• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Resilience pada Korban Bencana Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Resilience pada Korban Bencana Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan dilakukan dengan metode survei. Judul penelitian ini “Studi Deskriptif Mengenai Resilience pada Korban Bencana Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat resilience pada korban Bencana Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu convenience sampling dengan jumlah responden 152. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner resilience yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori dari Bonnie Benard (2004), sebanyak 77 item dengan 10 item yang ditolak dan 67 item yang diterima.

Perhitungan validitas item-item resilience dengan uji korelasi Rank Spearman di dalam program SPSS 20.0 diperoleh hasil validitas yang berkisar antara 0,318 sampai dengan 0,594. Perhitungan relisbilitas menggunakan Alpha Cronbach menunjukkan hasil 0,907.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo lebih banyak memiliki resilience yang sedang dibanding dengan resiliensi rendah dan resilience tinggi. Korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo yang memiliki resiliensi sedang sebanyak 46,7%, resiliensi yang rendah 27,6% dan resiliensi yang tinggi 25,7%.

(2)

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

This research is a descriptive research by survey method. This research is titled “Descriptive Study Regarding Resilience on Disaster Victims Eruption of Mounth Sinabung in District Karo”. The purpose of this research is to determine the degree of resilience in disaster victims eruption of Mount Sinabung in Karo District.

The sampling technique in research is random sampling and the number of sample for for this research is 152. Measuring instrument that used in the research is resilience questionnaire that is compiled by researcher based on Bonnie Benard (2004) theory, 77 acceptable items with 10 items are being rejected and 67 acceptable items.

Calculation of the validity of the items resilience with Spearman rankccorrelation test in SPSS 20.0 program validity range from 0.318 to 0.594. Calculation of the reliabilitas using Cronbach Alpha shows results at 0,907.

Result showed that the victims eruption of mounth Sinabung in District Karo have moderat resilience compare with low resilience and high resilience. Victims eruption of mounth Sinabung in District Karo have moderat resilience 46,7%, low resilience 27,6% and high resilience 25,7%.

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pemikiran... 11

1.6 Asumsi ... 20

(4)

v

Universitas Kristen Maranatha

2.1.1 Definisi Resilience ... 21

2.1.2 Personal Strenghts ... 21

2.2 Masa Dewasa Awal... 28

2.2.1 Perkembangan Fisik Masa Dewasa Awal ... 29

2.2.2 Perkembangan Kognitif Masa Dewasa Awal ... 29

2.3 Masa Dewasa Madya ... 30

2.3.1 Karakteristik Masa Dewasa Madya ... 30

2.3.1.1 Perkembangan Fisik ... 30

2.4 Psikologi Bencana ... 31

2.4.1 Pengertian Bencana ... 31

2.4.2 Dampak Bencana ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 34

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 34

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 35

3.3.1 Variabel Penelitian ... 35

3.3.2 Definisi Konseptual ... 35

3.3.3 Definisi Operasional ... 35

3.4 Alat Ukur ... 39

3.4.1 Alat Ukur Resilience ... 39

3.4.2 Prosedur Pengisian ... 40

3.4.3 Sistem Penilaian ... 40

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 41

(5)

3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ... 42

3.4.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 42

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 43

3.5.1 Populasi Sasaran ... 43

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 43

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 44

3.6 Teknik Analisis Data... 44

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 45

4.2 Hasil Penelitian ... 48

4.2.1 Derajat Resilience ... 48

4.2.2 Tabulasi Silang antara Aspek-aspek Resilience dengan Resilience ... 49

4.2.3 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Data Demografi ... 50

4.3 Pembahasan... 57

4.4 Diskusi ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 68

5.2 Saran ... 69

5.2.1 Saran Teoretis ... 69

5.2.2 Saran Praktis ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

DAFTAR RUJUKAN ... 72

(6)

vii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Kisi-kisi Alat Ukur ... 39

Tabel 3.2 Skoring Alat Ukur ... 40

Tabel 3.3 Kategori Resilence ... 41

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 45

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 45

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Status Marital ... 46

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak Sekolah ... 46

Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Kesehatan Setelah Bencana ... 46

Tabel 4.7 Gambaran Responden Berdasarkan Asal Desa ... 47

Tabel 4.8 Gambaran Responden Berdasarkan Tempat Tinggal Setelah Bencana ... 47

Tabel 4.9 Gambaran Responden Berdasarkan Kerugian Akibat Bencana ... 47

Tabel 4.10 Gambaran Responden Berdasarkan Penghasilan Setelah Bencana ... 48

Tabel 4.11 Derajat Resilience ... 48

Tabel 4.12 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Social Competence ... 49

Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Problem Solving Skills ... 49

Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Autonomy ... 49

Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Sense of Purpose and Bright Future .... 50

Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Usia ... 50

Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Jenis kelamin ... 51

Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Pendidikan ... 51

Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Status marital... 52

Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Resilience dengan jumlah anak sekolah ... 53

(7)

Tabel 4.22 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Asal desa ... 54

Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Resilience dengan tempat tinggal ... 55

Tabel 4.24 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Kerugian ... 56

Tabel 4.25 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Penghasilan ... 56

(8)

ix Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran ... 19

(9)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur

Lampiran 3 Perhitungan Statistik

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian

Lampiran 5 Formulir Pengesahan Pengambilan Data

(10)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara geografis wilayah Indonesia sebagian besar terletak di kawasan rawan bencana

alam dan memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Oleh karena itu penduduk

Indonesia diharapkan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, termasuk

lingkungan alam meskipun dalam keadaan sulit seperti saat terjadi bencana. Dalam

Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana

menjelaskan, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkain

peristiwa yang disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Salah satu bencana alam yang terjadi di Indonesia ialah letusan gunung api. Dalam

Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana

menjelaskan letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu

lebat, lava, gas beracun, sunami dan banjir lahar. Letusan gunung Sinabung yang berada di

Kabupaten Karo, Sumatra Utara merupakan contoh letusan gunung api yang terjadi di

Indonesia. Gunung Sinabung sudah lama mengalami “dormasi” (tidur) karena erupsi terakhir

terjadi sekitar 400 silam tahun yang lalu sebelum kembali meletus pada tanggal 27 Agustus

2010 (Edward Panggabean, 2014). Sejak meletus kembali gunung Sinabung terus-menerus

menunjukkan aktifitas yang meningkat hingga Mei 2016. Sebanyak 33 desa yang berada di

sekitar kaki gunung Sinabung terkena dampak dari erupsi. Diantaranya desa di radius 3

Kilometer yakni desa Bekerah, Simacem dan Sukamerih. Desa-desa tersebut merupakan desa

(11)

dengan gunung Sinabung. Sebanyak 1.255 jiwa (389 KK) warga dari desa Bekerah, Simacem

dan Sukameriah harus direlokasikan (Dekson H, 2014).

Sebelum terjadi letusan gunung Sinabung warga dari ke-tiga desa tersebut menjalani

hidup mandiri dan berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan bertani atau

berternak. Secara teratur setiap tiga bulan warga menikmati hasil panen atau setiap hari

memetik biji kopi di lahan sendiri ataupun lahan sewa. Warga desa yang bekerja sebagai

wiraswasta juga masih dapat bercocok tanam di ladang sendiri dengan memperkerjakan aron

atau bertani sendiri. Warga yang memiliki warung akan berdagang pagi dan sore hari, di

siang hari masih dapat bekerja di ladang sendiri. Apabila masih memiliki anak kecil dapat

mengajak anaknya ke ladang sambil bekerja. Warga-warga di desa ini tinggal di rumah

sendiri bersama keluarganya atau sewa. Demikian pula di desa-desa tersebut tersedia fasilitas

seperti tempat ibadah dan sekolah dalam kondisi yang sangat memadai.

Tinggal di daerah pegunungan memberikan banyak keuntungan bagi warga-warga desa

di atas sebelum bencana terjadi karena kesuburuhan tanahnya sehingga memudahkan warga

bercocok tanam. Tanah yang subur tersebut juga sangat membantu warga untuk mengurangi

biaya dalam bertani karena tidak memerlukan pestisida atau pupuk secara berlebihan untuk

merawat tanamannya. Warga juga dapat menanam sayur-mayur di lahan mereka

masing-masing untuk di konsumsi sendiri atau untuk dijual. Di desa tersebut juga tersedia air bersih

yang mencukupi kebutuhan hidup warga untuk memasak, mencuci dan mandi.

Gambaran kehidupan di atas tiba-tiba harus berubah akibat bencana letusan gunung

Sinabung. Letusan gunung Sinabung mengakibatkan kerugian fasilitas materi yang tidak

kecil bagi warga yang tinggal di sekitar kaki gunung Sinabung. Kepala Pusat Data Informasi

dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho

menaksir kerugian akibat kerusakan sejak 15 September 2013 hingga akhir 2014 diperkirakan

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha peternakan, perdagangan, pariwisata, perikanan, UKM dan industri yaitu Rp 896,64 miliar.

Kerugian sektor pemukiman Rp 501 miliar dan infrastruktur Rp 23,65 miliar (Erie Prasetyo,

2015). Ini artinya dampak dari letusan gunung Sinabung mencakup ekonomi, kesehatan dan

pendidikan. Permasalahan di bidang ekonomi, berupa kerusakan sektor pertanian yang

sekaligus dampak terbesar bagi warga. Sebagian besar warga yang semula petani kini beralih

pekerjaan menjadi buruh tani (dalam bahasa Karo disebut aron). Kenyataan ini menurunkan penghasilan warga karena pekerjaan sebagai aron hanya menghasilkan upah yang tidak sepadan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saat letusan gunung itu terjadi banyak

warga mengalami gagal panen tanaman, selain kehilangan hewan ternak yang tidak sempat

diselamatkan. Bahkan korban dari desa Sukameriah harus berlari menyelamatkan diri

sehingga tidak sempat menyelamatkan barang-barang miliknya, kecuali pakaian yang

melekat di tubuhnya.

Menurunnya penghasilan mengakibatkan keterbatasan dana untuk bidang pendidikan

anak-anak. Sebelum letusan gunung Sinabung pekerjaan yang dilakukan ibu-ibu korban

biasanya hanya pekerjaan ringan seperti memetik kopi di ladang sendiri namun setelah

letusan gunung Sinabung korban harus bekerja keras, berupa mencangkul di ladang orang

lain. Ada juga korban yang tidak dapat bekerja setelah letusan gunung Sinabung karena

masih memiliki anak yang kecil dan tidak ada yang menjaga anak jika orangtuanya bekerja.

Sebelum letusan gunung Sinabung korban dapat bekerja di ladang sendiri sambil menjaga

anak dengan leluasa. Setelah letusan gunung Sinabung korban tidak dapat memilih bekerja

sebagai aron sambil merawat atau menjaga anak dengan bebas.

Erupsi yang berkepanjangan memaksa korban harus tinggal di pengungsian. Korban

telah tinggal di tempat pengungsian lebih dari dua tahun. Selama di pengungsian korban

harus berbagi tempat untuk tidur dengan korban yang lain, korban juga merasa sulit untuk

(13)

membuat jam tidur korban berkurang sehingga di pagi harinya korban merasakan lemas dan

sulit berkonsentrasi saat menjalankan aktifitasnya. Fasilitas yang tersedia di tempat

pengungsian juga kurang memadai seperti toilet yang kurang banyak sehingga korban harus

berbagi menggunakan toilet, selain itu banyak toilet di tempat pengungsian yang sudah rusak.

Tidak jarang terkadang korban bertengkar dengan pengungsi lain yang tidak mau antri untuk

ke toilet. Korban juga merasakan kesulitan untuk mendapatkan air untuk memenuhi

kebutuhan untuk memasak, mandi dan mencuci kain. Kekurangan air bersih berdampak pada

kesehatan korban selama tinggal di pengungsian seperti gatal-gatal. Di pengungsian korban

masak di dapur umum dan korban masak secara bergantian di bantu oleh para relawan. Selera

makan korban sering menurun karena makanan yang disediakan yang telalu lembek dan

menu makanan yang sangat sederhana. Selera makan yang menurun membuat jadwal makan

korban tidak teratur dan kurangnya asupan dalam tubuh sehingga memberikan dampak

negatif bagi kesehatan korban seperti terserang penyakit maag.

Dampak letusan gunung Sinabung membuat kesedihan yang mendalam bagi korban,

status gunung yang tidak stabil membuat korban harus lebih lama tinggal di pengungsian dan

harus di relokasi. Keadaan yang secara tiba-tiba berubah akibat letusan gunung Sinabung

membuat korban kaget dan kurang memiliki persiapan untuk menghadapinya. Letusan

gunung Sinabung dapat memberikan perubahan bagi korban seperti perubahan pada cara

berpikir, tingkah laku, kebiasaan korban dan kehilangan kehidupan yang teratur. Perubahan

tersebut memaksa korban untuk dapat beradaptasi dengan keadaan yang serba sulit tersebut

yang biasanya disebut dengan resilience. Untuk dapat beradapasti dengan keadaan yang baru

tersebut dapat membuat korban stres karena tekanan yang dialami akibat letusan gunung

Sinabung.

Penelitian Warsini (2014) menyatakan korban letusan gunung berapi biasanya terkena

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha baik orang dewasa yang bekerja dan orang dewasa dan berpendidikan. Stress yang dialami

korban sejak terjadinya bencana letusan gunung Sinabung seperti mengalami kesulitan untuk

tidur dengan nyenyak karena terbayang-bayang dengan letusan gunung Sinabung, kurang

dapat menjaga kesehatan tubuh sehingga sering terserang penyakit, korban juga mengalami

kebosanan karena letusan gunung Sinabung yang sudah berlangsung hampir empat tahun

terakhir tanpa dan tidak diketahui kapan akan berakhir. Hilangnya harta benda membuat

korban kurang termotivasi untuk dapat membuat kehidupan yang lebih baik. Korban juga

menjadi mudah marah dan mudah tersinggung jika ada orang yang menyinggung kondisinya

setelah bencana.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Sekretaris Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Taneh Karo, Jhonson Tarigan menyatakan bahwa selama tinggal di

pengungsian korban banyak mengalami stres dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan

setelah letusan gunung Sinabung sehingga ada korban yang hanya menunggu bantuan di

pengungsian atau tidak bekerja namun ada juga warga yang berusaha sendiri untuk

memenuhi kebutuhan keluarganya. Para anggota keluarga juga jarang bertemu satu sama lain

setelah tinggal di pengungsian, berbeda dengan saat masih tinggal bersama di rumah

masing-masing. Oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan baru agar korban tidak tinggal di

pengungsian lagi dan dapat berkumpul bersama-sama dengan keluarganya. Pada Juni 2014

pemerintah memberikan uang sewa untuk rumah sebanyak Rp.1.800.000,00 dan sewa lahan

untuk bertani sebanyak Rp. 2.000.000,00 untuk tiga bulan kepada setiap kepala keluarga.

Selain itu pemerintah telah membuat relokasi yang sedang dalam tahap penyelesaian untuk

desa Bekerah, Simacem dan Sukameriah di daerah Siosar Kecamatan Merek Kabupaten

Karo.

Kebijakan pemerintah agar korban tidak tinggal di tempat pengungsian dan mencari

(15)

sewa rumah dan sewa lahan yang diberikan oleh pemerintah tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan para korban. Untuk mengatasi hal tersebut sebagain besar warga desa

dari Bekerah dan Simacem memilih tinggal di bangunan Universitas Karo yang sudah tidak

dipakai dengan keharusan membayar uang listrik sendiri. Hal tersebut cukup membantu bagi

korban karena tidak harus menyewa rumah dan mengeluarkan biaya yang lebih banyak.

Berbeda dengan korban dari desa Sukameriah yang memilih untuk tinggal di simpang desa

Gurukinayan dan di desa-desa di Kabupaten Karo.

Berdasarkan kondisi yang dialami oleh korban tidak mudah untuk dilalui, korban

diharapkan mampu untuk beradaptasi dengan keadaan yang menekan. Dalam kondisi sulit

tersebut ada korban yang merasa terpuruk dan pasrah dengan masa depannya karena telah

kehilangan rumah dan lahan untuk bertani. Selain itu, ada korban yang mencoba bangkit dari

tekanan hidup seperti beberapa diantara korban yang memilih untuk berusaha sendiri dan

memulai hidup baru dengan tinggal di lahan warga dan bertani. Salah satunya di desa

Kacinambun korban sudah tinggal di desa tersebut hampir tiga tahun dan telah mendapatkan

hasil dari tanaman yang ditanam. Selain itu solusi korban yang lain untuk dapat memenuhi

kebutuhan keluarga dengan bekerja menjadi aron (buruh tani) dan membuat gantungan kunci

untuk dijual. Perbedaan tersebut mungkin berkaitan dengan resilience. Resilience adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik dan berfungsi dengan baik

walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Benard,

2004). Menurut Benard (2004), individu yang memiliki resilience yang tinggi dapat bertahan

dan berkembang walaupun dalam situasi yang menekan. Resilience terdiri dari empat aspek,

yaitu social competence, problem solving skills, autonomy, sense of purpose and bright future.

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan terhadap lima belas orang korban gunung

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha (12 orang) mampu menjalin relasi dan berempati dengan keluarga, teman dan tetangga,

korban mampu menceritakan kesulitan yang sedang dialami akibat bencana gunung Sinabung

(social competence). Korban masih dapat membantu korban lain yang membutuhkan bantuan

walaupun sama-sama dalam keadaan yang sulit misalnya, dengan memberikan bantuan

berupa meminjamkan selimut kepada korban lain yang membutuhkan di pengungsian.

Sebanyak 20 % (3 orang) tidak menceritakan kesulitan yang mereka alami kepada orang lain

dan kurang dapat membantu orang lain karena merasa bahwa dia sendiri masih membutuhkan

bantuan dari orang lain (social competence). Social competence adalah seberapa mampu korban bencana untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif terhadap orang

lain.

Sebanyak 67% (10 orang) korban bencana gunung Sinabung dapat membuat solusi dan

membuat perencanaan untuk menghadapi musibah yang dihadapi (problem solving skills).

Mayoritas matapencarian korban bencana sebagai petani tetapi karena letusan gunung

Sinabung mereka tidak dapat bekerja lagi dan lahan pertanian korban yang sudah tidak dapat

digunakan sehingga mengakibatkan penghasilan korban bencana menurun, solusi yang

korban buat untuk menghadapi kondisi tersebut dengan mencari pekerjaan sebagai buruh

(aron) di ladang warga yang membutuhkan bantuan, korban mendapatkan upah harian dari

hasil kerja yang korban pergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Korban juga masih

dapat membuat perencanaan setelah terjadi letusan gunung Sinabung seperti membuat

rencana untuk menyewa lahan pertanian warga untuk bercocok tanam dan berencana untuk

meminjam modal kepada saudara untuk membuka toko (warung). Sedangkan 33 % (5 orang)

korban bencana gunung Sinabung tidak memiliki solusi dan rencana untuk menghadapi

cobaan yang dihadapi, korban bencana belum dapat memikirkan solusi dan rencana untuk

(17)

dialami (problem solving skills). Problem solving skills adalah suatu cara untuk mencari jalan

keluar dari masalah yang ada.

Sebanyak 60% (9 orang) mampu mengubah kesedihan yang dialami oleh korban menjadi

kegembiraan dengan cara menghibur, korban mampu menghibur diri sendiri agar tidak larut

dalam kesedihan (autonomy). Selain menghibur diri sendiri korban juga mampu menghibur

korban lain yang bersedih atau melamun dengan menceritakan hal-hal yang lucu. Sebanyak

40% (6 orang) kurang mampu menghibur diri sendiri atau menghibur sesama korban gunung

Sinabung (autonomy). Autonomy dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak mandiri/bebas dan dapat mengontrol lingkungannya..

Sebanyak 40 % (6 orang) merasa yakin akan masa depan yang lebih baik, korban yakin

dengan kemampuan yang dimiliki dan jika berusaha akan membuat korban lebih baik selain

itu keyakinan spiritual korban juga sangat membantu untuk bangkit kembali dan berusaha

semaksimal mungkin untuk menata kehidupan korban agar lebih baik (sense of purpose and

bright future). Sedangkan 60 % (9 orang) tidak yakin dengan masa depan yang lebih baik setelah mengalami bencana karena korban harus memulai dari nol untuk mendapatkan rumah

dan lahan pertanian (sense of purpose and bright future). Sense of purpose adalah kekuatan

untuk mengarahkan mulai dari goal secara optimis dan dengan cara yang kreatif dengan kepercayaan yang mendalam tentang keberadaan dirinya dan memiliki keyakinan akan hidup

yang berarti.

Dari hasil survei awal dapat dilihat bahwa derajat resilience yang dimiliki oleh masyarakat korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo berbeda-beda.

Penelitian tentang resilience yang telah dilakukan pada korban bencana antara lain : Rachmat

Prayogi Novrianto (2011), menyatakan bahwa korban gempa bumi Cikelet dewasa awal dan

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha 2004 tergolong sedang. Lavinia A.N (2010) menyatakan bahwa sebagian besar kepala

kelurga korban bencana Situ Gintung memiliki resilience yang tinggi.

Penelitian ini akan meneliti korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo

yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal dan madya, karena jika dilihat dari tugas

perkembangan orang dewasa diharapkan lebih mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan

yang menekan karena orang dewasa memiliki pemikiran yang logis dan mampu melihat sisi

baik dan buruk dari suatu kejadian sehingga memungkinkan orang dewasa tetap dapat

membuat perencanaan dalam menghadapi masalah. Dengan kemampuan tersebut orang

dewasa cenderung dinilai mampu untuk mengembangkan cara-cara yang efektif dalam

menghadapi situasi yang menekan seperti bencana.

Resilience sangat penting bagi kehidupan korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten karo untuk tetap dapat bertahan di kondisi yang menekan. Setelah tejadi letusan

gunung Sinabung banyak perubahan yang terjadi begitu cepat dalam kehidupan korban, untuk

dapat bertahan dalam situasi menekan tersebut korban perlu mengembangkan kemampuan

dalam dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati kondisi sulit tersebut secara efektif.

Korban yang memiliki resilience yang tinggi, akan mampu keluar dari permasalahan akibat bencana dengan cepat dan tidak berlarut-larut bertahan dalam kondisi yang menekan. Letusan

gunung Sinabung yang membuat korban mengalami tekanan ekonomi, dengan resiliensi tinggi yang korban akan lebih cepat keluar dari krisis ekonomi tersebut, begitu juga saat

pengambilan keputusan korban yang memiliki resilience yang tinggilah yang akan lebih cepat mengambil keputusan saat berada di dalam situasi sulit. Resilience pada korban bencana letusan gunung Sinabung sangat penting untuk diteliti untuk mendapatkan gambaran

(19)

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana derajat resilience pada korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran mengenai resilience pada korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran mengenai derajat resilience pada korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo yang dijaring melalui aspek social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

1) Memberi informasi bagi ilmu psikologi sosial mengenai resilience pada masyarakat

korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

2) Memberikan masukan informasi serta pertimbangan bagi peneliti lain yang ingin

meneliti lebih lanjut mengenai resilience, khususnya pada masyarakat korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1) Sebagai informasi dan masukan bagi masyarakat korban bencana letusan gunung

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo untuk dapat beradaptasi secara

positif walaupun dalam kondisi yang menekan.

2) Memberikan informasi bagi Pemerintah Kabupaten Karo diantaranya kepada Badan

Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas), Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) dan kepada kepala desa Bekerah, Simacem dan Sukameriah

mengenai gambaran derajat resilience pada masyarakat korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo, sebagai bahan pertimbangan untuk merancang

program-program untuk meningkatkan derajat resilience pada korban.

1.5 Kerangka Pemikiran

Bencana alam adalah salah satu hal yang dapat menjadi rintangan dalam menjalani

hidup. Banyak masalah dan hambatan yang harus dihadapi oleh korban setelah terjadinya

benca alam. Begitu juga bagi korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo

yang mengalami dampak dari bencana tersebut khususnya masyarakat dari desa Bekerah,

Simacem dan Sukameriah karena desa yang mengalami kerusakan terparah sehingga tidak

dapat dihuni lagi. Dampak yang dialami oleh masyarakat diantaranya adalah kehilangan harta

benda, tempat tinggal atau rumah, ladang, sekolah dan tempat-tempat ibadah dan kehilangan

pekerjaan (adversity). Hal tersebut membuat warga dari desa-desa tersebut harus mengungsi

dan mengosongkan desa untuk tinggal di pengungsian. Kebijakan pemerintah yang

mewajibkan korban untuk tidak tinggal di pengungsian dan menyewa rumah sendiri

menambah beban tersendiri bagi para korban. Uang sewa rumah dan uang sewa lahan yang

diberikan oleh pemerintah dirasa tidak cukup karena itu korban harus dapat bekerja lebih giat

untuk biaya kebutuhan hidup keluarga dan biaya pendidikan anak. Selama tinggal di

(21)

masih belum jelas kapan akan berakhir membuat korban gelisah, selain itu korban juga sering

sakit (adversity). Letusan gunung Sinabung yang berkepanjangan membuat korban putus asa

dan kurang memiliki motivasi dalam diri untuk bangkit kembali menata kehidupannya dan

korban mudah tersinggung jika ada oaring lain yang membicarakan keadaannya saat ini

(adversity). Hal tersebut membuat korban mengalami tekanan dalam menjalani hidup dan hal

tersebut dapat memicu munculnya stress (adversity).

Letusan gunung Sinabung menuntut korban untuk dapat melakukan penyesuaian diri

di atas kemampuan yang dimilikinya. Jika dilihat pada tahap perkembangan, diantaranya

korban berada pada tahap perkembangan dewasa awal dan dewasa madya. Pada tahap

perkembangan ini, korban sudah dapat berpikir logis dan dapat melakukan adaptasi secara

pragmatis terhadap kenyataan, korban mampu untuk mengatur pemikiran operasional formal

dengan baik sehingga memungkinkan untuk merencanakan dan membuat hipotesis dari

permasalahan yang dihadapinya setelah letusan gunung Sinabung (Santrock, 2002). Dengan

kemampuan yang dimiliki tersebut individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa

awal dan madya diharapakan mampu untuk mencari cara-cara yang efektif untuk mengatasi

tekanan akibat letusan gunung Sinabung. Pada penelitian ini akan meneliti korban letusan

gunung Sinabung usia dewasa awal dan dewasa madya (untuk selanjutnya korban letusan

gunung Sinabung usia dewasa awal dan madya akan ditulis dengan sebagai korban). Korban

diharapkan dapat beradaptasi dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi

setelah meletusnya gunung Sinabung untuk dapat menjalankan hidup lebih baik lagi atau

yang sering disebut dengan resilience.

Dalam Benard (2004), menyatakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi

dengan baik dan berfungsi dengan baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha menjadi korban tidak hanya dapat bertahan dengan situasi yang menekan, mereka juga dapat

berkembang secara positif. Korban yang mengalami kondisi tertekan karena dampak dari

letusan gunung Sinabung diharapkan mampu untuk mengatur perilaku mereka agar tetap

positif dalam menghadapi kesulitan dan tidak menjadikan kesulitan tersebut menjadi alasan

untuk lemah. Benard (2004), mengemukakan personal strengts adalah hasil perkembangan positif dari resilience yang dapat dilihat, diamati dan diukur. Personal strengts terdiri dari empat aspek resilience yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future.

Kemampuan korban bencana untuk dapat beradaptasi terhadap situasi yang menekan

atau situasi sulit dapat dilihat dari ke empat aspek-aspek yang ada di dalam resilience. Korban yang memiliki resilience yang tinggi, mampu beradaptasi dengan baik dan berfungsi

dengan baik walaupun dalam kondisi banyak tekanan akibat letusan gunung Sinabung yang

dapat dilihat dari ke empat aspek resilience yang akan dijabarkan sebagai berikut. Aspek yang pertama, social competence adalah kemampuan dan tingkah laku untuk dapat

membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif terhadap orang lain (Benard, 2004).

Korban yang memiliki social competence mampu membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif dengan orangtua, kakak, adik, anak, dan sesama korban letusan gunung Sinabung

yang dapat dilihat dari kemampuan responsiveness, communication, emphaty and caring dan

compassion, altruism and forgiveness. Korban yang memiliki social competence, mampu membangun respon positif terhadap orang lain (responsiveness). Ketika berelasi korban

mampu mengungkapkan pendapat mereka kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan

orang tersebut (communication). Korban dapat mendengarkan cerita dan memahami kesulitan

yang dialami oleh orang lain (emphaty and caring). Korban memiliki kepedulian untuk

membantu mengurangi kesulitan atau kesengsaraan yang dialami oleh anggota keluarganya

(23)

sendiri untuk memenuhi kebutuhan orang lain serta mampu untuk memaafkan diri sendiri dan

orang lain (compassion, altruism and forgiveness ).

Aspek kedua problem solving skills merupakan kemampuan untuk mencari jalan ke

luar dari masalah yang ada (Benard, 2004). Korban yang memiliki problem solving skills mampu untuk mencari jalan ke luar dari dampak letusan gunung Sinabung untuk melanjutkan

kehidupan lebih baik yang dapat dilihat dari kemampuan planning, flexibility, resourcefulness

dan critical thinking and insight. Korban dapat membuat rencana untuk mencari ladang atau lahan warga yang dapat digunakan untuk bertani (planning). Ketika korban tidak dapat

menjalankan perencanaan yang telah dibuat, korban mampu untuk membuat solusi alternatif

lain untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, sehingga korban tidak terpaku hanya pada

satu solusi yang telah ditetapkan saja (flexibility). Korban juga mampu untuk

mempertahankan diri dan mampu mengenali serta mempergunakan segala sumber bantuan

dukungan dari orang lain (resourcefulness). Selain itu korban juga mampu berpikir kritis dan

mampu menganalisis kondisi sulit yang dihadapi, korban dapat mengerti bahwa letusan

gunung Sinabung tidak akan menghancurkan masa depannya sehingga korban tidak mudah

menyerah walaupun dalam situasi yang sulit. Jika dilihat dari tahap perkembangan, individu

dewasa awal memiliki kemampuan kognitif yang baik dan memiliki pemikiran operasional

formal dan menunjukkan adaptasi dengan cara pragmatis dengan kenyataan yang ada.

Kondisi fisik pada masa dewasa awal mencapai puncaknya dan merupakan kondisi yang

paling sehat (Santrock, 2002). Dengan kemampuan tersebut diharapkan dewasa awal dapat

berpikir logis dan membuat rencana atau membuat jalan keluar ketika menghadapi tekanan

karena letusan gunung Sinabung.

Aspek ketiga autonomy merupakan kemampuan untuk mandiri dan mampu untuk

mengontrol lingkungan (Benard, 2004). Korban memiliki kemampuan untuk dapat hidup

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha internal locus of control and initiative, self effifacy and mastery, adaptive distancing and resistence, self awareness and mindfulness dan humor. Korban yang memiliki autonomy, mampu menilai diri sebagai individu yang kuat dan positif dan memiliki komitmen yang

yang kuat untuk tetap dapat bekerja dengan lancar walau sedang menghadapi musibah

(positive identity). Korban mampu mengontrol diri sendiri dalam melakukan pekerjaan,

berusaha keras dan mengambil resiko untuk dapat membentuk kembali hidup mereka agar

lebih baik. Setelah menentukan suatu tujuan korban mampu untuk memotivasi diri sendiri

untuk dapat mencapai tujuan tersebut (internal locus of control and intiative). Korban yakin

terhadap kekuatan diri sendiri serta memiliki kompeten dalam mencoba suatu hal untuk

membuat hidup mereka lebih baik. Korban merasa masih kompeten dalam melakukan suatu

hal karena mereka memiliki pengalaman yang dapat mengutkan diri mereka sendiri. Disaat

korban memiliki suatu keyakinan bahwa mereka dapat bangkit maka biasanya mereka akan

tetap berusaha dan mencoba segala sesuatu untuk dapat membuat mereka bangkit kembali

dan menata masa depan mereka walaupun banyak rintangan yang mereka hadapi akibat

dampak letusan gunung Sinabung (self effifacy and mastery).

Korban dapat menyadari pengaruh buruk yang dapat mempengaruhi korban dan

mampu mengambil jarak dari pengaruh buruk tersebut sehingga korban tetap dapat berusaha

untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik walaupun banyak tekanan (adaptive

distancing and resistence). Korban menyadari keadaan emosi dirinya sendiri dan tetap dapat mengontrol emosi tersebut sehingga emosi tersebut tidak mempengaruhi dirinya saat

menghadapi masalah, korban menyadari bahwa keadaan sulit yang mereka alami hanya

sementara dan keadaan mereka akan lebih baik kedepannya (self awareness and

mindfulness). Korban mampu mengubah kemarahan dan kesedihan yang dialami menjadi kegembiraan (humor). Santrock (2002), menyatakan bahwa kriteria yang menunjukkan masa

(25)

usia 34 sampai 50 tahun adalah kelompok usia yang paling sehat, paling tenang, paling bisa

untuk mengontrol diri dan juga paling bertanggung jawab menurut Levinson & Peskin, 1981

(dalam Santrock, 2002). Tahap perkembangan pada dewasa madya terdapat komitmen yang

lebih besar terhadap pekerjaan seiring bertambahnya usia, bekerja dengan lebih serius,

tingkat ketidakhadiran semakin sedikit, lebih banyak mencurahkan diri pada pekerjaan pada

masa dewasa madya. Dengan tahap perkembangan tersebut diharapkan korban letusan

gunung Sinabung dapat menghadapi tekanan dengan cara berusaha sekuat tenaga untuk

membuat hidup lebih baik dan diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan

akibat letusan gunung Sinabung. Komitmen yang dimiliki dewasa madya untuk bekerja

diharapkan dapat diterapkan dalam keadaan menekan dengan tetap berusaha dengan mandiri

untuk mendapatkan atau mencari pekerjaan di dituasi yang menekan. Walaupun dalam

keadaan yang menekan diharapkan korban dapat bekerja dengan lebih serius dan lebih baik

untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Aspek keempat sense of purpose and bright future merupakan kemampuan untuk mengarahkan goal secara optimis dan kreatif dengan memiliki kepercayaan yang mendalam tentang keberadaan diri dan kehidupan yang berarti (Benard, 2004). Korban yang memiliki

sense of purpose and bright future memiliki kemampuan untuk mengarahkan goal mereka seperti untuk tetap dapat bertahap hidup dalam keadaan yang menekan yang dapat dilihat dari

goal direaction, achievement motivation, and educational aspirations, special interest, creativity, and imagination, optimism and hope dan faith, spirituality and sense of meaning. Korban memiliki dorongan dalam diri sendiri untuk dapat mencapai tujuan hidup yang telah

ditetapkan setelah terjadi bencana, korban membuat perencanaan dan dapat memotivasi diri

sendiri untuk mencapai tujuan tersebut (goal direaction, achievement motivation, and

(26)

17

Universitas Kristen Maranatha penghiburan bagi dirinya sendiri (special interest, creativity, and imagination). Korban

memiliki keyakinan yang positif dan harapan yang kuat akan kehidupan yang lebih baik yang

membuat korban semakin kuat dan bertahan dalam mengahadapi musibah. (optimism and

hope). Kondisi yang sulit yang dialami korban tidak membuat korban lupa akan Tuhan yang dipercayainya. Korban tetap dapat mendalami agamanya (spiritualistas) menjadi pegangan

bagi korban dan tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang dialmainya sehingga korban tetap

percaya bahwa Tuhan yang akan memberikan pertolongan baginya (faith, spirituality and

sense of meaning).

Korban yang memiliki resilience sedang, cukup mampu beradaptasi dengan baik dan berfungsi dengan baik di tengah kondisi yang banyak tekanan akibat letusan gunung

Sinabung. Korban cukup mampu membangun relasi dan kedekatan positif dengan orang lain

(social competence ), cukup mampu mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang

dihadapi (problem solving skills), cukup mampu untuk bertindak mandiri mengontrol

lingkungannya yang sulit (autonomy) dan cukup mampu dalam menentukan tujuan hidupnya

yang jelas serta cukup optimis tujuan tersebut dapat dicapainya (sense of purpose and bright

future).

Sedangkan korban yang memiliki resilience rendah, kurang mampu beradaptasi dengan baik dan kondisi lingkungan akibat letusan gunung Sinabung juga membuat korban

kurang mampu untuk berfungsi dengan baik. Korban kurang mampu membangun relasi

dengan orang-orang disekitarnya (social competence). Korban kurang mampu membangun

respon positif terhadap orang lain, saat menyampaikan pendapat menyinggung perasaan

orang lain, tidak peduli dengan apa yang dirasakan oleh orang lain dan hanya mementingkan

kepentingan sendiri. Hal ini dapat membuat korban merasa kesulitan dan tidak mampu

menceritakan apa yang dirasakan atau menceritakan kesulitan yang dialami kepada orang

(27)

permasalahan yang dihadapi, kurang dapat mengetahui kepada siapa korban harus mencari

bantuan atau dukungan dan tidak dapat mencari makna dari musibah yang dialami (problem

solving skills). Korban menilai diri lemah, tidak yakin dengan kemampuan yang dimiliki dan kurang memiliki komitmen untuk bekerja serta tidak mampu mengontrol diri untuk tetap

dapat berjuang memperbaiki kehidupan mereka menjadil lebih baik setelah bencana. Korban

juga kurang dapat menghindarkan diri dari pengaruh buruk yang berasal dari lingkungan atau

orang lain. Musibah yang mereka alami membuat korban larut dalam kesedihan dan korban

kurang mampu mengubah kesedihan tersebut menjadi kegembiraan serta korban cenderung

emosional dalam menghadapi musibah (autonomy). Korban kurang memiliki dorongan dalam

diri untuk mencapai suatu tujuan dalam hidupnya sehingga ia juga kurang memiliki motivasi

dalam hidupnya dan keyakinan yang diperoleh dari agama dan harapan yang positif dalam

diri untuk dapat membuat masa depan yang lebih baik. Korban juga kurang mampu untuk

melakukan hobi yang dimilikinya untuk dapat mengurangi kesedihan yang dialami akibat

bencana (sense of purpose and bright).

Dalam penelitian ini, penulis juga menggali data demografi yang berhubungan dengan

korban bencana letusan gunung Sinabung. Data demografi yang di jaring adalah usia, jenis

kelamin, pendidikan, status marital, jumlah anak yang sekolah, kesehatan, asal desa, tempat

tinggal, kerugian dan penghasilan. Setiap korban memiliki latar belakang demografi yang

berbeda-beda yang dapat memberi pengaruh pada resilience. Misalnya usia, usia yang lebih

(28)
(29)

1.6Asumsi

1. Derajat resilience yang dimiliki korban bencana letusan gunung Sinabung dari desa Bekerah, Sukameriah dan Simacem berbeda-beda.

2. Derajat resilience korban bencana letusan gunung Sinabung dari desa Bekerah, Sukameriah dan Simacem dapat diukur melalui aspek social competence, problem solving skills, autonomy, sense of purpose and bright future.

(30)

68 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 152 korban bencana letusan

guung Sinabung di Kabupaten Karo mengenai resilience dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Secara umum korban letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo memiliki

resilience yang tergolong sedang sekitar 46,7%. Korban dengan resilience yang sedang dapat dilihat dari aspek social competence (27,0%), problem solving skills (31,6%), autonomy (33,6%), dan sense of purpose and bright future (29,6%) yang kesemuanya tergolong sedang.

2) Korban bencana letusan gunung Sinabung dengan resilience yang tergolong rendah sekitar 27,6%. Korban dengan resilience yang rendah dapat dilihat dari aspek social

competence (17,1%), problem solving skills (22,4%), autonomy (23,0%), dan sense of purpose and bright future (17,8%) yang kesemuanya tergolong rendah.

3) Korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo dengan resilience yang

tinggi sekitar 25,7%. Korban dengan resilience yang tinggi dapat dilihat dari aspek social competence (17,1%), problem solving skills (22,4%), autonomy (22,4%), dan sense of purpose and bright future (17,8%) yang kesemuanya tergolong tinggi. 4) Tabulasi silang antara data utama dengan data sosiodemografik, responden dengan

resilience tinggi yaitu dewasa madya (17,1%), perempuan (16,4%), SMA (13,8%), menikah (21,1%), tidak memiliki anak yang sekolah (10,5%), sehat (22,4%), asal desa

Simacem (13,8%), tinggal di relokasi Siosar (12,5%), kerugian ± ≤

Rp.150.000.000,00 (11,8%), dan penghasilan ± Rp.501.000,00 – Rp.2.000.000,00

(31)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

Dari hasil penelitian yang diperoleh, berikut beberapa saran yang diberikan oleh peneliti

bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini, untuk :

1. Melakukan penelitian mengenai hubungan antara resilience dengan data demografi pada korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

2. Meneliti mengenai hubungan antara resilience dengan protective factors pada korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

3. Meneliti kontribusi antara resilience dengan stress pada korban bencana letusan gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi keluarga korban bencana diharapkan dapat saling memberikan dukungan dan

berdiskusi satu sama lain. Seperti dengan saling mengkomunkasikan mengenai

kesulitan yang dialami masing-masing anggota keluarga agar anggota keluarga lain

dapat memberikan saran atau jalan keluar yang tebaik dalam menghadapi kesulitan

yang dialami.

2. Bagi korban yang memiliki resilience sedang dan rendah agar dapat menggunakan penelitian ini sebagai evaluasi diri untuk meningkatkan resilience. Terkhusus bagi korban yang memiliki resilience rendah diharapkan dapat meningkatkan resilience dengan cara meningkatkan keinginan membangun relasi dengan sesama korban atau

orang lain dengan cara bersikap ramah dan menghargai orang lain agar mampu

menjalin relasi yang postif, meningkatkan keinginan untuk mencari bantuan dari

(32)

70

Universitas Kristen Maranatha saling tukar pikiran sehingga korban dapat belajar dari pengalaman orang lain dan hal

tersebut membantu dalam membuat solusi dan menentapkan tujuan hidup yang jelas.

3. Bagi pemerintahan di Kabupaten Karo diantaranya untuk Badan Kesatuan Bangsa,

Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas), Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

dan kepada kepala desa Bekerah, Simacem dan Sukameriah. Dapat menggunakan

hasil dari penelitian ini sebagai informasi untuk dapat menentukan program konseling

(bimbingan pelatihan) atau seminar bagi korban bencana untuk meningkatkan

(33)

BENCANA LETUSAN GUNUNG SINABUNG

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Disusun oleh :

JAINI FRIANI BR PERANGIN-ANGIN NRP : 1130181

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI

(34)
(35)
(36)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

anugrahNya, peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi di Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha ini. Skripsi ini berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Resilience

pada Korban Bencana Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo”. Skripsi ini disusun

untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha Bandung.

Dalam Skripsi ini, peneliti menyadari bahwa terdapat kekurangan dan keterbatasan

dalam penyusunan Skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat

diharapkan sebagai perbaikan penulisan berikutnya.

Selama penyusunan Skripsi ini, peneliti banyak menemukan berbagai kendala dan

dapat dilalui berkat dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Irene P. Edwina, M. Si., Psik, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranahta Bandung.

2. Dra. Sianiwati S. Hidayat, M.Si., Psikolog, selaku koordinator mata kuliah Usulan

Penelitian di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranahta Bandung.

3. Dr. Henndy Ginting, Psikolog, selaku pembimbing utama yang telah sabar,

menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing, memberikan saran, masukan,

referensi, serta memberikan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan penelitian

ini.

4. Fundianto M.Psi., Psikolog selaku pebimbing pendamping yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan penjelasan, memberi saran serta motovasi

(37)

5. Evi Ema Victoria Polii, M.A, selaku dosen wali yang telah memberikan perhatian dan

pengarahan bagi peneliti dalam menjalani perkuliahan dan menyelesaikan penelitian

ini.

6. Masyarakat dari Desa Bekerah, Simacem dan Sukameriah yang telah membantu

sebagai responden dalam penelitian ini.

7. Kedua orangtuaku, yang selalu mendoakan, memberi semangat, memenuhi kebutuhan

peneliti selama ini, sering menghubungi peneliti untuk memberi nasehat agar tetap

semangat dalam menyusun skripsi ini dan selalu mendoakan peneliti.

8. Kedua saudaraku terkasih, Jaipi dan Jaisa terimakasih untuk dukungan yang kalian

berikan selama ini. Untuk Jaisa yang telah berkorban untuk meminjamkan laptopnya

selama ini sehingga penelitian ini dapat dikerjakan sampai selesai.

9. Ceviani, Inka, Penita, Pebinta, Sartika, Delviani, Oktavianus, Martianus, Aldi,

Andrio, dan Alvino yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan agar secepatnya

menyelesaikan penelitian ini dan sering menghubungi dari media sosial.

10. Bapak Tulis Ginting selaku Pembina Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan

Perlindungan Masyarakat, Bapak Jhonson selaku Sekretaris BPBD Kabupaten Karo

dan kepala desa dari Bekerah, Simacem dan Sukameriah yang telah memberikan izin

dan informasi.

11. Teman-teman sejak SMA Irna, Rianty, Sanderson, Asni, Rani dan Anggi yang selalu

memberi motivasi buat peneliti.

12. Rara, Grecia, Eva, Carolina, Shinta, Steffanie, Ado, yang selalu bersedia

mendengarkan cerita, keluhan peneliti dan memberi motivasi untuk menyelesaikan

rancangan penelitian ini.

13. Kakak Wana, bang Suwandy, Kardo, Joy, Dheby, Chandra, Tika yang telah

(38)

14. Fine, Venska, Agnes, kak Siska, kak Vira dan kak Yessy yang telah banyak memberi

motivasi dan bantuan dalam penyusunan penelitian ini.

15. Teman-teman Psikologi Maranatha dan pihak-pihak yang tidak bisa peneliti sebut satu

persatu di sini, yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi peneliti.

16. Para pengurus perpustakaan dan Tata Usaha Fakultas Psikologi, yang telah membantu

peneliti dalam penyelesaian penyusunan penelitian ini.

Peneliti menyadari, bahwa skrispsi ini masih sangat banyak kekurangan karena

keterbatasan yang ada. Oleh karena itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran

yang bersifat membantu.

Akhir kata, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan

pihak-pihak lain yang memerlukan.

Bandung, Mei 2016

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Barends, M.S. 2004. Overcoming adversity : An investigation of the role of resilience constructs in the relationship between socioeconomic and demographic factors and academic coping.

Benard Bonnie.2004. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco : West Ed

Bonano, G.A., Galea, S., Bucciarelli, A., and Vlahov, D. 2007 “What psycho-logical resilience after disaster ? The rore of demographics, resources and life stress”

Gulo, W.2002.Metodologi Penelitian. Jakarta : Pt Grasindo

Hans Selya. 1950.Stress and the General Adaption Syndrome.London: British Medical Journal.

Reivich, K. And Shatte, A. 2002. The Resiliency Factor : 7 Keys To Finding Your Inner Strength And Overcoming Life’s Hurdles. New York: Three Rivers Press

Rusmiyati Chatarina dan Hikmawati Enny. 2012. Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi.

Rusmiyati, Chatarina dan Enny Hikmawati. 2012. Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi Informasi, Vol. 17, No. 02

Santrock, John W. 2002. Life Development Perkembangan Masa Hidup Jilid 2.Jakarta: Penerbit Erlangga

Sugiyono, Prof.DR. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta

Sugiyono. 2007. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung : Alfabeta

(40)

73 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

A, Lavinia N. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Pada Kepala Keluarga Korban Bencana Situ Gintung Pasca Bencana yang Berada di Pengungsian Kertamukti Jakarta. Skripsi : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Mengalami Bencana Tsunami 2004 Skripsi : Fakultas Psikologi Program Studi Sarjana Reguler Universitas Indonesia Depok.

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Edisi Revisi Juli 2015.

Pedoman Penulisan Skripsi (Februari 2009). Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Pratiwi, Ratih Putri. Sumbangan Psikologi Klinis Dalam Assessment Gangguan Psikologi Korban Bencana Alam.

(41)

Retnowati Sofia dan Munawarah Siti Mukadimatul. 2009. Hardiness, harga Diri, Dukungan Sosial dan Depresi Pada Remaja Penyitas Bencana Di Yogyakarta.

Skripsi : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Gambar

Tabel 4.25 Tabulasi Silang antara Resilience dengan Penghasilan .........................................

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk

ABSTRAK: - Bahwa dengan telah ditetapkanya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung, agar dapat dilaksanakan secara optimal perlu

[r]

KESATU : Perubahan Atas Keputusan Bupati Bantul Nomor 40A Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Perijinan di Dinas

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:(1) Berdasarkan analisis deskriptif terhadap Variabel X

Belajar Matematika Siswa Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII SMPN 01.

The phenomenon of student learning outcomes is low because teachers are still using conventional learning models in which teachers are more actively explaining and