commit to user
SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
ERVINA DWI JAYANTI E 0007015
FAKULTAS HUKUM
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh
Ervina Dwi Jayanti NIM. E0007015
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 18 April 2011
Pembimbing
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN
HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh:
ERVINA DWIJAYANTI NLM. E0007015
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 28 April 2011
commit to user PERNYATAAN
Nama : Ervina Dwi Jayanti
NIM : E0007015
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS
KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalamdaftar pustaka. Apabila dikemudian
hari terbukti pernyataan saya tidak benar,maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan PenulisanHukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 18 April 2011
yang membuat pernyataan
Ervina Dwi Jayanti
commit to user ABSTRAK
Ervina dwi jayanti, E0007015. 2011. SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai
prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta serta dapat
tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan
konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif yang
bersifat preskriptif. Jenis data berupa data primer dan data sekunder, dengan sumber data
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik
analisis data yang penulis gunakan adalah metode interpretasi dan silogosme.
Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa : (1) Prosedur sertifikasi halal yang
dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta didasarkan pada SK02/Dir/LPPOM
MUI/IXI/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal MUI, dimana pelaksanaan
sertifikasi halal ini dilakukan untuk memenuhi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
924/Menkes/SK/VII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 82
Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. (2) Proses
sertifikasi halal oleh LPPOM MUI dapat menjadi penunjang serta upaya terwujudnya
perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen karena terdapat kewajiban
produk yang disertifikasi halal harus lolos uji BPOM
commit to user
ABSTRACT
Ervina dwi jayanti, E0007015. 2011. HALAL CERTIFICATION AS AN EFFORT TO PROTECTION OF THE RIGHT TO SECURITY AND SAFETY OF CONSUMERS
VIEWED FROM LAW NO. 8 / 1999 ON CONSUMER PROTECTION.Faculty of Law
Sebelas Maret University.
This study aims at assessing and responding to issues regarding to halal certification
procedures undertaken by LPPOM MUI Yogyakarta as well as halal certification as to
whether the right to safeguard the security and safety of consumers in terms of Act. 8 /
1999 on Consumer Protection.
Types of research that writer is the normative nature of legal research
prescriptive. Type of data in the form of primary and secondary data, with data sources
of primary legal materials, secondary and tertiary legal materials. Data analysis
techniques used by the writer is a method of interpretation and silogosme.
From the results of research conducted that: (1) halal certification procedure
conducted by LPPOM MUI Yogyakarta is based on SK02/Dir/LPPOM MUI/IXI/07 About
the Guidelines Get the Halal Certificate MUI, in which kosher certification is done to
fulfill the Decree of the Minister of Health Number: 924/Menkes/SK/VII/1996 About
Amendment to Decree of the Minister of Health No. 82 Menkes/SK/I/1996 About
Imprinting Writing on Label Halal Food. (2) Halal certification process by LPPOM MUI
can be a supporter and efforts to the realization of rights protection for the security and
safety of consumers in terms of Act. 8 / 1999 on Consumer Protection because one of the
requirements of halal certification have already passed tests involving BPOM
commit to user
Motto dan Persembahan
“
Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu. Maka alangkah nikmatnya
tempat kesudahan itu. “
( Qs. Ar Ra’d : 24 )
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
( Qs. An-nisa : 58)
Dan tiada keberhasilan tanpa kerja keras, doa, dan usaha
( Penulis )
Karya ini aku persembahan untuk:
Allah Swt
Pemilik hari pembalasan
Keluarga tercinta
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang yang senantiasa melimpahkan berkah, rahmad dan keajaiban-keajaiban
yang tiada terhitung sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
(skripsi) dengan judul: Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Perlindungan Hak atas
Keamanan aan Keselamatan Konsumen Ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Penulisan hukum (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
mengikuti ujian guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tiada sempurna tentu tidak
terlepas dari kekurangan dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Oleh karena itu,
penulis mohon sedianya pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang dapat
digunakan sebagai bahan koreksi atas penulisan hukum (skripsi) ini. Selanjutnya,
penyelesaian penulisan hukum (skripsi) ini tentunya tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang juga telah
memberikan dukungan, bimbingan, dan doa yang baik untuk penulis. Untuk itu,
dalam kesempatan yang baik ini serta dengan kerendahan dan ketulusan hati,
penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Allah SWT, atas nikmat dan karunia yang tak henti-hentinya diberikan
kepada penulis. Hamba yang tak pernah luput dari dosa dan khilaf mohon
ampunanMu Yaa Rabbi;
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret;
3. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
commit to user
4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua PPH yang telah
memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
penulisan hukum ini;
5. Ibu Dr. I. Gusti Ayu Ketut RH, S.H., M.M. selaku ketua bagian Hukum
Administrasi Negara yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini;
6. Bapak Wasis Sugandha, S.H., M.H. selaku Pembimbing yang dengan
sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan
penulisan hukum (skripsi) ini;
7. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., dan Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si
selaku dewan penguji skripsi yang telah memberikan tambahan ilmu pada
penulis;
8. Ibu Djuwityastuti, S.H. selaku Pembimbing Akademik penulis, atas segala
bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitaas Sebelas Maret Surakarta.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis
selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
10.Seluruh karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
11.Bapak Dr. Ir. H. Tridjoko Wisnu Murti,DEA selaku Direktur LPPOM
MUI Yogyakarta yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk
melakukan penelitian;
12.Bapak H. E. Zainal Abidin, S.H., M.S., MPA dan mas Arif Burhani, S.Pt
yang telah memberikan informasi dan membantu penulis memperoleh data
yang diperlukan sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai;
13.Keluarga besar penulis, Kedua orang tua tercinta, dan kakak, yang telah
memberikan segalanya dalam hidup penulis, baik materiil maupun
spiritual. Terimakasih atas doa dan cinta, semoga penulis mampu menjadi
kebanggaan dalam keluarga;
14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
commit to user
Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan memerlukan.
Surakarta, April 2011
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………...……...
F. Sistematika Penulisan Hukum ……….. 14
commit to user
B. Kerangka Pemikiran... 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tentang LPPOM MUI Yogyakarta...
1. Sejarah Pembentukan LPPOM MUI Yogyakarat...
2. Tugas dan Kewajiban LPPOM MUI Yogyakarta...
3. Susunan Organisasi LPPOM MUI Yogyakarta...
4. Susunan Pengurus LPPOM MUI Yogyakarta...
B. Prosedur Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM
MUI Yogyakarta...
C. Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Perlindungan Hak atas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen Ditinjau dari
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen... 37
37
40
40
42
43
58
BAB IV PENUTUP………
A. Simpulan ……...………... 64
B. Saran ………... 65
commit to user DAFTAR BAGAN
Gambar 1. Logo Label Halal MUI……… 33
Gambar 2. Kerangka pemikiran ………... 34
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Manusia, dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa terlepas dari suatu
kegiatan konsumsi baik barang maupun jasa. Mengkonsumsi merupakan
suatu kegiatan menghabiskan nilai guna suatu benda baik berupa barang
maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Kegiatan konsumsi ini dapat secara langsung diperoleh dari alam atau
melalui perantara yakni dengan membeli dari seorang produsen atau
distributor. Berkaitan dengan suatu kegiatan konsumsi barang yang masuk
kedalam tubuh manusia, terutama konsumsi akan barang-barang olahan akan
sangat penting apabila konsumen mengetahui komposisi bahan penyusun
barang yang dikonsumsinya. Apakah telah sesuai dengan kesehatan dan
tuntutan agamanya atau tidak.
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang dapat
dikatakan berkembang luar biasa. Termasuk juga dalam perkembangan
pangan, obat, dan kosmetika. Jika dulu pengolahan bahan baku bersifat
sederhana dan tergantung dari alam, maka berbeda dengan sekarang dimana
manusia mampu mengolah apa yang terkandung dari alam, sampai yang
terkecil sekalipun. Dengan demikian, dalam mengidentifikasi tentang proses
dan bahan yang digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan atau
kosmetika tidak lagi menjadi sesuatu yang sederhana. Namun
keseluruhannya harus diperiksa secara lebih rinci dan teliti.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sekarang
ini yang perlu diperhatikan terhadap suatu produk adalah bahan, dan
prosesnya. Ditinjau dari bahan, penetapan status kehalalannya sangat mudah
bila bahan yang digunakan merupakan bahan alami tanpa melalui proses
pengolahan. Namun diperlukan pengkajian lebih lanjut jika bahan alami
tersebut, mengalami proses pengolahan dimana dalam proses pengolahan
commit to user
Berkaitan dengan kehalalan suatu produk, dalam ajaran agama Islam
mewajibkan agar umatnya mengkonsumsi makanan, minuman, serta
obat-obatan yang bersifat halal. Di dalam ajaran Islam banyak peraturan yang
berkaitan dengan makanan, salah satu peraturan yang terpenting ialah
larangan mengkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Sebagaimana
dalam Qur’an surat al-Maidah ayat (88) yang artinya “Dan makanlah dari
apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan
baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
Perintah yang sama juga terdapat dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat (168)
yang artinya “Hai sekalian umat manusia, makanlah dari apa yang dibumi
ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah
syaitan, sesungguhnya itu adalah musuh yang nyata bagi kalian”. Dari
ketentuan ayat tersebut dapat dilihat bahwa bagi mereka yang memeluk
agama Islam memakan makanan yang halal adalah sebagai salah satu wujud
dan cara beriman kepada Allah SWT.
Adanya globalisasi dan modernisasi jaman, sebagian besar telah
mempengaruhi masyarakat kita dengan menjadikan konsumsi sebagai
bagian dari gaya hidup mereka. Budaya konsumtif ini secara tidak langsung
akan mengurangi prinsip kehati-hatian mereka dalam memilih produk baik
dilihat dari komposisinya maupun status halal dan haramnya. Kepedulian
umat Islam terhadap kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan
dikonsumsinya sangat berpengaruh terhadap diterima atau ditolaknya amal
ibadah mereka kelak di akhirat. Ditinjau dari sudut pandang Islam, makanan
bukanlah sekedar sebagai pemenuh kebutuhan jasmani saja, tetapi juga
merupakan bagian dari kebutuhan spiritual yang harus dilindungi
(Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:1-2). Masalah tentang halal dan
haram bukanlah suatu persoalan yang sederhana dan dapat diabaikan,
melainkan merupakan masalah yang telah mengglobal dan amat penting
serta harus mendapatkan perhatian dari ajaran agama secara umum.
Kasus haramnya penyedap rasa Ajinomoto, yang menggemparkan
Indonesia pada tahun 2001, tersiarnya kabar penipuan terhadap konsumen
commit to user
industri pangan jelas membawa kerugian yang sangat besar bagi perusahaan
baik secara materiil maupun moril (http://halalsehat.com). Banyaknya
produk yang beredar dipasaran yang menyertakan label halal tanpa melalui
sertifikasi halal ataupun belum melalui pengujian oleh pihak yang
berwenang menunjukkan adanya pelecehan terhadap hak-hak yang dimiliki
konsumen. Sebagaiman kita ketahui, saat ini banyak produk yang beredar
dipasaran ada yang tidak mencantumkan label halal dan ada yang
mencantumkan label halal dengan ragam yang berbeda yaitu : label halal
berbahasa Indonesia, label halal dalam bahasa Arab, dan label halal dalam
bahasa Indonesia dan Arab (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:7).
Munculnya berbagai ragam logo halal ini jelas akan menyulitkan konsumen
dalam menentukan produk manakah yang telah teruji kehalalannya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini membawa
pengaruh yang besar bagi globalisasi ekonomi. Hal ini tentu saja berdampak
langsung bagi perdagangan bebas dimana suatu negara bisa langsung
mengirimkan barang produksinya ke negara lain dengan sebuah
perjanjian-perjanjian tertentu. Indonesia sebagai salah satu negara anggota World
Trade Organization (WTO) dalam menghadapi perdagangan bebas baik
tingkat regional maupun internasional, dikhawatirkan akan dipenuhi
produk-produk import baik berupa makanan atau produk-produk lainnya yang mengandung
atau terkontaminasi unsur haram. Baik dalam pemprosesan, penyimpanan,
penanganan, dan pengepakan seringkali digunakan bahan pengawet yang
membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur
haram yang dilarang dalam agama Islam
(http://infokito.wordpress.com/2007/09/16/pedoman-sertifikasi-halal/).
Masalah tentang status kehalalan produk saat ini sepertinya telah
menjadi isu dalam skala internasional, nasional maupun lokal. Bukan hanya
bagi umat Islam, namun juga bagi umat yang beragama lain, dimana
kehalalan suatu produk juga dipandang sebagai upaya peningkatan kualitas
kehidupan dari segi kesehatan. Sebagaimana dikutip dalam jurnal
Internasional ”Although, it is well known that consumer groups from
commit to user
customer satisfaction expectations, the attributes associated with
customer segments (Muslim and non Muslim)” (Eurasian Journal of
Business and Economics, 2009: 150).
Dalam perdagangan Internasional, telah banyak aturan-aturan
perdagangan yang membahas tentang kehalalan suatu produk sebagai upaya
perlindungan konsumen muslim khususnya diseluruh dunia. Misalnya saja
seperti Codex Alimentarius Commission yang merupakan sebuah organisasi
dunia yang secara khusus menangani aspek kehalalan suatu produk dalam
sistem perdagangan. Terdapat pula sejumlah organisasi lain diantaranya
Islamic Food and Nutrition Council of Amarica (IFANCA) yang dibentuk
komunitas muslim Amerika untuk menangani persoalan pangan halal, dan
Australia Quarantine and Inspection Service (AQIS) yang berdiri dibawah
naungan Departemen Industri Primer dan Energi wilayah Australia (
Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:5). Dalam negara-negara Islam
status tentang kehalalan suatu produk adalah multak adanya sebagai salah
satu upaya memenangkan persaingan dan merebut pangsa pasar
internasional.
Semangat yang dapat diambil dari hal tersebut adalah pemerintah harus
membuat peraturan yang menyangkut tentang kehalalan produk sebagai
salah satu upaya perlindungan konsumen serta sebagai upaya memenangkan
persaingan pasar. Mengingat pentingnya masalah kehalalan produk, maka
pemerintah telah menetapkan undang-undang yang menyangkut tentang
kehalalan. Misalnya dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan, yang dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) huruf e menyatakan bahwa
label pangan harus memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal.
Sedangkan apabila terbukti memberikan pernyataan atau keterangan yang
tidak benar dalam iklan atau label, bahwa pangan yang diperdagangkan
tersebut telah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu
dihukum dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun penjara dan/atau denda
Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah ) sesuai ketentuan
commit to user
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen,
Pasal 8 ayat (1) huruf h menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal
yang dicantumkan dalam label. Ketentuan lainnya tentang kehalalan juga
dapat kita temukan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan yakni dalam Pasal 58. Menurut Pasal 58
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya melaksanakan
pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standarisasi, sertifikasi, dan regristrasi
dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Dalam pasal tersebut juga mengatur tentang produk hewan yang diproduksi
dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
diedarkan wajib disertai sertifikasi veteriner dan sertifikasi halal.
Selain peraturan perundang-undangan, ketentuan tentang halal juga
terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan
Iklan Pangan. Dalam Peraturan Pemerintah ini terdapat tiga pasal yang
berkaitan dengan kehalalan produk yaitu dalam Pasal 3 ayat (2) yang
menyatakan bahwa pencantuman lebel sekurang-kurangnya memuat nama
produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan
alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa. Selain itu
setiap orang yang memasukkan pangan untuk diperdagangkan dalam
wilayah Indonesia diwajibkan untuk mencantumkan keterangan atau tulisan
halal pada label dengan memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut di
lembaga yang terakreditasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal
11. Disamping ketentuan-ketentuan seperti yang telah disebutkan di atas,
ketentuan tentang halal juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.924/MENKES/SK/VII/1996 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82.MENKES/SK/I/1996 tentang
Pencantuman tulisan “Halal” pada label Makanan, yaitu dalam Pasal 8,
Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 11 ayat (1) dan (2). Walaupun telah
commit to user
kehalalan, namun belum ada satu peraturanpun yang khusus mengatur
tentang jaminan kehalalan bagi suatu produk sebagai upaya perlindungan
konsumen muslim pada umumnya.
Dalam rangka merebut pangsa pasar dan meningkatkan nilai tambah di
pasaran, pelaku usaha dituntut untuk berbisnis dengan memperhatikan etika,
moralitas, nilai sosial dan nilai-nilai sakral disekitarnya. Pelaku usaha tidak
bisa hanya memproduksi, mendistribusikan, dan menjual barang atau jasa
hanya untuk mencari keuntungan semata. Untuk itulah pelaku usaha saling
berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu produknya ke arah memberikan
kenyamanan bagi konsumen. Ditinjau dari kehalalan suatu produk, pelaku
usaha memaknai halal sebagai produk yang tidak mengandung bahan-bahan
yang secara syariat Islam dilarang. Pelaku usaha memaknai pentingnya
pencantuman label halal pada kemasan produknya, karena label halal
mengandung arti tanggung jawab pelaku usaha untuk menjaga kualitas
produknya agar tidak ditinggalkan konsumen (Muhammad dan Ibnu Elmi
As Pelu, 2009:34)
Pemberian tanda halal dalam bentuk label halal merupakan upaya
perlindungan konsumen muslim yang merupakan konsumen terbesar di
Indonesia. Untuk itu, kewajiban pencantuman label halal dapat sangat
membantu konsumen muslim untuk memilih produk yang akan
dikonsumsinya. Selain itu, bentuk logo halal yang khas dan seragam sangat
di dambakan konsumen mengingat saat ini belum ada keseragaman logo
halal sehingga dapat membingungkan mana logo halal yang berasal dari
lembaga yang berkompeten dan mana yang tidak
(http://www.eramuslim.com/).
Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal sebagai LPPOM MUI yang
didirikan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman batin
umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat dan kosmetika. Lembaga
commit to user
produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika
aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi kehalalan sehingga
layak untuk dikonsumsi bagi umat muslim khususnya di wilayah Indonesia.
Selain itu juga memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan
bimbingan kepada masyarakat (http://www.HalalMUI.org-Sertifikasi
Halal.htm,).
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 sesuai dengan surat
keputusan nomor 018/MUI/1989 dan telah memberikan peranannya dalam
menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Pada
awal-awal tahun kelahirannya, LPPOM MUI berulang kali mengadakan seminar,
diskusi–diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syariah, dan
kunjungan–kunjungan yang bersifat studi banding. Hal ini dilakukan untuk
mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur
pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah
agama. Pada awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan
sertifikat halal pertama yang sangat didambakan oleh konsumen maupun
produsen(http://www.republika.co.id/berita/69109/Makanan_Halal_Bagian_
Keimanan_dan_Ketaqwaan).
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat halal ini merupakan
syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan
produk dari instansi yang berwenang. Telah adanya LPPOM MUI sebagai
lembaga yang sah dalam mengeluarkan sertifikat halal, tidak menjadikannya
mempunyai daya paksa agar semua pelaku usaha mendaftarkan produknya
untuk mendapatkan sertifikat halal. LPPOM MUI hanya akan memberikan
sertifikat halal apabila ada pelaku usaha yang meminta untuk dilakukan
pengkajian dan pengecekan terhadap produknya. Keengganan pelaku usaha
untuk mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal yang
resmi didukung pula dengan tidak adanya peraturan yang mewajibkan agar
pelaku usaha mendaftarkan produknya dan mencantumkan label halal yang
commit to user
makanan yang beredar di Indonesia, baru sebanyak 13.000 produk yang
telah tersertifikasi halal resmi dari LPPOM MUI
(http://www.detiknews.com/read/2010/01/06/115554/1272566/10/mui-80-persen-produk-makanan-belum-bersertifikasi-halal).
Berkaitan dengan pentingnya sertifikasi halal ini, masih banyak hal-hal
yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh. Mengingat pentingnya pengetahuan
mengenai kehalalan suatu produk dimana dalam prakteknya masih banyak
beredar produk-produk dengan label halal yang tidak resmi, dan tanpa
prosedur sertifikasi halal. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,
penulis tertarik dalam penulisan hukum ini dan memfokuskan penelitian
dengan mengambil judul “SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA
PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang
dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM
MUI khususnya di wilayah Yogyakarta?
2. Apakah sertifikasi halal dapat menjadi upaya perlindungan hak atas
keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh
commit to user
b. Untuk mengetahui dapat tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya
perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau
dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam memperluas
pemahaman arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktik,
khususnya Hukum Perlindungan Konsumen.
b. Untuk memperoleh data yang lengkap sebagai bahan utama guna
penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Mengetahui prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM
MUI khususnya di wilayah Yogyakarta.
b. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat pada
umumnya tentang dapat tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya
perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau
dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kontribusi dan
pengembangan bagi ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum
Perlindungan Konsumen pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
commit to user
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2008:43).
Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”,
namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2008:5):
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan
masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya
dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian
dalam penulisan hukum ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang terjadi.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah preskriptif, suatu penelitian yang ditujukan
commit to user
untuk mengatasi masalah tertentu (Soerjono Soekanto, 2008:10). Dalam
hal ini ada dua permasalahan hukum, yang pertama mengenai prosedur
sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI, kedua mengenai
sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan
keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Produk
yang merupakan beschikking/decree yaitu suatu keputusan yang
diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus
(Peter Mahmud Marzuki, 2008 :97).
4. Jenis Dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data
sekunder, yaitu menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat
berupa peraturan perundang-undangan, dokumen, buku-buku, laporan,
arsip, makalah, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan terdiri atas :
a. Bahan hukum primer meliputi Peraturan perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang No.7 tahun 1996 Tentang Pangan;
Undang-Undang No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan; Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999Tentang
Label dan Iklan Pangan; SK Menkes No.924/MENKES/SK/VII/1996
1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal”
pada label Makanan, SK No.018/MUI/1989 tentang pembentukan
LPPOM MUI, Keputusan Dewan Pimpinan MUI No.
Kep.669/MUI/X/1995 Tentang Ketentuan-ketentuan Pembentukan
LPPOM MUI Daerah, dan SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang
commit to user
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum, buku teks, komentar
atas putusan pengadilan, rancangan peraturan perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan.
c. Bahan hukum tertier, berupa kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis permasalahan hukum, peneliti menggunakan
metode interpretasi dan silogisme. Metode interpretasi akan berfungsi
sebagai rekonstruksi gagasan yang tersembunyi di balik aturan
hukum. Sedangkan metode silogisme deduksi terdiri dari premis
mayor dan premis minor.
Sebagai premis mayornya adalah Peraturan perundang-undangan:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Undang-Undang No.7 tahun 1996 Tentang Pangan.
c. Undang-Undang No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
d. Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999Tentang Label dan Iklan
Pangan.
e. SK Menkes No.924/MENKES/SK/VII/1996 1996 Tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal”
pada label Makanan.
f. SK No.018/MUI/1989 tentang pembentukan LPPOM MUI.
g. Keputusan Dewan Pimpinan MUI No. Kep.669/MUI/X/1995
Tentang Ketentuan-ketentuan Pembentukan LPPOM MUI Daerah.
h. SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedeoman Mendapat
Sertifikat Halal.
Sedangkan premis minornya adalah:
a. Prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI
commit to user
b. Sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan
keselamatan konsumen
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sitematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baku dalam penulisan hukum,
maka penulis menyiapkan suatu sitematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap
bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan berisi mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka akan dijelaskan mengenai hasil
kepustakaan yang meliputi dua hal yaitu kerangka teori dan
kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari tinjauan tentang
hukum perlindungan konsumen, dan tinjauan mengenai
sertifikasi halal. Sedangkan kerangka pemikiran disampaikan
dalam bentuk bagan dan uraian singkat.
BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian yang
membahas tentang sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan
hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
commit to user
BAB IV : Penutup
Penutup berisi mengenai kesimpulan yang diambil dari hasil
penelitian dan memberikan saran-saran kepada pihak-pihak yang
commit to user
BAB II Tinjauan Pustaka A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Hukum Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen, adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen dalam
usaha memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang
luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang
berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke
akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut (Janus Sidabalok,
2010: 9-10).
Perlindungan konsumen diberikan karena konsumen berada pada
posisi yang lemah sebagai objek aktivitas bisnis untuk mendapat
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha. Disamping itu
faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya relatif masih rendah. Untuk itulah Undang-undang
perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.
a. Sejarah Perlindungan Konsumen Di Indonesia.
Gerakan perlindungan konsumen mulai mengalami perkembangan
yang signifikan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-1970an. Pada
era tersebut di Amerika Serikat telah berhasil melahirkan
peraturan-peraturan yang memperkuat kedudukan konsumen. Kemudian pada
abad ke-20 mulai lahir gerakan-gerakan yang fokus pada perlindungan
commit to user
Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat
dibagi dalam empat tahapan yakni (Shidarta, 20006:37):
1) Tahapan I (1881-1914)
Pada tahun-tahun ini adalah awal munculnya kesadaran
masyarakat terhadap perlindungan konsumen. Hal ini diawali dari
sebuah novel karya Upton Sinclair yang berjudul The Jungle, yang
menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika
Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan.
2) Tahapan II (1920-1940)
Pada tahap ini muncul pula buku dengan judul Your Money’s
Worth karya Chase dan Schlink yang mampu menggugah
konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. Pada tahap ini juga
muncul slogan : fair deal, best buy.
3) Tahapan III (1950-60)
Pada tahun 1950-an muncul keinginan konsumen untuk
menyatukan gerakan dalam lingkup internasional. Diprakarsai oleh
wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris,
Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah
International Organization of Consumer Union (IOCU) yang
berpusat di Deen Haag lalu pindah ke London pada tahun 1993.
Pada tahun 1995 IOCU mengubah namanya menjadi Consumers
International (CI).
4) Tahapan IV (pasca 1965)
Pasca 1965 merupakan masa pemantapan gerakan perlindungan
konsumen baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai
saat ini telah terbentuk lima kantor regional yakni di kawasan
Amaerika Latin dan Karibia yang berpusat di Cile, kawasan Asia
Pasifik berpusat di Malaysia, kawasan Afrika berpusat di
Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan
commit to user
Di Indonesia gerakan perlindungan konsumen diawali oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai perintis
advokasi konsumen. Gerakan ini muncul diawali dari sekelompok
anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi yang mulanya
bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi
dengan nama Pekan Swakarya ini kemudian melahirkan ide bagi
mereka untuk mendirikan wadah gerakan perlindungan konsumen
Indonesia. Ide ini kemudian dituangkan dalam anggaran dasar yayasan
dihadapan notaris dengan akte Nomor 26, pada 11 Maei 1973.
Setelah munculnya YLKI, kemudian mulai muncul beberapa
organisasi yang sama, misalnya Lembaga Pembinaan dan
Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri pada
Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung dalam Consumers
Internatioanl (CI). Dewasa ini telah banyak lembaga-lembaga serupa
yang menitikberatkan pada kepentingan perlindungan konsumen. Saat
ini YLKI telah memiliki cabang-cabang diberbagai propinsi dan
mempunyai pengaruh yang cukup besar karena didukung oleh berbagai
media massa. Media massa dijadikan YLKI untuk mempublikasikan
hasil-hasil penelitiannya agar diketahui konsumen. Metode kerja YLKI
ini ternyata belum bisa mempunyai kekuatan lobi untuk
memberlakukan atau mencabut suatu peraturan. Hal ini tentunya
dikarenakan YLKI bukanlah badan pemerintah yang memiliki
kekuatan publik untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan
sanksi.
Keberadaan YLKI tidak sekedar melakukan penelitian atau
pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga
mengadakan upaya advokasi langsung melalui pengadilan. Karena
dedikasinya, gerakan konsumen Indonesia yang diprakarsai YLKI
telah berhasil membawa naskah akademik Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ke DPR, yang selanjutnya rancangan ini
disahkan menjadi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
commit to user
terjadi perkembangan baru dalam perlindungan konsumen di Indonesia
yakni dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 pada tahun 1994
tentang Agreement Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mana
dengan ini Indonesia wajib mengikuti standar-standar hukum yang
berlaku dan diterima luas oleh negara-negara WTO, salah satu
caranaya adalah dengan adanya eksistensi dari Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Shidarta, 2006:48-52).
b. Hakekat Perlindungan konsumen
Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional
bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila
dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Sekurang-kurangnya terdapat empat alasan pokok mengapa
konsumen perlu dilindungi (Janus Sidabalok, 2010: 6):
1) Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh
bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan
nasional menurut pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
2) Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari
dampak negatif penggunaan teknologi.
3) Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia
yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku
pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan
commit to user
4) Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana
pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
seluruh pihak yang terkait berdasarkan lima asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu :
1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil dan spirituil;
4) Asas keamanan dan keselamatan dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan;
5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Tujuan perlindungan konsumen merupakan sasaran akhir yang
harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum
perlindungan konsumen. Dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tujuan
perlindungan konsumen adalah:
1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
commit to user
2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen itu antara lain meliputi segala upaya berdasarkan hukum
untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya, apabila dirugikan oleh
perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
Pemberdayaan konsumen dengan meningkatkan kesadaran,
kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri mampu
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari ekses
negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
kebutuhannya.
c. Pengertian Konsumen.
Istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
commit to user
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Ketentuan lain mengenai konsumen juga terdapat dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Definisi konsumen menurut
undang-undang ini yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan/atau
jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain.
Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang
berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains
goods or services for personal or family purposes”. Dari definisi itu
terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, dan (2) barang
atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.
Sedangkan di Spanyol, pengertian konsumen diartikan tidak hanya
individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli
atau pemakai terakir. Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan
jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan
pembeli.
Berbeda dengan di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih
moderat. Dalam Trade Practices Act 1974 yang sudah berkali-kali
diubah, konsumen diartikan sebagai, “Seseorang yang memperoleh
barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati
40.000 dollar Australia”. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang
di atas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan.
Jika jumlah uangnya sudah melebihi 40.000 dollar, keperluannya harus
khusus (Shidarta, 2006:1-5).
Dari berbagai pengertian tersebut, pengertian konsumen dapat
terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas ( Adrian Sutedi, 2008:10) :
1) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;
2) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat
commit to user
dan/atau jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor),
dengan tujuan komersial (sama dengan pelaku usaha);
3) Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,
keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangakan
kembali.
Begitu banyak definisi tentang konsumen menunjukkan begitu
beragamnya pengertian tentang konsumen. Namun yang perlu kita
pahami adalah bahwa konsumen itu tidak hanya terbatas pada orang
perseorangan dengan suatu hubungan kontraktual. Artinya seseorang
dapat menjadi konsumen walaupun tidak membeli secara langsung,
tetapi karena ia telah mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa.
Disamping itu, dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan konsumen adalah seorang konsumen akhir dimana ia memakai
barang dan/atau jasa tersebut untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen seorang
konsumen antara bukanlah konsumen yang dimaksud dalam
undang-undang ini.
d. Hak Dan Kewajiban Konsumen.
Hukum perlindungan konsumen, selalu berkaitan dengan
perlindungan hukum yang diberikan pada konsumen. Adapun
perlindungan yang dapat diberikan bukan hanya perlindungan fisik,
namun juga menyangkut hak-hak konsumen yang bersifat abstrak.
Secara umum dikenal empat hak dasar konsumen yang diakui secara
internasional yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat
J.F.Kennedy, yaitu (Shidarta, 2006:22-27):
1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
Konsumen berhak mendapatkan keamanan atas barang dan jasa
commit to user
membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak
dirugikan baik secara jasmani atau rohani. Hak untuk memperoleh
keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan pertama karena
konsumen adalah pihak yang wajib berhati-hati.
2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus
disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar
konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas
produk barang atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan
berbagai cara, seperti cara lisan kepada konsumen melalui iklan di
berbagai media, atau pencantuman dalam kemasan produk
(barang).
3) Hak untuk memilih (the right to choose)
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak
menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari
pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak
membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan
produk mana yang akan dibeli.
4) Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan
informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi
yang diberikan kepada pihak yang berkepentingan atau
berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu,
konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak
Asasi manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember
1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26 yang oleh
Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of
Consumers Union -IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen
commit to user
1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;
3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, hak-hak konsumen secara khusus diatur dalam Pasal 4
yang meliputi :
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8) Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang
lain.
Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah
dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak
yang menjadi prinsip dasar, yaitu (Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo,
2004:46-47):
1) Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian,
commit to user
2) Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang
wajar;
3) Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap
permasalahan yang dihadapi.
Hak-hak konsumen harus dapat dipenuhi oleh pemerintah maupun
pelaku usaha agar kepentingan konsumen benar-benar dilindungi.
Dengan pemenuhan hak-hak konsumen maka akan melindungi
kerugian konsumen dari berbagai aspek. Disamping hak-hak
konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, dalam ketentuan Pasal 5
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga
mengatur kewajiban yang harus dilakukan konsumen agar terhindar
dari kerugian yang merugikan dirinya sendiri, diantaranya:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan
dan keselamatan;
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
e. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
commit to user
Untuk memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan
perlindungan konsumen penting juga kiranya untuk memberikan hak
dan kewajiban pelaku usaha sebagaimana pentingnya hak dan
kewajiban konsumen. Adanya hak dan kewajiban pelaku usaha
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan pola hubungan yang
seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.
Adapun hak dan kewajiban pelaku usaha, diantaranya yaitu:
1) Hak pelaku usaha adalah:
a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
b) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
2) Kewajiban pelaku usaha adalah:
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
commit to user
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
2. Tinjauan Tentang Sertifikasi Halal
Secara umum, halal artinya boleh. Jadi makanan halal ialah makanan
yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syariat Islam.
Sebagaimana dikutip dari Faculty Journal of Business and Accountancy ,
pengertian halal adalah
One of the most important concepts in Islam is the concept of
halal, which means “permissible”. Halal covers the aspects of
slaughtering, storage, display, preparation, hygiene and sanitation.
It covers food as well as non-food category of products. Given
the speed of trade globalization, the advancement is science and
technologi, and the on-going initiatives to simplify manufacturing
processes, it is essential that the halal concept be fully understood by
marketers (Halal certification: an internasional maketing issues and
challenges,http://www.ctw-ngress.de/ifsam/download/track_13/pap00
226).
Segala sesuatu, baik tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, ataupun
binatang, pada dasarnya halal dimakan kecuali ada nash dalam Al-Qur’an
atau hadist yang mengharamkannya. Syarat-syarat kehalalan produk
diantaranya meliputi (http://www.HalalMUI.org - Sertifikasi Halal.htm,) :
a. Tidak mengandung babi dan bahan-bahan yang berasal dari babi;
b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan yang
commit to user
c. Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat
Islam;
d. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah
digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih
dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat;
e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Faktor lain yang menyebabkan makanan menjadi haram adalah apabila
mendatangkan kejelekan bagi manusia, seperti racun, makanan kotor,
menjijikan, dan sebagainya (Abdul Mu’in, 2008:34). Kehalalan akan suatu
produk sangat dianggap penting bagi umat muslim pada khususnya.
Makanan bagi umat Islam bukanlah sekedar alat pemenuh kebutuhan
jasmani saja, tetapi juga merupakan bagian dari kebutuhan spiritual yang
harus dilindungi. Bukan hanya bagi umat Islam saja, namun juga bagi
umat yang beragama lain dimana kehalalan suatu produk juga dipandang
sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan dari segi kesehatan.
Labelisasi produk dengan menggunakan stiker halal merupakan salah
satu fenomena penting yang tidak hanya menandai bangkitnya kesadaran
nilai-nilai etika dan spiritual dalam ranah bisnis dan perilaku bisnis
produsen, tetapi juga menunjukkan adanya kepedulian produsen terhadap
kebaikan konsumen. Label halal juga mengandung aspek yuridis untuk
memberikan perlindungan terhadap konsumen. Artinya secara hukum
mencantumkan label halal berarti melindungi konsumen dan
melaksanakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 5, 73).
Hak-hak perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjadikan label
halal memiliki arti dan nilai penting secara sosial, berupa perlindungan
dan pengurangan keraguan bagi konsumen muslim terhadap
ketidakhalalan produk yang dikonsumsinya. Pencantuman label halal
commit to user
dalam mengkonsumsi produk. Jaminan keamanan atau keselamatan
konsumen ditetapkan secara sejajar dengan jaminan keselamatan atau
keamanan diri serta keluarga produsen. Produk yang disajikan kepada
konsumen secara luas, pada hakikatnya juga menjadi produk yang saat
bersamaan dapat dikonsumsi oleh produsen. Dan ini bisa menjadi salah
satu ukuran paling sederhana untuk menilai etika bisnis produsen
(Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 74).
Berdasarkan jajak pendapat tentang produk halal yang dilakukan
“Indohalal.com”, yayasan “Halalan Thoyyibah” dan LPPOM MUI akhir
tahun 2002 menunjukkan 77,8 % responden menjadikan jaminan
kehalalan sebagai pertimbangan pertama dalam berbelanja produk
makanan, minuman, kosmetik dan resto. Sebanyak 93,9 % responden
menyetujui bila produk mencantumkan label dan nomor sertifikasi halal,
dan 86 % responden menghendaki wajibnya produsen mencantumkan
label halal (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 6). Dari hasil
polling tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebutuhan
konsumen yang mayoritas muslim terhadap produk yang halal tidak
diimbangi dengan kepedulian produsen untuk memasarkan produk yang
bersertifikat halal. Dari sekitar 30.000 produk makanan yang beredar di
Indonesia, baru 20 % produk yang mendapatkan sertifikat halal resmi dari
MUI, hal ini berarti masih banyak produk-produk yang belum tersertifikasi
atau hanya sekedar ada tanda halal dalam produknya.
Salah satu cara untuk mendapatkan label halal yang legal dan
berstandart adalah dengan melalui sertifikasi halal. Sertifikasi halal adalah
proses pemeriksaan yang meliputi bahan, proses dan produk yang
dilakukan LPPOM MUI untuk memeriksa apakah terkontaminasi unsur
haram atau tidak. Sedangkan yang dimaksud sertifikat halal adalah fatwa
tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan
syari’at Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat mutlak untuk
mencantumkan label halal pada kemasan produk dari instansi yang
berwenang, yang dalam hal ini menjadi kewenangan LPPOM MUI.