• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

PE MBE RLAKUAN PIDANA PE NJARA BAGI TE RPIDANA ANAK

ME NURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAH UN 2012

DALAM PE RSPE KTIF KE ADILAN RE STORATIF

Rakimah Ohoiulun1, Masruchin Ruba’i2, Nurini Aprilianda3

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang.

E mail:rakimahohoiulun@ rocketmail.com.

ABSTRACT

The prevailing of Act No.11 of 2012 on Child Criminal Justice System is the answer for the failure of previous regulation, which is Act No.3 of 1997 on Child Judicial. Restorative justice approach is used because this approach is considered as able to restore the condition before the criminal action is taken. However, the replacement act still enforces prison punishment as the main punishment, as explained in its Article 71. It is truly not consistent to the restorative justice. It may be suggested that prison punishment shall be removed and be reformulated to the indemnification based on the seriousness rate of the criminal action.

Keywords: Prison Punishment, Restorative Justice ABSTRAK

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan jawaban atas kegagalan atas undang undang sebelumnya yakniUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Digunakannya pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)dipandang mampu untuk merestorasikeadaan sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana terjadi. Namun sayangnya, dalam undang-undang ini masih saja menempatkan pidana penjara dalam ketentuan pidana pokok yakni di Pasal 71. Hal ini tidak sejalan dengan keadilan restoratif (restorative justice)itu sendiri sehingga pidana penjara sudah seharusnya dihapuskan dengan reformulasi sanksi tindakan ganti rugi sesuai dengan tingkat keseriusan tindak pidananya.

Kata Kunci: Pidana Penjara, Keadilan Restoratif.

1

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 2011. 2

(2)

2

A. PE NDAHULUAN

Masih banyaknya fakta di lapangan dimana dari tahun ke tahun jumlah kejahatan yang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya4 menunjukan bahwa penjatuhan sanksi pemidanaan bagi mereka belum mencapai tujuannya yakni sebagai upaya meresosialisasi ke dalam ruang lingkup bermasyarakat.Kondisi semakin parah dengan sikap hakim yang nampaknya lebih mudah untuk menjatuhkan putusan terhadap anak-anak yang terlibat tindak pidana untuk masuk ke dalam penjara.Putusan hakim ini tidak didukung dengan penyediaan fasilitas penjara yang memadai yang mampu menampung terpidana anak lebih banyak sehingga tidak melebihi daya tampunguntuk menjalani masa hukumannya. Sehingga, lumrah bagi kita untuk memahami bahwa permasalahan baru akan terus bermunculan dan akan semakin kompleks.

Dimasukannya narapidana tertentu ke dalam lembaga pemasyarakatan hanyalah akan berpeluang untuk belajar atau setidaknya memperoleh hal-hal atau semacam informasi lainnya yang buruk dari para narapidana lainnya yang sudah professional, sementara program lembaga pemasyarakatan untuk meresosialisasi dapat dikatakan gagal total.5

Sebagaimana kita ketahui dimana masa anak-anak adalah masa dimana seseorang sangat membutuhkan kasih sayang terutama dari orang tua/ walinya untuk dapat berkembang dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak pada umumnya. Keadaan ini tidak akan ditemui jika anak ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan yang dibatasi oleh tembok tinggi serta dalam suasana yang tidak harmonis antara satu dan lainnya.6

Pidana tidak selalu dapat dipahami oleh anak.Pidana tidak jarang justru menyisakan luka di hati mereka.Masih tingginya angka kriminalitas yang berakhir dengan pemenjaraan, menunjukan bahwa pidana tipe ini tidak efektif dan belum mencapai tujuan yang diinginkan.Pidana penjara yang dijatuhkan dimaksudkan agar si anak menjadi jera dan tidak mau mengulangi lagi kejahatannya lagi, justru tidak jarang menurunkan harga diri anak dan menimbulkan dendam yang mendalam.

4http:/ / metro.news.viva.co.id/ news/ read/ 312779-2-008-k asus-k riminal-dilak uk an-anak -anak, diakses pada tanggal 13 November 2012.

5Niniek Suparnie.

E k sistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan.(Jakarta: Sinar Grafika,1996), hlm.7.

6 Marlina.Peradilan Pidana A nak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

(3)

3 Seringkali undang-undang disesuaikan dengan pandangan atau perspektif dari masyarakatnya.7Hal ini pun juga yang diterapkan dalam undang-undang ini, yakni dalam Pasal 81 Ayat 1 dimana anak dapat dipidana penjara apabila keadaan dan perbuatan anak membahayakan masyarakat.Membahayakan masyarakat tidak mempunyai pengertian atau tolak ukur yang jelas dalam undang-undang ini atau aturan pelaksananya, sehingga bisa menjadi multitafsir bahkan bias. Padahal kepada masyarakat jualah, mereka ini akan kembali lagi menjalani kehidupannya selepas menjalani masa hukumannya di penjara.

Diterbitkannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan akan berlaku efektif pada tahun 2014 mendatang telah menempatkan anak sebagai subyek hukum pidana yang tidak lagi diberikan sanki bersandarkan pada orientasi pembalasan semata, namun lebih mengarah kepada sanksi-sanksi yang bersifat restoratif (pemulihan keadaan). Hanya saja, ada beberapa catatan dalam undang-undang ini yang masih perlu mendapatkan koreksi agar ke depan bisa diperbaiki. Penulis mengamati bahwa pemerintah kita masih setengah hati dalam melakukan upaya restorasi terhadap anak pelaku tindak pidana yang terancam dengan pidana penjara. Artinya selama di dalam penjara yang dinamakan LKPA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang ini8, maka ia harus menjalani masa pidananya sembari melakukan aktifitas lain yang memang harus dikerjakannya yang kiranya bisa bermanfat di kemudian hari. Bukankah semangat awal terbentuknya undang-undang ini demi pemulihan atau perbaikan keadaan baik pelaku maupun korban seperti yang diinginkan dalam keadilan restoratif?

Penyelesaian perkara melalui restorative justice bukan lagi berfokus pada dua hal yakni; pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah serta mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut, karena yang diinginkan oleh restorative justice adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula.9

7David J Cocke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison.Menyingk ap Dunia Gelap Penjara;

A uthorised translation from the E nglish L anguage edition of Psychology in Prisons. (Jakarta: PT.Gramedia, 2008), hlm.28.

(4)

4 Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis yaitu apakah pidana penjara bagi terpidana anak yang diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sesuai dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) ? dan bagaimana reformulasi sanksi yang berkesesuaian dengan keadilan restoratif dalam undang-undang tersebut?

Tujuan penulisan ini yaitu untuk menganalisis lebih mendalam bagaimana pidana penjara dalam mencapai tujuannya yakni meresosialkan kembali para narapidana anak tersebut dalam kehidupan bermasyarakat agar berguna bagi dirinya sendiri juga bagi orang lain di sekitarnya serta memberikan jawaban atas kelemahan yang ada dalam pelaksanaan pidana penjara bagi anak tersebut sehingga ke depan akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik lagi Untuk menganalisis bahwa beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum sepenuhnya mengaktualisasikan semangat keadilan restoratif itu sendiri yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

B. ME TODE PE NE LITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memperoleh bahan hukum pustaka dengan cara mengumpulkan dan menganalisis bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari serta mengumpulkan pendapat para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur yang memuat tentang isu hukum yang akan diteliti.Penelitian hukum normatif ini dikenal juga dengan penelitian hukum doktriner atau penelitian hukum kepustakaan. Dikatakan penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian kepustakaandikarenakan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data-data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.10

Dalam penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statute approach) juga memerlukan interpretasi / penafsiran karena tidak semua teks undang-undang jelas.11Di dalam literatur, interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan kata-kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris

(5)

5 dan interpretasi modern.12 Disamping itu, pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan perbandingan (comparative approach).

Analisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian hukum normatif yaitu dengan cara studi kepustakaan diuraikan dan dikolerasikan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain sedemikian rupa baik antara bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Sebagai pisau analisis penulismengunakan teori hukum pidana, teori tujuan pemidanaan dan teori kebijakan penanggulangan kejahatan. Cara pengolahan bahan hukum ini dilakukan secara induktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan konkret yang bersifat khusus kepada permasalahan abstrak yang bersifat umum.Untuk data primer, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis preskriptif yakni menilai apakah pasal-pasal yang dipermasalahkan dalam penelitian sesuai tidak dengan tujuan yang dikehendaki dalam keadilan restoratif yaitu keadilan yang tidak hanya bagi korban dan/ atau keluarga korban dari tindak pidana saja tapi juga keadilan bagi pelakunya yang masih terkategori anak-anak tersebut.

C. HASIL DAN PE MBAHASAN

1. Pidana Penjara Bagi Terpidana Anak yang Diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Adanya pengaruh kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan iptek, budaya, hingga pembangunan membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar norma terutama norma hukum. Dalam hal ini, seseorang yang masih terkategori masih anak-anak pun bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Anak-anak ini pada umumnya terjebak dalam pola hidup konsumerisme dan asosial yang makin lama semakin menjurus ke arah tindakan kriminal, seperti menggunakan ekstasi, narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian, penganiayaan, dan sebagainya.13

Belum lagi ditambah dalam era saat ini, para orang tua yang lebih disibukkan mengurus pemenuhan kebutuhan duniawi (materiil) sebagai upaya mengejar kekayaan,

12Ibid, hlm.107.

(6)

6 jabatan, ataupun hanya sekedar gengsi, sehingga dengan adanya kondisi demikian si buah hati sering dilupakan, minimnya kasih sayang, perhatian, bimbingan untuk pengembangan sikap serta perilaku yang baik serta pengawasan dari orang tuanya.Anak yang kurang mendapatkan atau bahkan tidak mendapatkan perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial seperti ini lebih beresiko untuk berperilaku dan bertindak asosial dan bisa sampai bersikap anti-sosial yang hanya merugikan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

Faktor faktor diatas belum dipandang sebagai suatu faktor terbesar penyebab mengapa seorang anak melakukan tindak pidana, sehingga walaupun penjatuhan pidana penjara telah banyak dijatuhkan, namun hal ini tidak banyak memberikan dampak positif.Penerapan pidana kepada anak pelaku kejahatan diharapkan dapat memberikan pencegahan kepada anak-anak lain dan masyarakat secara umum untuk tidak berbuat kejahatan. Namun tujuan ini terkadang mengalami kegagalan, karena justru pelaku kejahatancenderung akan mengulangi kembali kejahatan yang telah ia lakukan (residivis) dan belum lagi jika masyarakat bisa meniru melakukan aksi kejahatan tersebut. Hal ini dikarenakan penerapan sanksi pidana tidak dapat melihat akar persoalan yang menjadi penyebab timbulnya suatu perbuatan pidana.Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pemikiran untuk melakukan suatu pendekatan sosial di samping penerapan sanksi pidana.14

Penjatuhan pidana oleh hakim bukanlah merupakan suatu hal yang salah akan tetapi sebaiknya hakim harus menimbang kembali apakah putusan hukuman yang dijatuhkan telah memberikan perlindungan terhadap kepentingan si anak tadi. Pertanyaan ini muncul karena setelah si terpidana anak selesai menjalani masa hukumannya, dapatkah ia menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan tindakan kriminal lagi?15

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap telah gagal dalam menangani masalah hukum bagi anak pelaku tindak pidana, maka pemerintah mencari pendekatan lain agar tujuan mulia tadi bisa tepat sasaran sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diharapkan bisa memberikan dampak positif lebih banyak bagi anak.Pendekatan penyelesaian masalah anak

(7)

7 yang berhadapan dengan hukum melalui jalur pidana semata-mata tidaklah tepat karena penerapan hukum pidana mempunyai keterbatasan yakni sebagai berikut:16

1) Dari sisi hakikat terjadinya kejahatan.

Kejahatan sebagai masalah sosial dan kemanusiaan tentu faktor penyebab lahirnya kejahatan cukup kompleks.Banyaknya faktor penyebab kejahatan tidak mampu dijangkau oleh hukum pidana itu sendiri.Ketidakmampuan hukum pidana menganalisis penyebab lahirnya kejahatan menyebabkan hukum pidana membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu lainnya.Oleh karena itu, membahas upaya penanggulangan kejahatan, hukum pidana harus dipadukan dengan pendekatan sosial.

2) Dari sisi hakikat berfungsinya hukum pidana karena adanya keterbatasan hukum pidana itu sendiri.

Penggunaan hukum pidana hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan yang berada di tengah masyarakat.Namun dalam kehidupan riilnya adanya penjatuhan sanksi pidana terutama pidana penjara bagi anak pelaku tindak pidana telah membantah perintah pasal di atas.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Dr.Arifin, S.H menerangkan bahwa ada beberapa dampak psikologis yang diderita oleh anak-anak didik Lapas Anak Tangerang berdasarkan hasil analisis lapangan yang telah ia lakukan, yakni:17

1. Hilangnya kepribadian diri dan identitas diri yang diakibatkan oleh peraturan dan tata cara kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan;

2. Hilangnya rasa aman, dimana seorang anak didik selalu berada dalam pengawasan petugas. Seseorang yang secara terus menerus diawasi akan merasa kurang aman, merasa

16Barda Nawawi Arief.

Beberapa A spek Kebijak an Penegak an dan Pengembangan Huk um Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm.44-45.

17 Arifin.Pendidik an A nak Berk onflik Huk um; Model Konvergensi A ntara Fungsionalis dan

(8)

8 selalu dicurigai dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu karena takut kalau tindakannya merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan diberikan sanksi;

3. Hilang kemerdekaan, karena telah dirampas kemerdekaan individual. Misal kemerdekaan berpendapat, bergaul dengan dengan masyarakat sekitar dan hak-hak kemerdekaan lainnya. Secara psikologis, keadaan demikian menyebabkan anak didik lapas menjadi tertekan jiwanya, menjadi pemurung, pemalas, mudah marah dan kurang bergairah mengikuti program-program pembinaan bagi pengembangan diri anak didik;

4. Terbatasnya komunikasi dengan siapapun. Anak didik tidak bisa bebas berkomunikasi dengan relasinya, keluarganya, atau teman-temannya di luar karena keterbatasan tadi disebabkan oleh setiap pertemuan memang sangat dibatasi bahkan kadangkala pembicaraan didengar oleh petugas yang mengawasinya. Begitu pula dengan surat-surat yang harus diperiksa terlebih dahulu, buku bacaan dan surat kabar yang harus disensor terlebih dahulu. Tentu saja keterbatasan kesempatan ini merupakan salah satu beban berat bagi si anak dalam menjalani hari-harinya di dalam lapas anak;

5. Merasakan kehilangan akan pelayanan. Dalam lapas, seorang anak didik harus mampu mengurus dirinya sendiri seperti mencuci pakaian, menyapu ruangan, mengatur dan merapikan tempat tidurnya sendiri. Anak didik tidak boleh memilih warna dan model pakaian sesuai dengan kehendaknya, karena aturan lapas mewajibkan anak harus memakai seragam yang sama. Begitu juga dengan masakan, menu makanan yang diberikan telah diatur oleh pihak lapas anak. Hilangnya pelayanan yang biasa didapatkan dalam lingkungan keluarganya menyebabkan si anak bisa menjadi sosok yang garang, cepat marah, atau melakukan hal-hal lain sebagai kompensasi kejiwaannya;

6. Hilangnya rasa kasih sayang dan rasa aman bersama keluarga. Anak didik ditempatkan dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya, penempatan ini menyebabkan anak didik merasakan betapa kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas;

(9)

9 8. Kehilangan rasa kepercayaan diri. Rasa ketidakpercayaan diri sendiri dikarenakan oleh tidak adanya rasa aman, tidak adanya kesempatan untuk membuat keputusan sehingga kurang mantap dalam bertindak serta kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap.

Prinsip-prinsip yang ada dalam“Beijing Rules”telah mengatur anak pelaku tindak pidana dihindarkan dari penjatuhan sanksi pidana,18 sehingga penjatuhan sanksi pidana merupakan upaya terakhir karena penjatuhan pidana penjara utamanya akan membawa si anak masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga pemasyarakatan anak ini sendiri merupakan tempat pembinaan terhadap narapidana anak yang diharapkan dapat memberikan proses pembinaan yang baik agar si anak. Sehingga setelah keluar bisa menjadi anggota masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.Kondisi lembaga pemasyarakatan anak yang overloaded, keterbatasan sarana dan prasarana serta pembina yang terbatas secara jumlah dan keterampilan, panjangnya proses peradilan pidana yang harus dijalani si anak tersangka pelaku tindak pidana sejak proses penyidikan di kepolisian hingga selesai menjalankan masa hukumannya dalam lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah gambaran kesedihan bagi si anak.19

Pidana penjara sudah tidak mempunyai tempat lagi dalam sistem peradilan pidana anak karena beberapa alasan yakni:20

a. Alasan Psikologis.

Masa anak-anak adalah masa masa ketika seorang pribadi tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan diri. Dalam proses tumbuh kembang tadi, seorang anak akan melewati peristiwa-peristiwa yang negatif maupun positif dan hal ini akan terus terjadi hingga ia dewasa nanti. Sebagai suatu proses, sudah selayaknya ia harus menanggung beban hukuman berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian terhadap masa depan si anak.

Pada masa anak-anak ini pula adalah masa dimana mereka sedang memenuhi kewajiban dan memperoleh haknya untuk belajar. Pemenjaraan akan merampas haknya untuk belajar karena selama dalam proses peradilan hingga menuju pemenjaraan dapat dipastikan si anak akan mengalami gangguan dalam mendapatkan hak itu.

18

Ibid, hlm.12. 19

Ibid.

(10)

10 Konstitusi negara kita meamanatkan hak atas memperoleh pendidikan dijamin oleh negara, hal ini ditemukan dalam Pasal 28 C dan Pasal 28 E Ayat 1 Amandemen ke II, Pasal 31 Ayat 1, Ayat 2, Ayat 4 Amandemen ke IV. Hak ini sangat penting baik bagi pemenuhan hak-hak sipil Walau kelak dalam Lapas atau dalam bahasa undang-undang dinamakan LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak)21 pun diwajibkan adanya pendidikan atau pelatihan atau kegiatan ajar-mengajar lainnya, namun hal itu hanya sekedar pengajaran ilmu pengetahuan semata. Karena proses belajar yang sesungguhnya adalah berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya dalam suasana kegembiraan untuk saling berimajinasi dan berobsesi untuk meraih cita-cita masa depan, dipastikan tidak ada lagi. Pengajaran yang ada sangatlah kering karena semuanya berada dalam suasana pengurungan baik lahir maupun batin. Selain itu, pemenjaraan juga akan menggangu tumbuh kembang anak karena ragam makanan yang tidak memenuhi standart gizi (1 hari untuk makan hanya Rp.8.000), sementara bakat dan minat si anak tidak bisa berkembang maksimal.

b. Alasan E mpiris

1) Pemenjaraan di Indonesia sangat tidak manusiawi. Banyak anak-anak yang dipenjara dicampur dengan orang dewasa. Menurut UNICEF, ada sekitar 6.000 anak yang telah ditahan atau dipenjara, 84% diantaranya telah ditempatkan dalam penjara dewasa. Dari 33 provinsi di Indonesia, hanya ada 16 lapas anak, artinya provinsi yang tidak mempunyai lapas anak maka akan dimasukan ke dalam lapas dewasa. Walaupun si anak tetap dimasukan ke dalam lapas anak, hal itu tetap saja membuat si anak berjauhan dengan orang tuanya.

2) Pemenjaraan di Indonesia banyak overkapasitas. Dari kapasitas lapas anak sebanyak 88.599 ternyata diisi sebanyak 140.739 atau over kapasitas 52.140 anak. Hal ini tidak hanya berlangsung pada kurun waktu tertentu saja, tetapi hampir sepanjang tahun.

3) Pemenjaraan di Indonesia menjadi media internalisasi tindak kejahatan dari senior kepada yunior (penghuni lama kepada penghuni baru) karena semua anak didik di lapas anak dicampur, tanpa melihat tindak jenis pidana yang dilakukan. Akibatnya tujuan pemenjaraan untuk mencapai perbaikan anak dan mendapatkan efek jera tidak pernah tercapai.

(11)

11 4) Pemenjaraan telah melahirkan banyak praktik kekerasan dan diskriminasi, baik selama

proses peradilannya maupun setelah masuk ke dalam lapas anak.

5) Penjara di Indonesia banyak yang menjadi tempat transaksi bahkan penggunaan obat terlarang, narkotika dan zat adiktif lainnya. Tak pelak banyak narapidana yang keluar penjara justru telah mahir dalam pengunaan obat terlarang, kebiasaan yang tak dimiliki sebelum masuk penjara. Peran anak selain diajari sebagai pengguna juga dimanfaatkan sebagai kurir dalam praktik penggunaan obat-obatan terlarang tersebut.

6) Bahwa secara normatif, pemenjaraan tidak menghilangkan hak-hak perdata dan hak sipil sebagai warga negara. Namun pada kenyataannya dalam situasi proses peradilan dan pemenjaraan kerap kali si anak kehilangan hak perdata dan hak sipil yang mereka miliki., salah satu diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan. Sudah seharusnyalah pemenjaraan anak tidak menghambat sifat progresif pemenuhan hak pendidikan. Yang terjadi justru sebaliknya, pemenjaraan anak secara objektif dan rasional hampir selalu mengakibatkan hilangnya hak pendidikan bagi anak. Padahal hak pendidikan merupakan hak fundamental yang harus diberikan secara progresif dan direalisasikan secara penuh karena :

a. Hak pendidikan diatur dalam konstitusi Indonesia yakni pada Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan hak konstitusional warga negara Indonesia termasuk anak, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”;

b. Hak atas pendidikan merupakan harmonisasi Pasal 28 dan 29 KHA dan dipertegas lagi dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Anak serta kewajiban pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 54;

c. Pendidikan bukan hanya sekedar program pemerintah semata, namun juga merupakan hak dasar (fundamental right) bagi semua anak, bahkan dalam segala situasi apapun (in all situation). Pendidikan dasar merupakan fondasi untuk pembelajaran seumur hidup dan pembangunan manusia.22;

d. Pemenuhan hak pendidikan anak bukan hanya program normatif, tetapi juga dilakukan dengan langkah-langkah serius. Pasal 28 Ayat 1 KHA menegaskan hak atas pendidikan anak :“State parties recognizes the right of child to education and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal oppurtinity”.

(12)

12 c. Alasan hukum

Dalam sejarah hukum pidana , sebagaimana diungkapkan oleh E .Y Kanter, S.H dan S.R Sianturi,S.H (2002) terhadap anak ada gagasan hukum pidana yang besar dan bersesuaian dengan justifikasi sosiologis bahwa pemenjaraan anak dicegah dan dihindarkan dengan memberi alternatif kepada tindakan (maatregel). Sementara tindakan merupakan bentuk pembinaan anak yang diutamakan sebagaimana yang diterapkan dalam KUHP Nasional Belanda. Rujukan yang bisa disampaikan yakni:23

1) Sistem Penal Code di Belanda sampai tahun 1886 (di Hindia Belanda sampi tahun 1918) memberlakukan pembatasan umur. Seorang anak yang belum mencapai usia 16 tahun yang melakukan suatu tindak pidana tidak dipidana , tetapi anak itu dapat diperintahkan oleh hakim perdata untuk mendapatkan pendidikan paksa (dwang-opvoeding).

2) Tahun 1886 semenjak berlakunya KUHP Nasional Belanda yang dalam banyak hal mencontoh KUHP Jerman, terjadi perubahan dalam pembatasan usia sebagai berikut:

a. seorang anak yang belum mencapai usia 10 tahun, jika melakukan suatu tindak pidana maka tidak boleh dipidana tetapi diharuskan mendapatkan pendidikan paksa dari pemerintah;

b. Seorang anak yang berusia 10 tahun hingga 16 tahun, jika melakukan suatu tindak pidana dan sudah berakal (ordel des onderscheid) , anak harus dipidana dengan pengurangan sepertiganya. Jika belum berakal, anak itu tidak boleh dipidana tetapi harus diperintahkan oleh hakim pidana untuk di didik paksa oleh pemerintah sampai si anak berusia 18 tahun;

c. Seorang anak yang berusia 16 tahun atau lebih, jika melakukan suatu tindak pidana harus dipidana.

3) Dalam rujukan sejarah hukum pidana di atas, terbukti bahwa hukum pidana KUHP Nasional Belanda menganut asas yang mempriritaskan tindakan, bukan hanya memberikan pidana semata, termasuk didalamnya pidana penjara.

4) Anak sebagai subjek yang sedang berkembang dan menjalani masa “evolving capacities”, anak sepatutnya dididik bukan dibebankan penderitaan atas perbuatannya. Hal ini

(13)

13 sangat berkaitan dengan aliran filsafat yang memayunginya. Dalam aliran filsafat interdeterminisme mengasumsikan bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak bebas termasuk saat melakukan kejahatan. Sehingga sebagai konsekuensi hukumnya adalah setiap pemidanaan harus diarahkan kepada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku. Aliran ini merupakan sumber ide dasar dari sanksi pidana. Sedangkan aliran filsafat determinisme bertolak belakang dari aliran filsafat interdeterminisme, artinya bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik perseorangan maupun masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor psikologis, fisik, geografis, biologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan.

Pemidanaan bagi anak pelaku tindak pidana atau anak nakal merupakan ketentuan yang ahistoris dan juga tidak memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat, bahkan semenjak zaman kolonial ketika hukum pidana Belanda masih berlaku mutlak yang kemudian menjadi rujukan sistem hukum nasional terhadap anak di bawah umur, sedapat mungkin tidak dijatuhkan hukum pidana, tetapi dilakukan pendidikan paksa dengan mengesampingkan menjatauhkan pidana.

Prof.Dr.Barda Nawawi Arief, S.H dalam sebuah bukunya menjelaskan bahwa jika dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu pidana dapat dikatakan efektif jika pidana tersebut sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek “pencegahan umum” (general prevention)dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.24Berdasarkan sebuah penelitian yang telah beliau lakukan, diperoleh sebuah gambaran umum bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Di sisi lainnya, kejahatan terus saja meningkat pesat.Sehingga tidak ada pengaruh pencegahan atau setidaknya tidak ada korelasi antara banyaknya pidana penjara yang dijatuhkan dengan menurunnya jumlah kejahatan.25

Dr.Wagiati Soetodjo, SH., MS dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa tidak jarang para narapidana anak selama menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan

24 Barda Nawawi Arief.

Bunga Rampai Kebijak an Huk um Pidana; Perk embangan Penyusunan Konsep KUHP Baru.(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hlm.214.

(14)

14 Anak Tangerang telah mengalami atau menghadapi adanya tekanan-tekanan emosi dalam berhubungan dengan para petugas di Lapas tadi.26 Setiap petugas lapas tadi dalam melakukan hubungan interaksi sosial dengan para narapidana anak, baik disadari atau tidak mereka telah menempatkan mereka sebagai anak pesakitan yang sedang menjalani masa hukumannya,27 bukan sebagai bagian dari anak bangsa yang masih membutuhkan bimbingan dan pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PK.04.10 Tanggal 10 April 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan yang di suatu saat kelak mereka dapat kembali dan berguna bagi keluarganya, masyarakat dan bangsanya.

Narapidana anak bukanlah sebagai objek, namun juga merupakan subjek sama seperti orang dewasa lainnya yang sewaktu-waktu bisa melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam hidupnya. Oleh karena itu selama dalam pembinaan dalam Lapas Anak Tangerang mereka sangat membutuhkan pembinaan yang sejalan dengan tujuan rehabilitasi sosial,28 yakni secara umum bertujuan agar narapidana anak berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan serta bersikap optimis akan masa depannya. Tidak hanya itu, mereka juga diharapkan dapat berintegrasi secara wajar kelak di dalam kehidupan bermasyarakat setelah mereka bebas / keluar dari penjara.Untuk mencapai tujuan ini, mekanisme pelaksanaanya dilakukan melalui program pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), pembinaan kesadaran hukum dan pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.29

Narapidana anak yang dipenjarakan di Lapas Anak Tangerang merupakan narapidana anak yang melakukan kejahatan dari tingkat ringan hingga berat, namun kelak dengan diberlakukannya undang-undang ini hanya narapidana anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal 7 tahun, kemudian anak yang telah melakukan berulang-ulang kali atas kejahatan yang sama/ lainnya, serta tindakana/ perbuatan anak yang dianggap dapat membahayakan masyarakat yang dapat dimasukan ke dalam penjara. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya penjatuhan pidana penjara para

26 Wagiati Soetodjo.

Huk um Pidana A nak .(Bandung: PT.Refika Aditama, 2006),hlm.127. 27

Ibid, hlm.128. 28Ibid.

(15)

15 narapidana akan semakin baik mengingat perlakuan petugas lapas yang sehari-hari mengurusi mereka?.

Ironis ketika kita hidup dalam zaman modern seperti saat ini dimana kemerdekaan telah kita raih dengan penuh perjuangan serta dimana hak asasi manusia telah menjadi arus utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru terjadi perampasan sistem hukum yang berpotensi merampas hak anak itu sendiri. Faktanya pemidanaan pun tidak menghentikan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum sehingga bisa disimpulkan bahwa pemidanaan anak telah gagal mengemban misinya yakni mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.30

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengecam tindakan pemidanaan terhadap anak. Pemidanan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi anak. Karena itu, harus distop segera. Jika mereka melakukan tindak pidana, tidak seharusnya dimasukkan ke dalam lapas.Solusinya adalah dengan memberikan restorasi terhadap anak misalnya anak dipulangkan kepada orangtua, atau diserahkan kepada negara untuk dibimbing dipanti pembinaan.31Dilema lainnya yang akan dihadapi oleh narapidana anak adalah adanya penilaian tertentu dari lingkungan atau kelompok sosial atau masyarakatnya sehingga menimbulkan stigma atau stempel yang biasanya bersifat negatif.

Masyarakat Indonesia hingga saat ini masih menilai anak melakukan tindak pidana dan/ atau yang pernah melalui sistem peradilan pidana biasanya akan terlibat lagi tindak pidana lain di masa yang akan datang. Stigmatisasi ini sangat sulit dihilangkan dari pandangan masyarakat kita. Adanya persoalan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia tadi menuntut pentingnya dikaji kembali mengenai restorative justice.

Kini restorative justice tidak lagi hanya sekedar konsep saja, namun telah diimplementasikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait

30

Hadi Supeno. Op.Cit, hlm.181.

(16)

16 dalam tindak pidana yang telah terjadi dimana bentuk penyelesaian tindak pidananya telah berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.32

Dalam restorative justice ini mempunyai pemikiran dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu pengrusakan norma hukum.33Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merusak tatanan hukum (law break ing) yang dibuat oleh negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat

(society value)34karena merupakan tindak kejahatan menyangkut kepentingan masyarakat luas dan negara. Pendapat ini dikemukakan oleh Howard Zehr, menurutnya:35

“Meskipun tindak pidana telah merusak tatanan nilai masyarakat, akan tetapi tetap menjadi sentral atau pokok permasalahan terhadap tindak pidana yang dilakukan yaitu masalah pelanggaran tersebut harus telah tercantum dalam hukum negara (legal state) dan tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan kejahatan.”

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditegaskan :

Pasal 71

Ayat (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan;

b. pidana dengan syarat:

1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; 3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga; e. penjara.

Ayat (2) Pidana tambahan terdiri atas:

32 Hadi Supeno. Op.Cit, hlm.17.

33Allinson Morris and C.Brielle Maxwell.Restorative Justice for Juveniles; Conferencing Mediation and

Circles.(Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2001), hlm.3. 34

Marlina, Op.Cit, hlm.23.

(17)

17 a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. pemenuhan kewajiban adat.

Pasal Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang masih saja melegitimasi adanya penjatuhan sanksi pidana penjara bagi anak pelaku tindak pidana dengan beberapa persyaratannya sebagai berikut :

1. Pasal 69 ayat (2) mensyaratkan usia minimal 14 tahun anak dapat dikenakan sanksi pidana, ada kemungkinan hakim bisa menjatuhkan pidana penjara;

2. Pasal 79 mensyaratkan ada dua hal seorang anak bisa dipidana yakni yang pertama

melakukan tindak pidana berat; dan/atau yang k edua tindak pidana yang disertai dengan kekerasan;

3. Pasal 81 mencantumkan syarat apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, maka anak dapat dijatuhi pidana penjara. Membahayakan seperti apa yang dimaksud dalam undang-undang ini pun menjadi tidak jelas, bahkan saat dicari dalam penjelasan, distu hanya menuliskan cukup jelas. Hal ini menyebabkan si anak menjadi korban ketidakpastian hukum karena makna dari kata membahayakan masyarakat menjadi bebas untuk ditafsirkan oleh hakim. Padahal dalam pendekatan keadilan restoratif, peran masyarakat turut pula disertakan dalam meresosialisasi kembali si terpidana anak. Karena bagaimana pun juga pada akhirnya si anak akan kembali ke lingkungan masyarakatnya.

Dengan adanya faktor-fator diatas sudah cukup menjadi dasar alasan mengapa pidana penjara sudah selayaknya ditiadakan dalam Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan mulai berlaku efektif pada tahun 2014 mendatang.

Klausula yang paling relevan adalah mengenai pidana perampasan kemerdekaan menurut Beijing Rules sebaiknya harus mempertimbangkan dua hal yakni :36

a. Pidana merupakan suatu upaya terkahir dan tidak dapat dielakkan lagi (sehubungan dengan keseriusan tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang)

b. Pidana dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat mungkin.37

Dalam ketentuan undang-undang ini hanya mengimplementasikan poin huruf a saja, sedangkan poin huruf b belum diatur.Memang dalam Pasal 81 Ayat 2 mengamanatkan

36 Wagiati Soetodjo.

Op.Cit, hlm.117. 37

(18)

18 bahwa bilamana pidana penjara dijatuhkan maka paling lama adalah ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Misalkan seorang anak anak beinisial A telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang mana ancaman pidananya 15 tahun penjara, maka pidana yang dijatuhkan atasnya hanya maksimal selama 7,5 (tujuh setengah) tahun. Hal ini tentu sangat tidak memberikan keuntungan bagi si anak, selain hal-hal negatif yang akan ia terima.

2. Reformulasi Sanksi yang Berkesesuaian Dengan Keadilan Restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Konsep restorasi (restorative justice) diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak diluar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang di sebut victim offender mediation dimana program ini di laksanakan di Negara Kanada pada tahun 1970.38Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana.

E va Achjani Zulfa dalam disertasinya mengungkapkan bahwa pendekatan keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang mengemuka dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Dalam program ini menganggap bahwa pelaku dan korban sama-sama mendapat manfaat sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak. Susan Sharpe mengemukakan ada lima prinsip dalam restorative justice, yaitu:39

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi

38

http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/05/teori-teori-pemidanaan.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2013.

(19)

19 masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan ini.

2. Restorativejustice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk jugaupaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidanya yang menimpanya.

3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan rasa penyelesaian dan mengakui semua kesalahan-kesalahan serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain.

4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depan uang lebih cerah. 5. Restorative justice memberikan kekuatan bagi masyarakat unutk mencegah supaya

tindak kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya, dan bukan bersumber dari dalam diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dalam fungsinya dalam kehidupan masyarakat.

(20)

20 Menurut seorang pemerhati anak Indonesia, Seto Mulyadi mengatakan bahwa tahanan anak tidak perlu ditahan di lembaga pemasyarakatan karena mereka memerlukan pembinaan positif yang diharapkan akan membuat mereka lebih baik di masa depan.40

"Bisa dititipkan di panti-panti asuhan terdekat.Supaya anak ini tidak merasa menjadi pelaku kriminal.Mohon ada pendekatan manusiawi seperti yang diamanatkan Undang- Undang Perlindungan Anak."41

Menurut Kak Seto, pada prinsipnya anak yang berhadapan dengan hukum juga membutuhkan perlindungan, dan perlakuan ramah.

"Mereka anak yang butuh perlindungan.Tapi bukan di dalam tahanan karena akan jadi korban, dan membuat mereka malah mendapat pelajaran negatif."42

Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, saya pun berpendapat bahwa sanksi pidana penjara tidak akan memberikan banyak dampak positif, sehingga sanksi pidana penjara yang ada di atur dalam Pasal 71 dihapuskan saja dan bisa digantikan dengan bentuk sanksi lain yang lebih merestorasi pelaku, yakni dengan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya.43Ganti rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh sistem peradilan pidana anak yang mengharuskan si anak untuk membayar sejumlah uang atau kerja/ service, baik langsung maupun tidak langsung.Namun yang paling tepat adalah ganti rugi yang berbentuk kerja dengan alasan tidak semua narapidana anak berasal dari keluarga mampu secara ekonomi.Sehingga hakim anak bisa memutuskan bentuk sanksi seperti ini untuk melatih anak bersikap jujur dan bertanggung-jawab atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya.Bentuk sanksi seperti ini dirasa lebih memberikan perlindungan kepada mereka, selain menghindarkan dari stigma negatif masyarakat jika mereka harus di didik melalui sanksi penjara.

3. PE NUTUP Kesimpulan

40 http://www.okefood.com/read/2010/03/19/340/314039/selalu-jadi-korban-anak-tidak-layak-di-penjara, diakses pada tanggal 5 Juli 2013.

41

Ibid.

42Ibid.

(21)

21 Masih terdapatnya pencantuman sanksi pidana penjara dalam Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, bertentangan dengan konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 serta mengancam masa depan si anak, bahkan menghambat tujuan dari keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri, sehingga keberadaan pidana penjara dalam pasal ini sudah tidak layak sebagai salah satu alternatif sanksi pidana bagi anak. Walaupun pidana penjara menempati urutan terakhir dalam pidana pokok bukan berarti hakim tidak bisa memberikan putusan yang menempatkan si pelaku anak untuk menjalani sanksi pidana ini.

Pemerintah seharusnya segera melakukan revisi undang-undang ini agar pendekatan restorative justice bisa dirasakan lebih banyak manfaatnya.Selain itu, paradigma yang digunakan pun seharusnya menggunakan perspektif anak dimana dalam hal perspektif anak tidak ada pemidanaan dan penjara bagi anak.44Apapun alasannya dan apapun tindakan yang dilakukan oleh anak, proses pemidanaan apalagi hingga pemenjaraan hanya berlaku bagi orang dewasa saja.45 Untuk reformulasi sanksi yang berkesesuaian dengan keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, hukuman terbaik bagi anak dalam sistem peradilan pidana bukan pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 huruf e. Sanksi pembinaan dalam lembaga sudah cukup adil dan layak diberikan bagi narapidana anak dimana selama pembinaan tadi mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan kompensasi berupa ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananyaAdanya sanksi pidana yang yang telah diatur sebelumnya sudah dianggap sesuai dengan tujuan dari keadilan restoratif.

Daftar Pustaka

Buku :

Allinson Morris and C.Brielle Maxwell, Restorative Justice for Juveniles; Conferencing Mediation and Circles,

Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2001.

Arifin,Pendidik an A nak Berk onflik Huk um; Model Konvergensi A ntara Fungsionalis dan Religius, Bandung: CV.Alfabeta, 2007.

Bambang Waluyo,Penelitian Huk um Dalam Prak tek,Jakarta : Sinar Grafika, 1991.

(22)

22 ---,Pidana dan Pemidanaan,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Barda Nawawi Arief,Kebijak an Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV.Ananta, 1994.

---,Beberapa A spek Kebijak an Penegak an dan Pengembangan Huk um Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

---,Bunga Rampai Kebijak an Huk um Pidana; Perk embangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.

David J Cocke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison,Menyingk ap Dunia Gelap Penjara; A uthorised translation from the E nglish L anguage edition of Psychology in Prisons, Jakarta: PT.Gramedia, 2008. Hadi Supeno,Kriminalisasi A nak : Tawaran Gagasan Radik al Peradilan A nak Tanpa Pemidanaan, Jakarta :

PT.Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Howard Zehr,Changing L enses: A New Focus for Crime and Justice, Pensylvania: Herald Press, 1990. Marlina,Peradilan Pidana A nak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung:

PT.Refika Aditama, 2009.

Marlina, Huk um Penitensier, Bandung: PT.Refika Aditama, 2011.

Niniek Suparnie,E k sistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Huk um, Jakarta: Kencana, 2010.

Wagiati Soetodjo, Huk um Pidana A nak , Bandung: PT.Refika Aditama, 2006.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Internet :

(23)

23 http://metro.news.viva.co.id/news/read/312779-2-008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak

http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/07/23/semakin-banyak-anak-penghuni-penjara. http://rachmatharyanto.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dapat memperdalam pemahaman tentang kualitas sanad hadits yang digunakan sebagai refrensi fadlilat al-Mulk dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi

Kondisi yang dialami beberapa unit usaha konveksi di Tingkir Lor pada masa krisis keuangan global memberi signal adanya efek krisis global terhadap perjalanan usaha

Caranya dengan facialkan putih telur pada wajah yang berjerawat untuk merawat jerawat yang sedang meradang sekaligus membuat kulit lebih lembut dan kencang.

Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan dalam pertimbangan perusahaan terkait pengaruh Work Life Balance dan Dukungan Supervisor terhadap

Sehingga hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa antara Kualitas Pelayanan (X1) dan Kemampuan Pegawai (X2) dengan Kepuasan Pelanggan (Y) ada korelasi

Peta sebaran reservoar hidrokarbon Berdasarkan hasil slicing yang dilakukan pada dua parameter yang dianggap cukup baik dalam memisahkan litologi batupasir yang berperan

Hasil yang diperoleh menunjukkan pada saat kain katun dicelupkan ke dalam 250 mL tinta cumi-cumi selama 1 jam menghasilkan warna hitam namun mudah luntur sehingga warna

Pemberlakuan sanksi pidana terhadap korporasi dan/atau pengurusnya yang telah terbukti melakukan tindak pidana pembalakan liar, baik pidana penjara maupun pidana