• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBAGAI PENGOLAHAN PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BERBAGAI PENGOLAHAN PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS PEMBERIAN JAHE MERAH (Zingiber officinale var Rubra)

DENGAN BERBAGAI PENGOLAHAN PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA

TESIS

Oleh :

EKA ZAKIAH JAMAL NASUTION

137040002

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

RESPONS PEMBERIAN JAHE MERAH (Zingiber officinale var Rubra)

DENGAN BERBAGAI PENGOLAHAN PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA

TESIS

Oleh :

EKA ZAKIAH JAMAL NASUTION

137040002

Untuk memperoleh Gelar Magister Peternakan dalam

Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

Judul : Respons Pemberian Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) Dengan Berbagai Pengolahan Pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria tenella

Nama Mahasiswa : Eka Zakiah Jamal Nasution

NIM : 137040002

Program Studi : Ilmu Peternakan

Menyetujui oleh:

Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Ma‟ruf Tafsin, M.Si Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Pertanian

Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si Dr. Ir. Hasanuddin, MS

Tanggal Ujian : 02/06/2017 Tanggal Lulus : 02/06/2017

(4)

Tesis ini telah diuji di Medan

Tanggal : 02 Juni 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Ma‟ruf Tafsin, M.Si

Anggota : Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si Penguji : 1. Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS

2. Dr. Ir. Simon P. Ginting, M.Sc

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis

RESPONS PEMBERIAN JAHE MERAH (Zingiber officinale var Rubra) DENGAN BERBAGAI PENGOLAHAN PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain.

Medan, 2 Juni 2017

Eka Zakiah Jamal Nasution

NIM 137040002

(6)

RINGKASAN

EKA ZAKIAH JAMAL NASUTION : Respons Pemberian Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) dengan Berbagai Pengolahan pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria tenella, dibimbing oleh Ma’ruf Tafsin dan Nevy Diana Hanafi.

Koksidiosis merupakan penyakit parasiter pada ayam pedaging. Penyakit tersebut dapat menimbulkan banyak kerugian seperti penurunan efisiensi pakan, hambatan pertumbuhan, dan sampai pada kematian (Iskandar et al., 2000).

Penyakit ini mudah berkembang di Indonesia karena sesuai dengan suhu optimum untuk pertumbuhan Eimeria (210C- 320C), serta kelembaban yang cukup agar ookista dapat bersporulasi. Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk semang (Allen and Fetterer, 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar respon pemberian jahe merah terhadap ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella yang meliputi nilai perlukaan sekum, produksi ookista, dan differensiasi leukosit pada darah. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, di kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Eimeria tenella diinfeksikan dengan dosis 10.000 ookista/ekor dan larutan jahe merah diberikan dengan konsentrasi 1%. Perlakuan terdiri atas KP (Kontrol Positif), KO (Kontrol Obat Coccidiostat), K1 (Larutan jahe merah 1%, yang diolah dalam bentuk serbuk), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi menggunakan ethanol), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi menggunakan air).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan jahe merah berpengaruh nyata (P<0,05) dalam menurunkan produksi ookista pada ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella. Jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik dibandingkan dengan jahe merah yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk. Penggunaan jahe merah menunjukkan persentase heterofil dan eosinofil mendekati normal jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Penilaian skor lesi sekum tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara semua perlakuan. Perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan jahe merah lebih baik dari pada koksidiostat dan kontrol positif.

Kata kunci: Jahe Merah, Ekstraksi, Eimeria tenella, Lesi, Ayam Pedaging

(7)

SUMMARY

EKA ZAKIAH JAMAL NASUTION : The Response of Red Ginger (Zinggiber officinalle var rubra) with various processing in Broilers were infected by Eimeria tenella, supervised by Ma’ruf Tafsin dan Nevy Diana Hanafi.

Coccidiosis is a parasitic disease in broilers. The disease can cause many losses such as decreased feed efficiency, stunted growth, and form of death (Iskandar et al., 2000). The disease is easily developed in Indonesia because it is in accordance with the optimum temperature for Eimeria growth (210C- 320C), as well as enough moisture so that oocyst can sporulate. Sporulated oocyst can infect the host.

The aim of this experiment was identified the response of red ginger in broilers were infected by Eimeria tenella. The research was conducted at Farmacy Laboratory, Faculty of Farmacy, University of Sumatera Utara, at Biology Laboratory, Animal Science Study Program, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, and at Parasitology Laboratory, Balai Veteriner Medan. This research used Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 4 replications. Eimeria tenella were infected by 10.000oocysts/ head and red ginger solution were aplicated with 1% concentration. The treatments consist of KP (Positive Control), KO (Coccidiostat), K1 (Red ginger solution 1%, processed by powder), K2 (Red ginger solution 1%, processed by ethanol extract), and K3 (Red ginger solution 1%, processed by water extract) .

The results showed that the treatment of red ginger was significant effect (P<0,05) to lower oocyst production in broilers were infected by Eimeria tenella.

The comparison between extracted red ginger by ethanol is better than by water or in powder form to decreased. The utilization of red ginger showed the percentage of heterophile and eosinophile close to normal when compared with positive control. Assesment of caecum lesion score was not significant (P>0,05) different effect between all the treatments. It is concluded that the treatment by red ginger better than coccidiostat and positive control.

Keywords: Red Ginger,Extraction, Eimeria tenella, Lesion, Broiler

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kelurahan Sipolu-polu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara pada tanggal 10 Nopember 1986.

Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Jamaluddin Nasution dan Ibu Hj. Husni Lubis.

Pendidikan yang ditempuh penulis dari tahun 1992 – 2010 adalah pendidikan dasar di SD Inpres Sipolu-polu tahun 1998, dilanjutkan ke sekolah SMP Negeri 3 Panyabungan tahun 2001, dan di SMU Negeri 3 Plus Sipirok tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis masuk perguruan tinggi dan menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) tahun 2009 dan melanjutkan koasistensi di Fakultas yang sama yaitu Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Pada Tahun 2010, penulis memperoleh gelar profesi yaitu Dokter Hewan.

Setelah menyelesaikan pendidikan Dokter Hewan, penulis bekerja di perusahaan swasta yaitu PT. Charoen Pokphand Indonesia cabang Kota Pekanbaru sebagai AHTS (Animal Health and Technical Service) tahun 2011- 2013. Pada tahun 2014 hingga sekarang penulis bekerja di Balai Veteriner Medan sebagai Medik Veteriner di Laboratorium Bakteriologi.

Pada bulan Agustus tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan Strata Dua (S2) pada program Magister Ilmu Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil tesis yang berjudul

” Respons Pemberian Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) dengan Berbagai Pengolahan pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria tenella ” yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Disini penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua, dan seluruh keluarga yang memberikan dukungan penuh kepada penulis hingga terlaksananya proses pembelajaran pada Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Dr. Ir. Ma‟ruf Tafsin, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Sekali lagi penulis haturkan banyak terima kasih dan semoga tulisan ini bermanfaat, amin.

Medan, Juni 2017

Eka Zakiah Jamal Nasution

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... v

RINGKASAN ... vi

SUMMARY ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging ... 4

Koksidiosis ... 5

Klasifikasi dan Morfologi Eimeria tenella ... 5

Siklus Hidup Eimeria tenella ... 9

Patogenitas Eimeria tenella ... 11

Gejala Klinis ... 12

Kekebalan ... 12

Darah ... 13

Leukosit ... 15

Granulosit ... 17

Agranulosit ... 20

Jahe ... 21

Morfologi Jahe Merah (Zingiber Officinale var Rubra) ... 23

Kandungan dan Khasiat Jahe Merah (Zingiber Officinale var Rubra) ... 24

(11)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

Bahan dan Alat Penelitian ... 27

Bahan Penelitian ... 27

Alat Penelitian ... 27

Metode Penelitian ... 28

Parameter Penelitian ... 29

Jumlah ookista Eimeria tenella (SJO) pada feces ayam ... 29

Jumlah lesi yang disebabkan Eimeria tenella pada sekum ayam (SLS) ... 30

Differensiasi leukosit pada sampel darah ayam ... 30

Pelaksanaan Penelitian ... 31

Isolasi Eimeria tenella ... 31

Pembiakan Isolat Eimeria tenella ... 31

Pembuatan Larutan Jahe ... 31

Uji In Vivo ... 34

Penentuan Jumlah Ookista per Gram Ekskreta ... 35

Penentuan SLS (Skor Lesi Sekum) ... 36

Pemeriksaan Differensiasi Leukosit ... 36

Prosedur kerja ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN Ookista per Gram Ekskreta ... 39

SLS (Skor Lesi Sekum) ... 43

Diferensiasi Leukosit ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN ... 62

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

(15)
(16)

RINGKASAN

EKA ZAKIAH JAMAL NASUTION : Respons Pemberian Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) dengan Berbagai Pengolahan pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria tenella, dibimbing oleh Ma’ruf Tafsin dan Nevy Diana Hanafi.

Koksidiosis merupakan penyakit parasiter pada ayam pedaging. Penyakit tersebut dapat menimbulkan banyak kerugian seperti penurunan efisiensi pakan, hambatan pertumbuhan, dan sampai pada kematian (Iskandar et al., 2000).

Penyakit ini mudah berkembang di Indonesia karena sesuai dengan suhu optimum untuk pertumbuhan Eimeria (210C- 320C), serta kelembaban yang cukup agar ookista dapat bersporulasi. Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk semang (Allen and Fetterer, 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar respon pemberian jahe merah terhadap ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella yang meliputi nilai perlukaan sekum, produksi ookista, dan differensiasi leukosit pada darah. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, di kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Eimeria tenella diinfeksikan dengan dosis 10.000 ookista/ekor dan larutan jahe merah diberikan dengan konsentrasi 1%. Perlakuan terdiri atas KP (Kontrol Positif), KO (Kontrol Obat Coccidiostat), K1 (Larutan jahe merah 1%, yang diolah dalam bentuk serbuk), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi menggunakan ethanol), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi menggunakan air).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan jahe merah berpengaruh nyata (P<0,05) dalam menurunkan produksi ookista pada ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella. Jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik dibandingkan dengan jahe merah yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk. Penggunaan jahe merah menunjukkan persentase heterofil dan eosinofil mendekati normal jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Penilaian skor lesi sekum tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara semua perlakuan. Perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan jahe merah lebih baik dari pada koksidiostat dan kontrol positif.

Kata kunci: Jahe Merah, Ekstraksi, Eimeria tenella, Lesi, Ayam Pedaging

(17)

SUMMARY

EKA ZAKIAH JAMAL NASUTION : The Response of Red Ginger (Zinggiber officinalle var rubra) with various processing in Broilers were infected by Eimeria tenella, supervised by Ma’ruf Tafsin dan Nevy Diana Hanafi.

Coccidiosis is a parasitic disease in broilers. The disease can cause many losses such as decreased feed efficiency, stunted growth, and form of death (Iskandar et al., 2000). The disease is easily developed in Indonesia because it is in accordance with the optimum temperature for Eimeria growth (210C- 320C), as well as enough moisture so that oocyst can sporulate. Sporulated oocyst can infect the host.

The aim of this experiment was identified the response of red ginger in broilers were infected by Eimeria tenella. The research was conducted at Farmacy Laboratory, Faculty of Farmacy, University of Sumatera Utara, at Biology Laboratory, Animal Science Study Program, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, and at Parasitology Laboratory, Balai Veteriner Medan. This research used Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 4 replications. Eimeria tenella were infected by 10.000oocysts/ head and red ginger solution were aplicated with 1% concentration. The treatments consist of KP (Positive Control), KO (Coccidiostat), K1 (Red ginger solution 1%, processed by powder), K2 (Red ginger solution 1%, processed by ethanol extract), and K3 (Red ginger solution 1%, processed by water extract) .

The results showed that the treatment of red ginger was significant effect (P<0,05) to lower oocyst production in broilers were infected by Eimeria tenella.

The comparison between extracted red ginger by ethanol is better than by water or in powder form to decreased. The utilization of red ginger showed the percentage of heterophile and eosinophile close to normal when compared with positive control. Assesment of caecum lesion score was not significant (P>0,05) different effect between all the treatments. It is concluded that the treatment by red ginger better than coccidiostat and positive control.

Keywords: Red Ginger,Extraction, Eimeria tenella, Lesion, Broiler

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki aneka ragam flora dan fauna. Tanah yang subur menyebabkan negara ini kaya akan tanaman obat dan telah banyak digunakan secara turun temurun. Ramuan tanaman obat seperti jamu diyakini memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan manusia dan juga untuk kesehatan ternak.

Seiring perkembangan zaman, sektor peternakan unggas di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat dikarenakan jumlah permintaan akan protein hewani semakin meningkat. Protein hewani yang berasal dari unggas tidak kalah gizinya dengan protein hewani asal sapi. Selain itu, produk unggas banyak diminati masyarakat karena rasanya enak, mudah didapat dan harganya terjangkau. Agar produk unggas dapat dipertahankan, maka perlu dilakukan upaya pengawasan rutin supaya tidak terserang penyakit. Salah satu penyakit yang sering muncul pada ayam pedaging adalah koksidiosis.

Koksidiosis merupakan penyakit parasiter pada ayam pedaging yang banyak mendatangkan kerugian yang tidak sedikit, dengan akibat berupa penurunan efisiensi penggunaan pakan dan hambatan pertumbuhan, sampai pada kematian (Iskandar et al., 2000). Kerugian ekonomi akibat koksidiosis di Amerika Serikat antara 450 juta dolar sampai 1,5 miliar dolar AS. Koksidiosis di Indonesia banyak ditemukan pada peternakan ayam. Penyakit tersebut mudah berkembang di Indonesia karena sesuai dengan suhu optimum untuk perkembangan Eimeria yaitu 210C- 320C, serta kelembaban yang cukup agar ookista dapat bersporulasi.

(19)

Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk semang (Allen and Fetterer, 2002).

Sejak krisis moneter yang terjadi sampai saat ini harga obat-obatan buatan pabrik (impor) sangat mahal, sehingga tidak terjangkau oleh para peternak, khususnya peternak dalam skala menengah ke bawah (Zainuddin et al., 2006).

Selain itu, sebagian besar penduduk bertempat tinggal di pedesaan, sehingga masalah distribusi, komunikasi yang kurang lancar menyebabkan daerah tersebut sukar dijangkau oleh obat modern dan tenaga veteriner (Iskandar dan Husein, 2003). Berdasarkan hal tersebut peternak berupaya mencari alternatif lain dengan memanfaatkan beberapa tanaman obat sebagai obat tradisional yang disebut jamu hewan yang dapat diberikan dalam bentuk larutan melalui air minum dan atau dalam bentuk simplisia (tepung) yang dicampur kedalam ransum sebagai “feed additive” maupun “feed supplement” (Zainuddin et al., 2006).

Salah satu tanaman obat tersebut adalah jahe. Jahe (Zingiber officinale) adalah tanaman rempah dan obat yang sudah lama dikenal masyarakat. Selain digunakan sebagai bumbu penyedap masakan dan ramuan tradisional, tanaman ini juga menjadi komoditas perdagangan sebagai bahan industri obat-obatan, kosmetik, minuman, makanan ringan dan kebutuhan dapur. Secara tradisional jahe digunakan sebagai peluruh dahak atau obat batuk, peluruh keringat, peluruh angin perut, diare, obat rematik, menurunkan tekanan darah, pencegah mual, dan membantu pencernaan. Rimpang jahe diketahui memiliki kandungan oleoresin dan minyak atsiri sebesar 1-3%. Pemberian jahe dalam bentuk serbuk sebesar 10 mg / kg berat badan ayam dapat menurunkan akibat dari penyakit koksidiosis (Iskandar et al., 2007).

(20)

Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk melihat respon pemberian jahe pada ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella sehingga dapat mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh penyakit koksidiosis.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar respon pemberian jahe merah terhadap ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella yang meliputi nilai perlukaan sekum, produksi ookista, dan differensiasi leukosit pada darah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak dan peneliti bahwa penggunaan jahe merah ((Zingiber officinale var Rubra) dapat menurunkan nilai perlukaan sekum, produksi ookista, dan differensiasi leukosit pada ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella.

Hipotesis Penelitian

Pemberian jahe merah dapat menurunkan nilai perlukaan sekum, produksi ookista, dan differensiasi leukosit pada ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Pedaging

Ayam pedaging (ayam broiler) telah dikembangkan sejak 50 tahun silam.

Peternakan ayam pedaging di Indonesia baru berkembang pada tahun 1979 (Amrullah, 2004). Ayam pedaging merupakan ayam ras yang memiliki keunggulan bereproduksi yang lebih tinggi dibandingkan ayam buras. Ayam jenis ini merupakan hasil budidaya teknologi peternakan melalui berbagai perkawinan silang dan seleksi yang rumit yang diikuti dengan upaya perbaikan manajemen pemeliharaan secara terus menerus (Abidin, 2002).

Ayam pedaging merupakan ternak yang penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Dalam rangka mengembangkan usaha ternak ayam pedaging , pada umumnya peternak memberikan ransum komersial karena ransum komersial telah memenuhi standar kebutuhan zat-zat makanan yang telah ditetapkan (Ahmad et al., 2008).

Umumnya pemeliharaan ayam pedaging dilakukan dalam waktu 5 - 6 minggu dengan berat badan 1,4 - 1,6 kg/ekor, akan tetapi konsumen masih dapat menerima ayam pedaging dengan berat badan lebih dari itu, misalnya dengan berat antara 1,8 - 2 kg/ekor. Ayam seberat ini memerlukan pemeliharaan antara 7 - 8 minggu. Ayam pedaging yang dipelihara pada usia tersebut memiliki berat badan hampir sama dengan berat badan ayam kampung yang berusia satu tahun

(22)

diantaranya makanan (ransum), temperatur lingkungan (berkisar 19° - 21 °C), dan sistem pemeliharaannya (Rasyaf, 1992).

Koksidiosis

Koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit penting pada ayam di Indonesia maupun di luar negeri karena sering menimbulkan masalah dan menyebabkan kerugian yang cukup besar pada usaha peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian, morbiditas yang cukup tinggi, penurunan efisiensi pakan, pertumbuhan terhambat, penurunan bobot hidup, terlambatnya masa produksi telur, produksi menurun dan biaya pengobatan yang tinggi (Tampubolon, 1996).

Infeksi E. tenella pada unggas dapat berjalan akut, berak darah mulai terlihat pada hari ke 4 - 5 setelah infeksi. Unggas terlihat lesu,sayap menggantung, bulu kusam, sekitar kloaka kotor oleh feses. Unggas yang bertahan hidup akan mendapatkan kekebalan setelah hari 7 - 9 pasca infeksi (Levine, 1973).

Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E. tenella dan di usus (intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya (Jordan et al., 2001 ).

Klasifikasi dan Morfologi Eimeria tenella Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoa Sub Kelas : Coceidia Ordo : Eucoceidia Sub ordo : Eimeriina

(23)

Famili : Eimeriidae Genus : Eimeria

Spesies : E. tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E.mitis, E.mivati, E. praecox, dan E. hagani.

Pada ayam terdapat sembilan spesies Eimeria yaitu : Eimeria tenella, E.

necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E.mivati, E.

praecox, dan E. hagani. Spesies yang paling pathogen pada unggas yaitu E.

tenella, dan E. necatrix (Levine, 1978 dalam Ashadi, 1992). Eimeria memiliki stadium seksual maupun aseksual pada siklus hidupnya.

1. Ookista

Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada stadium seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Bentuknya bulat telur, licin, dengan ukuran panjang dan lebar yang bervariasi tergantung dari jenis Eimerianya (Ashadi dan Partosoedjono, 1992). Ookista E. tenella yang keluar bersama tinja masih dalam keadaan belum bersporulasi, dan akan bersporulasi dalam waktu 1-2 hari setelah mendapatkan oksigen, suhu yang sesuai, dan lingkungan yang lembab (Tampubolon, 1992).

Ukuran ookista E. tenella sangat bervariasi, panjang berkisar antara 14-31 mikron, lebar 9-25 mikron, dengan rata-rata panjang 23 mikron dan lebar 19 mikron. Dinding ookista halus, tidak ada mikropil („micropyle‟) pada ujung yang lebih kecil. Ookista yang disimpan dalam suhu kamar dengan suhu dan kelembapan yang cukup membutuhkan waktu untuk bersporulasi dalam waktu kira-kira 48 jam (1-2 hari). Ookista yang telah bersporulasi mempunyai empat

(24)

Menurut Levine (1985), ookista yang dikeluarkan bersama tinja terdiri dari satu sel yang disebut dengan sporon. Sporon membutuhkan O2, temperatur, dan kelembapan yang cukup untuk berkembang menjadi stadium yang infektif.

Ookista menjadi infektif setelah mengalami proses sporulasi selama 2 hari pada suhu kamar.

Gambar 1. Ookista dari genus Eimeria yang telah bersporulasi (Levine, 1973) 2. Sporokista

Sporokista merupakan hasil fertilisasi dari ookista. Dinding ookista akan pecah oleh gerakan mekanik lambung unggas (ventriculus) sehingga membebaskan empat sporokista. Sporokista berbentuk oval memanjang dan salah satu ujungnya lebih runcing dari yang lain (Piatina, 2001). Sporokista memiliki ukuran 10-15 µl, bersifat transparan dan sitoplasmanya bergranula. Masing–

masing sporokista memiliki dua sporozoit stadium infektif (Tampubolon, 1992).

3. Sporozoit

Sporozoit adalah hasil pelepasan sporokista. Pelepasan sporozoit dari sporokista dirangsang oleh khemotripsin, zat empedu, dan karbondioksida dalam usus halus (Levine, 1985). Sporozoit berbentuk seperti koma, ukuran 1,0 x 1,5

(25)

4. Tropozoit

Tropozoit merupakan hasil perkembangan dari sporozoit yang akan melakukan proses skizogoni (Trilestari, 2001).

5. Meron / Skizon

Meron/skizon adalah tahap perkembangan tropozoit yang intinya mengalami pembelahan. Terdapat tiga macam skizogoni, skizogoni aseksual di dalam sel inang memproduksi sejumlah merozoit. Proses ini dikenal sebagai merogoni. Ukuran dapat mencapai maksimum 54,0 µm (Piatina, 2001).

6. Merozoit

Merozoit adalah skizon yang telah mengalami pembelahan, umumnya berukuran 5-10 µm x 1,5 µm dan memiliki granular sekeliling intinya. Merozoit terlepas dari skizon yang telah masuk (Piatina, 2001).

7. Gametosit

Gametosit adalah bentuk perkembangan dari merozoit generasi ke-2 untuk selanjutnya berkembang menjadi makrogametosit dan mikrogametosit. Produksi mikrogamet dan makrogamet dikenal sebagai gametogoni (Levine, 1985).

Makrogamet lebih besar dari mikrogamet dan akan berkembang menjadi gamet betina. Makrogamet memiliki ukuran hampir sama dengan ookista. Sedangkan mikrogamet membelah menjadi beberapa mikrogametosit yang berkembang menjadi gamet jantan dengan bentuk seperti koma, langsing agak membengkok, pada bagian anterior terdapat flagella sebagai alat geraknya (Tampubolon,1992).

Saat fertilisasi, makrogamet masak akan dibuahi mikrogamet yang akan membentuk zigot untuk selanjutnya berkembang menjadi ookista.

(26)

Siklus Hidup Eimeria tenella

Eimeria mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh inangnya, dan dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual.

Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu stadium skizogoni (merogoni), gametogoni, dan sporogoni. Siklus aseksual merupakan stadium sporogoni dan skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni. Sporogoni merupakan stadium pembentukan spora (Tampubolon, 1996). Ookista-ookista dikeluarkan melalui tinja, dengan ookista berisi satu sel yaitu sporon. Ookista dalam suatu lingkungan yang lembab, temperatur tinggi, dan jumlah oksigen yang cocok akan mengalami sporulasi (Marbun, 2006).

Ookista ini mengandung 4 sporokista yang masing-masing mengandung 2 sporozoit. Sesampainya didalam lumen usus, ookista dan sporokista akan rusak oleh enzim pancreas, sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit masuk kedalam epitel di sel tumbuh menjadi skizon generasi pertama didalam mukosa. Skizon generasi pertama menghasilkan 48 lebar 1,5 mikron (Levine 1985). Untuk dapat bersporulasi, ookista membutuhkan kondisi yang optimal, yaitu lembab, ketersedian oksigen cukup, dan suhu 26.60 - 32.20 C (Ashadi dan Partosoedjono 1992).

Pada hari ketiga, merozoit-merozoit bebas dari sporozoit dan memasuki selsel epitel, lalu masing-masing merozoit berkembang menjadi skizon generasi kedua. Skizon dan merozoit generasi kedua lebih besar daripada skizon dan merozoit generasi pertama (Levine 1985). Setelah merozoit generasi kedua berada didalam lumen usus, sebagian besar membentuk gametosit dan sebagian lainnya memasuki sel epitel untuk membentuk skizon generasi ketiga. Gametosit yang

(27)

terbentuk berdiferensiasi menjadi mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit (betina) (Muafo et al., 2002).

Inti mikrogametosit membelah dan menghasilkan banyak mikrogamet yang bercambuk dua. Makrogametosit tumbuh membesar tetapi intinya tidak membelah lalu membentuk makrogamet. Satu makrogamet dan satu mikrogamet akan membentuk zigot yang berdinding tebal atau ookista yang belum bersporulasi. Zigot dapat ditemukan didalam epitel pada hari ke tujuh setelah penularan. Zigot yang terbentuk di epitel akan keluar memasuki lumen usus dan bersama tinja terbawa keluar tubuh. Di alam bebas ookista mengalami sporogoni, dan ookista tersebut dihasilkan dalam waktu beberapa hari (Levine, 1985).

Gambar 2. Siklus hidup Eimeria spp (Levine, 1985)

(28)

Tabel 1. Stadium endogen Eimeria berdasarkan jenisnya, yaitu sejak ookista bersporulasi tertelan oleh ayam sampai munculnya ookista baru dalam tinja (Trilestari, 2001)

Jenis Eimeria Siklus hidup (hari)

E. tenella 7

E. necatrix 7

E. maxima 7

E. brunette 6

E. acervulina 5

E. mitis 5

E. praecox 4

Patogenitas Eimeria tenella

Koksidiosis pada sekum oleh E.tenella paling sering terjadi pada ayam muda berumur 4 minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka.

Ayam yang berumur 1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian E.

tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah tua umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya. Pada umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang relatif pendek tidak lebih dari 72 jam. Pada ayam umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk menyebabkan kematian, dan diperlukan 50.000-100.000 ookista untuk menyebabkan kematian pada ayam yang berumur lebih tua. Ookista yang bersporulasi merupakan ookista yang infektif (Levine, 1985).

Siklus hidup akan berlangsung apabila ookista yang bersporulasi termakan oleh induk semang yang rentan. Setelah masuk ke dalam saluran pencernaan, ookista pecah kemudian mengeluarkan sporozoit, yang akan berkembang di dalam

(29)

sel epitel usus dan menyebabkan lesi pada usus dan sekum. Pada Eimeria tenella perdarahan mulai terlihat pada hari ke-4 setelah infeksi. Kehilangan darah yang cukup banyak akibat kerusakan mukosa usu dan hemoragi yang hebat pada hari ke-5 atau ke-6 setelah infeksi, menyebabkan angka kematian sangat tinggi pada saat ini. Sampai hari ke-7 setelah infeksi, ayam yang kuat dapat sembuh dan bertahan hidup. Hari ke-8 dinding sekum akan menebal diikuti regenerasi mukosa dan fibrosis, selanjutnya sembuh beberapa waktu kemudian (Soulsby, 1972 dalam Piatina, 2001).

Gejala Klinis

Gejala klinis mulai terlihat sekitar 72 jam setelah di infeksi, dimana skizon generasi kedua menjadi besar dan merozoit keluar dari epitel sehingga terjadi pendarahan dalam sekum. Pendarahan pada tinja pertama-tama ditemukan pada hari ke-4 atau hari ke-5 sesudah infeksi. Gejala klinis umum yang tampak pada ayam yang terinfeksi koksidiosis adalah diare berdarah dan kehilangan darah merupakan gejala akut dari infeksi E.tenella yang ditandai oleh kelemahan dan pucat, tinja berdarah berwarna coklat kekuningan, berlendir, sayap menggantung, bulu kasar / kusam dan kotor, nafsu makan dan minum menurun, lesu dan mata kadang – kadang tertutup, penurunan produksi telur (pada ayam petelur), penurunan berat badan, dan terjadi kematian (Alamsari, 2000).

Kekebalan

Koksidiosis merupakan infeksi protozoa intraseluler. Respon kekebalan induk semang terhadap parasit ini mirip dengan perkembangan perlawanan terhadap organisme lain seperti bakteri, virus, dan protozoa lain. Infeksi protozoa

(30)

merangsang tanggap kebal berperantara sel (seluler) dan tanggap kebal humoral (antibodi) (Leni, 2006).

Anak ayam yang tahan terhadap infeksi akut dari ookista yang bersporulasi dalam jumlah besar akan membentuk antibodi terhadap Eimeria dari jenis yang sama. Parasit yang menembus epitel lebih dalam dapat menimbulkan kekebalan lebih besar daripada di superfisial (Jackson et al., 1970).

Darah

Di dalam sistem sirkulasi, darah memegang peranan penting untuk proses transportasi O2, CO2, dan produk-produk metabolisme yang lain demi kelangsungan hidup suatu individu. Sepuluh persen dari bobot badan unggas adalah darah (Pringgodigdoyo, 2008). Darah adalah jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Darah terdiri dari beberapa unsur seluler antara lain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit (keping darah atau platelet) (Guyton, 1997).

Menurut Leni (2006), fungsi darah adalah sebagai berikut :

1. Pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh.

2. Pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru.

3. Pembawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke ginjal untuk di ekskresikan.

4. Alat yang mempertahankan sistem keseimbangan dan baffer.

5. Pembawa hormon dan kelenjar endokrin ke organ lain dalam tubuh

(31)

6. Penggumpalan dan pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka.

Gambaran darah ayam normal secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Nilai Normal Hematologi Pada Ayam

Parameter Kisaran Rataan

Eritrosit

Total eritrosit 2.5 - 3.5 3

(x106/μl)

Haemoglobin (g/dl) 7.0 - 13.0 9

PCV (%) 22.0 - 35.0 30

MCV (fl) 90.0 - 140.0 115

MCH (pg) 33.0 - 47.0 41

MCHC (%) 26.0 - 35.0 29

Leukosit

Total leukosit (/μl) 12000 - 30000 12000

Heterofil 3000 - 6000 4500

Limfosit 7000 - 17500 14000

Monosit 150 - 2000 1500

Eosinofil 0 - 1000 400

Basofil Jarang -

Persentase distribusi

Heterofil 15.0 - 40.0 28

Limfosit 45.0 - 70.0 60

Monosit 5.0 - 10.0 8

Eosinofil 1.5 - 6.0 4

Basofil Jarang -

Fibrinogen (g/dl) 0.1 - 0.4 0.2

Trombosit (x105/μl) 20.0 - 40.0 30

Total protein plasma (g/dl) 4.0 - 5.5 4.5

Sumber : Jain (1993).

(32)

Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara internal seperti pertambahan umur, status gigi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu tubuh. Sedangkan secara eksternal misalnya akibat infeksi kuman, perubahan suhu lingkungan dan fraktura (Guyton, 1996).

Leukosit

Leukosit atau sel darah putih berasal dari bahasa Yunani leuco artinya putih dan cyte artinya sel (Dharmawan, 2002). Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini dibentuk sebagian di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe yang kemudian diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan (Guyton, 1997). Sel darah putih atau leukosit adalah sel yang memiliki inti dan organel. Sel darah putih berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker, serta membantu proses penyembuhan (Corwin, 2000).

Menurut Hartono (1995), leukosit berbeda dengan eritrosit dalam beberapa hal, antara lain gerakan amoeboid dan mampu keluar dari pembuluh darah rambut (diapedesis), berfungsi dan mati dalam jaringan ikat, bentuk dan diameternya beragam, yang jelas lebih besar dari eritrosit dan jumlahnya kurang dari eritrosit.

Jumlah leukosit pada tiap-tiap individu ayam berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin, kondisi tubuh, aktifitas, gizi, dan lingkungan (Sturkie, 1975).

(33)

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Umur Ayam

Umur

Perbandingan

Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

0 hari 15,9 72,4 2,5 1,1 8,1

3 hari 38,7 52,7 1,6 0,67 6,4

8 hari 48,3 50,0 0,25 0 1,5

10 hari 68,6 26,7 1,7 0,64 2,3

1 minggu 75 24 0 0 1

2 minggu 66 20,6 3,1 1,9 8,1

6 minggu 69 26 0 1 3

Sumber : Hodges (1997).

Tabel 4. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Jenis Kelamin Ayam

Umur

Perbandingan

Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

Betina dewasa 59,1 27,2 1,9 1,7 10,2

Jantan dewasa 64,6 22,8 1,9 1,7 8,9

Betina White Leghorn 64,0 25,8 1,4 2,4 6,4

Jantan White Leghorn 76,1 13,1 2,5 2,4 5,7

Sumber : Sturkie (1976).

Leukosit dibedakan menjadi dua macam, granulosit dan agranulosit.

Kelompok granulosit ditandai dengan terdapatnya granula di dalam sitoplasma, sedangkan kelompok agranulosit tidak memiliki granula (Caceci, 1998).

Kelompok granulosit terdiri dari : eosinofil, heterofil, dan basofil. Sedangkan kelompk agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Piatina, 2001).

(34)

Granulosit

Sel granulosit memiliki granula sitoplasmik mengandung substansi biologi aktif, yang berperan dalam reaksi peradangan dan alergi dan terdiri dari eosinofil, heterofil, dan basofil (Caceci, 1998).

 Eosinofil

Eosinofil adalah polymorphonuclear eosinophilic granulocyte, dengan ukuran mirip heterofil (Sturkie 1975). Menurut Campbell (1995) dan Sturkie (1975), intensitas sirkulasi eosinofil unggas didalam darah lebih kecil dibandingkan heterofil, dengan jumlah kurang lebih 1,9 % dan paling jarang ditemukan (Latimer, 2002). Sitoplasma eosinofil berwarna cerah, biru muda (apabila dibandingkan dengan heterofil, warnanya lebih muda). Granul eosinofil berwarna lebih terang dibandingkan pada heterofil, karena konsentrasi arginin yang terkandung didalam granul eosinofil sangat tinggi. Jumlah granul eosinofil lebih sedikit dibandingkan heterofil. Eosinofil memiliki granul yang kasar, besar dan mengandung banyak kromatin yang berwarna ungu (Campbell, 1995).

Granul eosinofil mengandung kristal MBP (Major Basic Protein), yang kaya akan asam - amino, arginine dan lain lain. MBP bersifat toksik bagi parasit.

Granul eosinofil juga mengandung beberapa enzim (lisozim, peroksidase, protease, lisophospholipase) dan faktor khemotaktik yang menyebabkan aktifnya eosinofil – eosinofil lain ke daerah yang terinfeksi (Cooper, 1997).

Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar antara 2-8 % dari jumlah leukosit. Sel ini berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam aliran darah (Tizard, 1988). Jangka hidup sel ini 3-5 hari. Eosinofil ini berperan aktif dalam mengatur proses perbarahan dan memfagositosis bakteri, antigen-

(35)

antibodi kompleks, mikoplasma, dan ragi. Sel ini juga mengandung histaminase yang mengaktifkan histamin dan melepaskan serotonin dari sel tertentu, juga melepaskan Zn yang menghalangi agregasi trombosit dan migrasi makrofag (Dharmawan, 2002).

 Heterofil

Heterofil disebut juga sel granulosit polimorfonuklear (PMN) yang dibentuk dalam sumsum tulang dan bermigrasi ke peredaran darah (Caceci, 1998).

Ciri-cirinya antara lain : memiliki gelambir inti 3-5 buah yang dihubungkan dengan benang kromatin. Jumlah kelambir akan bertambah dengan meningkatnya umur leukosit. Heterofil pada ayam identik dengan neutrofil yang mengandung fusiform bodies yang berwarna merah cerah dengan eosin (Widjajakusumah dan Sikar, 1996).

Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Pada saat yang sama, sumsum tulang dirangsang untuk lebih banyak melepaskan heterofil ke dalam darah (Ganong, 1995). Menurut Tizard (1988), fungsi utama dari sel ini adalah penghancur bahan asing melalui proses yang disebut fagositosis. Sel leukosit ini tertarik pada berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel yang rusak, dan berbagai produk reaksi kekebalan.

Heterofil adalah sel darah putih pertama yang datang ke tempat peradangan untuk memfagositosis dan menghancurkan mikroorganisme dan sisa- sisa sel (Corwin, 2000), menggunakan enzim – enzim yang terlepas dan terdapat

(36)

antara lain lisozim yang berguna untuk mendegradasi dinding sel mikroorganisme, kolagenase yang berguna untuk mendegradasi serat kolagen dari jaringan matrik mikroorganisme dan enzim yang berguna untuk mencerna mikroorganisme antara lain glikosidase, protease, nuclease dan myeloperoksidase (Cooper, 1997).

 Basofil

Basofil merupakan bagian yang paling jarang dari granulosit (Caceci, 1998). Basofil adalah granulosit yang bersifat polymorphonuklear basofilik yang bentuk dan ukurannya hampir sama dengan heterofil (Sturkie and Grimminger, 1976). Basofil adalah leukosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5-1,5% dari seluruh leukosit dalam aliran darah. Basofil unggas memiliki inti yang terletak ditengah. Nukleus berwarna biru menyala dan terkadang tertutup oleh granul sitoplasma. Granul sitoplasma basofil bersifat basofilik (Campbell, 1995). Granul basofil berwarna ungu terang, terkadang merah karena kandungan anion polisakarida dan heparin. Granul basofil juga mengandung histamin dan beberapa mediator peradangan yang lain (kemotaktik faktor, protease dan sitokin).

Menurut Dharmawan (2002), sel leukosit ini mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor kemotaktik. Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah, sedangkan histamin berfungsi untuk menarik eosinoid. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktifitas perbarahan dan alergi, memiliki reseptor immunoglobulin E (IgE) dan immunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi, dan membangkitkan reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif.

(37)

Agranulosit

Agranulosit adalah sel yang tidak memiliki granula. Sel agranulosit lazim ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit dan monosit (Caceci, 1998).

 Limfosit

Limfosit adalah suatu sel yang memainkan peranan penting dalam imunitas dengan fungsi utamanya memproduksi antibodi (Tizard, 1988). Pada ayam, limfosit paling banyak berperan dan paling banyak jumlahnya yaitu kurang lebih 66% dari total leukosit (Sturkie, 1995). Morfologi dan fungsi menunjukkan heterogenitas, memiliki kemampuan untuk merubah bentuk serta ukuran. Limfosit menyebar dalam jaringan dan organ tubuh, menjalin pertahanan tubuh. Limfosit kecil merupakan bentuk dewasa sedangkan limfosit besar merupakan bentuk muda (Hartono, 1995).

Pada umumnya, nukleus dari limfosit menyebar atau terletak ditengah. Inti dari kromatinnya tebal dan tertutup. Sitoplasma limfosit bersifat basofiliklemah dan homogen (Campbell, 1995). Populasi limfosit dalam darah ada 2 tipe sel yaitu sel T dan sel B. Limfosit T diperkirakan proporsinya adalah 70-75% dari seluruh jumlah limfosit sedangkan limfosit B jumlahnya antara 10-20% dari jumlah seluruh limfosit. Limfosit B berfungsi sebagai imunitas humoral yang mampu menyerang antigen dengan memproduksi antibodi. Limfosit T berperan sebagai sel imunitas yang diperoleh dari pembentukan limfosit teraktivasi yang mampu menghancurkan benda asing (Sumarni, 2010).

 Monosit

Monosit merupakan leukosit terbesar dan berdiameter 15-20 μm dengan jumlahnya 3-9% dari seluruh sel darah putih (Dharmawan, 2002). Monosit adalah

(38)

leukosit terbesar dengan ukuran 12 – 17 μm yang memiliki bentuk irregular. Inti sel monosit berbentuk seperti ginjal dan terletak tidak simetris pada sitoplasmanya (Cooper 1997). Sitoplasma monosit lebih banyak dari limfosit dan berwarna abu- abu pucat dengan granul halus, dan terkadang terdapat vakuola dan terdiri atas dua bagian, terang dan gelap (Campbell, 1995). Intinya berbentuk lonjong seperti ginjal atau mirip tapal kuda dan jelas memiliki lekuk cukup dalam. Kromatin inti mengambil warna lebih pucat dari kromatin inti limfosit. Inti memiliki satu sampai tiga nukleolus (Sumarni, 2010).

Monosit dibentuk dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk kedalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit tidak bersifat fagositik, tetapi setelah beberapa jam didalam jaringan sel ini akan berkumpul dan memberntuk sel yang membesar yang disebut makrofag. Ketika sudah menjadi sel makrofag maka monosit mampu untuk memfagositosis. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke luar pembuluh darah dan masuk ke jaringan. Di dalam jaringan, sel ini menjadi makrofag tetap (fixed macrophage) seperti sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru, dan jaringan limfoid.

Monosit lebih sering terletak dekat pembuluh darah (Dharmawan, 2002).

Monosit sebagai respon peradangan terutama menelan dan membunuh bakteri dan merupakan garis pertahanan kedua setelah heterofil (Ganong, 1995).

Aktivitas fagositosis dari monosit tergantung pada bahan yang akan difagosit.

Umur monosit di dalam perifer selama beberapa hari (3-4 hari) (Tizard, 1988).

Jahe (Zingiber officinale)

Jahe merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang banyak

(39)

untuk pertumbuhan jahe, sehingga tanaman jahe dapat tumbuh dengan mudah.

Tanaman jahe dapat tumbuh dengan subur pada ketinggian 200-900m diatas permukaan laut, dengan lama penyinaran 2,5 - 7 bulan, suhu sekitar 25oC - 30oC, pengairan lahan tanam yang baik, dan pH tanah sekitar 5 – 5,6 (Patmarani, 2007).

Gambar 3. Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)

Berdasarkan taksonomi tanaman, Jahe (Zingiber officinale) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Pteridophyta Sub Divisi : Angiosperma Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Scitamineae

Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale (Murhananto, 2000).

Di beberapa daerah, jahe dikenal dengan nama lokal jahe (Sunda), jae (Jawa Tengah), jhai (Madura), halia (Aceh), pege (Toba), dan lain-lain (Santoso, 1994).

(40)

Morfologi Jahe Merah ( Zingiber officinale var Rubra )

Tanaman ini merupakan tanaman tahunan dengan batang semu yang tumbuh tegak. Tanaman ini terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga, dan buah. jahe membentuk rimpang yang ukurannya tergantung pada jenisnya (Rismunandar, 1988). Tingginya berkisar antara 0,3 – 0,75 meter dengan akar rimpang yang bisa bertahan lama di dalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan tunas baru untuk mengganti daun dan batang yang sudah mati.

Tanaman jahe terdiri dari bagian akar, batang, daun dan bunga (Murhananto, 2000).

Tanaman jahe diperbanyak dengan rhizoma. Rhizoma adalah batang yang tumbuh dalam tanah, rhizoma akan tumbuh menjadi batang sampai ketinggian 1,5 m dengan panjang daun 5 - 30 cm dan lebar 8 - 20 mm. Rimpang jahe biasanya memiliki dua warna yaitu bagian tengah (hati) berwarna ketuaan dan bagian tepi berwarna agak muda. Rimpang jahe berkulit agak tebal membungkus daging rimpang (jaringan parenchym). Dalam sel daging rimpang, terdapat minyak atsiri jahe yang aromatis dan oleoresin (Rismunandar, 1988 dalam Patmarani, 2007).

Jahe dipanen ketika batang berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering, yaitu sekitar umur 9-10 bulan, atau warna agak cokelat sekitar 12 bulan (Hayati, 2005).

Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya yaitu jahe gajah (Zingiber officinale var Roscoe) atau jahe besar, jahe putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var Amarum), dan jahe merah (Zingiber officinale var Rubra) atau jahe sunti. Jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk bulat, beraroma kurang tajam, dan berasa kurang pedas, sehingga lebih

(41)

banyak digunakan untuk masakan, minuman, dan asinan. Jahe emprit memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk sedikit pipih beraroma agak tajam, dan berasa pedas, sehingga lebih banyak dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, penyedap makanan, dan bahan minyak atsiri (Diniari, 2012).

Kandungan dan Khasiat Jahe Merah ( Zingiber officinale var Rubra )

Jahe merah mengandung komponen minyak yang mudah menguap (volatile oil), minyak yang tidak mudah menguap (non volatile oil), dan pati. Jahe mengandung 1-4% volatile oil yang merupakan kandungan aktif untuk pengobatan. Minyak yang mudah menguap biasa disebut minyak atsiri dan merupakan komponen pemberi bau yang khas, sedangkan minyak yang tidak mudah menguap disebut oleoresin merupakan komponen pemberi rasa pedas dan pahit (Paimin,1999).

Jahe merah mengandung antioksidan yang cukup tinggi dan memiliki khasiat anti inflamasi. Minyak atsiri jahe merah terdiri dari zingiberol, zingiberen, n-nonyl aldehida, d-camphen, d-bphellandren, methyl heptanon, sineol, stral, borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan chavicol. Pada umur panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi, sedangkan pada umur tua kandungannya semakin menyusut walau baunya semakin menyengat (Paimin, 1999). Jahe juga mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Kandungan oleoresin dalam jahe adalah sebesar 5-7%. Umumnya oleoresin jahe tersusun oleh gingerol, zingeron, shogaol, dan resin. Rasa pedas yang dimiliki jahe disebabkan oleh adanya gingerol dan shogaol yang dikandunganya dan diketahui bahwa shogaol

(42)

Adapun kadar minyak dan oleoresin jahe dalam rimpang jahe dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini :

Tabel 5. Kadar Minyak dan Oleoresin Jahe

Tingkat Kematangan Jahe

Minyak atsiri (%) Oleoresin (%) Segar Jemur Oven Segar Jemur Oven

Tua

Tidak dikupas 2,75 2,41 2,25 11,03 13,42 14,84 Dikupas 2,21 1,94 1,93 7,14 11,65 13,27

Setengah tua

Tidak dikupas 3,45 2,69 2,66 12,96 15,68 16,30 Dikupas 2,87 2,40 2,38 11,11 14,15 14,34

Muda

Tidak dikupas 4,09 3,56 3,18 19,99 20,98 21,86 Dikupas 8,53 3,04 3,03 17,20 17,48 17,78

Sumber : Ketaren (1985).

Jahe dapat dimanfaatkan secara luas dikarenakan kandungan komponen dalam rimpangnya sangat banyak kegunaannya, terutama sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa masakan, minuman, serta digunakan dalam industri farmasi, industri parfum, industri kosmetika dan lain sebagainya (Paimin dan Murhananto, 1999). Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan pembuat jamu.

Jahe muda dimakan sebagai lalap, acar, dan manisan (Koswara, 1995).

Komposisi kimia jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma dan rasa pedas jahe. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi kimia jahe, diantaranya jenis jahe, tanah tempat tumbuhnya, umur panen, penanganan dan pemeliharaan tanaman., perlakuan pra-panen, pemanenan, dan pasca pemanenan (Rahmi, 1996).

Adapun komponen kimia jahe (Zingiber officinale) dapat dilihat pada Tabel 6

(43)

Tabel 6. Komponen Kimia Jahe (Zingiber officinale)

Komponen Jumlah

Jahe Segar Jahe Kering

Energi (KJ) 184,0 1424,0

Protein (g) 1,5 9,1

Lemak (g) 1,0 6,0

Karbohidrat (g) 10,1 70,8

Kalsium (mg) 21 116

Phospat (mg) 39 148

Besi (mg) 4,3 12

Vitamin A (SI) 30 147

Thiamin (mg) 0,02 -

Niasin (mg) 0,8 5

Vitamin C (mg) 4 -

Serat kasar (g) 7,53 5,9

Total abu (g) 3,70 4,8

Magnesium (mg) - 184

Natrium (mg) 6,0 32

Kalium (mg) 57,0 1342

Seng (mg) - 5

Sumber : Koswara (1995).

Rhizoma jahe efektif untuk pengobatan nausea, salah pencernan, kehilangan nafsu makan, dan pencegahan gejala motion sickness. Jahe meningkatkan sekresi saliva dan cairan lambung serta meningkatkan gerak peristaltik saluran pencernaan. Aktivitas jahe tersebut disebabkan oleh minyak volatilnya yang mengandung sesquiterpenes zingeberene dan bisabolone serta gingerol. Jahe juga memiliki kemampuan untuk pengobatan kimiatif, antiemetik, antinausea, antiparasitik, dan anti-inflamatory. Gingerol memiliki aktivitas analgesik, antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik, dan antihepatotoksik. Gingerol juga memiliki efek penghambatan yang potensial pada biosintesis prostaglandin (Kiuchi et al., 1982).

(44)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai dengan selesai.

Tahap persiapan dilaksanakan pada awal bulan Januari 2015 bertempat di Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selanjutnya tahap pelaksanaan penelitian dilakukan selama lima minggu di kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain ayam pedaging umur 1 hari (DOC) Strain Cobb 500 sebanyak 80 ekor yang berasal dari PT. Charoen Pokphand Jaya Farm, pakan selama penelitian, Rodalon, Formalin, Etanol, Methanol, Kalium Bikromat 2-2,5%, Larutan garam jenuh, Larutan gula jenuh, Vaksin ND Strain Hitchner B1 dan vaksin IBD (Gumboro), Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra), Isolat Eimeria tenella, Koksidiostat, Larutan CMC (Carboxyl Methyl Cellulosa), Oil Emersi, Larutan Giemsa 10-20%, Air kran bersih / Aquades, dan gula merah.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting seksi, scalpel, sarung tangan (gloves), termos es, lumpang porselin (mortar), penapis / saringan, nampan besar dan kecil, pisau, timbangan analitik (digital), kantong

(45)

plastik, gelas ukur, pipet pasteur, mesin penggiling, oven, sentrifuge, tabung sentrifuge, alat suntik (spuit), obyek glass, cover glass, cawan petridis, pot salep, mikroskop, lemari es, alat hitung, kamar hitung (Mc Master), kertas label, spidol, tissu, labu dan tabung evaporator, rotaryvacum evaporator, termometer untuk mengetahui suhu kandang, terpal plastik, sekam, kandang percobaan dengan ukuran 1m x 1m x 1m sebanyak 20 buah, tempat pakan dan minum ayam sebanyak 20 buah, dan bola lampu pijar (60 Watt) sebanyak 20 buah sebagai penerang dan pemanas.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diteliti adalah:

KP : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, tapi tidak diberi koksidiostat dan jahe merah

KO : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, dan hanya diberi koksidiostat

K1 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (serbuk) dengan konsentrasi 1%

K2 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (diekstraksi menggunakan ethanol) dengan konsentrasi 1%

K3 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (diekstraksi menggunakan air) dengan konsentrasi 1%

(46)

Tabel 7. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :

Ulangan

Perlakuan

KP KO K1 K2 K3

1 KP1 KO1 K11 K21 K31

2 KP2 KO2 K12 K22 K32

3 KP3 KO3 K13 K23 K33

4 KP4 KO4 K14 K24 K34

Dengan menggunakan 80 ekor ayam, maka masing-masing kombinasi perlakuan terdiri dari 4 ekor ayam. Adapun metode linear yang digunakan menurut Hanafiah (2000) adalah:

Dimana:

Yij = hasil pengamatan dari perlakuan tingkat ke-i dan pada ulangan ke-j I = perlakuan

J = ulangan

 = nilai rata-rata (mean) harapan

i = pengaruh perlakuan ke-i

ij = pengaruh galat (experimental error) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Parameter Penelitian

Jumlah ookista Eimeria tenella pada feces ayam

Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc Master dengan rumus sebagai berikut :

OPG (N) = Ookista hasil pengamatan x 100 2

Keterangan : OPG = Ookista Per Gram

Yij =  + i+ ij

(47)

Jumlah lesi yang disebabkan Eimeria tenella pada sekum ayam (SLS)

Skor Lesi Sekum (SLS) ditentukan berdasarkan perubahan patologi- anatomi berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut metoda Johson and Reid (1970) yaitu dengan pemberian scoring 0 sampai dengan +4 seperti berikut ini :

0 = Tidak didapatkan luka dalam dinding usus

+1 = Pada dinding usus didapatkan beberapa ptechie, tebal dinding usus dan isi usus (feses) normal

+2 = Didapatkan banyak luka (ptechie) pada dinding usus, isi usus bercampur dengan darah, dan dinding usus, sedikit menebal

+3 = Banyak darah yang telah membeku atau setengah membeku didalam, dinding usus sangat menebal, feses sedikit atau sama sekali tidak didapatkan

+4 = Usus sangat membesar, isi usus terdiri dari darah yang telah membeku atau telah mulai proses perkapuran, sedangkan isi usus yang berupa feses sedikit. ayam mati karena koksidiosis juga dinilai +4.

Differensiasi leukosit pada sampel darah ayam

Dalam satu preparat ulas darah dihitung 100 Leukosit dan dibedakan jenis- jenisnya kemudian dihitung persentasenya.

Pelaksanaan Penelitian Isolasi Eimeria tenella

Sekum ayam yang terpapar koksidiosis dikoleksi dari lapangan (dari peternakan ayam di kota Medan) dan diproses dilaboratorium dengan cara sebagai

(48)

lumpang porselin (mortar), diberi aquades steril secukupnya kemudian digerus dan dihaluskan secara perlahan-lahan agar tidak merusak ookista. Kemudian disaring dengan saringan 25 μm. Hasil saringan diberi larutan gula jenuh, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5-10 menit untuk diperiksa ookistanya berdasarkan morfologi, ukuran, masa sporulasi lalu diisolasi (Levine, 1985).

Pembiakan Isolat Eimeria tenella

Setelah mendapat isolat E. tenella, kemudian disporulasikan dengan penambahan larutan kalium bikromat 2-2,5% 5-10 kali dari sampel (tidak diperkenankan kedalaman larutan lebih dari 4cm) selama 1-2 hari dalam suhu kamar (260C – 280C). Tutup cawan Petridis/ gelas dengan sedikit terbuka untuk memberikan kesempatan udara masuk. Untuk perbanyakan, isolat E.tenella diinokulasikan pada ayam umur 2 minggu yang bebas koksidia, 6 hari pasca inokulasi dipanen seperti cara kerja sebelumnya kemudian disimpan dalam lemari es sampai digunakan.

Pembuatan Larutan Jahe Merah

Dalam pembuatan larutan jahe merah, penelitian ini menggunakan 3 macam pengolahan jahe yang nantinya akan digunakan sebagai larutan. Adapun bentuk pengolahan jahe yang dimaksud adalah serbuk jahe, ekstrak jahe menggunakan ethanol, dan ekstrak jahe menggunakan air.

Serbuk Jahe

Jahe merah diperoleh dari Pasar kota Medan. Jahe merah segar dicuci kemudian disayat tipis-tipis dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 370C

(49)

selama 48 jam sampai kering, lalu dibuat serbuk dengan cara digiling (Iskandar et al, 2000). Larutan dibuat dengan cara yang tertera dalam Farmakope Indonesia, sehingga diperoleh larutan dengan kepekatan 1 gr serbuk kering dalam 1 ml (Depkes.RI. 1979 dikutip dari Iskandar et al, 2000). Larutan pekat tadi akan diencerkan kembali dengan air menjadi 100 ml, sehingga konsentrasi 1% dari larutan jahe tersebut nantinya akan mengandung 10 mg jahe /ml.

a. Ekstraksi Jahe Menggunakan Ethanol

Rimpang jahe merah segar yang sudah dibersihkan dikeringkan dengan oven blower (40-60o C) selama 30-36 jam hingga diperoleh jahe kering dengan kadar air 8-11%. Jahe kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan bubuk jahe berukuran 30 mesh. Sebanyak 250 gram bubuk jahe di ekstrak 4 kali dengan menggunakan pelarut etanol (500 ml). Ekstrak yang diperoleh disaring dengan kertas saring pada kondisi vakum. Cairan yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung rotavapor yang telah ditimbang, kemudian disuling dengan rotaryvacum-evaporator. Penyulingan dihentikan setelah pelarut berhenti menetes, maka didapatkan oleoresin yang konsistensinya semi padat berwarna coklat muda sampai dengan coklat tua. Selanjutnya dilakukan penimbangan terhadap oleoresin yang dihasilkan dalam labu rotavapor. Untuk menghomogenkan hasil ekstrak jahe dengan air pada saat pembuatan larutan perlu penambahan larutan CMC (Carboxyl Methyl Cellulosa) 1%. Perbandingan dosis serbuk dengan hasil ekstrak adalah 1 : 5. Sehingga Larutan ekstrak jahe merah menggunakan ethanol dibuat dengan konsentrasi 1% ( 2mg jahe/ ml).

(50)

b. Ekstraksi Jahe Menggunakan Air

Ekstraksi jahe merah menggunakan air sebagai larutan pengekstrak.

Ekstraksi jahe dilakukan terhadap bubuk jahe. Setiap 25 gr bubuk jahe membutuhkan 125 ml air. Ekstraksi dilakukan sebanyak 4 kali. Untuk memperoleh ekstrak jahe, filtrat dikeringbekukan sehingga pelarut dan air yang ada menguap. Larutan ekstrak jahe merah menggunakan air dibuat dengan konsentrasi 1% (2mg jahe/ml).

Gambar 4. Ekstraksi Jahe

Kandang terlebih dahulu didesinfeksi dengan menggunakan rodalon, kemudian dilakukan fumigasi dengan menggunakan formalin dan dibiarkan

Rimpang jahe

Bubuk jahe 250 gr Pengeringan

Ekstraksi dengan air, empat kali

Ekstraksi dengan ethanol, empat kali @ 500ml

Ekstrak air-jahe bubuk Fraksi terlarut etanol

Penguapan pelarut s/d konstan

Ekstrak ethanol

(51)

selama tiga hari. Peralatan kandang dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan (Siagian, 2009).

Uji In Vivo

Pada penelitian ini menggunakan 80 ekor anak ayam pedaging umur satu hari (DOC) Strain Cobb 500 yang diacak ke dalam 5 perlakuan (KP, KO, K1, K2, K3) dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri atas 4 ekor.

Sebelum DOC dimasukkan kedalam kandang sesuai dengan perlakuan, dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing DOC kemudian dilakukan random (pengacakan) pada DOC yang bertujuan memperkecil nilai keragaman. Lalu DOC dimasukkan sebanyak 4 ekor per kandang.

Kandang terbuat dari kayu berukuran 1m x 1m x 1m dengan lantai diberi sekam padi kering (umur 1 hari -14 hari ), dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta dilengkapi dengan 1 buah lampu pijar berkekuatan 60 Watt untuk masing - masing kandang.

Sebagai pencegahan terhadap penyakit Tetelo (New Castle Disease) diberikan vaksinasi ND Strain Hitchner B1 yang dilakukan melalui tetes mata pada ayam umur empat hari, kemudian vaksinasi IBD (Gumboro) pada umur 12 hari melalui air minum, dan selanjutnya pengulangan vaksinasi ND Strain Lasota pada umur tiga minggu melalui tetes mata.

Pada umur 23 hari, lima perlakuan ayam (KP,KO,K1,K2,K3) diinfeksi dengan Eimeria tenella masing-masing sebanyak 10.000 ookista/ekor per oral.

Lima (5) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, diberikan perlakuan berupa larutan jahe sebanyak 1ml/ekor per oral (K1, K2, K3), dan aquadest (KP) selama 3 hari,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, hipotesis pada penelitian ini diterima atau dengan kata lain ada hubungan yang positif antara materialisme dan perilaku

5 Karya Supriatna Guru Kelas VI 6 Lin Herlian, S.Pd.SD Guru Kelas II 7 Desi Kurniasari, S.Pd.I Guru PAI 8 Elsa Wiganda, S.Pd.SD Guru Kelas III 9 Eka Mustikawati, S.Pd.I Guru Kelas

Penelitian ini dilakukan karena guru masih membutuhkan media pembelajaran dan adanya keterbatasan media yang tersedia di sekolah untuk menunjang proses pembelajaran

perundang- undangan yang mengatur pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.. perempuan dan anak. Berbagai istilah yang

Dalam rangka proses penyelesaian studi mahasiswa program Sarjana (S.1) Fakultas Syariah IAIN Samarinda, maka diharapkan kesediaan Bapak/ Ibu untuk memberikan bimbingan

Demikian juga halnya dengan perguruan tinggi yang sangat bertumpu pada human capital, perlu mengelola organisasi yang mendorong terbentuknya budaya knowledge creation,

Dalam rangka pelaksanaan Ujian Praktek Kerja lapangan (PKL) Fakultas Syariah IAIN Samarinda tahun akademik 2014/2015, maka diharapkan kesediaan Bapak/Ibu Dosen Supervisor

Dari hasil survei kecil ini dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi guru pengajar Akuntansi tingkat SMU/SMK adalah: (1) kurikulum pendidikan Akuntansi yang ada saat ini serta