OTONOMI DAERAH
SKRIPSI
Oleh :
YESSICA ADIGUNA PAHLAWI 0513010314/FE/EA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
PADA KOTA KEDIRI SEBELUM DAN SESUDAH
OTONOMI DAERAH
yang diajukan :
YESSICA ADIGUNA PAHLAWI 0513010314/FE/EA
disetujui untuk ujian lisan oleh
Pembimbing Utama
Drs. Ec. Syafi’i, AK, MM Tanggal : ……….
Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga tugas penyusunan skripsi dengan judul : “Analisis
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pada Kota Kediri Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah” dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun maksud penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi sebagian
persyaratan agar memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur di
Surabaya.
Sejak adanya ide sampai tahap penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari
sepenuhnya bahwa banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. H. Dhani Ichsanudin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dr. Sri Trisnaningsih, SE, MSi, sebagai Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Drs. Ec. Syafi’i, AK, selaku Dosen Pembimbing Utama, yang telah banyak
meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan
saran untuk penulis.
5. Para dosen dan staff karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan
dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini.
7. Ibunda dan Ayahanda yang tercinta, serta saudara dan keluarga besar, tiada kata
yang bisa ananda ucapkan, selain kata terima kasih yang sebanyak - sebanyaknya,
karena beliaulah yang selama ini telah memberi dorongan semangat baik material
maupun spiritual, dan memberikan curahan kasih sayangnya sampai skripsi ini
selesai.
8. Specially for my little angle from heaven, who life my live.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya atas semua bantuan yang telah
mereka berikan selama penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dengan terbatasnya pengalaman serta kemampuan,
memungkinkan sekali bahwa bentuk maupun isi skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang mengarah kepada
kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Sebagai penutup penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan
sumbangan kecil yang berguna bagi masyarakat, almamater, dan ilmu pengetahuan.
Surabaya, Juni 2011
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
ABSTRAKSI ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah... 5
1.3. Tujuan Penelitian... 6
1.4. Manfaat Penelitian... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 8
2.2. Landasan Teori ... 10
2.2.1. Akuntansi Sektor Publik ... 10
2.2.2. Otonomi Daerah... 11
2.2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)... 14
2.2.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 15
2.2.4.1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 15
2.2.4.2. Sumber – Sumber Pendapatan Daerah... 17
2.2.6.1. Jenis Laporan Keuangan Daerah ... 24
2.2.6.2. Pemakai Laporan Keuangan Daerah... 25
2.2.6.3. Tujuan Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah . 26 2.2.7. Analisis Rasio Keuangan ... 26
2.2.7.1. Pengertian Analisis Rasio Keuangan ... 26
2.2.7.2. Jenis – Jenis Analisis Rasio Keuangan Pada APBD ... 28
2.2.5. Desentralisasi ... 33
2.3. Kerangka Pikir ... 34
2.4. Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel... 38
3.2. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel... 39
3.2.1. Populasi... 39
3.2.2. Sampel... 40
3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.3.1. Jenis dan Sumber Data... 40
3.3.2 Pengumpulan Data ... 41
3.4. Teknik Analisis Dan Pengujian Hipotesis ... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 42
4.4.1. Sejarah Kota Kediri... 44
4.4. Pembahasan ... 52
4.4.1. Implikasi ... 52
4.4.2. Perbedaan Dengan Penelitian Sebelumnya... 54
4.4.3. Konfirmasi Hasil Penelitian Dengan Tujuan
Dan Manfaat... 54
4.4.4. Keterbatasan Penelitian... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan... 56
5.2. Saran ... 56
Halaman Tabel. 1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Kediri
Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah
Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Tahun 2004... 4
Tabel. 2.1. Laporan Surplus Defisit Anggaran Pemerintah Daerah Untuk Periode 31 Desember 20XX... 23
Tabel. 4.1. Rekapitulasi Data “Rasio Kemandirian” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri... 47
Tabel. 4.2. Rekapitulasi Data “Rasio Pertumbuhan” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri... 48
Tabel. 4.3. Rekapitulasi Data “Tingkat Desentralisasi Fiskal” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri... 49
Tabel. 4.4. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangani... 50
Tabel. 4.5. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangani... 51
OTONOMI DAERAH
Oleh :
YESSICA ADIGUNA PAHLAWI
Abstrak
Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai macam permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas terhadap daerah (pemerintah daerah), yang dikenal dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan dikeluarkannya UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 yang merupakan revisi terhadap UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Kedua UU di bidang otonomi daerah tersebut berdampak pada terjadinya pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam membiayai program pembangunannya dapat digunakan analisis rasio keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris adanya perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dan data yang digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, Jawa Timur. Data yang diperoleh tersebut dianalisis dengan menggunakan Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangan
Dari hasil Uji analisis dan Uji Hipotesis dapat disimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, sehingga hipotesis yang diajukan tidak teruji kebenarannya.
Keyword : Rasio Kemandirian, Rasio Pertumbuhan dan Tingkat
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian
masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai macam permasalahan di
daerah akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi
total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas terhadap daerah
(pemerintah daerah), yang dikenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam
pelaksanaan diharapkan sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah
merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik.
Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun
tingkat kabupaten/kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya
UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 yang merupakan revisi terhadap UU
No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan
desentralisasi fiscal. Kedua UU di bidang otonomi daerah tersebut
berdampak pada terjadinya pelimpahan kewenangan yang semakin luas
kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh
pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang
memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah
dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber
daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak
tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam
menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya
yang dimilikinya.
Untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam membiayai
program pembangunannya dapat digunakan analisis rasio keuangan.
Penggunaan analisis rasio terhadap APBD belum banyak dilakukan sehingga
secara teori belum ada kesepakatan mengenai nama dan kaidah
pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparansi, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel,
analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah
pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang
dimiliki perusahaan swasta. (Halim, 2002: 127)
Menurut Widodo seperti yang telah dikutip oleh Halim (2002: 128),
ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan
yang bersumber dari APBD yaitu Rasio Kemandirian, Rasio Pertumbuhan
dan Tingkat Desentralisasi Fiskal.
Rasio Kemandirian menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan
pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah
ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan
pemerintah pusat maupun dari pinjaman. (Halim, 2002: 128). Semakin tinggi
rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) semakin rendah
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrawati (2003) yang
membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum
dan sesudah otonomi daerah.
Selanjutnya Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) menunjukkan
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah tercapai dari periode berikutnya.
Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber
pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi
mana yang perlu diperhatikan. (Halim, 2002: 129). Semakin tinggi rasio
pertumbuhan mengandung arti bahwa pemerintah daerah mampu dalam
mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah, hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Penelitian yang dilakukan
Indrawati (2003) membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian
dan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Tingkat Desentralisasi Fiskal menunjukkan tanggungjawab yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan
pembangunan, ini berarti bahwa pemerintah pusat memberikan otonomi
seluruh pertanggungjawaban pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh
pemerintah daerah. (Hariyadi 2002: 237). Semakin tinggi tingkat
Desentralisasi Fiskal mengandung arti bahwa pemerintah lebih dekat dengan
masyarakat, dengan harapan dapat mendorong efisiensi sektor publik,
akuntabilitas publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta
pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis, hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2003) yang membuktikan bahwa
terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan sesudah
berlakunya Undang – Undanh hak otonomi daerah.
Dari data yang diperoleh dari Kabupaten Kediri mengenai Pendapatan
Asli Daerah (PAD) antara sebelum dan sesudah berlakunya UU otonomi
daerah, dapat disajikan pada tabel 1.1, sebagai berikut:
Tabel 1.1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Kediri
Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Tahun 2004
Pendapatan Asli Daereh Kota Kediri Sebelum Diberlakukannya
Hak Otonomi Daerah
Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah
1999 6.336.923,00 2005 40.135.033,00
2000 7.871.025,00 2006 52.905.244,00
2001 13.704.520,00 2007 54.473.977,00
2002 12.182.314,00 2008 61.072.155,00
2003 26.209.849,00 2009 70.462.352,00
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010
Dari tabel 1.1, menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang cukup
signifikan antara tingkat pendapatan asli daerah pada Kota Kediri sebelum
dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah. Fenomena ini
membuktikan bahwa dengan hadirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, ternyata membawa nuansa baru Pemerintahan
menyelenggarakan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan
keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsp- prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi
keanekaragaman Daerah.
Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah
itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk
memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan
sumber-sumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan
masyarakat di daerah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah Pada Kota Kediri Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
maka perumusan masalah yang dapat diajukan dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah terdapat perbedaan rasio kemandirian pada kota Kediri antara
sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah?
2. Apakah terdapat perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara
sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah?
3. Apakah terdapat perbedaan tingkat desentralisasi fiscal pada Kota Kediri
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
diuraikan sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini:
1. Untuk mengetahui adanya perbedaan rasio kemandirian pada Kota
antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.
2. Untuk membuktikan adanya perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota
Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi
daerah.
3. Untuk menganalisis adanya perbedaan tingkat desentralisasi fiscal pada
Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi
daerah.
1.4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang dikemukakan,
manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu antara lain:
1. Bagi Pemerintah Daerah Kota Kediri.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan
dalam menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.
2. Bagi Peneliti.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai langkah
kongkrit untuk penerapan ilmu berdasarkan teori yang selama ini didapat,
serta dapat menambah pengetahuan tentang kinerja keuangan pemerintah
3. Bagi Pihak Lain.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan
khasanah perpustakaan, bahan referensi dan bahan masukan bagi
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang
dapat dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait
dengan penelitin ini, telah dilakukan oleh:
1. Halim (2002) a Judul :
“Anggaran Daerah dan Fiscal Stress (Sebuah Studi
Kasus Pada Anggaran Daerah Propinsi Di Indonesia)”. b Permasalahan:
Apakah ada kemungkinan penurunan proporsi peran
anggaran dan realisasi total penerimaan pendapatan daerah sebelum
dan saat “fiscal stress” dengan focus pada Pemerintah Propinsi
se-Indonesia.
c Kesimpulan :
1) Bahwa setahun setelah fiscal stress yang terjadi di tahun 1997
ternyata secara rata-rata dari seluruh propinsi di Indonesia tidak
(belum) menurunkan PAD terhadap total anggaran penerimaan
atau pendapatan daerah propinsi.
2) Dari komponen primadona PAD yang terpengaruh secara
signifikan adalah proporsi (peran) hasil retribusi daerah,
sementara untuk hasil pajak daerah, proporsi (peran) terhadap
2. Ningrum (2003) a Judul :
“Kinerja Keuangan Daerah Pada Era Otonomi Daerah.” b Permasalahan:
Apakah terjadi perbedaan kinerja keuangan pemerintah
daerah sebelum dan sesudah adanya otonomi daerah?
c Kesimpulan:
1) Terdapat perbedaan tingkat kemampuan pembiayaan dan
mobilitas pemerintah daerah kabupaten atau kota sebelum
berlakunya UU otonomi daerah.
2) Terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan
sesudah berlakunya UU otonomi daerah.
3. Indrawati (2003) a Judul :
Perbedaan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum
Dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Propinsi Jawa Timur.
b Permasalahan:
1) Apakah terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum
dan sesudah otonomi daerah?
2) Apakah terdapat perbedaan rasio keserasian antara sebelum dan
sesudah otonomi daerah?
3) Apakah terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum
c Kesimpulan:
1) Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan rasio
kemandirian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.
2) Tidak terdapat perbedaan rasio keserasian antara sebelum dan
sesudah otonomi daerah.
3) Terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum dan
sesudah otonomi daerah.
Adapun persamaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu
adalah sama-sama membahas mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi
kinerja keuangan pemerintah daerah, sedangkan perbedaannya yaitu terletak
pada objek dan periode penelitian, sehingga penelitian ini bukan merupakan
replikasi.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Akuntansi Sektor Publik
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang definisi
Akuntansi Sektor Publik (ASP), yaitu antara lain:
1. Bastian (2001: 6)
Merupakan mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang
diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga
tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Yayasan
2. Rosjidi (2001: 34)
Merupakan proses pengidentifikasian, pengukuran dan
pengkomunikasian informasi ekonomi dari lembaga-lembaga negara,
aparatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan seluruh
satuan kerjanya serta aparatur perekonomian negara dan daerah dengan
semua unit organisasinya berdasarkan pada hukum publik, kecuali
Persero dan Perseroda yang didasarkan pada hukum dagang
(Commercial Law) sebagai bagian dari hukum privat.
3. Halim (2002: 143)
Merupakan sebuah kegiatan jasa dalam rangka penyediaan
informasi kuantitatif terutama yang bersifat keuangan dari entitas
pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari
pihak-pihak yang berkepentingan atas berbagai alternatif arah tindakan.
4. Mardiasmo (2002: 14)
Merupakan suatu alat informasi yang baik bagi pemerintah
sebagai manajemen maupun alat informasi bagi publik.
2.2.2. Otonomi Daerah
Berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 1997 tentang pajak
daerah dan retribusi daerah yang dimaksud dengan daerah otonom
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu
yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan
apabila disertai dengan otonomi keuangan yang efektif. Hal ini berarti
bahwa pemerintah daerah secara finansial haruslah independen terhadap
pemerintah pusat, dengan jalan sebaik mungkin menggali sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah. Keuangan
pemerintah daerah yang kuat dapat meningkatkan efisiensi sektor publik
dan mengurangi kebutuhan akan transfer dana dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah/ regional
Skema otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun 1999 pada
dasarnya bukan mengenai pengaturan kembali hubungan kekuasaan
melainkan juga perlu menyentuh dimensi “ pembiayaan “ (ekonomi).
Pemisahan antara kebijakan pemerintah dan masalah perimbangan
kekuasaan telah dibaca oleh banyak kalangan sebagai siasat pusat untuk
tetap memegang kendali meskipun telah menyuarakan konsep ekonomi.
Dengan kontrol anggaran belanja dan pendapatan, bisa dipastikan abanyak
inisiatif daerah yang bakal kandas dan pada giliranya akan
“mengadahkan tangan” pada pusat. Ratio pembagian hasil yang masih
kurang, merupakan indikasi lain dari suatu kenyataan bahwa pusat
memang tidak sepenuhnya memberika kesempatan pada daerah untuk bisa
tumbuh berkembang dan berkembang secara wajar.
Disamping itu, krisis ekonomi yang telah terjadi mengakibatkan
penurunan kegiatan ekonomi di berbagai daerah, sehingga terjadi
peningkatan pengangguran, kemiskinan, dan permasalahan sosial lainnya
ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Penurunan ekonomi di berbagai
daerah juga menyebabkan penurunan Pendapatan Asli Daerah sehingga
menghambat pelaksanaan kegiatan pemerintah , pembangunan, dan
pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah secara otonom (Achmad;
2002)
Dalam kaitan dengan otonom daerah atau upaya memperkuat
Pendapatan Asli Daerah maka bantuan dari pemerintah pusat sesungguhnya
merupakan yang diharapkan dapat mendorong peningkatan Pendapatan Asli
Daerah. Hakikat bantuan/ subsidi adalah untuk memperkuat tingkat
otonomi suatu daerah. Untuk itu daerah mempunyai kebebasan dalam
menggunakan dana-dana bantuan yang ada sehingga mempunyai dampak
yang positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah, sehingga
diharapkan daerah betul-betul dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan
yang bisa mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah mereka.
Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan
penggalian dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah , terutama hal ini
disebabkan oleh (LPEM-UI, 1999) :
1 Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah, serta sifatnya
bervariasi antar dearah.
2 Perannya yang masih kecil dalam total penerimaan daerah, sebagian
besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat.
3 Kemampuan administrasi daerah yang masih rendah sehingga
pungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar
4 Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah, hal
ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
2.2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu
cerminan dari tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Semakin
besar PDRB suatu wilayah maka semakin tinggi tingkat kemajuan
pembangunan di wilayah tersebut.
Menurut Sukirno (2000 : 3) menyatakan bahwa Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang - barang dan jasa dalam suatu
daerah yang diproduksi milik negara dalam satu tahun tertentu.
Selanjtnya menurut BPS, Produk Domestik Regional Bruto adalah
total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu
dalam waktu tertentu. PDRB atas harga berlaku menggambarkan nilai
tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun
tersebut, sedang PDRB atas harga konstan menunjukkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu
sebagai dasar yaitu dimana tahun keadaan perekonomian sedang stabil.
Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang – Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan landasan bagi daerah untuk
membangun daerahnya secara mandiri dengan lebih mengandalkan
kemampuan dan potensi yang dimiliki daerah. Berkaitan dengan kegiatan
pembangunan daerah, pengadaan pendanaan pembagunan merupakan salah
satu agenda Pemerintah Daerah yang mendesak namun sering menjadi
masalah. Adapun kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang
pada kemampuan merealisasikan potesi ekonomi tersebut menjadi bentuk –
bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk
pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan
identifikasi terhadap wilayah perencanaan dan karakteristik wilayah.
karakteristik wilayah perencanaan meliputi berbagai permasalahan dan
potensi yang dimiliki daerah.
Rencana pembangunan daerah intensitasnya tiap tahun dapat
diketahui melalui Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD).
Sumber terbesar dari APBD adalah berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Besar kecilnya PAD sangat dipengaruhi oleh intensita kegiatan
ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi beserta masyarakat di
daerah. Dengan berkembangnya produksi suatu sub sektor dapat membawa
dampak ganda pada kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Dalam hal
kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah, berkembangnya produksi suatu
sub sektor dalam PDRB berdampak pada peningkatan pendapatan
masyarakat, sehingga diharapkan dapat pula meningkatkan penerimaan
PAD.
2.2.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2.2.4.1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) nerupakan penerimaan yang
diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam wilayahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (perda) sesuai dengan peraturan
Menurut BPS, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan untuk mengumpulkan dana guna
keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya.
Sedangkan menurut Mardiasmo (2002 : 132) Pendapatan Asli
Daerah (PAD) adalah penerimaan dari sektor pajak daerah, retribusi
daerah, hasil perusahaan milik negara dan hasil pengelolahan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain – lain Pendapatan Asli Daerah yang sah,
Sedangkan berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 (dalam Siahaan,
2005 : 112) mendefinisikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
merupakan sebagai penerimaan yang diperoleh oleh suatu daerah dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan yang diperoleh
dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah dalam kurun waktu tertentu
yang pemanfaatannya menjadi hak daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya menurut Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2002
Pendapatan meliputi semua penerimaan yang merupakan hak Daerah
dalam satu Tahun Anggaran yang akan menjadi penerimaan Kas Daerah.
Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan, yang meliputi:
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain
Setiap kelompok pendapatan dapat dirinci menurut jenis
pendapatan; Kelompok Pendapatan Asli Daerah meliputi: a) hasil pajak
daerah, b) hasil retribusi daerah, c) hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, d) lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Kelompok Dana Perimbangan meliputi:
a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan, dan penerimaan dari
sumberdaya alam, b) Dana Alokasi Umum, c) Dana Alokasi Khusus.
Kelompok lain-lain pendapatan yang sah, antara lain hasil penjualan asset
tetap Daerah dan jasa giro (Taufik, 2004 ; 21)
2.2.4.2. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah
Soeparmoko (2001 : 94 - 95) mengemukakan sumber-sumber
penerimaan pemerintah ataupun cara-cara yang dapat di tempuh
pemerintah untuk mendapatkan uang pada pokoknya dapat digolongkan
sebagai berikut :
1. Pajak
2. Retribusi
3. Keuntungan di perusahaan-perusahaan negara
4. Denda-denda dan perampasan yang dijalankan oleh pemerintah
5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang di berikan oleh
pemerintah
6. Hasil dari undian negara
7. Pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri
Selanjutnya menurut Samudra (1995 : 50-51) mengemukakan
sumber pendapatan meliputi tidak saja Pendapatan Asli Daerah (PAD),
akan tetapi termasuk pula sumber pendapatan daerah yang berasal dari
penerimaan pemerintah pusat, yang dalam realisasinya dapat saja
berbentuk bagi hasil penerimaan pajak dari pusat atau lainnya yang
berbentu subsidi (sokongan) untuk keperluan pembangunan daerah dan
sebagainya.
Alokasi sumber-sumber keuangan pemerintah untuk daerah bisa
disebabkan oleh adanya permintaan daerah untuk membiayai
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat atau hal lainnya, yang
dapat diwujudkan, misalnya dalam bagi hasil pungutan pajak, yakni pajak
pusat yang sebagian atau seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah (tax
sharing), penyertaan modal pemerintah, yaitu investasi modal pemerintah
pusat di daerah, pinjaman, bagian anggaran pusat yang dialokasikan untuk
pengeluaran-pengeluaran khusus pemerintah daerah yang dibayar
langsung oleh pemerintah pusat (Mursinto, 2005 ; 201)
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pengertian
dalam arti sempit. Jadi jelas berbeda dengan pengertian sumber
pendapatan daerah (secara global). Sebab dari semua sumber-sumber
pendapatan, hanya sebagian saja yang merupakan Pendapatan Asli
Daerah. Contoh dari pendapatan asli daerah adalah penerimaan dari
pungutan pajak daerah, retribusi daerah, hasil dari perusahaan daerah ,
dan lainnya yang merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah itu yang
pendapatan daerahyang sah. Khusus mengenai retribusi daerah,
merupakan pungutan langsung yang dikenakan untuk pelayanan tertentu
dari pemerintah daerah. Pungutan ini dibedakan dari pajak daerah yang
dipungut tanpa menunjuk langsung pelayanan yang diberikan. (Mursinto,
2005 ; 201)
2.2.4.3. Usaha - Usaha Yang Dapat Dilakukan Untuk Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Ada beberapa faktor yang dapat dilakukan guna meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah di kabupaten maupun kota. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya bahwa untuk kabupaten maupun kota
Pendapatan Asli Daerah (PAD) seharusnya merupakan sumber utama
dalam APBD guna pembangunan daerahnya. Dengan demikian
ketergantungan terhadap pemerintah pusat menjadi semakin berkurang.
Faktor internal yang dapat ditempuh guna meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah diantaranya adalah meninjau kembali
kelembagaan yang ada saat ini dalam artian dinas penghasil di kabupaten
maupun kota. Hal ini berarti apakah lembaga atau dinas penghasil di
kabupaten maupun kota sudah bekerja secara optimal. Kenyataan ini
sangat penting sekali untuk menilai diri sendiri apakah fungsi pelayanan
telah dijalankan secara optimal. Diakui atau tidak, menilai diri sendiri
bukan sebuah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Bila
dikaitkan dengan PP Nomer 8 Tahun 2003, yang pada prinsipnya berisi
tetapi kaya fungsi pada era otonomi daerah. Memang kenyataan yang
terjadi perubahan struktur organisasi yang sangat mendasar sampai saat
ini masih belum diikuti dengan budaya organisasi yang memadai.
Seperti diketahui masih banyak penarikan pajak maupun retribusi
yang tidak melalui hanya satu dinas penghasil melainkan melalui
beberapa dinas. Kenyataan ini menimbulkan birokrasi yang relatif cukup
panjang dan memerlukan waktu penyelesaian cukup lama. Bila kondisi
suatu kabupaten maupun kota seperti demikian sebaiknya secepatnya
dilakukan perubahan.
Faktor internal lainnya adalah perlunya peninjauan kembali
terhadap Perda-perda di kabupaten dan kota yang berkaitan dengan
Pendapatan Asli Daerah. Diakui atau tidak masih banyak Perda-perda
yang tumpang tindih antara satu sama lain. Tentu saja berkaitan dengan
perda ini, tentunya harus bekerja sama dengan pihak legislatif dalam hal
ini DPRD kabupaten dan kota. Inventarisasi terhadap Perda-perda yang
berkaitan dengan PAD tersebut harus secepatnya dilakukan, agar supaya
dapat diketahui Perda yang tumpang tindih. Memang inventarisasi yang
harus dilakukan ini memerlukan waktu cukup lama karena berkaitan
dengan pihak lain dalam hal ini legislatif.
Faktor internal lainnya adalah perlunya dilakukan pemetaan
terhadap obyek maupun subyek pajak dan retribusi yang potensial.
Pemetaan ini tidak hanya dilakukan terhadap besaran dari pajak maupun
retribusi tetapi juga jenis obyek pajak maupun wajib pajak. Melalui
tergali maupun wajib pajak yang belum terdaftar sebagai wajib pajak.
Cara ini berguna sebagai dasar perencanaan guna menentukan besarnya
Pendapatan Asli Daerah di masa selanjutnya.
Faktor internal selanjutnya adalah perlu adanya
kemudahan-kemudahan terhadap form-form isian sehingga mudah dimengerti oleh
wajib pajak maupun proses penyelesaian kewajiban wajib pajak. Salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui kerja sama dengan pihak
lain dalam hal ini bank sehingga wajib pajak tidak perlu lagi datang ke
dinas penghasil untuk membayar pajak. Dengan demikian akan dapat
dihindari adanya kerja sama antara wajib pajak dengan oknum-oknum
aparat dinas penghasil.
Selain faktor Internal tersebut diatas, faktor internal juga
mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu misalnya masih
banyak perilaku wajib pajak yang berusaha bekerja sama dengan
oknum-oknum dinas penghasil agar supaya dikenakan pajak yang relatif rendah.
Bila menghadapi wajib pajak sedemikian ini maka kedua belah pihak
harus dikenakan sangsi yang proporsional. Tentu saja kepastian hukum
terhadap mereka ini harus ditegakkan dengan benar.
Faktor eksternal yang juga harus diperhatikan adalah adanya kerja
sama antara dinas pemberi ijin dengan dinas yang berhak untuk menarik
pajak maupun retribusi. Melalui cara ini akan dapat diketahui adanya
wajib pajak baru sehingga dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan
perencanaan selanjutnya. Idealnya dapat dilakukan melalui pelayanan satu
Faktor eksternal yang juga ikut berperan dalam meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah adalah perusahaan-perusahaan jasa yang
menangani masalah pajak maupun retribusi. Perusahaan-perusahaan jasa
tersebut perlu dilakukan inventarisasi agar supaya dapat dideteksi
perusahaan mana yang kurang profesional dalam menjalankan kegiatannya.
Bagi perusahaan ini bila tidak bekerja secara profesional harus diberikan
sangsi dengan tegas. Hal ini untuk menghindari lamanya proses
penyelesaian membayar pajak maupun retribusi yang sebenarnya
kesalahannya terletak pada perusahaan jasa tersebut, namun seringkali
ditimpakan pada dinas penghasil.
2.2.5. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja pemerintah daerah tidak dapat dinilai berdasarkan laba yang
diperoleh karena pemerintah daerah bukan perusahaan pencari laba.
Mungkin saja pemerintah daerah melakukan aktivitas menghasilkan
pendapatan yang lebih besar dari biayanya sehingga mengalami surplus.
Akan tetapi surplus yang diperoleh tidak berarti menunjukkan kinerja unit
pemerintah yang bagus, sebab harus dilihat apakah surplus tersebut karena
tarif yang terlalu tinggi yang dibebankan terhadap publik.
Kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai penyusun dan
pelaksana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dapat
digambarkan dalam suatu laporan kinerja keuangan surplus/deficit
Dengan demikian laporan surplus atau defisit pada anggaran adalah
merupakan suatu laporan yang menyajikan tentang pendapatan pemerintah
daerah selama satu periode dan biaya untuk memperoleh pendapatan
tersebut.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan Laporan surplus-defisit
anggaran pemerintah daerah yang dapat disajikan pada tabel 2.1 sebagai
berikut:
Tabel 2.1. : Laporan Surplus Defisit Anggaran Pemerintah Daerah Untuk Periode 31 Desember 20XX
No. Rek Keterangan Jumlah (Rp)
PENDAPATAN:
Pendapatan pajak hotel Pendapatan retribusi pasar Pendapatan laba BUMD
Pendapatan bagi hasil pajak dan bukan pajak Pendapatan DAU
Total Pendapatan BELANJA: Belanja rutin
Belanja perjalanan dinas Belanja barang
Belanja pegawai
Biaya sosialisasi akuntansi Jumlah belanja rutin Belanja pembangunan
Belanja pembangunan pertanian Belanja pembangunan industri Belanja pembangunan agama Jumlah belanja pembangunan
Total Belanja
2.2.6. Laporan Keuangan Daerah
2.2.6.1. Jenis Laporan Keuangan Daerah
Laporan keuangan daerah menurut IPSAS (International Public
Sector Accounting Standart) seperti yang dikutip oleh Bastian (2001: 177)
terdiri dari:
1. Laporan Posisi Keuangan / Neraca.
Laporan yang memberikan gambaran utuh suatu entitas
(pemerintah daerah) pada suatu titik waktu. Dalam neraca akan
tergambar elemen-elemen yang menyusun entitas tersebut, sehingga
neraca sering disebut sebagai potret keuangan suatu entitas.
2. Laporan Surplus-Defisit / Laporan Kinerja Keuangan.
Laporan surplus-defisit adalah laporan yang menggambarkan
kinerja keuangan entitas (pemerintah daerah) dalam satu periode
akuntansi. Kinerja dalam hal ini digambarkan dengan kemampuan
pemerintah daerah dalam menciptakan surplus. Ketika total biaya
lebih besar daripada total pendapatan, maka terjadi defisit.
3. Laporan Arus Kas.
Laporan arus kas adalah laporan yang menggambarkan
perubahan posisi kas dalam suatu periode akuntansi. Didalam laporan
arus kas, perubahan posisi kas akan dilihat dari tiga sisi, yaitu
kegiatan operasi, pendanaan dan investasi. Laporan arus adalah
laporan yang selama ini dihasilkan oleh system akuntansi berbasis kas
yang sebelumnya dianut oleh pemerintah daerah meskipun dalam
4. Laporan Perubahan Ekuitas Dana.
Laporan ekuitas dana menyajikan informasi mengenai
perubahan surplus dan defisit anggaran akibat berbagai transaksi yang
terjadi dalam satu periode. Laporan ini merupakan pelengkap dari
laporan surplus/defisit anggaran.
5. Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Perhitungan Anggaran.
Merupakan suatu laporan yang menggambarkan selisih antara
jumlah yang dianggarkan dalam APBN diawal periode dengan jumlah
yang telah direalisasikan dalam APBD diakhir periode.
2.2.6.2. Pemakai Laporan Keuangan Daerah
Laporan keuangan daerah akan digunakan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan dan terlibat dengan pemerintah daerah baik langsung
maupun tidak langsung, sehingga pihak-pihak tersebut disebut sebagai
pemakai laporan keuangan pemerintah daerah.
Menurut Halim (2002: 22) pemakai laporan keuangan pemerintah
daerah adalah:
1. DPRD.
2. Badan Eksekutif.
3. Badan Pengawas Keuangan.
4. Investor, Kredit dan Donatur Pemerintahan.
5. Analisis Ekonomi dan Pemerhati Pemerintah Daerah.
6. Rakyat.
2.2.6.3. Tujuan Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah
Menurut Bastian (2006: 96) Tujuan dari pelaporan keuangan
umum dalam pemerintah daerah adalah menyadiakan informasi yang
berguna untuk tujuan pengambilan keputusan dan untuk
mendemonstrasikan akuntabilitas entitas untuk sumber-sumber daya
terpercaya dengan:
1. Menyediakan informasi mengenai sumber-sumber, alokasi dan
penggunaan sumber daya finansial.
2. Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas mendanai
aktivitasnya dan memenuhi persyaratan kasnya.
3. Menyediakan informasi yang berguna dalam mengevaluasi
kemampuan entitas untuk mendanai aktivitasnya dan untuk
memenuhi kewajiban dan komitmennya.
4. Menyediakan informasi mengenai kondisi finansial suatu entitas
perubahan di dalamnya.
5. Menyediakan informasi agregat yang berguna dalam mengevaluasi
kinerja entitas dalam hal kas jasa, efisiensi dan pencapaian tujuan.
2.2.7. Analisis Rasio Keuangan
2.2.7.1. Pengertian Analisis Rasio Keuangan
Menurut Halim (2002: 127) Analisis keuangan adalah usaha
mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang
tersedia. Penggunaan analisis rasio terhadap APBD belum banyak
dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka
pengelolaan keuangan daerah yang transparansi, jujur, demokratis,
efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu
dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda
dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Analisis rasio
keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang
dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi.
Hasil analisis rasio keuangan digunakan untuk:
1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah.
2. Mengukur efektivitas dalam merealisasikan pendapatan daerah.
3. Mengukur aktivitas pemerintah daerah membelanjakan pendapatan
daerahnya.
4. Melihat perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang
dilakukan selama periode waktu tertentu.
Pada pemerintah daerah, penggunaan analisis rasio keuangan
masih sangat terbatas, karena:
1. Keterbatasan penyajian laporan keuangan yang sifatnya berbeda
dengan penyajian laporan keuangan perusahaan.
2. Selama ini penyusunan APBD dilakukan berdasarkan tingkat inflasi
dan mengabaikan bagaimana rasio keuangan dalam APBD.
3. Penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian
target sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang
2.2.7.2. Jenis-Jenis Analisis Rasio Keuangan Pada APBD
Menurut Widodo seperti yang telah dikutip oleh Halim (2002:
128), ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data
keuangan yang bersumber dari APBD antara lain:
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.
Kemandirian keuangan daerah menggambarkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah.
Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar
kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan
daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah
pusat maupun dari pinjaman.
x100%
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap
bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) semakin rendah
dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi parstisipasi
merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi
masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin
tinggi.
2. Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah.
x100%
Kemampuan daerah menjalankan tugas dikategorikan efektif
apabila rasio dicapai minimal sebesar 1 atau 100%. Namun semakin
tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah yang
semakin baik.
3. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan
perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.
x100%
Kinerja pemerintah dalam melakukan pungutan pendapatan
dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 atau di
bawah 100%. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah
4. Rasio Aktivitas.
a Rasio Keserasian.
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase belanja
pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana dan
prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin ke riil.
x100%
Belum ada patokan yang pasti mengenai besarnya rasio
rutin maupun pembangunan terhadap Anggaran Pendapatan dan
Balanja Daerah (APBD) yang ideal, karena sangat dipengaruhi
oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan
investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang
ditargetkan. Sebagai daerah bagian dari negara yang berkembang,
peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan
pembangunan yang relatif masih kecil, sangat perlu ditingkatkan
sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.
b Penyerapan Dana Per Triwulan.
Penyerapan dana per triwulan menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan dan
direncanakan pada masing-masing triwulan. Hal ini sesuai
dengan pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah yang
menegaskan bahwa Pemerintah Daerah menyampaikan laporan
triwulan pelaksanaan APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Apabila realisasi penerimaan pendapatan per
triwulan dikurangi realisasi pengurangan per triwulan terjadi
surplus dan sementara penyerapan dana untuk pengeluaran
terbesar terjadi pada periode triwulan terakhir, hal ini berarti
beban kerja pelaksanaan pembangunan terpusat pada kerja dan
sumber daya lainnya pada masing-masing periode triwulan
terakhir tersebut merupakan tahap penyelesaian dan masa
pemeliharaan proyek.
5. Debt Service Coverage Ratio (DSCR).
Dalam rangka melaksanakan sarana dan prasarana
pembangunan di daerah, selain menggunakan pendapatan asli daerah,
pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif lain, yaitu dengan
melakukan pinjaman, sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai
dengan peraturan yang berlaku, yaitu:
a Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal
75% dari penerimaan APBD tahun sebelumnya.
b DSCR minimal 2,5
DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagian Daerah (BD), dari Pajak
Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi Belanja Wajib (BW),
dengan pejumlahan Angsuran Pokok, Bunga dan Biaya Pinjamam
lainnya yang jatuh tempo.
100%
c Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman.
d Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan
yang dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk pembelian
pinjaman dan pelayanan masyarakat.
e Pinjaman jangka pendek untuk pengaturan arus kas.
f Ketentuan yang menyangkut prosedur.
g Mendapatkan persetujuan DPRD.
h Dituangkan dalam kontrak.
6. Rasio Pertumbuhan.
Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) mengikuti seberapa besar
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah tercapai dari periode
berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing
komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan
mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu diperhatikan.
7. Tingkat Desentralisasi Fiskal.
Ukuran ini menunjukkan dan tanggungjawab yang diberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan
otonomi kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program
regional, sehingga seluruh pertanggungjawaban pengelolaan dan
pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. Tingkat
desentralisasi fiscal diukur dengan menggunakan rasio yaitu
Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah (Hariyadi
2002: 237)
2.2.8. Desentralisasi
Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect (aspek politik
kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada
administrative aspect (aspek administrasi negara) (Rasyid, 2000: 78)
Menurut Nugroho (2000: 42) Desentralisasi adalah prinsip
pendelegasian wewenang dari pusat kebagian-bagiannya, baik bersifat
wilayah maupun fungsi. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of
control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan
bersama-sama. Di dalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan
menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu ikut serta
didalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing.
Menurut Nurcholis (2005: 3) Desentralisasi ini dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Desentralisasi territorial (territorial decentralisatie) yaitu penyerahan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi territorial
mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima
2. Desentralisasi fungsional (fungcionale decentralisatie) yang
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu.
Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
desetralisasi adalah pelimpahan atau pendelegasian wewenang dari pusat ke
daerah-daerah otonom sehingga organisasi perlu diselenggarakan
bersama-sama.
Desentralisasi fiscal terutama dimaksudkan untuk memindahkan
atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-factor
pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan
membawa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat, desentralisasi fiscal
diharapkan dapat mendorong efisiensi sector publik, juga akuntabilitas
publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan
keputusan yang transparan dan demokratis.
Tingkat Desentralisasi Fiskal dapat diformulasikan sebagai berikut:
100%
Sumber : Halim (2002: 137)
2.3. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka untuk pendukung hasil penelitian maka
diajukan beberapa premis, sebagai berikut :
Premis 1 : Salah satu alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja
keuangan daerah adalah dengan menggunakan rasio keuangan
Premis 2 : Terdapat perbedaan rasio kemandirian dan rasio pertumbuhan
antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi
daerah (Indrawati, 2003)
Premis 3 : Terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan
sesudah diberlakunya UU hak otonomi daerah.(Ningrum, 2003)
Sesuai dengan perumusan masalah dan fakta-fakta pendukung yang
telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka untuk memudahkan analisis dapat
disusun sebuah diagram kerangka pikir yang disajikan pada gambar 2.1,
sebagai berikut
Gambar. 2.1 : Diagram Kerangka Pikir
Dari gambar 2.1 dapat dijelaskan bahwa pengelolaan pemerintah
daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota memasuki era
baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 Rasio Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Rasio Pertumbuhan Tingkat Desentralisasi Fiskal
Menilai Kinerja Keuangan Daerah
Sebelum Otonomi Daerah
Uji Beda Dua Rata-Rata Sampel Berpasangan
yang merupakan revisi terhadap UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang
mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Kedua UU di
bidang otonomi daerah tersebut berdampak pada terjadinya pelimpahan
kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah
daerah.
Untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam membiayai
program pembangunannya dapat digunakan analisis rasio keuangan. Menurut
Widodo seperti yang telah dikutip oleh Halim (2002: 128), ada beberapa
rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber
dari APBD yaitu Rasio Kemandirian, Rasio Pertumbuhan dan Tingkat
Desentralisasi Fiskal.
Rasio Kemandirian menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan
kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan yang diperlukan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan
pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) semakin rendah
Selanjutnya Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) menunjukkan
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah tercapai dari periode berikutnya.
Semakin tinggi rasio pertumbuhan mengandung arti bahwa pemerintah
daerah mampu dalam mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember
Tingkat Desentralisasi Fiskal menunjukkan tanggungjawab yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan
pembangunan. Semakin tinggi tingkat Desentralisasi Fiskal mengandung arti
bahwa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat, dengan harapan dapat
mendorong efisiensi sektor publik, akuntabilitas publik dan transparansi
dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan
dan demokratis.
2.4. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut
H1 : Diduga terdapat perbedaan rasio kemandirian pada Kota Kediri antara
sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.
H2 : Diduga terdapat perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri
antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.
H3 : Diduga terdapat perbedaan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota
Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu
variabel dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan
(Nazir, 2005: 126).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan secara
empiris apakah ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang
meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi
fiskal pada Kota Kediri sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi
daerah.
Konsep dan definisi operasional, serta skala pengukuran dari
masing-masing variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kinerja Keuangan, meliputi 1. Rasio Kemandirian (X1)
Rasio kemandirian adalah merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat
yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan
yang diperlukan daerah. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala
rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).
Rasio Kemandirian dapat diformulasikan sebagai berikut:
100%
2. Rasio Pertumbuhan (X2)
Rasio pertumbuhan adalah merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari
periode ke periode berikutnya. Variabel ini diukur dengan menggunakan
skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).
Rasio Pertumbuhan dapat diformulasikan sebagai berikut:
100%
Sumber : Halim (2002: 135)
3. Tingkat Desentralisasi Fiskal (X3)
Tingkat Desentralisasi Fiskal adalah merupakan rasio yang
digunakan untuk mengukur tingkat kewenangan dan tanggungjawab
yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Variabel ini
diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya
adalah persen (%).
Tingkat Desentralisasi Fiskal dapat diformulasikan sebagai berikut:
100%
Sumber : Halim (2002: 137)
3.2. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel 3.2.1. Populasi
Populasi adalah himpunan individu, unit, elemen, yang memiliki ciri
tersebut maka populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri sampai dengan
tahun dengan 2010.
3.2.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006 : 56). Pengambilan sampel
merupakan bagian dalam melaksanakan suatu penelitian, untuk itu teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive
Sampling yaitu teknik penentuan sampel yang ditujukan untuk tujuan
tertentu dan berdasarkan kriteria – kriteria yang telah ditetapkan.
(Sugiyono, 2006 : 78).
Adapun kriteria – kriteria dalam pengambilan sampel tersebut yaitu
data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun
anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah
(1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak
otonomi daerah (2005 – 2009), dengan catatan bahwa hak otonomi daerah
mulai berlaku pada tahun anggaran 2004.
3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis dan Sumber Data
Ditinjau dari sifatnya, jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data kuantitatif, sedangkan dilihat dari cara memperolehnya, data
Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun
sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai
dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005
– 2009), dan data yang digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Kediri, Jawa Timur.
3.3.2. Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Studi Pustaka
Merupakan metode pengumpulan data yang bersifat teoritis
atas dasar kepustakaan, yang dilakukan dengan cara mempelajari dan
memahami buku - buku literature, serta laporan hasil penelitian
terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Dokumentasi
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara mencatat data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang telah
tersedia dan sesuai dengan obyek penelitian. Dalam metode ini peneliti
mengambil data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri
untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak
otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah
diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dan data yang
digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
3.4. Teknik Analisis dan Pengujian Hipotesis
Untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris apakah ada
perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio
kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal sebelum
diberlakukannya hak otonomi daerah (µ1) dan sesudah (µ2) diberlakukannya
hak otonomi daerah pada kota Kediri, digunakan Uji beda Dua Rata – Rata
Sampel Berpasangan (Anonim, 2009)
Hipotesis Statistik
1. Ho : µ1 = µ2, menunjukkan tidak ada perbedaan kinerja keuangan
pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio
pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota
Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah
dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.
Ho : µ1≠ µ2, menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah
daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio
pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota
Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah
dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.
2. Dalam penelitian ini digunakan tingkat signifikan 0,05
3. Kriteria keputusan
i. Jika nilai probabilitas > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak yang
berarti tidak ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah,
yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat
desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum
diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya
ii. Jika nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang
meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat
desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum
diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1. Sejarah Kota Kediri
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "KEDI" yang
artinya "MANDUL" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan".Menurut
kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'KEDI" berarti Orang Kebiri Bidan atau
Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari
di Negara Wirata, bernama "KEDI WRAKANTOLO".Bila kita hubungkan
dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng,
"KEDI" berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari
kata "DIRI" yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja
(bahasa Jawa Jumenengan). Untuk itu dapat kita baca pada prasasti
"WANUA" tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi : "Ing Saka 706
cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban", artinya :
pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang
berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara
Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti
yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun
1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar
Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker
Perdikan".Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri
Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau
harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten
Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais
tanggal 31 Agustus 1194. Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri,
yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur."Aka ni satru wadwa
kala sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di
Katangkatang ("tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni
nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri").
Menurut bapak MM. Sukarto Kartoatmojo "hari jadi Kediri" muncul
pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-C, namun
pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimuculkan pada ketiga
prasasti. Alasannya Prasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 Masehi, dinilai
usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19
September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 M. Dilihat dari ketiga tanggal
tersebut, akhirnya nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala
Bagawantab hari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake
Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.
Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan
Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Selanjutnya
ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Daerah Tingkat II Kediri
tanggal 22 Januari 1985 No 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang
pasal 1 berbunyi tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi