BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Akses terhadap air bersih dan layanan sanitasi bersih adalah hak azasi
manusia dan juga kebutuhan mutlak setiap orang. Sama halnya dengan
pendidikan, kesehatan merupakan kebutuhan mendasar yang penting bagi setiap
manusia. Manusia tidak hanya cukup berinvestasi bagi pendidikan, tetapi juga
kesehatan. Pemeliharaan kesehatan khususnya terhadap sanitasi seperti akses air
bersih dan jamban sangat perlu untuk dibudayakan. Sebab, sanitasi yang sehat
merupakan kunci untuk menciptakan masyarakat yang sehat.
Kesehatan lingkungan adalah salah satu bagian dari kesehatan masyarakat.
Upaya menyehatkan lingkungan berarti juga sebagai salah satu usaha untuk
menyehatkan masyarakat. Lingkungan yang sehat akan meningkatkan peluang
pengembangan ekonomi, kesempatan sekolah bagi anak-anak, meningkatkan
produktivitas manusia, dan mengurangi polusi terhadap air. Secara umum, tujuan
kesehatan lingkungan menurut Budiman Chandra (2005:4) adalah melakukan
koreksi atau perbaikan terhadap segala bahaya dan ancaman pada kesehatan dan
kesejahteraan hidup manusia, melakukan usaha pencegahan dengan cara mengatur
sumber-sumber lingkungan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan
program terpadu di antara masyarakat dan institusi pemerintah serta lembaga
nonpemerintah dalam menghadapi bencana alam atau wabah penyakit menular.
Permukiman kumuh masih menjadi masalah klasik yang dihadapi
Indonesia sebagai negara dengan populasi masyarakat terbesar di dunia.
Pertumbuhan penduduk kota di Indonesia yang begitu cepat telah memberikan
dampak sangat serius terhadap penurunan daya dukung lingkungan. Ada banyak
penduduk yang bertempat tinggal secara tidak manusiawi di berbagai kota besar
dan kota kecil. Turunan dari masalah pemukiman kumuh ini tidak lain yaitu
keterbatasan akses air dan sanitasi bersih. Inilah akibat minimnya kesadaran
masyarakat yang menyebabkan berkembangnya perilaku tidak sehat.
Masyarakat Indonesia di daerah kumuh padat perkotaan belum menyadari
pentingnya perilaku hidup sehat dengan menjaga kesehatan lingkungan. Slamet
(2009:2) berpendapat orang sadar bahwa penyakit itu banyak sekali ditentukan
oleh berbagai faktor, antara lain perilaku masyarakat sendiri. Norma serta budaya
yang menentukan gaya hidup masyarakat akan menciptakan keadaaan lingkungan
yang sesuai dengannya dan menimbulkan penyakit yang sesuai dengan gaya
hidupnya tadi. Jadi, menurutnya, untuk menjadi sehat tidak cukup hanya dengan
pencegahan penyakit secara perseorangan, tetapi harus melihat dan mengelola
masyarakat sebagai satu kesatuan bersama lingkungan hidupnya. Peran
masyarakat pertama-tama disini adalah menyadari pentingnya mengubah perilaku
Permasalahan sanitasi buruk merupakan masalah publik. Dalam kondisi
inilah peran pemerintah sebagai alat negara hadir dan terlibat menangani masalah
tersebut. Apapun pilihan pemerintah terhadap masalah publik, baik untuk
melakukan sesuatu maupun tidak, itulah kebijakan pemerintah. Sebagai suatu
proses seperti dikatakan Graycar dalam
Pendekatan program sanitasi berbasis masyarakat (SANIMAS) sebagai
bentuk kebijakan pemerintah terkait perbaikan sanitasi bagi masyarakat yang
tinggal di kawasan padat kumuh miskin perkotaan. SANIMAS adalah program
nasional yang dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2006
dan dirancang untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan permukiman
padat, kumuh dan miskin di perkotaan. SANIMAS menempatkan masyarakat Kaban (2008:59), kebijakan menunjuk
pada cara dimana melalui cara tersebut pemerintah dapat mengetahui apa yang
diharapkan darinya, seperti program dan mekanisme dalam mencapai produknya
(tujuannya). Dengan sebuah program, pemerintah menetapkan kebijakannya
untuk mencapai tujuan publik.
Persoalan sanitasi di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara (Sumut)
dinilai masih relatif tertinggal. Banyak penduduk yang belum mendapatkan akses
sanitasi layak (Harian Medan Bisnis, 10 Nopember 2013). Pemerintah berasumsi
perlunya pendekatan paradigma baru untuk mengejar ketertinggalan sanitasi
dengan kelestarian lingkungan sebagai prinsip utama. Paradigma baru yang
diterapkan untuk masing-masing sektor yaitu, sektor air limbah, persampahan dan
sebagai pelaku, pengambil keputusan, dan penanggung jawab kegiatan mulai dari
identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan pengawasan.
Program SANIMAS menggunakan prinsip Demand Responsive Approach
(DRA) atau Pendekatan yang Tanggap Terhadap Kebutuhan. Pihak
kabupaten/kota harus menyampaikan minat terlebih dahulu, apabila tidak
menyampaikan minat maka mereka tidak akan difasilitasi. Salah satu bentuk
minat tersebut adalah dengan kemauan mengalokasikan dana APBD. Hal ini
sesuai dengan prinsip pendanaan SANIMAS yaitu multi sumber (multisource of
fund). Selain itu, SANIMAS juga menggunakan prinsip seleksi-sendiri (self
selection), opsi teknologi sanitasi, partisipatif dan pemberdayaan
2013 pukul 16.30 WIB ).
Pola penyelenggaraan SANIMAS dilakukan oleh Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) dengan difasiitasi oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL)
yang memiliki kemampuan teknis dan sosial kemasyarakatan, mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Jadi pada
prinsipnya keseluruhan tahapan mulai dari perencanaan, implementasi konstruksi,
pengawasan hingga operasi pemeliharaan semuanya dilakukan oleh masyarakat.
Satuan Kerja Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (Satker
PPLP) Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumut merupakan
penyambung tangan Kementerian Pekerjaan Umum dalam melaksanakan program
70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Didalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2010 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur bahwa Satuan Kerja
Perangkat Daerah Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur (SKPD DAK)
merupakan organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab
kepada Gubernur/BupatiWalikota yang menyelenggarakan kegiatan yang dibiayai
dari Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur (BAB I, Pasal 1, ayat 7).
Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) yang dilakukan
Kementerian PU mengambil enam kabupaten kota di wilayah Sumut. Keenam
daerah tersebut adalah Karo, Deli Serdang, Tebingtinggi, Medan, Pematang
Siantar, dan Binjai, yang masuk dalam projek yang ditujukan untuk perbaikan
sanitasi masyarakat. Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan 300 lokasi
sanitasi di enam kabupaten/kota di Sumut. Sebanyak 149 lokasi di antaranya
dialokasikan di Medan
Tabel 1.1 : Lokasi Sanimas Tahun 2012 Propinsi Sumatera Utara N o . Tah un Prop insi Ka b / Ko ta Lokasi Syste m Kondisi Prasarana Jumlah Pendudu k Peggun a Rencan a Pegguna Realisas i MCK Perpip aan K K JIW A K K JIW A KK JIWA
1 2012 SUMATERA UTARA Kota Medan Lorong Ujung Tanjung 1, Lingkungan 5, Kel. Bagan Deli, Kec. Medan Belawan
MCK + Belum dimonev
Belum dimonev 0 0 60 300 0 0
2 2012 SUMATERA UTARA Kota Medan Lorong Promis, Lingkungan 15, Kel. Bagan Deli, Kec. Medan Belawan
MCK + Belum dimonev
0 0 60 300 0 0
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum
Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia belum terlepas dari
kawasan perkumuhan padat kota. Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan
Belawan adalah salah satu kawasan yang dimaksud. Kelurahan Bagan Deli berada
disekitar Pelabuhan Belawan dan pabrik-pabrik minyak. Kelurahan ini memiliki
jumlah penduduk yang cukup padat. Akan tetapi, dari banyaknya penduduk,
hanya sedikit penduduk yang tinggal di rumah dengan memiliki kamar mandi dan
jamban. Keterbatasan air menjadi masalah bagi penduduk di Kelurahan Bagan
Deli yang hidup di pinggiran laut.
Melihat keberadaan Kelurahan Bagan Deli dengan permukiman
kumuhnya, pemerintah provinsi melalui Dinas Tata Ruang dan Permukiman
Sumatera Utara mengalokasikan bantuan pengelolaan sanitasi bagi kelurahan
tersebut. Kelurahan Bagan Deli memperoleh program Sanitasi Berbasis
Bagan Deli diwujudnyatakan dengan pembangunan fasilitas kamar mandi, cuci
dan kakus (MCK) di lokasi atau lingkungan yang telah disepakati Satker PPLP
dengan pemerintah daerah dan masyarakat kelurahan. Program SANIMAS tidak
hanya ditujukan untuk membantu masyarakat dalam pengelolaan sanitasi, tetapi
juga sekaligus memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan
manfaat yang berkelanjutan.
Suatu kebijakan untuk dapat diketahui apakah kebijakan yang telah
dijalankan meraih dampak yang diinginkan memerlukan tindakan evaluasi.
Evaluasi kebijakan berupa pemeriksaan yang objektif, sistematis, dan empiris
terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi
tujuan yang ingin dicapai. Salah satu akibat dari output kebijakan adalah akibat
yang dihasilkan oleh intervensi program pada kelompok sasaran dan akibat
tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran
(impact).
Sebuah program berbasis masyarakat dan dirancang dengan pendekatan
yang tanggap terhadap kebutuhan adalah sesuatu yang akan sangat bermanfaat
bagi kelompok sasaran. Dengan melihat tujuan pokok dari program SANIMAS
berupa pemberdayaan masyarakat dan berusaha untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, penulis tertarik
melakukan penelitian terhadap program ini. Penulis ingin mengevaluasi program
SANIMAS dan melihat apakah program ini telah benar-benar memberdayakan
peneliti hendak melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Dampak Program
Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) Dalam Pemberdayan Masyarakat (Studi
Kasus di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan)”.
1.2 Fokus Masalah
Dalam penelitian kualitatif, batasan masalah penelitian disebut fokus
masalah. Fokus masalah ditentukan agar ada batasan yang jelas didalam
melaksanakan penelitian. Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian
ini adalah untuk melihat dampak program SANIMAS yang telah diimplentasikan
dalam pemberdayaan masyarakat secara khusus bagi masyarakat di Lorong Ujung
Tanjung I Lingkungan V Kelurahan Bagan Deli.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana dampak Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dalam
pemberdayaan masyarakat (Studi Kasus di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dampak Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dalam pemberdayaan
masyarakat di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara Subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam
melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah, referensi
bacaan dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai Program
Sanitasi Berbasis Masyarakat.
3. Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi
pemerintah dan masyarakat dalam rangka peningkatan upaya pencapaian
program Sanitasi Berbasis Masyarakat.
1.6 Kerangka teori
Kerangka teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefinisikan sebagai masalah
tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Oleh karena itu,
penulis akan mengemukakan beberapa teori, pendapat ataupun gagasan yang akan
dijadikan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini.
1.6.1 Kebijakan Publik
1.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologi, Kebijakan Publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan
dan publik. Kebijakan oleh Graycar (Donovan dan Jackson dalam
Pengertian lain menurut Anderson
Kaban,
2008:59) dapat dipandang dari perspektif filosofis, produk, proses, dan kerangka
kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan dipandang sebagai serangkaian
prinsip atau kondisi yang diinginkan. Sebagai suatu produk, kebijakan diartikan
sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. Sebagai suatu proses,
kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam
mencapai produknya. Dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan
suatu proses tawar-menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode
implementasinya.
dalam Winarno (2002) lebih jelas lagi
bahwa istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga
pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Menurutnya, perilaku para aktor berperan penting dalam merumusakan dan
Charles O. Jones (1994) melihat kata kebijakan sering digunakan dan
dipertukarkan maknanya dengan tujuan, program, keputusan, hukum, proposal,
patokan, dan maksud besar tertentu. Pergantian makna tersebut menurut Jones
memang bukanlah masalah, hanya saja biasanya dalam hubungan atau kaitan
teknis atau administratif tertentu kata ini mempunyai acuan khusus yang hanya
dimengerti oleh kelompok tertentu.
Menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam
• Niat (Intentions)
Jones (1994), kebijakan
adalah “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan
(repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang
mematuhi keputusan tersebut. Eulau dan Prewitt juga mengamati bahwa
“kebijakan dibedakan dari tujuan-tujuan kebijakan, niat-niat kebijakan dan
pilihan-pilihan kebijakan”. Berikut ini merupakan definisi menurut mereka untuk
membedakan beberapa komponen kebijakan umum:
Yaitu tujuan-tujuan sebenarnya dari sebuah tindakan
• Tujuan (Goals)
Yaitu keadaan akhir yang hendak dicapai
• Rencana atau usulan (Plans or proposals)
Yaitu cara yang ditetapkan untuk mencapaitujuan
• Program
Yaitucara yang disahkan untuk mencapai tujuan
• Keputusan atau pilihan (Decisions or choices)
Yaitu tindakan-tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan,
mengembangkan rencana, melaksanakan dan mengevalusi program
• Pengaruh (Effects)
Yaitu dampak program yang dapat diukur (yang diharapkan dan yang
tidak diharapkan; yang bersifat primer atau yang bersifat sekunder)
Sementara itu, gagasan tentang publik berasal dari bahasa Inggris yaitu
public yang berarti (masyarakat) umum dan juga rakyat. Menurut Parsons
(2008:3), publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk
diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh
tindakan bersama.
Rumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye adalah
apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan
(Winarno, 2002:15). Sementara itu, Wildavsky dalam Kusumanegara (2010)
mendefinisikan kebijakan publik merupakan suatu hipotesis yang mengandung
kondisi-kondisi awal dari aktivitas pemerintah dan akibat-akibat yang bisa
diramalkan. Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara
lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, seperti
tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy
kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (outcomes) (Anderson
dalam
1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting) Winarno, 2002).
Dari beberapa pengertian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa
kebijakan publik merupakan suatu bentuk keputusan yang telah dipilih dan
ditetapkan pemerintah untuk dilaksanakan maupun tidak dilaksanakan dan
menyangkut kepentingan orang banyak.
1.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang
dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas
politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (William Dunn,
2003:22). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting),
rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah
aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn
mengemukakan beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu:
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan
agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi
yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan
tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan
yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
Perumus kebijakan harus difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan
politik, dukungan budaya.
2. Formulasi kebijakan
Dalam tahap formulasi kebijakan, peramalan dapat menyediakan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan
terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif,
termasuk tidak melakukan sesuatu.
3. Adopsi kebijakan
Pada tahap adopsi kebijakan, pengambil kebijakan terbantu dalam
rekomendasi yang membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang
akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.
4. Implementasi kebijakan
Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya terhadap
pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan
tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan
dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang
bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan. Proses implementasi
membutuhkan fasilitasi seperti tim, lembaga, peraturan, sumber daya.
5. Evaluasi kebijakan
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan
yang benar-benar dihasilkan.
1.6.2 Implementasi Kebijakan
Hal yang paling penting dalam proses kebijakan adalah
pengimplementasiannya. Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa
Inggris yaitu to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means
for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give
practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Sesuatu
yang dimaksud dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang
dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Menurut Patton dan Sawicki dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan (2003:9),
implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk
merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk
diseleksi. Program dan atau kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif
pemecahan masalah harus diimplementasikan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.
Seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber
daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta
melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk
yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Dunn
mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus dengan menyebutnya
implementasi kebijakan (policy implementation) adalah pelaksanaan pengendalian
aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu (Dunn, 2003:132).
Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni
peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan
atau legislasi kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak
tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa (Mazmanian dan Sabatier
dalam
Tahap implementasi kebijakan merupakan tahap dimana alternatif yang
telah ditetapkan diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Tahap tersebut
dilaksanakan oleh unit-unit administratif dengan memobilisasi sumber daya yang
ada. Tanpa implementasi, suatu kebijakan akan sia-sia dan hanya berupa konsep
formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa implementasi berupa penerapan, penyelenggaraan,
pelaksanaan, atau pengeksekusian suatu kebijakan yang telah disahkan.
1.6.3 Evaluasi Kebijakan
Evaluasi merupakan tahap terakhir didalam proses kebijakan publik.
Evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu
berjalan dengan baik atau tidak. Lester dan Stewart dalam
Sementara itu, Anderson (1979) berpendapat evaluasi kebijakan
memusatkan perhatiannya pada estimasi, penilaian, dan taksiran terhadap
implementasi (proses) dan akibat-akibat (dampak) kebijakan. Dalam hal ini,
evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan Kusumanegara (2010)
menyatakan evaluasi kebijakan pada hakekatnya mempelajari
konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik. Evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat
sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik
yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan.
Thomas R. Dye dalam Parsons (2008:547) menyatakan bahwa evaluasi
kebijakan adalah “pembelajaran tentang konsekuensi dari kebijakan publik”.
Tepatnya ia mencatat evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif,
sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap
meliputi perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun
dampak kebijakan.
1.6.3.1 Tujuan Evaluasi Kebijakan
Dalam mengevaluasi kebijakan, ada fokus yang ingin dicapai oleh
pengevaluasi. Evaluasi kebijakan memiliki tujuan yang dapat dirinci sebagai
berikut (Subarsono, 2005:120-121) :
a. menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan
Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan
sasaran kebijakan.
b. mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan
Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu
kebijakan
c. mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan
Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas
pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.
d. mengukur dampak suatu kebijakan
Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari
suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan –
penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara
tujuan dan sasaran dengan pencapaian target
f. sebagai bahan melakukan (input) untuk kebijakan yang akan datang
Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses
kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
1.6.3.2 Langkah-Langkah Evaluasi Kebijakan
Agar suatu kebijakan dapat dievaluasi dengan baik, para ahli
mengembangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan. Edward Suchman
dalam
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
Winarno (2004:169) mengemukakan enam langkah dalam evaluasi
kebijakan yaitu:
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari
kegiatan tersebut atau karena penyebab lain
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak
Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap yang paling
maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga
mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset
evaluasi seperti:
(1) Apakah yang menjadi isi dari tujuan program?
(2) Siapa yang menjadi target program?
(3) Kapan perubahan yang diharapkan terjadi?
(4) Apakah tujuan yang ditetapkan satu atau banyak (unitary or multiple)?
(5) Apakah dampak yang diharapkan besar?
(6) Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai?
1.6.3.3 Pendekatan Evaluasi
Menurut William N. Dunn (2003:611-612), evaluasi kebijakan
mempunyai dua aspek yang saling berhubungan: penggunaan berbagai macam
metode untuk memantau hasil kebijakan publik dan program dan aplikasi
serangkaian nilai untuk kegunaan hasil terhadap beberapa orang, kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan. Dunn membedakan tiga jenis pendekatan dalam
evaluasi antara lain:
1. Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan
metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan
dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk
menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap
utamanya adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan
sesuatu yang dapat terbukti sendiri atau tidak kontoversial.
2. Evaluasi formal (formal evaluation) merupakan pendekatan yang
menggunakan metode dekriptif untuk menghasikan informasi yang valid
dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi
hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan
secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi
utamanya bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah
merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
3. Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah
pendekatan yang menggunakan metode-metode dekriptif untuk
menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid
mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai
macam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok evaluasi ini dengan dua jenis
pendekatan di atas adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha
untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku
Tabel 1.2 : Pendekatan Evaluasi Menurut William Dunn
PENDEKATAN TUJUAN ASUMSI
BENTUK-BENTUK UTAMA Evaluasi Semu Menggunakan
metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial • Eksperimentasi sosial • Akuntansi sistem sosial • Pemeriksaan sosial
• Sintesis riset dan praktik
Evaluasi Formal Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program-kebijakan Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai • Evaluasi perkembangan • Evaluasi eksperimental
• Evaluasi proses retrospektif
• Evaluasi hasil retrospektif Evaluasi Keputusan Teoritis Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai • Penilaian tentang dapat tidaknya evaluasi
• Analisis utilitas multiatribut
1.6.3.4 Model Evaluasi Kebijakan
Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi
kebijakan yang digunakan yaitu:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau
program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang
“seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang
bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi
memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah
program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa
berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi
ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan:
• Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat
• Apakah penyampaian pelayanannya konsisten degan spesifikasi
desain program atau tidak
• Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program
2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur
yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model
penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu:
• membandingkan sebelum dan sesudah program diimplentasikan
• membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok
dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi
subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok
kontrol);
• membandingkan apa yang terjadi dengan yang apa yang mungkin
terjadi tanpa intervensi.
• atau membandingkan bagaiamana bagian – bagian yang berbeda
dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda – beda akibat
dari kebijakan yang sama.
1.6.3.5 Kriteria Evaluasi
Suatu kebijakan yang telah diimplementasikan harus menghasilkan
informasi mengenai kinerja kebijakan. William N. Dunn (2003:610)
mengemukakan beberapa kriteria dalam menilai kinerja kebijakan, sebagai
Tabel 1.3 : Kriteria Evaluasi
TIPE KRITERIA PERTANYAAN ILUSTRASI
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan
telah dicapai?
Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil
yang diinginkan memecahkan masalah?
Biaya tetap
(masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II)
Perataan Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok tertentu?
Kriteria Pareto Kriteria kaldor-Hicks Kriteria Rawls
Resposivitas Apakah hasil kebijakan
memuaskan kebutuhan, preferensi
atau nilai kelompok-kelompok
tertentu?
Konsistensi dengan survai warga negara
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang
diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Program publik harus merata dan efisien
Sumber: Dunn (2003:610)
Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi
kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka
pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang
dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya
setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas
disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil
tujuan-tujuan organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula
hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.
William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis
Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:
“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn, 2003:429).
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak
mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya
suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan
tetapi setelah melalui proses tertentu.
Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam
bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran daripada
efektivitas, yaitu:
1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan
kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap
5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah
semua biaya dan kewajiban dipenuhi;
6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang
dan masa lalunya;
7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya
sepanjang waktu;
8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada
kerugian waktu;
9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian
tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan
perasaan memiliki;
10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu
untuk mencapai tujuan;
11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai
satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan
mengkoordinasikan;
12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk
mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk
mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan;
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas
merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang
akan dicapai.
2) Efisiensi
Apabila kita berbicara tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal
penggunaan sumber daya (resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber
daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai.
William N. Dunn berpendapat bahwa:
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” (Dunn, 2003:430).
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat
sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau
besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah
melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
3) Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh
suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang
menumbuhkan adanya masalah (Dunn, 2003:430).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih
berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa
jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan
menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang
diharapkan.
3) Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan
keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. William N. Dunn
menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan
rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara
kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434).
Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang
akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin
dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari
5) Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan
sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.
Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok
masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat
melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih
dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan
dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai
dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang
negatif berupa penolakan.
Dunn pun mengemukakan bahwa:
“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan” (Dunn, 2003:437).
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan
nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi,
6) Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn
menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:
“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut” (Dunn, 2003:499).
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila
ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik
dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif
lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga
kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.
1.6.3.6Metode Evaluasi
Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2005:128), untuk
melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada
beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni:
a. Single program after – only yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan
kelompok sasaran sesudah program dijalankan
b. Single program before – after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan
c. Comparative after – only yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan
sasaran dan bukan sasaran program dijalankan
d. Comparative before – after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek
program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
Tabel 1.4 : Metodologi untuk Evaluasi Program
Jenis Evaluasi
Pengukuran kondisi
kelompok sasaran Kelompok Kontrol
Informasi yang diperoleh Sebelum Sesudah
Single Program After – Only
Tidak Ya Tidak Ada Keadaan kelompok sasaran
Single Program Before – After
Ya Ya Tidak Ada Perubahan kelompok sasaran
Comparative After - Only
Tidak Ya Ada Keadaan kelompok
sasaran dan kelompok kontrol
Comparative Before – After
Ya Ya Ada Efek program terhadap
kelompok sasaran dan kelompok kontrol
Sumber : Subarsono (2005:130)
1.6.3.7 Evaluasi Dampak
Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah usaha
untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata.
Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output
kebijakan. Akibat dari output kebijakan ada dua macam yakni:
• Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok
tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran
(impact).
• Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok
sasaran, baik yang sesuai dengan yg diharapkan atau tidak dan akibat
tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran
(effects).
Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan atau
kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.
Menurut Lester dan Stewart dalam
Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan
dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalanya usaha untuk mengurangi
kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminalitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan
barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy
feedback, termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah
Winarno (2002: 170-171), setidaknya
ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh seorang evaluator didalam melakukan
evaluasi kebijakan publik, yaitu: Pertama, evaluasi kebijakan mungkin
menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang
diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang
nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi
atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat
keputusan.
Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam
1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan
pada orang-orang yang terlibat.
Winarno (2002: 171-173)
menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan
semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi.
2) Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan
atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.
3) Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan
sekarang dan keadaan di masa yang akan datang.
4) Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang
dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik.
5) Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut
biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa
anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.
Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat
jauh dari yang diharapkan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada
1.6.3.8 Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti
Didalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan
menggunakan model Single Program Before-After. Peneliti hendak melihat
perubahan keadaan kelompok sasaran sebelum dan sesudah program Sanitasi
Berbasis Masyarakat (Sanimas) diimplementasikan.
1.6.4 Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan dapat dikatakan sebagai jawaban atas realitas
ketidakberdayaan (disempowerment). Mereka yang tidak berdaya adalah pihak
yang tidak memiliki daya atau kehilangan daya. Mereka yang tidak berdaya
adalah mereka yang kehilangan kekuatannya.
Definisi pemberdayaan dalam arti sempit, yang berkaitan dengan sistem
pengajaran antara lain dikemukakan oleh Merriam Webster dan Oxford English
Dictionary kata”empower” mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to
give power of authority dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable.
Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam
pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau
keberdayaan.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya
belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap
konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu (Ginanjar K., “Pembangunan
Sosial dan Pemberdayaan : Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan”, 1997:55).
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain,
pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain
dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya. Upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.
Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana
dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah
dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada
lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan,
dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang
keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi
masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku
tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya
modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban
adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan
institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan
serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan
masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Perlindungan dan pemihakan
kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan
masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi,
karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan
yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin
tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena pada dasarnya
setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat
dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah
memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan
(Bahan Kuliah PPS SP ITB, “Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat”, hlm 2-3).
1.6.4.1 Tahap-tahap Pemberdayaan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pemberdayaan masyarakat adalah untuk
membentuk individu masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan
berupa sumberdaya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, psikomotorik
afektif dan sumberdaya lain yang bersifat fisik dan material (Khausar, 2012).
Agar pemberdayaan dapat dilakukan sesuai dengan target, perlu
memperhatikan tahap-tahap yang harus dilalui meliputi:
1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan
peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar
sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
3) Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga
terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk menghantarkan pada
kemandirian. (Ambar Teguh S, 2004:82-83)
1.7 Definisi Konsep
Defenisi konsep memberi batasan terhadap pembahasan dari permasalahan
yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari penelitian ini adalah :
a. Evaluasi dampak kebijakan Program SANIMAS adalah usaha untuk
menentukan dampak atas implementasi kebijakan program SANIMAS
yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada kelompok sasaran atau
tujuan kebijakan.
b. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan serta berusaha untuk memampukan dan memandirikan
masyarakat.
1.8 Definisi Operasional
Singarimbun (1989:46) menyatakan definisi operasional adalah unsur
penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.
Definisi operasional ini semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya
mengukur suatu variabel. Adapun definisi operasional dari variabel evaluasi
dampak kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Efektivitas, yaitu pencapaian hasil yang diinginkan:
- Kualitas yang dihasilkan dari program
- Produktivitas (kuantitas dari jasa yang dihasilkan)
- Motivasi (adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk
mencapai tujuan)
2. Efisiensi, yaitu usaha-usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan:
- Adanya target pencapaian waktu
- Tersedianya sumber daya manusia
- Adanya sumber daya modal
3. Kecukupan, yaitu adanya pemecahan masalah dari hasil yang diinginkan:
- Kecukupan produktivitas
4. Pemerataan, yaitu pendistribusian biaya dan manfaat yang merata:
- Distribusi hasil yang merata
- Kesamaan manfaat program yang dirasakan masyarakat
5. Responsivitas, yaitu dampak kebijakan terhadap pemuasan kebutuhan
preferensi atau kelompok tertentu
- Adanya tanggapan positif
- Adanya kritik
- Adanya saran
6. Ketepatan, yaitu manfaat atau kegunaan hasil yang diinginkan
- Program ditujukan kepada masyarakat PAKUMIS
- Kesesuaian hasil program dengan tujuan yang diharapkan
- Adanya perubahan yang dialami masyarakat
1.9 Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, fokus masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional dan
sistematika penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan data tentang gambaran umum dan karakteristik lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV : PENYAJIAN DATA
Bab ini menyajikan data yang diperoleh selama penelitian di
lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.
BAB V : ANALISIS DATA
Bab ini berisikan tentang kajian dan analisis data yang diperoleh
pada saat penelitian di lapangan dan memberikan interpretasi
terhadap masalah yang diteliti.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan simpulan dari temuan penelitian yang telah