INDUSTRI PENGGERGAJIAN
KUSTIN BINTANI MEIGANATI
ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
KUSTIN BINTANI MEIGANATI. Analisis Finansial dan Kelembagaan Usaha Jamur Tiram Putih Untuk Pemanfaatan Limbah Industri Penggergajian. Dibimbing oleh ACHMAD, BRAMASTO NUGROHO dan NURHENI WIJAYANTO.
Budidaya jamur tiram putih merupakan salah satu pemanfaatan limbah industri penggergajian kayu yang dampaknya dapat dirasakan oleh rakyat. Usaha ini dapat memperbaiki tingkat ekonomi rakyat karena berbasis ekonomi rakyat dengan modal kecil dan dapat dikerjakan dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Dalam penelitian ini dianalisis usaha budidaya jamur tiram putih dari aspek finansial dan kelembagaan dengan pendekatan kemitraan pemodalan dan kemitraan pemasaran.
Penelitian dilakukan di Kelompok Wanita Tani (KWT) Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. P4S tersebut merupakan salah satu P4S unggulan yang masih aktif memproduksi jamur tiram putih. Sebagai pembanding yang dapat dijadikan sebagai
cerita sukses (success story) adalah komunitas petani jamur tiram putih Desa
Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung.
Hasil analisis finansial dari dua komunitas ini menunjukkan hasil yang
positif, yaitu Internal Rate Return (IRR) > r, Benefit Cost Ratio (BCR) > 1 dan hasil
analisis sensitivitas juga menunjukkan hasil yang positif. Hasil analisis SWOT untuk
aspek finansial dua komunitas ini menunjukkan kuadran yang berbeda, pada komunitas P4S berada pada kuadran III sedangkan komunitas Kertawangi pada
kuadran I. Kuadran III menunjukkan strategi turn around, yaitu perusahaan
menghadapi peluang yang besar tetapi di lain pihak ia menghadapi
kendala/kelemahan. Kuadran I berarti strategi yang dapat digunakan adalah agresif,
yaitu perusahaan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Analisis SWOT aspek kelembagaan menunjukkan hasil yang sama, yaitu pada kuadran I, yang berarti perusahaan memiliki kekuatan dan peluang. Hasil SWOT diatas menunjukkan bahwa komunitas P4S memiliki peluang dan kekuatan di aspek kelembagaan tetapi di aspek finansial memiliki peluang dan kelemahan. Oleh karena itu, strategi yang disusun haruslah mampu menggunakan peluang dan kekuatan kelembagaan untuk menutupi kelemahan finansial dan mampu memenuhi peluangnya. Strategi tersebut diantaranya adalah membentuk forum komunikasi untuk melancarkan kerjasama antar anggota dan tercipta suatu kinerja komunitas yang diharapkan akan mampu meningkatkan produktifitas sebagai kelemahan yang paling tinggi agar mampu menjawab peluang pasar.
Strategi di atas menggambarkan bahwa aspek kelembagaan dapat mempengaruhi aspek finansial. Mekanisme kelembagaan dalam sebuah perusahaan
dapat menentukan performance finansial yang ada di dalam perusahaan tersebut.
sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan income anggotanya. Sedangkan, usaha pertanian yang dibina secara individu tanpa membangun komunikasi antar anggota masyarakat akan menjadi penghambat mekanisme pemecahan masalah yang efektif di tingkat anggota.
ABSTRACT
KUSTIN BINTANI MEIGANATI. The Financial and Institution Analysis of Oyster Mushroom Cultivation, for Utilizing Sawmill Industry Sawdust. Under the direction of ACHMAD, BRAMASTO NUGROHO, and NURHENI WIJAYANTO.
Oyster mushroom cultivation is an alternative for utilizing sawmill industry sawdust. While able to improve people economic by small investment, family and community financial empowering. This research carried out from June 2005 to May 2006 using financial and institution analysis.
The object of the research was Kelompok Wanita Tani (KWT) Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah, District Tamansari, Bogor, one of superior institutions on oyster mushroom cultivation. For bench marking purposes, the study also analyzing financial and institution performance of oyster mushroom cultivation in Kertawangi community, District Lembang, Bandung, who has success story in the cultivation.
The study shows that both P4S and Kertawangi community have a good financial performance, in which resulting Internal Rate of Return (IRR) > bank interest rate (r) and Benefit and Cost Ratio (BCR) > 1. SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threats) analysis for P4S community on financial aspect resulting turn around strategy, mean while for institution aspect resulting growth oriented strategy. On other had for Kertawangi community the strategy for financial and institution aspect are growth oriented strategy. Effective strategy for P4S community is building communication forum to accelerating relationship among the members for increasing production capacity and fullfiling demand market. The study also concludes that institution arrangement financial performance.
Keywords
ANALISIS FINANSIAL DAN KELEMBAGAAN USAHA
JAMUR TIRAM PUTIH UNTUK PEMANFAATAN LIMBAH
INDUSTRI PENGGERGAJIAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
KUSTIN BINTANI MEIGANATI
ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Analisis Finansial dan Kelembagaan Usaha Jamur Tiram Putih
Untuk Pemanfaatan Limbah Industri Penggergajian.
Nama : Kustin Bintani Meiganati
NRP : E 051030271
Program Studi : IPK
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Achmad , M.S Ketua
Dr. Bramasto Nugroho, M.S Dr. Nurheni Wijayanto, M.S
Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi IPK 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Prof.Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, M.S
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 11 Mei 1973 dari ayah Kustomo (alm) dan ibu Sutinah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis telah menikah dengan seorang pria kelahiran Bengkulu bernama Ifan Fardian dan dikaruniai 4 orang anak, yaitu Atikah Sayyidatunnisa (8 th), Hafshoh Nadilatushofwah (7 th), ‘Aisyah Nidaulhaq (6 th) dan Abdullah Azzam (4 th).
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Bandung, lulus tahun 1996. Pada tahun 2003 penulis diterima di Program Magister Sains Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa dari Yayasan Winaya Mukti.
PRAKATA
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji hanya bagi Allah, sujud syukur
hanya pantas bagi-Nya, penguasa alam semesta. Karena kasih sayang-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tesis ini, setelah tiga tahun menuntut ilmu dan satu
setengah tahun mengerjakan penelitian ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ketiga pembimbing, yaitu bapak
Dr. ACHMAD M.S, selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Dr. BRAMASTO
NUGROHO, M.S, serta bapak Dr. NURHENI WIJAYANTO, M.S, selaku anggota
komisi pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Cucu
Komalasari, dik Nurhadi, bapak Ir. Rahayu Supriyadi, M.Sc , bapak Dedhi Suharto,
Ak, Ir. Elis Nina H, M.Sc, bapak Heru Subagyo, SE, MM, Ira Taskirawati, S.Hut,
M.S., serta bapak Dr. Hariadi Kartodiharjo, M.S dan bapak Dr. Imam Santoso, M.S
yang telah membantu secara moril maupun materiil. Terima kasih tidak lupa penulis
sampaikan kepada sponsor yang membiayai kuliah penulis yaitu Yayasan Winaya
Mukti dan WAMY.
Tesis yang berjudul “Analisis Finansial dan Kelembagaan Usaha Jamur
Tiram Putih Untuk Pemanfaatan Limbah Industri Penggergajian” bukanlah akhir dari
pembelajaran, karena dengan tesis ini justru merupakan pintu terbukanya satu ilmu
pengetahuan yang baru bagi penulis. Masih banyak kekurangan dari tesis ini yang
harus disempurnakan, oleh karena itu penulis membuka tangan terhadap kritik dan
saran yang bersifat konstruktif.
Satu harapan penulis, tesis yang disusun ini semoga ada manfaatnya bagi ilmu
pengetahuan dan tentunya bagi pihak lain yang membutuhkannya. Terima kasih.
Wassalam.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .……… vi
DAFTAR GAMBAR ………... vii
DAFTAR LAMPIRAN ……….. viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ……… 12
Perumusan Masalah ………. 16
Hipotesis ……….. 18
Tujuan Penelitian ………. 18
TINJAUAN PUSTAKA Jamur Tiram Putih ………. 19
Analisis Finansial ……….. 21
Analisis Kelembagaan ……… 21
Program Pembangunan Masyarakat (Community Development) …….. 25
Analisis SWOT ……….. 28
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi ………. 34
Pengumpulan Data ……… 37
Metode Penelitian ………. 39
Uji Hipotesis ……… 43
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi ………. 45
Analisis Finansial ……….. 49
Analisis Kelembagaan ……….. 59
Analisis SWOT ………. 65
SIMPULAN DAN SARAN ………. 76
DAFTAR PUSTAKA ………. 78
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kelompok Data Bentuk Kemitraan Usaha Tani Jamur Tiram Putih 38
2. Contoh Matriks Urgensi Faktor Internal dan Eksternal ……….. 42
3. Komposisi Penduduk Menurut Usia Th 2005 ……….. 46
4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………. 47
5. Unit Usaha di P4S Nusa Indah Tamansari, Bogor, Tahun 2002 ……. 48
6. Biaya Produksi Jamur Tiram Putih ……….…….. 49
7. Penerimaan Pendapatan Petani Jamur Tiram Putih Per Tahun (Juni 2005 – Mei 2006) ……… 53
8. Analisis Finansial Usaha Jamur Tiram Putih ……… 56
9. Kelebihan dan Kekurangan Kelembagaan Kemitraan ………. 63
10. Faktor Internal dan Eksternal Aspek Finansial ……… 67
11. Faktor Internal dan Eksternal Aspek Kelembagaan ……… 67
12. Matriks Urgensi Faktor Internal dan Eksternal Untuk Aspek Finansial di Komunitas P4S ……… 66
13. Matriks Urgensi Faktor Internal dan Eksternal Untuk Aspek Kelembagaan di Komunitas P4S ………. 68
14. Matriks Urgensi Faktor Internal dan Eksternal Untuk Aspek Finansial di Komunitas Kertawangi ……… 69
15. Matriks Urgensi Faktor Internal dan Eksternal Untuk Aspek Kelembagaan di Komunitas Kertawangi ……….……. 70
16. Daftar Total Nilai Bobot (TNB) Aspek Finansial ……… 71
17. Daftar Total Nilai Bobot (TNB) Aspek Kelembagaan .……… 72
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kandungan Selulosa Dalam Dinding Sel ……… 20
2. Peta Kekuatan Organisasi ……… 32
3. Beberapa Fasilitas Produksi Jamur Tiram Putih di Komunitas P4S Nusa Indah, Tamansari ………. 36
4. Fasilitas Produksi Jamur Tiram Putih di Komunitas Kertawangi, Cisarua…. 37 5. Hubungan Kemitraan Tingkat Pertama ………... 39
6. Hubungan Kemitraan Tingkat Kedua .. ……….. 39
7. Diagram lingkaran Komposisi Wilayah Kecamatan Tamansari Tahun 2005.. 45
8. Grafik Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ………... 46
9. Susunan Pengurus Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor ……….. 48
10. Siklus Panen Jamur Segar Tiram Putih ………... 52
11. Diagram Alur Pemasaran Dengan Melalui Pedagang Perantara ………. 64
12. Alur Pemasaran Dengan Terminal Agribisnis ……… 64
13. Peta Kekuatan Organisasi Aspek Finansial ………. 72
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Asumsi Dalam Analisis Finansial ……… 81
2. Rincian Biaya Tahunan ……… 82
3. Analisis Pendapatan ……… 84
4. Analisis Finansial ……… 85
5. Analisis Sensitivitas Kenaikan Biaya Produksi 20% ……….. 89
6. Analisis Sensitivitas Penurunan Pendapatan 10% ….……….. 93
7. Matriks Urgensi ……… 97
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bidang pertanian di Indonesia merupakan bidang yang memiliki sisi yang
luas. Disamping merupakan fondasi ekonomi negara bidang ini juga merupakan suatu
sisi sosial yang berdimensi kompleks. Untuk itu pembangunan di bidang pertanian
tidak mungkin ditinggalkan oleh bangsa ini walaupun sudah semodern dan secanggih
apapun teknologi yang dikuasai oleh bangsa ini. Bangsa Indonesia seharusnya belajar
dari krisis ekonomi yang mendera selama lima tahun terakhir ini. Ada dua hal yang
menjadi catatan bagi kita menurut Krisnamurthi (2002), yaitu : 1) pembangunan
ekonomi yang tidak berbasis pada kekuatan sendiri, tetapi berbasis pada hutang dan
impor, ternyata sangat rentan terhadap perubahan faktor eksternal dan dapat
membawa masyarakat, bangsa dan negara ke dalam krisis yang berkepanjangan,
2) pendekatan pembangunan yang serba sentralistik, serba seragam dan hanya
berpusat pada pemerintah ternyata tidak menghasilkan struktur sosial ekonomi
bangsa yang memiliki fondasi kokoh, bahkan cenderung menghasilkan kondisi
perekonomian dengan kinerja yang seolah-olah kuat tetapi sebenarnya sangat rapuh.
Menurut Krisnamurthi (2002) ada beberapa alternatif strategi dalam
pembangunan di Indonesia, yaitu: a) strategi pembangunan berbasis sektor ekonomi,
b) strategi pembangunan ekonomi wilayah, c) strategi pembangunan pengembangan
masyarakat secara partisipatif, d) strategi pembangunan ekonomi lokal.
Kita ambil contoh sektor pertanian, karena negara kita adalah negara agraris,
negara kita. Menurut Krisnamurthi (2002) dalam pembangunan pertanian ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah :
1. Pembangunan pertanian di daerah perlu memperhatikan sumber daya lokal (local
resources), sehingga tidak akan menelantarkan sumber daya yang ada di daerah.
2. Pembangunan pertanian juga harus memperhatikan kondisi khusus daerahnya
(local specific), agar dapat didukung oleh kondisi lingkungan sekitarnya.
3. Pembangunan pertanian membutuhkan perencanaan dan kreatifitas agar dapat
berkembang dengan baik. Kegiatan yang akan dilaksanakan dapat merupakan
kegiatan produksi atau semi produksi, artinya perlu adanya suatu integralitas di
dalam mengembangkannya. Bisa dilakukan sendiri atau dilakukan secara bersama
dengan anggota masyarakat yang lain.
4. Untuk itu pembangunan pertanian dapat juga berupa jaringan kerja (network job)
sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh anggota masyarakat lebih banyak lagi.
Menurut Hayami (1987) dalam Soeharjo (1989) ada tiga corak agroindustri di
pedesaan yaitu: 1) industri rumah tangga (home processing) yang dilakukan oleh
anggota rumah tangga petani penghasil bahan baku, 2) industri di pekarangan rumah
dengan bahan baku berasal dari pasar dan menggunakan tenaga kerja dari keluarga
terdekat dan 3) industri dengan skala kecil, sedang atau besar yang menggunakan
buruh upahan dan modal yang lebih intensif dibanding industri rumah tangga.
Skala usaha ketiga macam industri pengolahan ini dapat diukur dari volume
bahan baku yang diolah per hari. Manajemen dan teknologi yang digunakan
merentang dari yang tradisional hingga moderen. Demikian juga investasi pasarnya,
pedesaan, b) tenaga kerja yang digunakan sebagian besar berasal dari pedesaan, c)
berlokasi di pedesaan untuk mendekati bahan baku sehingga mengurangi biaya
produksi (Hayami, 1987 dalam Soeharjo, 1989).
Perkembangan sekarang memperlihatkan kecenderungan bahwa produktifitas
di bidang pertanian belum berhasil karena kemampuan untuk menyerap tenaga kerja
di bidang ini semakin menurun dari tahun ke tahun. Penurunan tersebut dapat dilihat
pada tahun 2006 tenaga kerja di bidang pertanian sebesar 42,32 juta pada bulan
Februari 2006 menjadi 40,14 juta pada bulan Agustus 2006 (BPS, 2006).
Produktifitas pertanian juga lebih rendah dibandingkan dengan bidang non-pertanian,
hal ini ditunjukkan dengan penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada tahun 2004 PDB nasional meningkat sebesar 3,54 % dibandingkan PDB tahun
2003, pertumbuhan PDB tersebut paling tinggi adalah sektor pertanian , sektor
perdagangan-hotel-restoran, sektor industri pengolahan, sektor keuangan,
sektor-sektor jasa dan sektor-sektor pengangkutan-komunikasi (BPS, 2006). Sedangkan, PDB
tahun 2005 pertumbuhannya sebesar 5,60 %, dimana pertumbuhan tertinggi pada
sektor pengangkutan-komunikasi sebesar 12,97% diikuti sektor perdagangan, hotel
dan restoran sebesar 8,59 % dan sektor bangunan 7,34% (BPS, 2006). Sedangkan,
sektor pertanian tidak termasuk sektor yang memberikan kontribusi dominan pada
PDB tahun tersebut dan tahun-tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor
agraris belum mampu memberikan kontribusi pembangunan ekonomi di negara ini.
Upaya peningkatan produktifitas di bidang pertanian sangat diperlukan,
apalagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan tanahnya yang sangat
subur sehingga memungkinkan adanya peningkatan produktifitas tersebut. Salah satu
mengembangkan komoditas yang diminati masyarakat dunia, misalnya adalah
komoditas jamur.
Jamur akhir-akhir ini menjadi komoditas yang prospektif karena
pertumbuhan permintaan yang meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan
dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan Indonesia permintaan jamur masih
sangat besar di dunia. Indonesia menjadi pengekspor jamur ke Amerika Serikat lebih
tinggi dibandingkan negara India dan negara Asia lainnya. PT. Dieng Djaya di
Wonosobo pernah mengirim jamur yang dikalengkan ke AS mencapai lebih dari 70
ton per hari. Ini menunjukkan bahwa komoditas jamur masih memiliki peluang yang
cukup besar di pasar dunia (Trubus, 1999). Catatan di lapangan pada penelitian awal
(bulan Maret-Mei 2005), produksi petani jamur di komunitas Kertawangi, Cisarua,
Bandung, per hari sebesar 300 kg dapat diserap di pasar Cisarua dan Lembang.
Sementara, permintaan dari Jakarta sebesar 500 kg perhari dan Cirebon sebesar 200
kg per hari belum dapat dipenuhi oleh mereka.
Di bidang kehutanan jamur menduduki posisi yang penting, yaitu sebagai
dekomposer. Pada teknologi pengolahan kayu, jamur mulai dimanfaatkan,
diantaranya sebagai perombak limbah gergajian baik serbuk maupun sebetan atau
serutan. Dalam teknologi pulping juga dikenal istilah biopulping, yaitu pemutihan
pulp kertas dengan jamur putih sehingga akan terjadi bleaching dengan adanya
degradasi lignin secara alami oleh jamur. Hasilnya tidak banyak selulosa yang rusak
karena jamur ini khusus mendegradasi lignin, dan kekuatan kertas yang dihasilkan
juga lebih baik. Oleh karena itu jamur yang ditanam pada serbuk limbah
bermanfaat untuk mengurangi dampak negatif dari limbah serbuk tersebut dan juga
dapat menjadi suatu bidang usaha bagi masyarakat.
Perumusan Masalah
Penelitian awal di lapangan menunjukkan bahwa usaha petani jamur
akhir-akhir ini mengalami banyak kemunduran, bahkan di daerah Cisarua, kelompok tani
Kaliwung Kalimuncar yang dibina oleh Bina Usaha Tani Dinas Pertanian, terhenti
karena naiknya biaya operasional. Di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea,
usaha jamur rakyat atas swadaya masyarakat terhenti karena kurangnya SDM yang
mampu bekerja pada budidaya jamur. Dan masih banyak lagi lainnya usaha tani
jamur yang terhenti karena faktor teknis maupun faktor finansial.
Usaha jamur tiram putih ini mempunyai peluang pasar yang masih terbuka
dan peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam pembangunan ekonomi
negara, sehingga berhentinya usaha tani jamur menjadi kendala dalam pemberdayaan
masyarakat. Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu strategi untuk membangkitkan
kembali usaha petani jamur yang mengalami kemunduran.
Penyebab berhentinya usaha tani jamur tiram putih perlu dilihat agar
solusinya dapat efisien. Metode yang dapat digunakan diantaranya dengan analisis
faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya,
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangkitkan kembali usaha
tani jamur adalah dengan pembangunan komunitas (Community Development).
Dengan pembangunan komunitas ini, bukan saja masyarakat dibangun di sisi teknis
namun juga akan dibangun keragaan kelembagaan sehingga dapat memunculkan
community development ini merupakan program untuk memitrakan lembaga tertentu
dengan masyarakat di sekitarnya agar terjadi pemerataan kesempatan berusaha dan
kesempatan memperbaiki taraf hidup. Hal ini sangat relevan dengan kebijakan
pemerintah dalam surat Menteri BUMN No. S-366/M-MBU/2002 tanggal 6 Mei
2002 tentang program kemitraan dan bina lingkungan dan SK Menteri BUMN No.
Kep. 236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang program kemitraan BUMN dan
usaha kecil dan program bina lingkungan (Pupuk Kaltim, 2003).
Usaha jamur dapat dijadikanusaha tani dalam Community Development
karena :
1. Daya dukung daerah memungkinkan, yaitu tersedianya bahan baku berupa
limbah penggergajian (serbuk gergaji) dan limbah pertanian (jerami, dedak,
sekam, dll) serta sumber tenaga kerja yang memadai.
2. Budi daya jamur tidak memerlukan teknologi yang rumit dan investasi yang
besar, sehingga dapat dilakukan oleh masyarakat luas di sekitar hutan.
3. Pasar yang jelas baik lokal, nasional maupun internasional.
4. Kita memiliki banyak pakar yang mampu menjadi pembina dalam program
tersebut.
Permasalahan tersebut di atas dapat digambarkan dalam suatu ‘pertanyaan
penelitian’ (research question):
1. Apakah usaha produksi jamur tiram putih di kelompok petani layak untuk
dilakukan sebagai suatu usaha tani di pedesaan dari aspek finansial?
2. Apakah sistem kelembagaan Community Development mampu menjadi metode
Hipotesis
1. Usaha produksi jamur tiram putih layak dilihat dari aspek finansialnya.
2. Community Development (Pembangunan Komunitas) efektif untuk digunakan sebagai sistem kelembagaan yang menjadi alternatif keragaan kelembagaan usaha
tani dalam produksi jamur tiram putih di masyarakat.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk merancang strategi
pengembangan usaha tani jamur tiram putih yang dikelola secara bersama-sama
dalam satu komunitas. Sedangkan tujuan antara yang mendukung tujuan utama
adalah:
1. Untuk mengetahui nilai BCR, IRR dan analisis sensitivitas.
2. Untuk mengetahui hubungan kemitraan yang terjadi.
3. Untuk menganalisis faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap
TINJAUAN PUSTAKA
Jamur Tiram Putih
Menurut penelitian terakhir, sampai saat ini ada sekitar 12.000 spesies jamur
makro dan 2.000 spesies diantaranya mempunyai nilai sebagai bahan makanan dan
obat-obatan. Sekitar 35 spesies sudah dikultivasi secara komersil dan 20 spesies
diantaranya sudah dikultivasi dalam skala industri termasuk Pleurotus sp. (Chang,
1991).
Di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,
demikian juga dengan jenis jamur yang dimiliki negeri ini. Menurut Suriawiria
(1986) dari sekian jumlah jamur yang tumbuh di Indonesia ada beberapa jenis yang
dapat dikonsumsi antara lain jamur merang, jamur champignon, jamur morel, jamur
lingzhi, jamur emas, jamur kuping, jamur payung termasuk jamur tiram (Pleurotus
sp.).
Jenis jamur yang banyak dikonsumsi adalah jamur tiram putih atau disebut
juga Oyster mushroom. Jamur tiram putih memiliki beberapa kerabat dalam satu
genus, yaitu :
a). Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) atau disebut juga white oyster, warna
tudungnya putih susu sampai putih kekuningan dan bergaris tengah 3-14 cm.
b). Jamur tiram abu-abu (Pleurotus sp.), warna tudungnya abu-abu kecoklatan
sampai kuning kehitaman, lebarnya 6-14 cm.
c). Jamur tiram coklat (tedokihirate atau abalon), warna tudungnya keputihan atau
d). Jamur tiram pink (pink oyster atau sakura shimeji), tudungnya berwarna
kemerahan, ukuran tudungnya lebih kecil yaitu 2-8 cm (Suriawiria, 1986).
Alasan orang banyak mengkonsumsi jamur tiram, terutama jamur tiram putih
karena : a) jamur tiram memiliki beberapa asam amino yang merupakan senyawa
protein yang memberikan rasa lezat pada enzim yang ada di alat indera perasa kita, b)
jamur tiram memiliki struktur yang indah, sederhana dan mudah untuk diolah, c)
jamur tiram mudah dibudidayakan dan mudah tumbuh di Indonesia, tanpa mengenal
pergantian musim, d) jamur tiram memiliki harga yang cukup ekonomis (Suriawiria,
1986).
Budidaya jamur tiram putih juga dapat digunakan untuk memanfaatkan
limbah industri penggergajian yang berupa serbuk. Menurut Chang (1991), jamur
tiram putih dapat tumbuh disemua bahan yang mengandung selulosa, termasuk
serbuk kayu mengandung selulosa karena selulosa ada dalam semua bagian dalam
kayu seperti dalam Gambar 1. berikut:
Analisis Finansial
Kegiatan ekonomi, baik kegiatan produksi atau perdagangan atau kegiatan
lainnya mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan atau manfaat sehingga
dalam setiap kegiatan ekonomi perlu dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah
aspek finansial.
Aspek finansial membahas masalah cara untuk memperoleh modal dana yang
diperlukan, serta bagaimana kegiatan tersebut mengembalikan dana yang telah
diperolehnya (dalam bentuk kredit) Supena (1999). Menurut Supena (1999) pada
aspek finansial umumnya dibahas hal-hal sebagai berikut: a) kebutuhan dana serta
sumber pembiayaannya, baik untuk modal kerja maupun investasi, mulai dari masa
pembangunan sampai dengan masa produksi, b) rencana pemasukan dana dari
proyeksi penjualannya, c) proyeksi laporan keuangan (neraca dan rugi laba),
d) evaluasi dan analisa atas laporan keuangan.
Kriteria investasi sebagai evaluasi kelayakan finansial ini adalah: BCR
(Benefit and Cost Ratio), IRR (Internal Rate of Return) dan analisis sensitivitas
(Suharto, 2005)
Analisis Kelembagaan
Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan aturan
mengenai tata hubungan antar orang-orang, dimana ditentukan oleh hak-hak mereka,
kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan
anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam
usahanya untuk mencapai tujuan tertentu (Mubyarto, 1989 dalam Kurniawan, 2003).
Tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan, yaitu: 1) batas
yurisdiksi, adanya suatu ketentuan tentang siapa dan apa yang berwenang terhadap
pemanfaatan sumber daya yang dipergunakan dalam organisasi tersebut. 2) property
right, adanya kejelasan kepemilikan yang dituangkan dalam hukum, hak dan
kewajiban serta kesepakatan-kesepakatan antara pihak-pihak yang terkait. 3) aturan
representasi, adanya sistem atau prosedur pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan pemanfaatan sumber daya yang dibicarakan (Iswandi, 1996).
Pada dasarnya, kelembagaan ini dibentuk agar terjadi efisiensi dalam proses
produksi, efisiensi dalam pengambilan keputusan dan efisiensi dalam pemasaran,
karena dalam suatu kelembagaan sering terjadi inefisiensi yang dikarenakan adanya
biaya transaksi (transaction cost).
Biaya transaksi tersebut meliputi: 1). biaya informasi (information cost), biaya
untuk menentukan mitra dalam transaksi yang sering menimbulkan persoalan
buruknya pilihan (adverse selection), biaya mengumpulkan informasi harga, kualitas
dan jumlah suatu produk, 2). biaya pengawasan (policy cost), meliputi biaya
pemantauan pelaksanaan syarat-syarat kontrak seperti standar kualitas produk dan
cara pembayaran, 3). biaya pengambilan keputusan (decision making cost), yaitu
biaya negosiasi untuk syarat-syarat kontrak dan pembuatan kontrak tersebut (Anwar,
1995).
Menurut Hobbs (1997) dalam Kurniawan (2003), biaya transaksi ada dua jenis
pengambilan keputusan dan biaya transaksi yang bersifat ex-post yaitu biaya
pengawasan.
Oleh karena itu kelembagaan yang dipandang efisien di pedesaan adalah
kelembagaan yang dilakukan dengan konsep kontraktual (contractual concept),
dimana dengan konsep ini akan meminimalisasi resiko yang ditanggung petani dan
menjadi efisien bagi pihak yang memiliki modal. Hubungan ini akan lebih
kompatibel jika dimitrakan (relationship), sejajar dalam menentukan hak dan
kewajiban sehingga kepemilikan akan dirasakan secara seimbang.
Menurut Mardjana (1993) dalam Elieser (2000), keterhubungan dua pihak antara
dua atau lebih individu atau kelompok yang memiliki keterkaitan untuk melakukan
usaha yang kompatibel dengan upaya meminimasi biaya transaksi disebut teori
‘principal-agent’, dimana satu orang disebut principal (pemberi mandat) dan yang
lain agent (penerima mandat).
Konsep kontraktual principal sepakat untuk memberikan suatu insentif dengan
bentuk tertentu kepada agent dan agent setuju untuk melakukan suatu kegiatan yang
bukan saja menjadi kepentingan salah satu pihak tetapi menjadi kepentingan diantara
keduanya. Karena permasalahan utama dalam teori principal-agent ini adalah
kepentingan yang berbeda diantara principal dan agent. Kecenderungan untuk
memenuhi kepentingan masing-masing bisa saja terjadi seandainya tidak ada
kesepahaman diantara keduanya, bahkan akan muncul biaya yang dikeluarkan untuk
agent dalam kegiatan tersebut yang disebut biaya agensi (agency cost) (Anwar, 1997
dalam Kurniawan, 2003)).
appropiate agent), 3) perolehan informasi untuk memplot standar penampilan
(gaining information to set performance), 4) memantau agen (monitoring agent), 5)
bayaran yang mengikat agen (bonding payment by the agent) dan 6) kehilangan sisa
hasil usaha (residual losses). Hal ini sangat dihindari karena bisa menjadikan
kelembagaan yang diinginkan efisien justru menjadi lebih inefisiensi. Oleh karenanya
diawal hubungan prinsipal dan agen perlu adanya kejelasan dalam beberapa aspek,
sehingga perlu adanya kesepakatan tertulis mengenai sistem yang diberlakukan.
Menurut Rodger (1994) dalam Nugroho (2002), hubungan principal-agent akan
efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang
dengan korbanan masing-masing, serta biaya transaksi (transaction cost) sehubungan
dengan pembuatan kontrak atau kesepakatan (contractual arrangement) dapat
diminalkan. Menurutnya bahwa masalah dalam hubungan principal-agent adalah
pada masalah insentifnya. Seberapa adil insentif yang diterima oleh kedua belah
pihak sehingga ini akan memperlancar interaksi diantara keduanya.
Anwar (1995) berpendapat bahwa masalah biaya agensi dapat dipecahkan
dengan beberapa strategi, diantaranya:
1. Manajemen Kontrak (Contract Management). Pengakuan agen terhadap kerja
principal dan begitu juga sebaliknya terhadap hasil yang diperoleh (outcomes)
terkadang tidak begitu saja diterima, hal ini sering terjadi karena ketidakpastian
hasil dan tampilan (performance). Seringkali ini terjadi karena di satu pihak
menginginkan efektifitas yang berupa hasil (outcomes) dan efisiensi yang berupa
tampilan (performance).
2. Privatisasi (Privatization). Prinsipal harus menyeimbangkan biaya agensi dengan
tergantung dari biaya produksi tetapi relatif karena kepentingan umum atau
kepentingan khusus. Tergantung juga pada poin optimum dari marjin biaya total
(biaya agensi + biaya produksi) harus sama dengan marjin keuntungannya.
Program Pembangunan Komunitas (Community Development)
Program ‘Community Development’ yaitu suatu konsep kemitraan antara
principal dan agent yang mengedepankan pembangunan komunitas petani (penerima
mandat) dengan potensi yang ada di lokasinya tanpa ada kepentingan yang
berlebihan dari pihak principal (pemberi mandat).
Menurut Conyers (1995) dalam Wahyudin (2005), pembangunan komunitas
(community development) adalah semua usaha swadaya masyarakat yang
digabungkan dengan usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi
masyarakat, mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, dan memberikan kesempatan yang memungkinkan masyarakat
tersebut membantu secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa. Usaha
tersebut mencakup bidang ekonomi, sosial dan kultural.
Upaya pengembangan masyarakat pada dasarnya merupakan suatu upaya
pemberdayaan komunitas warga. Upaya pengembangan masyarakat tersebut harus
dilakukan dengan pemerataan kekuatan/kemampuan (power sharing) agar
masyarakat memiliki kemampuan yang setara dengan beragam mitra yang
memberikan sebagian wewenangnya kepada masyarakat (stakeholder). Semua
stakeholder dalam proses pengembangan masyarakat harus berupaya untuk
Pengembangan masyarakat dengan memberdayakan masyarakat harus didekati
dengan pendekatan sosiologis yang berbasis lokal (daerah). Pada tingkat
pengambilan keputusan di daerah akan melibatkan banyak kepentingan, oleh
karenanya perlu dilakukan pendekatan sosiologis yang mengarah pada fungsi dari
pihak-pihak yang berkepentingan. Beragam kepentingan ini merupakan representasi
dari suatu hubungan kelembagaan di daerah.
Community Based Development (CBD) memfokuskan pada pemberdayaan
masyarakat di tingkat komunitas melalui program-program partisipatif di tingkat
kelompok dengan menciptakan integrasi wilayah dan ekonomi. Kemudian program
partisipatif ini ditingkatkan pada tingkat komunitas atau desa dengan menciptakan
jaringan sosial (social networking) (Ife, 1995).
Jaringan sosial akan lebih efektif (tepat pada tujuannya) dengan mengelola
manajemen secara bersama antara pihak-pihak yang berkepentingan. Manajemen
bersama ini meliputi manajemen pemerintah, masyarakat dan lembaga masyarakat,
yaitu:
a) Pemerintah, pemerintah disini merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan
negara terhadap masyarakatnya sendiri. Pemerintah bisa merupakan pemerintah
pusat atau pemerintah daerah. Namun masyarakat sekarang akan lebih dikelola
oleh pemerintah daerah, sehubungan dengan meningkatnya peran pemerintah
daerah di masa otonomi daerah. Hal ini terkadang menjadi suatu manajemen
pemerintah yang tidak setara antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Terkadang terjadi penumpukan dua instansi pusat dalam satu instansi di daerah.
Manajemen ini menimbulkan penumpukkan pengambilan keputusan (decision
demikian pendelegasian sebagian wewenang pemerintah kepada masyarakat
akan membuat masyarakat memiliki banyak pekerjaan. Hal ini perlu adanya
dukungan dari berbagai pihak lembaga untuk bekerja bersama. Menurut Ife
(1995), keberhasilan dan keberlangsungan pembangunan daerah tidak hanya
disebabkan oleh kekuatan internal tetapi lebih dari itu juga dipengaruhi adanya
kekuatan eksternal yang mampu mendukung dan memfasilitasi kekuatan dari
bawah tersebut. Kekuatan eksternal dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah
daerah yang mampu mendukung dan memfasilitasi program-program partisipatif
agar program-program tersebut dapat berkembang dan berkelanjutan.
b) Lembaga Masyarakat, lembaga masyarakat di sini bisa berupa Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), lembaga swasta, lembaga profesional. Masing-masing tentu
memiliki kepentingan yang beragam. LSM memiliki tujuan untuk menjalankan
tujuan proyek yang telah ditetapkan. Lembaga swasta bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi secara maksimal. Sedangkan lembaga
profesional bertujuan untuk dapat menjalankan fungsi profesinya dengan baik.
c) Masyarakat, masyarakat yang dimaksud adalah penduduk yang tinggal di sekitar
Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan menjadi
motor penggerak program-program yang telah direncanakan. SDA dan SDM
yang ada masyarakat merupakan kelompok komunitas yang memiliki kekuatan
dan dapat difungsikan secara maksimal untuk keberhasilan program-program
Analisis SWOT
Pengertian SWOT
SWOT adalah suatu analisis faktor-faktor yang penting dalam suatu
perusahaan, dimana faktor-faktor tersebut terdiri dari dua kondisi yaitu kondisi
internal yang terdiri dari dua komponen yaitu kekuatan (Strengths) dan kelemahan
(Weaknesses), kondisi eksternal yang terdiri dari peluang (Opportunity) dan ancaman
(Threats). Menurut Rangkuti (2006), SWOT adalah identifikasi berbagai faktor
secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan
pada logika untuk memaksimalkan kekuatan dan peluang, yang secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan ataupun ancaman. Pengertian masing-masing
elemen faktor adalah:
a). Analisis kekuatan, kekuatan adalah keunggulan spesifik yang secara khusus
dimiliki oleh perusahaan yang dapat meningkatkan nilai kompetitif perusahaan.
Dimana dengan kekuatan yang dimilikinya akan mampu mendukung
keberhasilan perusahaan. Kekuatan bisa berasal dari praproduksi seperti iklim,
tanah dan potensi SDA lainnya. Demikian juga dari produksi yang berupa
teknologi yang dikuasai petani, sarana teknologi yang dimiliki, keahlian petani
dalam mengelola SDA.
b). Analisis kelemahan, kelemahan adalah keterbatasan dan kekurangan perusahaan
dalam mengembangkan usahanya. Dapat berupa kekurangan dari sisi keuangan,
c). Analisis peluang, peluang adalah situasi yang dapat mendukung perkembangan
perusahaan yang berada di luar kendali perusahaan. Peluang bisa berupa tingkat
pasar, kebijakan pemerintah.
d). Analisis ancaman, ancaman adalah situasi yang tidak mendukung perkembangan
perusahaan yang berada di luar kendali perusahaan. Ancaman bisa berupa
perusahaan lain yang lebih baik kualitas produknya, harga bahan baku yang
berubah-ubah, persaingan dengan barang substitusi.
Penilaian SWOT
Dari kedua faktor di atas, dapat dianalisis lebih tajam melalui penilaian dan
penentuan keberhasilan dengan tahapan :
1. Penentuan urgensi faktor eksternal dan internal.
Menurut Kadiman (2001) dalam Buzalmi (2004) untuk memudahkan penentuan
urgensi faktor eksternal dan internal perlu dilakukan pembobotan pada seluruh
elemen-elemen strategis dari kedua faktor tersebut. Pembobotan diberi nilai total
100% untuk masing-masing faktor. Faktor yang lebih urgen dapat ditentukan
dengan mengaitkan masing-masing elemen pada faktor eksternal dan internal.
Kemudian jumlah keterkaitan tersebut dihitung bobotnya dengan rumus:
Total Nilai Urgensi Tiap Elemen
Bobot = x 100% Total Nilai Urgensi Seluruh Elemen
2. Evaluasi faktor eksternal dan internal
Evaluasi faktor eksternal dan internal dilakukan dengan membuat tabel yang
a. Bobot Faktor (BF), untuk mengevaluasi faktor eksternal dan internal yang
diambil dari nilai bobot di dalam tabel matriks urgensi faktor eksternal dan
internal.
b. Nilai Dukung (ND), diberikan pada setiap elemen pada faktor eksternal dan
internal dengan interval sebagai berikut:
(1) Nilai 1 = Kecil sekali
(2) Nilai 2 = Kecil
(3) Nilai 3 = Cukup
(4) Nilai 4 = Besar
(5) Nilai 5 = Besar sekali
c. Nilai Bobot Dukungan (NBD), merupakan perkalian Bobot Faktor (BF)
dengan Nilai Dukungan (ND) dibagi 100.
(BF x ND) NBD =
100
d. Nilai Keterkaitan (NK), nilai keterkaitan dari semua elemen faktor eksternal
dan internal diberi bobot 0 sampai 5 dengan kriteria berikut:
(1) Nilai 0 = Tidak ada keterkaitan
(2) Nilai 1 = Keterkaitan kecil sekali
(3) Nilai 2 = Keterkaitan kecil
(4) Nilai 3 = Keterkaitan cukup
(5) Nilai 4 = Keterkaitan besar
e. Nilai Rata-rata Keterkaitan (NRK), adalah jumlah nilai keterkaitan dibagi
banyaknya elemen faktor eksternal dan internal.
Σ NK
NRK =
Σ Elemen
f. Nilai Bobot Keterkaitan (NBK), adalah hasil kali BF dan NRK dibagi 100.
(BF x ND) NBD =
100
g. Total Nilai Bobot (TNB), penjumlahan dari NBD dan (NBK).
TNB = NBD + NBK
Peta SWOT
Menurut Rangkuti (2006), peta SWOT terdiri dari 4 kuadran yang
menunjukkan profil strategi yang terdiri dari:
1. Kuadran I adalah profil strategi agresif yaitu profil organisasi yang
menguntungkan, dimana perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan
sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.
2. Kuadran II adalah profil strategi diversifikasi yaitu perusahaan meskipun
menghadapi berbagai ancaman, namun masih memiliki kekuatan dari segi
internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi produk
3. Kuadran III adalah profil strategi turn around yaitu kondisi dimana perusahaan
menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain pihak ia menghadapi
beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan ini adalah
meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut
peluang pasar yang lebih baik.
4. Kuadran IV adalah profil strategi defensif yaitu perusahaan menghadapi situasi
yang tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman
dan kelemahan internal. Fokus strategi adalah bertahan atau tutup.
Peta SWOT dengan sistem kuadran ini menggunakan dua sumbu dimana
sumbu absis adalah kondisi faktor internal dengan sumbu positif berupa kekuatan dan
sumbu negatif berupa kelemahan. Sumbu kedua adalah sumbu ordinat yaitu kondisi
eksternal dengan sumbu positif berupa peluang dan sumbu negatif berupa ancaman.
Peta tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
III. Strategi Turn-around
II. Strategi Diversifikasi I. Strategi Agresif
Kekuatan Kelemahan
IV. Strategi Defensif
Ancaman Peluang
Gambar 2. Peta Kekuatan Organisasi (Rangkuti, 2005).
Formulasi Strategi SWOT
Formulasi strategi SWOT terdiri dari faktor eksternal yaitu peluang
dan kelemahan (weaknesses). Semua elemen dari faktor eksternal dan internal dalam
formasi strategi SWOT ini disusun secara berurutan dari total nilai bobot (TNB) yang
tertinggi sampai yang terendah pada setiap elemen dari peluang, ancaman, kekuatan
dan kelemahan dari kedua fakor eksternal dan internal itu. Kemudian dilanjutkan
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2005 sampai bulan Mei 2006.
Kelompok tani yang menjadi sasaran penelitian adalah binaan Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bogor yaitu: Kelompok Wanita Tani (KWT) Pusat Pelatihan
Pertanian Pedesaan (P4S) Nusa Indah Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor.
P4S adalah Lembaga Pendidikan dan Pelatihan di bidang pertanian dan
pedesaan yang dimiliki dan dikelola langsung oleh petani baik perorangan maupun
kelompok, dimana lembaga ini berkembang karena keberhasilan petani dalam
melaksanakan usaha lainnya (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2001). Tujuan
umum P4S adalah terselenggaranya program-program pelatihan bagi petani dibidang
pertanian, perindustrian dan usaha pedesaan lainnya secara teratur dan
berkesinambungan. Sedangkan, tujuan khusus P4S adalah:
a. Berkembangnya swadaya petani di dalam meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan wawasan berusaha sesama petani.
b. Meningkatkan keterampilan dan kecakapan petani pemagang serta
keyakinannya terhadap usaha tani sebagai pekerjaan atau sumber mata
pencaharian.
c. Tumbuhnya kreatifitas, sikap kritis, rasa percaya diri dan jiwa kewirausahaan
petani pemagang.
d. Meningkatkan keterampilan, kecakapan dan rasa percaya diri petani
e. Tumbuh dan berkembangnya hubungan sosial dan interaksi positif antara
sesama petani.
P4S sebaiknya memiliki sarana prasarana minimum sebagai berikut:
1. Tersedianya lahan/obyek usaha tani dan non-pertanian yang dapat dipakai
untuk praktek.
2. Tersedianya tempat menginap bagi peserta, baik di rumah petani pengelola
maupun tempat lain di sekitarnya.
3. Tersedianya ruangan untuk berkumpul dan belajar.
4. Adanya rencana kegiatan belajar tertulis.
Pembinaan kepada P4S, yang dilakukan oleh Badan Pengembangan SDM
Pertanian (BPSDMP), Departemen Pertanian (dalam hal ini Kewirausahaan
Agribisnis), adalah sebagai berikut:
1. Pemberian pelatihan yang sesuai kebutuhan (permintaan) P4S, diantaranya
pelatihan manajemen pengembangan kewirausahaan agribisnis dan
bimbingan lanjutan kepada P4S yang potensial.
2. Mendorong terbentuknya Forum Komunikasi (FK) P4S dan melakukan
kerjasama dengan lembaga tersebut untuk mengembangkan P4S.
Fasilitas yang dimiliki P4S adalah meliputi satu ruangan pelatihan, 2 kamar
penginapan, satu ruangan isolasi, satu ruangan pembuatan baglog, satu ruangan
sterilisasi dan 3 kumbung pemeliharaan. Sebagai gambaran, beberapa fasilitas
A B C
Gambar 3. Beberapa Fasilitas Produksi Jamur Tiram Putih di Komunitas P4S Nusa Indah, Tamansari. A. Ruangan Pembuatan Baglog. B. Ruangan Isolasi. C. Ruangan Pemeliharaan.
Sebagai pembanding adalah komunitas petani jamur tiram putih di Desa
Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Komunitas petani ini adalah
suatu bentuk komunitas swadaya masyarakat yang telah melakukan kegiatan
produksi jamur tiram putih secara terus menerus (sustainable production). Komunitas
ini dibangun dari tahun 1995, dan tahun 2005 terdapat 5 orang anggota yang berada
di komunitas ini. Produksi yang terjaga keberlangsungannya merupakan salah satu
ciri keberhasilan suatu organisasi usaha (Render, B dan Jay Heizer, 2001), oleh
karena itu komunitas ini menjadi contoh usaha tani yang patut dipelajari (brain
story). Keberhasilan usaha tani komunitas ini akan menjadi pembanding bagi usaha
tani yang dikelola oleh komunitas petani P4S.
Komunitas ini tidak ada intervensi pemerintah setempat secara langsung, tapi
kebijakan pemerintah dalam menentukan iklim ekonomi makro secara tidak langsung
mempengaruhi keberlanjutan produktifitas petani jamur pada komunitas ini. Fasilitas
yang ada di komunitas petani Kertawangi adalah masing-masing anggota memiliki
satu ruangan pembuatan baglog, satu unit sterilisasi, kumbung pemeliharaan dimana
A B C
Gambar 4. Fasilitas Produksi Jamur Tiram Putih di Komunitas Kertawangi, Cisarua. A. Ruangan Sterilisasi. B. Ruangan Pembuatan Baglog. C. Ruangan Pemeliharaan.
Pengumpulan Data
Data yang menjadi input dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh melalui survei langsung ke lapangan melalui
wawancara. Wawancara dilakukan kepada petani, pakar dari instansi terkait dan
akademisi di bidang jamur. Wawancara kepada petani dilakukan untuk memperoleh
informasi: (1) elemen internal (kekuatan dan kelemahan) dan elemen eksternal
(peluang dan ancaman), (2) peranan (urgensi) dan keterkaitan antar elemen, (3)
data-data keuangan berupa pengeluaran dan pendapatan, (4) data-data produksi petani,
(5) sistem lembaga yang terjadi di tingkat petani.
Sedangkan wawancara kepada pakar dilakukan untuk memperoleh informasi:
(1) elemen internal (kekuatan dan kelemahan) dan elemen eksternal (peluang dan
ancaman), (2) peranan (urgensi) dan keterkaitan antar elemen, dan (3) sistem
Sedangkan data sekunder adalah data yang akan diambil dari instansi terkait
(Dinas Pertanian dan Kehutanan), dan pemerintah daerah yaitu desa dan kecamatan
tempat penelitian dilakukan, untuk memperoleh data: (1) kondisi sosial-ekonomi
wilayah setempat, (2) sistem kelembagaan yang terjadi di tingkat instansi.
Kelompok data yang diambil ada dua kategori yaitu kelompok data kuantitatif
dan data kualitatif. Dimana kelompok data tersebut memuat informasi- informasi
seperti yang ada pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok Data Bentuk Kemitraan Usaha Tani Jamur Tiram Putih. Responden
No Komponen Kemitraan Petani-Pemodal
Kemitraan Petani - Pedagang
1. Deskriptif/kualitatif
a. Batasan yurisdiksi
b. Property right
c. Aturan representasi
Petani, Pemodal Petani, Pemodal Petani, Pemodal
Petani, Pedagang Petani, Pedagang Petani, Pedagang 2. Kuantitatif
a.Jumlah pihak yang terkait
b.Data-data keuangan berupa
pengeluaran dan pendapatan petani
Petani, Pemodal Petani
Petani, Pedagang Petani
Dari dua komunitas tersebut diambil masing-masing dua responden yang
dianggap mewakili kedua komunitas yaitu:
1. Komunitas P4S (Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya) Nusa Indah
Tamansari Bogor, yang diwakili oleh dua responden.
2. Komunitas Petani Jamur Kertawangi, Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua
Kabupaten Bandung, yang diwakili oleh dua responden yang terpilih karena
Metode Penelitian
Analisis kelembagaan
Analisis kelembagaan adalah analisis yang membahas tentang hubungan
kerjasama antara pelaksana proyek dan pemerintah (atau pihak-pihak lain)
(Pramudya, B dan Nesia Dewi, 1991). Menurut Mardjana, 1993 dalam Elieser, 2004,
keterhubungan dua pihak antara dua atau lebih individu atau kelompok yang
memiliki keterkaitan untuk melakukan usaha yang kompatibel dengan upaya
meminimasi biaya transaksi disebut teori ‘principal-agent’, dimana satu orang
disebut principal (pemberi mandat) dan yang lain agent (penerima mandat).
Struktur kelembagaan yang ada di komunitas petani memunculkan hubungan dua
tingkat. Hubungan tingkat pertama melibatkan pemerintah/pemodal selaku principal
dan petani/ketua kelompok tani yang menjalankan proyek pemerintah selaku agent.
Hubungan tingkat kedua ada dua macam yang pertama adalah hubungan antara ketua
kelompok tani dan anggotanya dimana ketua selaku principal dan anggota selaku
agent, yang kedua adalah hubungan petani/kelompok tani dan pedagang. Bentuk
kelembagaan ini lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
PEMERINTAH/ PEMODAL
KETUA P4S/ KELOMPOK TANI TINGKAT PERTAMA
Gambar 5. Hubungan Kemitraan Tingkat Pertama.
TINGKAT KEDUA KETUA P4S/
KELOMPOK TANI
ANGGOTA P4S
PASAR PEDAGANG PERANTARA
Analisis ini akan dilihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
tingkat hubungan, yang digambarkan dengan tiga komponen kelembagaan yaitu:
batasan yurisdiksi, property rights dan aturan representasi.
Analisis finansial
Kriteria yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah Internal Rate of
Return (IRR), Benefit and Cost Ratio (BCR), serta dilakukan analisis sensitivitas.
Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial ini disajikan dalam Lampiran 1.
Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah nilai suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai
sama dengan nol. Oleh karena itu juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas
investasi bersih dalam suatu proyek. IRR dapat dirumuskan sebagai berikut:
n Bt - Ct
IRR = NPV 0 = ∑
t = 1 (1 + i)t
Dimana : i % : bunga ketika NPV = 0
Dengan standar kelayakan: IRR > r (tingkat suku bunga bank) berarti
kegiatan usaha tani jamur tiram putih dapat dilanjutkan, IRR < r berarti kegiatan
usaha tani jamur tiram putih tidak dapat dilanjutkan, atau lebih baik berhenti.
Benefit and Cost Ratio (BCR)
Perbandingan benefit (manfaat) dan cost (biaya) pada dasarnya merupakan
perbandingan antara jumlah manfaat kini bersih dan biaya kini.
n Bt t=0 (1 + i)t
B/C = n
Ct
t=1
Dimana: Bt = Penerimaan kotor pada tahun ke-t.
Ct = Biaya kotor pada tahun ke-t.
n = Umur ekonomis usaha tani jamur tiram putih.
r = Tingkat suku bunga Bank.
Dengan standar kelayakan:
Net B/C >1 Berarti usaha tani jamur tiram putih akan memperoleh keuntungan dan dapat dilanjutkan.
Net B/C <1 Berarti usaha jamur tiram putih tidak dapat dilanjutkan.
Analisis Sensitivitas
Analisis sensivitas dilakukan apabila:
1. Terjadi suatu kesalahan pendugaan suatu nilai biaya atau manfaat.
2. Kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis sensitivitas adalah:
1. Adanya cost overrun (biaya yang melebihi biaya pendugaan), misalnya kenaikan
biaya konstruksi.
2. Perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, misalnya
penurunan harga hasil produksi.
3. Mundurnya jadwal pelaksanaan proyek.
4. Khusus untuk proyek pertanian, terjadi kesalahan dalam penaksiran hasil
produksi.
Analisis SWOT
Analisis SWOT dilakukan untuk melihat faktor apa saja yang mempengaruhi
keberlanjutan usaha tani jamur tiram putih. Dalam penelitian ini, analisis SWOT
yang dilakukan akan dilihat dari aspek finansial dan keragaan kelembagaan. Aspek
keragaan kelembagaannya akan diidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan
kelembagaan. Langkah dalam analisis SWOT ini diantaranya :
1. Menilai peluang dan ancaman dari faktor eksternal.
Yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kelangsungan usaha tani jamur tiram putih dari luar manajemen usaha tersebut atau
yang berada diluar kewenangan dari usaha tani tersebut, kemudian melakukan audit
dengan metode pembobotan faktor dan kemudian dilakukan pemetaan nilai-nilai
pembobotan tersebut.
2. Menilai kekuatan dan kelemahan faktor internal.
Melakukan identifikasi faktor internal sebagai kekuatan dan kelemahan, kemudian
melakukan audit untuk menentukan nilai bobot faktor tersebut.
3. Melakukan penilaian urgensi tiap elemen, dengan rumus:
Total Nilai Urgensi Tiap Elemen
Bobot = x 100%
Total Nilai Urgensi Seluruh Elemen
Kemudian dituangkan dalam matriks urgensi faktor eksternal dan internal dengan
memberikan huruf elemen yang lebih urgen pada elemen yang terkait. Matriks
urgensi tersebut disajikan dalam Tabel 2 berikut:
4. Evaluasi faktor eksternal dan internal, dengan beberapa evaluasi, diantaranya:
(a) Nilai Dukung (ND), dengan interval: 1 = Kecil Sekali, 2 = Kecil, 3 = Cukup, 4
= Besar, 5 = Besar Sekali.
(b) Nilai Bobot Dukungan (NBD), (BF x ND)/100.
(c) Nilai Keterkaitan (NK), dengan interval: 0 = Tidak ada keterkaitan, 1 =
Keterkaitan kecil sekali, 2 = Keterkaitan kecil, 3 = Keterkaitan cukup, 4 =
Keterkaitan besar, 5 = Keterkaitan besar sekali.
(d) Nilai Rata-rata Keterkaitan (NRK), Σ NK/n.
(e) Nilai Bobot Keterkaitan (NBK), (BF x NRK)/100.
(f) Total Nilai Bobot (TNB), NBD + NBK.
5. Memetakan pada peta kekuatan organisasi dengan garis absis sebagai faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) dan garis ordinat sebagai faktor eksternal
(peluang dan ancaman).
6. Dari peta tersebut akan muncul strategi pengembangan usaha tani jamur tiram
putih dari masing-masing kelompok tani yang dijadikan tempat penelitian dengan
metode matriks SWOT (Rangkuti, 2006).
Uji Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu hipotesis dari aspek
finansial dan dari aspek kelembagaan.
Aspek finansial
Ho : Usaha jamur tiram putih layak secara finansial dengan penilaian kriteria yang telah ditentukan.
Ho : Semua ciri kelembagaan positif dan memiliki jumlah point kelebihan yang lebih banyak dibandingkan jumlah point kekurangannya.
H1 : Ada satu ciri kelembagaan yang bersifat negatif dan jumlah point kelebihan lebih sedikit dibandingkan jumlah point kekurangannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Wilayah Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di Kelompok Wanita Tani (KWT) P4S (Pusat Pelatihan
Pertanian Pedesaan) Nusa Indah berada di Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari,
Kabupaten Bogor. Berada pada ketinggian 700 mdpl, dengan suhu berkisar 25°C -
32°C, curah hujan 500 mm/th.
Aksesibilitas kecamatan ini terhadap ibukota kabupaten sejauh 40 km, dengan
ibu kota Provinsi Jawa Barat sejauh 120 km dan dengan ibukota negara RI sejauh 96
km. Luas wilayah Kecamatan Tamansari ini adalah 30.956,95 ha. Komposisi lahan
wilayah ini terdapat pada diagram lingkaran Gambar 7.
Tanah saw ah Tegalan
Perkebunan negara Perkebunan rakyat Lap OR
Rekreasi Kuburan Saw ah Bengkok Tanah kering bengkok
Gambar 7. Diagram Lingkaran Komposisi Wilayah Kecamatan Tamansari Tahun 2005.
Kecamatan Tamansari berbatasan dengan wilayah lain di sekitarnya, yaitu:
Utara : Kecamatan Ciomas
Timur : Kecamatan Cijeruk
Selatan : Kabupaten Sukabumi
Kondisi Sosial-Ekonomi
Jumlah penduduk Kecamatan Tamansari adalah 78.261 jiwa dengan
penduduk laki-laki 39.457 jiwa dan penduduk wanita 38.804 jiwa, dengan 17.999
KK. Pengelompokan penduduk berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Usia Th 2005
No. Kelompok Usia Jumlah Penduduk
(orang)
Sumber: Demografi Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, 2005.
Dari tabel di atas terlihat bahwa porsi terbesar ada pada usia muda (di bawah
20 tahun), seperti dalam grafik pada Gambar 8.
0
Gambar 8. Grafik Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia.
Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk
(orang)
Sumber: Demografi Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, 2005.
Jumlah penduduk paling banyak ada pada tamatan SD/sederajat, tidak ada
penduduk Kecamatan Tamansari yang tamat akademi atau perguruan tinggi, sampai
tahun 2005 bulan Desember.
Lokasi P4S Tamansari Kabupaten Bogor
Penelitian ini dilakukan pada Kelompok Wanita Tani (KWT) dengan lembaga
yang menaunginya yaitu Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa
Indah, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. P4S Nusa Indah awalnya adalah
kelompok tani yang berkumpul dan mendirikan Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa
Indah. KWT Nusa Indah berdiri pada tahun 1996 kemudian berubah menjadi P4S
Nusa Indah pada tahun 2002, yang diketuai oleh Ibu Cucu Komalasari dengan
anggota berjumlah 20 orang. P4S mempunyai beberapa unit usaha, seperti ada pada
Tabel 5.
P4S adalah lembaga yang dibentuk oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan di
tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota, dimana fungsinya adalah untuk
mengkoordinir petani dalam suatu kelompok dengan kegiatan yang terintegrasi
P4S unggulan yaitu P4S Nusa Indah Tamansari, P4S Kaliwung Kalimuncar Cisarua,
P4S Melati Rancabungur dan P4S Karya Mekar di Cengal.
Tabel 5. Unit Usaha di P4S Nusa Indah Tamansari, Bogor Tahun 2002.
No Unit Usaha Jumlah Anggota
1
Dalam tubuh P4S memiliki pengurus yang cukup sederhana namun mencakup
seluruh kegiatan yang ada di dalam P4S. Susunan Pengurus P4S Nusa Indah
Tamansari adalah seperti pada Gambar 9.
Analisis Finansial
Biaya
Biaya-biaya yang dibutuhkan dalam usaha tani meliputi biaya awal/ modal
awal, proses produksi dan pemeliharaan. Modal awal merupakan biaya pembangunan
kumbung dan sewa lahan, proses produksi meliputi pembelian bahan-bahan produksi,
upah pekerja dan BBM. Pemeliharaan meliputi gaji pegawai dan listrik, rincian
biaya tahunan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Analisis finansial dari dua komunitas tersebut menunjukkan nilai positif.
Komponen biaya dari kedua komunitas dengan mencari rata-rata dari dua
respondennya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Biaya Produksi Jamur Tiram Putih.
Lokasi
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa biaya produksi per tahun di P4S lebih
tinggi dibandingkan Kertawangi tetapi rata-rata produksi per tahun lebih tinggi
Kertawangi dibandingkan P4S, sehingga biaya produksi per baglog lebih tinggi P4S
daripada Kertawangi. Beberapa informasi yang bisa diambil dari keterangan di atas
1. Bahwa produktifitas di Komunitas Kertawangi lebih tinggi 52% dibandingkan
komunitas P4S, hal ini karena pada Kertawangi pengelolaannya lebih profesional
dan terintegrasi sehingga proses produksi berjalan secara terus menerus,
sedangkan di P4S pengelolaannya lebih pada proyek dan individual, sehingga
proses produksinya mengalami fluktuasi.
2. Bahwa dengan usaha yang terpadu dalam satu komunitas (dalam hal ini adalah
Kertawangi) dapat menekan biaya produksi sebesar 40%.
Dari data di atas dapat diambil unsur kekuatan, kelemahan dan peluang dari
komunitas Kertawangi dan munculnya kelemahan dan ancaman dari komunitas P4S.
Pertama komunitas Kertawangi:
1. Kekuatan, adalah:
a. Pengelolaan yang profesional, dimana distribusi pekerjaan (job distribution)
diberikan kepada orang tertentu sehingga pertanggungjawabannya jelas, bukan
pembagian pekerjaan yang tidak jelas kepada siapa dan bertanggungjawab kepada
siapa.
b. Biaya produksi yang dapat ditekan dengan pembelian bahan baku secara kolektif.
c. Biaya produksi yang rendah memungkinkan harga jual jamur segar yang rendah
juga, sehingga hal ini akan menjadi kekuatan persaingan harga pasar.
2. Kelemahan:
Biaya produksi rendah yang memungkinkan harga jual yang rendah juga dapat
menjadi kelemahan bagi petani yaitu pendapatan per kilogram yang rendah juga.
Namun hal ini bisa diatasi dengan jumlah produksi yang tinggi.
a. Biaya produksi yang rendah akan memberi kemampuan kepada petani untuk
semakin meningkatkan kuantitas produksi, sehingga hal ini akan membuka
peluang terpenuhinya kebutuhan pasar.
b. Biaya produksi yang rendah juga memberi peluang bagi petani lain yang berada di
dalam komunitas tersebut untuk mengembangkan usahanya, sedangkan untuk
petani yang berada di luar komunitas tersebut dapat bekerja sama dengan membeli
baglog yang diproduksi oleh komunitas Kertawangi.
Komunitas P4S memiliki biaya produksi lebih tinggi, oleh karenanya muncul
kelemahan, peluang dan ancaman, yaitu:
1. Kelemahan:
a. Biaya yang tinggi akan memungkinkan rendahnya pendapatan bersih (bisa
dilihat pada sub bab analisis pendapatan).
b. Biaya yang tinggi disebabkan oleh mahalnya pembelian bahan baku, karena
dilakukan oleh perorangan dan oleh karena produktifitas yang rendah.
2. Peluang:
a. Biaya yang tinggi membuka peluang untuk peningkatan teknologi dengan
biaya yang lebih murah.
b. Biaya yang tinggi juga membuka peluang untuk menjual jamur segar dengan
harga tinggi, tetapi hal ini akan menimbulkan ancaman lain (dapat dilihat pada
elemen ancaman).
3. Ancaman.
a. Biaya tinggi dapat menyebabkan proses produksi terhenti.
c. Biaya produksi yang tinggi juga menyebabkan terhambatnya kerjasama dengan
petani dari luar komunitas karena harga jual baglog yang tinggi.
d. Biaya produksi yang tinggi diakibatkan meningkatnya harga BBM yang
merupakan komponen biaya tertinggi. Oleh karena itu kondisi ekonomi makro
juga bisa menjadi ancaman jika tidak kondusif.
Pendapatan
Penerimaan yang dihitung disini meliputi penjualan jamur segar, kecuali pada
ketua P4S memiliki penerimaan dari penjualan baglog dan fee pelatihan jamur
(Lampiran 3).
Panen jamur tiram putih memiliki siklus kurva yang menyerupai sebaran
normal, artinya pada awal masa panen hasilnya kecil semakin lama semakin besar
dan setelah melewati waktu dua bulan jumlah produksi akan menurun kembali, hal
ini bisa dilihat pada Gambar 10.
1 2 3 4
Gambar 10. Siklus Panen Jamur Segar Tiram Putih (Fakultas Pertanian, UNWIM,
Bulan
2002).
Produksi jamur tiram putih sangat tergantung dengan siklus produksi seperti
pada bulan-bulan kering produksi akan menurun. Penerimaan pendapatan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Penerimaan Pendapatan Petani Jamur Tiram Putih Per Tahun (Juni 2005 – Mei 2006)
Pendapatan Petani Jamur/Th (Rp.)
No Bulan, tahun
P4S Kertawangi
1 Juni 2005 900.000 2.060.400
2 Juli 2005 1.106.250 5.770.975
3 Agustus 2005 2.124.250 4.133.250
4 Sept 2005 2.635.250 3.997.200
5 Okt 2005 3.593.070 11.114.000
6 Nov 2005 3.916.660 11.867.125
7 Des 2005 4.071.500 11.044.400
8 Jan 2006 3.680.400 10.453.750
9 Febr 2006 1.728.450 7.103.750
10 Maret 2006 728.250 3.089.000
11 April 2006 1.519.500 3.220.200
12 Mei 2006 1.599.125 1.726.250
Total 27.602.705 75.580.300
Total 2 Komunitas 103.183.005
Persentase Pendapatan
(%) 27 73
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa Kertawangi memiliki nilai pendapatan
rata-rata per tahun lebih tinggi dibandingkan P4S, selisihnya adalah sebesar (73-27)
= 45% dari nilai pendapatan total kedua komunitas tersebut. Hal ini disebabkan oleh:
1) orientasi usaha tani P4S bukan hanya mendapatkan hasil yang tinggi tetapi
orientasinya lebih kepada pembelajaran, 2) unit usaha yang dikelola oleh P4S bukan
hanya jamur tiram putih, sehingga pengawasan dan koordinasi dari ketua P4S
kurang, 3) berkurangnya anggota P4S di unit usaha jamur tiram putih karena
meningkatnya biaya produksi sehingga banyak anggota yang berhenti, 4) tidak
Analisis pendapatan tersebut di atas, pada P4S memunculkan faktor-faktor
yang mempengaruhi dan dipengaruhi yang berupa kekuatan, kelemahan dan peluang,
yaitu:
1. Kekuatan:
Pendapatan komunitas P4S sepenuhnya menjadi hak milik petani tanpa ada
pembagian hasil dengan pihak pemodal.
2. Kelemahan:
a. Pendapatan (reward) merupakan salah satu penyebab berjalannya suatu
kerjasama antara principal dan agent, tetapi jika ini tidak diperoleh akan
mengurangi motivasi berusaha.
b. Rendahnya pendapatan karena rendahnya produktifitas, hal ini disebabkan
oleh produksi P4S bersifat fluktuatif, tergantung kebutuhan pelatihan.
c. Orientasi P4S yang hanya mengedepankan pembelajaran sehingga
mengurangi visi untuk berusaha.
d. Lembaga P4S Nusa Indah memiliki 5 unit usaha, sehingga konsentrasi
pengurus P4S tidak fokus pada unit usaha jamur tiram putih.
3. Peluang:
a. P4S adalah lembaga swadaya masyarakat yang dibina oleh pemerintah,
sehingga hal ini menjadi peluang bagi P4S untuk dapat mengakses program
pemerintah dengan lebih baik.
b. Lembaga ini merupakan lembaga pelatihan berbasis pertanian pedesaan,
sedangkan lahan garapan bidang pertanian cukup luas, dengan luas wilayah
didominasi oleh tanah kering bengkok dan sawah (Gambar 7). Tenaga kerja