianggap memiliki
keunggulan komparatif karena basis. Komoditas pertanian yang tergolong basis
dan memiliki sebaran wilayah paling luas menjadi salah satu indikator komoditas
unggulan dan mengingat perhitungan LQ baru didasarkan aspek luas areal panen
maka keuggulan yang diperoleh baru mencerminkan keunggulan dari sisi
penawaran, belum dari sisi permintaan.
Hasil dari penelitian Wibowo (2008), yang berjudul Analisis Ekonomi
Basis dan Komponen Pertumbuhan Sektor Pertanian di Kabupaten Pekalongan
menunjukkan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Pekalongan merupakan sektor
basis. Selain sektor pertanian terdapat lima sektor lain yang merupakan sektor
basis di Kabupaten Pekalongan, yaitu sektor jasa-jasa; sektor listrik, gas dan air
minum; sektor bank dan lembaga keuangan; sektor konstruksi/bangunan; dan
sektor pertambangan dan penggalian. Sub sektor pertanian yang menjadi sektor
basis di Kabupaten Pekalongan adalah sub sektor peternakan dan sub sektor
tanaman perkebunan.
Beberapa penelitian tersebut digunakan sebagai referensi dalam penelitian
yang dilakukan, karena topik yang dikaji sama yaitu peranan sektor pertanian
pada penelitian tersebut sebagian sama dengan metode analisis yang digunakan
pada penelitian yang dilakukan, yaitu Analisis Location Quotient (LQ) dan
Analisis Shift Share.
Penelitian Ropingi dan Listiarini (2003) mengenai “Penentuan Sektor
Unggulan di Kabupaten Pati Berdasar Analisis LQ dan Shift Share”,
menggunakan analisis gabungan LQ dan Shift Share untuk menentukan
sektor-sektor yang benar-benar merupakan sektor-sektor unggulan di Kabupaten Pati yang dapat
dikembangkan lebih lanjut. Sektor-sektor tersebut dinilai dari sisi basis atau
nonbasis, keunggulan komparatif, dan laju pertumbuhannya.
Hasil dari gabungan kedua analisis tersebut memberikan usulan alternatif
program pengembangan regional Kabupaten Pati sebagai berikut:
1. Pengembangan sektor prioritas pertama adalah sektor listrik, gas, dan air
bersih.
2. Pengembangan sektor prioritas kedua, tidak ada sektor yang memenuhi.
3. Pengembangan sektor prioritas ketiga meliputi sektor industri dan jasa.
4. Pengembangan sektor prioritas keempat meliputi sektor pertambangan dan
penggalian, bangunan, perdagangan, dan sektor pengangkutan dan
komunikasi.
5. Pengembangan sektor prioritas pertama adalah sektor listrik, gas, dan air
bersih.
6. Pengembangan sektor prioritas kelima, tidak ada sektor yang memenuhi.
7. Pengembangan sektor prioritas alternatif meliputi sektor pertanian dan
2.3Landasan Teori
2.3.1 Pembangunan Ekonomi Regional
Menurut Suryana (2000), keberhasilan suatu usaha pembangunan
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari pengalaman pembangunan negara-negara
yang sekarang sudah maju, keberhasilan pembangunan pada dasarnya dipengaruhi
oleh dua unsur pokok yaitu unsure ekonomi (sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, pembentukan modal dan teknologi) dan unsur non ekonomik (politik,
sosial, budaya dan kebiasaan).
Pada umumnya pembangunan itu ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan merata, sehingga dapat
meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan
dengan kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan yang relatif kecil. Akan tetapi
kenyataannya berbicara lain dimana pemerataan dan kesenjangan tersebut
berbeda-beda (Ropingi, 2002).
Tiga tujuan pembangunan yang secara universal diterima sebagai prioritas
dan mutlak untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia di
negara-negara sedang berkembang khususnya yaitu ketahanan pangan (food security),
penghapusan kemiskinan/peningkatan kualitas hidup manusia (poverty
eradication/people livelihood improvement), dan pembangunan desa
berkelanjutan (sustainable rural development). Ketiga prioritas tujuan
pembangunan tersebut saling berkaitan. Ketahanan pangan saling pengaruh
mempengaruhi dengan kemiskinan maupun dengan pembangunan desa
Ilmu ekonomi regional atau ilmu ekonomi wilayah adalah suatu cabang
dari ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan
potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Ilmu ekonomi regional tidak membahas
kegiatan individual melainkan menganalisis suatu wilayah (bagian wilayah)
secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang
beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat
pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah (Tarigan, 2003).
Perekonomian regional menggeser fokus analisis dari pilihan lokasi dalam
teori lokasi keproses yang terlibat dalam pengembangan ekonomi daerah
subnasional. Berusaha untuk menjelaskan, mengingat distribusi kuantitatif dan
kualitatif tertentu dalam ruang sumber daya dan kapasitas kegiatan sistem lokal
suatu daerah, kota, provinsi, atau wilayah geografis dengan fitur ekonomi khusus
untuk mengembangkan kegiatan ekonomi atau untuk menarik yang baru dari luar
dan untuk menghasilkan kesejahteraan, kekayaan dan pertumbuhan (Capello,
2006).
Menurut Adisasmita (2008), pembangunan wilayah (regional) merupakan
fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia,
investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,
komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah,
kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan
(kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas.
Perhatian terhadap pertumbuhna ekonomi daerah semakin meningkat
dalam era otonomi daerah. Hal ini cukup logis, karena dalam era otonomi daerah
daerahnya, guna meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Oleh karena itu,
pembahasan tentang struktur dan faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat
penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Sjafrizal,
2008).
2.3.2 Teori Ekonomi Basis
Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke
luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negara itu maupun ke luar negeri, tenaga
kerja yang berdomisili di wilayah, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari
wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor
adalah semua kegitan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang
mendapatkan uang dari luar wilayah karena kegiatan basis. Lapangan kerja dan
pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous
(tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan) (Tarigan, 2003).
Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk kedalam
kegiatan/sektor service atau pelayanan, untuk tidak menciptakan pengertian yang
keliru tentang arti service disebut saja sektor nonbasis, Sektor nonbasis (service)
adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, permintaan sektor ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat.
Teori ekonomi basis menyatakan bahwa faktor penentu utama
pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan
permintaan barang dan jasa dari suatu daerah. Proses produksi di sektor industri
suatu daerah yang menggunakan sumber daya produksi lokal, termasuk tenaga
ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita, dan penciptaan peluang kerja di
daerah tersebut (Tambunan, 2001).
Inti dari model basis ekonomi (economic base model) adalah bahwa arah
dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor
tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja, akan tetapi juga
berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap
barang-barang tidak bergerak (immobile), seperti yang berhubungan dengan aspek
geografi, iklim, peninggalan sejarah, atau daerah pariwisata. Sektor industri yang
bersifat seperti ini disebut sektor basis. Untuk mengetahui apakah suatu sektor
merupakan sektor basis atau nonbasis dapat digunakan beberapa metode, yaitu (1)
metode pengukuran langsung dan (2) metode pengukuran tidak langsung. Metode
pengukuran langsung dapat dengan survei langsung untuk mengidentifikasi sektor
mana yang merupakan sektor basis. Metode ini dapat menentukan sektor basis
dengan tepat. Akan tetapi metode ini dapat memerlukan biaya, waktu dan tenaga
kerja yang banyak. Mengingat hal tersebut di atas, maka sebagian besar pakar
ekonomi wilayah menggunakan metode pengukuran tidak langsung. Beberapa
metode pengukuran tidak langsung yaitu: (1) metode melalui pendekatan asumsi
(2) metode Location Quotient; (3) metode kombinasi (1) dan (2); dan (4) metode
kebutuhan minimum (Budiharsono,2005).
Lebih lanjut Budiharsono (2005), mengatakan bahwa metode pendekatan
asumsi yaitu bahwa semua sektor industri primer dan manufaktur adalah sektor
basis, sedangkan sektor jasa adalah sektor nonbasis. Metode Location Quotient
(LQ) merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja)
dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional
terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional. Metode kombinasi merupakan antara
pendekatan asumsi dengan metode Location Quotient. Metode kebutuhan
minimum melibatkan penyeleksian sejumlah wilayah yang sama dengan wilayah
yang diteliti dengan menggunakan distribusi minimum dari tenaga kerja regional
dan bukan distribusi rata-rata. Setiap wilayah pertama-tama dihitung persentase
angkatan kerja yang dipekerjakan dalam setiap industri kemudian persentase itu
dibandingkan dengan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kelainan, dan
persentase terkecil dipergunakan sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi
industri tertentu. Persentase minimum ini digunakan sebagai batas dan semua
tenaga kerja di wilayah lain yang lebih tinggi dari persentase ini dianggap sebagai
tenaga kerja basis.
Apabila LQ suatu sektor (industri) ≥ 1 maka sektor (industri) tersebut
merupakan sektor basis. Sedangkan bila nilai LQ suatu sektor (industri) < 1 maka
sektor (industri tersebut) merupakan sektor nonbasis. Asumsi model LQ ini adalah
penduduk di wilayah yang bersangkutan mempunyai pola permintaan wilayah
yang sama dengan pola permintaan nasional. Asumsi lainnya adalah bahwa
permintaan wilayah akan sesuatu barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh
produksi wilayah, kekurangannya diimpor dari wilayah lain (Budiharsono, 2005).
Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian,
mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur
konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam
(industri). Dasar pembahasannya sering difokuskan pada aspek tenaga kerja dan
pendapatan.
Dalam prakteknya penggunaan pendekatan LQ meluas tidak terbatas pada
bahasan ekonomi saja akan tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan sebaran
komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya.
Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ relavan
digunakan sebagai metoda dalam menentukan komoditas unggulan khususnya
dari sisi penawaran (produksi dan populasi). Untuk komoditas yang berbasis lahan
seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, perhitungan didasarkan
pada lahan pertanian (areal tanam atau areal panen), produksi atau produktivitas.
Sedangkan untuk komoditas pertanian yang tidak berbasis lahan seperti usaha
ternak, dasar perhitungannya digunakan dalam populasi (ekor) (Hendayana,
2003).
2.3.3 Analisis Shift – Share
Analisis shift-share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan
berbagai sektor (industri) di daerah kita dengan wilayah nasional. Akan tetapi,
metode ini lebih tajam dibandingkan dengan metode LQ, Metode LQ tidak
memberikan penjelasan atas faktor penyebab perubahan sedangkan metode
shift-share memperinci penyebab perubahan atas beberapa variable. Analisis ini
menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan
perubahan struktur industri suatu daerah dalam pertumbuhannya dari satu kurun
waktu ke kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab
pertumbuhan berbagai sektor di suatu daerah tetapi dalam kaitannya dengan
industrial mix analysis, karena komposisi industri yang ada sangat mempengaruhi
laju pertumbuhan wilayah tersebut. Artinya, apakah industri yang berlokasi di
wilayah tersebut termasuk ke dalam kelompok industri yang secara nasional
memang berkembang pesat dan bahwa industri tersebut cocok berlokasi di
wilayah itu atau tidak (Tarigan, 2003).
Menurut Firdaus (2007), analisis shift share adalah salah satu teknik yang
digunakan untuk menganalisis data statistik regional, baik berupa pendapatan per
kapita, output, tenaga kerja maupun data lainnya. Metode ini juga dapat
digunakan untuk mengamati struktur perekonomian daerah dan perubahannya
secara deskriptif, dengan cara menekankan bagian-bagian dari pertumbuhan
sektor atau industri di daerah, dan memproyeksikan kegiatan ekonomi di daerah
tersebut dengan data yang terbatas.
Analisis shift share diartikan sebagai salah satu teknik kuantitatif yang
biasa digunakan untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah relatif
terhadap struktur ekonomi wilayah administratif yang lebih tinggi sebagai
pembanding atau referensi. Untuk tujuan tersebut, analisis ini menggunakan tiga
informasi dasar yang berhubungan satu sama lain yaitu: Pertama, pertumbuhan
ekonomi referensi propinsi atau nasional (nasional growth effect) yang
menunjukkan bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional terhadap
perekonomian daerah. Kedua, pergeseran proporsional (proporsional shift), yang
menunjukkan perubahan relatif kinerja suatu sektor di daerah tertentu terhadap
sektor yang sama di referensi propinsi atau nasional. Ketiga, pergeseran
deferensial (diferential shift) yang memberikan informasi dalam menentukan
dijadikan referensi. Jika pergeseran suatu industri adalah positif, maka industri
tersebut relatif lebih tinggi daya saingnya dibandingkan industri yang sama pada
perekonomian yang dijadikan referensi. Pergeseran deferensial ini disebut juga
pengaruh keunggulan kompetitif (Widodo, 2006).
2.3.4 Daya saing
Sebagian pakar mengemukakan bahwa konsep daya saing (ompetitivness)
berpijak dari konsep keunggulan komparatif dari Ricardo yang merupakan
konsep ekonomi. Namun, sebagian pakar lain mengemukakan bahwa konsep
daya saing atau keunggulan komparatif bukan merupakan konsep ekonomi,
melainkan konsep politik atau konsep bisnis yang digunakan sebagai dasar bagi
banyak anlisis strategis untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Sudaryanto et al, (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran
daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai
apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara
ekonomi. Keunggulan kompetitif (revealed competitive adventage/RCA)
merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian
aktual. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi,
dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu
aktivitas. Sumber distorsi yang dapat menggunakan tingkat daya saing yaitu
kebijakan pemerintah langsung (seperti regulasi); dan distorsi pasar, karena
adanya ketidak sempurnaan pasar (market imperfetion).
Sudaryanto et al, (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok
disebut revealed competitive advantage yang merupakan pengukur daya saing
suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Selanjutnya dikatakan suatu
negara atau daerah yang memiliki keunggulan komparatif atau kompetitif
menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam, penguasaan teknologi,
maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang bersangkutan.
Untuk mengukur daya saing komoditi unggulan sektor pertanian maka
digunakan alat Analisis Shift Share. Analisis shift share pada hakekatnya
merupakan teknik yang sederhana untuk menganalisis perubahan struktur
perekonomian suatu wilayah dan pergeseran struktur suatu wilayah.
2.4Kerangka Penelitian
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan meransang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad,1999).
Pembangunan daerah dilaksanakan untuk dapat membangun daerah
dengan baik, khususnya pada era otonomi daerah, maka pemerintah daerah perlu
mengetahui sektor-sektor apa saja yang dapat dijadikan sektor basis baik untuk
masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Pemerintah daerah
sebaiknya memperhatikan potensi daerah apa yang dimiliki dalam pengambilan
kebijakan-kebijakan yang ada. Potensi daerah ini bisa dilihat dengan
mengidentifikasi sektor perekonomian mana yang produktif atau potensial untuk
dikembangkan, dan mempunyai daya saing. Identifikasi ini penting dalam
Kesempatan untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan baru
melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya
sebagai upaya untuk dapat memajukan sub sektor perkebunan dalam
pembangunan daerahnya dan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
masyarakat.
Sub sektor perkebunan di Kabupaten Simalungun memiliki berbagai jenis
komoditi yang dapat dikembangkan sehingga dapat mendukung kemajuan sektor
tersebut. Komoditi perkebunan yang dapat mendukung pembangunan pertanian
adalah komoditi basis yang mempunyai prioritas pengembangan. Dengan
mengetahui prioritas pengembangan komoditi basis di Kabupaten Simalungun
akan memudahkan pemerintah daerah dalam penentuan kebijakan pembangunan
wilayah berbasis komoditi perkebunan.
Salah satu cara untuk mengidentifikasi prioritas pengembangan komoditi
perkebunan adalah dengan menggunakan gabungan teori ekonomi basis dan
analisis shift share. Pengidentifikasian komoditi perkebunan basis di Kabupaten
Simalungun digunakan pendekatan Location Quotient (LQ), yaitu menghitung
nilai LQ dari setiap komoditi perkebunan yang dihasilkan di Kabupaten
Simalungun. Kriteria komoditi perkebunan yang menjadi basis adalah komoditi
yang mempunyai nilai LQ > 1, artinya produksi komoditi perkebunan tersebut
mampu memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan dapat diekspor ke wilayah lain.
Komoditi perkebunan dengan nilai LQ = 1 menunjukkan komoditi tersebut
komoditi nonbasis, artinya produksi komoditi perkebunan tersebut hanya mampu
memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak dapat diekspor ke wilayah lain.
tersebut termasuk komoditi nonbasis, artinya produksi komoditi perkebunan
tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan
kekurangannya dipenuhi dengan mengimpor dari luar wilayah.
Komoditi perkebunan yang menjadi basis (LQ > 1) di Kabupaten
Simalungun dianalisis menggunakan Shift Share Analysis (SSA) untuk
menentukan komponen pertumbuhannya. Komoditi perkebunan yang dianalisis
komponen pertumbuhannya hanya komoditi perkebunan basis karena dalam
penelitian ini untuk menentukan pertumbuhan didasarkan pada komoditi
perkebunan basis, sehingga untuk komoditi perkebunan nonbasis tidak dianalisis
pertumbuhannya. Analisis komponen pertumbuhan komoditi perkebunan basis di
Kabupaten Simalungun dalam penelitian ini difokuskan pada komponen PP dan
PPW.
Berdasarkan gabungan pendekatan Location Quotient (LQ), komponen
Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) dapat
diketahui prioritas pengembangan komoditi perkebunan basis di Kabupaten
Simalungun. Komoditi perkebunan basis yang menjadi prioritas utama untuk
dikembangkan adalah komoditi perkebunan dengan nilai LQ > 1, PP positif, dan
PPW positif. Komoditi perkebunan basis yang menjadi prioritas kedua untuk
dikembangkan adalah komoditi perkebunan dengan nilai LQ > 1, PP negatif, dan
PPW positif atau komoditi dengan nilai LQ > 1, PP positif, dan PPW negatif.
Sedangkan komoditi perkebunan basis dengan nilai LQ > 1, PP negatif, dan PPW
negatif menjadi alternatif pengembangan. Alur pemikiran dalam penelitian ini
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Kabupaten Simalungun
Sektor Perekonomian
Sektor Pertanian Sektor Non Pertanian
Produksi Komoditi Perkebunan
Teori Ekonomi Basis
Metode Tidak Langsung
Location
Prioritas Utama : LQ > 1, PP positif, PPW positif
Prioritas Kedua : LQ > 1, PP negatif, PPW positif atau LQ > 1, PP positif, PPW negatif Prioritas Ketiga : LQ > 1, PP negatif, PPW negatif
Prioritas Pengembangan Komoditi Perkebunan Basis di Kabupaten Simalungun
Analisa Shift Share
2.5Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian serta kerangka
penelitian maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Komoditi perkebunan yang menjadi basis di wilayah masing-masing
kecamatan Kabupaten Simalungun yaitu karet, kelapa sawit, kopi, kelapa,
coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan
tembakau.
2. Komoditi perkebunan basis di wilayah masing-masing kecamatan di
Kabupaten Simalungun yang mempunyai pertumbuhan cepat dan
mempunyai daya saing yaitu karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat,
cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau.
3. Komoditi perkebunan basis yang menjadi prioritas utama pengembangan
di wilayah masing-masing kecamatan Kabupaten Simalungun yaitu karet,
kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren,