TINJAUAN PUSTAKA
Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl.)
Kopi Robusta (Coffea canephora) masuk ke Indonesia pada tahun 1900-an
(Gandul, 2010). Kopi ini ternyata tahan penyakit karat daun, dan memerlukan
syarat tumbuh dan pemeliharaan yang ringan, sedang produksinya jauh lebih
tinggi. Oleh karena itu kopi ini cepat berkembang, dan mendesak kopi-kopi
lainnya. Saat ini lebih dari 90 % dari areal pertanaman kopi Indonesia terdiri atas
kopi Robusta (Prastowo, dkk, 2010).
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi robusta di Indonesia
adalah belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai dengan
agroekosistem tempat tumbuh kopi robusta. Umumnya petani masih
menggunakan bahan tanam dari biji berasal dari pohon yang memiliki buah lebat
atau bahkan dari benih sapuan. Salah satu upaya untuk meningkatkan
produktivitas kopi robusta adalah dengan perbaikan bahan tanam. Penggantian
bahan tanam anjuran dapat dilakukan secara bertahap, baik dengan metode
sambungan di lapangan pada tanaman kopi yang telah ada, maupun penanaman
baru dengan bahan tanaman asal setek. Adapun klon-klon kopi robusta yang
dianjurkan adalah BP 42, BP 234, BP 288, BP 358, BP 409, dan SA 203. Oleh
karena kopi robusta bersifat menyerbuk silang, maka penanamannya harus
poliklonal, dapat 3-4 klon untuk tiap hamparan kebun. Demikian pula sifat kopi
robusta yang sering menunjukkan reaksi berbeda apabila ditanam pada kondisi
lingkungan berbeda, Komposisi klon kopi robusta untuk suatu lingkungan tertentu
harus berdasarkan pada stabilitas daya hasil, kompatibilitas (keserempakan saat
berbunga) antar klon untuk kondisi lingkungan tertentu serta keseragaman ukuran
biji (Prastowo, dkk, 2010).
Syarat Tumbuh Tanaman Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl.)
Persyaratan tumbuh kopi robusta berdasarkan kriteria kesesuaian lahan
Djaenudin, dkk (2003) adalah kopi robusta tumbuh dan berproduksi pada kisaran
suhu 19-32 °C. Tanaman kopi robusta dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kedalamannya minimum 50 cm, tekstur liat sampai lempung berliat, konsistensi
gembur, permeabilitas sedang, drainase baik, subur, reaksi tanah (pH) berkisar
diusahakan pada berbagai kondisi lahan dan manajemen untuk skala komersial
adalah 1,0-2,0 Ton/Ha, sedangkan untuk perkebunan rakyat 0,5-1,2 Ton/Ha.
Tabel 1. Persyaratan Tumbuh Tanaman Kopi Robusta
Drainase Baik Sedang
Agak
Curah hujan yang sesuai untuk kopi seyogyanya adalah 1500 – 2500 mm
per tahun, dengan rata-rata bulan kering 1-3 bulan dan suhu rata-rata 15-25 0
Evaluasi Lahan
C
dengan lahan kelas S1 atau S2 (Puslitkoka, 2006). Ketinggian tempat penanaman
akan berkaitan juga dengan citarasa kopi (Prastowo, dkk, 2010).
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan (Ritung, dkk, 2007).
Klasifikasi Kemampuan Lahan (Land Capabillity Classification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaanya secara lestari. Klasifikasi Kesesuaian Lahan (Land Suitabillity Classification) adalah penilaian dan pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Kemampuan lahan dipandang sebagai kapasitas lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum, sedangkan kesesuaian lahan dipandang sebagai kenyataan adaptabilitas (kemungkinan penyesuaian) sebidang lahan bagi suatu macam penggunaan tertentu. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang essensial antara kemampuan lahan dan kesesuaian lahan (Arsyad, 2010).
lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan
atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N) (Ritung, dkk, 2007).
Struktur klasifikasi lahan menurut sistem FAO (1976) didasarkan pada kelas- kelas kesesuaian lahan sebagai berikut :
• Kelas S1: Sangat sesuai (Highly Suitable) yaitu lahan tidak mempunyai
faktor pembatas yang serius untuk menerapkan pengolahan yang di berikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti secara nyata terhadap produksinya dan tidak akan menaikkan masukan yang biasa dilakukan.
• Kelas S2: Cukup sesuai (Moderatly Suitable) yaitu lahan mempunyai
pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaannya yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dari keuntungan dan perlu meningkatkan masukan yang diperlukan.
• Kelas S3: Kurang sesuai (Marginally Suitable) yaitu lahan mempunyai
harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.
• Kelas N1: Tidak sesuai saat ini (Currently Suitable) yaitu lahan
mempunyai pembatas yang sangat serius, tetapi masih dapat memungkinkan untuk diatasi hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengolahan model normal. Keadaan pembatas sedemikian seriusnya sehingga mencegah kelangsungan penggunaan lahan.
• Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya (Permanently not Suitable) yaitu
lahan mempunyai pembatas permanen untuk mencegah segala kemungkinan kelangsungan penggunaan lahan.
Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai (Ritung, dkk, 2007).
Survei Tanah
lahan yang diperoleh dari kegiatan pemetaan tanah harus ditindaklanjuti dengan interpretasinya melalui evaluasi lahan (Djaenudin, 2009).
Survei dan pemetaan tanah biasanya termasuk interpretasi untuk tujuan perencanaan penggunaan lahan dalam bentuk klasifikasi kemampuan lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan. Tujuan klasifikasi tersebut adalah memberikan arahan perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Pakar tanah mempunyai peranan dalam mengevaluasi kondisi lingkungan fisik, walaupun hal ini harus memperhitungkan juga teknologi dan konsekuensi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tertentu (Sutanto, 2005).
Berbagai model evaluasi lahan yang telah dikembangkan menurut PPPTA (2005), salah satu diantaranya adalah LECS (A Land Evaluation Computer System Methodology and User Manual) (Wood and Dent, 1983). LECS dipakai oleh Pusat Penelitian Tanah pada LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project), tahun 1987-1990. Hasil LREP-I adalah tersedianya data dan informasi potensi sumber daya lahan nasional dalam bentuk Database Sumber Daya Lahan dengan berbagai skala dan format, baik tabular maupun spasial (Arsyad, 2010).
Oleh Rossiter dan Van Wambekke (1997) dalam Ritung, dkk (2007) menjelaskan berbagai sistem evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan
parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan
karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman.
Prosedur pengembangan kelas kemampuan lahan pertama kali
dipublikasikan oleh Norton di dalam Soil Conservation Survey Handbook tahun
1939, meskipun ide mengenai kelas kemampuan lahan telah muncul jauh
sebelumnya (Helms, 2005). Menurut sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam
tiga kategori utama yaitu Kelas, Subkelas, dan Satuan Kemampuan (capability
unit) atau Satuan Pengelolaan (management unit). Pengelompokan di dalam kelas
didasarkan atas intensitas faktor penghambat (Arsyad, 2010).
Pada dasarnya, sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan oleh
USDA dan dikemukakan dalam Agricultural Handbook No. 210 (Klingebiel dan
Montgomery, 1961). Sistem ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu kelas, sub-kelas,
lahan tersebut untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan
kerusakan dalam jangka panjang (Sutanto, 2005).
Jika survey sumberdaya lahan telah dilaksanakan dan data telah dianalisis,
proses klasifikasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) metode parametrik
dan (2) metode faktor penghambat. Pada metode parametrik kualitas lahan atau
sifat-sifat lahan yang mempengaruhi kualitas lahan diberi nilai dari 10 sampai 100
atau 1 sampai 10. Kemudian setiap nilai digabungkan dengan penambahan atau
perkalian dan ditetapkan selang nilai untuk setiap kelas. Dengan nilai tertinggi
untuk kelas terbaik dan berkurang dengan semakin kecilnya selang nilai. Dengan
metode faktor penghambat, maka setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan
diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil
hambatan atau ancamannya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria
untuk setiap kelas. Penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan
berurutan semakin besar hambatan semakin rendah pula kelasnya.
(Arsyad, 2010).
Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian
Penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dapat dioptimalkan
apabila didukung informasi karakteristik lahan yang lengkap. Informasi tersebut
dapat berupa cakupan areal efektif yang dapat diusahakan, kondisi biofisik
wilayah, dan pertumbuhan serta produksi tanaman (Karim, dkk, 2008).
Untuk memperoleh lahan yang benar-benar sesuai diperlukan suatu
kriteria lahan yang dapat dinilai secara objektif. Acuan penilaian kesesuaian lahan
digunakan kriteria klasifikasi lahan yang sudah dikenal, baik yang bersifat umum
yang dikandung lahan, artinya hanya pada sampai pada pembentukan kelas
kesesuaian lahan, sedangkan menyangkut produksi hanya berupa dugaan
berdasarkan potensial kelas kesesuaian lahan yang terbentuk (Karim, dkk, 1996).
Karakteristik lahan yang berhubungan erat dengan evaluasi kesesuaian
lahan adalah :
Iklim
1. Temperatur
Tidak seperti hewan yang bersifat homeothermic, tanaman tingkat tinggi
tidak mampu mempertahankan sel-sel dan jaringannya pada suhu temperatur
optimum yang konstan dan area itu daun, batang, dan akarnya biasanya berada
dalam kisaran beberapa derajat dari suhu udara dan tanah sekelilingnya. Karena
hal tersebut, pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat dipengaruhi oleh
perubahan suhu lingkungan (Hanum, 2011).
Tanaman kina dan kopi, misalnya, menyukai dataran tinggi atau suhu
rendah, sedangkan karet, kelapa sawit dan kelapa sesuai untuk dataran rendah.
Pada daerah yang data suhu udaranya tidak tersedia, suhu udara diperkirakan
berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin tinggi tempat,
semakin rendah suhu udara rata-ratanya dan hubungan ini dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Braak (1928) :
26,3 C (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6 C)
(Ritung, dkk, 2007).
Untuk tanaman di daerah sedang, suhu optimum untuk fotosintesa lebih
rendah dibanding suhu optimum untuk respirasi, akibatnya tanaman penghasil
beriklim sejuk disbanding daerah yang lebih panas. Temperatur udara dipengaruhi oleh letak tempat pada suatu lintang (latitude), tinggi tempat dari muka laut (altitude), dan kandungan air (kelembaban) (Damanik, dkk, 2011).
2. Curah Hujan
Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting untuk pertanian
tropis, baik pada keadaan berlebih maupun kurang. Penyebaran curah hujan
merupakan kriteria utama yang digunakan untuk mengelompokkan iklim tropis,
seperti musim hujan atau musim kering. kelembaban merupakan faktor pembatas
pada sekitar ¾ lahan yang dapat di tanami di daerah tropis. Curah hujan semusim
bervariasi dari nol hingga 10.000 mm dan secara umum menurun dengan
menaiknya lintang, tetapi bentuk wilayah dan kondisi lainnya saling berhubungan
juga (Damanik, dkk, 2011).
Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam
jumlah curah hujan tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah.
Oldeman (1975) mengelompokkan wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan
bulan kering berturut-turut. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah
hujan >200 mm, sedangkan bulan kering mempunyai curah hujan <100 mm.
Kriteria ini lebih diperuntukkan bagi tanaman pangan, terutama untuk padi.
Berdasarkan kriteria tersebut Oldeman (1975) membagi zone agroklimat kedalam
5 kelas utama (A, B, C, D dan E). Sedangkan Schmidt & Ferguson (1951)
membuat klasifikasi iklim berdasarkan curah hujan yang berbeda, yakni bulan
basah (>100 mm) dan bulan kering (<60 mm). Kriteria yang terakhir lebih bersifat
umum untuk pertanian dan biasanya digunakan untuk penilaian tanaman tahunan
Pada curah hujan rata-rata 90 mm per bulannya dengan kondisi suhu panas
akan menghasilkan komunitas hujan tropis, sedangkan curah hujan yang sama
tetapi kondisi suhu rata-rata sedang komunitas yang hidup diatasnya adalah hutan
temperate, penurunan curah hujan antara 30-60 mm pada suhu lingkungan sejuk
komunitasnya adalah hutan gugur. Dan pada suhu panas dengan curah hujan lebih
kecil dari 30 mm maka komunitas yang ditemui adalah padang rumput, akan
tetapi jika curah hujan lebih kecil dari 10 mm komunitasnya berubah menjadi
padang pasir (Hanum, 2011).
Pada taksa subkelas dapat dilakukan perbaikan terhadap faktor pembatas / penghambat yang dijumpai. Perbaikan faktor tersebut sangat bergantung kepada faktor pembatas, apakah faktor pembatas permanen seperti elemen-elemen iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, penyinaran, dll) atau pembatas tidak permanen seperti elemen-elemen tanah (unsur hara, bahan organik, pH, dll). Sehingga dengan perbaikan faktor pembatas tersebut dapat meningkatkan kelas, tergantung tingkat perbaikan atau tingkat asumsi perbaikan faktor pembatas yang dilakukan (Karim, 2007).
Sifat Fisik Tanah
1. Tekstur
Definisi tekstur menurut USDA adalah perbandingan relatif antara partikel
tanah yang terdiri atas fraksi lempung, debu, dan pasir. Tekstur tanah bersifat
permanen/tidak mudah diubah dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat
tanah yang lain seperti struktur, konsistensi, kelengasan tanah, permeabilitas
Tanah terdiri dari partikel mineral yang berasal dari pengikisan batuan, dan bahan organik yang berasal dari sisa tumbuhan atau tanaman, fauna dan mikrobia tanah. Partikel mineral dan organik bercampur membentuk berbagai jenis agregat tanah. Tanah merupakan suatu ekosistem yang hidup dan diklasifikasikan menurut teksturnya yaitu berdasarkan kandungan pasir, debu, dan liat yang terkandung didalamnya (Hanafiah, dkk, 2009).
Untuk penentuan klasifikasi kemampuan lahan, tekstur lapisan atas tanah
(0-30 cm) dan lapisan bawah (30-60 cm) dikelompokkan sebagai berikut; (t1)
tanah bertekstur halus meliputi liat berpasir, liat berdebu, liat. (t2) tanah bertekstur
agak halus meliputi lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat
berdebu. (t3) tanah bertekstur sedang meliputi lempung, lempung berdebu, dan
berdebu. (t4) tanah bertekstur agak kasar meliputi lempung berpasir, lempung
berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus. (t5
2. Kedalaman Efektif
) tanah bertekstur kasar
meliputi pasir berlempung dan pasir (Arsyad, 2010).
Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi
pertumbuhan akar tanaman, yaitu kedalaman sampai pada lapisan yang tidak
dapat ditembus oleh akar tanaman. Lapisan tersebut dapat berupa lapisan padas
keras (hard pan), padas liat (clay pan), padas rapuh (Fragi-pan) atau lapisan
phlintite (Arsyad, 2010).
Cara praktis penetapan bawah (kedalaman efektif) suatu solum tanah
adalah melalui penyidikan pada kedalaman penetrasi perakaran tanaman yang
tidak mempunyai lapisan padat yang dapat menghambat penetrasi akar, maka
dan bahan geologis atau bukan tanah. (Foth, 1998) mengklasifikasikan kedalaman
efektif sebagai berikut; Ke-1 = > 90 cm (dalam), Ke-2 = 50-90 cm (sedang), Ke-3
= 25-50 cm (dangkal), dan Ke-4 = < 25 cm (sangat dangkal).
3. Permeabilitas
Permeabilitas adalah kualitas tanah untuk meloloskan air atau udara, yang
diukur berdasarkan besarnya aliran yang melalui satuan tanah yang telah dijenuhi
terlebih dahulu per satuan waktu tertentu. Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh
tekstur, struktur, dan porositas. Permeabilitas diukur berdasarkan horizon tertentu
(Sutanto, 2005).
Air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti
aliran permukaan (Surface runoff), aliran bawah permukaan (Subsurface flow),
aliran bawah tanah (Ground waterflow), dan aliran sungai (Stream flow)
(Arsyad, 2010).
4. Drainase
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut; (d0) berlebihan, air lebih
segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga
tanaman akan segera mengalami kekurangan air. (d1) baik, tanah mempunyai
peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas samapai ke bawah (150 cm)
berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak kuning, coklat atau
kelabu. (d2) agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah
perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, cokelat, atau kelabu
pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah. (d3) agak buruk, lapisan tanah
atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna
bawah. (d4) buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna
atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan. Dan (d5
(Arsyad, 2010).
) sangat
buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah
lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan,
atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama.
Aliran permukaan sangat tergantung pada kemiringan tanah dan tekstur.
Aliran permukaan pada tanah pasir lebih kecil daripada aliran permukaan pada
tanah lempung. Hasil aliran permukaan adalah terjadinya perkolasi. Pada
permukaan yang datar, perkolasi sama besarnya dengan presipitasi (evaporasi).
Pada permukaan yang miring, perkolasi lebih kecil daripada presipitasi
(evaporasi). Pada cekungan, perkolasi lebih besar daripada presipitasi (evaporasi)
(Sutanto, 2005).
Cara keluarnya atau cara mengeluarkan air lebih dari tanah dapat melalui permukaan tanah berupa aliran permukaan atau melalui aliran ke bawah di dalam profil tanah. Jika air lebih tersebut terdapat terutama di atas permukaan tanah dan pembuangannya melalui permukaan tanah, maka proses pembuangannya dikenal sebagai drainase permukaan (Arsyad, 2010).
5. Bahaya Erosi
Arsyad (2010) mengklasifikasikan kelas erosi sebagai sangat ringan
apabila < 0,15 % lapisan atas hilang, ringan apabila 0,15-0,9 % lapisan atas
hilang. Kelas sedang apabila 0,9-1,8 % lapisan atas dan bawah hilang, kelas berat
apabila 1,8-4,8 % lapisan bawah hilang, dan termasuk sangat berat apabila > 4,8
Konsekuensi terjadinya limpasan permukaan (run off) adalah partikel
tanah terangkut dalam bentuk suspensi dari tempat yang lebih tinggi ke tempat
yang lebih rendah. Bahan terangkut (sedimen) diendapkan di bagian cekungan
(lembah). Kebanyakan tanah-tanah pertanian di wilayah atasan mempunyai
kecenderungan mempercepat terjadinya erosi, karena pengolahan tanah yang
buruk, penebangan tanaman penutup tanah pada lahan miring, pengolahan tanah
menyilang kontur, dan penanaman tidak sejajar/menyilang kontur (Sutanto, 2005).
Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian maka erosi berkurang (Arsyad, 2010).
6. Bahaya Banjir
Ancaman banjir sangat perlu diperhatikan dalam pengelolaan lahan
pertanian karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
(Hardjowigeno, 1995) mengelompokkan bahaya banjir sebagai berikut; (f0)
apabila tidak ada banjir dalam periode satu tahun, (f1) apabila ringan yaitu dalam
periode kurang dari satu bulan banjir bisa terjadi dan bisa tidak, (f2) sedang yaitu
selama 1 bulan dalam setahun terjadi banjir. (f3) apabila agak berat yaitu selama
2-5 bulan dalam setahun dilanda banjir. (f4) apabila berat yaitu selama 6 bulan
lebih dalam setahun dilanda banjir.
Banjir ditetapkan sebagai kombinasi pengaruh dari: kedalaman banjir (X)
dan lamanya banjir (Y). Kedua data tersebut dapat diperoleh melalui wawancara
(dimana x adalah simbol kedalaman air genangan, dan y adalah lamanya banjir)
(Ritung, dkk, 2007).
7. Topografi
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua sifat topografi yang paling
berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang mungkin
berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng. Kemiringan lereng
dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak 100 m yang
mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100%
sama dengan kecuraman lereng 450
Ketinggian permukaan tanah, kemiringan, dan aspek kemiringan (utara,
selatan, timur, dan barat) berpengaruh terhadap hubungan permukaan tanah dan
kedalaman air tanah, ketahanan terhadap erosi, dan gerakan air lateral di dalam
tanah. Di samping itu, juga mempengaruhi iklim mikro dan sebaran tumbuhan
(Sutanto, 2005).
(Arsyad, 2010).
Pada lereng yang lebih curam dari 8% atau tanah yang lebih peka erosi, guludan mungkin tidak akan mampu mengurangi erosi sampai batas laju erosi yang masih dapat dibiarkan. Dalam keadaan ini dapat digunakan metode lain yaitu guludan bersaluran. Guludan bersaluran juga dibuat memanjang menurutarah garis kontur atau memotong lereng (Arsyad, 2010).
8. Batuan Permukaan
Batuan permukaan adalah batuan yang tersebar diatas permukaan tanah
dan berdiameter lebih besar dari 25 cm berbentuk bulat atau bersumbu
memanjang lebih dari 40 cm berbentuk gepeng. (Arsyad, 2010) mengelompokkan
dari 0,01 % luas areal (tidak ada), (b1) apabila 0,01 – 3 % (sedikit), (b2) apabila 3
– 15 % (sedang). (b3) apabila 15 – 90 % (banyak), dan (b4) apabila besar dari
90 % (sangat banyak).
Batuan merupakan bahan dasar mineral tanah. Tanah yang belum
bekembang mempunyai karakteristik yang cukup dekat antara sifat batuan induk
dan sifat tanah (latosol). Sifat bahan induk tanah juga berpengaruh terhadap aras
perkembangan tanah dan kecepatan faktor lain dalam mempengaruhi proses
pembentukan tanah. Karakteristik batuan dapat dipilahkan menjadi beberapa
kelompok berdasarkan: kompisisi mineral dan kimiawi, sifat fisik batuan (struktur
dan tekstur), dan relief permukaan batuan (Sutanto, 2005).
Batuan singkapan adalah batuan terungkap diatas permukan tanah yang
merupakan bagian dari batuan besar yang terbenam di dalam tanah.
(Arsyad, 2010) mengelompokkan penyebaran batuan singkapan sebagai berikut;
(b0) apabila kurang dari 2% (tidak ada), (b1) 2 - 10% (sedikit), (b2) apabila 10 -
50% (sedang), (b3) 50 - 90% (banyak), dan (b4) apabila lebih dari 90% (sangat
banyak).
Sifat Kimia Tanah
1. pH Tanah
dipertukarkan oleh kation Al3+, Fe3+, dan H+
Tanah harus dapat dipertahankan pada kisaran pH optimum karena pH tanah mempengaruhi ketersediaan hara dan terjadinya flokulasi lempung. Untuk menanggulangi keasaman, pengelolaan tanah yang sering kali dilakukan adalah pengapuran (kapur, kapur tohor, dolomit, kalsit). Cara ini tidak selalu berhasil dengan baik, terutama untuk tanah-tanah yang mempunyai koloid bermuatan terubahkan (variable charge coloid) di wilayah tropika basah (Sutanto, 2005).
, tetapi kation-kation ini lebih kuat terikat ditanah. Kemasaman potensial merupakan kemasaman dari hasil oksidasi bahan induk yang tak terhancurkan, seperti Pyrit (Mukhlis dkk, 2011).
pH rendah merupakan salah satu kendala apabila tanah tersebut dipergunakan untuk usaha tani atau budidaya, sehingga tanah ini perlu ada upaya pengapuran untuk meningkatkan pH. Dengan pH mendekati netral transfer kation-kation akan lebih mudah, sehingga hara dalam keadaan tersedia untuk pertumbuhan tanaman (Soewandita, 2008).
Dalam banyak kasus, kesuburan tanah diperbaiki dengan pengapuran tanah-tanah masam ke pH 6-7. Kebanyakan tanaman tumbuh baik pada kisaran pH tersebut. Pada reaksi tanah ini, konsentrasi Ca, Mg, dan P tersedia cukup untuk pertumbuhan tanaman. Tingkat kadar hara mikro dalam larutan tanah juga mencukupi. Terdapat juga kegiatan jamur dan bakteri (Tan, 1998).
daerah-daerah beriklim agak kering hingga kering. akibat reaksi alkalinnya, tanah-tanah tersebut hanya mengandung sedikit Al, Fe dan Mn terlarut (Tan, 1998).
Kemasaman tanah (pH) merupakan faktor penting untuk menentukan kelarutan unsur yang cenderung seimbang dengan fase padat. Kelarutan oksida dan hidroksida Al dan Fe langsung ditentukan oleh OH-. Semakin tinggi pH suatu tanah semakin sukar pula senyawa itu terlarut. Ion H+
2. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
bersaing langsung dengan kation penerima pasangan elektron seperti Cu dan Zn terhadap tempat yang sangat rumpil, dan oleh karena itu kelarutan senyawa kompleks Cu dan Zn bertambah dengan menurunnya pH tanah (Damanik dkk, 2011).
Kapasitas tukar kation tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah dalam menyerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam milliekuivalen per 100 gram. Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang diserap. Jumlah ion yang diserap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalen biasanya diikat lebih kuat dari pada ion-ion monovalen, sehingga lebih sulit untuk dipertukarkan (Tan, 1998).
terkandung di tanah sangat menentukan besarnya KTK tanah (Mukhlis, dkk, 2011).
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubunganya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dibandingkan tanah dengan KTK rendah. Makin banyak kation-kation yang dapat dipertukarkan dalam tanah maka kandungan hara tidak akan mudah tercuci oleh air (Hardjowigeno, 1995).
3. Kejenuhan Basa (KB)
Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation-kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat diserap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut.. Kejenuhan basa (KB) merupakan sifat yang berhubungan dengan KTK, yang dapat didefenisikan sebagai berikut: %KB = (Basa-basa tukar / KTK) x 100%
Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Disamping itu basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno, 1995).
dengan kejenuhan basa 50%. Pengapuran merupakan cara yang umum untuk meningkatkan persen kejenuhan basa (Tan, 1998).
4. C-organik
Kadar C organik tanah cukup bervariasi, tanah mineral biasanya mengandung C organik antara 1 hingga 9%, sedangkan tanah gambut dan lapisan organik tanah hutan dapat mengandung 40 sampai 50% C organik dan biasanya <1% di tanah gurun pasir. Ada beberapa metode yang biasa dilakukan dalam analisis bahan organik tanah. Antara lain dengan pembakaran, oksidasi basah (Mukhlis, dkk, 2011).
Kandungan bahan organik tanah biasanya diukur berdasarkan kandungan C-organik. Kandungan karbon (C) bahan organik bervariasi antara 45% - 60% (rerata 50%) dan konversi C-organik menjadi bahan organik = % C-organik x 1,724. Kandungan C termasuk perakaran dan edafon yang masih hidup sehingga tidak rancu dengan kandungan humus. Kandungan bahan organic dipengaruhi oleh aras akumulasi bahan asli dan aras dekomposisi dan humifikasi yang sangat tergantung kondisi lingkungan (vegetasi, iklim, batuan, timbulan, praktik pertanian) (Sutanto, 2005).
5. Daya Hantar Listrik (DHL) Tanah
Pelonggokan garam yang mudah larut dalam tanah secara parah menghambat pertumbuhan tanaman. Pelonggokan garam tersebut akan mengimbas plasmolisis, yaitu suatu proses bergerak keluarnya H2O dari tanaman ke larutan tanah. Kehadiran ion Na+
Salinitas dan sodisitas berpengaruh jelas terhadap pertumbuhan tanaman. Sodisitas dapat menyebabkan toksisitas kepada tanaman dan membuat masalah pada unsur hara, seperti defisiensi Ca
dalam jumlah tinggi dapat mempertahankan partikel-partikel tanah tetap tersuspensi. Dengan pengeringan, tanah membentuk lempeng-lempeng keras, dan terjadi pembentukan kerak di permukaan. Yang disebut terakhir ini menurunkan porositas tanah dan aerasi terhambat secara parah (Tan, 1998).
2+
. Pada tanah salin, kelarutan ion Cl-, SO4-, HCO3-, Na+, Ca+, Mg+, dan kadang-kadang NO3- dan K+
Proses pelapukan batuan atau mineral melalui reaksi kimia menghasilkan material yang memiliki komposisi berbeda dengan bahan aslinya. Agen utama terjadinya proses pelapukan kimia adalah H
, dapat merusak tanaman dengan cara menurunkan potensial osmotik. Namun, spesies dan varietas tanaman dari satu spesies memiliki toleransi berbeda terhadap pengaruh ion-ion tersebut (Mukhlis, dkk, 2011).
2O, CO2, O2, dan ion H+. Disolusi
pembentukan tanah dari batuan yang banyak mengandung gipsum (CaSO4.2H2
EC (Electric Conductivity) merupakan ukuran yang dapat dipercaya, tidak mahal dan cepat. Sehingga EC selalu diukur dalam uji tanah laboratorium. EC didasarkan kepada konsep bahwa arus listrik dihantarkan oleh larutan garam dibawah kondisi standar akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam di larutan tersebut (Mukhlis, dkk, 2011).
O) (Sutanto, 2005).
Berdasarkan persentase Nadd dan DHL dikenal 3 kelompok tanah yaitu; (1) tanah salin, (2) tanah salin-alkali, (3) tanah bukan salin -alkali (sodik). Tanah salin dicirikan oleh DHL > 4 mmhos/cm pada 25 ̊C dan PNT < 15%. tanah salin-alkali adalah tanah dengan DHL > 4 mmhos/cm pada 25 ̊C dan PNT > 15%. Tanah bukan salin alkali dicirikan dengan DHL < 4 mmhos/cm pada 25 ̊C dan PNT > 15%. Pada DHL antara 2-4 mmhos/cm, hanya tanaman yang sangat rentan akan terpengaruh, sedang pada nilai < 2 mmhos/cm pengaruh salinitas kecil dapat diabaikan (Tan, 1998).
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Provinsi Sumatera Utara, selain dikenal karena keindahan alam dan
budayanya juga dikenal sebagai daerah penghasil kopi arabika dan robusta terbaik
di dunia, seperti: kopi Sidikalang yang berasal dari dataran tinggi Dairi dan kopi
Mandailing yang berasal dari Mandailing Natal. Adanya produksi kopi ini yang
telah memberikan kontribusi penting pada perekonomian masyarakat dan daerah.
Baik melalui perdagangan kopi secara langsung, produk olahan dan sektor jasa.
sesuai untuk pertumbuhannya sehingga luas kebun kopi cenderung bertambah
(Arief, dkk, 2011).
Kabupaten Dairi mempunyai Luas 192.780 Ha atau sekitar 2,69 % dari luas Propinsi Sumatera Utara (7.160.000 ha). Kabupaten Dairi terletak sebelah Barat Daya Propinsi Sumatera Utara. Sebagian besar Kabupaten Dairi terdiri dari
dataran tinggi dan berbukit-bukit. Kabupaten tersebut terletak antara 98000'-
98030' BT dan 2015'00''- 30
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2012) yakni Luas Kecamatan Sidikalang 70,67 Km
00'00" LU. Sebagian besar tanahnya berupa
gunung-gunung dan bukit-bukit dengan kemiringan bervariasi sehingga terjadi iklim hujan sub tropis. Kota Sidikalang adalah ibukota Kabupaten Dairi (BPS, 2012).
2