• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN PRODUK TUNA KALENG (STUDI KASUS) PT. BLAMBANGAN FOODPACKERS INDONESIA MUNCAR, BANYUWANGI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN PRODUK TUNA KALENG (STUDI KASUS) PT. BLAMBANGAN FOODPACKERS INDONESIA MUNCAR, BANYUWANGI."

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

MUNCAR, BANYUWANGI

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Oleh :

Sri Wartini

0864020010

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN ”

JAWA TIMUR

(2)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

SRI WARTINI

Telah dipertahankan di depan Penguji

pada tanggal 29 Desember 2009 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Prof. Dr. Ir. Moch. Sodiq Dr. Ir. Sumartono, MS

Pembimbing Pendamping Ir. A. Rachman Walilulu, MS

Ir. Sri Tjondro Winarno, MM Dr. Ir. Sudiyarto, MMA

Surabaya, Desember 2009 UPN ”Veteran” Jawa Timur

Program Pascasarjana

Direktur,

(3)

Tesis ini diperuntukkan kepada:

(4)

pengetahuan saya, di dalam Naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah

yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di

suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar

pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat

unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar

akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No.20

Tahun 2003,pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Surabaya, 28 Desember 2009

(5)

Blambangan Foodpackers Indonesia Muncar, Banyuwangi;

Pembimbing Utama : Prof.Dr.Ir.Moch.Sodiq, Pembimbing Pendamping: Ir. Sri Tjondro Winarno, MM

Pada era perdagangan bebas bagi indusri pengolahan hasil perikanan banyak mengalami masalah terkait dengan pengendalian mutu dan keamanan pangan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh industri tersebut adalah menerapkan jaminan mutu dan keamanan pangan yang tersertifikasi seperti International Organization for Standardization (ISO) 9001: 2000 dan HACCP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) berdasarkan ISO 9001: 2000 dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) berdasarkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) terhadap produk tuna kaleng (canned tuna) di PT Blambangan Foodpackers Indonesia (BFPI) Muncar, Banyuwangi.

Metode penelitian menggunakan pengambilan sampel Non Random Sampling dengan pemilihan sumber data secara judgement sampling. Data hasil wawancara, isian kuesioner dan pengamatan langsung ke lapang, dianalisis menggunakan metode self assesment.

(6)

Blambangan Foodpackers Indonesia Muncar, Banyuwangi; Supervisor : Prof.Dr.Ir.Moch.Sodiq,

Co-Supervisor : Ir. Sri Tjondro Winarno, MM

In this free trade era, fish product processing industries are acquiring many problems with quality control and food safety. One of the efforts run by the industries is implementing a certified quality control and food safety such as ISO 9001:2000 and HACCP. This research aims to recognize the implementation of Quality Management System (QMS) based on ISO 9001: 2000 and Food Safety Management System (FSMS) based on HACCP ( Hazard Analysis Critical Control Point ) for canned tuna product at PT Blambangan Foodpackers Indonesia (BFPI) Muncar, Banyuwangi.

The method of research used Non Random Sampling by selecting the data sources in judgment sampling way. The data from interviews, questionnaires, and direct field observation are then analyzed by using self assessment method.

(7)

Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Tuna Kaleng (Studi Kasus) di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, Muncar, Banyuwangi.

Penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Moch. Sodiq, selaku Pembimbing Utama, dan Ir. Sri Tjondro

Winarno, MM, selaku Pembimbing Pendamping. Selanjutnya, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dewan Penguji yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya. 3. Direktur Akademi Perikanan Sidoarjo yang telah memberikan ijin

penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

4. Direktur Utama dan staf/karyawan PT. Blambangan Foodpackers

Indonesia, Muncar, Banyuwangi yang telah membantu penulis dalam penyediaan data untuk penelitian ini.

5. Ayahanda dr. H. Anwar Djakfar, MSc dan Ibunda Hj.Tri Murti yang telah mendoakan untuk keberhasilan penulis.

6. Secara khusus disampaikan kepada suami penulis Bambang Suprakto, A Pi, SPi, MT dan ananda tercinta Hadyan Rifqi Adji (1994) yang telah memberikan motivasi untuk keberhasilan penulis.

Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, namun demikian penulis berharap semoga memberikan manfaat dalam pembangunan keilmuan, masyarakat, bangsa dan Negara.

Surabaya, Desember 2009

(8)

RINGKASAN ……… iv

2.2.1. Keamanan Pangan pada Industri Pangan ……… 12

2.2.2. Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan ……….. 15

2.2.3. Pengendalian Mutu ………. 18

2.2.4. Bauran Produk (product mix / produk assortment ) …… 31

2.2.5. Ikan Tuna dan Proses Pengalengannya ……… 33

2.3. Kerangka Pemikiran ……… 39

III. METODE PENELITIAN ………. 43

3.1. Lokasi Penelitian ………. 43

3.2. Penentuan Sampel ………. 43

3.3. Pengumpulan Data ………. 44

3.4. Analisis Data ……… 45

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ……… 47

3.5.1. Definisi operasional ………. 47

3.5.2. Pengukuran variabel ……… 48

IV. KEADAAN UMUM ………. 55

4.1. Keadaan Umum Perikanan di Kabupaten Banyuwangi ……… 55

4.2. Keadaan Umum Perusahaan PT. BFPI ………... 58

4.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan ………. 58

4.2.2. Struktur Organisasi ……….. 60

(9)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 81

5.1. Penilaian Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000 81 5.1.1. Manajemen Umum .……… 81

5.1.2. Manajemen Pemasok .……… 85

5.1.3. Manajemen SDM dan Infrastruktur ……… 87

5.1.4. Manajemen Produksi dan Operasi ……… 89

5.2. Penilaian Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) HACCP ………. 96

5.2.1. Kebijakan mutu ……… 97

5.2.2. Organisasi ……… 99

5.2.3. Deskripsi Produk ……….. 102

5.2.4. Persyaratan Dasar ……… 104

5.2.5. Kelayakan Pengolahan Hasil Perikanan ………. 136

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 138

6.1. Kesimpulan ……….. 138

6.2. Saran/Rekomendasi ……… 139

DAFTAR PUSTAKA ……… 141

(10)

1. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan

Menerapkan Aspek Keamanan Pangan ……… 15 2. Hasil Produksi dan Nilai dari Perikanan Tangkap di Kabupaten

Banyuwangi ……… 57

3. Produksi pengolahan dan nilai hasil olahan ikan di Kabupaten

Banyuwangi ……… 58

4. Standar bahan baku pada PT. Blambangan Foodpackers

Indonesia ………. 72

5. Syarat mutu ikan tuna dalam kaleng ……… 80 6. Hasil penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Direktur

PT. Blambangan Foodpackers Indonesia ……… 82 7. Hasil penilaian penerapan SMM ISO 9001 : 2000 oleh Wakil

Manajemen di PT. BFPI ……… 84 8. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada

manajemen pemasok di PT. BFPI……… 86 9. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen

SDM dan infrastruktur di PT. BFPI ……… 87 10. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada

manajemen produksi dan operasi bagian QC/QA di PT. BFPI .. 91 11. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada bidang

produksi di PT. BFPI……… 93 12. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada PPIC di PT.

BFPI... 94 13. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen

operasi bagi pergudangan (warehouse) di PT. BFPI ………… 95 14. Hasil penilaian Penerapan SMKP HACCP ………. 97

(11)

1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan

mikrobiologis dan mutu pangan ……… 25

2. Tahap pengalengan tuna ……… 35

3. Diagram Alir Penelitian ... 41

(12)

1. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Direksi

PT. BFPI ………. 145

2. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Wakil Manajemen PT. BFPI ……….. 146

3. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Pemasok PT. BFPI ………. 147

4. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen SDM dan Insfrastruktur PT. BFPI ……… 148

5. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. QC/QA PT. BFPI .……... 149

6. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. Produksi PT. BFPI ……. 150

7. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. PPIC PT. BFPI ………… 151

8. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. Pergudangan PT. BFPI . 152 9. Karyawan/karyawati bulanan tetap, harian tetap, dan borongan PT. BFPI ……… 153

10. Background Information ……….. 154

11. Product description ……….. 155

12. Flow diagram (diagram alir) ………. 156

13. Control Establishment of CCP ……… 157

14. Quality assurance work plan ………... 159

15. Form Fish sizing report ……… 161

16. Form Daily precooking and spraying report ……….. 162

17. Form Identitas produk ……… 163

18. Gambar denah PT. Blambangan Foodpackers Indonesia …….. 164

19. Surat pengantar persiapan penyusunan tesis ……… 165

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era globalisasi saat ini berdampak terhadap sistem perdagangan

bebas (free trade) dan lebih terbuka antara negara satu dengan negara

lainnya. Sistem perdagangan bebas memungkinkan produk yang

dihasilkan oleh industri agar produknya dapat bersaing di pasar dalam

negeri maupun pasar internasional. Disisi lain, persaingan antar negara

yang semakin ketat diikuti oleh persaingan antar industri dalam

menghasilkan produk yang bermutu. Krisis global seperti saat ini,

pengembangan agroindustri yang masih mempunyai peluang dan potensi

adalah industri yang memanfaatkan bahan baku utama produk hasil

pertanian dalam negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil

mungkin, dan produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu

bersaing di pasar dalam negeri maupun ekspor.

Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang pangan,

mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan

pangan, kandungan gisi (gizi) dan standar perdagangan terhadap bahan

makanan, makanan dan minuman. Berdasarkan pengertian tersebut, mutu

pangan tidak hanya mengenai kandungan gisi, tetapi mencakup

keamanan pangan dan kesesuaian dengan standar perdagangan yang

(14)

Dalam rangka mewujudkan jaminan mutu berstandar internasional

(ISO) dan keamanan produk hasil perikanan berdasarkan Program

Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) sesuai sistem HACCP (Hazard

Analysis Critical Control Point) sebagai sistem keamanan pangan, maka

industri pangan di Indonesia harus segera menerapkannya. Pada sistem

HACCP ditekankan tindakan pencegahan pada setiap tahapan produksi

terhadap terjadinya resiko bahaya yang akan mengakibatkan

ketidakamanan produk. Hal ini berbeda dengan paradigma sebelumnya

bahwa sistem pengendalian proses dilakukan hanya dengan pengawasan

aspek-aspek keamanan pangan pada produk akhir. Dengan demikian

apabila ditemukan ketidakamanan pada produk akhir, baru dilakukan

suatu tindakan koreksi dan hal ini merupakan tindakan yang kurang efektif

karena prasyarat kelayakan dasar (Pre-requisite program-PRP) yang

terdiri atas cara penanganan dan pengolahan produk yang baik dan benar

(Good Manufacturing Practice-GMP) serta persyaratan sanitasi dan

hygiene (Sanitation Standard Operating Procedures-SSOP), tidak

dievaluasi terkait dengan ketidakamanan produk sepanjang rantai

produksi (CAC, 2003).

Hasil kajian Trilaksani dan Riyanto (2004), terhadap

pengembangan dan penerapan program HACCP pada beberapa industri

perikanan menunjukan bahwa penerapan sistem HACCP di industri

perikanan Indonesia ternyata masih belum efektif dilakukan untuk

(15)

dokumentasi (record keeping), misalnya dilakukan hanya untuk memenuhi

formalitas sertifikasi dari instansi yang berwenang saja dengan penekanan

hanya pada aspek prasyarat kelayakan dasar (pre-requisite) yang tidak

dioptimalkan fungsinya sebagai alat yang dapat memberikan informasi

mengenai efektivitas proses produksi yang sedang berlangsung. Aspek

lainnya yang tidak kalah penting adalah sistem dokumentasi dan kegiatan

sistem pengawasan secara mandiri, dengan pelaksanaan pemeriksaan

(internal audit) yang efektif, terorganisasi, serta sesuai dengan sistem

HACCP masih belum efektif dilakukan.

Usaha peningkatan mutu mengalami perkembangan kearah

penyempurnaan, dari yang awalnya terbatas dalam lingkup perusahaan,

kemudian berkembang keluar perusahaan, yaitu dengan adanya perhatian

terhadap para pelanggan atau konsumen. Pengendalian mutu yang hanya

dilakukan oleh pihak perusahaan dan konsumen belum dapat dianggap

cukup, sehingga perlu pihak ketiga (thirdparty) yang sifatnya independen.

Kehadiran pihak ketiga ini dianggap lebih objektif dan dapat memuaskan

pihak produsen dan konsumen, sehingga terbentuk badan atau lembaga

akreditasi. Badan ini semula adalah suatu lembaga pemerintah atau

asosiasi dalam suatu Negara dan tugas utamanya adalah mengawasi dan

mengakreditasi produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang berada

dalam negara, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) dulu namanya

(16)

Oleh karena itu, industri pangan termasuk industri pengolahan hasil

perikanan diberlakukan standar mutu sebagai pengendalian mutu dan

keamanan pangan melalui penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM)

dengan pendekatan ISO 9000 dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan

dengan pendekatan sistem Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) .

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia

lebih banyak terkait dengan masalah pengendalian mutu dan keamanan

pangan. Permasalahan tersebut sebagai akibat meningkatnya persyaratan

dan standar mutu, persaingan ketat terutama menghadapi pasar bebas

(negara pesaing seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia), dan pasar yang

cenderung tetap. Agar produk pengolahan hasil perikanan mampu

bersaing dan diterima pasar, maka perusahaan harus dapat mengungguli

produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Salah satu upaya yang

dilakukan oleh perusahaan adalah mengimplimentasikan jaminan mutu

dan keamanan pangan yang tersertifikasi seperti ISO 9001:2000 dan

HACCP.

Industri pengolahan hasil perikanan yang telah menerapkan

jaminan mutu berupa sistem manajemen mutu standar internasional ISO

9001, dinilai telah menempatkan mutu sebagai syarat pada produk yang

(17)

memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan telah

mengedepankan persyaratan keamanan produk dalam semua rantai

pengolahan hingga produk tersebut dipasarkan kepada konsumen.

Namun beberapa produk pengolahan hasil perikanan diantaranya adalah

ikan kaleng masih ditemui permasalahan dalam persaingan pasar berupa

komplain (claim) dari pelanggan dan konsumen, karena pengendalian

mutu dan keamanan pangan tidak seperti yang dipersyaratkan. Hal ini

dimungkinkan kedua sistem manajemen tersebut belum diterapkan secara

baik dan dilakukan perbaikan terus menerus untuk menjamin efektifitas

sistem yang diterapkan.

PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (BFPI) pada pertengahan

tahun 2007 menghentikan pemasaran ikan tuna kaleng (tuna kaleng) ke

beberapa Negara di Eropa (UE) karena standar pengolahan hasil

perikanan yang dipersyaratkan oleh pihak Uni Eropa sebagian belum

terpenuhi. Hasil evaluasi/kajian dari Otoritas Kompeten terhadap

Perusahaan dan hasil penilaiannya diperoleh tingkat /rating B (baik).

Tingkat B yang dimaksud adalah tingkat sertifikat menengah yang

menyatakan hasil penilaian terhadap pengendalian mutu dan keamanan

pangan sebagian ada yang belum memenuhi persyaratan pada

penerapan HACCP. Penilaian/perolehan rating B, Perusahaan hanya

dapat melakukan pemasaran dalam negeri dan ekspor terbatas ke Negara

(18)

Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian pengendalian mutu dan

keamanan pangan melalui penerapan sistem manajemen mutu (SMM)

berdasarkan ISO 9001:2000 dan penerapan sistem manajemen

keamanan pangan (SMKP) berdasarkan sistem HACCP terhadap produk

tuna kaleng pada perusahaan PT. BFPI. Penilaian penerapan sistem

tersebut dilakukan melalui pengamatan langsung di industri pengolahan

hasil perikanan untuk mengetahui kondisi obyektif dalam menghasilkan

produk khususnya tuna dalam kaleng.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalahnya

adalah sebagi berikut:

1. Bagaimanakah penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM)

berdasarkan ISO 9001:2000 terhadap produk tuna kaleng pada PT

Blambangan Foodpackers Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan

(SMKP) berdasarkan HACCP terhadap produk tuna kaleng pada

PT Blambangan Foodpackers Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM)

berdasarkan ISO 9001:2000 terhadap produk tuna kaleng di PT

(19)

2. Menganalisis penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan

(SMKP) sesuai dengan HACCP terhadap produk tuna kaleng di PT

Blambangan Foodpackers Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

PT Blambangan Foodpackers Indonesia untuk digunakan sebagai

informasi dan formulasi atau bahan penentuan kebijakan bagi

pimpinan guna melakukan perbaikan terhadap penerapan sistem

manajemen mutu dan keamanan pangan.

2. Manfaat bagi peneliti, dapat meningkatkan pengetahuan sebagai

staf pengajar program studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan

pada Akademi Perikanan Sidoarjo, khususnya tentang penerapan

sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang harus

dilakukan oleh suatu perusahaan Industri pangan.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilaksanakan di PT Blambangan Foodpackers

Indonesia berupa studi kasus yang merupakan salah satu perusahaan

industri perikanan yang memproduksi/memroses berbagai produk hasil

perikanan diantaranya dari bahan baku ikan tuna menjadi tuna kaleng.

(20)

a. Menilai sejauh mana penerapan sistem manajemen mutu

pengolahan tuna kaleng di PT. Blambangan Foodpackers

Indonesia

b. Menilai sejauh mana penerapan sistem manajemen keamanan

pangan tuna kaleng di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia

c. Penerapan sistem keamanan pangan untuk setiap input, proses

dan output dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya

hazard terhadap produk yang dihasilkan oleh PT Blambangan

Foodpackers Indonesia.

d. Kajian analisis terhadap penerapan manajemen mutu dan

keamanan pangan berdasarkan ISO 9001:2000 dan program

HACCP yang dilakukan pada produk tuna kaleng.

e. Memonitor aktivitas dan melakukan koreksi pada proses

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terhahulu untuk mengetahui dan mengkaji obyektivitas

ilmu yang menjadi masalah dalam suatu penelitian. Ada beberapa hasil

penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan masalah yang akan

diteliti dalam penelitian ini dan digunakan peneliti sebagai acuan untuk

lebih memahami variabel dalam penelitian ini.

1). Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Crude Palm Oil di PT. Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di PT. Astra Agro Lestari, Tbk oleh Girsang (2007)

Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat formulasi strategi

pengendalian mutu berdasarkan Sistem Managemen Mutu dan Sistem

Manajemen Keamanan Pangan. Metode penelitian dilakukan dengan

beberapa tahapan yaitu survei konsumen dengan pembobotan AHP,

penilaian penerapan HACCP dengan metode Self Assessment, dan

perumusan formulasi strategi pengendalian mutu dengan analisis SWOT.

Hasil penelitian diperoleh bahwa strategi yang perlu dilaksanakan

oleh pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan adalah: pelaksanaan

SOP sortasi dan SMK 3 yang ketat; pembangunan sistem sanitasi/SSOP

yang baik; peningkatan kinerja produk terkait dengan mutu spesifik;

peningkatan kepercayaan konsumen dengan memberikan jaminan mutu

melalaui sertifikat HACCP; serta diversifikasi produk. Strategi yang dapat

(22)

peningkatan komitmen dan budaya kerja yang baik; peningkatan produk

dengan memberi jaminan mutu berupa sertifikat ISO dan HACCP;

peningkatan teknologi produksi; serta pengembangan produk yang

berorientasi ekspor.

2). Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added Surimi Product oleh Swarini (2007)

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi

manajemen mutu terpadu dalam proses value added surimi product dan

mengidentifikasi temuan penyimpangan hasil evaluasi. Metode diskriptif

untuk menggambarkan hasil evaluasi dan temuannya untuk perbaikan

penerapan jaminan mutu setiap tahapan proses.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, PT “X” mampu secara madiri

melaksanakan pengawasan mutu untuk memberikan jaminan produk yang

dihasilkan. Dalam menerapkan manajemen mutu terpadu mendapat

dukungan penuh dari pihak manajemen termasuk para eksekutif. Tahapan

dalam mengimplementasikan manajemen mutu terpadu (HACCP) adalah

pembentukan tim, analisa hazard, identifikasi CCP, penentuan batas kritis,

penentuan CCP, tindakan koreksi, prosedur, pencatatan, dan prosedur

verifikasi.

3). HAACP Regulatory Model Cooked Shrimp oleh National Seafood Inpection (1989)

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran sebuah model

penerapan HACCP pada unit usaha udang dengan perlakukan direbus.

(23)

tahapan proses, menganalisis hazard yang timbul, menentukan GMP dan

SSOP serta dilakukan evaluasi terhadap HACCP produk cooked shimp,

termasuk upaya pencegahan dan pengendalian pada tahapan proses

udang beku.

Hasil penelitian ini adalah ternyata bahwa produk cooked shimp

mempunyai resiko bahaya lebih besar dari pada raw shrimp. Pengawasan

terhadap proses pengolahan cooked shrimp harus lebih ketat, karena

produk ini merupakan makanan siap saji dengan hanya dicelupkan air

panas dan diberi saus.

4). Disain HACCP pada Perusahaan Krupuk di Sidoarjo oleh Goenawan (2003)

Penelitian ini bertujuan untuk membuat disain sistem Manajemen

Mutu Terpadu sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP pada suatu produk

makanan berupa krupuk udang. Metode deskriptif digunakan untuk

menggambarkan rancangan HACCP yang didalamnya terdapat upaya

pencegahan secara dini terhadap hazard yang mungkin terjadi dan

pengendalian sepanjang lintasan kritisnya (CCP).

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada 14 tahapan pengolahan

krupuk udang yaitu tahap receiving, mixing, extruding, steaming, aging,

chilling, cutting, drying, sorting, metal detecting, weighing, packing,

storage dan stuffing. Dari proses tersebut terdapat 7 tahapan

teridentifikasi adanya bahaya potensial yaitu pada tahapan penerimaan

udang, tepung, gula dan garam, penerimaan telur, breaking, pengeringan,

(24)

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Keamanan Pangan pada Industri Pangan

Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang

pangan menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk

diperdagangkan, setiap industri pangan baik skala besar, menengah,

menengah kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi

kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari

aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan,

pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu

dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga mengeluarkan

berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup

menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan

gisi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta

perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa

peraturan itu antara lain: PerMenKes No 23/ Men Kes/SK/1978 tentang

pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good

manufacturing practice (GMP); Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun

1992; PerMenKes No. 722/MenKes/ IX/1998 tentang bahan tambahan

pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman hygiene makanan Tahun

1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang pangan RI No. 7

Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4

(25)

Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu

dan gizi pangan (Badan POM, 2004).

Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan

keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan

Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan

pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya: (1) Setiap industri

pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada

masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat

berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan

mulai dari hulu sampai dihilirnya baik menyangkut aspek gisi, mutu dan

keamanan pangan maupun lingkungannya (Kantor Menteri Nagara

Pangan dan Hortikultura, 1999). Sementara itu, di dalam Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a

dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan,

keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan

yang dijanjikannya (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999).

Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan

mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang

diperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi

industri pangan skala menengah.

Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan

pemberitaan di media massa menunjukan bahwa masih banyak

(26)

keamanan dan mutu pangan, misalnya adanya cemaran mikroba pada

produk pangan; penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang

dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat pewarna,

pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada

produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain. Di

samping itu masih ditemukan peredaran produk pangan yang

komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan,

produk pangan yang tidak mencatumkan masa kadaluwarsa dan produk

pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001)

menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang

menggunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut

banyak yang belum menerapkan prinsip-prinsip atau aspek manajemen

keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk

pangan yang dihasilkannya. Prosentase industri pangan yang sudah

mengerti dan menerapkan/ mengimplementasikan aspek keamanan

(27)

Tabel 1. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan

Persentase (%) Industri Pangan Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan

Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila

dirata-ratakan hasil persentasinya, maka baru 35-40 % industri pangan berskala

menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen

untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek

penerapan GMP, sanitasi dan hygiene serta SOP. Padahal ketiga aspek

tersebut dalam program jaminan keamanan pangan merupakan program

persyaratan dasar (prerequisite programs) yang harus dipenuhi terlebih

dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala

menengah sebelum melangkah lebih lanjut dalam menerapkan sistem

HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998).

2.2.2. Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

Anonim (2007) mengemukakan bahwa keamanan hasil dan produk

perikanan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah

(28)

benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan

kesehatan manusia serta menjamin bahwa hasil dan produk perikanan

tidak akan membahayakan konsumen.

Tingkat penerimaan produk pangan, termasuk hasil perikanan yang

dikonsumsi, tidak hanya dinilai melalui konsepsi mutu konvensional, tetapi

terkait erat dengan jaminan keamanannya, ditinjau dari cemaran fisik,

kimia dan biologis. Tingkat penerimaannya tidaklah cukup hanya dari

salah satu standar mutu, tetapi harus melalui suatu sistem jaminan mutu

yang terintegrasi.

Di dunia perdagangan, standar mutu hasil perikanan telah banyak

dikeluarkan, meskipun belum semuanya menerapkannya. Beberapa

indikator mutu yang digunakan yaitu sifat barang, tolok ukur, dan faktor

mutu. Sedangkan, persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan,

keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada standar

terpisah (Anonim, 2008).

Di tingkat industri pangan, pengendalian mutu berkaitan dengan

pola pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh

pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja

dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan, pengendalian mutu

sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Pengawasan mutu

diperlukan agar mutu dapat memenuhi kebutuhan dan tidak

mengecewakan konsumen. Karena itu, bagian pemasaran harus

(29)

kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat antar satuan kerja

dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan, yaitu mutu

produk yang terbaik.

Diterbitkannya UU No.7 tentang pangan tahun 1996 merupakan

langkah maju yang dicapai pemerintah untuk memberikan perlindungan

kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan

halal. Penjabaran UU tersebut dituangkan pada peraturan pemerintah

(PP) tentang keamanan, Mutu dan Gisi Pangan, PP tentang Label dan

Iklan Pangan serta PP tentang Standarisasi Nasional (Anonim, 2008).

Pemerintah juga memberikan posisi tawar yang kuat bagi

konsumen, guna melindungi diri, harkat dan martabatnya dengan

penerbitan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

(Thaheer, 2005). Karena itu, konsumen berhak mengkomplain produsen

pangan apabila produk yang diterima tidak sesuai isinya, rusak ataupun

mengkomplain pemberi sertifikat sistem HACCP yang menjamin

keefektifan penerapan sistem HACCP produsen.

Masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia berkaitan dengan

mutu hasil perikanan, yaitu :

(1) Persyaratan mutu yang dikehendaki negara pengimpor sangat

tinggi;

(2) Jumlah dengan mutu yang tidak memenuhi kuota;

(3) Persaingan Internasional;

(30)

(5) Pemasaran tidak langsung yang merugikan produsen maupun

negara;

(6) Adanya proteksi di negara pengimpor dan batas kuota;

(7) Adanya penolakan komoditas ekspor atau klaim (claim) oleh

negara pengimpor.

2.2.3. Pengendalian Mutu

Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan yang

dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan

verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem mutu oleh pelaku

usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka memberi jaminan mutu

dan keamanan hasil perikanan (Anonim, 2007).

Telah menjadi sangat jelas bahwa produk bermutu tinggi memiliki

keunggulan mencolok di pasar, bahwa pangsa pasar (market share) dapat

meningkat atau hilang karena masalah mutu. Karenanya mutu menjadi

prioritas bersaing.

Perusahaan berusaha mengendalikan relibialitas (keandalan)

keluaran sistem produksi. Kualitas dan Kuantitas dipantau dengan cara

tertentu, dan hasilnya dibandingkan dengan standar. Meskipun pada

umumnya tertarik pada ukuran kualitas, perubahan pada kuantitas

keluaran mungkin juga merupakan gejala dari masalah reliabilitas. Biaya

pengendalian kualitas dan kuantitas merupakan turunan dari reliabilitas.

Bila hasilnya diinterpretasikan, dapat disimpulkan bahwa proses perlu

(31)

keliru, dan dengan demikian memerlukan perbaikan mesin atau pelatihan

kembali dalam operasi. Jika peralatan mengalami kerusakan, maka fungsi

pemeliharaan dibutuhkan. Informasi tentang kualitas dan kuantitas

keluaran juga dapat digunakan untuk melakukan program pemeliharaan

preventif yang dirancang untuk mengantisipasi kerusakan. Jadi, meskipun

interaksi-interaksi penting lain juga berpengaruh, pemastian mutu

dipusatkan pada pengendalian mutu dan pemeliharaan peralatan (Buffa

dan Rakesh, 1996 ).

Pengawasan pada hakekatnya menentukan tolok ukur /

standar-standar, melakukan pemeriksaan hasil-hasil dan pembandingan hasil

dengan standar, melihat penyimpangan-penyimpangan dan umpan balik

sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan (Reksohadiprodjo, 1995).

Kualitas adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa

sesuai dengan standar tertentu. Standar mungkin bertalian dengan waktu,

bahan, kinerja, kehandalan, atau karakteristik (obyektif dan dapat diukur)

yang dapat dikuantifikasikan.

Menurut Reksohadiprodjo (1995), agar supaya terjamin kualitas

maka beberapa organisasi dewasa ini memiliki gugus kendali mutu

(quality control circeles), yaitu kelompok kecil karyawan yang bertemu

secara sukarela secara teratur bertukar ide dalam usaha mengidentifikasi,

menganalisis, dan memecahkan soal yang bertalian dengan kualitas atau

(32)

berkurangnya kerusakan, absensi, dan perbaikan serta peningkatan

kepuasan kerja dan produktivitas.

Pengawasan kualitas mencakup pengukuran karakteristik ukuran

kualitas, umpan balik data, perbandingan dengan standar spesifik dan

tindakan perbaikan bila perlu. Bagaimanapun juga kualitas barang

berbeda dengan kualitas jasa. Pendekatan pengawasan kualitas adalah

(1) sampling penerimaan (acceptance sampling) barang yang masuk dan

keluar, dan (2) pengawasan proses (process control) kegiatan

transformasi riil (Reksohadiprodjo, 1995).

Pengendalian mutu produk hasil perikanan disuatu perusahaan

dipengaruhi beberapa hal antara lain:

a. Sistem Manajemen Mutu

ISO 9000 dikeluarkan oleh International Organization for

Standardization (ISO) yang berpusat di Genewa. ISO 9000 merupakan

seri standar internasional untuk sistem mutu yang mengharuskan

persyaratan-persyaratan yang spesifik dan rekomendasi untuk desain dan

penilaian dari suatu sistem manajemen, dengan tujuan menjamin bahwa

pemasok (perusahaan) menyerahkan atau memproduksi barang dan atau

jasa sesuai persyaratan yang ditetapkan. Standar internasional seri ISO

9000 diterbitkan dalam enam dokumen terpisah dengan nama ISO 8402,

ISO 9000, ISO 9001, ISO 9002, ISO 9003 dan ISO 9004 (Hadiwiardjo dan

(33)

Seri ISO 9000 direvisi setiap enam tahun sekali dan pada tahun

2000 dilakukan revisi ISO 9000. Menurut Badan Standarisasi Nasional

/BSN (2000) dalam revisi ISO tersebut terdapat empat standar utama, di

bawah ini:

ISO 9000 : sistem manajemen mutu- konsep dan peristilahan

ISO 9001 : sistem manajemen mutu-persyaratan

ISO 9004 : sistem manajemen mutu-panduan

ISO 10011 : panduan pengauditan sistem mutu

Standar ISO tersebut di atas dilebur menjadi standar tunggal ISO 9001,

sehingga dalam ISO 9000 revisi 2000 (ISO 9001:2000) hanya ada satu

standar berisi persyaratan, yaitu ISO 9001.

Manfaat penerapan ISO 9001:2000 menurut Gaspersz (2001)

adalah: (1) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui

jaminan mutu yang terorganisasi dan sistematik, (2) meningkatkan citra

perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar gobal, (3)

menghemat biaya dan mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh

pelanggan karena dilaksanakan secara berkala, (4) membuka pasar baru

karena nama perusahaan terdaftar pada lembaga registrasi terpercaya,

(5) meningkatkan mutu dan produktivitas kerja manajemen melalui

kerjasama dan komunikasi yang lebih baik, (6) meningkatkan kesadaran

mutu perusahaan, dan (7) mengubah kultur kerja karyawan menjadi kutur

(34)

Suatu organisasi untuk berfungsi efektif harus mengetahui dan

mengelola sejumlah kegiatan yang saling berhubungan. Suatu kegiatan

yang menggunakan sumber daya dan dikelola untuk memungkinkan

transformasi masukan menjadi luaran, dapat dianggap sebagai suatu

proses. Seringkali keluaran suatu proses merupakan masukan bagi

kegiatan berikutnya (Anonim, 2000).

Menurut Gaspersz (2001), tahap-tahap penerapan SMM adalah

(1) komitmen dari manajemen puncak, (2) membentuk panitia pengarah

atau koordinator ISO, (3) mempelajari persyaratan SMM ISO 9001:2000,

(4) melakukan pelatihan terhadap semua anggota organisasi, (5) memulai

peninjauan ulang manajemen, (6) identifikasi kebijakan mutu,

prosedur-prosedur yang dibutuhkan dalam dokumen tertulis, (7) implementasi SMM,

(8) memulai audit sistem manajemen mutu dan (9) memilih

register/lembaga sertifikasi mutu yang terpercaya.

Sertifikasi ISO adalah sebagai bukti bahwa perusahaan telah

menerapkan sistem standar ISO-9000. Langkah penting yang harus

dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh sertifikat ISO adalah

membenahi berbagai aspek manajemen yang sifatnya kedalam, yaitu

membudayakan sistem dokumentasi mutu. Sistem dokumentasi mutu

yang harus dipersiapkan antara lain (1) quality manual (manual mutu) (2)

operating procedure (prosedur operasi) (3) support document (dokumen

(35)

b. Sistem Manajemen Keamanan Pangan

1). Keamanan Pangan

Menurut Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan,

keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda

lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan.

Menurut Fardiaz (1996), terdapat empat masalah utama dalam sistem

keamanan pangan Indonesia, sebagai berikut :

1. Masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi

persyaratan kesehatan dan peredarannya.

2. Masih banyak kasus penyakit dan keracunan melalui makanan,

yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi

penyebabnya.

3. Masih banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan

yang tidak memenuhi persyaratan, terutama industri kecil atau

industri rumah tangga dan penjual makanan jajanan.

4. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap

keamanan pangan.

Anonim (2000) mengungkapkan bahwa penyakit karena pangan

(foodborne disease) merupakan penyebab 70 persen dari sekitar 1,5

milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3

juta kematian anak berusia dibawah 5 tahun. Parameter utama yang

(36)

suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat

pangan. Data yang diperoleh berdasarkan pelaporan yang diterima

mencakup jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan,

jumlah orang yang sakit dan jumlah orang yang meninggal.

Sesuai dengan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan

keamanan dan keselamatan dari produk yang digunakan. Oleh karena

itu, produsen wajib untuk menjamin mutu barang dan / atau jasa yang

diproduksi dan/atau yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu

yang berlaku.

Berbagai perangkat diperlukan dalam membangun pendekatan

terstruktur dan terintegrasi dalam menghasilkan produk pangan yang

aman dan bermutu tinggi. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian

keamanan mikrobiologis dan mutu pangan dapat dilihat pada

(37)

Gambar 1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan (ILSI dalam Jouve, 2000)

Dalam pendekatan tersebut, dokumen Good Manufacturing

Practices (GMP) yang berisi tentang cara-cara memproduksi makanan

yang baik dan syarat-syarat higienis yang menjelaskan kondisi dasar

dalam kegaiatan produksi pangan higienis yang mencakup penggunaan

peralatan pengelolaan pangan higienis, jadwal perawatan dan

pembersihan peralatan dan fasilitas, serta pelatihan dan kesehatan

karyawan. Sistem HACCP merupakan pendekatan terstruktur terhadap

manajemen bahaya yang bertujuan menjaga keamanan pangan produk

dari bahaya biologis, kimia, fisik yang dapat terjadi pada produksi,

distribusi dan penjualan pangan, serta mengendalikannya pada tingkat

yang aman (Jouve, 2000).

Manajemen

Keamanan Pangan Manajemen Mutu

Strategi Manajerial Janka Panjang

Persyaratan Umum

(38)

2). Good Manufacturing Practice (GMP) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

Sistem HACCP sebagai suatu sistem pengendalian keamanan

pangan mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didasari oleh

faktor-faktor pengendali yang mendasar terhadap resiko bahaya ketidakamanan

pangan dan atau mutu (Wiryanti dan Witjaksono 2001). Faktor pengendali

yang menjadi prasyarat (pre-requisite programs–PRP) efektivitas

penerapan program HACCP sebagai suatu system pengendalian mutu

adalah terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar unit pengolahan (CAC,

2003 dalam Girsang, 2007), yang meliputi:

i). Cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices - GMP)

GMP merupakan suatu metode atau cara berproduksi yang baik

yang benar dalam rangka menghasilkan produk dengan mutu yang baik

sesuai dengan harapan. Selanjutnya GMP menyangkut informasi dan

langkah-langkah detil dalam setiap tahapan proses pengolahan. Hal ini

dimaksudkan agar setiap penanggung-jawab proses pengolahan dapat

memahaminya dengan baik sehingga dia bisa mengimplementasikannya

di lapangan bersama para karyawan lainnya. Tahapan proses pengolahan

ini tentu saja berbeda antara satu jenis produk dengan jenis produk

lainnya atau kemungkinan juga berbeda antara satu perusahaan dengan

perusahaan lainnya. Langkah-langkah dalam setiap tahapan ini mengacu

(39)

penerimaan bahan baku, perlu dicantumkan dengan detil: Apa saja

kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini?. Bagaimana kondisi tempat

penerimaan bahan baku?. Bagaimana mengantisipasi kemungkinan

kesalahan yang muncul?. Bagaimana pengaturan waktu yang digunakan,

dan sebagainya.

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan faktor teknis

pekerjaan atau GMP di unit pengolahan dan juga pelaksanaan dari

prosedur pemantauan atau monitoring procedure yang dituangkan dalam

sistem pencatatan atau recordkeeping.

Menurut CAC (2003), Good Manufacturing Practices (GMP)

meliputi delapan persyaratan, meliputi:

1) Persyaratan bahan baku

2) Persyaratan bahan pembantu dan tambahan makanan (food

additives)

3) Persyaratan produk akhir

4) Persyaratan penanganan

5) Persyaratan pengolahan

6) Persyaratan pengemasan

7) Persyaratan penyimpanan

8) Persyaratan pengangkutan dan distribusi.

Penerapan HACCP ditingkat produksi dipandang sebagai suatu

alternatif yang menjanjikan dan bukan suatu yang memberatkan sesuai

(40)

pragmatis / praktis. Keyakinan tersebut harus tertanam baik oleh

pengambil keputusan, pembina / penyuluh, petani ataupun kalangan

industri hasil perikanan sehingga kesepakatan mudah dicapai, pekerjaan

mudah dilaksanakan dan kriteria mutu mudah dipenuhi (Suhartono, 2007).

ii). Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

SSOP merupakan suatu prosedur standar dalam menciptakan

sanitasi di ruang proses pengolahan makanan. Pada intinya SSOP

memfokuskan pada aspek-aspek yang terkait dengan kondisi fisik dalam

ruang pengolahan. SSOP harus mencakup semua aspek sanitasi di unit

pengolahan termasuk personil dan harus dilakukan pemantauan

perusahaan setiap hari sebelum, selama dan sesudah proses dilakukan.

Penetapan SSOP harus mencakup tujuan dan prosedur untuk setiap

aspek sanitasi (Anonim, 1999).

Konsepsi HACCP dalam penerapannya ditetapkan dalam delapan

kunci pengawasan pelaksanaan SSOP (Darwanto dan Murniyati, 2003).

Menurut Food and Drug Administration USA SSOP umumnya meliputi

delapan aspek. Delapan (8) kunci SSOP yang terdiri dari:

1) Keamanan air dan es yang digunakan

2) Kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan bahan

pangan.

3) Pencegahan kontaminasi silang.

4) Fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet serta peralatan yang

(41)

5) Proteksi/perlindungan dari bahan-bahan kontaminan.

6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya (toksin)

7) Kondisi Kesehatan personil/ karyawan.

8) Pencegahan/pengendalian hama / pest dari unit pengolahan.

iii). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan

terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di

dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah

satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin

keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang

dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang

aman bagi konsumen (Bogor Agriculture University, 2005). HACCP

merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan

mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap resiko bahaya

signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex

Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas

dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point) dalam

tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya

(Wiryanti dan Witjaksono, 2001 dalam Winarno, 2002). Lebih lanjut

Anonim (2007) mengemukakan bahwa syarat HACCP perlu

mempertimbangkan prinsip yang terkandung dalam Codex Alimentarius.

Syarat tersebut harus cukup fleksibel untuk diterapkan di segala situasi,

(42)

titik tersebut. Demikian pula syarat penentuan ‘batas kritis’ tidak bearti

bahwa nilai batas tertentu dapat digunakan untuk semua kasus.

Keharusan untuk menyimpan dokumen pun perlu cukup fleksibel agar

tidak membebani bisnis yang sangat kecil.

Konsepsi HACCP pertama kali diperkenalkan oleh National Food

Protection dalam suatu konferensi pada tahun 1972. Dengan adanya isu

food safety, sejak tahun 1987 sistim HACCP banyak didiskusikan dan

berkembang secara internasional, termasuk di Indonesia.

c. Kebijakan Pemerintah di Bidang Mutu Hasil Perikanan

Negara maju tujuan ekspor seperti Uni Eropa, AS, Kanada, dan

Jepang memberlakukan ketentuan HACCP, Menteri Pertanian RI

melegalkan program PMMT menjadi Sistem Manajemen Mutu Terpadu

Hasil Perikanan pada tahun 1998. Sehingga Indonesia memiliki sistem

pengawasan mutu berkekuatan hukum baru, yang tertuang dalam Surat

Keputusan Menteri Pertanian RI No. 41/Kpts/IK.210/2/98 tentang sistem

Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Selanjutnya Dirjen Perikanan

menindaklanjuti SK Mentan tersebut dengan mengeluarkan “Petunjuk

Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan”, tertuang

dalam Surat Keputusan Dirjen Perikanan Nop. 1428/Kpts/Ik.120/12/98.

Perubahan lembaga pemerintahan di tahun 1998, yang

menempatkan Ditjen Perikanan di bawah Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP), maka SK Mentan No.41 tahun 1998 tadi diperbaharui

(43)

01/MEN/2002 tentang “Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan”

Keputusan ini mengatur bahwa sistem mutu hasil perikanan dituangkan

dalam bentuk Sertifikasi (Mangunsong, 2009).

2.2.4. Bauran Produk ( product mix / produk assortment ) Produk adalah apa saja yang dapat ditawarkan ke dalam pasar

untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat

memuaskan keinginan atau kebutuhan. Termasuk di dalamnya adalah

obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi, dan gagasan (Kotler, 1991).

Pelanggan membeli produk lebih karena nilai yang terkandung di dalam

produk tersebut.

Setiap produk mengandung beberapa tingkatan, mulai dari core

benefit, basic product, expected product, augmented product hingga

potential product. Produk dapat digolongkan berdasarkan wujud dan

ketahanannya, yaitu durability, dan tangibility, serta jenis pendek, yaitu

produk konsumer (consumer product) dan produk industri (industrial

product).

Selain mengembangkan fitur produk, pemasar juga harus berupaya

agar konsumen mampu mengidentifikasi produknya. Ada 3 alat untuk

membuat konsumen mampu mengidentifikasi produk, yaitu branding

(mengelola merek), packaging (kemasan), serta labelling (memberikan

label).

Menurut Kotler (1991), bauran produk (product mix/produk

(44)

suatu perusahaan kepada pembeli. Bauran produk suatu perusahaan

dapat digambarkan dengan lingkup kelebaran tertentu, kepanjangan

tertentu, kedalaman tertentu dan konsistensi tertentu.

Bauran produk (product assortment) terdiri dari width atau

kelebaran suatu bauran produk (seberapa banyak perbedaan lini produk

perusahaan); length (jumlah total item produk yang ada dalam bauran);

depth (seberapa banyak variasi yang ditawarkan oleh setiap produk dalam

satu lini); consistency (seberapa dekat hubungan antara berbagai lini

produk).

Dengan memahami keempat dimensi di atas, perusahaan akan

lebih mudah menetapkan strategi produknya. Perusahaan akan mampu

mengembangkan usahanya dengan empat cara. Pertama, perusahaan

menambah lini produk baru, sehingga sama saja dengan memperlebar

bauran produk. Dengan cara ini lini baru akan memanfaatkan kesempatan

dari reputasi perusahaan dalam lini-lini yang lain. Cara kedua menurut

Kotler (1991) ialah memperpanjang lini produk yang ada sehingga menjadi

satu perusahaan dengan lini produk yang lebih lengkap. Cara ketiga

dilakukan dengan menambah ukuran, formula, atau ciri yang lain dari

setiap produk, sehingga akan memperdalam bauran produk. Yang terakhir

ialah menambah atau mengurangi konsistensi lini produk, tergantung

pada apakah perusahaan ingin meraih reputasi kuat pada satu bidang

(45)

Kotler (1991) menjelaskan perencanaan bauran produk sebagian

besar merupakan tanggungjawab para perencana strategi perusahaan.

Dengan informasi yang dihimpun dari para tenaga pemasaran

perusahaan, para perencana strategi ini harus meneliti dan memutuskan

lini produk mana yang harus dikembangkan, mana yang harus

dipertahankan saja, mana yang tinggal dipetik hasilnya, atau yang harus

ditarik dari peredaran.

2.2.5. Ikan Tuna dan Proses Pengalengannya

a. Ikan Tuna

Tuna adalah ikan yang paling popular untuk dikonsumsi mentah

dan sebagai bahan pengolahan ikan yang mahal karena daging ikannya

mengandung lemak tidak jenuh dari mulai sedang sampai tinggi, tekstur

kuat, unik tapi lembut apalagi karena kelezatannya tuna dikenal hampir di

seluruh dunia (Anonim, 2006).

Tuna dan cakalang merupakan anggota famili Scombridae. Ada

beberapa jenis ikan tuna yang dapat diekspor yang tertangkap dari

perairan Indonesia diantaranya adalah Madidihang atau Yellowfin tuna

(Thunnus albacores), tuna mata besar atau Bigeye tuna (Thunnus

obesus). Albakora atau Albacores (Thunnus allalunga) dan tuna sirip biru

atau Bluefin tuna (Thunnus maccoyi). Selain itu ada kelompok tuna yang

dapat diekspor yang disebut sebagai Little tuna, diantaranya adalah

(46)

Tuna menyebar diseluruh perairan di Indonesia. Hasil penangkapan

ikan di Indonesia bagian Barat yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang

pantai Utara dan Timur Aceh, pantai Barat Sumatera, Bali dan Nusa

Tenggara, maupun di perairan Indonesia Timur yang meliputi laut Banda,

Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebalah Utara

Irian Jaya dan Selat Makasar (Uktolseja et al, 1991).

b. Proses Pengalengan Ikan Tuna

Proses pengolahan pengalengan ikan tuna pada prinsipnya sama

antara industri yang satu dengan yang lainnya. Ikan tuna memiliki dua

jenis daging yakni daging putih dan daging merah. Bahan baku ikan tuna

kalengan berasal dari jenis daging putih. Jenis ikan yang banyak

digunakan di Indonesia dalam industri pengolahan adalah skipjack

(Katsuwonus pelamis), dan yellowfin (Neothunnus macroptenus).

Pengalengan ikan tuna merupakan salah satu bentuk pengolahan

pangan yang sudah umum dilakukan. Proses pengalengan ini dimulai dari

awal penerimaan bahan baku berupa ikan tuna beku. Sebelum ikan tuna

beku diproses, dilakukan sortasi untuk memisahkan ikan yang layak

diproses dan yang tidak layak diproses. Tahap-tahap proses pengalengan

tuna berdasarkan Canadian Food Inspection Agency (1997), dapat dilihat

(47)
(48)

Berdasarkan SNI 01-2712 2-1992, teknik pengalengan tuna adalah

sebagai berikut :

1. Penerimaan bahan baku

Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling

tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan

teknik sanitasi dan hygiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan

bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar (harus segera

dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu

maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku,

apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus

disimpan dalam es yang bersuhu -25 oC. Bahan baku yang dalam

keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya

harus disimpan pada suhu chilling (0 oC).

2. Persiapan

Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan

pelelehan (thawing) dalam air mengalir yang bersuhu 10 o-15oC.

Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip

dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar

dilakukan pemotongan bagian badan menjadi bagian yang sesuai

dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak

(49)

3. Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)

Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat

pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan

untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun

umumnya berkisar 1-4 jam (mampu mereduksi 17,5% kadar air dari

daging ikan) dengan suhu pemasakan 100-105oC.

4. Penurunan suhu

Ikan yang telah masak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan

suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 oC) dalam waktu

maksimum 6 jam.

5. Pembersihan daging

Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah

menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang

terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah.

6. Pemotongan

Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah,

dipotong-potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran

kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi

terhadap daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong

(50)

7. Pengisian

Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata

daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk,

flake, standard, grated)

a) Solid : 1-2 potong daging putih, bebas serpihan

b) Standard : 2-3 potong daging putih, serpihan maksimum 2%

c) Chunk : serpihan daging putih + satu kali makan, serpihan

flake maksimum 40%.

d) Flake : potongan daging kecil < chunk

e) Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta)

8. Penambahan medium

Medium (media) ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu

medium antara 70-80oC. Pengisian media hingga batas head space

atau antara 6-10% dari tinggi kaleng.

9. Penutupan kaleng

Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan

dilakukan pemeriksaan secara periodik.

10. Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan

jenis dan ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau

equivalent dengan nilai Fo >2,8 menit pada suhu 120 oC. Pada

(51)

Proses sterilisasi difokuskan untuk membunuh bakteri Clostridium

botulinum dan mencegah pertumbuhannya.

11. Penurunan suhu dan pencucian

Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung

residu klor 2 ppm. Setelah dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan

ke tempat yang terlindung (restricted area) untuk pendinginan dan

pengeringan.

12. Pemeraman /Inkubasi

Kaleng yang telah dingin dimasukkan dalam suatu ruang dengan suhu

kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, dan kemudian dilakukan

pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak

adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman /inkubasi

dilakukan minimal salama 7 (tujuh) hari.

2.3. Kerangka Pemikiran

Persaingan produk yang semakin terbuka merupakan tantangan

bagi industri pangan, khususnya industri perikanan untuk memenuhi

harapan dan tuntutan pasar akan produk perikanan yang bermutu dan

aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, setiap perusahaan melakukan

berbagai upaya agar produk yang dihasilkan diterima oleh pasar dan

dapat mengungguli produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Salah

satu upaya yang dilakukan adalah mengimplementasikan pengendalian

(52)

mutu dan sistem manajemen keamanan pangan yang tersertifikasi seperti

ISO 9001: 2000 dan HACCP.

Industri yang telah menerapkan sistem manajemen mutu (SMM)

standar internasional ISO 9001, dinilai telah menempatkan mutu sebagai

syarat mulak bukan hanya pada produk yang dihasilkannya tetapi juga

sistem yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Penerapan

sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) sesuai HACCP

memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan telah

mengedepankan persyaratan keamanan produk dalam semua rantai

pengolahan hingga produk tersebut diterima oleh pasar. Kedua sistem

tersebut memiliki unsur-unsur yang harus diterapkan dengan baik dan

diikuti dengan kegiatan perbaikan terus menerus untuk menjamin

efektifitas sistem yang diterapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penilaian penerapan jaminan mutu dan keaman pangan sesuai dengan

sistem manajemen mutu dan sistem manajemen keamanan pangan

melalui pengamatan langsung di industri pengolahan untuk mengetahui

kondisi objek dalam menghasilkan produk yang bermutu, aman dan

memiliki daya saing dengan produk sejenisnya. Penilaian penerapan

sistem manajemen mutu (SMM) dan sistem manajemen keamanan

pangan (SMKP) dilakukan dengan menilai kesesuaian sistem yang

diterapkan di perusahaan dibandingkan dengan persyaratan ISO 9001

dan HACCP. Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3,

(53)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

Dasar pemilihan industri pengolahan tuna kaleng sebagai obyek

penelitian dikarenakan saat ini cakupan pemasaran tuna kaleng sangat

luas, baik pasar domestik/lokal maupun ekspor. Jain (2001),

mengemukakan bahwa pasar ekspor menawarkan beberapa peluang.

(54)

mengembangkan suatu fokus ekspor dan melakukan pekerjaan yang

menyeluruh dalam mengidentifikasi pasar/produk.

Disamping itu produk pengolahan hasil perikanan termasuk tuna

kaleng sejak diberlakukan persyaratan regulasi yang mendukung

keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah; yakni

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.21/MEN/2004

tentang sistem Pengawasan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan

Untuk Pasar Uni Eropa. Selanjutnya dua tahun berikutnya yaitu dengan

berlakunya PER.03A/DJ-P2HP/2007 tentang Operasionalisasi

Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.

Karenanya sejak awal tahun 2007 peraturan tersebut berlaku, oleh

Otoritas Kompeten memberikan tanggung jawab kepada Komisi Approval;

yang mana salah satu butir tugas tersebut adalah Pemberian Approval

Number (persetujuan) bagi perusahaan yang akan melakukan ekspor

hasil perikanan ke UE serta pemberlakuan pembekuan dan/atau

pencabutan dari daftar (delisting) bagi perusahaan, karena tidak lagi

memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu. Berkaitan erat dari uraian ini,

khususnya di Propinsi Jawa Timur termasuk Kabupaten Banyuwangi;

sejak saat itu hingga sampai saat ini terdapat beberapa industri

pengolahan ikan (UPI) memvakumkan/menghentikan pemasarannya

untuk pasar Eropa (Uni Eropa) sebagai akibat perusahaan/industri belum

dapat sepenuhnya menerapkan standar mutu yang dipersyaratkan (sesuai

(55)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, mulai 19 Oktober

2009 sampai 20 Nopember 2009 di industri pengolahan ikan tuna kaleng

untuk pasar lokal (dalam negeri) yang ada di Banyuwangi-Jawa Timur,

yaitu di perusahaan PT. Blambangan Foodpackers Indonesia.

3.2. Penentuan Sampel

Cara pengembilan sampel dari populasi yang sesuai dengan

penelitian ini adalah Non Random Sampling, karena peneliti melakukan

pengambilan sampel tidak menggunakan teknik random dan tidak

didasarkan atas hukum probabilitas. Kemudian pengambilan sampel yang

sesuai dengan penelitian ini adalah Purposive Sampling atau Pemilihan

Sampel Bertujuan. Kemudian pemilihan responden/sampel berdasarkan

pertimbangan atau dilakukan secara judgement sampling, merupakan tipe

pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan

menggunakan pertimbangan tertentu atau sesuai dengan tujuan/masalah

peneliti (Indriantoro dan Supomo, 2002).

Pada penelitian ini pemilihan sumber data secara judgement

sampling atau dengan sengaja kepada tim sistem manajemen mutu

(SMM) dan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) pada PT.

(56)

responden dapat memberikan data dan informasi yang berhubungan

dengan penelitian ini. Tim SMM dan SMKP pada PT. BFPI dimaksud

adalah para manajer (manager) pada berbagai level organisasi (puncak,

menengah dan operasional), yang terdiri dari General Manager (Manajer

Umum), Manajer Personalia dan Umum, Manajer Operasional/Produksi,

Manajer Pemasaran, Quality Assurance/Control (pengawasan/

pengendalian mutu), QC/QA Supervisor, Supervisor Produksi, Manajer

Keuangan/ Akunting, PPIC/Internal Sales, Purchasing (Pengadaan dan

Pembelian Bahan Baku), Bagian Gudang Barang Jadi serta Bagian

Teknik.

3.3. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data sebagai berikut:

1. Pengumpulan data primer, yaitu dengan mengadakan wawancara

(yang dilakukan secara langsung) dengan sumber data dari tim SMM

dan SMKP di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, ahli/pakar

yang memiliki pengetahuan tentang SMM dan SMKP untuk perikanan

dan instansi pemerintah yang terkait serta mengadakan pengamatan

langsung di lapangan pada industri pengolahan hasil perikanan

khususnya pengalengan ikan tuna di PT. BFPI.

2. Pengumpulan data sekunder, yaitu dengan penelusuran buku-buku,

keadaan umum perusahaan dan penerapan HACCP diperusahaan

(57)

hasil-hasil penelitian, jurnal dan sumber lain yang berhubungan.

Selain itu, data juga diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Banyuwangi dan UPTD TPI / PPI Muncar Kabupaten

Banyuwangi, serta Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan

Banyuwangi Jawa Timur.

3.4. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar

mengenai suatu obyek dan menguji kebenaran dari suatu pendapat serta

membandingan keadaan yang ada di lapangan dengan teori/peraturan

yang sesuai literatur atau pedoman yang digunakan. Data yang diperoleh

dari hasil wawancara, isian kuesioner dan pengamatan/tinjauan langsung

ke lapangan, dianalisa menggunakan metode self assesment.

Analisa data yang diperoleh dari perusahaan mengenai penelitian

ini, dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Analisa data penilaian penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan ISO 9001:2000.

Data penerapan sistem manajemen mutu (SMM), diperoleh dari

hasil isian kuesioner dan pengamatan lapangan yang dianalisa

menggunakan metode self assesment. Menurut Girsang (2007), tahapan

penilaian dari metode self assesment adalah sebagai berikut:

1) Jawaban dari setiap pertanyaan dinilai berdasarkan isian kuesioner.

Gambar

Tabel 1. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan  Menerapkan  Aspek Keamanan Pangan
Gambar 1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan
Gambar 2. Tahapan pengalengan tuna (Canadian Food Inspection Agency, 1997)
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi atribut mutu pelayanan pada Direktorat Penilaian Keamanan Pangan dan membandingkan kinerja mutu pelayanan

Strategi yang dapat dilaksanakan oleh PMG Cap Sendok adalah : pengembangan dan pelatihan SDM terutama terkait dengan sistem HACCP; pemberian sertifikasi ISO dan HACCP untuk

ikan tuna kaleng telah dilakukan dengan baik yaitu bahan yang sudah di cuci dan. disiangi (penghilangan organ dalam) segera dimasukkan kedalam wadah

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Analisis Regulasi Sistem Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan

Dengan menggunakan batas kendali pada fase I didapatkan pengendalian kualitas proses produksi tuna ka- leng pada fase II dalam varians dan rata-rata prosesnya belum

Sisten jaminan mutu dan keamanan pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan dan atau pengawasan yang dilakukan terhadap proses produksi

Penyimpanan bahan baku pembuatan ikan tuna kaleng telah dilakukan dengan baik yaitu bahan yang sudah di cuci dan disiangi (penghilangan organ dalam) segera dimasukkan kedalam

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN BALAI KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN