• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN EFEKTIVITAS MODEL TEAM GAME TOURNAMENT DAN INDIVIDU BERDASARKAN COGNITIVE LOAD THEORY DITINJAU DARI KEAKURATAN DAN KECEPATAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN EFEKTIVITAS MODEL TEAM GAME TOURNAMENT DAN INDIVIDU BERDASARKAN COGNITIVE LOAD THEORY DITINJAU DARI KEAKURATAN DAN KECEPATAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA."

Copied!
793
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses sistematis yang berfungsi untuk meningkatkan martabat manusia. Di Indonesia, pendidikan dirumuskan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga setiap warga negara memiliki kapasitas dalam mengaktualisasikan diri sebagai manusia seutuhnya. Dimensi kapasitas manusia tersebut mencakup tiga, yaitu (1) afektif, yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif, yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik, yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis (Depdiknas, 2005: 9 – 10). Diantara ketiga kapasitas manusia tersebut, dimensi kognitif merupakan dimensi yang sering menjadi fokus dalam memajukan pendidikan, seperti dalam hal menentukan pembelajaran yang efektif.

(2)

2

Matematika dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang mencakup segala aspek kehidupan. Hal ini sesuai dengan Permendiknas No. 22 tahun 2006, yang mengartikan matematika sebagai ilmu pengetahuan universal yang melandasi perkembangan teknolog i modern. Selain itu, matematika berperan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Dengan kata lain, matematika adalah ilmu pengetahuan yang mendasar sehingga siswa dapat mengembangkan berbagai jenis kemampuan untuk mempelajari matematika.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan satu diantara kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang siswa selama dan setelah pembelajaran matematika. Karena menurut Ruseffendi (2006), pemecahan masalah matematika dapat dipandang sebagai proses dan juga hasil. Bahkan pentingnya kemampuan pemecahan masalah ditegaskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika sangat penting diisi dengan kegiatan-kegiatan pemecahan masalah. Sama halnya dengan BSNP, pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga diamanatkan dalam kurikulum nasional (Permendiknas No. 22 tahun 2006) dan juga kurikulum pada negara-negara maju eperti Amerika Serikat, Inggris dan Korea Selatan. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah menjadi perhatian khusus dalam pembelajaran matematika.

(3)

3

profesi detektif atau konsultan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut untuk dapat memecahkan masalah kehidupan, baik dari tingkat yang sederhana hingga yang rumit. Oleh karena itu, model pembelajaran perlu dikembangkan agar dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Davidson dan Sternberg (2003: 3) juga menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran. Menurut Davidson dan Sternberg, masalah adalah pusat dari kehidupan manusia sehingga penting untuk menguasai kemampuan pemecahan masalah terutama mengidentifikasi permasalahan tersebut.

Kemampuan pemecahan masalah idealnya memiliki kriteria tertentu agar dapat dikategorikan sebagai kemampuan pemecahan masalah yang baik. Menurut Benjamin, Foy, Konowitch dan Mauprivez (2013: 2), keakuratan dan kecepatan sangat penting bagi siswa dalam kemampuan pemecahan masalah matematika. Kecepatan yang dimaksud berkaitan dengan secepat apa siswa dapat memproses informasi matematika dari memori pemyimpanan ke memori kerja, sedangkan keakuratan berkaitan dengan kebenaran dan ketepatan dari hasil pemrosesan (pemecahan masalah) tersebut. Sheremata (2000) juga berpendapat bahwa keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah merupakan dua hal penting yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah. keakuratan berkaitan dengan kualitas jawaban dimana

(4)

4

keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah yang efektif. Oleh sebab itu, siswa memerlukan strategi yang efektif melalui desain dan model pembelajaran yang efektif agar siswa dapat memecahkan masalah dengan akurat dan cepat.

Guru merupakan fasilitator pembelajaran yang dituntut untuk mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas berfikir siswa sehingga dapat memfasilitasi pembelajaran yang efektif. Struktur kognitif dalam proses berpikir siswa memiliki karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain pembelajaran (Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015). Belajar dalam perspektif kognitif adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan proses mental kognitif untuk memilih, mengolah dan menyusun informasi serta merangkainya menjadi pengetahuan yang sistematis (Retnowati, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk berfikir dengan efisien dalam mengkonstruksi pengetahuan.

(5)

5

pembelajaran tertentu, yang diteorikan oleh John Sweller dari Autralia dengan istilah Cognitive Load Theory (CLT) pada tahun 1980-an.

Cognitive Load Theory merupakan teori instruksional (pembelajaran) yang berlandaskan pada kapasistas berfikir siswa (Sweller, Merrienboer dan Paas, 1998, Sweller, 2004, Sweller, Ayres dan Kalyuga, 2011). Teori ini menyatakan bahwa proses pembelajaran bermakna berlangsung karena keseimbangan antara muatan dari proses pembelajaran dengan kapasitas kognitif manusia. Menurut CLT, working memory berperan dalam memfasilitasi proses berfikir siswa. Khususnya untuk siswa yang belum mempunyai pengetahuan awal yang cukup untuk mengenali dan memroses informasi baru atau kompleks, kapasitas working memory untuk mengorganisir pengetahuan menjadi semakin rendah.

Dengan adanya kapasitas working memory tersebut, Sweller, Ayres dan Kalyuga (2011) menjelaskan bahwa siswa yang akan mempelajari materi baru atau kompleks akan lebih baik difasilitasi dengan desain pembelajaran yang meminimalkan muatan kognitif di working memory. Muatan kognitif dalam working memory dapat disebabkan oleh dua sumber yaitu: (1) dari kompleksitas elemen-elemen materi pembelajaran (intrinsic cognitive load); (2) dari penyajian materi pembelajaran (extraneous cognitive load). Kedua muatan ini bersifat akumulatif di dalam working memory.

(6)

6

materi baru, guru perlu mendesain pembelajaran yang meminimalkan muatan dari intrinsic cognitive load dan extraneous cognitive load, dan guru berperan dalam memfasilitasi proses yang meningkatkan germane cognitive load yaitu untuk konstruksi skema pengetahuan serta guru berperan dalam membangun susunan skema yang baik dan memfasilitasi automatisasi skema melalui rehearsal.

Konstruksi skema pengetahuan matematika berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Belajar matematika memerlukan prior-knowledge sebagai modal untuk membangun konsep baru (Subanji, 2015:1). Kegiatan menghubungkan prior-knowledge dengan pengetahuan lama atau pengetahuan yang telah dimiliki memerlukan kemampuan pikiran. Pikiran akan memberikan respon terhadap suatu konsep matematika yang telah dipelajari. Konsep matematika yang dipelajari akan dihubungkan dengan konsep bersesuaian yang telah dimiliki.

(7)

7

2013). Lin dan Lin juga membuktikan bahwa jumlah elemen informasi, tingkat interaksi elemen, dan tingkat operasi mental merupakan tiga sumber utama cognitive load dalam konfigurasi pemahaman, terutama berkenaan dengan geometri pemecahan masalah. Sebagai mana menurut Suharjana (2010), geometri adalah salah satu materi dari matematika yang diajarkan dengan tujuan agar siswa dapat memahami sifat-sifat dan hubungan unsur geometri serta dapat menjadi pemecah masalah yang baik.

Cognitive Load Theory mengembangkan pembelajaran menggunakan model individu karena proses berfikir dan mengkonstruksi pengetahuan seyogyanya bersifat individual (Retnowati, Ayres dan Sweller, 2010). Akan tetapi, kerena seorang individu berada dalam suatu lingkungan sosial budaya memungkinkan untuk belajar dari individu lain (Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015). Menurut Vygotsky (dalam Daniels, 2001), perkembangan kognitif siswa dapat lebih optimal ketika siswa mendapatkan bimbingan (scaffolding) dari orang lain yang lebih pandai. Hung (dalam Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015) menambahkan, orang lain yang berfungsi sebagai scaffolding karena dapat menyediakan pengetahuan awal untuk “dipinjam” oleh siswa yang kurang pengetahuan awalnya sehingga

(8)

8

Pembelajaran kooperatif bukanlah gagasan baru dalam dunia pendidikan, tetapi dewasa ini, model tersebut hanya digunakan oleh beberapa guru aktif dan kreatif. Namun demikian, penelitian selama beberapa dekade terakhir telah mengidentifikasikan model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari matematika, membaca, menulis sampai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai pemecahan masalah-masalah yang kompleks (Slavin, 2008: 4).

Pembelajaran kooperatif memfasilitasi siswa untuk belajar berkelompok dan bekerja sama dengan siswa lainnya serta saling berbagi agar dapat mengerjakan tugas baik berupa informasi, konsep, eksperimen, atau bahkan pemecahan masalah dalam pembelajaran (Johnson dan Johnson, 1994: 100 – 101). Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur sesuai dengan konsep gotong royong di Indonesia. Pembelajaran ini dapat merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar dengan kelompok-kelompok kecil yang bervariasi. Lie (2007: 12) menjelaskan, pada model pembelajaran kooperatif, siswa dalam belajar kelompok akan mengembangkan suasana belajar terbuka yang saling menguntungkan dan membutuhkan, interaksi guru dengan siswa, siswa dengan siswa sehingga memungkinkan pengembangan nilai-nilai sosial yang ada.

(9)

9

Game Tournament (TGT) merupakan model pembelajaran kooperatif yang menggunakan permainan dan turnamen akademik, dimana siswa berkompetensi sebagai wakil dari timnya melawan anggota tim yang lain yang mencapai hasil atau prestasi serupa pada waktu lalu. Komponen-komponen dalam TGT adalah presentation (penyajian materi), team (kelompok), game (permainan), tournament (turnamen), dan reward (penghargaan kelompok) (Slavin, 1995:84). Dalam permainan, terdapat dua variabel yang menentukan keberhasilan kelompok, yaitu keakuratan dan kecepatan. Dengan kata lain, TGT memiliki kelebihan dalam mendorong siswa untuk lebih cepat dan akurat dalam pemecahan masalah.

(10)

10

model pembelajaran tersebut berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

B. Identifikasi Masalah

Dari pejabaran latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika masih perlu untuk selalu ditingkatkan dengan model pembelajaran yang inovatif.

2. Keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah merupakan bagian penting dari kemampuan pemecahan masalah yang masih perlu untuk difasilitasi dengan inovasi pembelajaran.

3. Penelitian tentang model pembelajaran kooperatif Team Game Tournament (TGT) belum diketahui keefektivannya jika dikembangkan berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) pada materi geometri. 4. Perbandingan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan

model individu berdasarkan CLT belum mempunyai bukti empiris yang cukup.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat permasalahan yang teridentifikasi cukup luas, penelitian ini dibatasi pada:

(11)

11

2. Keakuratan pemecahan masalah didefinisikan sebagai jawaban dari tes kemampuan pemecehan masalah yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan, lengkap dan benar.

3. Kecepatan pemecahan masalah didefinisikan sebagai total skor benar dari tes kemampuan pemecehan masalah yang dapat dipecahkan oleh siswa dalam waktu tertentu.

4. Materi pembelajaran dibatasi hanya pada materi Standar Kompetensi (4) untuk kelas VIII yaitu menentukan unsur, bagian lingkaran serta ukurannya dan Kompetensi Dasar (4.4) yaitu menghitung panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dimana indikator pencapaian kompetensi adalah menentukan panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih. Materi tersebut dipilih karena sesuai dengan sifatnya yang tidak mudah diajarkan, kompleksitas materi, dan merupakan materi yang paling mungkin untuk diteliti pada semester genap tahun akademik 2015/2016.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang dan beberapa identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut maka pokok permasalah yang menjadi penelitian sebagai berikut:

(12)

12

2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa? 3. Apakah terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan

model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah menyelidiki

1. Untuk menguji apakah terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. 2. Untuk menguji apakah terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara

model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

3. Untuk menguji apakah terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(13)

13

pendidikan matematika. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai rujukan untuk orang-orang yang berminat dalam melakukan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa

1) Memfasilitasi siswa dengan proses kognitif dalam pembelajaran matematika yang efektif.

2) Melatih siswa aktif dalam belajar secara individu dan kelompok.

3) Membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika.

b. Bagi Guru

1) Memberi desain pembelajaran alternatif, yaitu pembelajaran berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT). 2) Memberi ide kreatif dalam pembelajaran matematika. c. Bagi Peneliti

1) Mengembangkan keterampilan dalam penelitian sebagai calon pendidik matematika.

(14)

75 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang bagaimana metode penelitian yang akan dilaksanakan dan analisis data yang akan digunakan. Dari uraian ini, peneliti berusaha untuk merancang desain, instrumen dan uji hipotesis (berdasarkan rumusan masalah) dalam penelitian.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan paradigma kuantitatif yang berjenis kuasi eksperimen. Kuasi eksperimen merupakan suatu bentuk penelitian ekperimen dimana individu tidak ditempatkan ke dalam kelompok secara acak seutuhnya atau acak yang kebetulan sehingga dapat menggunakan kelas yang telah ada untuk dijadikan kelompok eksperimen (Creswell, 2012: 309). Penelitian ini akan membandingkan bagaimana keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa untuk mengetahui dan menyelidiki efektivitas model pembelajaran TGT dan individu berdasarkan CLT.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

(15)

76

menggunakan kurikulum nasional 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan masih akan menggunakan kurikulum tersebut pada saat penelitian berlangsung. C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Menurut Creswell (2012: 142), populasi merupakan kelompok individu yang memiliki karakteristik yang sama. Sebagai contoh, semua guru yang membentuk populasi guru, dan semua administrator sekolah yang membentuk populasi administrator sekolah. Contoh tersebut menggambarkan, populasi dapat berupa skala kecil atau besar.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama kelas VIII khususnya siswa yang memiliki rata-rata umur 14,12 tahun dan belum mempelajari materi panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

(16)

77 2. Sampel

Menurut Creswell (2012: 142), sampel merupakan subkelompok dari populasi. Dalam situasi yang ideal, sampel dapat dipilih dari beberapa individu yang merepresentasikan seluruh populasi. Berdasarkan kesistematisannya (Creswell, 2012: 142), ada dua jenis pengambilan sampel, yaitu Probability Sampling (pengambilan sampel yang sistematis) dan Nonprobability Sampling (pengambilan sampel yang tidak sistematis).

Dalam penelitian pendidikan, Probability Sampling tidak selalu digunakan karena peneliti dapat menggunakan Nonprobability Sampling. Pada Nonprobability Sampling, peneliti memilih individu karena mereka bersedia dan mewakili beberapa karakteristik yang akan diteliti. Dalam beberapa situasi, dapat juga karena individu tersebut sukarela dan setuju (Creswell, 2012: 145). Ada dua jenis Nonprobability Sampling yang populer digunakan (Creswell, 2012: 145), yakni convenience sampling dan snowball sampling.

(17)

78

kooperatif serta pada saat penelitian dilakukan siswa belum memahami dan menguasai salah satu kompetensi dari permasalahan matematika, yaitu garis singgung lingkaran. Hal lainnya, karena kemudahan akses dan kemudahan mitra yang telah terjalin sebelum peneliti melakukan penelitian yaitu pada saat Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 14 Yogyakarta tepatnya pada kelas VIII. Berdasarkan pertimbangan guru mata pelajaran matematika kelas VIII dan kebutuhan penelitian serta kemudahan objek yang akan diteliti, diperolehlah dua kelas eksperimen. Kelas eksperimen pertama adalah kelas VIII A yang menggunakan model pembelajaran individu yang terdiri dari 34 siswa dan kelas eksperimen kedua adalah kelas VIII C yang menggunakan model pembelajaran Team Game Tournament (TGT) yang terdiri dari 33 siswa. Kedua model pembelajaran tersebut sama-sama berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT).

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya

Penelitian ini memuat empat jenis variabel, yaitu variabel terikat (dependen variable), variabel bebas (independent variable), dan variabel kontrol (control variable). Berikut ini variabel penelitian dan definisi operasionalnya:

1. Variable Terikat

(18)

79

a. Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika

Keakuratan pemecahan masalah matematika merupakan keakuratan jawaban dalam memecahkan masalah pada soal post-test I dan post-test II.

b. Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika

Kecepatan pemecahan masalah matematika dalam penelitian ini merupakan banyaknya soal post-test yang dapat dipecahkan siswa dalam waktu tertentu. Banyaknya soal post-test yang dapat dipecahkan siswa merujuk pada keakuratan pemecahan masalah matematika siswa Sedangkan waktu merujuk pada waktu yang ditempuh oleh siswa yang terakhir menyelesaikan post-test karena waktu diukur secara klasikal. 2. Variabel Bebas

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang terdiri dua bagian, yaitu:

1) Model TGT (berdasarkan CLT) 2) Model individu (berdasarkan CLT)

(19)

80

1) Panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran, jenis ini menekankan penggunaan Teorema Pytthagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bangun datar.

2) Panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih, jenis ini menekankan penggunaan diameter dan busur lingkaran.

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan sehingga pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti (Nazir, 2011). Variabel ini bukan variabel inti yang menjadi perhatian dalam menjelaskan hasil. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah: (a) pengajar yang sama yaitu peneliti, (b) alokasi waktu yang sama, (c) adanya RPP guna mengelola intensitas untuk pembelajaran yang sama, (d) kedua model sama-sama berdasarkan CLT sehingga jenis LKS pun sama, (e) soal post-test pertemuan I dan II yang sama.

E. Desain dan Prosedur Eksperimen

(20)

81 Tabel 3. 1 Desain Eksperimen

Keterangan:

: Kelas yang diberi melalui model individu berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) (kelas VIII A).

: Kelas yang diberi model Team Game Tournament (TGT) berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) (kelas VIII C). A : pembelajaran model individu berdasarkan CLT.

C : pembelajaran model TGT berdasarkan CLT.

1 : Materi pembelajaran pada pertemuan pertama, yakni garis singgung persekutuan dua lingkaran.

2 : Materi pembelajaran pada pertemuan kedua, yakni panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII A pada pertemuan pertama.

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII C pada pertemuan pertama.

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII A pada pertemuan kedua.

Kelas Perlakuan (Treatment)

Post-test I

Perlakuan (Treatment)

Post-test II �

A C

(21)

82

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII C pada pertemuan kedua.

Eksperimen dilaksanakan dalam empat fase yaitu: (1) fase pengaktifan prior-knowledge, (2) fase pengenalan materi baru, (3) fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, dan (4) fase tes pemecahan masalah. Fase-fase tersebut dilakukan berturut-turut di setiap kelas sesuai dengan jadwal pelajaran matematika di sekolah. Masing-masing fase memiliki ciri khas dan alokasi waktu yang berbeda. Untuk menjaga prosedur agar diterapkan dengan tepat, peneliti merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) seperti dapat dilihat pada Lampiran 2.3 – 2.6.

Adapun sebelum eksperimen, peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge siswa pada kedua kelas maupun antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama pada masing-masing kelas. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental. Berikut akan dijelaskan prosedur setiap fase pembelajaran:

1. Fase pengaktifan prior-knowledge

(22)

83 2. Fase pengenalan materi baru

Materi baru yang dipelajari adalah panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih. Pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba langsung untuk menemukan rumus untuk materi tersebut menggunakan ringkasan materi secara induktif, siswa menggeneralisasi berbagai fakta atas rumus tersebut.

Setelah memahami, siswa memecahkan masalah-masalah terkait untuk mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini. Peneliti membimbing dengan intensitas minimal agar memfasiliasi siswa untuk belajar lebih bermakna akan tetapi peneliti tetap memastikan siswa telah menguasai materi baru agar dapat memecahkan masalah yang lebih kompleks terkait materi tersebut.

3. Fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah

(23)

84

Pada model TGT siswa mengerjakan LKS secara berkelompok. Kelompok-kelompok dibagi secara heterogen (kemampuan akademik dan jenis kelamin) sebelum fase ini dilakukan. Pengerjaan LKS untuk model TGT dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Setelah itu, pada pertemuan akhir (kedua), diadakan turnamen antarkelompok yang berlangsung menggunakan meja turnamen. Soal-soal yang diberikan pada turnamen merupakan kumpulan soal yang telah dipelajari dari pertemuan awal hingga pertemuan akhir. Sebelum turnamen, setiap anggota kelompok di rangking yang kemudian mewakili kelompok masing-masing pada turnamen. Kelompok terbaik adalah kelompok yang meraih skor tertinggi dan akan memperoleh penghargaan. Penghargaan diberikan berdasarkan beberapa kategori yang telah dijelaskan pada bab II.

Pada fase ini, bagi model TGT juga bertujuan mengembangkan keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah siswa. Sama dengan model individu, selama pembelajaran siswa hanya menggunakan LKS dan ringkasan materi dari peneliti, tidak membuka bahan ajar lain. Hal ini untuk mengontrol variabel penelitian dengan baik. Selain itu, guru juga membimbing secara sangat minimal serta sekedar mengarahkan siswa untuk fokus dan termotivasi mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

(24)

85

siswa diberikan kesempatan untuk membuat kesimpulan yang dilakukan setelah siswa mengerjakan tiga langkah pada LKS, yakni 1) completion problem, 2) worked example, dan 3) problem solving.

4. Fase tes pemecahan masalah

Setelah siswa selesai dalam fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa langsung mengikuti fase tes pemecahan masalah atau post-test (berlaku untuk setiap pertemuan). Tidak ada jeda antara fase ini dengan fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah sehingga siswa secara alami hanya menggunakan pengetahuan yang diakuisisi pada pertemuan tersebut untuk memecahkan soal tes. Sementara peneliti menghitung waktu maksimal yang dibutuhkan siswa untuk menyelesaikan post-test (siswa yang terakhir menyelesaikan tes). Setelah fase ini selesai, peneliti menutup pembelajaran dan menganjurkan siswa agar mempelajari kembali materi yang telah dipelajari di rumah.

F. Instrumen Penelitian

Terdapat dua jenis instrumen dalam penelitian ini, yaitu instrumen tes yang berupa tes uraian dan instrumen non-tes yang berupa lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran.

1. Instrumen tes

(25)

86

penskoran yang digunakan untuk mengukur keakuratan dan kecepatan pemecahan sebagai berikut:

a. Pedoman penskoran keakuratan pemecahan masalah matematika siswa

(26)

87

**6 untuk penilaian yang hampir keseluruhan dari ketentuan; 5 untuk sebagian dari ketentuan *2 untuk penilaian yang belum/tidak dikembangkan atau tidak jelas/mendetail sedangkan 1 untuk minimum atau tidak ada

Sementara itu kisi-kisi dari penelitian ini dijabarkan dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar kelas VIII semester 2 dengan dua materi yakni, panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih. Kisi-kisi dari instrumen dalam penelitian ini dijabarkan pada Tabel 3.2 berikut.

Prosedur Penilaian (Skor)

Keakuratan

(Mendukung jawaban/hasil)

**6/5 Jawaban (solusi)/ hasil benar dan ditambah dengan  Ulasan,

 Keterkaitan,

 Gagasan (simpulan) umum, dan/atau

 Menanyakan pertanyaan baru yang menuju ke permasalahan baru.

4 Jawaban (solusi)/hasil yang diberikan  Benar,

 Secara matematika dibenarkan, dan  Didukung oleh hasil pengerjaan. 3 Jawaban (solusi)/hasil yang diberikan

 Tidak benar karena ada kesalahan kecil, atau  Jawaban benar tetapi hasil pengerjaan terdapat

beberapa kesalahan kecil  Sebagian lengkap, dan/atau  Sebagian benar.

*2/1 Jawaban (solusi)/hasil yang diberikan  Tidak benar dan/atau

 Tidak lengkap, atau  Benar, tetapi

(27)

88 Tabel 3. 2 Kisi-kisi Instrumen

Indikator Pembelajaran Nomor

Soal Pertemuan I (Materi I)

4.4.1 Menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran.

a. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. 1

b. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak terdekat

antara kedua sisi lingkaran diketahui. 2 c. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. (soal cerita) 3 4.4.2 Menentukan panjang garis singgung persekutuan luar dua

lingkaran.

Indikator Pembelajaran Nomor

Soal a. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. 1

b. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak terdekat

antara kedua sisi lingkaran diketahui. 2 c. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. (soal cerita) 3 Pertemuan II (Materi II)

4.4.3 Menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

a. Panjang jari-jari masing-masing lingkaran dan

banyaknya lingkaran diketahui. 1

b. Panjang jari-jari masing-masing lingkaran dan

(28)

89

Adapun kriteria rata-rata skor keakuratan pemecahan masalah siswa sebagai berikut.

Tabel 3. 3 Kategori Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

b. Pedoman penskoran kecepatan pemecahan masalah matematika siswa

Pengukuran kecepatan pemecahan masalah matematika dalam penelitian ini didefinisikan sebagai perhitungan rasio keakuratan pemecahan masalah dengan waktu maksimal yang ditempuh siswa dalam memecahkan soal tes. Keakuratan dalam hal ini dikonversikan menjadi nilai persentase keakuratan yang diperoleh siswa dibanding dengan nilai keakuratan total (100%) sehingga mendeskripsikan satu unit skor akurat sebagai hasil menyelesaikan satu set pemecahan masalah. Oleh karena itu, meskipun jumlah soal pada post-test I dan II berbeda dengan persen ini, skor keakuratan dapat dapat dideskripsikan dengan setara. Perhitungan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa dapat dikalkulasikan dalam rumus berikut: Kecepatan

=

waa a a ya a wa a

Contoh perhitungan nilai kecepatan pemecahan masalah siswa:

Koefisien Keakuratan (%) Kategori

, < � , Sangat akurat

, < � , Akurat

� , < � , Cukup akurat

, < � � , Tidak akurat

(29)

90

Ryan adalah siswa kelas VIII A, memperoleh nilai keakuratan 60% dan waktu maksimal yang ditempuh siswa dalam memecahkan soal tes pada kelas VIII A adalah 30 menit, maka nilai kecepatan pemecahan masalah Ryan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kecepatan = % = ( ⁄ ) � � =

,

= , ⁄ = 0,02 upm Artinya Ryan hanya mampu menjawab 0,6 unit dengan akurat dari skor keakuratan total tes dalam waktu 30 menit atau Ryan hanya mampu menjawab 0,02 unit dengan akurat dari skor keakuratan total tes dalam waktu 1 menit.

Adapun kategori dari skor kecepatan pemecahan masalah siswa sebagai berikut.

Tabel 3. 4 Kategori Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

*unit per menit

Dimana = %

� � � � = �

� =

Untuk rincian nilai pada masing-masing model dapat dilihat pada lam

Selain itu, pada instrumen tes terdapat rating scale untuk mengukur tingkat kesulitan soal yang dikembangkan menggunakan skala likert’s sembilan titik mengadopsi dari instrumen yang digunakan oleh Retnowati, Sugiman dan Murdanu (2015). Terdapat pertanyaan “Seberapa mudah atau sulit menyelesaikan soal tersebut?” dan jawabannya diberi pilihan sembilan titik alternatif dengan rentang

Koefisien Kecepatan (upm)* Kategori

� > , � �� Sangat cepat

, � �� < � , � �� Cepat

, �� �� < � , � �� Cukup cepat

, � �� < � , �� �� Tidak cepat

(30)

91

dari 1 hingga 9 dengan “1” untuk “sangat-sangat mudah” dan “9” untuk “

sangat-sangat sulit”. Berikut ini kategori tingkat kesulitan soal.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

sangat-sangat mudah

sangat mudah

mudah agak mudah

tidak mudah

atau tidak

sulit

agak sulit

sulit sangat sulit

sangat-sangat sulit

2. Instrumen non-tes

Instrumen non-tes yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran. Observasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat keterlaksanaan pembelajaran matematika pada masing-masing kelas eksperimen, yakni kelas yang menggunakan model individu (kelas VIII A) dan kelas yang menggunakan model TGT (kelas VIII C). Teknik observasi ini menggunakan lembar observasi.

Lembar observasi tersebut diisi dengan cara memberikan tanda centang (√) pada kolom “ya” apabila aspek yang diamati terlaksana, memberikan tanda centang pada kolom “tidak” apabila aspek yang diamati tidak terlaksana, serta menuliskan deskripsi dari hasil pengamatan. Skor 1 untuk jawaban “ya”

dan skor 0 untuk jawaban “tidak”. Perhitungan presentase hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran (P) dapat dikalkulasikan dalam rumus berikut:

(31)

92 G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Instrumen tes disiapkan melalui diskusi, konsultasi, piloting serta expert judgment. Diskusi serta konsultasi instrumen digunakan untuk memastikan seluruh aspek pengukuran telah dijabarkan dalam butir-butir tes sehingga konstruksi tes secara keseluruhan dapat mengukur variabel penelitian dan instrumen memenuhi syarat validitas konstruk (construct validity).

Allen dan Yen (1979: 95) menyatakan bahwa instrumen dilakukan dengan melihat valid secara logika (logical validity), valid secara muka (face-validity), validitas isi (content validity) dan bahasa. Validitas yang ditetapkan melalui analisis rasional dari isi suatu tes dan ditentukan berdasarkan pandangan atau penilaian subjektif dari suatu individu sehingga sesuai dengan tujuan pengukuran. Pencocokan antar butir pertanyaan dalam tes dengan kisi-kisi, memastikan konstruksi soal tepat dan benar serta penyesuaian alokasi waktu sesuai kemampuan siswa dilakukan dalam penilaian expert judgment.

(32)

93

Setelah dilakukan perbaikan, kemudian instrumen ini dikonsultasikan kembali kepada ahli atau validator sehingga instrumen ini dikatakan valid dan siap digunakan. Kategori validitas instrumen dijabarkan oleh Widoyoko (2009: 238) dalam Tabel 3.3 berikut. (analisis validitas lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.3, 4.6 dan 4.9).

Tabel 3. 5 Kategori Validitas Instrumen

Hasil analisis validitas RPP, LKS dan post-test adalah layak untuk digunakan dengan beberapa bagian yang perlu diperbaiki. RPP memperoleh kategori cukup, LKS memperoleh kategori baik dan post-test memperoleh kategori sangat baik dari kedua validator (expert judgement).

Piloting adalah upaya untuk menguji cobakan tes uraian kepada beberapa siswa untuk memprediksi reliabilitas instrumen menggunakan indeks Alpha Cronbach. Instrumen dapat dikatakan reliabel apabila selalu memberikan hasil yang sama jika diuji pada kelompok yang sama pada waktu atau kesempatan yang berbeda (Arifin, 2012: 248).

Alpha Cronbach adalah koefisien alpha dikembangkan oleh Cronbach pada tahun 1951 sebagai ukuran umum dari konsistensi internal skala multi-item (Field, 2009: 674). Rumus menghitung Alpha Cronbach:

Koefisien Validitas Kategori

�̅ > ��+ , � � sangat baik

��+ , � � < �̅ ��+ , � � Baik

��− , � � < �̅ ��+ , � � Cukup

��− , � � < �̅ ��− , � � kurang

(33)

94

� = − × −∑ �

Keterangan:

� : nilai reliabilitas : jumlah soal

: jumlah varians skor tiap-tiap soal : varians total

Kategori reliabilitas instrumen dijabarkan oleh Arikunto (2009: 75) dalam Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3. 6 Kategori Reliabilitas Instrumen

Hasil analisis reliabilitas tersebut untuk post-test I adalah 0,483 yang berarti tergolong cukup dan untuk post-test II adalah 0,708 yang berarti tergolong tinggi.

H. Teknik Analisis Data

ANOVA (Univariate Analysis of Variance) dan T-test merupakan jenis uji yang paling sering digunakan dalam penelitian pendidikan. Perbedaan dari T-test dan ANOVA hanya jumlah kelompok sampel yang dibandingkan. T-test menguji perbedaan dari dua kelompok dalam satu variabel terikat. Contohnya adalah membandingkan pria dan wanita dalam hal waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan soal matematika. ANOVA menguji perbedaan dua atau lebih kelompok dalam satu variabel terikat. Contoh aplikasi dari ANOVA adalah

Koefisien Reliabilitas Kategori

, � , sangat tinggi

, � , Tinggi

, � � , Cukup

, � , � Rendah

(34)

95

membandingkan 4 kelompok (pria, wanita, tua, muda) dalam hal waktu yang dihabiskan untuk membaca (Cresswell, 2012: 339).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Repeated-Measures ANOVA. Menurut Field (2009: 458) Repeated-measures digunakan karena subjek yang sama berpartisipasi dalam suatu eksperimen dengan dua perlakuan atau lebih. Dalam penelitian ini eksperimen yang dilakukan memiliki dua perlakuan (pertemuan I untuk materi I dan pertemuan II untuk materi II) dan variabel terikat yang diuji lebih dari satu (keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah). Selain itu, Field (2009: 17) menjelaskan bahwa jika menggunakan analisis Repeated-measures, efek dari eksperimen lebih jelas serta dapat menentukan ada atau tidaknya interaksi (ketergantungan) antara variabel-variabel. Field (2009: 467) juga menjelaskan bahwa Repeated-measures ANOVA menghasilkan F-ratio yang membandingkan jumlah varians yang sistematis dengan jumlah varians yang tidak sistematis:

= � =

� �

Keterangan:

� : varians yang sistematis : varians yang tidak sistematis � : total varians regresi

(35)

96

Beberapa asumsi dari ANOVA harus dipenuhi dahulu sebelum menganalisis dan menyimpulkan hasil dari penelitian. Field (2009: 359 – 360) menjabarkan ANOVA memiliki tiga asumsi yang harus dipenuhi. Asumsi-asumsi ANOVA akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Normalitas

Data yang memiliki distribusi normal berarti memiliki sebaran yang normal pula. Data akan berdistribusi normal apabila nilai skewness dan kurtosis akan berada diantara -2 dan +2 (George & Mallery, 2010). Selain itu, Field (2009: 144) menjelaskan bahwa Kolmogorov–Smirnov test (K-S Test) juga dapat menjadi pertimbangan data berdistribusi normal jika nilai signifikansi (p) lebih dari 0,05. Field (2009: 134) juga memberikan alternatif lain yang menyatakan data dapat dikatakan mendekati berdistribusi normal jika sampel penelitian lebih dari 30. Dengan kata lain, data berdistribusi normal dapat mewakili populasi dalam penelitian (Field, 2009: 133).

Uji normalitas lainnya yang tidak hanya mengacu pada data numerik, dapat menggunakan grafik QQ-Plot. Pada Q-Q Test menghasilkan grafik Q-Q plot yang dapat menggambarkan persebaran distribusi data.

2. Homogenitas varians

(36)

97

asumsi sphericity karena varians skor cenderung tidak memilki perbedaan varians skor atau cenderung sama (Field, 2009: 459).

Selain itu, Uji levene’s digunakan untuk mengetahui homogenitas dari variabel yang akan diuji. Data dikatakan homogen ketika nilai signifikansi lebih dari 0,05. Menurut Kirk (1995: 100), uji F tetap robust (kuat) walaupun asumsi homogenitas varians tidak terpenuhi dengan syarat (1) siswa berjumlah sama pada setiap kelompok, (2) asumsi normalitas tepenuhi, (3) perbandingan antara varians terbesar dengan varians terkecil tidak melebihi 3. Peneliti menggunakan analisis Repeated-measures ANOVA.

3. Pengamatan Sampel Penelitian Saling Independen

Pengamatan pada semua kelompok eksperimen (sampel) dilakukan secara independen dan acak satu sama lain. Saling independen dalam hal ini jika setiap pengukuran antarkelompok yang diteliti tidak saling mempengaruhi atau dipengaruhi. (Field, 2009: 603). Myers (1979) menjelaskan, asumsi independensi dapat dipenuhi apabila setiap subjek hanya dikenai pengukuran satu kali pelaksanaan dan masing-masing subjek ditempatkan secara acak (randomly assigned) ke dalam kelompok eksperimen.

Analisis uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan menggunakan Repeated-measures ANOVA. Berikut ini penjelasan analisis uji hipotesis yang terdiri dari tiga:

1. Uji hipotesis pertama

(37)

98

: tidak terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: � = � � �

: � ≠ � � � Keterangan:

� : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada kelas dengan model TGT berdasarkan CLT.

� � : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada kelas model individu berdasarkan CLT.

� : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada kelas dengan model TGT berdasarkan CLT.

� � : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada kelas model individu berdasarkan CLT.

Apabila nilai signifikansi (p) < 0,05 maka ditolak, artinya terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

(38)

99

model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah menentukan model manakah yang lebih baik (efektif) ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika model TGT �̅ dan model individu �̅ serta kecepatan pemecahan masalah matematika model TGT �̅ dan model individu �̅ pada masing-masing model. Model pembelajaran yang memiliki rata-rata keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika yang lebih tinggi merupakan indikasi bahwa model tersebut lebih efektif.

2. Uji hipotesis kedua

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hipotesisnya adalah sebagai berikut.

: tidak terdapat perbedaan pengaruh jenis materi ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. : terdapat perbedaan pengaruh jenis materi ditinjau dari keakuratan

dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: � = �

(39)

100 Keterangan:

� : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada materi I (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran).

� : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada materi II (panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih).

� : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada materi I (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran).

� : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada materi II (panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih).

Apabila nilai signifikansi (p) 0,05 maka ditolak, artinya terdapat pengaruh perbedaan jenis materi ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Sebaliknya, apabila nilai signifikansi (p) > 0,05 maka diterima, artinya tidak terdapat pengaruh perbedaan jenis materi ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

(40)

101

rata-rata skala lebih atau sama dengan 6 merupakan indikasi bahwa tes tersebut merupakan tes paling sulit untuk siswa.

3. Uji hipotesis ketiga

Untuk mengetahui interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hipotesisnya adalah sebagai berikut.

: tidak terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Apabila nilai signifikansi (p) 0,05 maka ditolak, artinya terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Sebaliknya, apabila nilai signifikansi (p) > 0,05 maka diterima, artinya tidak terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

(41)

102

Sebaliknya, apabila garis tidak berpotongan maka tidak ada interaksi antara materi dengan model pembelajaran.

Analisis berikutnya yang dilakukan adalah menguji apakah model pembelajaran yang diterapkan memiliki perbedaan pengaruh pada masing-masing jenis materi tes. Analisis ini menggunakan Independent T-test. Keputusan yang diambil apabila nilai signifikansi (p) < 0,05 maka artinya kedua model pembelajaran memiliki pengaruh pada jenis materi karena nilai rata-rata keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda.

Hasil analisis dari semua variabel terikat dirangkum untuk menemukan pola umum. Rangkuman tersebut digunakan untuk menjawab dan menyimpulkan hasil dari penelitian yang dilakukan.

Effect sizes dan plot dari rata-rata ditampilkan untuk lebih mengetahui besarnya efek dari model pembelajaran, jenis materi pembelajaran dan interaksi antara model pembelajaran dengan jenis materi pembelajaran yang diberikan. Field (2009: 57) menerangkan bahwa effect sizes sangat berguna karena dapat memberikan pengukuran secara objektif dari perlakuan yang diberikan dengan skor 0 - 1 di mana efek yang sempurna merupakan gambaran dari nilai 1. Cohen (1988) membagi effect size menjadi tiga kategori, efek kecil (0,20); efek sedang (0,50) dan efek besar (0,80).

(42)

103

proporsi varians dari suatu variabel yang tidak dapat dijabarkan oleh varibel lainnya (Field, 2009: 791).

� =

�� ��

� =

�� ��+ � �

Keterangan:

� : eta squared

� : partial eta squared

� : proporsi varians efek � : proporsi varians total � : proporsi varians residu

(43)

104 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang pelaksanaan pengumpulan data, hasil analisis data dan pembahasannya. Dari uraian ini, peneliti berusaha untuk menjawab perumusan masalah penelitian.

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji apakah ada perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa; (2) menguji apakah ada perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa; dan (3) menguji apakah ada interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

(44)

105

dilakukan post-test setelah proses pembelajaran. Alokasi waktu tiap pertemuan berlangsung lebih kurang selama 2 × 40 menit (2 jam pelajaran).

Kedua kelas eksperimen sama-sama berdasarkan Cognitive Load Theory akan tetapi menggunakan model pembelajaran yang berbeda, yaitu kelas VIII C menggunakan model TGT dan kelas VIII A menggunakan model individu. Jenis materi pembelajaran terdiri dari dua, yaitu panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

[image:44.595.115.519.411.628.2]

Sebelum menguraikan hasil penelitian, berikut ini Tabel 4.1 yang menjabarkan jadwal pelaksanaan pembelajaran (pengumpulan data) di sekolah sebagai gambaran fase-fase penelitian di masing-masing kelas.

Tabel 4. 1 Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran

*alokasi waktu di RPP selama 80 menit (fase I: 5 menit, fase II: 10 menit, fase III: 30 menit dan fase IV: 35 menit)

** alokasi waktu di RPP selama 80 menit (fase I: 5 menit, fase II: 10 menit, fase III: 45 menit dan fase IV: 20 menit)

Kelas

(model) Hari/Tgl

Fase I (menit) Fase II (menit) Fase III (menit) Fase IV (menit) Total (menit) TGT pra- eksperi-men

Senin, 16 Mei 2016 Pegujian prior-knowledge 80

Materi I Senin, 23 Mei 2016 10 10 35 35 85*

Materi II Rabu, 25 Mei 2016 10 10 50 20 90**

Individu pra- eksperi-men

Senin, 16 Mei 2016 Pegujian prior-knowledge 80

Materi I Jumat, 20 Mei 2016 10 10 25 30 85*

(45)

106

Pada rencana sebelum penelitian, jumlah sampel yang akan dijadikan objek penelitian adalah 67 siswa dari dua kelas VIII, yakni kelas VIII A sejumlah 34 siswa dan kelas VIII C sejumlah 33 siswa. Akan tetapi pada saat pelaksanaan penelitian berlangsung, beberapa siswa tidak dapat hadir ataupun memenuhi kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dikarenakan kegiatan sekolah seperti kegiatan OSIS, kegiatan pramuka serta karena urusan pribadi seperti izin dan sakit, sehingga jumlah sampel pada saat penelitan menjadi 55 siswa, diantaranya 30 siswa untuk kelas VIII A dan 25 siswa untuk kelas VIII C.

Pembelajaran dilaksanakan dalam empat fase, yaitu: (1) fase pengaktifan pengaktifan prior-knowledge; (2) fase pengenalan materi baru; (3) fase akuisisi akuisisi kemampuan pemecahan masalah; dan (4) fase tes pemecahan masalah. Berikut ini penjabaran setiap fase pembelajaran pada masing-masing kelas eksperimen.

1. Model TGT

a. Pra-eksperimen

Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental.

(46)

107

Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi prior-knowledge. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan bertanya dan ditanya. Pada saat ditanya, siswa cenderung pasif akan tetapi pada saat bertanya, siswa cenderung aktif.

b. Pertemuan Pertama

Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi secara heterogen (kemampuan akademik dan jenis kelamin) sebelum fase pengenalan materi baru dilakukan. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.

(47)

108

melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu. Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS ada dua macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.

(48)

109

mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah).

Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.

c. Pertemuan Kedua

(49)

110

diantaranya panjang diameter lingkaran dan panjang busur lingkaran. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi berdasarkan kelompok pada pertemuan sebelumnya. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.

Pada fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara berkelompok dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti.

Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

(50)

111

Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS hanya satu macam, yaitu menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

Diskusi tidak diperbolehkan antarkelompok. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah).

(51)

112

Kegiatan selajutnya adalah turnamen antarkelompok. Pada rencana awal, siswa dirangking berdasarkan skor individu untuk menempati meja turnamen secara berurut akan tetapi karena keadaan kelas dan kondisi siswa yang kurang kondusif, peneliti membagi meja turnamen berdasarkan kelompok game. Setiap kelompok dibari empat pertanyaan berkaitan materi pembelajaran pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang diambil dengan cara diundi. Kelompok yang sudah selesai memecahkan soal langsung mengumpulkan jawabannya. Kemudian peneliti menilai kelompok mana yang dapat memecahkan soal dengan cepat dan tepat untuk menentukan kelompok terbaik. Penilaian skor berdasarkan akumulasi skor game pada kedua pertemuan dan skor tournament. Penghargaan yang diberikan pada kelompok terbaik berupa sertifikat.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

(52)

113 2. Model individu

a. Pra-eksperimen

Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge siswa pada kedua kelas maupun antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental.

Kegiatan ini berlangsung cukup kondusif. Tes yang dilakukan selama 40 menit. Sedangkan 40 menit terakhir digunakan untuk membahas tes. Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi prior-knowledge. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan bertanya dan ditanya. Pada saat bertanya dan ditanya, siswa cenderung aktif. b. Pertemuan Pertama

Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen.

(53)

114

mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.

Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Sub-materi LKS ada dua macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.

(54)

115

kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah). Pada akhir fase ini, siswa diberi kunci jawaban LKS.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.

c. Pertemuan Kedua

(55)

116

Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.

Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

(56)

117

Siswa tidak diperbolehkan berdiskusi dengan siswa lainnya. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah). Pada akhir fase ini, siswa diberi kunci jawaban LKS.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.

B. Hasil Analisis Data 1. Deskripsi Data

(57)

118

untuk kedua kelas eksperimen sehingga diperoleh perhitungan analisis deskriptif yang meliputi N (jumlah siswa), (nilai maksimal), (nilai minimal), mean (rata-rata) dan standard deviation (simpangan baku) dan varians. Berikut ini beberapa tabel yang menjabarkan distribusi frekuensi serta data deskriptif keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa pada model TGT dan individu.

Tabel 4. 2 Data Deskriptif Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model TGT

Deskriptif

Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

Materi I Materi II

Kedua materi Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal

4 Total

Soal 1

Soal

2 Total

N 25 25 25 25 25 25 25 25 25

� �� 66,67 66,67 16,67 16,67 41,67 66,67 33,33 50 41,67

� � 16,67 0 0 0 4,16 0 0 0 4,16

Mean 43.33 46,00 2,67 02,00 23,5 54,67 29,33 42 32,75 S.Dev 18,63 30,91 6,23 5,52 12,08 14,84 11,05 11,90 9,61 Varians 347,22 955,56 38,89 30,56 145,94 220,37 122,22 141,67 92,41

Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model TGT

Interval Kategori

�� %�� Materi I Materi II Kedua materi Materi I Materi II Kedua materi 80,01 –

100

Sangat

akurat 0 0 0 0 0 0

60,01 – 80,00

Akurat

0 0 0 0 0 0

40,01 – 60,00

Cukup

akurat 3 22 4 12% 88% 16%

20,01 – 40,00

Tidak akurat

14 1 19 56% 4% 76%

0,00 – 20,00

Sangat tidak

[image:57.595.113.513.502.689.2]
(58)
[image:58.595.115.525.279.518.2]

119

Tabel 4. 4 Data Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model TGT

Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Materi I Materi II Kedua materi

N 25 25 25

� �� 0,0119 0,025 0,0172

� � 0,0011 0 0,0011

Mean 0,0067 0,0210 0,0138

S.Dev 0,0034 0,0059 0,0038

Varians 1,19154E-05 3,54147E-05 1,47639E-05

Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model TGT

Interval (Materi I)

�� %�� Interval

(Materi II)

�� %�� Kedua

materi

�� %�� Kategori

0,0229 –

0,0285 0 0

0,041 –

0,050 0 0

0,0315 – 0,0392

0 0 Sangat cepat 0,0172 –

0,0228 0 0

0,031 –

0,040 0 0

0,0236 – 0,0314

0 0 Cepat

0,0115 –

0,0171 3 12%

0,021 –

0,030 22 88%

0,0158 – 0,0235

12 48% Cukup cepat 0,0058 –

0,0114 14 56%

0,011 –

0,020 1 4%

0,0079 – 0,0157

12 48% Tidak cepat 0,00 –

0,0057 8 32%

0,00 –

0,010 2 8%

0,00 –

0,0078 1 4%

Sangat tidak cepat Tabel 4. 6 Data Deskriptif Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

Pada Model Individu

Deskriptif

Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

Materi I Materi II

Kedua materi Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4

Total

Gambar

Tabel 4. 1 Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran
Tabel 4. 2 Data Deskriptif Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model TGT
Tabel 4. 4 Data Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model TGT Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Tabel 4. 9 Distribusi Frekuensi Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Model Individu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penciptaan karya seni, senimanakanbergantung pada alat dan bahan yang akan digunakan untuk mewujudkansuatu karya.Selain itu, sadar atau tidak, dalam penciptaan karya

Program Studi Tadris Matematika IAIN Tulungagung. Kata Kunci: Media Pembelajaran Alat Peraga, Hasil Belajar, Kubus Dan Balok. Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh

Pada halaman Upload Materi , akan tampil tabel materi sesuai dengan kelas yang diampuh oleh guru.. Menambah

mempengaruhi keberadaaan plankton disuatu badan perairan karena cahaya sangat. menentukan proses fotosintesis

Karena tidak ada fungsi gudang untuk menangani pengawasan persediaan dan peralatan dengan membandingkan bahan baku yang terjual dan yang tersisa untuk mendapatkan

Dari hasil pengamatan didapat lama penyimpanan telur ayam merawang (Gallusgallus) menunjukkan berpengaruh sangat nyata (P&lt;0.05) terhadap berat tetas, hal ini

Peran BSC dalam tahap penyusunan program adalah inisiatif strategik yang komprehensif kemudian dijabarkan ke dalam program-program jangka panjang disertai

Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek pajak Bumi dan Bangunan