• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

Batasan PGK pada pedoman K/DOQI adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG), seperti terlihat pada Tabel 2.1 (K/ DOQI, 2002).

Tabel 2.1 Kriteria PGK (Suwitra, 2009).

Kriteria PGK

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

Kelainan patologis

Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

(2)

commit to user

Klasifikasi stadium pada individu dengan PGK ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah (Tabel 2.2) (Suwitra, 2009).

Tabel 2.2 Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit (Suwitra, 2009).

Derajat Penjelasan LFG

1

2 3 4 5

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat Gagal ginjal

60 - 89 30 - 59 15 - 29

< 15 / dialisa

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2009) :

LFG (60 ml/menit/1,73m2) =

*) pada perempuan dikalikan 0,85

B. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis

Beberapa etiologi PGK yang sering kita jumpai, diantaranya adalah : glomerulonefritis baik primer maupun sekunder, penyakit ginjal herediter, hipertensi esensial, uropati obstruktif, infeksi saluran kemih dan ginjal (Sukandar, 2006).

72 x kreatinin (140-umur) x berat

(3)

commit to user

Etiologi PGK sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.

Di Amerika Serikat penyebab utama PGK dibagi menjadi diabetes dan non- diabetes dengan etiologi terbanyak adalah diabetes (44%) disusul dengan hipertensi (27%), sedangkan di Indonesia etiologi PGK terbanyak disebabkan oleh glomerulonefritis (46,39%) disusul dengan diabetes (18,65%) (Suwitra, 2009).

Keterbatasan penatalaksanaan penderita PGK terutama stadium V tercermin dari rendahnya harapan hidup bagi penderita PGK yang menjalani dialisis dibanding dengan populasi normal. Di Amerika Serikat, harapan hidup seorang penderita PGK usia 45 tahun yang rutin menjalani dialisis berkisar 6 tahun sedangkan harapan hidup populasi bukan PGK di usia yang sama mencapai 32-36 tahun (Eustace dan Koresh, 2005). Kematian pada pasien PGK sebagian besar disebabkan karena komplikasi kardiovaskuler terutama terkait dengan aterosklerosis (Schoppet et al, 2008).

C. Penyakit Ginjal Kronis dan Resiko Kardiovaskuler

Pasien PGK memiliki resiko tinggi terkena penyakit kardiovaskuler (PKV) yang disebabkan oleh faktor risiko klasik dan non klasik tetapi mekanisme spesifik penyebab meningkatnya PKV belum diketahui dengan baik. Penyakit kardiovaskuler pada penderita PGK umumnya disebabkan karena proses aterosklerosis. Penyakit ginjal kronis menstimulasi akumulasi toksin uremik, produksi ROS, AGEs (Advanced Glycation End Products), AOPP (Advanced Oxidation Protein Products) serta gangguan metabolisme mineral sehingga menstimulasi sitokin proinflamasi sistemik seperti TNF- dan IL-1, merangsang

(4)

commit to user

pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon vaskuler (MCP-1, IL-1 , sICAM- 1) yang nantinya akan menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan plak serta mempercepat terjadinya aterosklerosis seperti terlihat pada Gambar 2.1 (William, 2012).

Gambar 2.1. Mekanisme penyakit kardiovaskuler dan disfungsi endotel pada penyakit ginjal kronis (William, 2012).

Pasien dengan akumulasi toksin uremik yang disebabkan baik oleh faktor- faktor renal maupun non renal, faktor-faktor klasik pada PGK terkait dialisis menyebabkan disfungsi endotel serta pelepasan sitokin proinflamasi yang pada akhirnya mempercepat terjadinya aterosklerosis seperti pada Gambar 2.2 (Santoro dan Mancini, 2002).

(5)

commit to user

Gambar 2.2. Faktor resiko aterosklerosis pada uremia (Santoro dan Mancini, 2002)

D. Pengaruh CAPD Jangka Panjang

Saat ini continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) merupakan salah satu bentuk dialisis yang menjadi pilihan bagi pasien anak, usia lanjut dan pasien nefropati diabetikum. Penggunaan yang sederhana, perasaan aman karena tidak tergantung mesin, perasaan nyaman dan tidak diperlukannya akses vaskuler serta kebebasan pasien merupakan daya tarik bagi dokter dan penderita (Burkart, 2004).

CAPD menggunakan cairan dekstrose pada dialisat yang berfungsi menarik air dari sirkulasi darah menuju ruang peritoneum melalui proses osmosis.

Dekstrose berfungsi sebagai zat osmotik dengan berbagai jenis konsentrasi

KLASIK Hipertensi Hiperlipidemia Diabetes Merokok

TERKAIT-UREMIA

Radikal bebas Hiperhomosisteinemia Infeksi: herpes, klamidia Asidosis

Toksin

TERKAIT-DIALISIS Bioinkompatibilitas Infeksi

Endotoksin

DISFUNGSI ENDOTEL

PELEPASAN SITOKIN PROINFLAMASI

PROTEIN REAKTAN FASE AKUT RP, SAA, FIBRINOGEN) RESPON INFLAMASI SISTEMIK PERCEPATAN ATEROSKLEROSIS

(6)

commit to user

diantaranya 1.5%, 2,5% dan 4.25%. Cairan peritoneal berisi elektrolit, laktat (berperan sebagai penyangga) yang diserap melalui sistem sirkulasi darah dan diubah menjadi bikarbonat dalam liver (Sukandar, 2006).

Berbagai faktor berpotensi memicu timbulnya inflamasi jauh sebelum tindakan CAPD dilakukan. Faktor tersebut diantaranya : toksin uremik, akumulasi protein termodifikasi seperti advanced oxidation protein products, retensi sitokin proinflamasi dan stres mekanik pada dinding vaskuler akibat hipertensi. Tindakan CAPD juga memicu faktor-faktor lain sehingga menginduksi inflamasi dan stres oksidatif. Faktor-faktor tersebut antara lain infeksi terkait dengan CAPD, absorbsi glucose degradation products (GDP) yang terdapat pada dialisat, asidosis intraperitoneal sementara, inflamasi serta stres oksidatif intraperitoneal. Selama CAPD dengan cairan berbasis glukosa, absorbsi glukosa yang berlangsung secara terus menerus dari dialisat menyebabkan munculnya gangguan metabolisme karbohidrat, peningkatan akumulasi lemak sentral, timbulnya resistensi insulin, steatosis hepatis dan disfungsi endotel serta berakibat peningkatan konsentrasi molekul adesi plasma, kemokin dan penanda inflamasi (Fortes et al, 2007).

E. Toksin Uremik

Kegagalan filtrasi glomerulus membersihkan molekul dengan berat kurang dari 58 kDa pada kondisi PGK menyebabkan penimbunan metabolit organik yang berasal dari protein, asam lemak dan karbohidrat yang pada akhirnya menimbulkan kondisi toksin uremik. Timbunan uremik dibagi berdasarkan berat molekulnya menjadi low molecule dengan berat molekul < 500 Dalton dan middle

(7)

commit to user

molecule dengan berat molekul > 500 Dalton. Beberapa contoh toksin uremik tercantum dalam tabel 2.3. (Raymond, 2005)

Tabel 2.3. Toksin uremik dan berat molekulnya (Raymond, 2005)

Komponen Berat Molekul (Dalton)

ADMA/SDMA

Carboxymethyllysine Endotelin

Homosistein Imidazolon Leptin

Methylguanidine Urea

Uric Acid

202 11818 188 4283 135 203 16000 73 60 168

Terbentuknya Advanced Glycation End Products (AGEs) berasal dari glukosa yang mengalami reaksi non-enzimatik dengan asam amino bebas membentuk basa Schiff yang reversibel (terjadi dalam hitungan hari), produk Amadori (terjadi dalam hitungan minggu) dan kemudian dirubah menjadi AGEs.

Beberapa AGEs termasuk middle molecule dengan berat molekul 2000-6000 Dalton walaupun prekursor AGEs seperti pentosidine dan carboxymethyllysine memiliki berat molekul yang rendah. Pembentukan AGEs pada pasien PGK disebabkan stres oksidatif dan bersihan prekursor AGEs yang berkurang sedangkan timbulnya AGEs pada PGK yang menjalani CAPD disebabkan oleh karena paparan konsentrasi tinggi glukosa pada cairan dialisat dalam jangka panjang maupun efek dari sterilisasi cairan dialisat yang menghasilkan glucose

(8)

commit to user

degradation products (GDP). AGEs berperan penting pada proses aterosklerosis pada penderita PGK (Natasha, 2010).

Advanced Oxidation Protein Products (AOPP) ditemukan dalam plasma penderita PGK yang menjalani dialisis dan merupakan penanda stres oksidatif dan penanda mediator inflamasi berdasarkan aktifasi monosit. AOPP terbentuk selama stres oksidatif oleh oksidasi klorinasi terutama asam hipoklorin dan kloramin yang dihasilkan oleh myeloperoxidase netrofil. Struktur dan aktifitas biologinya menyerupai AGEs (Witko et al, 2003)

F. Inflamasi pada Penyakit Ginjal Kronis

Inflamasi sering dijumpai pada penyakit ginjal stadium akhir tanpa adanya infeksi akut atau penyakit sistemik aktif. Peningkatan kadar CRP serum terdapat pada lebih dari 70% pasien CAPD dan berkorelasi dengan prevalensi PKV yang tinggi pada populasi tersebut. Hal tersebut tidak terbatas pada pasien penyakit ginjal stadium akhir yang telah menjalani CAPD, bahkan pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-tanda mikro-inflamasi (Sarnak, 2003). Penurunan klirens sitokin proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload, dan stres oksidatif berkontribusi pada fenomena tersebut (Alscher et al, 2005).

Faktor pada CAPD yang berperan terhadap terjadinya inflamasi antara lain penggunaan cairan dialisat yang bioincompatible dan adanya infeksi terkait dialisis peritoneal yang berakibat peningkatan sitokin proinflamasi dari peritoneum (Alscher et al, 2005).

(9)

commit to user

Inflamasi juga mempercepat pembentukan, perkembangan dan rupturnya plak aterosklerosis (Stoneman dan Bennet, 2004)

G. Stres Oksidatif pada Penyakit Ginjal Kronis

Ketidakseimbangan antara produksi oksidan (ROS) dan antioksidan menghasilkan kondisi stres oksidatif yang timbul sebagai akibat defisiensi antioksidan (seperti glutation, askorbat a -tokoferol) ataupun peningkatan pembentukan ROS seperti asam hipoklorin (HOCL), peroksinitrit (OONO-) atau anion superoksida (Nanayakkara dan Gaillard, 2010; Purwanto, 2010). Oxidized low-density lipoprotein (LDL) diyakini sebagai langkah kunci dalam dimulainya proses aterosklerosis sehingga stres oksidatif juga diyakini sebagai salah satu mekanisme peningkatan risiko kardiovaskuler pada PGK (Himmelfarb et al, 2002).

Pada penyakit reno-kardio-serebro-vaskuler, peningkatan produksi superoksida sangat berperan pada penurunan bioaktivitas nitritoxide (NO) dan disfungsi endotel yang bersifat sistemik. Pada pembuluh darah manusia, peningkatan produksi superoksida dapat mengganggu kemampuan vasorelaksasi yang diperantarai oleh NO. Pembersihan superoksida dapat mengembalikan vasomotor yang endothelium-dependent pada binatang coba dan aterosklerosis.

Pada penderita penyakit ginjal, jantung dan stroke, aktivitas SOD (superoxide dismutase) endotel secara nyata mengalami penurunan, sehingga mengakibatkan disfungsi endotel sistemik (Purwanto, 2012)

(10)

commit to user

Gambar 2.3. Produksi sitokin dan kemokin pada paparan cairan dialisa peritoneal (Schilte et al, 2009).

Ketersediaan NO pada disfungsi ginjal mengalami gangguan karena peningkatan kadar ADMA. Angiotensin II (Ang II) menstimulasi pembentukan ROS intraseluler seperti hidrogen peroksida dan anion superoksida. Ang II mengaktifkan beberapa subunit NAD(P)H oksidase dan juga meningkatkan pembentukan ROS di dalam mitokondria. Peningkatan O2-, yang dibentuk oleh NADPH oksidase dan xanthin oxidase akan menurunkan ketersediaan NO, menginduksi disfungsi sel endotel dan sel otot polos vaskuler. Superoksida juga bereaksi dengan NO untuk membentuk peroksinitrit ONOO- yang merusak jaringan dan menginduksi disfungsi mitokondria (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).

(11)

commit to user

Superoksida dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi H2O2 yang dapat memasuki sel dengan mudah. Oksidan hidrogen peroksida (H2O2) yang kurang reaktif kemudian direduksi menjadi air dan oksigen oleh katalase dan glutation peroksidase. Sistem glutation sangat penting untuk perlindungan melawan stres oksidatif. Selain itu, H2O2 dapat dikonversi menjadi radikal hidroksil (OH--), ROS yang paling reaktif dan toksik melalui reaksi Harber-Weiss atau Fenton. Dengan adanya myeloperoxidase (MPO, dari neutrofil), H2O2

membentuk oksidan tambahan (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).

Stres oksidatif pada PGK yang menjalani CAPD dapat terjadi melalui mekanisme berikut: (1) stimulasi pelepasan NADPH-oksidase fagosit menyebabkan reduksi molekul oksigen pada anion superoksida, yang setelah kerja superoksida dismutase, meningkatkan hidrogen peroksida dan kaskade ROS; (2) myeloperoxidase yang dilepaskan dari degranulasi neutrofil memicu pembentukan oksidasi klorinasi jangka panjang melalui reaksi katalisasi antara hidrogen peroksida dan klorida; dan (3) sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh monosit berperan memperkuat pelepasan ROS (Santangelo et al, 2004).

H. Interleukin - 6

Interleukin-6 adalah suatu polipeptida dengan berat molekul 22-27 kDa yang disekresikan oleh monosit teraktivasi, makrofag, fibroblast, sel adiposit dan sel endotel sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti TNF- , IL-1 , endotoksin bakteri, stres oksidatif (Baratawidjadja, 2006).

(12)

commit to user

Interleukin-6 adalah interleukin yang bertindak baik sebagai sitokin pro- inflamasi dan anti inflamasi. IL-6 mempunyai berbagai fungsi yaitu berfungsi pada imunitas non spesifik dan spesifik. Pada imunitas non spesifik, IL-6 merangsang hepatosit untuk memproduksi APP dan bersama CSF merangsang progenitor di sumsum tulang untuk memproduksi neutrofil sedangkan dalam imunitas spesifik, IL-6 merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel B menjadi sel mast yang memproduksi antibodi (Baratawidjadja, 2006).

Penyakit ginjal kronis merupakan suatu penyakit inflamasi, dimana stimulus inflamasi yang banyak terdapat pada pasien PGK menyebabkan dilepaskannya sitokin termasuk IL-1, IL-6 dan TNF- (Guntur, 2004).

Bagaimana IL-6 dapat diekspresikan dalam darah dapat diterangkan pada gambar 2.4. Produk dari bakteri yang berupa lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang makrofag untuk mengekskresikan IL-6. Pada jalur lain virus, parasit, jamur yang berperan sebagai superantigen melalui sel limfosit merangsang pembentukan Interferon (IFN) yang pada akhirnya juga dapat merangsang makrofag untuk mengekskresikan IL-6 (Guntur, 2004).

(13)

commit to user

Gambar 2.4 Jalur terbentuknya sitokin proinflamasi (Guntur, 2004)

Ikatan antara Toll-like Receptor (TLR) dengan produk mikroba mengawali aktivasi jalur sinyal transduksi intraseluler yang multipel. Di antara jalur yang

g mengawali

- inflamasi yang berlebihan (Gambar 2.5) (Guntur, 2008).

(14)

commit to user

CD14 MD-2 LPS bp

TLR4

My D88 TRAF6

IRAK

NF-KB ENDOTOKSIN

M NIK/MKK

IKK

Target Genes

- Insulin Treatment

Guntur, 2008;Modified by B Purwanto 2010 - Metformin

- Statin - ACE Inhibitor - AG II Blocker - Anti ROS - NO - Bradikinin - Oestrogen

TNF-

IL-6 IL-12

IL-1 IL-8 TGF -1

CYTOKINES

Low dose Kortikosteroid

Gambar 2.5 ; modified

Bambang, 2010)

Kadar IL-6 ditemukan meningkat pada 40-50% pasien PGK. Secara epidemiologi IL-6 terbukti sebagai prediktor yang kuat untuk terjadinya aterosklerosis pada PGK. Pada penelitian meta analisis didapatkan bahwa IL-6 merupakan biomarker yang lebih kuat dibandingkan albumin, CRP dan Fetuin-A sebagai prediktor untuk komplikasi kardiovaskular dan mortalitas (Filiopoulus dan Vlassopoulus, 2009).

Faktor-faktor yang kemungkinan menyebabkan meningkatnya kadar IL-6 pada pasien PGK adalah hilangnya fungsi ginjal, uremia beserta komplikasinya (seperti penimbunan cairan, stress oksidatif dan kerentanan terhadap infeksi), faktor faktor yang berkaitan dengan proses dialisis itu sendiri (Stenvinkel et al, 2005).

(15)

commit to user

Temuan-temuan yang memperkuat bukti bahwa IL-6 merupakan sitokin proaterogenik adalah kadar IL-6 yang meningkat merupakan stimulus utama ekspresi ICAM yang akan menarik leukosit bermigrasi ke permukaan endotel, IL- 6 juga berkontribusi terhadap proses aterosklerosis melalui berbagai mekanisme metabolik, endotelial dan koagulasi, IL-6 juga berperan pada pembentukan plak fibrous pada proses aterosklerosis, peningkatan IL-6 juga berperan secara independen terhadap progresifitas aterosklerosis carotis pada periode 12 bulan pertama terapi dialisis (gambar 2.6) (Stinghen dan Pecoits, 2007).

Gambar 2.6 Skema stimulasi ekspresi IL-6 pada PGK (Stinghen dan Pecoits, 2007)

I. High sensitivity C Reactive Protein (HsCRP)

C- Reactive Protein (CRP) adalah protein darah yang terikat dengan C- polisakarida, pentamer 120 kDa dan merupakan salah satu protein fase akut di mana kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons imunitas nonspesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme yang membentuk

(16)

commit to user

kompleks dan mengaktifkan Komplemen C3 jalur klasik (Edward, 2004;

Baratawidjaja, 2006).

C- Reactive Protein merupakan merupakan petanda inflamasi yang paling stabil, di mana kadarnya meningkat 100-200 kali atau lebih tinggi pada keadaan inflamasi sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), cut offs point kadar CRP 3 mg/L digunakan untuk membedakan kelompok penderita risiko rendah dan risiko tinggi terjadinya penyakit kardiovaskular (Edward, 2004).

Interleukin-6 akan menstimulasi hepatosit sehingga hepatosit akan mengekspresikan HsCRP. HsCRP akan menghambat enzim NO Synthase (NOS) sehingga produksi NO berkurang. HsCRP akan mengaktifkan Nuclear Factor

Kappa Beta -inflamasi

makin bertambah. HsCRP merangsang endotel pembuluh darah menghasilkan ICAM, serta merangsang reseptor AT-1R sehingga menghasilkan ROS, Vascular Endothel Growth Factor (VEGF) yang akan mengakibatkan restenosis pembuluh darah (Malaponte, 2002).

C-Reactive Protein merupakan suatu tanda (marker) dari proses inflamasi.

Dari beberapa penelitian, CRP memainkan peran langsung terhadap inflamasi vaskuler, kerusakan pembuluh darah serta klinis PJV ( Zoccalli et al, 2003 ). High sensitivity C-Reactive Protein (HsCRP) merupakan marker inflamasi yang sudah diakui dan dapat menjadi prediktor kejadian PJV. HsCRP juga dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit jantung koroner dan gagal jantung (Koenig, 2003).

(17)

commit to user

High sensitivity C-Reactive Protein bersifat ateriosklerogenik, maka apabila kadarnya meningkat memudahkan terjadi kelainan aterosklerosis atau penyakit jantung koroner. Kadar HsCRP menurut Centers for Disease Control/

American Heart Association (CDC/AHA) merupakan marker pilihan untuk stratifikasi resiko PJV. Jika kadar HsCRP >3 mg/l adalah high risk

mg/l adalah intermediate risk, sedangkan kadar HsCRP <1 mg/l adalah low risk terhadap penyakit jantung koroner (Rifai dan Ridker, 2001).

Gambar 2.7 Struktur HsCRP (Rifai dan Ridker, 2001).

(18)

commit to user

Kemampuan Memprediksi HCRP Terhadap Morbiditas dan Mortalitas Kejadian Kardiovaskuler

eNOS mRNA

HCRP

IL-6

NO BCL-2 Apoptosis Endothel

NFk aktif ekspresi Sitokin

Sel Hepar

ET-1 ICAM

VCAM MCP-1

AT-1R

ROS

VSM proliferasi Restenosis Disfungsi endothel

(Szmitko PE, 2003)

Gambar 2.8 Pengaruh HsCRP terhadap disfungsi endotel dan produksi sitokin (Szmitko et al, 2003)

High sensitivity C-Reactive Protein juga dapat menunjukkan perkembangan aterosklerosis melalui aktivasi Komplemen C3, kerusakan jaringan dan aktivasi sel endotelial (Koenig, 2003).

J. Antioksidan Glutation

Pasien uremia terutama yang menjalani CAPD jangka panjang berisiko tinggi mengalami stres oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas. Berbagai gangguan terhadap sistem antioksidan intra dan ekstraseluler yang bertugas sebagai pelindung terhadap efek berbahaya radikal bebas berperan penting dalam progresifitas kerusakan oksidatif pada uremia dan dialisis (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).

(19)

commit to user

Glutation (GSH) adalah tripeptida yang terdiri dari asam glutamat, sistein dan glisin (Gambar 2.9).

Gambar 2.9. Struktur molekul glutation (Rodwell dan Kennely, 2003)

Glutation bukanlah nutrisi esensial karena dapat disintesis dari asam amino L-sistein, L-asam glutamat dan glisin. Glutation terdapat dalam jumlah yang tinggi di liver dan merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang penting.

Glutation membantu melindungi sel dari radikal bebas dan peroksida (Gambar 2.10). Kelompok Sulfidril (tiol) (SH) dari sistein berfungsi sebagai donor proton dan bertanggung jawab untuk aktivitas biologis glutation. Glutation terdapat dalam bentuk tereduksi (GSH) dan teroksidasi (GSSG). Dalam bentuk tereduksi, kelompok thiol dari sistein mampu menyumbang bentuk tereduksi ekuivalen untuk molekul-molekul tidak stabil yang lain seperti ROS. Saat menyumbangkan elektron, glutation dapat menjadi reaktif tetapi mudah bereaksi dengan glutation reaktif lain untuk membentuk glutation disulfida (GSSG). Reaksi seperti itu dimungkinkan karena konsentrasi yang relatif tinggi dari glutation dalam sel.

GSH dapat dibentuk kembali dari GSSG oleh enzim glutation reduktase (Pompella et al, 2003).

(20)

commit to user

Pasien uremia dan CAPD mengalami penurunan signifikan kadar GSH total juga mengalami gangguan enzim metabolisme GSH. Penurunan kadar GSH dapat dijelaskan dengan peningkatan tingkat pergantian GSH. Penurunan kadar antioksidan penting lainnya seperti vitamin C dan E menambah efek kumulatif yang membebani aktivitas antioksidan GSH, kadar GSH juga berkurang pada pasien uremia dan CAPD. Aktivitas enzim yang mensintesa GSH juga diketahui menurun pada pasien uremia (Alhamdani dan Mohammed, 2005).

Gambar 2.10. Siklus ROS. Dalam kondisi normal, ROS dari dalam sel dibersihkan oleh superoksida dismutase (SOD), katalase atau glutation (GSH)

peroksidase (Lubos et al, 2008).

(21)

commit to user

K. N-Asetil Sistein (NAS)

1. Senyawa N-Asetil Sistein

N-Asetil Sistein merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus tiol dengan efek antioksidan dan antiinflamasi (Nascimento et al, 2010).

Gambar 2.11. Struktur molekul N-Asetil Sistein (PubChem, 2011).

2. Farmakodinamik NAS

a. N-Asetil Sistein berperan sebagai prekursor Glutation (GSH) atau indirect antoxidant dan direct antioxidant untuk menetralisir oksidan (ROS dan RNS), menghilangkan keadaan stres oksidatif dan memperbaiki disfungsi sel (Oikawa, 2005).

b. N-Asetil Sistein mengontrol pelepasan mediator pro-inflamasi sistemik seperti sitokin (TNF, interleukin, interferon) dan kemokin agar tidak bekerja berlebihan sehingga menyebabkan inflamasi kronik (Borras et al, 2004).

c. N-Asetil Sistein bekerja sebagai immune-booster (meningkatkan sistem imun) dengan meningkatkan aktivitas sel imunitas (T-limfosit, makrofag, neutrofil) untuk memfagositosis dan melisis bakteri atau benda asing sehingga memperbaiki daya tahan terhadap infeksi, meningkatkan kemampuan antioksidan, mengembalikan keseimbangan redox (reduced

(22)

commit to user

and oxidized) glutation selular. Pengembalian keseimbangan redox sangat penting dalam mengatur respon terhadap inflamasi (Hansen et al, 2004).

d. N-Asetil Sistein mencegah kerusakan membran sel dan lipid peroksidasi sehingga tidak terjadi dampak berlebihan dari leukotrein seperti vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Kinerja NAS sebagai immune booster mampu mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi (Voghel et al, 2008).

e. N-Asetil Sistein bekerja sebagai mukolitik pada bronkhitis dan penyakit paru sudah banyak digunakan (Cuzzocrea et al, 2001).

f. N-Asetil Sistein memperbaiki struktur dan fungsi sel darah merah sebagai transpor oksigen sehingga memperbaiki keadaan hipoksemia.

3. Keamanan dan Dosis N-Asetil Sistein

NAS sudah digunakan selama puluhan tahun (>45 tahun) dan tidak menunjukkan efek samping yang bermakna sehingga keamanan NAS dalam terapi tidak perlu diragukan lagi. Pada berbagai uji klinik kontrol internasional yang telah dilakukan tehadap lebih dari 3000 pasien, tidak ada reaksi efek samping bermakna secara statistik. Banyak uji klinik NAS dengan indikasi khusus menggunakan dosis tinggi atau dalam pengobatan jangka panjang telah memperlihatkan bahwa NAS ditoleransi dengan sangat baik bila diberikan secara oral atau parenteral. Pada laporan paska marketing di 5 negara Eropa dimana NAS dipasarkan selama lebih dari 2 tahun, kadang-kadang dijumpai kelainan gastro-intestinal (nausea, vomitus,

(23)

commit to user

dispepsia), jarang berupa urtikaria, anoreksia, vomitus maupun meteorism.

Batas keamanan NAS sangat luas dan LD 50 adalah 7.888 mg/ kg berat badan (Borras et al, 2004; Shimizu et al, 2005; Aguiar-Souto et al, 2008).

4. Peran NAS pada pasien PGK stadium V

L-Sistein tidak larut dalam air, tidak diserap dengan baik oleh usus. Protein adalah sumber makanan yang kaya sistein. Karena sistein sangat tidak stabil, sumber ekstraseluler utama sistein intraselular adalah sistein dipeptida (dua sistein terkonjugasi) (Efrati et al, 2003).

Suplementasi dengan NAS menyediakan sarana alternatif untuk meningkatkan glutation intraseluler melalui peningkatan sistein intraselular. NAS mencapai tingkat plasma maksimum dalam 2-3 jam, dengan waktu paruh sekitar enam jam. NAS mudah masuk sel dan dihidrolisis untuk sistein (Aguiar-Souto et al, 2008).

N-Asetil sistein mengurangi iskemia dan cedera reperfusi secara signifikan sehingga kerusakan sel endotel berkurang. NAS juga menghambat ekspresi molekul adesi endotel dan kerusakan radikal bebas peroxynitite yang berhubungan dengan iskemia atau reperfusi kardiovaskular. NAS dapat mengurangi gejala inflamasi dengan menghambat langsung dari inflamasi profaktor transkripsi NF- B (Cuzzocrea et al, 2000).

protein dalam sitoplasma, tetapi ketika terjadi stres oksidatif ikatan tersebut dilepaskan sehingga menyebabkan degradasi ubiquitination dan selanjutnya terjadi protease dari

(24)

commit to user

sebagai faktor transkripsi akan menyebabkan makrofag mengekspresikan sejumlah sitokin proinflamasi (TNF- -6 dan IL-1) yang dapat menghasilkan umpan balik positif (Hayakawa et al, 2003;

Guntur, 2008). Pemberian NAS akan mengurangi aktivasi NF independen sedangkan aktivitas antioksidannya akan menyebabkan perubahan struktural pada afinitas reseptor IL-6 yang menjadi lebih rendah (gambar 2.5).

N-Asetil Sistein telah digunakan untuk meregenerasi kompleks fosforilasi oksidatif dalam mitokondria yang berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh dan NAS melindungi terhadap kerusakan oleh tindakan radikal scavenger langsung dengan cara mengkonversi glutation (Kleinman et al, 2003).

5. NAS sebagai antioksidan

NAS bekerja sebagai direct antioxidant karena mempunyai gugus thiol (SH) bebas yang dapat berinteraksi langsung dengan elektron dari ROS. Interaksi NAS dengan ROS menyebabkan pembentukan radikal NAS thiol dan NAS disulfid sebagai produk akhir utama. Selain itu NAS juga berperan sebagai antioksidan tidak langsung di mana NAS akan dimetabolisme sebagai sistein yang merupakan prekursor gluthatione intrasel sehingga akan meningkatkan aktifitas enzim gluthatione S- transferase mensuplai gluthatione untuk gluthatione peroksidase (Marcelo et al, 2010). Antioksidan melindungi DNA di dalam gen dari serangan

(25)

commit to user

radikal bebas. Pertahanan antioksidan yang kuat dapat menghentikan radikal bebas sebelum mereka dapat menyerang DNA (Hayakawa et al, 2003).

6. NAS sebagai prekursor glutation

Glutation (GSH) adalah nature master antioxidant yang paling kuat sebagai immune booster (meningkatkan imunitas) dan merupakan detoksifikan. Glutation dapat menurunkan respon inflamasi agar inflamasi pada PGK tidak semakin menjadi kronik dengan meningkatkan fungsi imun dan sebagai detoxifier tubuh. Glutation tidak bisa diberikan secara oral karena akan mengalami degradasi dan rusak oleh asam lambung dan ensim oleh karena itu harus dibentuk didalam tubuh dengan memberikan NAS sebagai prekursor glutation. Sintesis glutation terutama di dalam hati (yang mana berfungsi sebagai cadangan), paru dan ginjal. Sintesis terjadi didalam sitoplasma seluler dalam dua tingkat ensimatik yang terpisah. Pertama, asam amino asam glutamat dan sistein diikat oleh gama glutamilsistein sintetase dan yang kedua glutation sintetase menambah glisin menjadi dipeptida- gama glutamilsistein untuk membentuk glutation (Kleinman et al, 2003).

N-Asetil Sistein bekerja diluar sel untuk mengurangi sistin (cystine) menjadi sistein (cysteine) dimana dapat ditranspor kedalam sel 10 kali lebih cepat dibandingkan sistin dan selanjutnya digunakan untuk biosintesis glutation (GSH). Dengan memfasilitasi biosíntesis glutation, NAS berperan sebagai indirect antioxidant dimana akan meningkatkan aktivitas enzim glutation-S-transferase, mensuplai glutation untuk glutation peroksidase, mengkatalisasi detoksifikasi peroksid (Marcelo et al, 2010).

(26)

commit to user

NAS adalah powerful free radical scavenger dan dapat mengurangi radikal bebas HO dan H2O2. NAS juga sebagai obat yang dapat mengembalikan keadaan redox-equilibrium sel sehingga menjadi obat yang sangat baik untuk mengontrol inflamasi sistemik seperti pada pasien PGK (Hansen et al, 2004).

7. NAS atasi inflamasi sistemik PGK

Inflamasi berperan penting dalam patogenesis penyakit seperti PGK.

Reaksi inflamasi adalah reaksi fisiologis dari sel, jaringan atau tubuh terhadap noxious (bakteri, oksidan, polutan, virus, zat kimia, radiasi, trauma) yang berasal dari luar dan dalam tubuh sendiri dengan tujuan melindungi dan menyembuhkan luka akibat inflamasi tersebut. Proses inflamasi dicirikan dengan pelepasan proinflamasi kemokin, leukotrien, -6 ke dalam sirkulasi (Pahan et al, 1998).

NAS berfungsi sebagai anti inflamasi pada penderita PGK dengan cara menurunkan aktivitas . sebagai faktor transkripsi akan menyebabkan makrofag menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi dalam hal ini IL-6. Dengan penurunan mediator inflamasi ini stimulasi end organs seperti hati untuk melepaskan protein fase akut menurun, sehingga menurunkan stimulasi disfungsi endotel, yang pada akhirnya dapat mencegah terjadinya pembentukan plak dan proses terjadinya aterosklerosis (Pahan et al, 1998; Paterson et al, 2003; Borras et al, 2004).

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Di sisi lain, semakin meningkatnya wacana kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah yang telah ditandai dengan merosotnya jumlah penutur, adanya persaingan bahasa

Interaksi antara pemberian kompos ampas tahu dan MOL pepaya berpegaruh nyata parameter tinggi tanamandan tidak berpengaruh nyata terhadapparameter jumlah daun,

Berdasarkan hasil tabulasi silang yang diperoleh diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku ku- rang baik dalam penanganan oral hidrasi anak diare,

1). Catatan kaki mampu menunjukkan sumber referensi dengan lebih lengkap. Dalam cacatan tubuh, yang ditampilkan hanya nama pengarang, tahun terbit buku, serta halaman buku

Pada awal anamnesis, dokter perlu memperlakukan pasien dengan baik, menun#ukkan sikap yang bersahabat, empati, dan sopan. 1idak hanya menyapa pasien, dokter harus menun#ukkan atensi

Pertimbangan yang mendasari perluasan ini adalah (1) performan sapi madura di sentra sapi sonok termasuk kategori unggul (2) Paguyuban sapi sonok seperti paguyuban

Dalam aplikasi ini juga disertakan kuis guna menambah pemahaman pengguna dalam mengenal alat musik gamelan.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan

(3) Undian nomor urut dan simbol/lambang Calon Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (Tujuh) hari sebelum hari dan tanggal