• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE ROLE OF CELECOXIB IN INFLAMMATORY PAIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "THE ROLE OF CELECOXIB IN INFLAMMATORY PAIN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

THE ROLE OF CELECOXIB IN INFLAMMATORY PAIN

Blondina Marpaung

Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri merupakan problema medis yang tidak pernah berakhir yang merupakan masalah yang paling sering dirasakan oleh penderita penyakit reumatik.

Menurut laporan World Health Organization (WHO) gangguan musculoskeletal merupakan penyebab morbiditas yang paling sering terjadi di dunia modern dan prevalensinya terus meningkat serta sangat membahayakan. Hal ini dikarenakan hilangnya mobilitas persendian beserta fungsinya yang ditandai dengan nyeri kronis dan episodik dalam jangka waktu tertentu, yang menyebabkan gangguan psikologis dan menurunkan kualitas hidup.

Kejadian nyeri merupakan proses yang kompleks, mengikuti berbagai tahapan proses yang berawal dari pencederaan dari jaringan tepi lalu diteruskan ke susunanan saraf pusat dan dipersepsikan di korteks serebri sebagai nyeri. Nyeri akibat artritis dialami oleh banyak orang didunia. Pada artritis , saraf persendian menjadi tersensitisasi oleh stimulus mekanik melalui peran neuropeptida, eikosanoid, reseptor aktif proteinase, kanal ion dan perubahan plastisitas mayor yang terjadi pada sistem saraf pusat dan perifer yang menurunkan nilai ambang nyeri melibatkan alodinia dan hiperalgesia.

Disebutkan bahwa nyeri timbul pada persendian yang mengalami artritis melalui stimulasi yang disebut silent nociceptors. Serabut saraf aferen ini tidak tersensitisasi pada sendi normal. Sedangkan pada kerusakan jaringan atau induksi dari inflamasi, nosiseptor ini menjadi aktif dan mengirimkan informasi nociceptif pada sistem saraf pusat.

Nyeri akibat artritis umumnya berfokus pada aktivitas cyclooxygenase, di mana terdapat dalam dua bentuk cyclooxygenase (COX)-1 dan COX-2. Pada persendian, COX-2 tidak secara normal dihasilkan, tetapi ditemukan secara bermakna pada cairan sinovial, makrofag dan sel endotel pada pasien dengan artritis. Karena COX-2 adalah cyclooxygenase yang predominan didapatkan pada inflamasi, obat-obatan yang secara selektif menghambat aktivitas COX-2 dapat memberikan efek terapeutik yang lebih baik daripada obat anti inflamasi non steroid selektif (OAINS) non selektif. Terapi untuk menghilangkan nyeri saat ini yang dilakukan untuk mengatasi Pada makalah ini membahas peranan celecoxib dalam nyeri inflamasi.

Nyeri merupakan masalah yang paling sering dirasakan pada penderita penyakit reumatik.

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut Nyeri akibat artritis banyak dialami jutaan orang didunia. Pada artritis, saraf persendian menjadi tersensitisasi oleh stimulus mekanik melalui peran neuropeptida,eikosanoid, reseptor aktif proteinase, kanal ion dan perubahan plastisitas mayor yang terjadi pada sistem saraf pusat dan perifer yang menurunkan nilai ambang nyeri mengakibatkan alodinia dan hiperalgesia.

Nyeri akibat artritis berkaitan dengan beratnya gangguan fungsional dan penurunan kualitas hidup. Nyeri dapat bersifat akut maupun kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan pada saat tertentu dan bersifat sementara berlangsung hari sampai beberapa minggu yang diawali

(2)

oleh suatu peristiwa atau trauma. Nyeri akut pada pasien dengan penyakit reumatik dapat disebabkan oleh proses inflamasi atau proses lainnya seperti mekanik atau neuropatik. Inflamasi akut tanpa adanya trauma dapat disebabkan oleh infeksi, kristal monosodium urat, osteoartritis atau penyakit inflamasi kronis yang mengalami eksaserbasi akut seperti artritis reumatoid.

Penyebab non inflamasi adalah osteonekrosis, hemartrosis, dan nyeri mekanik. Nyeri akut non artikuler dapat terjadi infeksi (bursitis, atau selulitis), entesopati, tendinopati, jepitan saraf dan nyeri regional.

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung dalam beberapa bulan menunjukkan adanya mekanisme yang menetap akibat trauma pada jaringan. Nyerin kronis dapat merupakan akibat penyakit kronis dan proses pada nosisepsi yang menetap. Nyeri kronis dapat dipicu oleh trauma masa lalu. Rasa nyeri yang berkepanjangan dapat terjadi karena trauma pada saraf, kehilangan bagian tubuh, perubahan pada sistem saraf pusat yang menetap.

Nyeri artritis pada tingkat lokal disebabkan oleh pelepasan mediator dari sinovium, tulang atau jaringan lainnya yang kemudian menimbulkan sensitisasi pada reseptor nyeri sendi.Kaitan klinis dari sensitisasi tingkat perifer tersebut adalah terjadinya gejala muskuloskeletal yang terlokalisir dan berkaitan dengan rangsangan mekanik seperti berjalan atau berdiri.

Pada keadaan klinis seperti OA atau AR, sensitisasi saraf tidak terjadi di perifer. Pemrosesan nosiseptif spinal pada pasien artritis adalah di bawah pengaruh kontrol inhibisi desenden (desending inhibitory factor) dan mendapat input dari struktur somatik lainnya. Episode nyeri sebelumnya maupun faktor genetik tampaknya mempengaruhi aktivitas tersebut. Berbagai modalitas terapi seperti OAINS, akupungtur dan opioid mempunyai pengaruh pada tingkat tersebut.

Nyeri Inflamasi

Inflamasi dapat dikatakan sebagai penyebab utama nyeri akut, nyeri kronik, nyeri nosiseptif maupun nyeri neuropatik. Pada artritis menggambarkan adanya proses inflamasi.

Inflamasi sebenarnya merupakan proses proteksi dari jaringan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat akibat trauma maupun infeksi dan mempercepat proses penyembuhan.

Ciri khas inflamasi ialah rubor,kalor, tumor,dolor dan fungsiolaesa. Rubor dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi nosiseptor, dan berakhir dengan adanya fungsi jaringan yang mengalami inflamasi.

Perubahan nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi seperti bradikinin, prostaglandin, leukotrin, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun nyeri merupakan suatu gejala utama inflamasi tetapi sebagian besar penderitanya tidak mengeluh nyeri yang kontiniu. Kebanyakan penderita mengeluh nyeri, bila jaringan atau organ yang lesi, digerakkan atau diraba (perangsangan mekanik). Tiga mekanisme utama dalam patofisiologi nyeri adalah :

1. Sensitisasi perifer 2. Sensitisasi sentral 3. Disinhibisi sentral

(3)

The Pain Response

Tissue Damage

Transmission of the Pain Signal to the Brain

Activation of the Peripheral Nervous

System

Activation of the Central Nervous System at the Spinal Cord Level

Pain

Samad TA et al. Nature. 2001;410:471-5.

Gambar 1. Mekanisme nyeri

Nyeri akibat artritis umumnya difokuskan pada aktivitas cyclooxygenase (COX) dimana terdapat dalam dua bentuk COX-1 dan COX-2. Pada persendian, COX-2 tidak secara normal dihasilkan , tetapi ditemukan secara bermakna pada cairan sinovial,makrofag, dan sel endotel pada pasien dengan artritis. Karena COX-2 adalah cyclooxygenase yang dominan didapatkan pada inflamasi, obat-obatan yang secara selektif menghambat aktivitas COX-2 dapat memberikan efek terapi yang lebih baik dari pada OAINS non selektif.

COX-2 inhibitor selektif seperti celebrex dapat diberikan pada nyeri inflamasi baik pada artritis gout, artritis reumatoid dan ostoartritis. Efikasi dan safety dari Celebrex telah terbukti dari berbagai uji klinis yang telah dilakukan bila dibandingkan dengan plasebo atau OAINS lainnya.

PERANAN COX-2 INHIBITORS (COXIB) PADA NYERI INFLAMASI

Inflamasi dapat dikatakan sebagai penyebab utama nyeri akut, nyeri kronik, nyeri nosiseptif maupun nyeri neuropatik. Pada artritis menggambarkan adanya proses inflamasi.

Inflamasi sebenarnya merupakan proses proteksi dari jaringan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat, akibat trauma maupun infeksi dan mempercepat proses penyembuhan.

Inflamasi jaringan akan menyebabkan:

1. Prostaglandin diproduksi sebagai respon terhadap cedera jaringan dan meningkatkan sensitivitas nosiseptor.

2. Kemudian nosiseptor melepaskan substansi P, dimana terjadi dilatasi pembuluh darah dan meningkatkan pelepasan mediator inflamasi seperti bradikinin (menyebabkan kemerahan dan panas).

3. Substansi P juga mempromosikan degranulasi sel-sel mast yang melepaskan histamin (menyebabkan pembengkakan).

Gambar 2. Jaringan yang mengalami proses inflamasi

(4)

Nyeri akibat artritis umumnya difokuskan kepada aktifitas cyclooxygenase, dimana terdapat dalam dua bentuk cyclooxygenase (COX)-1 dan COX-2. COX-1 terutama dihasilkan sebagian besar sel , yang fungsinya adalah untuk mempertahankan proses fisiologis secara normal dalam jaringan. COX-1 terbanyak pada endoplasmic reticulum khususnya penting pada mukosa gaster, ginjal,, trombosit dan endotel pembuluh darah. COX-1 berperan memproduksi prostaglandin secara consecutive untuk mensekresi mediator ekstraselluler . Sebaliknya COX-2 meningkat selama inflamasi oleh berbagai mediator inflamasi seperti sitokin, dan oleh karena itu COX-2 seringkali disebut sebagai bentuk yang dapat diinduksi (meskipun COX-2 secara primer terdapat dalam otak dan ginjal).

COX-2 terbanyak pada membran inti sel untuk menghasilkan prostaglandin dalam rangka pembelahan, pertumbuhan dan differensiasi dari sel. Karena C0X -2 adalah cyclooxygenase yang predominan didapatkan pada inflamasi, obat-obatan yang secara selektif mengahambat aktifitas COX-2 (Coxib) dapat memberikan efek terapi yang lebih baik dari pada obat ainti inflamasi non steroid (OAINS) non selektif. Keuntungan menggunakan Coxib antara lain karena coxib mempunyai efek samping gastrointestinal yang lebih rendah dibanding OAINS tradisional lainnya.

PENATALAKSANAAN NYERI PADA ARTRITIS REUMOTOID

Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit inflamasi autoimmune kronik sistemik, khususnya mengenai sendi-sendi kecil yang menyebabkan destruksi sendi dan disabilitas.

Destruksi sendi umumnya terjadi pada dua tahun pertama. Pengoabatan aggressif yang lebih dini dengan DMARDs dibutuhkan untuk mencapai efek outcome jangka panjang yang terbaik.

Prevalensi AR ±1% di Amerika Serikat dan 0.2-0.6% di Asia, dimana perbandingan antara wanita dan pria adalah 3:1. Tujuan pengobatan AR adalah :

- Remisi

1. Mengatasi Nyeri

2. Mempertahankan fungsi sendi terhadap aktivitas harian dan kebutuhan 3. Mengotimalisasi kualitas hidup

4. Mencegah atau menghambat kerusakan sendi

• Edukasi

• Non farmakologik seperti diet, latihan, rehabilitasi

• Farmakologik : OAINS,DMARDs,Glukokortikoid

• Pembedahan

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)

- OAINS biasanya digunakan untuk memodifikasi simtom RA.

- Penggunaan OAINS direkomendasikan pada saat onset penyakit, ketika DMARDs yang baru mulai diperkenalkan , terkadang simtom terisolasi yang tidak terkontrol menetap meskipun respon terhadap DMARDs baik.

- Kebutuhan yang terus menerus terhadap penggunaan OAINS pada pasien dengan AR harus diinterpretasikan sebagai control yang tidak adekuat terhadap aktifitas inflamasi yang menyebabkan dilakukan penilaian kembali terhadap rejimen DMARDs.

- Seluruh OAINS harus digunakan dalam dosis penuh paling sedikit 1 minggu sebelum adanya pertimbangan bahwa terapi telah gagal. Sekali saja symptom terkontrol, maka dosis efektif minimum OAINS harus digunakan.

- Masih belum ada bukti bahwa beberapa OAINS lebih baik dibandingkan dengan OAINS yang lain, tetapi efek OAINS yang bervariasi terhadap toksisitas gastrointestinal, hati dan cardiorenal karena itu ketika memilih OAINS dan dosis dokter harus mempertimbangkan sejumlah faktor resiko secara individual.

- Sejumlah studi terhadap efikasi celecoxib pada AR antara lain :

(5)

• Uji klinis celecoxib dengan diclofenac selama 24 minggu pada AR yang dilakukan oleh Emery dkk tahun 1999, celecoxib diberikan dengan dosis 2x 200 mg (n=326) dan diclofenac SR 2X75 mg (n=329), hasilnya adalah rerata jumlah penurunan nyeri sendi/nyeri tekan lebih rendah signifikan pada grup celecoxib (p=0.012). Pada penelitian yang sama terhadap penilaian dokter dan pasien selama 24 minggu ternyata penilaian dokter dan pasien ekivalen antara celecoxib dan diclofenac, namun terhadap penurunan derajat nyeri yang dinilai dengan visual analog scale setelah 24 minggu celecoxib lebih rebdah signifikan dibanding diclofenac.

• Uji klinis selama 6 bulan terhadap pasien AR yang dilakukan oleh Shi dkk tahun 2004 dengan endpoint berhenti dari studi karena kurangnya efikasi obat, hasilnya tidak ada pasien yang keluar dari studi pada grup celecoxib 200mg/hari (n=55; 0%), grup diclofenac 75-100mg/hari (n=131; 6%), nabumetone 1000mg/hari (n=131; 7%) dan meloxicam 15 mg/hari (n=144 ; 4%). Pada studi yang sama dengan endpoint timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan pada grup celecoxib menunjukkan insidensi reaksi obat yang tidak diinginkan lebih rendah signifikan (7,3%) dibanding diclofenac (31.9%), nabumatone (19,9%) dan meloxicam (25,2%)

PENATALAKSANAAN NYERI PADA OSTEOARTRITIS

Osteoartritis (OA) yang didefinisikan oleh American College of Rheumatology (ACR) merupakan kumpulan kondisi yang berpengaruh pada sendi dengan tanda dan gejala berhubungan dengan rusaknya integritas kartilago artrikuler. OA merupakan salah satu penyakit sendi sinovial terbanyak yang ditemukan di masyarakat, baik di Indonesia atau belahan dunia lainnya.

Osteoartritis terutama mengenai mereka di usia pertengahan dan lanjut, serta akan menjadi masalah kesehatan penting di masyarakat seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup. WHO memperkirakan 10% dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini, sedangkan pada penduduk Amerika Serikat berumur 25 sampai 75 tahun diperkirakan 12,1% mempunyai tanda dan gejala klinik OA.

Di Indonesia OA merupakan jenis rematik yang paling banyak ditemukan. Di kabupaten Malang dan Kotamadya Malang ditemukan prevalensi sebesar 10.0% dan 13.5%. Sedangkan di poliklinik Sub bagian Reumatologi FKUSU/RSHAM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit rematik.

Dampak ekonomi, psikologi dan sosial dari OA sangat besar, tidak hanya untuk penderita tetapi juga keluarga dan lingkungannya dan diperkirakan biaya nasional untuk semua artritis sebesar 1% dari GNP (Gross National Product). Di Australia biaya medik yang dikeluarkan adalah sebesar AUS$ 2.700/orang/tahun.

Sendi penyanggah berat tubuh seperti panggul dan lutut merupakan sendi yang paling sering terkena OA. Nyeri sendi, disertai pembengkakan sendi hingga efusi, berkurangnya lingkup gerak sendi dan kekakuan sendi merupakan manifestasi penyakit ini. Gangguan biologis dan mekanis akan menyebabkan gangguan keseimbangan sintesa dan kerusakan tulang rawan. Dalam proses inflamasi tersebut akan melibatkan berbagai mediator. Adanya respon inflamasi memicu rangkaian enzimatik yang berakhir dengan kerusakan rawan sendi sebagai target kerusakan pada patogenesis OA.

Penatalaksanaan OA sampai saat ini lebih banyak dilakukan untuk mengatasi rasa nyeri, inflamasi dan perbaikan fungsi sendi (symptoms modification). Penatalaksanaan OA di Indonesia berdasarkan rekomendasi dari IRA tahun 2003 terdiri dari 4 pilar utama yaitu edukasi, program rehabilitasi medik (terapi fisik, alat bantu untuk berjalan), terapi farmakologik dan terapi pembedahan.

Berbagai modalitas farmakologik dalam penatalaksanaan OA antara lain : 1. Analgetik seperti asetaminofen,OAINS, tramadol dan opioid 2. Topikal seperti OAINS topical

3. Injeksi intraartikular seperti kortikosteroid, hylauronan

(6)

4. Symptomatik slow acting drugs seperti glukosamin sulfate, chondroitin sulfate dan diacerein..

Obat yang sering diberikan untuk tujuan mengatasi rasa nyeri adalah kelompok OAINS.

Limitasi pemakaian OAINS tidak terlepas dari kendala efek samping terhadap sistim gastrointestinal, kardiovaskular dan dampak buruk terhadap rawan sendi.

REKOMENDASI OARSI MANAGEMENT UNTUK OA LUTUT DAN PANGGUL (2008) 1. Managemen optimal OA membutuhkan kombinasi modalitas farmakologi dan non

farmakologi. SOR : 96% (CI :93-99).

2. Pasien dengan OA lutut dan panggul harus didukung untuk melakukan kegiatan, meneruskan segala kegiatan, aerobic regular, latihan kekuatan otot dan ruang gerak sendi.

Sor :96% (CI :93-99).

3. Pasien dengan OA lutut dan panggul dengan berat badan yang berlebih, harus didukung untuk menurunkan berat bahan dan mempertahankan berat badan ke level terendah. SOR :96% (95% CI :92-100).

4. Asetaminofen efek sebagai anelgesik yang pertama untuk mengatasi nyeri ringan-sedang pada pasien dengan OA lutut atau panggul. Tidak adanya respon adekuat terhadap nyeri berat dan/atau inflamasi, terapi farmakologik harus dipertimbangkan berdasarkan efikasi dan safety yang relative, sama seperti hal-hal yang bersamaan dengan pengobatan dan komorbiditas. SOR :92% (95%CI : 88-99).

5. Pada pasien dengan dengan OA lutut atau panggul, OAINS harus digunakan dengan dosis efektif yang paling rendah tetapi penggunaan OAINS jangka panjang harus dihindari jika mungkin. SOR :93% (95% CI :88-99).

6. Injeksi intraartikular dengan kortikosteroid dapat digunakan dalam pengobatan OA lutut dan panggul, dan harus dipertimbangkan terutama ketika pasien mengalami nyeri yang moderat sampai berat yang tidak memberikan respon yang menyenangkan terhadap obat antiinflamasi /analgesik oral dan pasien OA lutut simptomatik dengan effusi atau tanda- tanda fisik lokal inflamasi yang lain. SOR : 78% (95% CI : 61-95).

7. Injeksi hyaluronate intraartikular dapat digunakan untuk pengobatan OA lutut dan panggul. Yang dikarakteristikan dengan memperlambat onset, tetapi masanya diperpanjang, keuntungan simtomatik jika dibandingkan dengan injeksikortikosteroid intraartikular. SOR : 64% (95% CI : 43-85).

EFIKASI CELECOXIB PADA OSTEOARTRITIS

OAINS biasanya dipakai untuk mengatasi simtom nyeri pada OA. Beberapa studi yang menunjukkan efikasi celecoxib pada OA antara lain :

• Uji klinis yang dilakukan oleh Mc Kenna dan kawan-kawan tahun 2001 selama 6 minggu dengan endpoint perubahan rerata penilaian nyeri pasien yang diukur dengan VAS setelah 6 minggu yang diberikan plasebo (n=200), celecoxib 2x100 mg (n=199) dan diclofenac 3x50mg (n=199). Hasilnya adalah rerata perubahan nilai VAS lebih tinggi signifikan pada grup celecoxib (34.5) dan diclofenac (36.8) dibanding dengan plasebo (23.1) dengan nilai p =0.01.

• Uji klinis yang sama berdasarkan pengukuran nyeri American Pain Society, pada hari 1-7 menunjukkan penurunan rerata perubahan skor nyeri yang signifikan pada grup celecoxib dan diclofenac dibanding plasebo (p=0.05).

• Uji klinis OA selama 12 minggu yang dilakukan Pincus dan kawan-kawan pada tahun 2004 menunjukkan bahwa persentase pasien yang memilih pengobatan celecoxib 1x200mg lebih tinggi signifikan dibanding parasetamol 4x1000mg (52.6% vs 24.3% p<0.001).

EFIKASI CELECOXIB PADA NYERI AKUT YANG LAIN

• Uji klinis yang dilakukan oleh Naradjah dan kawan-kawan pada tahun 2006 terhadap pasien sprain ankle akut yang membandingkan antara terapi celecoxib dan diclofenac hasilnya adalah

(7)

celecoxib dan diclofenac ekivalen dalam penyembuhan pasien dan penurunan derajat nyeri yang dinilai dengan VAS.

• Uji klinis yang dilakukan oleh Rehla dan kawan-kawan pada tahun 2008 terhadap pasien nyeri punggung akut terhadap perubahan nilai VAS baseline yang dibandingkan antara grup celecoxib 2x200mg (n=123) dan diclofenac 2x75mg(n=121). Hasilnya adalah penurunan nilai VAS ekivalen antara kedua grup pada hari ketiga dan ketujuh.

KEAMANAN DAN TOLERABILITAS CELECOXIB TERHADAP KARDIOVASKULAR Beberapa uji klinis telah menunjukkan keamanan celecoxib dibandingkan dengan OAINS lain terhadap profile kardiovaskular. Metaanalisis yang dilakukan oleh White dan kawan-kawan pada tahun 2007 terhadap keamanan profile kardiovaskular celecoxib vs ns OAINS sebelum dilakukan adjustment menunjukkan bahwa resiko relatif celecoxib 100mg,200mg,400mg,800mg dibanding ns OAINS berturut -turut adalah 0.86(95% CI 0.59-1.26); 0.93(95% CI 0.52-1.68); 0.75 (95% CI 0.34-1.67) dan 0.91 (95% CI 0.53-1.58). Kemudian setelah dilakukan adjustment resiko relatif celecoxib 100mg,200mg,400mg,800mg dibanding ns OAINS berturut-turut adalah 0.90 (95% CI 0.60-1.33); 0.82(95% CI 0.52 -1.56); 0.89 (95% CI 0.40-1.98) dan 0.95 (95% CI 0.55- 1.66). Pada metaaanalisis yang sama menunjukkan insidens gabungan anti platelet trialists’

collaboration, mortalitas kardiovascular dan stroke non fatal lebih rendah pada grup ceelcoxib dibanding ns OAINS namun kejadian infark miokard non fatal lebih tinggi pada grup celecoxib.

Uji klinis yang dilakukan oleh Schwartz dan kawan-kawan pada tahun 2007 terhadap pasien yang mendapatkan terapi celecoxib 2x200mg, naproxen 2x500mg dan etoricoxib 1x90mg terhadap rerata perubahan tekanan darah sistolik setelah periode 24 jam diantara 1-14 hari celecoxib hanya menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap tekanan darah sistolik dibanding plasebo bila dibandingkan dengan naproxen dan etoricoxib. Etoricoxib menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap perubahan tekanan darah sistolik dibanding plasebo,baseline, celecoxib dan naproxen.

KEAMANAN DAN TOLERABILITAS CELECOXIB TERHADAP GASTROINTESTINAL

Beberapa uji klinis telah menunjukkan keamanan celecoxib terhadap gastrointestinal yang membendingkankannya dengan OAINS lain. Uji klinis yang dilakukan oleh Singh dan kawan- kawan pada tahun 2006 yang membandingkan celecoxib (n=8800) dan ns-OAINS (n=4394) tehadap insidens komplikasi ulkus dan komplikasi ulkus/ulkus simptomatik, hasilnya adalah bahwa pada grup celecoxib kesempatan untuk timbulnya komplikasi ulkus per 100 pasien-tahun 7x lebih rendah dibanding dengan ns OAINS pada pasien OA.

Uji klinis yang dilakukan Rostom dan kawan-kawan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa grup celecoxib terjadi penurunan 77% resiko relative perforasi,obstruksi atau perdarahan (RR : 0.23;95% CI : 0.07-0.76, random effects) dan 61% resiko relative perforasi,obstruksi , perdarahan atau adanya ulkus simptomatik (RR : 0.39 ; 95% CI : 0.21-0.73, random effects).

Studi yang dilakukan oleh Feng dan kawan -kawan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa insidens ulkus gastrointestinal ekivalen antara grup celecoxib (n=463; 3.3%) dengan grup plasebo (n=473; 3.7%).

Studi yang dilakukan oleh Moore dan kawan-kawan pada tahun 2007 yang membandingkan coxib dengan ns-OAINS terhadap tingkat kejadian gastrointestinal dan kardiovaskular menunjukkan bahwa pada komplikasi gastrointestinal per 1000 pasien per tahun 12 kali lebih sedikit pada grup celecoxib dibanding dengan ns-OAINS dan komplikasi serangan jantung atau stroke fatal/non fatal 2 kali lebih sedikit pada grup celecoxib dibanding dengan ns- OAINS.

(8)

KEAMANAN DAN TOLERABILITAS CELECOXIB TERHADAP EFEK LAIN YANG TIDAK DIINGINKAN

Uji klinis acak, tersamar ganda, prospektif selama 6 bulan yang dilakukan oleh Chan dan kawan-kawan pada tahun 2002 yang membandingkan celecoxib (n=144) dengan diclofenac + omeprazol (n=143) terhadap insiden efek samping yang timbul terhadap ginjal menunjukkan bahwa insisdensi kejadian efek samping terhadap ginjal lebih rendah pada grup celecoxib (24.3%) dibanding dengan grup diclofenac + omeprazol (30.8%).

Uji klinis yang dilakukan oleh Sanchez-Matienzo dan kawan-kawan pada tahun 2006 terhadap prevalensi kejadian hepatic menunjukkan bahwa kejadian hepatic pada grup ibuprofen lebih rendah (0.21%) kemudian celecoxib (0.24%), piroxicam (0.31%), etodolac (0.37%),meloxicam (0.5%), ketoprofen (0.59%) dan diclofenac ( 0.97%).

Uji klinis multisenter, acak, tersamar ganda dan parallel selama 1 tahun oleh Dahlberg dan kawan-kawan pada tahun 2009 untuk menilai efek lain yang tidak diinginkan yang dihubungkan dengan angka penghentian terapi celecoxib 1x200mg dan diclofenac 2x50mg pada pasien OA usia lanjut menunjukkan bahwa insidens efek yang tidak diinginkan terhadap kardiovaskular dan ginjal lebih sedikit signifikan pada grup celecoxib dibanding diclofenac (70/458 vs 95/458; p=0.039) dan insidens efek yang tidak diinginkan terhadap hepatic juga lebih sedikit signifikan pada grup grup celecoxib dibanding diclofenac (10/458 vs 39/458; p<0.0001).

KESIMPULAN

• Nyeri nosiseptif (inflamasi) merupakan bentuk nyeri yang umumnya dijumpai pada penyakit rematik yang harus dimanegmen secara komprehensiv.

• OAINS merupakan modalitas yang digunakan untuk managemen nyeri inflamasi.

• Masih belum terbukti adanya OAINS yang lebih baik efikasinya dibanding yang lain, tetapi masing-masing bervariasi terhadap potensinya pada toksisitas saluran gastrointestinal, liver dan cardiorenal sehingga para dokter harus memeprtimbangkan segala faktor resiko pasien secara individual.

• Celecoxib (COX-2 selective inhibitor) memiliki efikasi yang sebanding tetapi keamanan terhadap gastrointestinal lebih baik dibanding dengan OAINS non selektif.

• Celecoxib telah disetujui penggunaannya oleh BPOM untuk penanganan nyeri inflamasi kronik (seperti OA dan RA) dan hanya celecoxib yang disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk bermacam-macam indikasi dari nyeri akut sampai nyeri kronik.

• Celecoxib terbukti memiliki efikasi yang baik untuk OA, RA, nyeri akut paska operasi dan nyeri akut lainnya.

• Celecoxib ditoleransi dengan baik seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa studi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bevan S. 1999. Nociceptive peripheral neurons cellular properties. In: Wall PD. Melzack R.

(eds). Textbook of Pain. 4 th Ed. Churchill livingstone.

2. Byers MR. Bonica JJ. 2001. Peripheral pain mechanisms and nociceptor plasticity. In: Loeser JD, et al (eds) Bonica’s Management of Pain. Lippincott William & Wilkins Philadelphia. pp 27-72.

3. Cervero F and Laird JMA. 1996. From acute to chronic pain : Mechanisms and hypothesis.

In : Carli G and Zimmermann. (eds) Progress in Brain Research. Vol 110. Elsevier.

Amsterdam.

4. Levin J and Taiwo J. 1994. Inflammatory pain. In : Melzack R. Wall PD. (eds). Textbook of Pain. 4th Ed. Churchill livingstone. London.

(9)

5. Levine JD. Reichling DB. 1999. Peripheral mechanisms of inflammatory pain. In : Wall PD.

Melzack R. (eds). Textbook of pain. 4th Ed. Churchill livingstone. London.

6. Mapp P. Stevens CR. Balke DR. 1998. The physiology of the joints and its disturbance in inflammation. In: Maddison Pj. Iseberg DA. Woo P and Glass DN. Editors. Oxford textbook of rheumatology. 2nd Ed. Oxford: Oxford University Press : pp 441-454.

7. McDougall JJ. 2006. Arthritis and pain : Neurogenic origin of joint pain. Arthritis research and therapy ; 8:220.

8. Shaible HG. 1998. The neurophysiology of pain. In: Maddison PJ. Iseberg DA. Woo P and Glass DN. Editors. Oxford textbook of rheumatology. 2nd Ed. Oxford : Oxford University Press : pp 487-99.

9. Woolf CJ. 2004: Pain: Moving from symptom control toward mechanism specific pharmacologic management. Ann Intern Med : 140:441-451.

10. Yaskh TL and Svensson C.2001. Role of spinal cyclooxygenase in nociceptive processing. In : Vane JR. Botting RM.editors. Therapeutic rule of selective COX-2 inhibitors. Cambridge : William Havey Press:pp 168-70.

11. Sanchez-Matienzo D et al.2006. Hepatic disorders in patients treated with COX-2 selective inhibitors or nonselective NSAIDs: A case/noncase analysis of spontaneous reports. ClinTher 2006;28:1123-1132.

12. Dahlberg LE, Holme I, Hoye K, et al. 2009. A randomized, multicentre, double-blind, parallel-group study to assess the adverse event-related discontinuation rate with celecoxib and diclofenac in elderly patients with osteoarthritis. Scandinavian Journal of Rheumatology 2009;38:133-143.

13. Chan FKL et al. 2002. Celecoxib versus Diclofenac and Omeprazole in Reducing the Risk of Recurrent Ulcer Bleeding in Patients with Arthritis . N Engl J Med;347:2104 -2110.

14. Moore RA et al. 2007. Cyclo-oxygenase-2 selective inhibitors and nonsteroidal anti- inflammatory drugs: balancing gastrointestinal and cardiovascular risk. BMC MusculoskeletDisord; 8:73.

15. Rostom A et al. 2007. Rostom A, Muir K, Dube C, et al. Gastrointestinal safety of cyclooxygenase-2 inhibitors: a Cochrane Collaboration systematic review. [Review] [99 refs]. Clinical Gastroenterology & Hepatology; 5:818-828.

16. Singh G, Fort JG, Goldstein JL, et al. 2006. Celecoxib versus naproxen and diclofenac in osteoarthritis patients: SUCCESS-I study. Am J Med.;119:255-266.

17. White WB, West CR, Borer JS, et al. 2007. Risk of cardiovascular events in patients receiving celecoxib: a meta-analysis of randomized clinical trials. Am J Cardiol; 99:91-98 18. Loeser JD, Treede RD. 2008. The Kyoto Protocol of IASP Basic Pain Terminology. Pain

;137:473-477.

19. Raja et al. in Wall PD, Melzack R (Eds). 1999. Textbook of pain. 4th Ed.;11-57.

20. Woolf CJ. Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management. 2004. Ann Intern Med ;140:441-451.

21. Dahaghin,S, Bierna-Zeinstra, Reijman, M. et al. 2005. Prevalence and determinants of one moth hand pain and hand related disability in the elderly (Roterdam study). Ann Rheum Dis.

64:99-104

22. Puttini, PS.; Cimmino, MA.; Scarpa, R. .; et al.: Osteoarthritis: An overvies of the disease and its treatment strategies. 2006. Seminars in Arthritis and Rheumatism 35 (suppl 1):1-10 23. Sharma, L. Epidemiology of osteoarthritis. In.:Moskowitz RW, Howell DS. Altman RD,

Bucwalter JA, Goldberg VM. Eds. 2001. Osteoarthritis, 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company. 3-27

24. WHO Scientific Group. The burden of musculoskeletal condition at the start of the new millennium. 2003. WHO Technical Report Series 919. Geneva: World Health Organization.

25. Jordan, KM.; Ardin, NK.; Doherty, M.; et al.: EULAR recommendation 2003: an evidence based approach to the management of knee osteoarthritis; report of a Task Force of the Standing Committee for International Clinical Including Therapeutics Trials (ESCISIT). Ann Rheum Dis. 62:1145-55.

(10)

26. Kalim, H. Pengembangan reumatologi dalam menjawab tantangan masalah kesehatan pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJT II). Pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam di FK Universitas Brawidjaja. Malang: FK Unibraw.

(1994).

27. Lapsley, HM.; March, LM.; Tribe, KL. : Living with osteoarthritis: patient expenditures, health status and social impact. Arthritis Res. 45:301-6 (2001).

28. Soeroso, J. Patogenesis osteoarthritis: Proses degeneratif atau inflamatif ? Dalam: Setiyohadi B, Kasjmir YI, eds, Temu Ilmiah Reumatologi. Jakarta: Ikatan Reumatologi Indonesia Cabang Jakarta. hal. 110-3 (2002).

29. Rintelen, B.; Neuman, K.; Lebb, BF. : A Meta-analysis of controlled clinical studies with diacerin in the treatment of osteoarthritis. Arch Intern Med. 166:1899-1906 (2006).

30. Hochberg, MC.; Altman, RD.; Brand, KD.; et al.: Guidelines for the medical management of osteoarthritis, I: Osteoarthritis of the knee. Arthritis Rheum. 38:1541-6 (1995).

31. Cohen ML. Acute Rheumatology and inflammatory pain. In : Rowbotham DJ and Macintyre PE (Eds). Clinical Pain Management. Acute Pain. London : Oxford University Press

2003;393-402.

32. Hans-Georg Schaible. Scientific basis of pain. In : Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS et al (Eds). Rheumatology 4th ed. Mosby Elsevier 2004; 177-181.

33. Kidd BL,Langford RM, Wodehouse T. Current approaches in the treatment arthritic pain.

Arthritis Research & Therapy 2007;9:214.

34. Loeser JD. The current issues in pain management. In : Von Roenn JH et al. Current diagnosis and treatment of pain. New York :McGraw Hill 2006:4-5.

35. Mason L, Moore RA,Edwards JE, et al. Topical NSAIDs for chronic musculosceletal pain : systematic review and meta analysis. BMC Musculosceletal Disord 2004;5:28-36.

36. Sprangers MA, de Regt EB, Andries F, et al. Which chronic conditions are associated with better or poorer quality of life? J Clin Epidemiol 2000;53:895-907.

37. Witter J, Dionne RA. What can chronic arthritis pain teach about developing new analgesic drugs? Arthritis Res Ter 200;6:279-281

38. Levin JD. Peripheral mechanisms of Inflammatory pain. In : Wall PD. Melzack R. (eds).

Textbook of pain. 4th

39. Meliala L. Terapi rasional nyeri. Medika Gama Press. Yogyakarta.

Ed. Churchill Livingstone.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan suatu masalah dalam kelompok, sehingga tidak terjadi kegiatan diskusi antar siswa, tidak terjadi pertukaran

menentukan sebuah ide penelitian dengan pertimbangan- pertimbangan yang tepat.. • Set a high bar

The overall goal of this study was the measurement of a digital surface model of the area by use of aerial imagery taken with a small format camera and a micro UAS as sensor

- Penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik Lokasi Kegiatan : Kec.Bantimurung. Jumlah Tahun n-1

The system worked at 3.7-4.8 µm has achieved the zoom range of International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-1/W2,

Peserta didik melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dari hasil percobaan dan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan hasil pembelajaran terkait materi yang

While mining rehabilitation has defined spatial extents, establishing ground control density sufficient for centimetre accuracy in photogrammetry (Harwin and Lucieer, 2012) will

visual yang digunakan sebagai dasar berpijak dalam penciptaan Tugas Akhir Kekaryaan ini adalah busana wanita dengan bahan dasar batik dan busana wanita dengan bahan dasar