• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Terutama usia 0-2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Terutama usia 0-2"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita.

Pertumbuhan dan perkembangan di masa balita menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Terutama usia 0-2 tahun merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period) khususnya untuk pertumbuhan jaringan otak, sehingga bila terjadi gangguan pada masa ini akan berpengaruh pada kualitas saat ia dewasa nanti (Kemenkes, 2010). Pada masa balita ini berbagai bentuk penyakit, kekurangan gizi, kurang kasih sayang, serta kurang stimulasi pada usia ini akan berdampak negatif yang menetap sampai usia dewasa bahkan sampai usia lanjut (Kemenkes, 2013).

Perkembangan anak adalah suatu proses dinamis, diawali dari anak bergantung pada seorang pengasuh atau orang tua dalam segala aspek fungsional selama masa bayi, kemudian berkembang menjadi mandiri di akhir masa kanak- kanak, remaja, dan dewasa muda (WHO, 2012). Menurut WHO dan UNICEF (2012) melaporkan bahwa lebih 200 juta anak di dunia tidak mampu mencapai perkembangan potensial di usia 5 tahun, disebabkan kemiskinan, pelayanan kesehatan yang buruk, asuhan gizi dan psikososial yang buruk. Berdasarkan laporan WHO (2013) menyatakan bahwa setiap tahun lebih 200 juta anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Cheung, et al., (2007)

1

(2)

menjelaskan bahwa anak usia di bawah 5 tahun kurang beruntung mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang buruk.

Pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi antara orang tua atau pengasuh dan anak. Interaksi ini akan membentuk hubungan serta ikatan secara emosional. Pengasuh (caregiver) atau orang tua mengemban tugas mendidik pertama bagi anak dalam mengenal nilai, menyerap norma dan memahami kehidupan sosial. Tugas mendidik inilah yang kemudian dilakukan oleh pengasuh melalui penerapan pola asuhan terhadap anak. Peran pengasuh untuk pengasuhan anak sangat besar dalam pemberian stimulasi tumbuh kembang anak.

Interaksi pengasuh dengan anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat pengasuh dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak (Gunarsa dan Gunarsa, 2004). Interaksi pengasuh lebih terpusat dalam aktifitas perawatan anak, seperti memberi makan, mengganti popok, dan memandikan anak (Santrock, 2007).

Para ahli sepakat tentang perlunya suasana kondusif bagi berkembangnya potensi anak, sementara suasana penuh konflik dan ketegangan, akan berdampak negatif kepada interaksi pengasuh serta interaksi pengasuh dengan anak, yang selanjutnya membentuk perilaku anak (Hastuti, et al., 2008). Situasi dalam keluarga secara langsung dan tidak langsung akan membentuk kualitas interaksi yang terjadi antara pengasuh dengan anak. Richter, et al., (1990) cit. WHO (2004) menyatakan bahwa tercapainya kualitas asuhan antara anak dengan pengasuh dapat memprediksi pertumbuhan dan perkembangan anak.

(3)

WHO (2004) menjelaskan bahwa peningkatan kualitas atau kemampuan dasar terhadap kepekaan dan ketanggapan menggambarkan cara seseorang pengasuh atau orang tua mampu mempraktikkan asuhan yang spesifik, misalnya pemberian makan, peka terhadap anak sakit, serta dapat merangsang perkembangan bahasa dan kognitif anak. Kualitas interaksi pengasuh atau orang tua yang buruk dengan anak, dapat menyebabkan kurang gizi pada anak (WHO, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shobirin (2013), menunjukkan bahwa anak usia kurang dari 3 tahun yang mengalami malnutrisi cenderung mengalami gangguan perkembangan. Kemenkes (2010) menjelaskan bahwa gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi yang perlu lebih diperhatikan adalah pada kelompok bayi dan balita. Pemantauan status gizi (PSG) tahun 2015 menyebutkan 3,8% balita mengalami gizi buruk (Kemenkes, 2016).

Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2015, menunjukkan bahwa anak usia 0 - 4 tahun sebayak 27.209 anak. Balita yang mengalami gizi kurang sebesar 7,26% dan gizi buruk sebesar 0,67%, masih cukup besar anak balita di Kota Yogyakarta mengalami gizi kurang dan gangguan pertumbuhan (Dinkes Kota Yogyakarta, 2016). Hasil studi pendahuluan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Yogyakarta didapatkan jumlah gizi kurang di Kecamatan Mantrijeron masih besar, yaitu 59 anak, dan gizi buruk berjumlah 13 anak. Berdasarkan hasil penelitian Huriah (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 8,35% balita yang mengalami gizi kurang di Kecamatan Mantrijeron dan sebanyak 5,34% di Puskesmas Kotagede II.

(4)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adimayanti (2016) yang melakukan penelitian tentang “pengaruh pelatihan care for child development (CCD) pada kader terhadap kualitas asuhan ibu”. Penelitian ini lakukan di Puskesmas Mantrijeron Kota Yogyakarta, yang melibatkan 110 ibu dan terbagi menjadi dua kelompok intervensi dan kontrol, dengan tujuan penelitian mengidentifikasi pengaruh pelatihan CCD terhadap kualitas asuhan ibu. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kualitas asuhan ibu pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Skor sebelum diberikan intervensi pada kelompok intervensi sebesar 86,6 meningkat menjadi 102,42. Skor pada kelompok itervensi sebelum pelatihan dan setelah pelatihan CCD 9,62, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami kenaikan 1,9. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kenaikan skor rerata kualitas asuhan lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hampir semua responden kelompok intervensi mengalami peningkatan skor kualitas asuhan pada saat pengukuran posttest.

Kualitas interaksi asuhan dapat dipengaruhi oleh pengetahuan pengasuh, dan sosial ekonomi keluarga (Nicholson, et al., 2006; Rindermann dan Baumeister, 2015). Menurut WHO (2004) faktor yang mempengaruhi kualitas interaksi pengasuh (caregiver) dengan anak dapat berasal dari pengasuh maupun anak. Beberapa faktor yang berasal dari faktor pengasuh seperti: usia, pengetahuan, pekerjaan, status mental, dan ekonomi, sedangkan faktor berasal dari faktor anak yaitu: kecacatan fisik dan mental. Menurut Bryan (2003) kualitas interaksi antara penagasuh atau orang tua dengan anak dipengaruhi oleh usia

(5)

pengasuh atau orang tua. Pengasuh yang memiliki pengalaman sebelumnya dalam merawat anak mempunyai kualitas interaksi yang lebih baik dibandingkan dengan pengasuh yang memiliki anak pertama. WHO (2004) menjelaskan bahwa pengetahuan pengasuh terhadap perkembangan anak sangat menentukan interaksi yang diberikan.

Menurut WHO (2004) menyatakan bahwa hal yang dapat mempengaruhi interaksi pengasuh dan anak adalah seberapa luas pengetahuan yang dimiliki pengasuh. Wawasan pengetahuan yang dimiliki pengasuh dapat mempengaruhi bagaimana pengasuh membuat interaksi tersebut lebih berkualitas dengan memberikan informasi atau pengetahuan pada anak mengenai objek yang ada di lingkungan sekitarnya sesuai dengan tahap perkembangan anak. Seberapa sering pengasuh berlatih berinteraksi dapat mempengaruhi kualitas interaksi pengasuh dengan anak.

Pengasuh yang bekerja di luar rumah mempunyai pengaruh negatif terhadap anak. Anak cenderung mendapatkan intensitas interaksi yang kurang dengan pengasuh. Menurut Hastuti, et al., (2008) pengaruh negatif tersebut dapat diperbaiki dengan adanya kualitas interaksi yang baik antara pengasuh dengan anak. Pengasuh yang mengalami depresi dapat menurunkan kualitas interaksi dengan anak dan mengakibatkan anak mengalami gangguan perilaku, kecemasan, depresi, gangguan perhatian dan gangguan perkembangan (Galler, et al., 2000).

Menurut WHO (2004) mengungkapkan bahwa kemiskinan dapat mempengaruhi lingkungan keluarga, pengasuhan pada anak, dan interaksi pengasuh dengan anak.

(6)

Kemiskinan menyebabkan pengasuh mengalami stres dan akan kesulitan dalam memberikan respon dan stimulasi pada anak.

Pengasuh yang memiliki anak dengan kecacatan secara fisik dan mental menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi. Pengasuh juga mengungkapkan rasa tidak puas dengan anak. WHO (2004) menjelaskan bahwa pengasuh merasa kewalahan dalam merawat anak dengan kecacatan fisik dan mental sehingga dapat menurunkan kualitas interaksi dengan anak.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Adimayanti (2016) menunjukkan bahwa faktor usia, pekerjaan, dan pendidikan tidak terdapat hubungan yang bermakna terhadap peningkatan kualitas asuhan. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Zevalkink dan Walvaren (2001) bahwa dengan pendidikan pengasuh yang tinggi akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Pendidik yang pertama kali memberikan pengaruh terhadap anak adalah ibu, ayah, dan lingkungan keluarga. Hasil penelitian Nadhiroh (2008) menunjukkan bahwa perbedaan pendidikan pengasuh bermakna positif secara tidak langsung dengan keterampilan sosial anak, yaitu melalui pengasuhan pengasuh berasal dari orangtua merupakan pengaruh atau bimbingan yang utama.

Menurut WHO (2004) bahwa kualitas interaksi pengasuh dengan anak merupakan baik buruknya hubungan timbal balik antara pengasuh dengan anak.

WHO dan UNICEF (2013) mengungkapkan bahwa penerapan program CCD terbukti efektif dan efisien dalam meningkatkan tumbuh kembang anak dan berpengaruh positif pada orang tua. Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik

(7)

ingin meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita di wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron Kota Yogyakarta

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu: “Apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita di Kota Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita di Kota Yogyakarta

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam khasanah ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita, dan dapat sebagai tambahan data pendukung untuk penelitian lain yang sejenis.

2. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan

Sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan untuk masa yang akan datang yang berhubungan dengan faktor yang berhubungan dengan

(8)

kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita, sehingga dapat memberikan upaya-upaya promosi dan preventif.

3. Bagi masyarakat khususnya orang tua atau pengasuh

Dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita sehingga dapat mengupayakan pencegahannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas interaksi pengasuh dengan anak balita, belum pernah dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian dengan topik yang hampir serupa antara lain:

Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Beberapa Penelitian Lain

Peneliti,

tahun Judul Metode Hasil Persamaan dan

Perbedaan Aboud, et

al., (2013)

Effectiveness of a Parenting

Program in Bagladesh to Address Early Childhood Health Growth and Development

Merupakan penelitian

Stratified Cluster Field Trial dengan subjek penelitian bayi usia 4-14 bulan, instrumen yang digunakan scales of infant

and child

development

Program parenting yang dilakukan selama 10 bulan , efektif dalam meningkatkan perkembangan kognitif dan bahasa, tetapi tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan anak. Usia anak 12 bulan dan usia

lebih tua

menunjukkan 14,58% bisa berdiri dengan bantuan, 31,25%

dapat berjalan dengan bantuan, 27,08% dapat berdiri sendiri, dan 18,75% dapat berjalan mandiri.

a. Persamaan dengan penelitian ini variabel yang akan diteliti (pengasuh) b. Perbedaan

dengan penelitian ini desain penelitian, subjek penelitian, tempat penelitian, tujuan penelitian

(9)

Tabel 1.1 Lanjutan

Peneliti,

tahun Judul Metode Hasil Persamaan dan

Perbedaan Lane

(2012)

The Influences of Parent Child Interactions and Cortisol

Concentartions of Toddlers in Full Day Childcare

Merupakan penelitian studi eksplorasi.

Menggunakan dua jenis instrumen.

Pertama untuk mengukur interaksi pengasuh dan temperamen anak menggunakan instrumen Early Childhood

Behavior Questionnaire (ECBQ).

Kedua mengukur anak usia toddler menggunakan instrumen Classroom Assessment Scoring

System (CLASS) yang diadopsi dari Engagerment Check II

Meningkatkan pengalaman guru, dan terjadi penurunan kadar kortisol.

Meningkatkan perkembangan aktifitas anak usia toddler, serta terjadi penurunan kadar kortisol.

Temuan lain menunjukkan ada hubungan

temperamen dan konsentrasi kortisol, serta tidak ada

hubungan yang berarti secara statistik antara konsentrasi kortisol.dan dimensi CLASS pada usia toddler

a. Persamaan dengan penelitian ini tidak

ditemukan b. Perbedaan

dengan penelitian ini desain penelitian, variabel yang diteliti, subjek penelitian, tempat penelitian

Stolt, et al., (2014)

Early Relation between Language Development and the Quality Mother child Interaction in Very Low Birth Weight Children

Merupakan penelitian A Longitudional Prospective Follow up Study Design.

Subjek penelitian ada 28 bayi (BBLSR)

kelompok

intervensi, dan 34 bayi normal sebagai kelompok kontrol,

pengukuran kemampuan bahasa diukur dengan usia berbeda pada usia 6, 12, dan 24 bulan

Tidak ada

hubungan yang signifikan antara kualitas interaksi dengan

kemampuan bahasa pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) ketika mencapai usia 2 tahun.

a. Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada variabel yang akan diteliti (kualitas interaksi) b. Perbedaan

dengan penelitian ini adalah desain penelitian, tujuan penelitian, subjek penelitian

Gambar

Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Beberapa Penelitian Lain
Tabel 1.1 Lanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi kebijakan PMU apabila ditinjau dari ketepatan kebijakan Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 80 tahun 2013, dapat dikatakan tepat untuk

Hasil persamaan regresi berganda tersebut memberikan pengertian bahwa : Nilai konstanta 2,195 mempunyai arti bahwa apabila variabel bebas yaitu harga, lokasi, dan pelayanan

Pemberian ekstrak jahe merah Zingiber officinale Rosc dapat mempengaruhi kualitas sperma pada tikus Rattus norvegicus yang terpapar Allethrin dengan meningkatkan konsentrasi,

Kemudian setiap kelompok sudah melakukan percobaan dengan baik sesuai yang tertera pada LKK; (3) pada tahap keterampilan mengamati, Setiap siswa dalam kelompoknya

Berdasarkan tabel diatas untuk hasil tes kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan pemahaman konsep matematis peserta didik kelas

Upaya yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di Kecamatan Bonang adalah menyalurkan Bantuan Langsung Mandiri (BLM) dan bantuan sarana

Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Tesis Fakultas

Hasil penelitian ini menunjukkan formula terbaik sediaan pelembab ekstrak kering daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) adalah formula II dengan konsentrasi