Aspek Rasional dan Saintifik dalam Tradisi Keilmuan Islam Jabal Ali Husin Sab*
Tradisi keilmuan Islam selama ini sering disalahpahami. Selama ini timbul anggapan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran agama berbau doktrin dan dogma, mitos dan takhayul, serta diluar dari penalaran akal sehat manusia. Oleh karena itu, agama ditolak secara perlahan dalam kehidupan masyarakat Barat, sebagai gantinya sains dijadikan sebagai pegangan dan panduan hidup.
Ilmuwan Barat seperti Comte percaya bahwa sains yang berperan sebagai pegangan hidup manusia modern menggantikan agama adalah bentuk kematangan manusia dalam garis sejarah. Manusia dianggap berevolusi dari satu tahap ke tahap lainnya dan kini berpegang kepada agama tak lagi relevan karena sains telah menggantikan perannya. Sains juga dianggap lebih masuk akal karena sains menjawab segala pertanyaan manusia yang dapat dicerna oleh akal dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Islam haruslah dilihat berbeda dengan agama-agama lainnya. Selama ini kita dipaksakan untuk menerjemahkan makna agama (Islam) sebagaimana pemahaman masyarakat Barat terhadap agama mereka (Kristen). Padahal di dalam Islam tidak ada semacam dikotomi antara agama dan sains yang posisinya dipertentangkan antara satu sama lain. Jika kita coba melirik tradisi keilmuan Islam, maka kita dapat menyimpulkan bahwa agama berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam.
Ilmu dalam Islam
membangun peradaban Islam adalah ilmu. Tradisi keilmuan dalam Islam membentuk corak peradaban yang khas dan memiliki daya pengubah yang efektif.
Tradisi keilmuan dalam Islam bertolak dari ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam menjawab perdebatan filosofis (baik yang teoritis-spekulatif maupun yang praktis) sejak masa Yunani soal eksistensi Tuhan (wujud), hubungan Tuhan dan alam semesta dan berbagai tafsiran seputar realitas yang terjadi di dalam alam semesta.
Di dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu pengetahuan penting yang menjadikan para pemikir Islam mampu menyibak tabir pengetahuan yang sebelumnya telah dibahas dalam dugaan spekulatif para filosof. Untuk itu, wahyu sebagai sumber keilmuan yang pasti yang bersifat langsung dari Tuhan menjadi cahaya yang memberikan pengetahuan bagi para pemikir Islam.
Epistemologi Islam
Dalam Oxford Dictionary epistemologi diartikan sebagai The theory of knowledge, especially with regard to its methods, validity, and scope, and the distinction between justified belief and opinion. Epistemologi berarti teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan metode pengetahuan, mengukur validitas pengetahuan dan cakupannya dan alat pembeda antara pendapat yang terbukti benar dengan yang hanya sekedar pendapat. Dalam definisiEncyclopedia Britanicadisebutkan juga bahwa epistemologi terkait asal-muasal dan batasan pengetahuan manusia. Jadi, epsitemologi adalah sebagai tolak ukur bagi menentukan mana yang disebut dengan ilmu pengetahuan sesuai dengan kaidahnya dan bagaimana cara meraih ilmu pengetahuan.
Dalam kitab Aqa id an-Nasafi karya Abu Hafs Umar Najmuddin an-Nasafi (kitab ini disyarah oleh al-Taftazani yang kemudian diterjemahkan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri) dijelaskan tentang epistemologi Islam. Alat untuk mendapatkan pengetahuan disebutkan adalah khabar shadiq, kelima panca indera dan akal rasional. Khabar shadiq terdiri dari khabar mutawatir yang disampaikan oleh orang-orang terpercaya dari waktu ke waktu yang tidak mungkin berbohong, serta wahyu yang disampaikan oleh Nabi dan Rasul.
Epistemologi Islam yang bersumber dari khabar shadiq (wahyu) pancaindera dan akal rasional membuktikan bahwa tidak ada pemisahan mutlak antara wahyu dan akal. juga agama dan ilmu pengetahuan. Maka jelaslah bahwa ajaran Islam berpegang pada aspek rasional dan saintifik yang kemudian membentuk tradisi keilmuan yang menjadi faktor berjayanya peradaban Islam.