BAB III
DASAR HUKUM SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERH DAN RETRIBUSI DAERAH
A. Dasar Hukum Pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Negara Indonesia adalah negara hukum.32Oleh karena itu salah satu
ciri-ciri negara hukum adalah setiap tindakan penguasa negara (pemerintah) harus
berdasarkan hukum.Demikian juga tentang pungutan pajak dan retribusi harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengingat pajak daerah maupun
retribusi daerah itu merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah
yang tidak ada imbalannya yang dapat ditunjukkan secara langsung.33
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehubungan dengan itu adapun jenis atau hierarki Peraturan
Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang terdiri atas :
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
32
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota34
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama
Pasal 23 A yang menegaskan; Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ialah terdiri dari :
2. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Retribusi Daerah.
3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan Pasal 7.
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
6. Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
7. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
B. Perbedaan Pajak Daerah dengan Retribusi Daerah
Seperti telah diuraikan pada point A. Dasar Hukum Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah di atas, bahwa pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diatur pada undang-undang yang sama yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan pergantian
terhadap undang-undang yang telah ada sebelumnya yaitu Undang-Undang N0.
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, tetapi apabila dicermati, maka antara Pajak Daerah dengan
Retribusi Daerah terdapat beberapa perbedaan.
Perbedaan antara Pajak Daerah dengan Retribusi Daerah dapat dilihat dari
beberapa sudut yaitu sebagai berikut :
1. Dari sudut ciri atau karakteristik
Dari berbagai defenisi yang telah diuraikan pada Bab II tulisan ini dapat
ditarik ada beberapa ciri atau karakteristik dari pajak yaitu :
a. Pajak dipungut berdasar undang-undang atau peraturan pelaksanaannya.
b. Terhadap pembayaran pajak, tidak ada tegen prestasi yang dapat
ditunjukkan secara langsung;
c. Pemungutannya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah;
d. Hasil dari uang pajak dipergunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik pengeluaran-pengeluaran rutin maupun pengeluaran-pengeluaran
pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya
dipergunakan untuk public investment,
e. Di samping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan danadari
rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga
mempunyai fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur.
Retribusi agak berbeda dengan pajak.Dalam retribusi, hubungan antara
prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontraprestasi itu
bersifat langsung.Dalam hal ini, pembayar retribusi justru menginginkan adanya
air minum pada PDAM, retribusi listrik, telepon, gas, uang kuliah, dan
sebagainya.Pengenaan retribusi juga dilakukan dengan mendasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum, dan untuk menaatinya yang
bersangkutan juga dapat dipaksa. Dalam retribusi terhadap listrik, misalnya,
apabila rakyat selaku pelanggan tidak memenuhi kewajibannya maka akan ada
tindakantindakan tertentu yang bertujuan sebagai pemaksaan seperti pengenaan
denda, pemutusan hubungan untuk sementara, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, maka ada ciri-ciri tertentu yang melekat pada
retribusi, antara lain:
a. Retribusi dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku
umum);
b. Dalam retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga
masyarakat akan mendapatkan jasa timbal secara langsung yang tertuju
pada individu yang membayarnya (individual);
c. Uang hasil dari retribusi dipergunakan bagi pelayanan umum berkait dengan
retribusi yang bersangkutan;
d. Pelaksanaannya dapat dipaksakan, dimana paksaan itu umumnya bersifat
ekonomis.35
2. Dari unsur-unsur defenisi pajak dengan melihat defenisi yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka unsur-unsur yang terdaapt dalam pajak adalah :
a. Bahwa pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban menyerahkan sebagian
kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah
menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
b. Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti
bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat
dipaksakan, artinya: hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan seperti surat paksa dan sita.
c. Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat
oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak
didasarkan pada undangundang atau peraturan, maka ini tidak sah dan
dianggapsebagai perampasan hak.
d. Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa
antara pembayaran pajak dengan prestasi dariInegara tidak ada hubungan
langsung. Prestasi dari negara seperti: Hak untuk mendapat perlindungan
dari alat-alat negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan
pengairan dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan secara langsung
kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada
anggota masyarakat secara keseluruhan. Buktinya orang miskin yang tidak
membayar pajak pun dapat menikmati prestasi dari negara. Bahkanorang miskin
mungkin lebih banyak menggunakan prestasi dari negara dibanding dengan
orang kaya seperti dalam hal penggunaan sarana/kesehatan.
e. Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan,
Dengan memperhatikan unsur-unsur yang melekat pada pajak maka akan mudah
untuk membedakan antara pajak dengan “retribusi”. Adapun perbedaannya adalah
sebagai berikut:
a. Pada pajak sifatnya berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang yang
memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak, sedangkan pada retribusi
hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang langsung ditunjuk.
b. Pada pajak unsur paksaannya bersifat pidana dan administratif. Sedangkan
retribusi unsur paksaannya bersifat ekonomis, artinya kalau tidak membayar
iuran maka orang yang bersangkutan tidak diperkenankan memperoleh
atau menikmatijasa dari negara. Misalnya retribusi pasar. Bagi mereka
yangtidak membayar retribusi, maka kepadanya tidak akan
diperkenankan masuk di pasar menjual barang dagangannya.
c. Pada pajak, tegen prestasinya bersifat tidak langsung dalam arti bahwa
meskipun kita bayar pajak belum tentu kita bisa menikmati jasa dan negara.
Misalnya kita bayar pajak untuk membiayai salah satu IRIGASI (pengairan)
yang lerletak di salah satu daerah lain. Antara pembuatan irigasi dengan
pembayaran pajak tadi boleh dikatakan tidak ada hubungannya karena kita
selaku pembayar pajak belum tentu dapat manfaat atau kegunaan dan irigasi
itu. Irigasi itu dibangun bukan ditujukan kepada mereka yang membayar
pajak saja tetapi ditujukan untuk kepentingan masyarakat
secarakeseluruhan. Jadi, tampak bahwa mereka yang tidak bayar pajak
Sedangkan pada retribusi, tegen prestasinya bersifat langsung dalam arti
bahwa siapa yang membayar iuran maka ia berhak menikmati jasa
negara, sedangkan mereka yang tidak membayarnya, tidak diperkenankan
menikmati jasa negara, Contoh: Retribusi pasar dan retribusi air
minum.36
3. Dari Sudut Objek dan Jenisnya
Objek dan Jenis Pajak ada sebanyak 16 (enam belas) yang diperinci
seperti :
(1)Pajak Provinsi terdiri atas :
a. Pajak kendaraan bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan
(2) Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Sementara objek dan jenis Retribusi hanya sebanyak 3 (tiga) jenis yaitu
terdiri atas :
a. Jasa Umum
b. Jasa Usaha
c. Perizinan Tertentu.37
C. Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Adapun tata cara pemungutan pajak daerah maupun retribusi daerah
adalah seperti diperinci di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah
sebagai berikut :
1. Pemungutan Pajak
a. Pasal 96 Tata cara pemungutan pajak
(1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang
berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib
pajak berdasarkan peraturan perundang-undang perpajakan.
(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan
penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berupa karcis dan nota perhitungan.
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar
dengan menggunakan SPTPD dan atau SKPDKBT.
b. Surat Tagihan Pajak
(1) Pasal 100 Kepala daerah dapat menerbitkan STPD jika
a. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
b. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
c. Wajib Pajak dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
yang telah dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah
dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan dan ditagih melalui SRPD.
c. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
(1) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
Pembentukan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar dilunasi dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Kepala Daerah atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada
wajib pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran,
tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB,
SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembentulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau
kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih
dengan surat paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
2. Pemungutan Retribusi
a. Tata Cara Pemungutan Retribusi
Pasal 160
(1) Retribusi dipungut mengenakan SKRD atau dokumen lain yang
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
(3) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada
waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi
yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan
menggunakan STRD.
(4) Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
didahului dengan Surat Teguran.
(5) Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Daerah.
b. Tata Cara Perhitungan Retribusi
Pasal 151
(1) Besarnya Retribusi yang terulang dihitung berdasarkan perkalian
antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.
(2) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
jumlah penggunaan jasa yang dijadijan dasar alokasi beban biaya yang
dipikul pemerintah daerah untuk penyelenggaraan jasa yang
bersangkutan.
(3) Apabila tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sakit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan
(4) Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mencerminkan
beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
jasa tersebut.
(5) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai
rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung
besarnya Retribusi terutang.
(6) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan
seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan
sasaran penetapan tarif Retribusi.
c. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
Pasal 152
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi jasa umum
ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas
pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan
pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya
penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
(4) Retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk dan
Retribusi penggantian biaya cetak peta hanya memperhitungkan biaya
Pasal 153
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi jasa
Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut
dilakukan secaera efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Pasal 154
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu
didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan,
penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari
pemberian izin tersebut.
Dari uraian di atas dibawah ini dijelaskan secara sistematika mekanisme
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut :
a. Sistem Pemungutan Pajak Daerah
1. Pendaftaran dan Pendataan
Pendaftaran dilakukan oleh Wajib Pajak ke kantor DPKA. Pendataan
dilakukan oleh Petugas Pajak melalui pendataan Wajib Pajak.Kegiatan
pendaftaran pendataan diawali dengan pengisian formulir pendaftaran dan
Formulir yang telah diisi dikembalikan wajib pajak kepada petugas yang
ditunjuk dan dicatat dalam buku induk wajib pajak berdagarkan nomor
urut.DPKA menerbitkan surat pengukuhan pengusaha kena pajak dan NPWPD.
Apabila wajib pajak tidak mengembalikan/mengisi formulir, tidak
mengembalikan formulir pendaftaran maka hal tersebut telah dianggap
menyetujui sebagai wajib pajak.maka DPKA akan mengukuhkan pengusaha kena
pajak secara jabatan dan menerbitkan NPWPD. Wajib pajak yang telah memiliki
NPWPD setiap awal tahun pajak wajib mengisi SPTPD.
SPTPD disampaikan wajib pajak ke DPKA paling lambat 15 (lima belas)
hari berakhir masa pajak. untuk memberikan kemudahan pelayanan kepada wajib
pajak, NPWPD hams dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan daerah.
2. Pengisian dan Penyampaian SPTPD, SKPDKB dan SKPDKBT
Pengisian dan penyampaian SPTPD, SKPDKB dan SKPDKBT adalah prosedur
pengisian dan penyampaian surat pemberitahuan dan surat ketetapan pajak oleh Wajib Pajak
kepada Walikota.
Wajib Pajak yang telah memiliki NPWPD, setiap awal masa pajak wajib mengisi
SPTPD. SPTPD harus diisi secara jelas, lengkap dan benar serta ditandatangani oleh
wajib pajak atau kuasanya dan disampaikan kepada kepala DPKA paling lambat 15 (lima
belas) hari sesudah masa pajak.SPTPD untuk memperhitungkan dan menetapkan pajak
sendiri yang terutang.
Jumlah pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak harus tercantum
dengan jelas pada bukti pembayaran.Bukti pembayaran dapat berupa bill, atau kuitansi
pembayaran, perlu dilakukan perporasi terhadap bill atau kuitansi atau faktur oleh
DPKA.
Bill atau faktur pembayaran sekurang-kurangnya harus memuat :
a. nama dan alamat Wajib Pajak
b. nomor unit
c. tanggal
d. nama/jenis makanan yang dikonsumsi konsumen
e. jumlah pajak yang harus dipungut dan konsumen
3. Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran dan Penundaan Pembayaran.
Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan
pembayaran adalah prosedur yang harus dilakukan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran,
penyetoran, penunjukan tempat pembayaran, pengajuan permintaan pengangsuran dan
penundaan pembayaran pajak.
3. Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau
Pembatalan Ketetapan Pajak
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak adalah prosedur yang harus dilakukan wajib pajak apabila akan mengajukan
pengurangan, atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak.
Permohonan pengurangan Pajak diajukan dengan melampirkan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. surat kuasa dalam hal dikuasakan pada pihak lain
c. NPWPD
d. fotocopy KTP/kartu identitas lainnya dan wajib pajak
Walikota dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya surat permohonan harus memberikan keputusan atas permohonan
pengurangan pajak yng diajukan wajip pajak. Keputusan berupa mengabulkan
sebagian, atau mengabulkan seluruhnya atau menolak.
Angsuran pembayaran pajak harus dilakukan secara teratur dan
berturut-turut dengan dikenakan bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah pajak yang
belum atau kurang bayar. Walikota melalui kepala DPKA dapat
memberikanpersetujuan kepada Wajib Pajak untuk menunda pembayaran pajak
sampai dengan 12 (dua belas) bulan, setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dengan dikenakan bunga 2% (dua persen) sebulan dan jumlah pajak yang belum atau
kurang bayar.
Persyaratan untuk dapat mengangsur atau menunda pembayaran adalah sebagai
berikut:
a. Objek pajak terkena bencana atau bencana alam, seperti kebakaran, gempa
bumi, banjir tanah longsor.
b. Wajib Pajak berada dalam krisis keuangan.
c. Wajib Pajak berada dalam kondisi pailit yang dibuktikan dengan putusan
pengadilan.
4. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah prosedur pengajuan kelebihan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak hotel kepada walikota melalui
kepala DPKA. pengembalian kelebihan pembayaran pajak hotel dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
5. Kriteria Wajib Pajak dan Penentuan Besaran Omset Serta Tata Cara
Pembukuan atau Pencatatan
Wajib pajak yang melakukan usaha dengan omset paling sedikit
Rp.300.000.000,- (Tiga ratus juta rupiah) pertahun wajib menyelenggarakan
Pembukuan. Pembukuan dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menghitungbesamya pajak terutang dan hams dilakukan secara tertib, teratur dan benar
sesuai denga norma pembukun yang berlaku.
Apabila wajib pajak tidak menunjukkan pembukuan pada saat
pemeriksaan, maka jumlah pajak terutang akan ditetapkan secara jabatan. Pembukuan,
catatan dan bukti pembukuan yang berhubungan dengan usaha wajib pajak hams disimpan
selama 5 (lima) tahun.
6. Pemeriksaan
Pemeriksaan pajak adalah tata cara yang hams dilakukan petugas yang ditunjuk
dalam memeriksa pembukuan wajib pajak. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang dilakukan oleh PPNS.
Bentuk pemeriksaan terdiri dari:
a. Pemeriksaan lengkap
Pemeriksaan lengkap dilakukan ditempat wajib pajak meliputi pajak untuk tahun
pemeriksaan yang lazim digunakan untuk pemeriksaan pada tahun sebelumnya.
b. Pemeriksaan sederhana dapat dilakukan:
1. di lapangan, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun berjalan atau tahun-tahun
sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan teknis pemeriksaan dengan
bobot dan kedalaman yang sederhana.
2. di kantor, meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun berjalan yang
dilakukan dengan menerapkan teknik pemerikasaan dengan bobot dan kedalam
sederhana.
Dalam pengelolaan pajak harus dilakukan sesuai dengan syarat-syarat
pengelolaan pajak yang telah ditetapkan, mengingat membebankan pajak kepada
masyarakat bukanlah suatu hal yang mudah.Disini para petugas pajak harus aktif
dalam hal pemungutan pajak.
Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun. Pajak atau Tahun Pajak.Apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dan wajib pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur
Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan wajib pajak.
Kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang dapat dibetulkan
ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada kesalahan atau
kekeliruan dari:
a. Kesalahan tulis antara lain : kesalahan yang dapat berupa penulisan nama,
alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa atau Tahun Pajak
b. Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan
atau perkalian danatau pembagian suatu bilangan;
c. Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, penerapan sanksi administrasi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penghitungan PPh dalam tahun
berjalan, dan pengkreditan pajak.
Jangka waktu penyelesaian permohonan pembetulan Wajib Pajak harus
diselesaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima. Apabila jangka waktu
tersebut telah lewat Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan,
maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan.
b. Sistem Pemungutan Retribusi Daerah
Proses pemungutan Retribusi Daerah meliputi proses pendataan sampai
pada proses pengawasan penyetoran oleh pejabat yang berwenang. Sifat
pemungutan retribusi daerah tidak dapat diborongkan, artinya seluruh proses
kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.
Namun, dalam pengertian ini tidak berarti bahwa pemerintah daerah tidak boleh
bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam proses
pemungutan retribusi, pemerintah daerah dapat mengajak bekerja sama
badan-badan tertentu yang karena profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut
melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi tertentu secara lebih
efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan dengan
terutang,pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.38
Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi
dengan tingkat penggunaan jasa. Dengan demikian, besarnya retribusi yang
terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.
Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah
(SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan. SKRD adalah suratketetapan retribusi
yang menentukan besarnya pokok retribusi. Dokumen lain yang dipersamakan antara
lain, berupa karcis masuk, kupon dan kartu langganan. Jika wajib retribusi tertentu tidak
membayar retribusi tepat pada waktunya atau kurang membayar, ia dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dan retribusi terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi
Daerah (STRD). STRD merupakan surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi
administrasi berupa bunga dan atau denda. Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi daerah
ditetapkan oleh kepala daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pejabat Pemungut Retribusi adalah Pejabat pegawai yang diberi tugas
tertentu dibidang retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
39
38
Ryan Harianto, Makalah Tentang Tantangan Otonomi Daerah dalam Prespektif Pendapatan Asli Daerah. Disampaikan dalam seminar terbuka di Universitas Sumatra Utara 2014.
39
a. Tingkat Penggunaan Jasa
Tingkat Penggunaan Jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa
sebagai dasar alokasi beban biaya yang dipikul daerah untukpenyelenggaraan
jasa yang bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi, berapa
kali/berapa jam parkir kendaraan, dan sebagainya.Akan tetapi, ada pula penggunaan
jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur.Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa
mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus tertentu yang didasarkan atas luas tanah, luas
lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
b. Tarif Retribusi Daerah
Tarif Retribusi Daerah adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan
untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang.Tarif dapat ditentukan seragam
atau dapat diadakan perbedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan sasaran dan tarif
tertentu, misalnya perbedaan Retribusi Tempat Rekreasi antara anak dan dewasa.Tarif
retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran
penetapan tarif retribusi, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan
perekonomian daerah berkaitan dengan objek retribusi yang bersangkutan. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 ditetapkan bahwa tarif retribusi ditinjau
kembali paling lama lima tahun sekali.
c. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah
Tarif retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan
memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang berbeda antar
golongan retribusi daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28Tahun
8-10 prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan
sebagai berikut:
1. Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan
mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan
masyarakat, dan aspek keadilan.
2. Tarif retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan pada tujuan utama untuk
memperoleh keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap
memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.
3. Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan padatujuan untuk
menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin
yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin yang
bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan
dilapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari
pemberian izin tersebut.40
Sedangkan menurut Kesit Bambang Prakosa, prinsip dasar untuk
mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total biaya dari
pelayanan-pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan
tingkat pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap dibawah tingkat biaya (full
cost) ada 4 alasan utama mengapa hal ini terjadi :
a. Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan suatu public goodyang disediakan
karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi dikenakan untuk mendisiplinkan
konsumsi. Misalnya retribusi air minum.
b. Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dan swasta dan sebagian lagi merupakan good
public. Misalnya tarif kereta api atau bus disubsidi guna mendorong masyarakat
menggunakan angkutan umum dibandingkan angkutan swasta, guna mengurangi
kemacetan.
c. Pelayanan seluruhnya merupakan (privat good) yang dapat disubsidi jika hal ini
merupakan permintaan terbanyak dan penguasa enggan menghadapi masyarakat
dengan full cost. Misalnya fasilitas rekreasi dan kolam renang.
d. Privat good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan group-group
berpenghasilan rendah. Misalnya perumahan untuk tunawisma. Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tarif dan tingkat penggunaan jasa dengan rumus sebagai berikut:
Retribusi Terutang = Tarif Retribusi x Tingkat Penggunan Jasa.41
41
BAB IV
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara merupakan salah satu cabang atau bagian
dari hukum yang khusus.Hukum Administrasi Negara dalam studi ilmu
Administrasi, merupakan mata kuliah bahasa khusus tentang salah satu aspek dari
administrasi, yakni bahasan mengenai aspek hukum dari administrasi
negara.Hukum Administrasi Negara dikalangan PBB dan kesarjanaan
internasional, diklasifikasi baik dalam golongan ilmu-ilmu hukum maupun dalam
ilmu-ilmu administrasi, hukum administrasi materiil terletak diantara hukum
privat dan hukum pidana. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Prinsip negara
hukum pada dasarnya mengisyaratkan adanya aturan main dalam
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sebagai aparatur penyelenggara
negara, dengan inilah kemudian Hukum Administrasi Negara muncul sebagai
pengawas jalannya penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Berdasarkan asumsi tersebut tampah bahwa Hukum Administrasi Negara
mengandung dua aspek yaitu pertama, antara aturan hukum yang mengatur
dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya
administrasi negara dengan para warga negaranya,42
1. Perbuatan Pemerintahan (pusat dan daerah) dalam bidang politik :
jadi Hukum Administrasi
Negara adalah hukum yang berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit)
Bestuursrecht of administratief Recht omvat regels, die betrekking hebben op de
administratie yaitu hukum yang cakupannya secara besar mengatur :
2. Kewenangan pemerintah (dalam melakukan perbuatan dibidang publik
tersebut) di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan
bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; pengguna kewenangan
ini dituangkan dalam bentuk instrument hukum, karena itu diatur pula tentang
pembuatan dan penggunaan instrument hukum;
3. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunana kewenangan
pemerintahan itu;
4. Penegakan hukum dan penetapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan.43
Pengertian dan istilah Hukum Administrasi Negara. Sejarah dari Hukum
Administrasi Negara dan Negara Belanda yang disebut Administratif Recht atau
Bestuurs Recht yang berarti Lingkungan Kekuasaan/Administatif di luar dari
legislative dan yudisial. Hukum Administrasi Negara merupakan hukum yang
selalu berkaitan dengan aktivitas perilaku administrasi negara dan kebutuhan
masyarakat serta interaksi diantara keduanya.Pada dasarnya defenisi Hukum
Administrasi Negara sangat sulit untuk memberikan suatu defenisi yang dapat
diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat
luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu
42
negara.44
1. Oppen Hein mengatakan “Hukum Administrasi Negara sebagai gabungan
ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah
apabila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang telah diberikan
kepadanya oleh Hukum Tata Negara”.
Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa defenisi sebagai
berikut :
2. J.H.P. Beltefroid mengatakan “Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan dan
badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak
memenuhi tugasnya”.
3. Logemann mengatakan “Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari
norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan untuk
memungkinkan para pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka
yang khusus”.
4. De La Bascecoir Anan mengatakan “Hukum Administrasi Negara adalah
himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab negara
berfungsi/bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan
antara warga negara dengan pemerintahan”.
5. L.J. Van Apeldorn mengatakan “Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung
kekuasaan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung
44
kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu”.
6. A.A.H. Strungken mengatakan “Hukum Administrasi Negara adalah
aturan-aturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri”.45
Pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum administrasi
negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya.Pemerintah adalah
pengurus dari pada negara, pengurus negara adalah keseluruhan dari
jabatan-jabatan di dalam suatu negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik
negara dan pemerintahan.Apa yang dijalankan oleh pemerintah adalah tugas
negara dan merupakan tanggung jawab dari pada alat-alat pemerintahan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum
mengenai pemerintah/eksekutif di dalam kedudukannya, tugas-tugasnya dan
fungsi.
Hukum Administrasi Negara umum berkenaan dengan peraturan-peraturan
umum mengenai tindakan hukum dan hukum administrasi atau
peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang hukum
administrasi, dalam arti tidak terikat pada bidang tertentu.Hukum Administrasi
Negara adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu
seperti peraturan tentang tata ruang, peraturan tentang kepegawaian, peraturan
tentang pertanahan, peraturan kesehatan, peraturan perpajakan, peraturan bidang
pendidikan, peraturan pertambahan dan sebagainya.46
45
Ibid, hlm. 20 46
Perbedaan bidang hukum administrasi khusus adalah hal yang logis,
karena masing-masing negara mempunyai perbedaan sosio kultural, politik,
kebijakan, pemerintah, dan sebagainya.Pembedaan antara hukum adminstrasi
umum dan khusus menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari.Munculnya
hukum administrasi khusus semakin penting artinya, seiring dengan lahrinya
berbagai bidang tugas-tugas pemerintahan yang baru dan sejalan dengan
perkembangan dan penemuan-penemuan baru berbagai bidang kehidupan di
tengah masyarakat, yang harus diatur melalui hukum administrasi. Hukum
Administrasi Negara khusus ini telah dihimpun dalam Himpunan
peraturan-peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, yang disusun berdasarkan
sistem Engelbrecht, yang di dalamnya dimuat tidak kurang dari 88 bidang.
Bidang Hukum Administrasi Negara khusus di Belanda, terdapat pada
Staatsalmanak 1995, yang juga memuat puluhan bidang.Berdasarkan keterangan
tersebut tampak bahwa bidang Hukum Administrasi Negara itu sangat luas,
sehingga tidak dapat ditentukan secara tegas ruang lingkupnya. Khusus bagi
negara kesatuan dengan system desentralisasi, terdapat pula Hukum Administrasi
Daerah, yaitu peraturan-peraturan Hukum administrasi dapat dikatakan sebagai
“hukum antara”, sebagai contohnya yaitu dalam perihal perizinan bangunan.
Penguasa dalam memberikan izin, memperhatikan segi-segi keamanan dari
bangunan yang direncanakan.47
Pemerintah dalam hal demikian, menentukan syarat-syarat keamanan,
disamping itu bagi yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tentang izin
bangunan dapat ditegakkan sanksi pidana.W.F. Prins mengemukakan bahwa
hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi diakhiri in cauda
venenum dengan sejumlah ketentuan pidana (in cauda venenum secara harfiah
berarti ada racun di ekor/buntut).48
1. Mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat.
Hukum menurut isinya dapat dibagi dalam
Hukum Privat dan Hukum Publik.Hukum Privat (hukum sipil), yaitu hukum yang
mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain,
dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.Hukum publik (Hukum
Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat
perlengkapan, atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara),
yang termasuk dalam hukum publik ini salah satunya adalah Hukum Administrasi
Negara.
Hukum Administrasi Negara secara teoritik, merupakan fenomena
kenegaraan dan pemerintahan yang keberadaannya setua dengan keberadaan
negara hukum, atau muncul bersamaan dengan diselenggarakannya kekuasaan
negara dan pemerintahan berdasarkan aturan hukum tertentu.Hukum Administrasi
Negara sebagai suatu cabang ilmu, khususnya di wilayah hukum kontinental, baru
muncul belakangan.
Dalam pelaksanaannya Hukum Administrasi Negara mempunyai beberapa
tujuan sebagai berikut :
Fungsi Hukum Administrasi Negara ini sama dengan fungsi dari
hukum-hukum lain, yaitu mengatur hubungan dalam masyarakat. Contoh :
48
a. Hukum perdata mengatur hubungan antara individu/badan hukum dengan
individ/badan hukum lain.
b. Hukum pidana mengatur hubungan antara negara dengan
individu/masyarakat dalam hal kepidanaan.
c. Hukum Administrasi Negara mengatur hubungan antara negara dengan
individu/masyarakat dalam bidang administrasi negara/pemerintahan.
2. Mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan Hukum Administrasi Negara,
selain mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, tujuan Hukum
Administrasi Negara juga mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan
dalam masyarakat.
a. Contoh : dalam pengurusan ijin HO dan dalam pengurusan IMB. Dalam
pengurusan ijin HO (anti gangguan) di dalam pengurusan ijin HO adalah
beberapa kepentingan :
• Kepentingan orang yang mengajukan
• Kepentingan pemerintah
• Kepentingan orang di sekitar tempat yang diajukan
Dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan ada beberapa kepentingan
yang diajukan :
• Kepentingan orang yang mengajukan
• Kepentingan pemerintah
• Kepentingan orang yang memiliki tanah di sekitar tempat yang
3. Menjaga agar pelaksanaan administrasi negara berjalan sebagaimana
mestinya.
4. Melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
B. Asas-Asas dan Tujuan Pemungutan Pajak dan Retribusi 1. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Masalah pajak tidaklah sederhana memindahkan dana dari masyarakat ke
kas negara. Pemungutan pajak dikenakan atas sebagian harta, kekayaan atau
penghasilan seseorang atau sebagian keuntungan yang didapatkan oleh badan
usaha berdasarkan wewenang pemerintah selaku pelaksana undang-undang
perpajakan.Agar tidak menimbulkan akses dan gejolak dalam pelaksanaannya
maka dalam penyusunan undang-undang dan peraturan perpajakan haruslah
memperhatikan beberapa asas pemungutan pajak.
Teori asas pemungutan pajak yang sangat terkenal dan dianut hingga saat
ini salah satunya adalah teori “Four common of taxation” atau The four maxims”
yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “An inquiry in to the nature
and cause of the wealth of Nations”, yaitu :
1. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan).
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak (ability to payment), negara tidak
boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Keadilan disini mengacu
kepada konsep penerimaan dan pengorbanan yakni jika kita membayar pajak
walaupun timbal balik tersebut tidak dapat diberikan secara langsung.
2. Asas Centainty (asas kepastian hukum)
Pajak dipungut secara pasti tanpa kesewenang-wenangan dalam arti dalam
melakukan pemungutan pajak harus dilakukan berdasarkan undang-undang.
Pajak bukanlah suatu asumsi namun pajak adalah suatu kepastian berupa
yang harus dipungut dan dibayar oleh wajib pajak serta harus pasti pula
ketentuan dan undang-undang sebagai payung hukum pelaksanaan
pemungutan itu.
3. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak tepat waktu)
Asas ini disebut pula asas kesenangan, dimana pemungutan pajak harus
dilakukan pada saat yang tepat dan pada saat yang tidak menyulitkan bagi
wajib pajak. Sebagai contoh pada saat wajib pajak menerima penghasilan atau
menerima hadiah, pada saat itulah saat yang tepat untuk memungut pajak
darinya dimana sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
4. Asas Economy (asas ekonomis), asas ini mengamanatkan bahwa biaya
pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung
wajib pajak. Jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak yang timbul
nilainya lebih besar dari pada hasil pemungutan pajaknya.49
Menurut Adam Smith, asas keadilan dalam pemungutan beban pajak
pertama-tama hendaknya dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan.
Apabila manfaat yang dinikmati tersebut tidak dapat dipakai untuk membagi
beban pajak yang diperlukan, maka anggota masyarakat harus dikenakan pajak
sebanding dengan kemampuan membayar masing-masing, yaitu sebanding
dengan penghasilan yang diperolehnya berkat perlindungan pemerintah. Jika
Adam Smith mengemukakan 4 (empat) asas dalam pemungutan pajak, maka W.J
de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda menyebutkan 7 (tujuh) asas
pokok perpajakan, yakni sebagai berikut :
1. Asas Kesamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang sama
hendaknya dikenakan pajak yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi dalam
pemungutan pajak.
2. Asas Daya Pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak
hendaknya terkena beban pajak yang sama. Ini berarti orang yang
pendapatannya tinggi dikenakan pajak yang tinggi, yang pendapatannya
rendah dan pendapatannya dibawah basic need dibebaskan dari pajak.
3. Asas Keuntungan Istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan keuntungan
istimewa hendaknya dikenakan pajak istimewa pula.
4. Asas Manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah
didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-barang
dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
5. Asas Kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa dengan adanya
tugas pemerintah yang pada satu pihak memberikan atau menyediakan
barang-barang dan jasa bagi masyarakat dan pada lain pihak menarik
pungutan-pungutan untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut, akan
6. Asas Keringanan Beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun pengenaan
pungutan merupakan beban masyarakat atau perorangan dan betapapun
tingginya kesadaran berwarga negara, akan tetapi hendaknya diusahkan
bahwa beban tersebut sekecil-kecilnya.
7. Asas Keseimbangan, asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan
berbagai asas tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi
hendaknya selalu diusahkan sebaik mungkin. Artinya tidak mengganggu
perasaan hukum, perasaan keadilan dan kepastian hukum.50
Adolf Wagner, pakar perpajakan lainnya mengatakan bahwa asas
pemungutan pajak terdiri dari :
1. Asas Politik Finansial Pajak yang dipungut oleh negara jumlahnya harus
memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara,
sehingga penyelenggaraan perpajakan harus diteliti dan akurat
menentukannya.
2. Asas Ekonomi Penentuan Objek Pajak harus tepat. Misalnya objek pajak atas
barang-barang mewah.
3. Asas Keadilan Pungutan Pajak harus berlaku secara umum tanpa adanya
diskriminasi diantara satu wajib pajak dengan wajib pajak yang lain, dalam
kondisi yang sama diperlukan pungutan pajak yang sama pula.
4. Asas Administrasi, asas ini menyangkut tentang masalah perpajakan (kapan,
dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara
membayarnya) dan berapa biaya pajak yang harus dikeluarkan.
50
5. Asas Yuridis, asas ini mengharuskan setiap pemungutan pajak oleh
pemerintah harus berdasarkan undang-undang.51
2. Tujuan Pelaksanaan Pemungutan Pajak dan Retribusi a. Tujuan Pemungutan Pajak
Secara umum dilakukannya pemungutan pajak adalah untuk mencapai
kondisi meningkatnya kondisi perekonomian suatu negara atau daerah yaitu :
(1) Untuk membatasi konsumsi dan dengan demikian mentransfer sumber dari
konsumsi ke investasi.
(2) Untuk mendorong tabungan dan menanam modal
(3) Untuk mentransfe sumber dari tangan masyarakat ke tangan pemerintah
sehingga memungkinkan adanya investasi sumber dari tangan masyarakat ke
tangan pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi pemerintah.
(4) Untuk memodifikasi pola investasi
(5) Untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan
(6) Untuk memobilisasi surplus ekonomi.52
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya pajak diorientasikan kepada
kesenagan dan pelaksanaan yang tidak memberatkan bagi masyarakat dan
kepastian hukum sehingga dengan hal tersebut tidak menjadikan masyarakat
secara sadar dan sukarela untuk membayar jumlah pajak yang terhutang.
51
b. Tujuan Pemungutan Retribusi
Tujuan Retribusi daerah pada dasarnya memiliki persamaan pokok dengan
tujuan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara atau pemerintah daerah.
Adapun tujuan pemungutan tersebut adalah :
(1) Tujuan utama adalah untuk mengisi kas negara atau kas daerah guna
memenuhi kebutuhan rutinnya.
(2) Tujuan tambahan adalah untuk mengatur kemakmuran masyarakat melalui
jasa yang diberikan secara langsung kepada masyarakat.
(3) Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam retribusi
sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
(4) Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
(5) Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan
daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan retribusi
daerah.53
C. Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Apabila dilihat dari sudut asas-asas dan tujuan pemungutan Pajak Daerah
dan Retibusi Daerah, maka Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, sekalipun merupakan pergantian-pergantian
Undang-Undang No. 18 tahun 1997 sebagaimana telah dirobah melalui
undang-undang yang sama dianggap mempunyai kekurangan yaitu Undang-Undang
No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah dirobah melalui Undang-Undang No. 34
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Undang-Undang
inipun masih dapat dikatakan belum berhasil dari sudut tujuan hukum administrasi
negara. Karena undang-undang adalah merupakan payung atau alat pemerintah
atau pejabat negara untuk dapat melaksanakan tugasnya demi kepentingan bangsa
dan negara itu sendiri.
Sebagai bukti bahwa pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
belum dapat dikatakan berhasil dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai sumber PAD belum
tercapai sebagaimana mestinya, dikarenakan banyak faktor diantaranya
adalah :
a. Wajib Pajak kurang memiliki kesadaran dalam membayar pajak dan
retribusi. Mereka belum mengatakan pentingnya pajak dan retribusi baik
bagi pembangunan daerah maupun terutama manfaatnya bagi mereka
sendiri. Bahkan sebagian besar wajib pajak sulit menerima tarif pajak
memberatkan mereka. Sehingga hal sedemikian ini tidak jarang terjadi
antara wajib pajak dengan petugas pemungut pajak terjadi tawar menawar
atau negoisasi agar dapat membayar pajak dengan nominal yang lebih
rendah dari apa yang telah ditetapkan. Dalam hal seperti ini petugas
pemungut pajakpun tidak jarang menerima tawaran wajib pajak dengan
pertimbangan takut kehilangan potensi pajak yang lebih besar yaitu si
wajib pajak sama sekali tidak membayar pajak.
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat dalam hal pemungutan retribusi
sehingga menyulitkan kolektor dalam hal pemungutan tersebut bahkan
subjek retribusi tidak jarang sengaja menunda atau tidak mau melalukan
pembayaran dengan alasan bahwa pendapatan mereka dari hasil
berdagang tidak menghasilkan untung yang cukup sehingga memberatkan
mereka untuk melakukan pembayaran.
c. Petugas pemungut pajak kurang optimal dalam memungut pajak karena
selain belum professional juga jumlahnya terbatas dibanding dengan
jumlah wajib pajak itu sendiri.
d. Sarana dan prasarana dalam rangka pemungutan pajak belum optimal.
Tempat-tempat pembayaran pajak ditemukan antrian panjang yang
menyita waktu dan tenaga wajib pajak. Pembayaran pajak secara “On
Line” dirasakan masyarakat bukan mempermudah tetapi sebaliknya
menyulitkan mereka.
e. Adanya pemungut liar terutama dalam hal retribusi, sehingga sekalipun
kas negara, karena petugas pemungutnya adalah liar atau dengan kejadian
seperti ini tidak jarang terjadi bahwa subjek retribusi harus melakukan
pembayaran lebih dari satu kali.54
2. Adanya kesepakatan pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan
undang-undang tentang pengampunan pajak (Tax Amnesty) adalah bukti kegagalan
pemerintah menjalankan undang-undang tentang pajak dan retribusi.
Kelemahan pemerintah disini adalah tidak dapat melakukan paksaan terhadap
pemungutan pajak sangat sedikit kita memperoleh berita tentang adanya
pemidanaan oleh pemerintah terhadap orang-orang wajib pajak. Kalaupun ada
hal tersebut dilakukan tebang pilih. Terhadap orang yang mempunyai
kekuasaan dan uang yang banyak pemerintah dalam hal kewajiban membayar
pajak.55
3. Adanya kasus-kasus petugas pajak seperti kelas kakap “Gayus Tambunan”
dan lain-lain berada dalam pusaran korupsi pajak membuat wajib pajak
banyak yang tidak percaya sehingga hal ini salah satu penyebab pungutan
pajak dan retribusi belum dapat mencapai sasaran yang diinginkan.56
4. Pada saat-saat penulisan skripsi dilaksanakan, beredar isu bahwa setelah
tanggal 31 Maret 2017 diperpanjang menjadi tanggal 21 April 2017
merupakan batas terakhir pengisian SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan’
pajak Tahun 2016, bahwa tanggal waktu pengisian SPT badan diperpanjang
sampai dengan 30 April 2017, wajib pajak juga belum mengisi SPTnya, maka
Direktorat Djenderal Pajak Republik Indonesia akan memberikan sanksi
berupa denda uang sampai ratusan ribu rupiah. Hal ini mengindasikan bahwa
yang pertama masih banyak wajib pajak yang belum mengisi SPT sehingga
perlu mendapatkan sanksi denda sebagai resiko yang harus diterima oleh
yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi kelalaian atau ketidak peduliannya.
Yang kedua, bahwa pemungutan pajak sesuai dengan Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak berjalan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Adapun jenis-jenis objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai UU No.
28 Tahun 2009 ialah terdiri atas :
a. Pajak Daerah, yaitu :
1) Pajak Provinsi terdiri atas :
a) Pajak kendaraan
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d) Pajak Air Permukaan; dan
e) Pajak Rokok
2) Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas :
a) Pajak Hotel
b) Pajak Restoran
c) Pajak Hiburan
d) Pajak Reklame
e) Pajak Penerangan Jalan
f) Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan
h) Pajak Air Tanah
i) Pajak Sarang Burung Walet
j) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
b. Retribusi Daerah, yaitu terdiri atas :
1) Jasa Umum
2) Jasa Usaha, dan
3) Perizinan Tertentu
2. Adapun Dasar Hukum Pendapatan dan Pemungutan Pajak Daerah dan
Retibusi Daerah adalah sebagai berikut :
a. Dasar Hukum Pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Retribusi Daerah.
3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
4. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
5. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
b. Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah dan Retibusi Daerah.
a) Pemungutan Pajak Daerah
1. Pendaftaran dan Pendataan
Pendaftaran dilakukan oleh Wajib Pajak ke kantor DPKA.
pengisian formulir pendaftaran.Wajib pajak yang telah memiliki
NPWPD setiap awal tahun pajak wajib mengisi SPTPD.
2. Pengisian dan penyampaian SPTPD, SKPDKB dan SKPDKBT.
Pengisian dan penyampaian SPTPD, SKPDKB dan SKPDKBT
adalah prosedur pengisian dan penyampaian surat pemberitahuan dan
surat ketetapan pajak oleh wajib pajak kepada
Gubernur/Walikota/Bupati.
3. Pembayaran Pajak Daerah dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak atau
kuasanya di Kas Daerah atau Kantor Pajak yang ditentukan oleh
Pemerintah Daerah setelah Kepala Daerah menentukan jatuh tempo
penyetoran dan pembayaran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga
puluh hari) kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 60
(enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
b) Pemungutan Retribusi Daerah
1) Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Daerah
(SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan berupa : karcis,
kupon dan kartu langganan, SKDR adalah surat ketetapan retribusi
yang menentukan besarnya pokok retribusi. Jika wajib retribusi
tertentu tidak membayar retribusi tepat waktunya atau kurang
membayar, ia dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% setiap bulan dari retribusi terutang ditagih dengan
2) Pejabat Pemungut Retibusi adalah pejabat pegawai yang diberi
tugas tertentu dibidang Retribusi Daerah oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai UU No. 28 Tahun
2009 ditinjau dari perspektif Hukum Administrasi Negara belum berhasil
sebagaimana mestinya (diharapkan). Sebagai buktinya antara lain :
a. Pemerintah dan DPR mengeluarkan undang-undang terutang tentang
pengampunan pajak (tax amnesty). Hal ini mengindikasikan begitu
banyaknya wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajak sesuai Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Hasilnya ternyata benar bahwa jumlah perolehan
tax amnesty tersebut. Negara Indonesia adalah merupakan negara yang
paling tinggi di dunia sekalipun target pemerintah tidak tercapai.
b. Adanya wacana pemerintah untuk memberikan sanksi denda bagi wajib
pajak sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) pertahun bagi siapa yang
pengisian SPT-nya belum diisi sampai batas tanggal terakhir 31 Maret
2017 yang telah tunggu diperpanjang menjadi 21 April 2017, bahkan
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dibawah ini diturunkan
beberapa saran-saran sebagai beikut;
1. Kepada petugas atau pegawai pajak yang telah ditugaskan oleh pemerintah
disarankan agar lebih profesional di dalam pemungutan pajak dna retribusi
mengingat yang pertama begitu banyak jenis atau objek pajak dan retribusi,
kemudian yang kedua pajak dan retribusi adalah merupakan kesiapan semua
bangsa dan negara kita untuk dpat membiayai semua sektor pembangunan
negara untuk kesejahteraan bangsa dan negara tersebut.
2. Disarankan kepada; petugas atu pegawai pajak dan retribusi sekaligus
masyarakat wajib pajak maupun wajib retribusi, kiranya dapat mempedomani
semua peraturan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan pajak
daerah dan retribusi daerah seperti diuraikan di atas. Dan khusus kepada
masyarakat wajib pajak maupun wajib bayar retribusi kiranya secara sadar
membayar pajak dan retribusi tersebut tanpa harus menunda atau memberikan
sesuatu yang berupa gratifikasi atau menyuap petugas pajak dan retribusi
untuk dapat tidak membayar pajak dan retribusi yang/telah terutang yang
wajib dibayarkan sesuai dengan peraturan perundng-undangan. Apalagi untuk
penundaan untuk pembayaran pajak maupun retribusi oleh undang-undang
bukan saja dapat dihukum denda administrasi dibayar sesuai dengan %
(persenan) tertentu, tetapi juga dapat dikenakan hukuman pidana tertentu.
3. Disarankan kepada pemerintah khususnya pegawai pajak agar dapat lebih
Daerah dan Retribusi Daerah agar target pengungkapan pajak dan retribusi
daerah tersebut dapat dicapai. Kemudian dihimbau pemerintah agar dapat
memberikan risentif tertentu kepada wajib pajak maupun retribusi yang dapat
membayar pajak dan reribusi tepat waktu, dan kepada wajib pajak dan
retribusi yang tidak dapat melakukan kewajibannya tanpa alasan yang dapat
diterima akal supaya dapat memberikan hukuman sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dimana kedua hal ini tentunya akan
menjadi sugesti bagi orang banyak untuk taat hukum terutama dalam