• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISAL.AH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISAL.AH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

RISAL.AH

RAPAT PANITIA KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

Tahun Sidang Masa Sidang Jenis Rapat Rapat Pansus Sifat Rapat Hari, Tanggal Jam Undangan Ac a r a Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Had i r : 2005 - 2006

:111

: Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) : Ke - 7 (tujuh)

: Terbuka

: Rabu, 25 Januari 2006 : Pukul 09.35 s.d. 11.35 WIB

: 1. Pembukaan oleh Ketua Pansus;

2. Masukan dan saran terhadap RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis oleh Paguyuban YUNDHING, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia;

3. Penutup.

: Ruang Rapat PANJA

Gedung Nusantara II Paripurna Lantai 2 : BAMBANG SADONO, SH, MH

: Dra. Prima M. B. Nuwa : 38 Anggota dari 50 Anggota Fraksi Partai Golongan Karya :

1. Bambang Sadono, SH, MH 2. Dion Hardi, SA

3. Drs. Made Suwendha 4. Drs. H. Wasma Prayitno 5. Nusron Wahid, SS

6. Hj. Tyas Indyah Iskandar, SH, M.Kn 7. Sudiarsa Sastra Winata

8. Victor Sungtilu Laiskodat, SH 9. Drs. Mukhtarudin

10. Ny. Ora. Trulyanti Habibie Sutrasno, M.Psi

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(2)

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan :

11. H.M. Said Abdullah 12. Ora. Hj. Siti Soepami 13. Murdaya Poo

14. Ir. Rudianto Tjen

15. Hj. Elva Hartati Murman, S.IP, MM 16. Dr. Drs. H. Moch. Hasib Wahab

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan :

17. H.M. Syumli Syadli, SH

18. H. Djuhad Mahja, SH, eN 19. H. Husairi Abdi, Lc

20. H.M. Hifnie Sarkawie

Fraksi Partai Demokrat :

21. Albert Yaputra

22. F.X. Soekarno, SH 23. Benny K. Harman, SH 24. H. Zaenudin

25. Ir. Asfihani

Fraksi Partai Amanat Nasional :

26. Hj. Azlaini Agus, SH, MH 27. Alvin Lie, MSc

28. Mulfachri Harahap, SH

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa :

29. Drs. Mufid A. Busyiri, M.Pd.

30. Nursyahbani Katjasungkana, SH 31. Drs. H. Bisri Romli, MM

32. Tony Wardoyo

33.· H. Abdul Hamid Wahid

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera :

34. H. Abdul Aziz Arbi, LC 35. Fahri Hamzah, SE

36. Djalalluddin Asy-Syatibi, LC

Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi :

37. DRS. H. Mudaffarsyah

Fraksi Partai Bintang Reformasi :

38. Andi Djalal Bachtiar

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(3)

(RAPAT DIBUKA PUKUL 09.35 WIB) KETUA RAPAT (BAMBANG SADONO, SH, MH): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Salam sejahtera untuk klta semua.

Bapakllbu Anggota Pansus;

Para Pimpinan dan Undangan yang saya hormati.

Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita bisa menghadiri rapat dengar pendapat umum hari ini didalam Pansus RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam keadaan sehat wal'afiat.

Pada hari ini sesuai dengan acara yang kita rencanakan, kita mengadakan rapat dengan acara tunggal yaitu Rapat Dengar Pendapat Umum dalam rangka meminta masukan dan saran dari Paguyuban YUNDHING, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, Lembaga Anti Diskriminasi dan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi. Kelihatannya yang sudah hadir pada hari ini adalah dari Paguyuban YUNDHING, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi tapi hanya Lembaga Anti Diskriminasi yang belum hadir.

Bapak-bapak Pimpinan Anggota Pansus; dan Undangan yang kami hormati.

DPR RI memandang perlu untuk membentuk Pansus RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan hal ini telah dilakukan dalam Rapat Paripurna pada tahun 2005 yang lalu, dimana pansus ini terdiri dari 50 orang anggota dari 10 unsur fraksi yang ada. Perlu kami informasikan bahwa pansus ini telah memilih pimpinan dengan susunan sebagai berikut : Bapak H.M. Said Abdullah dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai Ketua Pansus yang mohon maaf pada hari ini berhalangan, saya sendiri Bambang Sadono dari Fraksi Partai Golkar sebagai Wakil Ketua Pansus, Bapak H.M. Syumli Syadli, SH dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sebagai Wakil Ketua, Bapak Albert Yaputra dari Fraksi Partai Demokrat sebagai Wakil Ketua dan Bapak Drs. Mufid A. Busyiri, M.Pd. dari Fraksi Kebangkitan Bangsa sebagai Wakil Ketua.

Adapun para anggota, saya ingin perkenalkan yang hari ini hadir di dalam rapat pansus ini yang pertama dari Fraksi Partai Golkar yaitu Bapak DRS. Made Suwendha, Ibu Hj. Tyas Indyah Iskandar, SH, M.Kn, Bapak DRS. Mukhtarudin, Ibu NY. DRA. Trulyanti Habibie Sutrasno, M.Psi. Dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yaitu Bapak Murdaya Poo, Bapak IR. Rudianto Tjen, Ibu Hj. Elva Hartati Murman, S.IP, MM. Dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yaitu Bapak H.M. Hifnie Sarkawie. Dari Fraksi Partai Demokrat yaitu Bapak F.X. Soekarno, SH. Dari Fraksi Kebangkitan Bangsa yaitu Bapak Tony Wardoyo, Bapak H. Abdul Hamid Wahid. Dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yaitu Bapak H. Abdul Aziz Arbi, LC, Fahri Hamzah, SE, Bapak Djalalluddin Asy-Syatibi, LC. Dari Fraksi BPD yaitu DRS. H. Mudaffarsyah.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(4)

Ibu dan Bapak sekalian.

RUU ini merupakan inisiatif DPR RI, digulirkannya RUU ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :

1. Bahwa umat manusia berkedudukan sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan bebas memiliki martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun baik ras maupun etnis;

2. Bahwa segala tindakan diskriminasi berdasarkan ras dan atau etnis adalah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;

3. Bahwa seluruh warga negara adalah sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindunqan terhadap setiap bentuk diskriminasi maupun terhadap proses menuju diskriminasi;

4. Bahwa diskriminasi antar warga negara berdasarkan atas ras dan atau etnis merupakan hambatan bagi hubungan persahabatan perdamaian, keserasian, keamanan dan kehidupan bermatapencaharian diantara warga negara yang hidup berdampingan.

Kita ketahui bersama bahwa masalah hak-hak warga negara, hak asasi dan diskriminasi telah terdapat didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 20, 21 dan seterusnya. Kita juga sudah mempunyai undang-undang antara lain Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta banyak Peraturan Pemerintah dan aturan-aturan lain yang menyangkut hak asasi manusia. DPR berpendapat Ibahwa RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis perlu disahkan menjadi undang-undang.

Dalam rangka pembahasan RUU ini maka sesuai dengan Tata Tertib DPR RI Nomor 8/DPR-RI/2005-2006 Pasal 143 disebutkan bahwa selain berdasarkan permintaan masyarakat, Alat Kelengkapan Dewan yang menyiapkan atau membahas RUU dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka Pansus RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mengundang bapak dan ibu sekalian untuk memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan naskah RUU yang akan dibahas bersama Pemerintah.

Untuk mempersingkat waktu maka kami ingin mempersilahkan bapak atau ibu untuk memberikan masukan-masukan yang telah dipersiapkan. Karena nanti ada 4 (empat) lembaga yang akan menyampaikan saran-saran dan masukannya mungkin alokasi waktu yang akan kita atur. Kita sepakati kira-kira masing-masing bisa kita berikan waktu 15 menit. Karena itu saya ingin mempersilahkan mulai dari Paguyuban YUNDHING.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(5)

PAGUYUBAN YUNDHING (TJIPTADIHARDJA SLAMET): Selamat pagi;

Bapak Pimpinan Rapat Pansus; maupun Seluruh Anggota Pansus.

Kami dari Paguyuban Yundhing merasa mendapat suatu kehormatan untuk diundang ke forum yang terhormat ini dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Pertama-tama saya akan menjelaskan dahulu organisasi kami adalah suatu organisasi paguyuban yang berkerap di bidang sosial kemanusiaan. Sifatnya paguyuban kami ini adalah paguyuban kedaerahan. Untuk warga kami tidak hanya daripada YUNDHING saja, jadi kalau ada sesuatu kejadian yang perlu saling membantu kami akan bergerak. Selama ini kami sudah bergerak di bidang sosial itu adalah mengenai pembagian sembako korban banjir dan lain-lain.

Kita kembali ke pembahasan rancangan undang-undang ini, nama saya adalah Tjiptadihardja Siamet, lahir di Jakarta.' Di Paguyuban YUNDHING saya menjabat sebagai Ketua Pembina Paguyuban YUNDHING. Saat ini saya sudah pensiun, sebelumnya bisnis saya adalah di bidang travel biro. Saya merasakan benar seperti saya yang lahir disini yang tidak tahu dimana leluhurnya tapi begitulah setiap kali, karena saya di travel saya merasa bahwa namanya surat-surat untuk orang keturunan Tionghoa, setiap kali bawa paspor dimintakan surat warga negara.

Kalau itu memang seorang warga negara asing yang melalui natualisasi pengadilan itu wajar kalau dimintakan surat warga negara. Tapi yang namanya lahir disini, surat lahirnya sudah ditulis warga negara Indonesia, membuat surat apapun surat warga negara itu tetap diminta sampai saat ini walaupun sudah ada instruksi dari Presiden bahwa SBKRI itu tidak diperlukan lagi. Tapi pelaksanaannya di lapangan petugas daerah, petugas imigrasi tetap saja minta untuk mengurus paspor, mengurus izin usaha atau izin yang lain-lain. Saya rasa ini satu yang perlu segera dituntaskan oleh Pemerintah bahwa apa yang diinstruksikan oleh Bapak Presiden yang terdahulu bahwa SBKRI ini tidak dipakai lagi. Anehnya kenapa pejabat negara atau pejabat daerah diberi wewenang untuk mengurus sub bidang ini masih tetap saja cari-cari. Tentu cari-cari ada akhirnya yaitu uang.

Saya bukan membandingkan dengan negara yang lain dengan negara kita, banyak warga negara di Amerika maupun Australia, walaupun orang tuanya bukan warga negara Australia tapi karena anaknya lahir di negara Australia, anaknya itu bisa membuat paspor negara Australia. Tapi kalau kita, sudah jelas papa mamanya orang Indonesia yang lahir disini, cucu saya pun masih disanksikan apakah dia warga negara Indonesia. Anak saya ditanyakan dimana Tiongkok, Cina saya rasa tidak tidak tahu.

Jadi kami dengan sangat mengharapkan pansus ini supaya segera bisa menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis itu jangan-jangan di atas kertas saja. Jadi kalau bisa ditekankan pelaksanaannya setelah ada satu undang-undang yang diumumkan.

Saya rasa untuk saat ini dari Paguyuban YUNDHING saya cukupkan dahulu sampai di sini. Terima kasih atas kesempatannya.

Assa/amu'a/aikum.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(6)

KETUA RAPAT :

Terima kasih Pak Tjiptadihardja.

Kita lanjutkan saja dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Saya persilahkan.

ALiANSI PELANGI ANTAR BANGSA (DEWI TJAKRAWINATA) : Selamat Pagi.

Bapak Pimpinan Rapat Pansus RUU Anti Diskriminasi Ras dan Gender.

Kami dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa berterima kasih atas penghormatan yang diberikan kepada kami pada hari ini

V

Nama saya Dewi Tjakrawinata, Saya adalahJgo-coordinator dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa, suatu organisasi yang sebetulnya lebih kearah diskriminasi gender.. Dimana Aliansi Pelangi Antar Bangsa adalah perkumpulan ibu-ibu baik WNI maupun WNA yang terlibat perkawinan campuran antara bangsa. Karena kami diundang dalam acara ini, tadinya saya berharap bahwa RUU Anti Diskriminasi ini tidak hariya Diskriminasi Ras dan Etnis, tapi juga memayungi seluruh bentuk diskriminasi terutama juga diskriminasi gender.. Karena saya Iihat juga disini misalnya pertimbangan, disitu bahwa sebetulnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi gender itu sudah diratifikasi dalam Undang-undang Ratifikasi Sedau..

Jadi kami berharapnya dari sisi pergerakan perempuan bahwa di RUU Anti Diskriminasi ini juga memayungi diskriminasi yang lain. Jadi bukan hanya ras dan etnis, bahwa ini sudah berbentuk RUU seperti ini saya rasa sudah merupakan suatu langkah maju. Tapi kalau dilihat dari sisi perempuannya itu masih sangat kurang. Karena RUU ini juga kami terima baru tanggal 23, saya tidak tahu organisasi masyarakat yang mana yang pertama kali mengajukan. Kita baru mempelajarinya baru sejak dua hari yang lalu.

Dan di sini kalau kita lihat dari segi perempuan misalnya Pasal 19 ayat (1) dimana perampasan harta benda dan pemerkosaan itu dijadikan satu. Kalau buat saya apakah itu pemerkosaan terhadap perempuan atau terhadap laki-Iaki terutarna terhadap anak-anak itu sebaiknya dipisahkan dari harta benda, itu tidak bisa disamakan karena ganti ruginya, hukum atau denda minimal itu hanya tiga tahun untuk perkosaan. Padahal derita yang dialami oleh perempuan atau laki-Iaki yang diperkosa itu saya rasa bisa dibawa seumur hidup. Itu yang baru saya Iihat.

Kalau dilihat disini pertimbangan huruf c bahwa seluruh warga negara adalah sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan terhadap tiap bentuk diskriminasi, itu sudah bagus hanya karena disini arahnya masih ras dan etnis. Sementara kami mendapatkan diskriminasi, saya warga negara Indonesia, sampai sekarang saya masih berwarga negara Indonesia, hanya karena saya menikah dengan warga negara asing apakah itu ras lain, saya mendapatkan diskriminasi secara ekonomi, politik, sosial, anak-anak saya menjadi warga negara asing, anak saya dipanggil bule, anak saya tidak boleh sekolah negeri, secara ekonomi saya susah untuk bekerja dengan normal, saya rasa saya tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(7)

Juga misalnya saya hanya karena perkawinan iru .saya mendapatkan stigma, karena saya menikah dengan warga negara asing. Maka seolah-olah secara ekonomi saya pasti lebih mampu dari Warga Negara Indonesia yang lain. Kalau saya ke imigrasi maka saya harus membayar lebih karena istrinya orang bule. Itu stigma, saya rasa itu dan sama misalnya dialami oleh Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Dan seperti juga warga negara keturunan Tionghoa tidak semuanya mampu. Kami pun tidak semuanya mampu. Kami sama-sama berjuang untuk menafkahi keluarga misalnya itu sama seperti warga negara yang lain.

Stigma-stigma ini di dalam masyarakat yang sangat dlskrtminafif

secara merata atau generalisir bahwa orang yang menikah dengan warga negara asing sampai-sampai Mahkamah Agung merasa perlu mengusulkan suatu usulan agar orang asing yang mau rnenikah dengan perempuan Indonesia harus membayar Rp 500 juta. Itukan sangat diskriminatif. Bagaimana dengan WNA perempuan yang mau menikah dengan WNI laki-Iaki misalnya. Apakah mereka juga harus membayar? Stigma-stigma seperti ini yang sebetulnya kasat mata tapl tidak pernah dijadikan pertimbangan bahwa kehidupan kami itu juga penuh dengan diskriminasi dan kami berharap sekali RUU ini memayungi bukan hanya diskriminasi ras dan etnis tapi juga diskriminasi secara keseluruhan.

Dan untuk ras dan etnis di sini saya belum melihat arah apakah Pemerintah bisa diharapkan misalnya memajukan etnis minoritas yang lain seperti misalnya suku Badui, suku Dayak. Itu tidak ada di sini, kita memang hanya bilang kita anti Badui misalnya. Tidak ada, tetapi apakah ada upaya darikita semua untuk memajukan suku-suku bangsa yang masih minoritas dan tertindas. Saya belum melihat di RUU ini ke arah sana. Dan Badui itu tidak jauh dari pusat Pemerintahan tapi mereka merasa tertinggal dalam segi pendidikan, mereka masih hidup secara berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Oi Undang-Undang yang sudah secara khusus tentang Ras dan Etnis, saya belum melihat arah bahwa kita juga akan memperbaiki atau meningkatkan harkat suku minoritas ini.

Mungkin dari saya sementara ini, barangkali ada tambahan yang lain. Mungkin teman saya Ibu Yulia akan menambahkan sedikit.

A.P.A.B

(YULI) : Terima kasih.

Selamat pagi Pimpinan dan juga wakil-wakil Anggota Pansus semuanya.

Nama saya Yuli dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB). Apa yang disampaikan Ibu Dewi tadi bahwa kami bangsa Indonesia yang menikah dengan orang asing seperti itu. Kami sangat mengalami diskriminasi. Untuk mengasuh anak saja kami harus izin negara dengan dokumen-dokumen yang kalau Bapak tahu banyak sekali. Dokumen-dokumen itu harus kita perpanjang setiap tahun. Padahal kami ini 50% anak Indonesia. Jadi mohon dalam Rancangan Undang-Undang Anti Oiskriminasi ini mencakup juga wanita Indonesia atau laki-Iaki Indonesia yang menikah dengan orang asing. .

Sebagai contoh lagi, apabila kita lupa membuat perjanjian kawin maka semua hak kita sebagai wanita Indonesia akan hilang, lain dengan laki-Iaki, Misalnya kita mau menikah, siapa yang memberi info. Dan saya kira kita di Jakarta saja susah mendapatkan info bahwa kamu harus

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(8)

membuat perjanjian kawin kalau tidak nanti hartamu itu bukan milikmu, tidak bisa hak milik misalnya. Itu dimana? Kalau kita hidup di Kalimantan atau di Sulawesi sana, informasi ini dari mana? Tetapi bila kita sudah melangsungkan pernikahan baru sadar karena Iingkungan kita, kamu buat perjanjian kawin tidak? Tidak. Ya kamu tidak bisa memiliki asset tetap yang berupa hak milik. Sudah semua haknya hilang. Seperti ini antara lain masalah-masalah kami wanita Indonesia yang menikah dengan laki-Iaki asing. Banyak sekali diskriminasi yang kita dapat. Itu antara lain tambahan dari saya. Mungkin Sandra akan menimbah? Baik, itu dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa.

Terima kasih. KETUA RAPAT :

Ibu dan Bapak sekalian,

Sebelum dilanjutkan ada Anggota Pansus yang sudah hadir

sekarang Pak Benny K. Harman dari Partai Oemokrat. Kemudian Bapak H.

Zaenudinjuga dari Oemokrat. .

Ibu dan Bapak sekalian,

Yang dari Lembaga Anti Diskriminasi sudah hadir? Belum. Kalau belum kita lanjutkan saja dengan Gerakan Perjuangan Anti Oiskriminasi.

Saya persilahkan.

G.A.N.D.! (WAHYU EFFENDI) : Terima kasih.

Selamat pagi Bapakllbu sekalian.

Nama saya Wahyu Efendi. Saya di sini mewakili sebagai Ketua Umum Gerakan Perjuangan Anti Oiskriminasi dan sekaligus juga koordinator Yayasan Pengaduan Hukum Indonesia (YPAI).

Terima kasih atas undangan dari Bapakllbu Anggota Pansus sekalian bahwa kami diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat atas RUU Penghapusan Ras dan Etnis.

Beberapa waktu yang lalu sering sekali televisi dan beberapa seminar selalu menanyakan kenapa NGO-NGO Anti Oikriminasi selalu meminta pembaharuan hukum padahal kan Pemerintah bahkan Presiden beberapa kali sudah menyatakan tidak ada diskriminasi dari sejak Ibu Mega menjadi Presiden. Kami waktu itu menjawab bahwa anti diskriminasi ini bukan sekedar atau statement yang mengatakan menyegarkan yang sewaktu-waktu bisa berubah.

Anti diskriminasi itu harus ada hukumnya. Kalau istilah di Austalia dengan membawa bahwa anti diskriminasi ini not the fare go, but is the law. Jadi ini nuansanya adalah nuansa hukum. Bahwa tadi dikatakan tidak ingin membandingkan dengan Amerika dan segalanya bahwa kita dulu pernah semacam kunjungan ke Amerika untuk menanyakan dan memang kita menanyakan kepada kelompok-kelompok minoritas di Amerika apakah sebenarnya mereka merasa takut atau apa, ya mereka merasa takut. Oi negara yang paling demokrasi saja mereka ketakutan, ada merasa minder sebagai minoritas. Tapi yang paling membedakan adalah bahwa di sana ada hukum yang menjamin itu.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(9)

Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan berapa kasus soal diskriminasi yang diajukan ke pengadilan di Indonesia tidak dapat diselesaikan karena ada kekosongan hukum di situ. RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menjadi salah satu yang memberikan jalan keluar kekosongan hukum ini. Sehingga setahu saya Solidaritas Nusa Bangsa yang mengajukan RUU ini. Boleh dikatakan RUU ini sebenarnya adalah semacam registrasi mandatori (mandatory registration). Semacam registrasi wajib yang karena meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial tahun 1999. Walaupun ini dikatakan terlambat tapi saya kira ini baik karena konvensi ini tidak bisa operasional kalau ,tidak didukung suatu Undang-Undang yang operasional. Dan RUU ini akan menjadi konvensional dari konvensi itu.

Kalau kita Iihat judulnya penghapusan diskriminasi, ini sangat-sangat dramatikal menurut konvensi. Konvensinya Eliminatio[1 of Racial Discrimination. Saya tidak tahu apakah kita akan mengikuti itu sesuai dengan konvensi ataukah ini menjadi momentum untuk membuat suatu Undang-Undang untuk mengatasi persoalan-persoalan diskriminasi di Indonesia. Tidak hanya soal ras dan etnis tapi juga gender karena kita tahu

ada

pandangan soal diskriminasi terhadap .. mereka yang berpandangan politik beda, ada yang mungkin juga soal 'agama. Memang kata etnis di dalam RUU ini juga mencakup hal yang luas tapi covering semua diskriminasi di dalam konteks etnis ini apakah bisa diimplementasi nanti di lapangan. Saya kira perlu pendapat atau pertimbangan lebih jauh.

Beberapa waktu yang lalu kita diundang oleh Deplu, ternyata RUU ini sudah didaftarkan, dilaporkan oleh Departemen Luar Negeri kepada Komite Elimination of Racial Discrimination sebagai salah satu leqlslasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai pelaksana dari konvensi. Jadi saya kira ini sudah didaftarkan di UN bahwa RUU ini sudah dilakukan.

Selanjutnya mungkin saya akan coba. Kita belum masuk ke pasal-pasal tapi pada konsepnya saja bahwa mungkin lebih baik kalau Undang-Undang ini mau dibentuk. Kalau menilik konvensi, bahwa memang yang diatur dalam konvensi ini memang istilahnya pun disebut racial disrimination yang di dalamnya juga mengatur soal latar belakang etnis, suku, dan sebagainya. Etnik yang dijabarkan seperti yang di dalam RUU tapi kemudian kita juga harus juga mempertimbangkan apakah kemudian ini menjadi suatu momentum bahwa Indonesia akan membentuk suatu Undang-Undang Diskriminasi yang umbrella atau memayungi yang menyangkut masalah gender juga. Bahkan ada usulan juga apakah perlu dibentuk suatu komite nasional khusus. Bukan ditangani oleh, komite nasional penghapusan diskriminasi.

Waktu awal tahun 1999 kita ingat sekali bahwa wacana diskriminasi selalu dikaitkan bahwa ini didorong oleh kelompok Tionghoa atau minoritas yang lain. Tapi perkembangan politik kemudian kita menyadari bahwa ini bisa terjadi pada siapa saja. Etnis Madura di Kalimantan, bahkan saya pernah dengar waktu itu bahwa Etnis Madura dimasukan untuk dibatasi dalam Perda. Itu biasa, diskriminasikan selalu dimulai dengan stigmalisasi, fiktimisasi, kemudian mengarah kepada diskriminasi dalam bentuk diskriminasi hukum. Yang susahnya kadang kita mengatur sesuatu yang belum terjadi. Tapi kita meyakini bahwa ini sifatnya bukan berpihak pada kelompok mana, tapi ini sifatnya netral. Bahkan di dalam konteks negara yang menjunjung pluralisme, Indonesia sudah merasakan bagaimana

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(10)

sakitnya ketika diskriminasi kemudian melahirkan disintegrasi, disharmoni antar masyarakat.

Saya kira RUU ini bisa menjadimanagement tools untuk kernajukan. Dalam arti bukan mengatur bagaimana hubungan antar kelompok etnis dan kelompok dalam masyarakat tapi menjaga supaya kalau terjadi efek negatif dari hubungan itu, ini yang diatur. Saya dengar juga bahwa Depdagri akan mengajukan RUU Hubungan Antar Etnis. Dan pertanyaan kita adalah apakah hubungan itu perlu diatur? Sebetulnya diskriminasi ini yang disebut sebagai efek atau efek negatif yang timbul dari hubungan itu. Itu yang perlu diatur supaya kemudian ini tidak memicu konflik antar kelompok dalam masyarakat. Saya kira kurang lebih itu. Satu lagi masukan bahwa di Pasal 46 disebutkan bahwa segala peraturan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dianggap masih berlaku. Apakah ini masih efektif?

Banyak persoalan diskriminasi di Indonesia merupakan persoalan diskriminatif dalam arti administritatif yang berhubungan dengan prosedur. Misalnya SBKRI. Dalam SBKRI ini banyak sekali persoalan yang sebenarnya karena administrasi dan banyak sekali peraturan yang sebenarnya menyangkut undanq-undanq yang belum ada penggantinya. Jadi kalaupun RUU ini mengatakan bahwa undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku. Ini tidak akan efektif karena ini tidak akan bisa mencabut suatu undang-undang yang belum ada penggantinya.

Dalam arti misalnya Undang-Undang Kewarganegaraan, tidak serta merta mencabut itu, karena belum ada Undang-Undang penggantinya dan mencabut itu akan mengalami kekosongan hukum. Jadi lahirnya Undang ini tetap harus disusul dengan pembaharuan kepada Undang-Undang yang terkait misalnya Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Catatan Sipil, Undang-Undang lain Perkawinan misalnya. Juga sangat terkait pada RUU ini. Saya kira mungkin sekedar pembukaan dari kami, mungkin ini bisa dilanjutkan tanya jawab.

Terima kasih.

KETUA RAPAT :

Terima kasih.

Sebelum kita lanjutkan juga sudah hadir Anggota Pansus yaitu Ibu Nursyahbani Katjasungkana dari Partai Kebangkitan Bangsa. Nanti mohon kalau ada yang tertulis mohon disampaikan kepada kita Sekretariat Pansus untuk nanti diperbaiki.

Ibu dan Bapak sekalian,

Mungkin yang dari Lembaga Anti Diskriminasi tidak hadir. Dan kalau tidak maka akan kita lanjutkan mungkin dari Bapak dan Ibu ada yang ingin memperdalam atau berdiskusi dengan para tamu kita pagi hari ini. Saya persilahkan Pak Soekarno, ada lagi?

Saya persilahkan Pak Soekarno.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(11)

F-PD (F.X. SOEKARNO, SH) :

Terima kasih Bapak Pimpinan Pansus. Selamat pagi.

Mohon maaf, hari ini adalah pertama kali kami bertemu karena dua kali Rapat Pansus yang dilakukan kami tidak bisa hadir karena pada saat itu saya sakit dan yang kedua kami harus memimpin Baleg yang tidak bisa kami tinggalkan. Dengan alasan itu maka kami masih awam dengan masalah ini. Tetapi kami akan fokus kepada apa yang tadi disampaikan oleh Bapak narasumber yang bertiga tadi, agar kiranya kita nanti bisa saling tahu persis apa yang dimaksud itu. Memang tadi saya setuju dengan Ibu Nur, kiranya kalau ada yang tertulis disampaikan lebih gampang. Mungkin kalau Iisan bisa macam-macam juga kita catat, sehingga tidak bisa sesuai dengan yang kita kehendaki.

Pertama, Bapak dari Paguyuban YUNDHING Jakarta. Kalau tadi Bapak hanya memasalahkan sekali saja berkaitan dengan perlakuan terhadap WNI keturunan, adalah usaha-usaha untuk mencari surat dan sebaqalnya itu harus selalu diminta SPKRI walaupun mungkin ada perintah untuk menghapuskan ketentuan itu. Apakah hanya sekedar itu, atau mungkin yang lain yang Bapak bisa rasakan sehingga akhirnya bisa melengkapi keterangan dari Paguyuban YONG DINK ini. Jadi sekali lagi apakah hanya itu saja yang. Bapak rasakan kaitannya yang dirasakan menjadi suatu hal yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap WNL Nanti mohon dijelaskan, saya yakin lebih dari itu.

Kedua, kepada Ibu-ibu Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Terus terang pengalaman ini tidak beralasan karena saudara-saudara saya tidak pernah ada yang berani atau mungkin kalau punya wanita tidak ada yang seperti disebutkan Ibu tadi "rnau melamar untuk isteri-isterinya" itu tidak ada sarna sekali. Kaget kalau seperti itu yang Ibu rasakan sebagai wanita Indonesia yang kawin dan nasibnya mungkin merasa ada diskriminasi. Tapi Ibu mengharapkan supaya RUU kali ini mohon jangan dibatasi soal diskriminasi ras dan etnis saja tapi lebih dari itu khususnya kaitannya dengan gender yang terkait juga dengan yang Ibu-ibu rasakan selama ini Saya kira nanti ini bisa berkembang. Ibu Nur saya kira paham sekali dengan itu.

Tetapi ini sekali lagi, apakah ini memang akibat dari itu atau karena memang bukan karena tidak ada soal yang kita akan buat ini mengenai diskriminasi yang harus dihapuskan. Ataukah karena mungkin kurang lengkapnya Undang-Undang Perkawinan. Bukankah mungkin berjuang disana. Sehingga ada aturan-aturan dari perkawinan itu bisa menyebabkan seperti itu.lni kemungkinan saja, nanti bisa berdlskusl.

Mungkin usul ibu bukan berkaitan dengan penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tetapi berkaitan dengan perkawinan yang nanti perlu disempurnakan. Saya yakin kalau seperti itu DPR tidak keberatan membahas soal itu. Rupanya memang lewat prosedur sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. dalam arti tidak mungkin berjuang itu terus, besok bisa kita bahas.

Jadi sekali lagi, menurut hemat kami, itu memang karena adalackdi Undang-undang Perkawinan itu. Jadi bukan soal ini. Karena memang pembuktian ras dan etnis disinggung oleh Gerakan Anti Diskriminasi memang terdorong karena memang kita sudah ratifikasi itu. Jadi

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(12)

kemungkinannya itu. Mungkin bisa berkembang perlu kita lihat. Tetapi kalau kita lihat rumusan etnis ini luas sebenarnya, menyangkut agama, menyangkut suku dan segala macam. Ini yang mungkin perlu kita diskusi lagi soal ini. Jadi menurut kami itu tidak ada kaitan dengan soal ras dan etnis yang tidak perlu dihapuskan, tetapi semata-mata karena mungkin di Undang-undang Perkawinan itu tidak lengkap. Mungkin itu sekedar contoh saja.

Ketiga, terhadap pendapat dan masukan dari Gerakan Anti Diskriminasi. Namanya dipipilih "Anti Diskriminasi". Pertanyaan saya, sekarang kita akan berbicara tentang penghapusan. Itu dua hal yang berbeda. Jadi mohon Bapak kasih masulkan kenapa bisa anti diskriminasi. Mungkin pendapat umum mengatakan kalau kita harus hapuskan berarti ada diskriminasi ini. Inilah kira-kira perbedaan penghapusan dan anti. Itu yang pertama.

Kedua, banyak yang menarik dari pendapat Bapak tao: karena saya pikir Bapak Ahli Hukum, jadi banyak masukan yang menarik. Yaitu antrara lain Bapak mengatakan bahwa sekali lagi, hanya karena kita ada redukasi kemudian harus persis seperti itu yang kita atur dalam undang-undang ini. Mohon masukannya, dan saya mungkin eksplor yang lebih banyak soal ini. Kalau pengertian saya bisa diperluas. Mustinya bisa juga dengan ini.

Tadi disebut-sebut sifatnya RUU ini harus netral. Saya kira tujuan kita semua. Karena kalau menimbulkan kesulitan dan perbedaan-perbedaan, saya kira saya menggaris bawahi dan setuju soal itu. Jadi tidak memihak kelompok tertentu dan luas cakupannya. Apalagi Bapak mengatakan, diharapkan RUU ini menjadi management tools kemajemukkan. Mohon ini nanti yang tertulis supaya lengkap. Karena kita majemuk ini ada undang-undang ini, supaya tidak terjadi seperti yang dirasakan yaitu diskriminasi.

Jadi saya kira perlu masukan banyak dari Bapak. Soal perdebatan pasal 26 dari RUU ini, persilahkan saja, bisa seperti itu tetapi saya yakin betul, tidak otomatis musti yang tidak bertentangan tetap berlaku, mungkin itu juga perlu penyempurnaan. Memang kalau soal itu perlu inisiatif dari LSM atau masyarakat ataupun berdebat sendiri untuk itu, kalau memang Pemerintah tidak ada inisiatif. Saya setuju kalau mungkin perbaikan undang-undang kewarganegaraan, perkawinan dan lain sebagainya.

Jadi itu sementara Bapak Pimpinan, terima kasih.

KETUA RAPAT :

Terima kasih Pak Karno.

Saya persilahkan selanjutnya Pak Fahri Hamzah.

F-PKS (FAHRI HAMZAH, SE) :

Terima kasih Pimpinan.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Teman-teman dari berbagai elemen, saya hanya ingin mengulangi beberapa soal yang sudah saya sebutkan di pertemuan yang lalu. Bahwa memang inilah saatnya bagi kita untuk berkontribusi maksimal dalam rangka merumuskan suatu kebijakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang kiranya dapat menuntaskan begitu banyak persoalan yang selama ini kita alami. Yang persoalan itu, sekali lagi Saudara Wahyu mengatakan "tidak ada management tools bagi negara" untuk bertindak

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(13)

cepat dan tepat tentunya, dalam mengatasi kenyataan bahwa banqsa kita ini memang beragam dan besar. Kita sekarang menjadi banqsa terbesar nomor 4 didunia setelah China, India dan Amerika.

Karena itu saya kira adalah wajar dan sangat penting. Tentunya kami s:.aqat mengucapkan terima kasih bahwa perhatian intens dan serius dari ternan-ternan berbagai kalangan untuk mensukseskan undang-undang ini sangat baik sekali. Pada pekan lalu mengusulkan agar selama proses ini, marilah kita "tongkrongin". Jadi kami bersedia berkomunikasi diluar forum ini, nanti bisa dicatat nomor email, handphone dan sebagainya, supaya masukan-masukan konkret itu aktual masuk ke kita. Sehingga dalam proses ini kita betul-betul mendengar secara keseluruhan dan menghasilkan sesuatu yang bisa sekali untuk seterusnya. Karena terus terang mengetahui kenyataan bahwa bangsa kita ini begitu beragam, sementara kita tidak punya tools untuk mengelola keberagaman itu maka adalah bahaya besar bagi bangsa kita untuk perkembangannya untuk dimasa yang akan datang.

Bangsa-bangsa yang berhasil mengelola kemajemukan itulah yang bisa sukses, Pak. Dan kita mengharapkan undang-undang ini mengarah kesana. Tentang perlakuan yang selama ini dialami oleh etnis tertentu, terutama yang dominan itu adalah, karena yang menonjol dalam sejarah kita sejak tahun 1700-an yaitu adalah etnis Tionghoa. Maka ini juga memerlukan formulasi yang lebih teknis. Tadi apa-apa yang diusulkan itu menurut hemat saya kalau ada usulan tambahan lanjutan tentang pasal selanjutnya setelah bapak-bapak membaca, ibu-ibu membaca, please, kita tuntaskan dengan baik, begitu. Kita datang ke forum ini, kami datang ke forum ini juga diutus oleh fraksi kami masing-masing. Itu dengan satu itikad bahwa mudah-mudahan kita Dewan bisa segera menyelesaikan Undang-undang ini sehingga bangsa kita memiliki panduan yang kuat untuk mengelola keberagamannya.

Saya kira mungkin yang paling penting yang akan saya katakan itu lanjutan komunikasi sangat kita harapkan juga perlu kita didorong supaya Undang-undang ini cepat, cepat bukan dalam pengertian mutu yang rendah. Tetapi cepat dalam artian mutu yang baik. Sebab banyak persoalan ditempat lain juga Pemerintah dan DPR sudah mengundangkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga salah satu tool bagi bangsa kita untuk mengelo!a konflik-konflik hak masalalu dan ini juga sangat penting. Saya kira mungkin mari kita kooperatif saja. Saya sering melihat bahwa kita ini masih ada kekesalan terutama mereka yang pernah menerima perlakuan diskriminasi di masa yang lalu.

Tetapi marilah kita hadir dialam demokrasi yang bebas dan terbuka ini dengan perasaan yang merdeka mari kita sampaikan ini dengan cara yang merdeka juga. Sebab tanpa kita saling membuka diri dan saling mengenal secara baik, kita tidak pernah saling bersahabat secara sejati.

Terima kasih Pimpinan.

KETUA RAPAT :

Terima kasih.

Mungkin ada Ibu Truly dan Ibu Tyas. Saya persilahkan Ibu Truly.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(14)

F-PG (ORA. TRULYANTI HABIBIE SUTRASNO, M.Psi) : Terima kasih.

Selamat pagi Bapak dan Ibu sekalian yang hadir pada pagi hari ini. Yang terhormat para Anggota DPR RI.

Kami mendengar apa yang dikemukakan oleh Bapak dan Ibu sekalian, mungkin untuk kami lebih bisa mendalami lebih lanjut pengalaman-pengalaman yang Bapak dan Ibu rasakan, memang perlu menjadi masukan bagi kami. Tetapi tidak hanya bersifat subyektit

tetapl

tentunya obyektif sehingga nanti masukan-masukan ini akan memperkaya RUU yang akan dijadikan Undang-undang.

Kami ingin mengetahui lebih lanjut apa yang dikemukakan oleh Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Kami cukup mendengarkan apa yang dikemukakan, adalah dimana perasaan yang dirasakan oleh Ibu-ibu sekalian yang menikah dengan warga negara asing. Mungkin lebih bisa dikemukakan kepada kami, apakah hal-hal yang ibu rasakan tersebut, ataupun didalam hal aliansi ada juga Bapak-bapak. Apakah warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing. Tentunya kalau menjadi negara asing aturan-aturan yang diberlakukan akan berbeda. Itu lain halnya dengan paguyuban YUNDHING yang merasakan bahwa mereka lahir disini tetapi menikah dengan orang Indonesia. Kalau ini betul-betul menikah dengan orang yang berwarga negara asing.

Jadi yang ingin kami ketahui adalah, apakah yang menikah ini baik laki-Iaki maupun perempuan, terutama perempuan, pindah menjadi warga negara asing, ataukah anak-anak yang diturunkan itu warga negara asing atau warga negara Indonesia. Tadi kalau tidak salah dengar kami mendengarkan bahwa anak-anaknya tidak boleh masuk sekolah negeri. Kalau mereka warga negara Indonesia hal itu tidak dibenarkan. Seharusnya boleh siapapun warga negara Indonesia harus dan wajib mengikuti pendidikan

dl

Indonesia.

Namun, mungkin kalau warga neglara asing juga ada peraturan yang berbeda. Seperti juga dahulu ada masuk ke sekolah Internasional kalau dia warga negara Indonesia atau di Indonesia tidak dibenarkan masuk sekolah tersebut. Tetapi sekarang sudah ada yang bisa dan boleh, tetapi tidak semua. Kalau dahulu sama sekali.

Seperti juga di luar negeri, kalau dia itu warga negara bukan negara Australia misalnya, dia masuk public school, dia harus membayar jauh lebih tinggi daripada warga negara Australia. Jadi yang ingin kami ketahui perbedaan atau diskriminasi yang dikenakan oleh Bapak dan Ibu sekalian ini, kalau input-input data yang mendasari itu apa, seperti warga negara yang dimiliki dan lain-lain yang kalau tidak berkeberatan diberitahukan kepada kami.

Sementara itu saja untuk memperkaya ini. Mungkin ada hal-hal lain yang Bapak dan Ibu rasakan, ataupun sehubungan dengan RUU ini dapat di masukkan, yang belum kami cakup kami sangat menunggu. Tidak hanya didalam rapat ini, mungkin saja besok dapat secara tertulis maupun melalui e-mail yang tadi dikemukakan oleh Bapak Fahri memang sangat berguna. Saya rasa itu saja, terima kasih.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(15)

KETUA RAPAT:

Baik sebelum kita lanjutkan, telah hadir juga Anggota Pansus Bapak DR. Drs. H. Moch. Hasib Wahab dari Fraksi PDI Perjuangan. Kemudian juga Bapak H. Husairi Abdi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Saya persilahkan, kita lanjutkan dengan Ibu Hj. Tyas Indyah Iskandar.

F-PG (Hj. TVAS INDYAH ISKANDAR, SH, M.Kn) : Terima kasih Pimpinan.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Salam sejahtera untuk kita semua.

Ibu-ibu dan Bapak-bapak Para Nara Sumber; dan Undangan yang saya hormati; serta

Bapak dan Ibu Anggota Pansus yang saya muliakan.

Menarik sekali masukan yang telah diberikan kepada kita, dan pada kesempatan yang baik ini maka, mungkin dari saya yang pertama ingin memberikan suatu komentar, kemudian ingin mendalami lebih lanjut. Oleh karena itu saya ingin memulai dari Paguyuban YUNDHING yaitu kepada Bapak Tjiptadihardja Selamet.

Tadi Bapak sampaikan, saya sependapat dengan Fraksi Partai Demokrat tadi, ternyata Bapak menyampaikan satu kasus. Tetapi saya yakin dibalik itu masih banyak. Saya kira mungkin yang menonjol adalah masalah yang berkaitan dengan pembuatan paspor dan lain sebagainya. Kami dapat menerima dan mendengarkan serta menampung itu, dan kami ingin merekomendasikan kepada Pansus ini untuk kita juga Rapat Dengar Pendapat dengan pihak Imigrasi. Kita akan clearkan disana, apa-apa yang menajdi keluhan itu dan bagaimana kira-kira jalan keluar terbaik untuk masuk menjadi suatu pasal didalam RUU ini. Itu mohon diagendakan Pak Ketua. Itu untuk YUNDHING.

Kemudian yang kedua, kepada Ibu-ibu Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Saat ini sedang mencuat aliansi ini, saya juga melihat ada seminar-seminar juga dan tayangan di televisi dan sebagainya, kami juga memahami bagaimana perasaan ibu-ibu. Tadi ada masukan bahwa ternyata RUU ini kurang peka terhadap diskriminasi jender. Mungkin saya agak sependapat. Namun sebetulnya ada tetapi diaturnya masih dalam bentuk sangat makro. Tetapi dengan adanya usulan seperti ini, barangkali hal itu bisa diadopsi pada Pasal 1 ayat (8). Disana kita akan bisa menambahkan satu-dua kata yang dalam artian dia akan memayungi juga tentang diskriminasi jender tersebut.

Kemudian selanjutnya, saya juga ingin memberikan suatu pendapat saya tentang adanya wacana saat ini bahwa WNA laki-Iaki yang akan menikah dengan WNI dikenakan Rp 500.000,-. Jadi ini sebetulnya, maksudnya usulan seperti itu, tadi sudah disampaikan bahwa itu akan menyulitkan, itu namanya juga suatu diskriminasi. Tetapi barangkali, kita berpikirnya positif thinking dahulu. Mungkin melindungi para perempuan di Indonesia. Jadi ini sebetulnya perempuan-perempuan merasa terhormat. Tetapi sebetulnya saya menangkap itu suatu hal. Ini lembaga untuk berdiskusi. Makanya saya tampilkan pendapat saya itu, sekarang

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(16)

itupun akan baik) wa idza fasadat fasadatul bilad (dan apabila wanita ini buruk maka negara inipun akan menjadi buruk). Oleh karena itu kita akan minta dalam RUU ini kesamaangender.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT :

Terima kasih.

Selanjutnya kami persilahkan, Pak Made.

F-PG (DRS. MADE 5UWENDHA) :

Terima kasih.

Rekan-rekan yang saya hormati; dan Para narasumber yang saya banggakan.

Saya mengikuti 2 (dua) kali pertemuan seperti ini karena acara-acaranya sering berbenturan. Yang kedua kalinya saya mendengar bahwa belum kita berbicara materi tetapi sudah uneg-uneg yang keluar dari Bapak dan Ibu sekalian dalam 2 (dua) kali rapat. Saya menyadari dan saya juga merasakan bagaimana akan perasaan adanya perbedaan di dalam pelayanan.

Tetapi apa yang disampaikan oleh rekan saya dari Ambon. Saya dari Bali Denpasar dan rasanya tidak ada perbedaan dengan WNI Tionghoa, Arab dan lain-Iainnya. Barangkali Pak Murdaya Poo sering ke daerah Bali Singa Raja, saya tahu Nyonya-nya sering ke sana dan saya sering mengantar juga tetapi Beliau tidak tahu begitu juga dengan Nyonya-nya karena adik dari BiksuNyonya-nya itu ada staf saya Rahulloh dan mungkin Bapak kenai.

Jadi sama sekali tidak ada perbedaan dan teman-teman Tonqhoa

bahkan memiliki tanah yang cukup luas-Iuas di Bali, sama dengan rekan-rekan di Ambon tadi itu. Pembauran di Denpasar, saya rasakan cukup mantap termasuk saya pribadi karena menantu saya dua-duanya adalah orang Tionghoa. Jadi saya mempunyai menantu orang Tionghoa dan perjalanan perkawinan anak-anak saya sangat menyenangkan dan sekarang saya sudah mempunyai cucu jadi hidup saya sangat gembira.

Saya merasakan bahwa saya sebagai pelayan publik juga selama 35 (tiga puluh lima) tahun di birokrasi belum pernah merasakan adanya perbedaan perlakuan terhadap rekan-rekan WNI yang non pribumi. Hal ini tentu disebabkan karena adanya pembauran yang betul-betul membaur karena ini sangat penting saya rasakan. Mungkin karena faktor sosial lingkungan masyarakat di Bali barangkali memberikan kesempatan untuk itu. Tentu berbeda dengan beberapa daerah yang Iingkungannya barangkali perlu banyak dikejar oleh kepentingan ekonomi, dimana kepentingan sosialnya itu nomor 2 (dua). Ini perlu kita juga kembali memikirkan bahwa apakah faktor sosial ini juga dari Bapak-bapak atau katakan dari WNI turunan ini perlu bersosialisasi, beradaptasi dari Iingkungan ini juga saya rasakan penting..

Kedua, kita merasakan bahwa teman-teman itu tidak kesulitan, mau dia ke Australia, ke Amerika tidak ada kesulitan dari segi kewarganegaraan. Tentu dalam hal ini karena mereka juga merasa bahasanya bahasa Bali sudah biasa, sehingga lingkungannya juga mengakui dan faktor Iingkungan itu saya rasakan sangat penting. Itu

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(17)

sebagai i1ustrasi saya. Kemudian mengenai materi daripada ini barangkali saya informasikan bahwa saya menyampaikan apresiasi terhadap Anggota yang menyampaikan RUU tersebut yang kemudian diangkat menjadi RUU DPR. Ini sungguh merupakan suatu tuntutan moril daripada Anggota DPR RI.

Banyak hal yang diperlukan dari lahirnya Rancangan Undang-Undang ini, yang akan mendukung RUU ini antara lain yaitu masalah kependudukan. Kita sekarang sedang membahas administrasi kependudukan, inikan terkait di sini. Kemudian RUU Pelayanan Publik, di sini akan nampak kepentingan masyarakat akan diperhatikan dan tidak adanya diskriminatif di dalam RUU tersebut, di dalam pelayanan publik itu ada tertuang di sana.

Bahkan telah juga ditetapkan ratifikasi terhadap Undang-Undang Internasional, kompenen internasional terutama tentang hak-hak sipil dan politik serta ekonomi sosial budaya, Ini tidak lain untuk menghindari terjadinya tindakan-tindakan diluar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tentunya itu yang kita harapkan sehingga tidak terjadinya pelanggaran atas Hak Asasi Manusia. Tentu apa yang Bapak dan rekan-rekan harapkan, kita juga mengharapkan agar masukan-masukan terhadap RUU ini betul-betul sesuai dengan kepentingan kita bersama Pemerintah dan masyarakatnya.

Barangkali itu yang dapat saya informasikan dan banyak lagi RUU yang nantinya akan terkait tentang satu dengan yang lainnya di dalam meningkatkan pelayanan publik, tidak terkecuali termasuk RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, saya rasa demikian.

Terima kasih. KETUA RAPAT : Terima kasih.

Kita lanjutkan dengan Ibu Elva.

F-PDIP (HJ. ELVA HARTATI MURMAN, S.IP, M.M) : Bapakllbu Anggota Pansus; serta

Bapakllbu Narasumber yang saya hormati.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya ingin memberikan masukan kepada Pimpinan dan Aliansi Pelangi Antar Bangsa mengenai diskriminasi tentang perkawinan antar bangsa. Saya juga menyetujui, sepertilbu Tyas agar kita mengundang pihak imigrasi. Oleh sebab itu, saya juga mengusulkan kalau bisa kita mengundang pihak Kantor Catatan Sipil beserta Kantor Urusan Agama karena ini menyangkut perkawinan antar bangsa supaya guna di RUU ini agar menjadi Undang-Undang. seperti contohnya sebelum perkawinan Ibu-ibu yang mungkin menikah dengan antar bangsa harus mendapatkan surat perjanjian perkawinan.

Kalau kita mengundang pihak-pihak yang berwenang untuk masalah pernikahan. Jadi sebelum pernikahan Ibu-ibu yang akan menikah antar bangsa itu sudah tahu sebelum terjadinya pernikahan. Itu saja Pimpinan, masukan dari saya. Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(18)

KETUA RAPAT : Terima kasih.

Masih ada dari F-PDIP, saya persilahkan.

F-PDIP (Dr. DRS. H. MOCH. HASIB WAHAB) : Terima kasih.

Pimpinan dan para Anggota Pansus; serta Para narasumber yang saya hormati.

Mungkin karena kami datang tidak mengikuti narasumber tetapi pada prinsipnya memahami bahwa sesunguhnya Pansus kita ini adalah kalau kita baca di dalam RUU itu ada dua hal tujuan dan maksudnya.

Pertama adalah kita hapus daripada diskriminasi ras dan etnis dengan satu landasan hukum atau Undang-Undang, ini yang pertama. Jadi kita bicara mengenai masalah penghapusan agar di dalam kehidupan dan masyarakat kita atau negara kita itu sudah tidak lagi membeda-bedakan antara ras dan suku. Adapun tadi apa yang dibicarakan mengenai masalah perkawinan campuran dan sebagainya itu memang terkait tetapi substansi Undang-Undang itu sendiri sudah ada yaitu Undang-Undang Perkawinan. Kemudian adalagi Undang-Undang, kalau Bapak Made tadi ada satu Pansus yang membahas masalah Administrasi Kependudukan dan kami juga di dalam Pansus Kewarganegaraan.

Jadi ini adalah terkait sekali karena di dalam Kewarganegaraan juga mengenai perkawinan campuran. Oleh karenanya rasa ini tetap berbicara pada substansi Undang-Undang kita sendiri yaitu RUU ini. Substansi daripada diskriminasi itu sendiri bahwa sekarang karena kita ini bersenjangan. Mengapa terjadi pelaksanaan di dalam perkawinan campuran sampai biaya Rp500 Juta dan sebagainya inikan diskriminatif ini. Ini pokok dasarnya adalah tidak ada Undang-Undang untuk penghapusan diskriminasi. Karena apa? kalau kita lihat pada tahun 1965 mulai ada satu deklarasi penghapusan internasional di PBB sejak sekarang baru kita bahas di negara kita.

Oleh karena itu, mohon kepada Bapak narasumber untuk memberikan masukan-masukan, syukur-syukur kalau masukan itu secara . tertulis karena untuk bahan kami, sehingga bagaimana kira-kira per-RUU ini masih ada tidak celah-celah diskriminasi. Kalau memang tidak ada atau ada usulan apa tetapikan berbicara masalah perkawinan campuran atau masalah hak tanah berbeda-beda dan sebagainya itu nanti berbicara di Undang-Undang lain. Di sini yang penting adalah penghapusan dari itu sendiri yaitu diskriminasi.

Harapan kedua daripada ini setelah ini menjadi Undang-Undang otomatis semua pelayanan, semua pelaksanaan daripada Undang-Undang ini sudah tidak adalagi diskriminasi. Suku Tionghoa, suku Arab diperlakukan sarna dihadapan hukum dan di negara kita. Bukan hanya sebagai tuntutan dari kelompok-kelompok Tionghoa atau etnis-etnis yang lain tetapi ini merupakan suatu timbal balik pula kepada kelompok-kelompok yang sukunya berbeda. Oleh karena itu sebagai satu contoh, ada sebuah perusahaan dimana di perusahaan tersebut seolah-olah ada diskriminasi atau mungkin betul-betul ada diskriminasi. Kalau di dalam tingkatan managerial itu harus orang Tionghoa, sedangkan ditingkatan lainnya bukan orang Tionghoa, itukan ada diskriminasi di perusahaan itu

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(19)

maka ini yang harus kita hapus. Sebaliknya kalau Orang Tionqhoa mengurus surat KPP atau kewarganegaraan dan juga tidak diskriminatif.

Oi sinilah nanti substansi daripada RUU ini menghapus itu semuanya, sehingga betul-betul yang menjadi warganegara itu keturunan Tionghoa, Arab dan lain sebagainya itu tetap yaitu nasionalisme bangsa Indonesia tidak ada pembeda-pembedaannya. Saya hanya sekedar meluruskan bahwa pembahasan kita khusus bagaimana penghapusan ini bisa berlaku di Indonesia. Saya rasa demikian dan saya harapkan untuk tertulis dari narasumber agar bisa menjadi dokumen negara.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT : Terima kasih.

Masih ada lagi dari Bapak-bapak Anggota Pansus? 01 sini juga hadir Bapak DRS. H. Bisri Romli, MM. dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Saya persilahkan.

Ibu dan Bapak sekalian,

Seperti yang banyak dikemukakan oleh para Anggota tadi agar masukan-masukan bisa dilengkapi secara tertulis dan mungkin al<an lebih baik kalua juga langsung mengomentari naskah RUU, sehingga lebih praktis. Artinya, yang mana saja yang dikehendaki untuk diperbaiki atau disempurnakan. Tetapi jika ada hal-hal yang ingin ditambahkan, saya juga ingin memberikan kesempatan, mungkin secara singkat bisa ditambahkan respon terhadap pertanyaan dan saran dari Bapakllbu Anggota Pansus.

Saya mulai dari Bapak dari Paguyuban Yundhing. YUNDHING (TJIPTADIHARDJA SLAMET) :

Bapak Pimpinan dan Anggota Pansus yang saya hormati,

Dari Paguyuban Yundhing hanya akan mengemukakan bahwa surat-surat yang saya kemukakan tadi, kecuali dari SBKRI itu, juga dalam hal pengurusan surat lahir, surat kematian, surat nikah dan lain-lain yang menyangkut kecatatan sipil, entah apakah pejabat-pejabat setempat menganggap bahwa Tionghoa lebih banyak uang, sehingga biaya yang dikenakan itu tentu tarif yang tidak resmi.

Ada perbedaan, bahkan perbedaannya jauh sekali. Cucu saya baru melahirkan. Saya tanyakan kepada menantu saya," Berapa biaya untuk mengurus surat lahir ?" Lalu dia katakan bahwa biayanya hampir Rp 300 ribu. Sedangkan saya mendapat informasi dari Pemerintah bahwa untuk mengurus surat lahir seharusnya bebas biaya. Lalu kenapa menjadi Rp 300 ribu? Lalu siapa sebenarnya yang mengantongi uang Rp 300 ribu ini, apakah oknum dari Catatan Sipil atau oknum yang menjadi perantara? Memangkita akui bahwa di masyarakat kita ini banyak calo-calo, Kita belum tentu bisa menyalahkan bahwa pasti orang Catatan Sipil yang mengantongi Rp 300 ribu itu. Mungkin juga calonya.

Mungkin juga calonya Rp 200 ribu, sedangkan orang Catatan Sipilnya hanya Rp 100 ribu. Saya rasa bukan orang Tionghoa saja, mungkin orang Indonesia juga di atas Rp 100 ribu juga. Karena saya

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(20)

sendiri pernah menjadi RW, pernah menjadi Dewan Kelurahan, sehingga saya tahu benar semua itu. Jadi kita tidak bisa menutup mata bahwa itu bohong. Itu rnemanq kenyataan bahwa kalau mengurus surat, mereka akan melihat yang datang itu siapa dan tarifnya berapa. Kalau yang datang itu si A mungkin tarifnya Rp 300 ribu, kalau yang datang si B mungkin tarifnya Rp 200 ribu, kalau yang datang sl C mungkin tarifnya Rp 100 ribu. Mudah-mudahan dengan adanya Undang-Undang pelayanan yang tadi dikatakan nanti akan ada pelayanan publik, publik itu adalah untuk seluruh warga negara, tidak ada yang namanya keturunan Arab yang beragama Islam, keturunan Tionghoa yang beragama Budha atau Kristen. Sekarang ini banyak juga orang Tionghoa yang beragama Islam.

Soal tanah, orang Tionghoa juga punya tanah, mungkin lebih banyak daripada orang Indonesia. Karena mereka banyak uang. Lain kalau orang seperti saya yang tidak ada uang, tidak bisa membeli tanah banyak-banyak. Kalau yang banyak uang bisa membeli tanah yang banyak. Oleh karena itu, sebenarnya tanah tidak bisa menjadi patokan. Sebenarnya yang menjadi patokan adalah dalam pelayanan publik itu, apakah ada diskriminasi atau tidak. Saya menyampaikan ini karena mungkin diskriminasi ini sampai generasi anak saya saja, jangan sampai mengenai cucu saya.

Terima kasih. KETUA RAPAT : Terima kasih. Silahkan.

INTERUPSI F-PKS (H. ABDUL AZIZ ARBI, Lc) :

Kemarin di Yogya dikatakan bahwa di Yogya keturunan Tionghoa tidak dibenarkan membeli tanah.

KETUA RAPAT :

Kita lanjutkan dengan Aliansi Pelangi Antar Bangsa. A.P.A.B. (DEWI) :

Terima kasih.

Saya agak senang juga karena ternyata masukan dari APAB mendapat tanggapan yang lumayan bagus. Misalnya Pak Hasib meminta kepada forum di sini untuk lebih menekankan ke arah diskriminasi. Kami ingin mengingatkan sekali lagi bahwa dlskrirnlnlasl yang kami alami di perkawinan campuran ini pada awalnya adalah karena diskriminasi gender. Oleh karena itu, tadi ketika Pak Hasib belum hadir, yang kita harapkan adalah Undang-Undang atau RUU ini akan menjadi payung bagi seluruh diskriminasi secara umum. Walaupun negara Indonesia atau Republik Indonesia sudah meratifikasi CEDAW, sarna seperti meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, diskriminasi gender masih terus berlangsung.

Untuk menjawab Pak Hasib tadi, kita juga mengharapkan bahwa semua sumber permasalahan yang kami alami itu pada awalnya adalah karena diskriminasi gender, dimana karena diskriminasi gender itulah perempuan Indonesia tidak bisa memberikan kewarganegaraan kepada anak yang dilahirkan. Jadi kalau anak saya menikah dengan WNA, maka otomatis tidak ada pilihan, langsung rnenjadl warga negara asing.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(21)

Tadi ada salah satu Ibu yang bertanya," Apakah ada anggota.kami yang laki-Iaki Indonesia? " Karena ini adalah perkumpulan ibu-ibu, tetapi ada ibu-ibu warga negara asing yang menikah dengan laki-Iaki WNI. Mereka melahirkan anak WNI. Tetapi mereka tidak mempunyai hak apapun juga, padahal mereka membesarkan anak-anak WNI. Kalau saya lihat, hubungannya itu sangat jelas bahwa pada .awalnya adalah diskriminasi itu, tetapi diskriminasinya adalah diskriminasigender yang tidak ditampung dalam RUU ini.

Sekarang saya ingin sekedar menjawab pertanyaan dari Pak Soekarno dari Fraksi Partai Demokrat. Tadi Bapak menanyakan misalnya mungkin lubangnya adalah di Undnag-Undang Perkawinan. Kembali saya tekankan bahwa di Undang-Undang Perkawinan itu payungnya adalah Undang-Undang Kewarganegaraan. Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut sangat diskriminatif terhadap gender. Jadi lubangnya di sana. Jadi Undang-Undang Perkawinan juga mengikuti. Jadi kami berharap bahwa Undang-Undang Anti Diskriminasi ini juga memayungi diskriminasi gender.

Kemudian tadi Pak Fahmi juga sama. Kita akan berterima kasih kalau misalnya kita bisa lebih kooperatif. Nanti kami akan catat e-mailnya.

Untuk Ibu Truly, kami semua masih WNI. Kalau dikatakan nasionalis atau apapun, kita bertahan sebagai WNI dengan segala resiko. Kita katakan bahwa kalau misalnya dilihat dari sisi ekonomi, kalau kita tidak membuat surat perjanjian perkawinan, bahkan orang yang jauh lebih muda dari saya pun yang misalnya ingin menikah dengan WNA, mereka tidak mendapatkan informasi bahwa kalau ingin menikah dengan WNA harus membuat perjanjian nikah. Karena kalau tidak, dia akan kehilangan hak untuk memiliki tanah misalnya. Itu dari sisi ekonomi.

Kalau perempuan itu tidak bisa memberikan sponsorship kepada suami untuk tinggal di Indonesia. Kalau suami kehilangan pekerjaan, maka dia out. Saya bisa mensponsori anak saya untuk tinggal seperti yang saat ini saya lakukan, itu sampai dia mencapai usia 18 tahun. Ketika usia 18 tahun, anak itu harus pergi atau dia harus meminta menjadi WNI. Misalnya ketika suami saya kehilangan pekerjaan, saya ingin tetap bersama-sama suami saya dan saya mempunyai karier di sini, maka saya harus tinggalkan. Karena apa? Walaupun misalnya saya sanggup menghidupi suami saya untuk tinggal di Indonesia, saya tidak mempunyai hak. Itu adalah suatu diskriminasi.

Untuk menjaga keutuhan keluarga saja perempuans.donesla tidak bisa. Kalau dia tidak mempunyai pekerjaan, dia tidak bisa memakai kita, sponsor perusahaan. Saya mensponsori anak saya untuk tinggal di Indonesia. Setiap tahun saya mengeluarkan uang tidak kurang dari Rp 3 juta - Rp 4 juta setiap anak untuk 14 surat. Itu anak kandung saya. Kembali lagi, itu diskriminasi gender. Misalnya ada kasus pelecehan seksual, karena stigma suami saya yang WNA, maka saya harus membayar sebesar itu.

Karena saya lelah melihat mata orang yang mengira bahwa karena suaminya bule lalu dianggap banyak uang. Bahwa suami saya tidak bekerja, siapa yang peduli. Tetapi saya WNI dan saya ingin mempertahankan itu. Jadi kita masih WNI. Tetapi ada pula ibu-ibu WNA (sebetulnya ada salah seorang yang ingin hadir, tetapi mungkin terkena macet) yang meniadi anggota dan bahkan koordinator. Salah satu koordinatornya juga orang asing yang menikah dengan orang Bali. Bagi

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(22)

mereka itu diskriminatif sekali. Kalau dalam waktu 1 (satu) tahun dia tidak mengganti kewarganegaraannya, maka akan hilang.

Kalau dia ingin menjadi WNI, maka dia harus melalui proses pewarganegaraan seperti biasa, yaitu harus selama 15 tahun tinggal di Indonesia dan seterusnya. Kalau saya ingin memberikan kewarganegaraan Indonesia kepada suami saya, itu tidak bisa. Dia harus memenuhi persyaratan sebagaimana warga negara asing yang ingin memperoleh naturalisasi. Jadi tidak ada keistimewaan karena ikatan perkawinan.

Lalu untuk Ibu Tyas, tadi Ibu katakan bahwa kalau yang Rp 500 juta itu untuk melindungi perempuan. Saya agak sedih mendengarnya. Stigma bahwa menikah dengan orang asing itu seolah-olah kita pasti mendapat orang kaya. Stigma ekonomi seperti itu yang saya pikir sangat diskriminatif. Coba Ibu bayangkan bahwa kami mempunyai banyak kasus, misalnya TKI di Malaysia, Hongkong. Mungkin Ibu Nur juga banyak tahu bahwa TKI di sana itu ketemunya dengan tenaga kerja asing juga tetapi yang dari Filipina, tenaga kerja yang di kelas bawah juga.

Mereka ingin menikah. Tetapi ketika mendengar isu Rp 500 juta, siapa yang mempunyai uang Rp 500 juta? Siapa yang mau menikah lalu punya uang Rp 500 juta? Lalu kita juga tidak tahu prosesnya seperti apa. Tetapi bagi saya sekecil apapun atau sebesar apapun uang itu, itu sama saja dengan komoditas. Apalagi negara mau mengatur. Kalau perempuan asing ingin menikah dengan laki-Iaki Indonesia, apakah laki-Iaki Indonesia mau membayar Rp 500 juta? Yang penting adalah itu dilindungi dengan Undang-Undang yang betul, bahwa ketika kita berada di Indonesia atau di luar Indonesia, Undang-Undang tersebut melindungi kita.

Misalnya TKI di luar Indonesia atau perempuan Indonesia yang meninggal dengan WNA lalu tinggal di luar dan negara suami memperbolehkan memperoleh kewarganegaraan setempat, tetapi karena Indonesia tidak menganut kewarganegaraan ganda, maka si istri tidak bisa memperoleh atau kalau dia ingin medapatkan kewarganegaraan dari pihak suami, maka dia harus melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Kalau kembali kepada Ibu Tyas, saya pikir yang harus dilindungi itu perempuan, tetapi adalah Undang-Undlang itu sendiri, bukan mengatur hubungan dengan membayar. Itu diskriminasi lagi, karena itu berarti perkawinan itu di luar cinta. Ketika kita menikah, itu karena cinta. Kalau saya ditanya 20 tahun yang lalu sebelum saya menikah mengenai problem ini, bahkan untuk mengurus anakpun saya harus meminta izin Menteri, mungkin saya akan berpikir berkali-kali.

INTERUPSI F-KB (DRS. H. BISRI ROMLI, MM) : Sebentar, boleh memotong?

Sebetulnya kami dari Pansus ini ingin ada kejelasan dart Ibu. Satu contoh kecil, bahwa suami Ibu adalah orang Australia. Sebetulnya yang menjadi diskriminasi itu apa? Tadi dikatakan bahwa anak Ibu ikut kewarganegaraan Bapak karena gender. Saya pikir substansinya bukan gender, tetapi itu memangaturan dan semua negara memang seperti itu. Hanya saja saya menginginkan ketegasan Ibu, sebetulnya Rancangan Undang-Undang yang bisa membantu bahwa ini tidak diskriminasi itu apa? Apakah si anak itu boleh ikut Ibu atau Bapak atau jelasnya ingin ikut Ibu? Jadi kita mudah dan itu tertulis. Saya berikan contoh, misalnya Ibu ikut mendapat warga negara Italia. Tetapi Bapak tidak mau di Indonesia, di

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(23)

Indonesia me/arat dan tidak ada jaminan, lebih baik di sana. Nanti akan muncul diskriminasi lagi. Tolong dari paguyuban itu yang jelas. Itu yang pertama.

Kedua, hal-hal yang berkaitan seperti anak Bapak dari Tionghoa, yang kemudian terkena di Catatan Sipil sebesar Rp 300 ribu, saya pikir itu tidak bisa dikatakan diskriminasi. Mungkin saya pun bisa Rp 300 ribu juga karena kasihan, kecuali memang ada aturan yang jelas. Barangkali anak Bapak termasuk orang yang paling suka memberi orang. Ini tidak bisa dibuatkan Undang-Undang, kecuali jelas bahwa anak Tionghoa itu harus terkena sekian. Kita tidak menutup mata, memang ada cukup perbedaan yang berarti. Mungkin kalau saya home industry kecil, itu memang satu rumah, memakai gudang, memakai home industry, karena tidak mungkin dipisah-pisah. Tetapi di perkotaan, bagii Tionghoa yang cukup memang harus jelas yang mana gudang. Ini memang ada, ini memang bukan diskriminasi, ini memang keadaan terpaksa yang memang harus dilindungi. Barangkali hanya kejelasan dari Bapak-bapak, mohon semacam satu kesimpulan yang kira-kiira dalam rancangan ini mampu membawa keringanan Bapak-bapak ini, jadi jelas apakah seorang istri Warga Negara Indonesia yang mendapatkan suami sana itu sebaiknya bisa memilih atau tetap ikut Bapak atau ikut Ibu.

Barangkali itu saja. Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Saya persilahkan kalau ada yang ingin dilanjutkan tetapi sebenarnya yang ingin kita harapkan itu benar-benar pointers, gagasan. Kalau bisa disampaikan secara tertulis.

Silahkan kalau masih ada yang ditambahkan. A.P.A.B. (YULI):

Terima kasih pak.

Jadi begini pak, dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa sebenarnya kita sebagai organisasi yang memasukan Undang Hulu yaitu Undang-undang Kewarganegaraan. Masalah kami ini akan selesai yaitu masalah Undang-undang Imigrasi, Undang-undang Tenaga Kerja, Undang..undang Kepolisian, Undang-undang Kependudukan terus Undang-undang Pertanahan, itu akan selesai pak apabila tujuan kami mohon dalarn Undang-undang Kewarganegaraan dibolehkannya anak kami menjadi anak yang mempunyai kewarganegaraan ganda. Baik warga negara dari Ibu maupun dari Ayah. Ini sudah kami sampaikan kepada Pansus.

Saya kira Pak Hasib dan Pak Murdaya sudah pernah kita bicara Pansus hal ini. Itu akan habis, tidak ada lagi kita, maaf masuk di Undang-undang Perkawinan, di Kepolisian. Karena seperti Dewi sampaikan tadi, untuk mengasuh anak kita harus ijin semua itu kecuali bila diperbolehkan anak kami adalah mempunyai warga negara ganda.

Terima kasih pak.

KETUA RAPAT:

Saya kira titik simpulnya sebenarnya sudah kita termukan. Jadi sebelum dari Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi, mungkin Pak Busyiri ingin menyampaikan.

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

(24)

WAKIL KETUA (DRS. MUFID A. BUSYIRI, M.Pd.): . Sebenarnya saya tadi mau menyampaikan atau mempertanyakan, apakah yang lebih banyak dibicarakan ini tidak rnasuk di dalam Undang-undang Kewarganegaraan. Sebenarnya akan saya sampaikan tapi ternyata sudah dijawab oleh undangan kita yaitu Ibu Yuli. Bahwa kalau Undang-undang Kewarganegaraan itu masuk, makanya saya kira apa yang disampaikan lebih pas di Pansus Undang-undang Kewarganegaraan. Bagaimana Undang-undang Kewarganegaraan juga mengandung makna atau isi yang tidak diskriminatif. Saya kira harusnya begitu, pikiran saya begitu.

Terima kasih.

INTERUPSI F-PKB (NURSYAHBANI KATJASUNGKANA, S.H.): Saya kira pengalaman-pengalaman berharga dari ibu-ibu ini, intinya mengajarkan kepada kita semua bahwa diskriminasi itu tidak terkotak ras, etnis, agama. Tidak, tapi itu ada interfeksionaliti-nya, saling berhubungan. Tergantung bagaimana kita melihatnya, diskriminasi karena perkawinan dengan orang asing, apakah itu India, China, ataupun Nepal, Srilanka dan sebagainya, kan juga bisa diskriminasi ras karena perlakuan-perlakuan yang diskriminatif, tadi sudah diceritakan. Itu interfeksion, tidak bisa "oh ini hanya agama".

Agama juga berhubungan dengan etnis. Jadi bisa juga dalam satu bentuk diskriminasi itu dua. Apakah itu agama dan gender-nya atau etnis dengan agamanya, itu bisa. Jadi kita melihatnya itu interfeksionaliti-nya, tidak bisa kotaknya ini di sini. Saya kira kita bisa melihatnya dari sisi bagaimana itu interfeksion antara berbagai-bagai jenis diskriminasi. Itu saya kira yang bisa diangkat dari pengalaman dari Ibu-ibu dan Bapak-bapak semua.

Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

KETUA RAPAT: Terima kasih.

Kita lanjutkan dulu sampai selesai dari Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi.

G.A.N.D.I. (WAHYU EFFENDI):

Sambi! berseloroh pak, itu yang 500 juta sempat bicara dengan beberapa diplomat, mereka berseloroh "kalau gitu saya ambil empat".

Tadi soal penghapusan dan kata "penghapusan" dan "anti". Memang mungkin dari konfensinya memang elimination. Itu memang "penghapusan", berarti ada sebelumnya ada terjadi diskriminasi. Saya kira latar belakang konfensi soal itu, terjadi diskriminasi di berapa negara hinga lahirnya konfensi itukan pak. Dulunya sebenarnya saya tahu bahwa ini waktu digagas pertama kali memakai kata "anti diskriminasi" pak, kalau tidak salah dapat masukan karena "anti" ini bersifat ada konotasi negative. Jadi kemudian diganti "penghapusan". Saya kira itu.

Apakah ini akan strike mengikuti konfensi, saya kira ini tergantung

political will pak. Jadi bagaimana ini dibangun, saya kira memang kalau substansinya seperti ini DPR mempunya PR yang banyak, harus membuat undang-undang yang lain lagi atau mungkin pilihannya membangun suatu

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(25)

yang komprehensif atau misalnya diskriminasi dalam pekerjaan atau aturan Australia yang dipakai. Itu diatur lengkap pak. .

Jadi bidang-bidang apa saja yang tercakup dalam undang-undang ini diatur juga. Di dalam pekerjaan, pendidikan dan sebagainya. Kalau itu yang ingin dicapai DPR akan mempunyai tugas-tugas yang lebih banyak lagi untuk membangun undang-undang yang sejenis lagi untuk bidang yang lain. Saya kira itu.

Tadi mungkin soal manajemen kemajemukan, saya belum membuat secara lengkap pak. Ini nanti kita akan coba masuk, mungkin akan masuk ke DIM untuk kita sampaikan kepada Pansus. Memang untuk yang masyarakat adat sebelum konvensi pak, mungkin pada tahun 2001 Indonesia ikut ada suatu yang namanya konvensi again racism racial discrimination senotobia dan related intra lance. Jadi sebenarnya konvensi ini menyangkut banyak hal, maksudnya di sini yang related intro lance yang banyak sebetulnya. Ini memang kita explore di dalam konteks negara itu, bahkan termasuk gender.

Dalam satu hal yang mungkin sangat menjadi fokus sebenarnya adalah soal masyarakat adat pak, indigenous people. Sebenarnya dalam konteks konvensi sangat ditekankan soal indigenous people. Tadi disebutkan soal Badui dan sebagainya, itu benar. Mungkin memang harus juga bisa masuk itu perlindungan kepada kelompok-kelompok masyarakat adat yang terbagi.

Kalau kita lihat ada beberapa kasus misalnya soal Dayak dan sebagainya, konflik Dayak dan Madura juga banyak karena disebabkan peminggiran yang dilakukan oleh Pemda kepada kelompok Dayak ini. Akses kepada pegawal negeri ini susah. Ketika ada suatu kasus yang kemudian ada orang Madura, perasaan terpendam ini sarna-sarna korban yang sebenarnya disebabkan oleh kebijakan publik, bukan siapa yang salah. Mereka ini sebenarnya korban yang disebabkan oleh kebijakan publik. Saya kira itu esensi dari RUU ini. Tadi menarik dari Ibu Nursyahbani. Saya kira sebenarnya bukan RUUnya tetapi jiwa. Yang terpenting dari RUU ini adalah jiwa, spirit penghapusan diskriminasi harus tercermin juga di undang-undang yang lain. Juga kemudian menjiwai. Saya kira itu yang penting.

RUU KUHP pun juga mengatur pasal-pasal mengenai rasisme. Itu untuk kasus-kasus yang person to person yang saya pernah lihat itu dimasukkan dalam RUU KUHP. Bagaimana titik temunya disini dengan RUU yang harus disinkronkan. Kalau disini mungkin memang untuk RUU ini penekanannya sangat kepada negara sebagai pelindung warga negara, menjamin hak-hak supaya tidak terjadi diskriminasi. Saya kira lebih banyak terjadi disitu. Saya kira itu kurang lebih.

Tadi disinggung soal adminstrasi kependudukan. Saya kira itu juga nanti sebenarnya RUU ini juga menjadi agenda penghapusan diskriminasi secara keseluruhan. Waktu kasus pengambilan sidik jari, waktu itu beberapa ternan mengajukan gugatan tapi kebentur lagi. Mungkin ada kekosongan hukum untuk bisa menjangkau itu. Ini menyatakan kita posisinya bisa terjadi kepada siapa saja pak, tidak hanya minoritas tapi juga bisa mayoritas, dan protek transis negara demokrasi ini sebenarnya sangat bergantung pada subyektifitas kekuasaan pak. Sangat bergantung kepada relatifitas obyektifitas kekuasaan belum lagi kemudian politik global. RUU ini harus membatasi subyektifitas itu apalagi konteks

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

(26)

kepada hubungan kelompok antar masyarakat. Saya kira itu yang mungkin ingin saya sampaikan.

Terima kasih.

F-PDIP (Hj. ELVA HARTATI MURMAN, S.lP.,M.M.): Sebentar pimpinan.

Saya akan menanyakan sedikit tentang perkawinan beda agama itu pimpinan, di Indonesia kalau beda agama mau nikah harus keluar negeri. Apakah bisa kita masukan di Rancangan Undang-undang ini, karena itu juga termasuk diskriminasi antar agama.

Terima kasih. KETUA RAPAT: Silahkan pak.

WAKIL KETUA (DRS. MUFID A. BUSYIRI, M.Pd.):

Saya hanya bertanya, menurut anda undang-undang ini selayaknya judulnya apa anti diskriminasi saja? Karena tadikan kalau disebut ras sajakan mempersempit, padahal maunya keseluruhannya. Gimana alasan-alasannya?

G.A.N.D.I. (WAHYU EFFENDI):

Konvensikan hanya memberikan suatu peraturan minimal pak. Negara bisa rekomendasikan yang maksimal. Bisa memberikan yang maksimal untuk itu. Saya kira kalau misalnya mengikuti konvensi, saya kira RUU itu cukup sudah hampir bilang 89% sudah masukan itu. Hanya dalam konteks negara Indonesia ini. Kalau memang tidak mau repot mungkin kita bisa membangun suatu struktur hukum yang baik ke depan, memang membangun suatu ya Undang-undang Anti Diskriminasi dan kalau perlu dengan melihat konteks Komnas HAM yang dengan kasus ini sejak over load, saya kira tidak ada salahnya juga dibikin suatu Komite Nasional Penghapusan Diskriminasi.

Mungkin kalau kita lihat dari tahun ke tahun potensi terjadinya diskriminasi itu makin besar. Kita tidak pernah menyangka kalau dalam konteks terorisme itu kemudian bisa melahirkan pengertian berapa tindak diskriminasi di dalam masyarakat.

Terima kasih.

F-PD (F.X. SOEKARNO, S.H.):

Saya tertarik akan pemikiran adanya Komite Penghapusan Diskriminasi. Mungkin nanti dirincikan tertulis sehingga itu ada kaitannya dengan ini atau pembicaraan yang lain itu bisa mendapat masukan yang komprehensif.

Terima kasih. KETUA RAPAT:

Bapak dan Ibu sekalian,

Ini juga bertambah lagi Anggota Pansus Bapak Nusron Wahid.

Bapak dan Ibu sekalian juga Bapak Mukhtaruddin, kita hampir sampai pada penghujung acara ini. Saya ingin coba rnenarik beberapa kesimpulan. Jadi pertemuan kita ini menyadarkan bahwa Rancangan Undang-Undang yang sedang kita bicarakan ini adalah Rancangan

ARSIP

DAN

MUSEUM

DPR

RI

Referensi

Dokumen terkait

membantu Penanggung Jawab Program dalam menyelenggarakan komunikasi internal BAPETEN, menyusun rancangan dokumen yang diperlukan dalam penyelenggaraan Program Kerja

Pimpinan Panitia Khusus Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang Perpajakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dipilih oleh dan dari Anggota

Jumlah Waran Yang Ditawarkan Sebanyak-banyaknya sebesar 402.781.000 lembar Waran Seri I (32,22% dari Jumlah Modal Ditempatkan dan Disetor Perseroan pada saat

UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN

Terus ketika misalnya program yang Festival itu mbak kan kita di Tlatah Bocah punya banyak program yang tergabung komunitas dusun itu, sekitar 10-an dusun, ya itu

Fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang didaerah pedesaan menyebabkan sebagian besar masyarakat masih sulit mendapatkan atau memperoleh pengobatan, selain itu hal

Penelitian ini bertujuan mengetahui posisi relatif kabupaten Jember sebagai penghasil beberapa jenis sayuran khususnya kacang panjang; cabe merah; kubis dan bawang