• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Badan Wakaf Indonesia dalam Pengorganisasian Wakaf Produktif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Peran Badan Wakaf Indonesia dalam Pengorganisasian Wakaf Produktif"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Diterima: Januari 2016. Disetujui: Maret 2016. Dipublikasikan: Maret 2016 21 Volume 1, Nomor 2, 2016, 21-34 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/tadbir

Peran Badan Wakaf Indonesia dalam Pengorganisasian Wakaf Produktif

Arif Rahman Hakim*, Saeful Anwar, & Asep Iwan Setiawan

Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung

*Email: arifrahmanhakim@student.uinsgd.ac.id

ABSTRAK

Wakaf produktif merupakan langkah baru dalam memberdayakan potensi wakaf yang ada di indonesia, pengelolaan wakaf menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam mengukur sejauhmana efektifitas dan efisiensi yang didapat dari wakaf produktif tersebut. Oleh karena itu langkah pengorganisasian merupakan langkah awal dalam membangun wakaf produktif yang baik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu untuk menggambarkan keadaan secara riil di tempat penelitian secara sistematis fakta, baik data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang berkaitan dengan pengorganisasian Badan wakaf Indonesia wilayah Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Badan Wakaf Indonesia Wilayah Jawa Barat, Langkah pengorganisasian yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia Jabar yaitu, Pertama Spesialisasi kerja yang telah disusun dalam peraturan Badan Wakaf Indonesia no 1 tahun 2008 dan dalam UUD No 41 tahun 2004, yang dimana anggota memiliki kompetensi dan ahli pada bidang Hukum, ekonomi syariah, cendekiawan, nazhir dan kewirausahaan. Kedua departementalisasi dimana anggota yang memiliki kompetensi tersebut di bagi kedalam 5 divisi sesuai dengan kompetensi dan keahlian masing-masing. Ketiga pendelegasian wewenang, 5 divisi tersebut diberikan wewenang oleh ketua secara penuh dalam menjalankan tugas tugas yang diembannya. Dan keempat rantai komando, dalam hal ini garis koordinasi yang diterapkan oleh Badan Wakaf Indonesia langsung terhubung dari kelima divisi kepada ketua.

Kata Kunci : Pengorganisasian, Wakaf Produktif, Badan Wakaf Indonesia ABSTRACT

Productive endowments are a new step in empowering the waqf potential in Indonesia, the management of waqf is a very important thing in measuring the extent to which effectiveness and efficiency can be obtained from the productive waqf. Therefore the organizing step is the first step in building a good productive waqf. This study uses a descriptive method, which is to describe the situation in real terms in a systematic place of research, both descriptive data in the form of written or verbal words from people related to the organization of the Indonesian Waqf Board in West Java. Based on the results of research conducted at the Indonesian Waqf Board in West Java, the organizing steps taken by the Indonesian Waqf Board are West Java, namely, the

(2)

22 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

First Specialization work that was compiled in the Indonesian Waqf Agency Regulation No.

1 of 2008 and in the Constitution No. 41 of 2004, which members has competence and expertise in the fields of Law, Islamic economics, intellectuals, Nazhir and entrepreneurship.

Both departments where members who have these competencies are divided into 5 divisions according to their respective competencies and expertise. All three delegations of authority, 5 divisions were given full authority by the chairman in carrying out the duties assigned. And the fourth chain of command, in this case the coordination line applied by the Indonesian Waqf Board is directly connected from the five divisions to the chairman.

Keywords: Organizing, Productive Waqf, Indonesian Waqf Board PENDAHULUAN

Wakaf adalah salah satu ibadah yang berkaitan dengan harta seorang muslim, seperti halnya zakat, infaq dan shadaqoh. Di masa perkembangan Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Dalam sejarah peradaban Islam, sejak awal di-tasyrik- kannya, wakaf telah memiliki peran yang sangat penting dalam langkah-langkah meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat Islam pada masa itu dan masa-masa selanjutnya. Hal ini disebabkan bahwa prinsip wakaf adalah memadukan dimensi ketakwaan kepada Allah dan kesejahteraan seorang muslim.

Wakaf di indonesia bukan merupakan hal yang tabu, banyak sekali umat islam yang mewakafkan hartanya baik dalam bentuk tanah maupun bangunan, di indonesia tanah wakaf dari tahun ke tahun terus meningkat. Di tahun 2006 sudah ada 1.849.771.348 M3 dengan 304.662 tanah yang sudah di sertifikasi dan hampir tiap tahun mengalami kenaikan yang signifikan hingga pada tahun 2014 tanah wakaf yang terdata oleh kementrian agama mencapai 4.142.464.287 M3. Dengan jumlah tanah wakaf ini tentu dapat menopang kesejahteraan negara indonesia.

Akan tetapi hal yang sangat di sesalkan karena mayoritas masyarakat di indonesia mengenal wakaf hanya dalam batas ruang lingkup sosial dan keagamaan, dalam arti lain pemberian harta wakaf dalam kepentingan tersebut seperti halnya pembuatan masjid, mushola, pesantren, pemakaman dan lain-lain. Menurut data dari Direktorat Pemberdayaan Wakaf (Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2011) bahwa di Indonesia dalam pemanfatan tanah wakaf mayoritas digunakan untuk tempat peribadahan, sebesar 43,72% digunakan untuk pembuatan masjid, 30,15% musholla, 10,59%

sekolah, 8,31% sosial, 4,26% pemakaman dan 2,98% pesantren. Pemanfaatan tanah wakaf hanya terfokuskan pada hal-hal yang bersifat ibadah dan sosial, apabila penggunaan di salurkan kepada hal yang bersifat ekonomi, tentu wakaf merupakan salah satu lembaga islam yang sangat berperan penting dalam kemaslahatan umat.

Dilihat dari segi peruntukannya, wakaf dibagi menjadi dua yaitu konsumtif dan produktif. Wakaf konsumtif yaitu harta benda atau pokok tetapnya wakaf dipergunakan langsung untuk kepentingan umat. Pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk pembangunan masjid, mushalla, sekolahan, rumah

(3)

Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 3 No. 1 (2018) 21-34 23

yatim piatu, makam. Selama ini pemanfataan wakaf dilihat dari segi sosial, khususnya untuk kepentingan peribadatan memang cukup efektif. Akan tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas. Tanpa diimbangi dengan wakaf yang dikelola secara produktif, maka kesejahteraan ekonomi masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf tidak akan dapat terealisasi secara optimal. Sedangkan wakaf produktif adalah harta benda atau pokok tetapnya wakaf tidak secara langsung digunakan untuk mencapai tujuannya, tapi dikembangkan terlebih dahulu untuk menghasilkan sesuatu (produktif) dan hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk dijual airnya dan lain – lain (Qahar, 2005:5).

Dalam UUD 1945 No 41 tahun 2004 pasal 28 menjelaskan bahwa pengelolaan wakaf dapat dilakukan dengan produktif. Produktif ini merupakan pengelolaan wakaf yang bersifat uang, sehingga pengunaannya bersifat produk yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan dapat membantu kesejahteraan ekonomi umat sesuai tujuan dari harta wakaf yang diberikan.

Hendaknya lembaga pengelolaan wakaf lebih menekan kan pada pengelolaan wakaf produktif. Oleh karena itu pemanfaatan wakaf menjadi tidak berbentuk konsumtif akan tetapi menjadi produktif sehingga manfaat dan penggunaanya lebih fleksibel tanpa harus keluar dari syariat islam.

Wakaf produktif adalah wakaf yang tidak langsung diambil manfaatnya akan tetapi di berdayakan atau di golangkan dalam suatu bentuk usaha yang kemudian diambil hasilnya untuk diberikan kepada yang berhak menerima (sesuai kesepakatan peruntukan wakaf), dengan demikian wakaf dapat menunjang perekonomian masyarakat indonesia.

Banyak lembaga-lembaga yang bergerak di bidang wakaf produktif yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan harta wakaf menjadi sebuah harta yang produktif dan hasilnya dapat disalurkan kepada siapa saja sesuai dengan peruntukan wakaf. Maka perlu adanya pengelolaan wakaf yang baik agar dapat mencapai efektifitas dan efisiensi yang diharapkan.

Pengelolaan wakaf sangat penting dalam menunjang pemberdayaan tanah wakaf, pengelolaan yang baik tentunya akan menghasilkan income dari tanah wakaf yang besar untuk disalurkan kembali kepada yang diperuntukannya tetapi jika sebaliknya maka tentu akan mengurangi hasil yang akan diberikan kepada peruntukannya.

Setelah diresmikannya UU No.41 Tahun 2004, kemudian Pemerintah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen yang secara khusus mengelola dana wakaf dan beroperasi secara nasional. Tugas dari lembaga ini adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional di Indonesia.

BWI ini berkedudukan di ibukota negara dan dapat membentuk perwakilan di provinsi atau kabupaten atau kota sesuai dengan kebutuhan (Usman, 2009:132).

(4)

24 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

BWI pada perkembangannya melebarkan sayap dengan mengadakan proyek percontohan wakaf produktif dibawah pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia yang di laksanakan di kota-kota besar di Indonesia. Badan wakaf indonesia Wilayah Jawa Barat merupakan cabang dari Badan wakaf Indonesia pusat yang dimana bergerak dalam pengelolaan, pengawasan dan pembinaan terhadap tanah wakaf di wilayah Jawa Barat. Yang beralamat di jln Jendral Sudirman No 664 Bandung.

Sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh BWI Pusat, bahwa Visi dan misi BWI antara lain; Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional. Dan Misi Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat.

Sementara itu tugas dan wewenang, sesuai dengan UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1 disebutkan, BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf., memberhentikan dan mengganti nazhir, memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf., memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Pada ayat 2 dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam melaksanakan tugas-tugas itu BWI memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia, seperti tercermin dalam pasal 50. Terkait dengan tugas dalam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP No.4/2006 pasal 53, meliputi: Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum, penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf, penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf., penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak, penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada Nazhir sesuai dengan lingkupnya, pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.

Adapun strategi untuk merealisasikan Visi dan Misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai berikut: Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional, membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan, meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk

(5)

Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 3 No. 1 (2018) 21-34 25

berwakaf., meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf, menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional.

Untuk merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 divisi, yakni Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat, dan Divisi Peneltian dan Pengembangan Wakaf.

Secara etimologi, Kata “Wakaf” atau “wacf” berasal dari bahasa arab

“waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat”(Muhammad al-Khathih,:26). Wakaf berasal dari perkataan Arab

“Waqf” yang berarti “al-Habs” . Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faidahnya. Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-

‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode

(6)

26 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan secara lebih luas (Sugiyono, 2005: 21).

LANDASAN TEORITIS

Dalam teori sosiologi, kemiskinan muncul sebagai fakta adanya disorganisasi atau disintegrasi atau kepincangan sosial. Disorganisasi terjadi ketika masyarakat seluruh atau sebagaiannya mengalami ketidaksempurnaan dalam mengorganisasi atau mengintegrasikan tujuan, harapan-harapan, dan aturan-aturan serta tidak menjaga stabilitas atau keseimbangan. Hal ini mungkin terjadi karena perubahan begitu cepat dan orang tidak mampu mengikutinya, sehingga kemungkinan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat dan orang-orang miskin tetap miskin dan orang kaya tetap kaya. Jika muncul demikian maka jelas yang terjadi dalam kehidupan sosial adalah kekacauan.

Teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah pengelolaan manajemen zakat dalam mengatasi kemiskinan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kontemporer pengelolaan berarti memimpin, mengendalikan, mengatur, dan mengusahakan supaya lebih baik, lebih maju dan sebagainya serta bertanggungjawab atas pekerjaan tertentu (Salim, 2002: 534).

Dari pemaparan di atas, yang menjadi akar permasalahan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat adalah adanya kekontrasan antara kemiskinan dan kekayaan. Islam tidak melarang umatnya untuk mencari kekayaan sebanyak- banyaknya asalkan ia mampu menjaga kestabilan kondisi sosial (mencegah terjadinya social unrest/keresahan sosial) yakni dengan mendistribusikan kekayaannya kepada orang yang kurang beruntung. Dengan kata lain, di tengah kekayaan yang berhasil dikumpulkannya itu, hendaknya jangan lupa untuk mengeluarkan harta haknya para mustahiq zakat.

Manajemen adalah pekerjaan intelektual yang dilakukan orang dalam hubungannya dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial dan yang lainnya. Secara operasional dan fungsional manajemen zakat dapat dijelaskan secara rinci di antaranya berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (Mufraini, 2006 : 28). Manajemen zakat secara operasional dan fungsional sebagaimana diungkapkan M Arief Mufraini:

Dalam manajemen zakat proses awal perlu dilakukan perencanaan.

Pengelolaan zakat diperlukan pengelola zakat yang profesional, mempunyai kompetensi dan komitmen. Secara konsepsional dan operasional pengawasan adalah suatu upaya sistimatis, untuk menetapkan kinerja setandar pada sistem umpan balik informasi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Taubah ayat 103: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui (Depag RI, 2005: 203).

Dalam ayat di atas zakat akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan

(7)

Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 3 No. 1 (2018) 21-34 27

bertambah, suci dan beres (baik). Sasaran distribusi zakat disebutkan dalam Al- Qur`an surat al-Taubah ayat 60. Dalam ayat tersebut ada 8 kelompok sasaran pendistribusian zakat yaitu fakir, miskin, amil, mu’allaf, membebaskan budak (riqāb), orang yang berutang (gharimīn), fī sabīlillah, dan ibn sabīl. Berikut dijelaskan masing-masing dan penafsirannya sesuai dengan konteks sekarang.

Fakir, orang yang tidak mempunyaiharta dan usaha, atau mempunyai harta atau usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya. kelompok fakir keadaanya lebih kurang beruntung dibanding dengan kelompok miskin.

Miskin, pada umumnya para fuqaha menetapkan kebutuhan pokok hanya dalam tiga hal yaitu pangan, sandang, dan papan, dan kebutuhan tersebut sangat minimalis atau sekedar untuk bertahan hidup. Untuk konteks sekarang, konsep kebutuhan pokok seperti itu jelas perlu penyesuaian. Bukan saja kuantitasnya tetapi juga kualitasnya sehigga dengan kebutuhan pokok tersebut manusia bisa hidup secara wajar (Mas’udi, 1991:. 149).

‘Amilīn, dalam literatur-literatur fiqh yang disebut dengan ‘āmil zakat adalah imam, khalifah atau amir. Hal ini menunjukkan bahwa yang disebut ‘āmil adalah instasi pemerintah yang bertugas secara khusus untuk memungut dan mengelola zakat. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan hak penerimaan dana zakat, yang disebut āmil adalah orang-orang dan atau fungsi-fungsi yang terlibat dalam salah satu dari bidang tanggung jawab sebagai berikut (Mas’udi, 1991: 151):

Muallaf, secara harfiah “muallafati qulūbuhum” dalam surat At-Taubah ayat 60 berarti orang yang sedang dijinakkan artinya. Dengan meminjam ijtihad Umar, pembujukan hati tersebut bukan semata bertujuan agar mereka tetap masuk dalam komunitas Muslim, tetapi lebih agar mereka memilih jalan hidup sesuai dengan jalan hidup kaum Muslim yang sebenarnya, yaitu jalan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia.

Riqāb, secara harfiah riqāb adalah orang dengan status budak. Untuk masa sekarang, manusia dengan status budak belian seperti ini sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, apabila dilihat maknanya secara lebih dalam arti riqāb merujuk pada kelompok manusia yang tertindas dan dieksploitasi oleh manusia lain, baik secara personal maupun struktural. Dengan pengertian ini, dana zakat untuk kategori riqāb dapat digunakan untuk “memerdekakan” orang atau kelompok masyarakat yang sedang dalam keadaan tertindas dan kehilangan haknya untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Dengan demikian, dana zakat dapat digunakan untuk membantu buruh-buruh rendahan dan kuli-kuli kasar dari hegemoni majikan mereka dan lain-lain (Mas’udi, 1991: 156).

Gharimīn, secara harfiah “gharimīn” adalah orang-orang yang tertindih hutang. Untuk konteks sekarang, pengertian ini masih relevan. Akan tetapi, di samping penggunaan dana zakat yang bersifat kuratif atau memberikan bantuan setelah terjadinya kebangkrutan atau kepailitan orang yang berutang tersebut, dana zakat seharusnya juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kebangkrutan tersebut dengan menyuntikkan dana agar usaha seseorang yang terancam bangkrut

(8)

28 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

dapat pulih kembali dan tidak jadi pailit.

Fī sabīlillāh, menurut Masdar F. Mas’udi, istilah “fī sabīlillāh” memiliki dua pengertian. Dalam pengertian negatif, fī sabīlillāh berarti berperang memerangi kekafiran. Sedangkan menurut pengertian positifnya, fī sabīlillāh berarti menegakkan “jalan Allah” itu sendiri (Mas’udi, 1991: 159). Jalan Allah itu diartikan sebagai “cita kebaikan-kebaikan-Nya yang universal, yang mengatasi batas kepercayaan, suku, ras, dan batas-batas formal lainnya.” Rinciannya bisa macam- macam, tetapi pangkalnya adalah kemaslahatan bersama.

Ibn Sabīl, para fuqaha selama ini mengartikan ibnu sabīl sebagai “musafir yang kehabisan bekal”. Meskipun tidak salah dan masih relevan, namun pengertian ini sangat sempit. Untuk konteks sekarang, pengertian ibnu sabīl dapat dikembangkan bukan sekedar pada “pelancong” yang kehabisan bekal, tetapi juga terhadap orang atau kelompok masyarakat yang “terpaksa” menanggung kerugian atau kemalangan ekonomi karena sesuatu yang tidak disengaja seperti karena bencana alam, wabah penyakit, dan peperangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pengorganisasian terdapat aktivitas-aktivitas pengelompokan dan pembagian kerja (job description), pengorganisasian yang baik akan menciptakan peluang pencapaian tujuan yang efektif dan efisien. Hasil Penelitian di Badan Wakaf Indonesia wilayah Jawa Barat bahwa ada empat langkah tahapan yang telah dilakukan antara lain: spesialisasi kerja, departementalisasi, pendelegasian wewenang, dan rantai komando.

Spesialisasi Kerja

Menurut teori yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, manajemen spesialisasi kerja diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang ditekuninya, dan tugas-tugas organisasi dibagi menjadi pekerjaan-pekerjaan terpisah. Pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu akan menjadi lebih baik jika pekerjaan tersebut dipecah-pecah menjadi sejumlah langkah, dan tiap langkah diselesaikan oleh seseorang individu yang lain.

Spesialisasi kerja yang diterapkan dalam lembaga ini memerlukan anggota yang berpengalaman dalam bidangnya terutama yang diperlukan dalam pelaksanaan wakaf produktif. Dalam pasal 54 ayat 1 UUD no 41 tahun 2004, bahwa persyaratan anggota Badan wakaf Indonesia haruslah memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman dibidang perwakafan dan ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah. Selain itu dalam Peraturan Badan wakaf Indonesia no 2 tahun 2012 pasal 6 ayat 6, menjelaskan tentang unsur yang terlibat dalam keanggotaan antara lain; Kemenag, Pemda, MUI, Cendekiawan, Nazhir, Ahli hukum dan Kewirausahaan (Wawancara dengan Tatang Astarudin, 18 Maret 2016).

Berdasarkan teori dan hasil penelitian, maka penulis memberikan analisis bahwa spesialisasi kerja yang dilakukan oleh Badan wakaf Indonesia Wilayah Jawa Barat sesuai dengan teori, yang dimana dalam pelaksanaanya dituntut untuk

(9)

Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 3 No. 1 (2018) 21-34 29

menjadi profesional karena yang dikelola merupakan aset bangsa/tanah wakaf milik umat sehingga dalam pengelolaanya harus dilakukan dengan serius.

Pembagian kinerja yang dilakukan dapat meningkatkan produktivitas kerja anggota serta penyesuaian keahlian terhadap tugas tugas yang diembannya, dengan adanya spesialisasi kerja, kinerja individu dalam tugas yang diembannya menjadi lebih baik karena dilakukan secara berulang-ulang sehingga mempercepat kinerja anggota dalam melakukan pekerjaannya. Seperti halnya dalam pengembangan dan pelatihan Nazhir yang rutin dilaksanakan paling sedikit 6 bulan sekali oleh staff yang mengemban tugas tersebut. Sehingga pelaksanaanya lancar, efektif dan efisien.

Departementalisasi

Berdasarkan hasil penelitian, departementalisasi yang dilakukan dalam lembaga Badan wakaf Indonesia Wilayah Jawa Barat ini di bagi kedalam 5 Divisi sebagai berikut; Divisi Pembinaan nazir, divisi pengelolaan dan pengembangan wakaf, divisi hubungan masyarakat, divisi kelembagaand divisi penelitian dan Pengembangan

Kelima divisi ini memiliki tugas berbeda-beda dan juga masing-masing anggota memiliki keahlian yang sesuai dengan divisi yang diembannya. Seperti dalam pasal 54 ayat 1 UUD no 41 tahun 2004, bahwa persyaratan anggota Badan wakaf Indonesia harus memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman dibidang perwakafan dan ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah. Selain itu dalam Peraturan Badan wakaf Indonesia no 2 tahun 2012 pasal 6 ayat 6, menjelaskan tentang unsur yang terlibat dalam keanggotaan antara lain; Kemenag, Pemda, MUI, Cendekiawan, Nazhir, Ahli hukum dan Kewirausahaan.

Divisi pembinaan nazir, memiliki tugas sebagai pembinaan nazir agar menjadi nazir yang profesional dan dapat memenuhi tugas sebagai nazir. Selain itu tugas lainnya antara lain ; Silaturahmi nazhir baik itu perorangan, organisasi dan badan hukum, melakukan penataan Kelembagaan dan Ketenagaan Nazhir dan BWI Perwakilan Provinsi dan Kabupaten/Kota., melakukan Penguatan Kelembagaan dan Jejaring Kerja Nazhir dan BWI.

Divisi pengelolaan dan pengembangan wakaf, memiliki tugas antara lain;

Sosialisasi wakaf tunai, membangun dan menjalin kerjasama dengan para pemangku kepentingan yang terkait dengan wakaf uang. Misalnya Bank Syariah, LKSPWU, Nazhir Wakaf Uang, melaksanakan program wakaf tunai sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk menginventarisasi asset-aset wakaf, (bersertifikat/belum bersertifikat; Aset bergerak/tidak bergerak; Aset wkaf Produktif, Wakaf Uang dan lain-lain); Untuk memetakan mengetahui potensi dan permasalahan wakaf di Jawa Barat; Menyelesaikan kasus-kasus perwakafan, mencari mitra BWI Jabar sebanyak mungkin dalam mengembagkan BWI dan Wakaf secara umum.

Divisi hubungan masyarakat memiliki tugas diantaranya; Membuat Website BWI Jabar, membeli Slot Acara di Media Cetak dan Elektronik, membuat Buletin Jumat, membuat Tabloid, silaturrahim dan Kunjungan Kerja ke Kota/Kabupten

(10)

30 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

di Jawa Barat, silaturrahim (koordinasi/konsultasi) dengan Nazhir, mengadakan Diskusi, Seminar dan Pelatihan, sosialisasi wakaf.

Divisi kelembagaan memiliki tugas untuk merubah dan mengganti harta benda wakaf sesuai dengan peraturan Badan wakaf Indonesia Wilayah Jawa Barat nomor 1 tahun 2008 pasal 9.

Divisi Penelitian dan Pengembangan memiliki tugas penelitian potensi wakaf yang tersebar di Wilayah Jawa Barat, serta melakukan penelitian mengenai wakaf produktif yang dilakukan dan mengembangkannya menjadi sebuah cara produktifitas baru yang lebih efisien dan efektif.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian, maka penulis memberikan analisis bahwa departementalisasi yang dilakukan oleh Badan wakaf Indonesia sesuai dengan teori yang dibahas di bab sebelumnya. Departementasilasi ini dibentuk untuk mempermudah kinerja dari masing masing anggota yang memiliki tugas berbeda tetapi dalam tugas yang hampir sama. Seperti halnya Divisi pengelolaan dan pengembangan wakaf yang terdiri dari spesialisasi dalam bidang Ekonomi dan kewirausahaan. Yang mana kedua spesialisasi itu saling berkaitan dalam tugasnya sehingga di satukan dalam sebuah Divisi.

Pendelegasian wewenang

Dalam bab sebelumnya di jelaskan bahwa pendelegasian wewenang berkaitan dengan sentralisasi dan desentralisasi, dimana penyerahan wewenang dari organisasi tingkatan atas ke tingkatan yang lebih bawah.

Sedangkan pendelegasian wewenang yang diterapkan dalam struktur organisasi Badan wakaf Indonesia Jawa Barat hanya terkait mengenai tugas dari masing-masing divisi, sehingga masing-masing divisi diberikan tugas sepenuhnya untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Dalam pengambilan keputusan semuanya dilakukan pada rapat Pleno yang dibahas bersama dengan Dewan pembina yaitu MUI dan Kemenag RI (Wawancara dengan Tatang Astarudin, 18 Maret 2016).

Berdasarkan teori dan hasil penelitian, maka penulis memberikan analisis bahwa pendelegasian wewenang yang diterapkan oleh Badan wakaf Indonesia Jawa Barat terbagi pada 2 bagian; pertama, pendelegasian dari Lembaga Badan wakaf indonesia pusat terhadap perwakilan BWI Provinsi, Kota dan Kabupaten, yang telah di atur dalam Peraturan Badan wakaf Indonesia no 2 tahun 2012 pasal 5. Kedua, pendelegasian wewenang dari ketua kepada bawahannya hanya dalam ruang lingkup divisi masing-masing.

Rantai Komando

Dalam bab sebelumnya, Rantai komando adalah sebuah garis wewenang yang tidak terputus yang membentang dari tingkat atas organisasi sampai tingkat paling bawah dan menjelaskan hasil dakwah kedepartemen masing-masing.

Dalam garis koordinasi yang diterapkan oleh BWI Jawa Barat terpusat kepada Ketua badan pelaksana, yang dimana wewenang dan tanggung jawab berada di tingkatan paling atas struktural. Ketua langsung memberikan komando kepada divisi-divisi tanpa adanya perantara lain. Rantai komando ini memberikan

(11)

Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 3 No. 1 (2018) 21-34 31

sebuah kemudahan bagi para anggota untuk menentukan siapa yang harus dituju ketika menemukan permasalahan dan juga kepada siapa anggota tersebut bertanggung jawab (Wawancara dengan Tatang Astarudin, 18 Maret 2016).

Adapun Wakaf produktif yang dilakukan oleh Badan wakaf Indonesia wilayah Jawa Barat dibatasi pada wilayah wakaf Tunai karena wakaf produktif lainnya mayoritas telah dikelola oleh nadzir baik perorangan maupun lembaga oleh karenanya tugas Badan wakaf Indonesia hanya mengawasi dan memberikan bimbingan dan pelatihan pada nadzir-nadzir tersebut. Wilayah pemberdayaan asset wakaf tunai menjadi sasaran utama yang di kelola oleh Badan wakaf Indonesia.

Dalam hasil pengembangan benda-benda bergerak terutama wakaf tunai dipergunakan untuk membantu pihak-pihak seperti fakir, miskin, yatim piatu, biaya pendidikan, kesehatan, modal usaha, rehabilitasi orang cacat, pengembangan budaya, pembangunan rumah sakit dll.

Wakaf tunai yang dilakukan oleh BWI baik dalam pengelolaan dan pengembanganya, nazhir harus sesuai dengan ketentuan sebagai berikut; 1) Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan syariah. 2) Dalam hal LKS-PWU menerima wakaf uang untuk jangka waktu tertentu, Nazhir hanya dapatmelakukan pengelolaan dan pengembangan di LKS-PWU dimaksud.

3) Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dapat dilakukan dalam bentuk investasi di luar produk-produk LKS atas persetujuan dari BWI setelah terlebih dahulu melakukan kajian atas kelayakan investasi dimaksud. 4) Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dalam bentuk investasi selain pada bank syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Prosedur wakaf Tunai yang dilakukan BWI Jawa Barat adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Model Alternatif Pengelolaan Wakaf

Pada gambar diatas, dalam penghimpunannya wakif menyerahkan uang kepada nazhir kemudian nazhir boleh menginvestasikan assets (harta wakaf)

(12)

32 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

langsung dan juga boleh berkerja sama dengan pihak LKS (lembaga keuangan syariah). Wakif juga dapat menunjuk kepada siapa investasi itu ditujukan, apabila tidak maka BWI yang akan menentukan sesuai dengan kajian atas kelayakan investasi.

Setalah proses penghimpunan maka dilanjutkan dalam proses pengelolaan, dimana pada proses pengelolaan ini wakaf (Assest) yang telah di himpun di investasikan dalam finansial ataupun rill. Bentuk investasi finansial antara Lain:

Pasar uang : Deposito di bank syariah, Unit link syariah dan lain-lain dan Pasar modal : saham syariah, obligasi syariah, reksadana syariah dan lain-lain.

Sedangkan investasi dalam bentuk rill/Proyek terbagi menjadi 2 antara lain:

Investasi langsung : Nazhir langsung berinvestasi mengelola satu proyek menggunakan uang seperti pembangunan kebun sawit, mall, apartement dan lain- lain. Dan investasi tidak langsung : Nazhir tidak langsung berinvestasi dengan cara bekerja sama dengan pihak lain (bank syariah atau LKS lain).

Kemudian proses Pendayagunaan dan penyaluran hasil investasi dibagikan sesuai dengan persetujuan di awal, biasanya penyaluran dana yang dihasilkan dari wakaf produktif di gunakan 90% untuk mauquh alaih dan sisanya 10% diberikan kepada nazhir (Wawancara dengan Tatang Astarudin, 18 Maret 2016).

Sejauh ini, pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif yang dilakukan oleh BWI Jabar telah memberikan hasil yang baik, dapat di buktikan dengan hasil- hasil sebagai berikut: Apotek Buah hati ,Soreang dengan Laba bersih Rp. 10 Juta/Bulan, training Center, Jl. Sidomukti No. 99H Bandung Laba Bersih Rp 7.5 Juta, sewa untuk Ruang Kantor, Jl Sidomukti 99H Laba Bersih Rp 5,6 Juta/Bulan., toko Busana, Pasar Baru Bandung Laba Bersih Rp 7 Juta/Bulan.

PENUTUP

Simpulan dari penelitian ini langkah-langkah pengorganisasian yang dilakukan oleh Badan wakaf Indonesia wilayah Jawa Barat antara lain; Spesialisasi kerja, hal ini dilakukan oleh BWI guna terjalinnya kinerja yang maksimal, karena penempatan masing-masing divisi di isi oleh ahli di bidangnya. Sesuai dengan pasal 54 ayat1 UUD no 41 tahun 2004 dan Peraturan BWI no2 tahun 2012 pasal 6.

Kedua Departementalisasi, setelah spesialisasi dilakukan BWI membagi masing- masing anggota kepada 5 divisi yaitu divisi Pembinaan nazir, divisi pengelolaan dan pengembangan wakaf, divisi hubungan masyarakat, divisi kelembagaan, divisi penelitian dan Pengembangan. Dimana kelima divisi tersebut disesuaikan dengan keahlian dan tugas yang diemban masing-masing anggota. Ketiga pendelegasian wewenang, yang diterapkan oleh Badan wakaf Indonesia Jawa Barat terbagi pada 2 bagian; pertama, pendelegasian dari Lembaga Badan wakaf indonesia pusat terhadap perwakilan BWI Provinsi, Kota dan Kabupaten, yang telah di atur dalam Peraturan Badan wakaf Indonesia no 2 tahun 2012 pasal 5. Kedua, pendelegasian wewenang dari ketua kepada bawahannya hanya dalam ruang lingkup divisi masing-masing, Keempat rantai komando, dalam pelaksanaanya garis wewenang dan koordinasi ketua badan pelaksana langsung terhubung kepada divisi-divisi

(13)

Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 3 No. 1 (2018) 21-34 33

tanpa adanya perantara lain. Sehingga pelaksanaan kerja dapat cepat direspon dan di ambil keputusan.

Dalam pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh BWI Jabar, hanya mengelola wakaf benda-benda bergerak dan wakaf tunai (Uang serta harta wakaf yang diamanahkan kepadanya). Karena sudah banyak tanah wakaf yang telah memiliki nadzir baik perorangan maupun lembaga oleh karena itu, BWI cukup hanya membantu memberdayakan tanah wakaf tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada peningkatan kemampuan para nazir wakaf sehingga mereka dapat mengelola wakaf yang menjadi tanggung jawabnya secara produktif. Adapun wakaf produktif yang dilakukan oleh BWI adalah wakaf uang dalam bentuk investasi finansial dan investasi riil/proyek.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keilmuan mengenai pengelolaan wakaf baik dari segi pengorganisasiannya maupun manajerialnya. Dan semoga penelitian ini dapat dijadikan batu loncatan untuk peneliti selanjutnya yang membahas mengenai wakaf, serta untuk memperbaiki pengelolaan organisasi bagi organisasi-organisasi lain yang bergerak di bidang Wakaf. Pengelolaan yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula, oleh karena manajemen perlu di terapkan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

A.F Stoner, James, R. Wdward Freeman, Daniel R. Gilbert, JR., “Personnel administrator”. 1979.

Ahmad Fadhli, Organisasi dan administrasi, [kediri:Manhalun nasyiin Press, 2002], hlm30.

Direktorat jendral bimbingan masyarakat islam dan penyelengaraan haji, Pedoman pengelolaan & pengembangan wakaf (jakarta;2003) hlm.29 (Dirjen Bimbingan masyarakat islam, 2003:29)

Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Hasibuan, malayu S.P., Manajemen: Dasar, pengertian dan Masalah. Cetakan ke-10, Jakarta: PT Toko gunung agung, 1995.

Himpunan peraturan perundang-undangan tentang wakaf no 41 tahun 2004:

Kementrian Agama RI Direktorat Pemberdayaan wakaf, Jakarta: 2011.

James AF, Stoner, Manajemen, jilid 1 dan 2. Jakarta: penerbit erlangga, 1975.

Koontz C. O Donnel, Principles management:An Analysis od managerial function, Edisi ke 5, Tokyo: McGraw hill, Koghakusa LTD.,1972.

Lecy J.Moleong. 1996. Metodelogi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda karya.

Lock, Dewnis dan Nigel Farrow, Manajemen umum, Buku pertama dan buku kedua, jakarta: PT Elec Media komputindo, 1989.

Nickels Willian, Mc Hugh James, Understanding business, 4th Edition. USA: MC Grawhill, 1997

Manullang, Dasar-dasar manajemen, Medan: Penerbit Ghalia Indonesia, 1976.

Manzhur, Ibnu. tt, Lisân al‘Arab, Kairo: Dâr Ma’ârif

(14)

34 Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 2 (2016) 21-34 Homiletic Studies 15(2) (213)

Muhammad al-Khathih, al-iqna’ (Bairut: Darul Ma`rifah), hlm 26 dan Dr. Wahbah Zuhaili, al-fiqhu al-islami wa ‘adillatuha (Damaskus: Dar Al-fikr al- Mu`athir), hlm. 7599

Muhammad Rasyid Ridha, tafsir al-Qu`ranal-hakim, Bairut; Dar al-Ma`arifah, t. Th., cet. Ke-2, Jilid ke-4

M.munir dan wahyu ilahi, manajemen dakwah, [jakarta;kencana, 2009] hlm 119.

Peraturan Badan wakaf Indonesia no 1 tahun 2008 tentang prosedur penyusunan rekomendasi terhadap permohonan penukaran/perubahan status harta benda wakaf.

RB. Khatib Pahlawan Kayo, manajemen dakwah dari dakwah konvensional menuju dakwah profesional, (jakarta:Amzah,2007), hlm 16.

Sadiah, Dewi. Metode penelitian dakwah: pendekatan kualitatif dan kuantitatif, Bandung:

CV Mimbar Pustaka, 2014.

Shaleh, Rosyahad, manajemen Da`wah islam, Jakarta; Bulan bintang, 1997.

Soekanto, Soejono, sosiologi suatu pengantar, Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo persada.

Sugiono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta, 2006.

Suntoyo, Usman. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2012.

Terry, George R. Prinsip-prinsip manajemen. Jakarta:Bumi Aksara, 1996.

BWI, Sekilas Badan Wakaf Indonsia, diakses tanggal 20 September 2016, http://bwi.or.id/index.php/in/tentang-bwi/sekilas-bwi.html

Gambar

Gambar 1. Model Alternatif Pengelolaan Wakaf

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat banyak yang belum mengetahui manfaat buah mengkudu (Morinda citrifolia) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) khususnya di bidang pertanian, karena buah ini

Kesimpulan dari penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut : (1) Kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan mengunakan metode kerja

Hasil yang didapatkan dalam penelitian pengaruh kecepatan putar kipas outlet terhadap karakteristik mesin penghasil aquades dengan siklus kompresi uap meliputi suhu kerja

Simpulan hasil penelitian ini dapat dikemukakan : (1) Hasil evaluasi pengendalian intern yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa struktur pengendalian intern atas fungsi

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah melakukan beberapa kegiatan dalam mendukung pemasaran dan pengembangan objek wisata di

Salah satu faktor penting dalam pembuatan granulyaitu perekat. Perekat berfungsi untuk meningkatkan kekompakan bahan yang akan dibuat granul. Perekat juga berfungsi untuk

Untuk dapat menguasai capaian pembelajaran pada Kegiatan Belajar 4 tentang teori belajar humanisk dan penerapannya dalam pembelajaran, silakan Bapak/Ibu pelajari beberapa

Suatu proses bisnis mungkin akan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap bisnis perusahaan sehingga terhadap proses bisnis ini, perusahaan perlu menangani dengan baik