UJI KEAMANAN TEH GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk) MELALUI UJI TERATOGENIK PADA TIKUS WISTAR
(Rattus norvegicus)
SKRIPSI
FARID ALI 141201046
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UJI KEAMANAN TEH GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk) MELALUI UJI TERATOGENIK PADA TIKUS WISTAR
(Rattus norvegicus)
SKRIPSI
OLEH:
FARID ALI 141201046
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
UJI KEAMANAN TEH GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk) MELALUI UJI TERATOGENIK PADA TIKUS WISTAR
(Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Oleh : FARID ALI
141201046
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
FARID ALI.”Uji Keamanan Teh Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) Melalui Uji Teratogenik Pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus)”. Dibimbing
oleh
RIDWANTI BATUBARA dan SURJANTO
.
Daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) dapat dimanfaatkan sebagai minuman seduhan (teh). Budidaya gaharu yang dilakukan secara inokulasi (diinduksi) membutuhkan data tentang keamanannya untuk kemudian dapat dikonsumsi dikalangan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan efek teratogenik dari teh gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) meliputi abnormalitas fetus bagian luar, jaringan lunak dan kerangka fetus dalam pemberian sediaan uji selama pembentukan organ. Metode yang digunakan mengacu pada metode nonklinik secara in vivo untuk uji teratogenik. Pada pengujian ini menggunakan 5 dosis uji (kontrol, 90 mg/kg bb, 180 mg/kg bb, 270 mg/kg bb dan 360 mg/kg bb) dengan menggunakan 25 ekor tikus. Hasil pengamatan uji teratogenik menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian seduhan teh gaharu terhadap fetus meliputi berat badan induk selama masa kehamilan, berat badan fetus, panjang fetus dan jaringan lunak, tetapi pada kerangka fetus ada pewarnaan tulang yang tidak lengkap pada tulang dada dosis 270 mg/kg bb dan tulang jari depan dosis 360 mg/kg bb hal ini karena tulang-tulang penyusun masih bersifat lunak dan tidak terbentuk sempurna sehingga penetrasi warna larutan alizarin tidak menembus tulang.
Kata kunci: teh gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk), teratogenik, fetus, dosis.
ABSTRACT
FARID ALI
.”
The Safety Test of Agarwood leaf (Aquilaria malaccensis Lamk) Through Teratogenic Test in Wistar (Rattus norvegicus)”. Supervised by RIDWANTI BATUBARA and SURJANTO.Agarwood leaf (Aquilaria malaccensis Lamk) can be patentrally utilized as a brewed beverage (tea). The inoculation (induction) Agarwood tree from the cultivation requires data about its safety to be consumption by finding the teratogenic effect of agarwood leaf (Aquilaria malaccensis Lamk) add purpose of test including fetal abnormalities, soft tissue and fetal skeleton in the provision of test preparations during organ formation by using nonclinic in vivo method. This test used 5 dose ( control, 90 mg/kg bw, 180 mg/kg bw, 270 mg/kg bw and 360 mg/kg bw) within 25 rats. The teratogenic test showed no effect on fetus and soft tissues because of agarwood leaf tea infusion, but in the fetal skeleton there with incomplete bone staining in fetal skeleton in the sternum on dose 270 mg/kg bw and front finger bone dose of 360 mg/kg bw this is because the constituent bones are still soft and not fully formed so that the penetration of community solution color. The purpose of this research was for alizarin not to penetrate the bone.
Keyword: gaharu tea (Aquilaria malaccensis Lamk), teratogenic, fetus, dose.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang Sidempuan, 12 Nopember 1995 dari Ayah Herman Harahap dan Ibu Durriah Kholilah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara
Tahun 2008 penulis lulus dari SD N 158309 Pandan. Tahun 2011 penulis lulus dari SMP SW AL-Muslimin Pandan. Tahun 2014 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tukka, pada tahun yang sama, penulis diterima di USU melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa seperti BKM Baytul Asyjaar sebagai Badan Pengurus Harian dan menjabat sebagai Ketua Divisi Lembaga Mentoring Agama Islam (LMAI) periode 2016/2017, Rain Forest Community sebagai Anggota, KAMMI Nusantara sebagai Kaderisasi, LSM Petai (Pesona Alam Tropis Indonesia) sebagai Relawan dan WRI (Wahana Riset Indonesia) sebagai Fasilitator. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2016 di Desa Nagalawan, Serdang Bedagai. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT.Mardhika Insan Mulia Desa Tubaan Kec.Tabalar Kab.Berau, Kalimantan Timur pada bulan Januari sampai Februari 2018.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Keamanan Teh Gaharu (A.malaccensis Lamk) Melalui Uji Teratogenik Pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tulus kepada Ayahanda Herman Harahap, Ibunda Durriah Kholilah, kakak dan adik-adik atas doa, nasehat, motivasi, semangat yang tak henti-hentinya moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut.,MP., dan Bapak Drs.Surjanto, M.Si.,Apt., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan serta kesabaran yang luar biasa dalam proses penyusunan skripsi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara dan Bapak Arif Nuryawan, S.Hut., M.Si., Ph.D., selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan dan Ibu Dr. Iwan Risnasari, S.Hut.,
M.Si., selaku Sekretaris Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak Tiwi, rekan Tim penelitian dan rekan mahasiswa/i Fakultas Kehutanan USU Jody Agustiantoro, Fitri Bestari, Dedi Rangkuti, Mhd.Hasnan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya yang turut memberikan kontribusi yang tidak ternilai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... viiii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Pohon Gaharu ... 4
Uji Teratogenisitas ... 5
Tikus (Rattus norvegicus) ... 6
Gambaran Fisiologis ... 7
Pertumbuhan Embrio Kerangka Fetus dan Abnormalitas... 9
Periode Pertumbuhan Embrio ... 10
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 11
Bahan dan Alat ... 11
Prosedur Penelitian ... 11
Pengambilan Sampel ... 11
Pembuatan Teh ... 12
Hewan Uji ... 12
Jumlah Hewan Uji ... 13
Penyiapan Bahan Uji ... 13
Pemberian Sediaan Uji dan Dosis ... 14
Pelaksanaan Uji ... 15
Data ... 17
Evaluasi Hasil ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel Teh Gaharu ... 18
Penentuan Siklus Estrus ... 18
Penentuan Masa Kehamilan ... 20
Pengamatan Berat Badan Tikus ... 21
Pengamatan Fetus... 22
Pengamatan Berat Badan Fetus ... 23
Pengamatan Panjang Fetus ... 24
Jaringan Lunak ... 25
Kerangka Fetus ... 30
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 33
Saran... 33 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Data rata-rata berat badan induk tikus ... 22
2. Hasil pengamatan fetus ... 23
3. Hasil pengamatan berat badan fetus ... 24
4. Hasil pengamatan panjang fetus... 25
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Daun gaharu setelah dihaluskan ... 18
2. Siklus birahi tikus betina ... 19
3. Apusan vagina ... 20
4. Rata-rata berat badan induk tikus ... 22
5. Fetus direndam dalam larutan bouin ... 25
6. Pengamatan kelompok kontrol ... 27
7. Pengamatan dosis 90 mg/kg bb ... 27
8. Pengamatan dosis 180 mg/kg bb ... 28
9. Pengamatan dosis 270 mg/kg bb ... 28
10. Pengamatan dosis 360 mg/kg bb ... 29
11. Pengamatan kerangka fetus ... 30
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Suran izin pemakaian laboratorium ... 37
2. Surat izin etik penelitian menggunakan hewan ... 38
3. Surat bebas laboratoriun ... 39
4. Dokumentasi pohon gaharu di Langkat, Sumatera Utara ... 40
5. Dokumentasi persiapan pembuatan the ... 41
6. Bahan yang digunakan ... 42
7. Apusan vagina yang telah ditetesi larutan metilen blue 0,1% ... 43
8. Pembedahan induk tikus ... 44
9. Gambar fetus setiap dosis perlakuan ... 45
10. Perendaman fetus dalam larutan bouin dan alizarin ... 46
11. Perhitungan konversi dosis antar organisme ... 47
12. Hasil statistik berat badan induk tikus 0,05 (95%) ... 48
13. Hasil statistik berat badan fetus 0,05 (95%)... 49
14 Hasil statistik panjang fetus 0,05 (95%) ... 50
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentukk bahan baku yaitu kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai oleh masyarakat Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea, dan Jepang. Gubal gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian, penghilang rasa sakit, asma, reumatik, tonik saat hamil setelah melahirkan. Gubal gaharu juga dapat dimanfaatkan sebagai pelengkap dalam berbagai acara ritual keagamaan pada masyarakat khususnya di kawasan Asia dan Timur Tengah dalam bentuk dupa, hio, atau kemenyan (Andaria, 2015).
Berubahnya pola hidup masyarakat serta pola makan yang tidak benar dan pertambahan usia mengakibatkan pembentukan radikal bebas dalam tubuh.
Padatnya aktivitas kerja cenderung menyebabkan masyarakat mengkonsumsi makanan yang serba instan dan menerapkan pola makan yang tidak sehat.
Makanan yang tidak sehat akan menyebabkan akumulasi jangka panjang terhadap radikal bebas di dalam tubuh. Lingkungan tercemar, kesalahan pola makan dan gaya hidup, mampu merangsang tumbuhnya radikal bebas (free radical) yang dapat merusak tubuh (Batubara, dkk 2016).
Berdasarkan penelitian Silaban (2013) yang menyatakan bahwa peredaman radikal bebas oleh ekstrak etanol daun gaharu segar dan ekstrak etanol simplisia menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi akan meningkatkan nilai aktivitas peredaman radikal bebas. Hasil pengujian aktivitas antioksidan
menunjukkan ekstrak etanol daun gaharu dan simplisia meilimki aktivitas antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, akibatnya kerusakan pada sel dapat dihambat. Antioksidan berfungsi menetralisasi radikal bebas, sehingga atom dan elektron yang tidak berpasangan sehingga mendapatkan pasangan elektron dan kemudian menjadi stabil. Keberadaan antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit degeneratif dan kanker ( Batubara, dkk 2016).
Daun gaharu berpotensi untuk diolah menjadi minuman teh mengingat pohon gaharu dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dan mulai populer juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat petani budidaya gaharu di Bohorok, Kabupaten Langkat sebagai minuman yang diseduh. Pemanfaatan daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) yang digunakan sebagai minuman yang di seduh dan aman dikonsumsi hal ini didukung dengan hasil uji penelitian keamanan teh gaharu dari pohon induksi terhadap toksik oral melalui uji pendahuluan selama 14 hari dilakukan pengamatan meliputi gejala klinis, kematian hewan, berat badan dan makropatologi tidak di temukan adanya gejala toksik dan kematian pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan dosis 130, 260, 390, 520 mg/kgbb. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode Thomson dan weil dengan menggunakan kelipatan dosis yang diberikan selama uji keamanan ( Batubara, dkk 2018).
2
Berdasarkan latar belakang hasil penelitian sebelumnya di atas penulis tertarik untuk melakukan uji keamanan teh gaharu melalui uji teratogenik pada tikus wistar dan salah satu informasi yang dibutuhkan adalah keamanan produk yang dibuat untuk manusia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui tentang keamanan produk teh gaharu secara non klinik. Daun gaharu yang digunakan adalah pohon gaharu yang telah dilakukan inokulasi (diinduksi) berupa memasukkan cendawan Fusarium spp yang berupa kuman penyebab penyakit pada setiap lubang batang pohon gaharu yang telah dilubangi, untuk melengkapi pengujian keamanan teh gaharu tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan efek teratogenik dari teh gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) meliputi abnormalitas fetus bagian luar, jaringan lunak dan kerangka fetus.
Hipotesis
Terdapat adanya efek teratogenik yang terkandung di dalam teh daun gaharu (A. malaccensis Lamk) yang berasal dari pohon induksi.
Manfaat Penelitian
1. Dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti bahwa teh gaharu yang diinduksi (A. malaccensis Lamk) bisa dikonsumsi oleh masyarakat.
2. Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian teratogenik.
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Pohon Gaharu
Gaharu adalah sejenis kayu dengan warna yang khas (coklat‐kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Badan Standarisasi Nasional 2011), Gaharu bukanlah nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu. Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeceae, dengan 8 genus terdiri dari 17 spesies pohon penghasil gaharu,
salah satunya dari genus Aquilaria dengan 6 jenis.
Taksonomi tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk) adalah: Kingdom:
Plantae (tumbuhan), Divisi: Spermatophyta (tumbuhan biji), Sub Divisi:
Angiospermae (tumbuhan biji tertutup), Kelas: Dikotil (berbiji belah dua) Sub Kelas: Dialypetalae (bebas daun bermahkota) Ordo: Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang), Famili: Thymelaeceae (akar berserabut jala), Genus:
Aquilaria Species: Aquilaria malaccensis Lamk (Tarigan, 2004).
Daerah sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu di Indonesia dijumpai di wilayah hutan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara. Secara ekologis berada pada ketinggian 0-2400 mdpl, pada daerah beriklim panas dengan suhu antara 28°-34°C, berkelembaban sekitar 80%
dan bercurah hujan antara 1000-2000 mm/th. Lahan tempat tumbuh pada berbagai variasi kondisi struktur dan tekstur tanah baik pada lahan subur, sedang hingga lahan marginal (Susetya, 2012).
Gaharu ini merupakan substansi aromatik (resin aromatik/berbau harum) yang termasuk dalam golongan sesquiterpen dan memiliki struktur kimia yang spesifik dan sampai saat ini belum bisa disintesis di laboratorium. Inti ini banyak
mengandung minyak atsiri sehingga banyak dipergunakan sebagai parfum, kosmetik, hio/dupa dan obat-obatan. Sebagai obat kanker maka erat hubungannya dalam antiradikal bebas dimana antiradikal bebas dapat mencegah terjadinya reaksi-reaksi radikal bebas alam maupun radikal bebas hasil metabolisme dalam tubuh dengan protein dapat dicegah, yang mana perubahan-perubahan protein atau perubahan DNA atau pembelahan sel akibat reaksi-reaksi oksidasi tidak bisa terjadi. Tanpa disadari dalam tubuh kita secara terus-menerus terbentuk radikal bebas melalui peristiwa metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan dan sinar ultraviolet dan asap rokok (Mega dan Swastini, 2010).
Uji Teratogenik
Uji teratogenik adalah istilah medis yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat monster, dalam istilah medis berarti perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio, biasanya diberikan pada periode organogenesis dengan alasan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling peka. Hal ini disebabkan bahwa pada periode organogenesis terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ dalam (Rahayu, 2005), suatu teratogen yang bekerja pada embrio tahap pra- implantasi (zigot, pembelahan, blastosist) atau tahap pra-organogenesis akan menyebabkan embrio itu mati atau tumbuh normal, tergantung tingkat dosis teratogen yang diberikan. Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan.
Kelainan ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir (Lu, 1994). Bentuk embriotoksik ini ditentukan oleh jenis senyawa, dosis, dan waktu penggunaannya selama kehamilan. Selain senyawa kimia, faktor lain
5
penyebab cacat adalah kekurangan gizi, radiasi kimia, infeksi virus, hipervitamin dan keturunan (Harbinson, 2001).
Tikus (Rattus norvegicus)
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif zoologi. Di bidang ilmu kedokteran, hewan percobaan juga sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang umum digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci, hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan Pramono 1989).
Taksonomi tikus adalah: Kingdom: Animalia Filum: Chordata Subfilum:
Vertebrata Kelas: Mamalia Subkelas: Theria Ordo: Rodensia Subordo: Odontoceti Famili: Muridae Subfamili: Murinae Genus: Rattus Spesies: Rattus norvegicus (Akbar, 2010)
Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme
6
perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois, 2005)
Tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah mamalia yang tergolong ovulator spontan. Pada golongan ini ovulasi terjadi pada pertengahan siklus estrus yang dipengaruhi oleh adanya lonjakan LH (Lutenizing hormone). Tikus termasuk hewan yang bersigfat poliestrus, memiliki siklus reproduksi yang sangat pendek.
Setiap siklus lamanya berkisar antara 4-5 hari. Ovulasi sendiri berlangsung 8-11 jam sesudah dimulainya tahap estrus. Folikel yang sudah kehilangan telur akibat ovulasi akan berubah menjadi korpus luteum (KL), yang akan menghasilkan progesteron bertanggung jawab dalam menyiapkan endometrium uterus agar reseptif terhadap implantasi embrio (Akbar, 2010).
Gambaran Fisiologis
Spesies yang sering dipakai sebagai hewan model pada penelitian mengenai mamalia adalah Rattus norvegicus. R. norvegicus digunakan untuk mempelajari dan memahami keadaan patologis yang kompleks misalnya pada penyakit diabetes mellitus dan hipertensi. R. norvegicus memiliki beberapa keunggulan, yaitu tidak memiliki kantung empedu, tidak dapat memuntahkan kembali isi perutnya, pemeliharaan dengan penanganan lebih mudah dan relatif sehat, serta kemampuan reproduksi tinggi dengan cepatnya berkembangbiak dengan cara melahirkan (Malole dan Pramono, 1989). Adapun data fisiologis tikus putih wistar atau R. norvegicus disajikan pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Data fisiologis tikus putih (Wolfenshon dan Lloyd, 2013).
Nilai Fisiologis Kadar
Berat tikus dewasa Jantan 450 - 520 g
Betina 250 - 300 g
Kebutuhan makan 5 – 10 g/100 g berat badan
Kebutuhan minum 10 ml/100 g berat badan
Jangka hidup 3 - 4 tahun
Temperatur rektal 360C - 400C
Detak Jantung 250 –450 kali / menit
Tekanan Darah
Sistol 84 –134 mmHg
Diastol 60 mmHg
Laju pernafasan 70 –115 kali / menit
Serum protein (g/dl) 5.6 - 7.6
Albumin (g/dl) 3.8 - 4.8
Globulin (g/dl) 1.8 - 3
Glukosa (mg/dl) 50 - 135
Nitrogen urea darah (mg/dl) 15 - 21
Kreatinin (mg/dl) 0.2 - 0.8
Total bilirubin (mg/dl) 0.2 - 0.55
Kolesterol (mg/dl) 40 –130
R. norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil, telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang daripada badannya, Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang pendek, sedangkan galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam (Malole dan Pramono, 1989). R.
norvegicus adalah hewan percobaan paling populer dalam penelitian yang berkaitan dengan pencernaan. Hewan ini dipakai dengan pertimbangan: (1) pola makan omnivora seperti manusia, (2) memiliki saluran pencernaan dengan tipe monogastrik seperti manusia, (3) kebutuhan nutrisi hampir menyamai manusia serta, (4) mudah dicekok dan tidak mengalami muntah karena pada tikus ini tidak 8
memiliki sama sekali kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Pertumbuhan Embrio Kerangka Fetus dan Abnormalitas
Secara statistik fetus antara kelompok normal dengan kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna apabila secara statistik (p<0,05).
Peningkatan dosis tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah korpora luteum. Bobot badan adalah parameter penting untuk mengetahui pengaruh senyawa asing terhadap fetus. Laju pertumbuhan dan perkembangan fetus menunjukkan variasi ukuran anakan. Penurunan bobot badan fetus merupakan bentuk yang paling minimal dari ekspresi teratogenik dan merupakan parameter yang lebih sensitif untuk uji teratogenik (Yantrio, 2012). Pengamatan terhadap fetus juga menunjukan adanya kelainan fetus, yaitu fetus berukuran kerdil.
Adanya perkembangan abnormal janin pada hewan uji selama masa kebuntingan, selain karena faktor zat kimia juga dapat disebabkan karena beberapa faktor lain, diantaranya yaitu kekurangan diinfeksi virus, hipertermi, ketidakseimbangan hormonal dan berbagai kondisi stres selama kehamilan, selain membutuhkan nutrisi yang cukup, janin juga membutuhkan lingkungan yang aman, baik lingkungan luar maupun lingkungan intrauterin agar janin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan intrauterin tersebut adalah keseimbangan hormonal. Adanya keseimbangan hormonal akan menciptakan suasana aman bagi janin dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, seperti penelitian Widyastuti dan Widiyani (1999), uji teratogenik biasanya diberikan pada periode organogenesis dengan alasan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling peka. Hal ini disebabkan bahwa pada periode organogenesis terjadi
9
diferensiasi dalam pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ. Menurut Rahayu (2005), suatu teratogen yang bekerja pada embrio tahap pra-implantasi (zigot, pembelahan, blastosist) atau tahap pra-organogenesis akan menyebabkan embrio itu mati atau tumbuh normal (hukum all or nothing), tergantung tingkat dosis teratogen yang diberikan.
Periode pertumbuhan embrio
Periode pertumbuhan embrio terdiri 5 periode (Yatim, 1996) a. Periode persiapan
Pada periode ini kedua induk disiapkan untuk melakukan perkawinan.
b. Periode pembuahan
Setelah kedua induk kawin, gamet melakukan perjalanan ke tempat pembuahan.
c. Periode pertumbuhan awal
Pertumbuhan awal sejak zigot mengalami pembelahan berulangkali sampai saat embrio memiliki bentuk primitif, yaitu bentuk susunan embrio sederhana.
d. Periode transisi
Merupakan perantara periode awal dan akhir. Saat embrio mengalami transformasi bentuk susunan tubuh secara berangsur-angsur.
e. Periode pertumbuhan akhir
Terjadi penyempurnaan defenitif sampai kelahiran
10
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2017.
Tempat pengambilan sampel dilakukan di Langkat, Sumatera Utara. Pembuatan teh dan uji teratogenik dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Animal House, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi mikroskop (Boeco), kandang bersekat, oral sonde, dot, pipet tetes, kaca objek, buku dokumentasi, kalkulator, timbangan hewan (Presica), pipet tetes, seperangkat alat bedah, nampan bedah, wadah penganestesi, timbangan, pot plastik, kotak fiksasi, kamera, botol preparat, pengaduk magnetik, papan gabus, pisau mikrotom, kaca objek, blender dan sarung tangan.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun gaharu yang telah diinokulasi (A. malaccensis Lamk.) yang segar diambil dari bagian ranting dan dikeringkan selama 1 bulan, tikus (R. norvegicus), aquades, NaCl 0,9 %, trinitrofenol, larutan formaldehid 10%, asam asetat glasial, etanol 90%, chloroform, asam pikrat, kalium hidroksida, spidol, hidrogen peroksida 1%, natrium alizarin sulfonat, gliserol, kapas, metilen blue dan aquades.
Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel ini dilakukan berdasarkan pohon yang telah diinokulasi (induksi) dengan menambahkan jamur fusarium ke dalam batang
gaharu. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gaharu yang telah diinduksi yang diambil dari pohonnya langsung di Langkat, Sumatera Utara.
Pembuatan Teh
Sebanyak 1400 gram sampel daun gaharu dibersihkan dari kotoran yang menempel pada daun dengan mengaliri air, kemudian diratakan dengan cara disebarkan daun gaharu di atas kertas perkamen agar airnya cepat terserap, lalu dilakukan pengeringan di ruangan tertutup agar terhindar dari sinar matahari langsung sampai ditandai daun berubah menjadi coklat, setelah itu diblender daun yang sudah kering dan dimasukkan ke dalam plastik polietilen, selanjutnya teh diseduh menjadi minuman teh dengan masing-masing dosis 90, 180, 270 dan 360 mg/kg bb.
Hewan Uji
Pengujian teratogenik dapat menggunakan tikus, mencit, marmot dan kelinci sebagai hewan percobaan. Namun yang biasa digunakan adalah tikus untuk golongan rodensia. Kriteria hewan yang digunakan adalah betina perawan, sehat, umur 12 minggu untuk tikus, 8 minggu untuk mencit dan 5-6 bulan untuk kelinci. Hewan uji harus diaklimatisasi sedikitnya 1 minggu di ruang pengujian.
Hewan uji yang digunakan harus seragam spesies, galur, sumber, berat dan umurnya. Hewan betina dikawinkan dengan hewan jantan yang sama spesies dan galurnya serta dihindari perkawinan antara saudara kandung. Hari pembuktian terjadinya perkawinan ditetapkan sebagai awal kehamilan (hari ke-0), ditandai dengan ditemukannya bercak sumbat vagina atau adanya sperma pada vagina yang dilihat secara makroskopik. Pada saat karantina, setiap kandang tikus atau mencit diisi 2 ekor jantan dewasa umur 13 minggu dan 3 ekor betina dewasa
12
umur 13 minggu proestrus masa prabirahi. Setiap betina yang terbukti telah kawin diletakkan dalam kandang individual (BPOM, 2014).
Jumlah Hewan Uji
Digunakan sebanyak 25 ekor tikus betina yang dibagi menjadi 4 kelompok uji dan 1 kelompok kontrol, tiap kelompok uji dan kontrol terdiri dari 5 ekor induk tikus hamil ditandai dengan bukti kawin bercak sumbat vagina dan melalui mikroskop dengan perbesaran 10x10 untuk melihat fase birahi. Pengelompokan hewan secara acak lengkap yaitu masing-masing terdiri dari 5 ekor.
Penyiapan Bahan Uji
Penyiapan bahan uji meliputi penyiapan metilen blue 0,1%, seduhan teh gaharu, larutan bouin, dan larutan alizarin.
a. Pembuatan larutan metilen blue 1%
Sebanyak 1 ml larutan metilen blue diteteskan ke kaca objek yang telah disediakan dari hasil pengambilan cairan vagina tikus melalui pipet tetes.
b. Pembuatan seduhan teh gaharu 10 ml
Sebanyak 10 ml teh gaharu dituangkan ke dalam botol kecil berukuran 20 ml sebanyak 4 botol setiap botol terdiri dari serbuk daun gaharu yang telah ditimbang seberat 90 mg, 180 mg, 270 mg, dan 360 mg berdasarkan penelitian sebelumnya dimana teh gaharu yang dikonsumsi dikalangan masyarakat sebanyak 1g/gelas dikonversi ke tikus sehingga 90 mg adalah dosis yang didapatkan dan kemudian disaring menggunakan kertas saring untuk menjadi seduhan teh (Has, 2012).
c. Pembuatan larutan bouin
13
Sejumlah 1000 ml larutan jenuh trinitrofenol (asam pikrat) dalam aquadest yang telah didiamkan satu malam dan disaring, dicampur dengan 333 ml larutan formaldehida dan 67 ml asam asetat glasial, kemudian etanol 90% sebanyak 2700 ml etanol dicampur dengan aquadest hingga 3000 ml, dan larutan formaldehida 10% sebanyak 10 ml larutan formaldehida dicampur dengan aquades hingga 100 ml.
d. Pembuatan larutan alizarin 1. Etanol 90%
Sejumlah 2700 ml etanol dicampur dengan aquadest hingga 3000 ml 2. Larutan kalium hidroksida 0,5%
Sejumlah 15 g kalium hidroksida dilarutkan dalam aquadest hingga 3000 ml.
3. Larutan hidrogen peroksida 1%
Sejumlah 30 ml larutan hidrogenperoksida dicampur dengan aquadest hingga 3000 ml.
4. Larutan natrium alizarin sulfonat 1%
Sejumlah 1 g natrium alizarin sulfonat dilarutkan dalam aquadest hingga 100 ml.
5. Larutan pewarna alizarin
Sejumlah 6 g hidrogen peroksida dilarutkan dalam aquadest, ditambahkan 15 ml larutan natrium alizarin sulfonat 1% dan aquadest hingga 3000 ml.
6. Larutan gliserol 5%
Sejumlah 15 g kalium hidroksida dilarutkan dalam aquadest, ditambahkan 150 ml gliserol dan aqudest hingga 3000 ml.
14
Pemberian Sediaan Uji dan Dosis
Sediaan uji diberikan secara oral. Dosis teh gaharu 1 g. Faktor konversi dari manusia ke tikus, yaitu 0,018, maka sediaan uji untuk tikus diambil dari berat rata-rata orang dewasa 70 kg dan tikus 200 g sehingga didapatkan 18 mg/200 g bb tikus = 90 mg/kg bb mencit. Dosis ini ditetapkan sebagai dosis terendah yang diberikan. Untuk mendapatkan hasil yang baik digunakan dosis secara berturut- turut yang akan mengikuti progresi geometris yaitu: YN= Y1 x RN-1 dengan Y1=
Dosis pertama, YN= Dosis ke-N, R = Faktor geometris ≠ 0 atau kelipatan 1 dosis dengan memasukkan dosis terendah (dosis ke-1) dan dosis tertinggi (dosis ke-4) ke dalam persamaan, maka diperoleh faktor geometris 360 = 90 x R4-1, sehingga diperoleh R = 2 berdasarkan perhitungan tersebut, untuk mendapatkan 4 dosis digunakan kelipatan antar dosis sebesar 2, sehingga perhitungan dosis yang akan diberikan sebagai berikut:
a. Dosis 1 = 90 mg/kg bb
b. Dosis 2 = 90 x 2 = 180 mg/kg bb c. Dosis 3 = 90 x 3 = 270 mg/kg bb d. Dosis 4 = 90 x 4 = 360 mg/kg bb
Cara lain yang digunakan yaitu topikal, injeksi, melalui rektal dan lain-lain seperti pemakaian yang lazim digunakan pada manusia. Sediaan harus diberikan setiap kali pada saat yang lebih kurang sama waktunya. Kelompok kontrol tidak diberikan seduhan teh gaharu. Volume pemberian sediaan uji 1 ml/100 g berat badan dan volume pemberian konstan sediaan uji diberikan setiap hari selama masa organogenesis yaitu hari ke 6-15.
15
Pelaksanaan Uji
a. Sebelum pengujian dimulai hewan dibiarkan beradaptasi menyesuaikan lingkungannya (diaklimatisasi) dalam ruang percobaan selama tidak kurang dari 1 minggu. Sebelum hewan dikawinkan dapat dibuat apusan vagina untuk menentukan masa birahi yaitu suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima jantan untuk berkawin (Kopulasi). Hewan yang berlangsung masa birahi (proestrus) dikawinkan dengan menyatukan 3 ekor tikus betina dengan 1 ekor tikus jantan dalam satu kandang, dan keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan (BPOM, 2014).
b. Hewan betina yang terbukti kawin dipelihara dalam kandang individual, pengamatan klinis terhadap induk dilakukan paling sedikit satu kali sehari pada saat yang lebih kurang sama.
c. Sehari sebelum pemberian sediaan uji, induk (yang terbukti kawin) dikelompokkan secara acak.
d. Sediaan uji diberikan pada induk yang terbukti kawin selama masa organogenesis dan selama itu hewan uji diamati dua kali sehari dengan jarak 6 jam. Pengamatan kondisi hewan dilakukan setiap hari selama masa pengujian terhadap adanya kematian, keadaan sekarat, perubahan tingkah laku, dan gejala-gejala toksisitas. Berat badan ditimbang pada hari ke-0, selama pemberian sedian uji dan sebelum diotopsi. Saat muncul dan lama gejala toksik harus diamati seperti perubahan kulit, bulu, mata, dan lapisan (mukosa). Hewan yang mati selama pengujian segera dibedah.
16
e. Pada hari ke-19 pembedahan induk dilakukan. Induk diperiksa secara makroskopik terhadap adanya perubahan struktur dan patologis, lalu dihitung corpora luteanya. Uterus dipindahkan dan isinya diperiksa.
Pemeriksaan meliputi berat badan, adanya malformasi (jenis, jumlah, dan persentase) pada fetus hidup, kematian embrio (keadaan, jumlah, dan persentase)
f. Pemeriksaan fetus hidup dilakukan terhadap bagian luar seluruh fetus secara maksroskopik. Untuk fetus hidup dibuat preparat kerangka dan diperiksa terhadap kelainan kerangka dan jaringan lunak.
Data
Data yang dilaporkan adalah keadaan hewan secara individual dan dirangkum dalam bentuk tabel yang memperlihatkan data setiap kelompok uji.
Data menunjukkan jumlah hewan pada awal pengujian, persentase kehamilan, jumlah dan persentase fetus hidup, berat badan fetus, panjang fetus, kerangka dan jaringan lunak dari fetus hidup. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2010 dengan menggunakan uji ANOVA Single Faktor untuk melihat variabel mana yang memiliki perbedaan yang signifikan.
Evaluasi Hasil
Evaluasi terhadap hasil pengamatan meliputi efek teratogenik yang timbul dan tingkat dosis yang menghasilkan efek tersebut. Evaluasi meliputi keadaan induk dan fetus (eksternal, jaringan lunak dan kerangka).
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel Teh Gaharu
Daun teh gaharu yang diinokulasi pada umur 5 tahun diperoleh dari kebun gaharu di Langkat, Sumatera Utara. Setelah sampel diambil, kemudian diolah menjadi serbuk (simplisia) dan serbuk ini dijadikan sebagai bahan baku teh yang akan diujikan pada uji teratogenik. Daun gaharu yang telah bersih kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan cara dikering anginkan di ruangan tertutup. Setelah kering, sampel dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Setelah diblender serbuk dimasukkan ke dalam plastik polietilen yang kedap udara serta agar simplisia tidak rusak (Nasution, dkk., 2015) serbuk yang diperoleh sebesar 600 g dengan berat awal 1400 g. Serbuk daun gaharu dapat dilihat pada Gambar 1 dengan Randemen (%) =
Gambar 1. Daun gaharu setelah dihaluskan (Serbuk simplisia)
Penentuan Siklus Estrus
Dalam penentuan siklus estrus ada beberapa fase yang akan dilewati oleh
tikus betina agar mau menerima jantan dalam perkawinan yaitu terjadi pada empat fase yaitu dimulai dari fase pro-estrus, fase estrus, kemudian met-estrus, dan di-estrus. Fase estrus merupakan periode birahi atau masa berkawin (kopulasi) hanya berlangsung 9 sampai 15 jam (Karlina, 2003).
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan pipet tetes untuk mengambil apusan vagina dan menambahkan larutan NaCl 0,9% kemudian diletakkan di atas kaca objek secara memanjang hingga kering. Setelah apusan vagina kering kemudian ditetesi metilen blue 0,1% secukupnya hingga merata dan dibiarkan sampai kering dan diamati di bawah mikroskop digital dengan menggunakan perbesaran 10 x 10. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.
a. Fase di-estrus b. Fase pro-estrus
c. Fase estrus d. Fase met-estrus Gambar 2. Siklus birahi tikus betina
119
Pada gambar 2 (a) fase di-estrus dapat dilihat banyak ditemukan sel leukosit dan sel epitel berinti, sedangkan pada gambar 2 (b) fase pro-estrus ditemukan banyak sel epitel berinti dan sedikit leukosit, selanjutnya pada gambar 2 (c) fase estrus adalah fase yang terpenting mirip dengan fase pro-estrus lebih merah dan kurang basah dan pada gambar 2 (d) fase met-estrus ditemukan leukosit diantara sel epitel bertanduk.
Penentuan Masa Kehamilan
Pada hasil penelitian kehamilan tikus dapat dilihat dengan mikroskop melalui kaca objek dan perbesaran 10 x 10. Dari hasil penelitian pada gambar 3 di bawah ini menunjukkan tikus betina memiliki sel tanduk dengan warna kebiruan dan pada tikus jantan memiliki sperma seperti benang. Sebelum diperiksa apusan vagina, tikus dikawinkan terlebih dahulu dalam satu kandang sumbat vagina pada tikus betina yang telah kawin ini berupa sperma yang menjendal berwarna kekuningan berasal dari sekresi kelenjar khusus tikus jantan dan sebagai penetapan awal (Pambudi, 2017). Tikus yang telah hamil dipisahkan dari jantan dan dikawinkan kembali. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Apusan vagina
220
Pengamatan Berat Badan Tikus
Pengamatan yang dilakukan adalah melakukan penimbangan terhadap berat badan tikus betina dewasa yang dimulai pada masa kehamilan hari ke-6 sampai hari ke-15 selama pemberian teh gaharu serta pada hari ke-19 yang diamati adalah kenaikan dan penurunan berat badan pada tikus. Pada saat pemberian sediaan uji juga diperhatikan adanya tikus yang sakit karena perlakuan atau peyakit maka tidak diikutsertakan lagi (Lu,1994). Selama pengamatan dilakukan tidak ada ditemukan tikus yang mengalami keguguran atau abortus serta perubahan tingkah laku selama pemberian sediaan uji, apabila terjadi penurunan berat induk tikus dan ditemukan perdarahan pada vagina, maka dapat diketahui induk tikus mengalami keguguran. Tetapi pada penelitian ini tidak ditemukan adanya penurunan berat badan yang signifikan terhadap kelompok kontrol, semua induk tikus mengalami peningkatan berat badan yang normal. Secara umum Tabel 1 dan Gambar 4 memperlihatkan pertumbuhan yang baik, namun juga pada uji secara statistika berdasarkan nilai probabilitas kelompok normal dengan kelompok perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistika (p>0,05) dapat dilihat pada Lampiran 12. Kenaikan rata-rata berat badan induk yang paling tinggi terjadi pada dosis 360 mg/kg bb dengan nilai 216,1 ± 3,0.
Kenaikan berat badan tersebut disebabkan karena berkembangnya fetus tikus dan bertambahnya volume cairan amnion, plasenta serta selaput amnion pada fetus (Almahdy dan Yandri, 2010). Sedangkan penurunan berat badan induk tikus terjadi pada kelompok dosis 360 mg/kg bb dengan nilai 183,4 ± 11,3 pada hari ke- 10, 183,2 ± 9,7 pada hari ke-11 dan 182,8 ± 9,7 pada hari ke-12, faktor sementara penurunan berat badan diduga karena kurangnya tikus mengkonsumsi makanan
221
akibat pahit dari pemberian sediaan uji teh gaharu. Hasil penimbangan berat rata- rata induk tikus selama masa kehamilan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4.
Tabel 1. Data rata-rata berat badan induk tikus hari ke-6 sampai hari ke-19
Hari kehamilan
Rata-rata berat badan induk tikus (g) ± SD
Kontrol Dosis 90
mg/kg bb
Dosis 180 mg/kg bb
Dosis 270 mg/kg bb
Dosis 360 mg/kg bb 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 19
168,3 ± 15,2 168,6 ± 14,5
171,9 ± 12,9 174,3 ± 12,3 175,4 ± 11,9 177,5 ± 10,1 179,3 ± 10,4 182,6 ± 10,5 188,6 ± 2,3 191,3 ± 2,7 215,5 ± 4,5
174,8 ± 7,6 174,8 ± 8,4 176,0 ± 7,9 178,9 ± 4,5 180,7 ± 5,0 182,1 ± 4,6 182,5 ± 3,5 184,2 ± 5,3 188,5 ± 5,5 189,6 ± 4,9 210,8 ± 11,5
176,6 ± 13,5 176,9 ± 13,1 178,9 ± 13,6 179,4 ± 13,3 181,6 ± 13,4 182,9 ± 12,8 184,3 ± 12,6 187,7 ± 13,8 187,7 ± 14,6 192,6 ± 12,6 213,6 ± 8,6
173,1 ± 10,6 173,3 ± 9,8 173,6 ± 9,2 176,2 ± 8,7 178,9 ± 9,0 179,7 ± 9,2 181,5 ± 9,6 183,4 ± 9,3 185,3 ± 6,8 187 ± 6,4 213,5 ± 8,6
177,3 ± 14,7 178,7 ± 13,1 179,7 ± 13,1 181,8 ± 12,2 183,4 ± 11,3 183,2 ± 9,7 182,8 ± 9,7 186,1 ± 7,7 188,6 ± 8,3 192,4 ± 7,4 216,1 ± 3,0
Gambar 4. Rata-rata berat badan induk tikus Pengamatan Fetus
Pengamatan sediaan uji terhadap fetus dilakukan dengan cara pembedahan induk tikus pada hari ke-19 kehamilan sebelum tikus melahirkan secara alami. Hal ini dilakukan karena tikus yang melahirkan secara alami cenderung memangsa
22
anaknya apabila ada yang cacat dan saat kelaparan. Selanjutnya pembedahan dilakukan dengan tujuan untuk mengamati ada atau tidaknya kelainan dan resorpsi yaitu gumpalan merah pada uterus (Almahdy dan Yandri, 2010).
Tikus yang sudah mati diletakkan terlentang di nampan, permukaan perutnya dibasahi dengan kapas basah dan segera dilakukan pembedahan. Kulit perut bagian luar tepat di atas perineum ditarik sedikit dengan pinset dan ditakik dengan gunting ujung runcing. Takikan kulit dipotong searah dengan garis tengah sampai kesternum dengan gunting ujung tumpul, kemudian sisi kanan dan kiri digunting pada masing-masing ujung potongan, dipisahkan dari jaringan dibawahnya dengan gunting (BPOM, 2014). Pada hasil pengamatan ini fetus tidak ada yang mengalami kematian pada saat pengeluaran embrio dari selaput ovari dan juga mengalami resorpsi, namun ada pengurangan jumlah fetus pada pemberian teh gaharu pada Dosis 180 mg/bb kg berjumlah 31, Dosis 270 mg/bb kg berjumlah 27 dan Dosis 360 mg/bb kg berjumlah 32 dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berjumlah 34 fetus, tetapi secara umum jumlah janin tidak memberikan pengaruh yang bermakna secara statistik dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan fetus
Hasil pengamatan Jumlah induk Jumlah fetus
hidup
Jumlah fetus resorpsi Kontrol
Dosis 90 mg/kg bb Dosis 180 mg/kg bb Dosis 270 mg/kg bb Dosis 360 mg/kg bb
5 5 5 5 5
34 34 31 27 32
0 0 0 0 0
23
Pengamatan Berat Badan Fetus
Pengamatan berat badan fetus dilakukan menggunakan NaCl 0,9% agar darah yang masih melekat pada fetus bersih, lalu dikeringkan di atas tisu dan fetus dipindahkan ke atas cawan petri satu persatu untuk penimbangan berat badan.
Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil uji statistika menunjukkan tidak adanya perbedaan berat badan secara bermakna (p>0,05) dapat dilihat pada Lampiran 13, karena hampir rata-rata setiap perlakuan kelompok uji berat badan fetus sama. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing dosis tidak memiliki aktivitas yang sama, juga adanya peningkatan berat badan dipengaruhi dari berat badan induk dan pola makan. Dari data yang didapat semakin sedikit jumlah janin maka pembagian makanan untuk janin akan semakin besar, namun untuk rata-rata berat badan terbesar terjadi pada kelompok kontrol dengan nilai 3,34 ± 1,22 dan yang terkecil terdapat pada dosis 270 mg/kg bb dengan nilai 2,91 ± 0,84.
Tabel 3. Hasil pengamatan berat badan fetus
Kelompok perlakuan Rata-rata berat badan fetus (g) Tikus
I
Tikus II
Tikus III
Tikus IV
Tikus Rata-rata ± SD V Kontrol
Dosis 90 mg/kg bb Dosis 180 mg/kg bb Dosis 270 mg/kg bb Dosis 360 mg/kg bb
2,44 1,49 2,14 2,95 2,02
5,45 2,13 3,98 4,28 3,57
2,55 5,17 4,02 2,20 3,66
3,05 2,88 2,30 2,26 2,81
3,23 3,34 ± 1,22 3,70 3,07 ± 1,43 3,52 3,19 ± 0,91 2,87 2,91 ± 0,84 3,11 3,03 ± 0,66
Pengamatan Panjang Fetus
Hasil pengamatan panjang fetus pada lampiran 11 secara statistika didapatkan tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p>0,05), hal ini mengacu pada kelompok uji kontrol dapat dilihat pada Tabel 4. Pada masing-masing
24
kelompok uji memiliki perbedaan panjang fetus diduga faktor pada masa kehamilan induk tikus pada saat penimbangan memiliki berat badan yang berbeda sehingga embrio memiliki panjang yang berbeda akibat dari setiap induk tikus yang mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan rata-rata berat badan terbesar terdapat pada perlakuan kelompok dosis 90 mg/kg bb dengan nilai 3,47 ± 0,37 dan yang terkecil terdapat pada kontrol dengan nilai 3,34 ± 0,51.
Tabel 4. Pengamatan panjang fetus
Kelompok perlakuan Rata-rata panjang fetus (cm) Tikus
I
Tikus II
Tikus III
Tikus IV
Tikus Rata-rata ± SD V
Kontrol
Dosis 90 mg/kg bb Dosis 180 mg/kg bb Dosis 270 mg/kg bb Dosis 360 mg/kg bb
2,59 3,20 3,06 2,95 2,95
4,10 4,10 3,73 3,84 3,84
3,03 3,03 3,03 3,21 3,21
3,60 3,60 3,60 3,60 3,55
3,40 3,34 ± 0,51 3,40 3,47 ± 0,37 3,40 3,36 ± 0,28 3,40 3,40 ± 0,31 3,44 3,40 ± 0,30
Jaringan Lunak
Setelah fetus diperoleh dari induk tikus selanjutnya dilakukan perendaman dengan larutan bouin yang diberi asam pikrat dan formaldehid dan asam asetat yang dicampur di dalamnya untuk mengawetkan dan membuat fetus mengeras setelah 3 hari direndam, kemudian lebih mudah diamati serta digunakan sebagai pengamatan bagian luar dan dalam. Perendaman dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Fetus direndam dalam larutan bouin
25
Setelah 3 hari dalam perendaman larutan bouin kemudian fetus diangkat satu persatu dari sebuah pot plastik dan dicuci hingga bersih dengan air mengalir, setelah itu dilakukan pengamatan langsung secara kasat mata tanpa bantuan alat laboratorium berupa cacat bagian luar dan bagian dalam fetus. Bagian luar dapat mencakup ekor keriting, kaki lurus, malrotasi pada anggota badan dan cakar.
Setelah selesai mengamati bagian luar selanjutnya dilakukan pengamatan organ bagian dalam fetus secara kasat mata, sebelum melakukan pengamatan fetus dibelah memakai pisau mikrotom. Pembelahan dilakukan secara vertikal dari bagian dada hingga bagian ujung perut secara hati-hati untuk bagian perut dilakukan pembelahan tanpa mengenai organ dalam agar tidak ikut terpotong dan tidak merusak organ, selanjutnya pembelahan pada bagian kepala secara horizontal dengan bentuk irisan tipis-tipis. Pengamatan yang dilakukan pada irisan kepala untuk melihat adanya hidrosefalus pada bagian kepala fetus adalah ventrikel lateralis yang melebar dan cortex menipis, hidung, mata, langit-langit rahang bawah dan atas. Pengamatan pada organ bagian dalam meliputi jantung, hati, dan ginjal. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6, 7, 8, 9 dan 10.
26
27
28
Secara umum kelainan dari masing-masing kelompok uji tidak terjadi pada semua fetus dalam satu kelompok, bahkan semua kelompok dalam satu induk yang sama. Hal ini disebabkan adanya kerentanan genetik antar individu walaupun berasal dari induk yang sama (Harbinson, 2001). Pengamatan pada keseluruhan organ mulai dari hidrosefalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebro spinalis ditandai dengan adanya pembengkakan di dalam otak namun tidak ada ditemukan pada setiap kelompok uji, kemudian pengamatan bagian langit-langit yang berada di bawah antara hidung dan rahang tidak terdapat kelainan dibandingkan kelompok kontrol, pengamatan ini dilakukan dengan menyayat secara hati-hati bagian mulut sampai terpisah dua bagian kemudian bagian hidung sampai ke mata seperti irisan dan
29
selanjutnya pembelahan secara vertikal pada bagian dada untuk melihat bagian dalam berupa jantung, ginjal dan hati.
Kerangka Fetus
Pengamatan janin untuk kelainan tulang rangka yang telah diwarnai dengan larutan pewarna alizarin dilaksanakan dengan membandingkannya terhadap kelompok kontrol yang berasal dari induk normal tanpa perlakuan. Fiksasi fetus dalam larutan etanol 96%, lalu fetus direndam dalam larutan kalium hidroksida (KOH) 2% hingga jaringan lunak (otot) terlihat transparan dan tulang berwarna krem. Fetus kemudian direndam kembali dalam larutan KOH 2% yang telah ditambahkan Alizarin Red S 0,5% dan larutan KOH 2% masing-masing selama 24 jam. Fetus selanjutnya direndam dalam campuran larutan gliserin dan KOH 2%
pada perbandingan 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing selama 24 jam,tahap terakhir fetus direndam pada larutan gliserin murni (Almahdy dan Yandri, 2010)
Penilaian kerangka dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar (lup) yang diarahkan langsung kebagian tubuh fetus untuk kemudian dinilai yaitu, jumlah tulang mulai dari tulang jari depan, jari belakang, ekor, dan dada. Pada penelitian ini masing-masing jumlah tulang terlihat bahwa pada fetus normal terdapat tiga belas tulang jari depan, empat belas tulang jari belakang, enam tulang dada, dua belas tulang ekor. Hasil pengamatan dapat dilihat Gambar 11.
30
Tulang jari belakang Tulang ekor
Tulang jari depan Tulang dada Gambar 11. Pengamatan kerangka fetus
Hasil pengamatan pada setiap hewan perlakuan tidak ada kelainan morfologi dan jumlah tulang setelah dibandingkan dengan kelompok normal dan kelompok kontrol yang paling kecil yaitu Dosis 90 mg/kg bb, Dosis 180 mg/kg bb, Dosis 270 mg/kg bb sampai dengan dosis yang paling tinggi yaitu Dosis 360 mg/kg bb, namun ada di bagian tulang dada pada Dosis 270 mg/kg dan tulang jari depan pada Dosis 360 mg/kg bb tidak terlihat pewarnaannya, hal ini berarti tulang-tulang penyusun masih bersifat tulang rawan dan salah satu faktor penentu
31
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tulang adalah hormon. Hormon- hormon yang mempengaruhi pembentukan rangka diantaranya adalah GH, tiroksin, estrogen, dan androgen. Hormon pertumbuhan (GH) dihasilkan dari kelenjar hipofisis yang berfungsi untuk meningkatkan proses mitosis dari kondrosit dan osteoblas serta meningkatkan sintesis protein pembentuk kolagen, matriks kartilago, serta enzim untuk pembentukan kartilago dan tulang. Diduga faktor sementara berkaitan dengan hasil uji sidik ragam satu arah diketahui bahwa rataan bobot badan dan panjang fetus antar kelompok perlakuan mengalami peningkatan berat badan yang stabil. Pertumbuhan skeletal merupakan salah satu parameter yang sering diamati untuk melihat ada tidaknya efek teratogenik. Menurut Inouye (1976), pengamatan perkembangan skeletal meliputi:
jumlah dan tingkat osifikasi misalnya: rusuk bergelombang, ada atau tidaknya rusuk atau jari-jari tambahan, sehingga berdampak pada jumlah dan susunan tulang yang normal. Pewarnaan kerangka janin untuk tulang dan tulang rawan adalah metode yang sangat berguna untuk membuktikan kelainan skeletal pada hewan laboratorium. Namun metode ini jarang digunakan dalam tes toksisitas perkembangan rutin salah satu alasannya adalah kesulitan membandingkan potongan skeletal tunggal (Giavini, 2001)
32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa pemberian teh gaharu dosis 90, 180, 270, dan 360 mg/kg bb pada periode organogenesis tikus betina yang hamil tidak memberikan efek teratogenik terhadap perkembangan janin berdasarkan hasil statistika, hal ini tidak berpengaruh dengan taraf signifikan masing-masing pada berat badan induk (1,800 > 0,05), berat badan fetus (0,891 > 0,05), panjang fetus (0,999 > 0,05), serta jaringan lunak dan kerangka fetus yang tidak mengalami kelainan namun ada pewarnaan tulang yang tidak lengkap pada tulang dada dosis 270 mg/kg bb dan tulang jari depan dosis 360 mg/kg bb hal ini karena tulang-tulang penyusun masih belum terbentuk sempurna karena ukuran fetus relatif kecil sehingga penetrasi larutan pewarna alizarin tidak sampai ke dalam tulang.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hewan percobaan lain seperti kelinci dan marmut mengingat uji teratogenik dapat memberikan hasil yang berbeda tergantung dari jenis hewan percobaan dan menambahkan jumlah populasi hewan maupun dosis agar data yang didapat lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi Sebagai Bahan Antifertilitas. Adabia Press. UIN Jakarta.
Almahdy dan Yandri, 2010. Fetotoksisitas Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum) Pada Mencit Putih. Fakultas Farmasi. Universitas Andalas. Vol.
15. N0.1 Hal 29-33.
Andaria, N. 2015. Tingkat Kekuatan Antioksidan Dan Kesukaan Masyarakat Terhadap Teh Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) Berdasarkan Pohon Induksi Dan Non-Induksi). Program Studi Kehutanan. Fakultas Pertanian. USU. Hal 1.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia Gaharu. Diakses tanggal 5 mei 2018 melalui : http//:Jurnal Gaharu/pdf.
BPOM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Hal 138-154.
Batubara, R., Surjanto, Tahan, M., dan Herawaty, G. 2016. Keamanan Teh Gaharu (Aquilaria malaccensis) Dari Pohon Induksi Melalui Uji Toksisitas Subkronik Oral 90 Hari. Biofarmasi. Vol. 14 No. 2. Hal 69.
Batubara, R., Surjanto, dan Marsen, P. 2018. Keamanan Teh Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) Dari Pohon Induksi Terhadap Toksik Oral. Wahana forestra. Vol. 13. No. 1. Hal 1.
Giavini, E. 2001. Atlas of Rat Fetal Skeleton Double Stained for Bone and Cartilage. Department of Biology, University of Milano, Italy.Teratologi.
Hal 125-126.
Harbinson, R.D (2001). The Basic of Poison Cassaret and Doull’s Toxicology New York: Macmillan Publishing Co. Inc. Hal 73-78.
Inouye, M. 1976. Differential Staining Of Cartilage & Bone In Fetal Mouse Skeleton By Alizarin Red S. Cong. Anom 161: 171-173.
Karlina, Y. 2003. Siklus Estrus Dan Struktur Histologis Ovarium Tikus Putih (Rattus norvergicus) Setelah Pemberian Alprazolam. Jurusan Biologi.
FMIPA. Surakarta.
Lu, F.C. (1994). Toksiologi Dasar, Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko, Edisi Kedua. Penerjemah: E. Nugroho. Penerbit: Universitas Indonesia.
Jakarta. Hal 154-166
Malole dan Pramono, 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mega, I.M., dan D.A. Swastini. 2010. Screening Fitokimia dan Aktivitas Antiradikal Bebas Ekstrak Metanol Daun Gaharu (Gyrinopsversteegii).
Jurnal Kimia. 4(2): Hal. 187-192.
Nasution, Batubara. R, dan Surjanto. 2015. Tingkat Kekuatan Anti Oksidan Dan Kesukaan Masyarakat Terhadap Teh Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) Berdasarkan Pohon Induksi Dan Non Induksi. USU. Medan. Hal 1.
Pambudi, R. 2017. Perbedaan Panjang Serta Berat Tubuh Fetus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Terhadap Pemberian Asam Folat Pada Periode Kehamilan Yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Bandar Lampung.
Rahayu, S. 2005. Pertumbuhan dan Perkembangan Embryo Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Setelah Perlakuan Kebisingan. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Volume 7, Hal: 53-59 Surakarta.
Satria, B. 2008. Karakteristik Morfologi Dan Genetik Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria spp) Endemik Sumatera Barat. HPT Fakultas Pertanian Unand.
SAINSTEK Vol. X, No.2 Hal 7
Silaban, 2013. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) Berdasarkan Umur Pohon. Fakultas Kehutanan.
Universitas Sumatera Utara.
Sirois, 2005. Hewan Percobaan Tikus. IPB Repository.
Smith dan Mangkoewidjojo, 1988. Pengembangan Usaha Produksi Tikus Putih Tersertifikasi Dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Laboratorium.
Repository.ipb.ac.id
Susetya, D. 2012. Budidaya Gaharu Satu Pohon Hasilkan Jutaan Rupiah. Pustaka Baru. Yogyakarta. Hal 9-10.
Tarigan, K. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Jakarta.
Widyastuti dan Widiyani, 1999. Efek Teratogenik Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa(Scheff.) Boerl.) Pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Galur Winstar. Jurnal Bioteknologi 3(2): Hal 56-62.
35
Wolfenshon dan Lloyd, 2013. Persentase Spermatozoa Hidup Pada Tikus Wistar Dan Sprague-Dawley. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Vol. 7 No. 2.
Yantrio, 2012. Uji Efek Teratogenik Fraksi Butanol Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) Terhadap Mencit Putih (Mus musculus), Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Vol.2 No. 1.
Yatim, W. (1996). Reproduksi dan Embriologi. Edisi II. Bandung: Penerbit Buku Kedokteran. Hal 124.
36
37
Lampiran 1. Suran izin pemakaian laboratorium
38
Lampiran 2. Surat izin etik penelitian menggunakan hewan
39
Lampiran 3. Surat bebas laboratoriun
40
LAMPIRAN
Lampiran 4. Dokumentasi pohon gaharu di Langkat, Sumatera Utara
Pohon gaharu dari Desa Bahorok Kebupaten Langkat dengan jenis Aquilaria malaccensis Lamk. Yang tumbuh secara budidaya
41
Lampiran 5. Dokumentasi Persiapan pembuatan teh
Daun gaharu (A.malaccensis Lamk) yang Daun gaharu (A.malaccensis Lamk) yang telah dicuci untuk proses pengeringan yang telah dikeringkan
Serbuk simplisia Seduhan teh gaharu (A.malaccensis Lamk)
42
Lampiran 6. Bahan yang digunakan
Larutan alizarin blue Larutan asam pikrat (bouin) Metilen blue
Gliserin Hidrogen peroksida Etanol P.A
43
Lampiran 7. Apusan vagina yang telah ditetesi larutan metilen blue 0,1%
Penetesan larutan metilen blue 0,1% dengan apusan vagina di atas kaca objek
Dibiarkan hingga kering di atas kaca objek
44
Lampiran 8. Pembedahan induk tikus
Sebelum dibedah Sesudah dibedah
Pengeluaran fetus dari selaput ari Fetus
45
Lampiran 9. Gambar fetus setiap dosis perlakuan
Kontrol Dosis 90 mg/kg bb
Dosis 180 mg/kg bb Dosis 270 mg/kg bb
Dosis 360 mg/kg bb
46
Lampiran 10. Perendaman fetus dalam larutan bouin dan alizarin
Larutan bouin
Larutan alizarin