• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Dampak Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Studi di Kelurahan Bagan Deli Kecamtan Medan Belawan Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Dampak Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Studi di Kelurahan Bagan Deli Kecamtan Medan Belawan Kota Medan)"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Akses terhadap air bersih dan layanan sanitasi bersih adalah hak azasi

manusia dan juga kebutuhan mutlak setiap orang. Sama halnya dengan

pendidikan, kesehatan merupakan kebutuhan mendasar yang penting bagi setiap

manusia. Manusia tidak hanya cukup berinvestasi bagi pendidikan, tetapi juga

kesehatan. Pemeliharaan kesehatan khususnya terhadap sanitasi seperti akses air

bersih dan jamban sangat perlu untuk dibudayakan. Sebab, sanitasi yang sehat

merupakan kunci untuk menciptakan masyarakat yang sehat.

Kesehatan lingkungan adalah salah satu bagian dari kesehatan masyarakat.

Upaya menyehatkan lingkungan berarti juga sebagai salah satu usaha untuk

menyehatkan masyarakat. Lingkungan yang sehat akan meningkatkan peluang

pengembangan ekonomi, kesempatan sekolah bagi anak-anak, meningkatkan

produktivitas manusia, dan mengurangi polusi terhadap air. Secara umum, tujuan

kesehatan lingkungan menurut Budiman Chandra (2005:4) adalah melakukan

koreksi atau perbaikan terhadap segala bahaya dan ancaman pada kesehatan dan

kesejahteraan hidup manusia, melakukan usaha pencegahan dengan cara mengatur

sumber-sumber lingkungan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan

(2)

program terpadu di antara masyarakat dan institusi pemerintah serta lembaga

nonpemerintah dalam menghadapi bencana alam atau wabah penyakit menular.

Permukiman kumuh masih menjadi masalah klasik yang dihadapi

Indonesia sebagai negara dengan populasi masyarakat terbesar di dunia.

Pertumbuhan penduduk kota di Indonesia yang begitu cepat telah memberikan

dampak sangat serius terhadap penurunan daya dukung lingkungan. Ada banyak

penduduk yang bertempat tinggal secara tidak manusiawi di berbagai kota besar

dan kota kecil. Turunan dari masalah pemukiman kumuh ini tidak lain yaitu

keterbatasan akses air dan sanitasi bersih. Inilah akibat minimnya kesadaran

masyarakat yang menyebabkan berkembangnya perilaku tidak sehat.

Masyarakat Indonesia di daerah kumuh padat perkotaan belum menyadari

pentingnya perilaku hidup sehat dengan menjaga kesehatan lingkungan. Slamet

(2009:2) berpendapat orang sadar bahwa penyakit itu banyak sekali ditentukan

oleh berbagai faktor, antara lain perilaku masyarakat sendiri. Norma serta budaya

yang menentukan gaya hidup masyarakat akan menciptakan keadaaan lingkungan

yang sesuai dengannya dan menimbulkan penyakit yang sesuai dengan gaya

hidupnya tadi. Jadi, menurutnya, untuk menjadi sehat tidak cukup hanya dengan

pencegahan penyakit secara perseorangan, tetapi harus melihat dan mengelola

masyarakat sebagai satu kesatuan bersama lingkungan hidupnya. Peran

masyarakat pertama-tama disini adalah menyadari pentingnya mengubah perilaku

(3)

Permasalahan sanitasi buruk merupakan masalah publik. Dalam kondisi

inilah peran pemerintah sebagai alat negara hadir dan terlibat menangani masalah

tersebut. Apapun pilihan pemerintah terhadap masalah publik, baik untuk

melakukan sesuatu maupun tidak, itulah kebijakan pemerintah. Sebagai suatu

proses seperti dikatakan Graycar dalam

Pendekatan program sanitasi berbasis masyarakat (SANIMAS) sebagai

bentuk kebijakan pemerintah terkait perbaikan sanitasi bagi masyarakat yang

tinggal di kawasan padat kumuh miskin perkotaan. SANIMAS adalah program

nasional yang dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2006

dan dirancang untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan permukiman

padat, kumuh dan miskin di perkotaan. SANIMAS menempatkan masyarakat Kaban (2008:59), kebijakan menunjuk

pada cara dimana melalui cara tersebut pemerintah dapat mengetahui apa yang

diharapkan darinya, seperti program dan mekanisme dalam mencapai produknya

(tujuannya). Dengan sebuah program, pemerintah menetapkan kebijakannya

untuk mencapai tujuan publik.

Persoalan sanitasi di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara (Sumut)

dinilai masih relatif tertinggal. Banyak penduduk yang belum mendapatkan akses

sanitasi layak (Harian Medan Bisnis, 10 Nopember 2013). Pemerintah berasumsi

perlunya pendekatan paradigma baru untuk mengejar ketertinggalan sanitasi

dengan kelestarian lingkungan sebagai prinsip utama. Paradigma baru yang

diterapkan untuk masing-masing sektor yaitu, sektor air limbah, persampahan dan

(4)

sebagai pelaku, pengambil keputusan, dan penanggung jawab kegiatan mulai dari

identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan pengawasan.

Program SANIMAS menggunakan prinsip Demand Responsive Approach

(DRA) atau Pendekatan yang Tanggap Terhadap Kebutuhan. Pihak

kabupaten/kota harus menyampaikan minat terlebih dahulu, apabila tidak

menyampaikan minat maka mereka tidak akan difasilitasi. Salah satu bentuk

minat tersebut adalah dengan kemauan mengalokasikan dana APBD. Hal ini

sesuai dengan prinsip pendanaan SANIMAS yaitu multi sumber (multisource of

fund). Selain itu, SANIMAS juga menggunakan prinsip seleksi-sendiri (self

selection), opsi teknologi sanitasi, partisipatif dan pemberdayaan

2013 pukul 16.30 WIB ).

Pola penyelenggaraan SANIMAS dilakukan oleh Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM) dengan difasiitasi oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL)

yang memiliki kemampuan teknis dan sosial kemasyarakatan, mulai dari

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Jadi pada

prinsipnya keseluruhan tahapan mulai dari perencanaan, implementasi konstruksi,

pengawasan hingga operasi pemeliharaan semuanya dilakukan oleh masyarakat.

Satuan Kerja Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (Satker

PPLP) Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumut merupakan

penyambung tangan Kementerian Pekerjaan Umum dalam melaksanakan program

(5)

70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Didalam Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2010 tentang Petunjuk Teknis

Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur bahwa Satuan Kerja

Perangkat Daerah Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur (SKPD DAK)

merupakan organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab

kepada Gubernur/BupatiWalikota yang menyelenggarakan kegiatan yang dibiayai

dari Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur (BAB I, Pasal 1, ayat 7).

Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) yang dilakukan

Kementerian PU mengambil enam kabupaten kota di wilayah Sumut. Keenam

daerah tersebut adalah Karo, Deli Serdang, Tebingtinggi, Medan, Pematang

Siantar, dan Binjai, yang masuk dalam projek yang ditujukan untuk perbaikan

sanitasi masyarakat. Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan 300 lokasi

sanitasi di enam kabupaten/kota di Sumut. Sebanyak 149 lokasi di antaranya

dialokasikan di Medan

(6)

Tabel 1.1 : Lokasi Sanimas Tahun 2012 Propinsi Sumatera Utara N o . Tah un Prop insi Ka b / Ko ta Lokasi Syste m Kondisi Prasarana Jumlah Pendudu k Peggun a Rencan a Pegguna Realisas i MCK Perpip aan K K JIW A K K JIW A KK JIWA

1 2012 SUMATERA UTARA Kota Medan Lorong Ujung Tanjung 1, Lingkungan 5, Kel. Bagan Deli, Kec. Medan Belawan

MCK + Belum dimonev

Belum dimonev 0 0 60 300 0 0

2 2012 SUMATERA UTARA Kota Medan Lorong Promis, Lingkungan 15, Kel. Bagan Deli, Kec. Medan Belawan

MCK + Belum dimonev

0 0 60 300 0 0

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum

Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia belum terlepas dari

kawasan perkumuhan padat kota. Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan

Belawan adalah salah satu kawasan yang dimaksud. Kelurahan Bagan Deli berada

disekitar Pelabuhan Belawan dan pabrik-pabrik minyak. Kelurahan ini memiliki

jumlah penduduk yang cukup padat. Akan tetapi, dari banyaknya penduduk,

hanya sedikit penduduk yang tinggal di rumah dengan memiliki kamar mandi dan

jamban. Keterbatasan air menjadi masalah bagi penduduk di Kelurahan Bagan

Deli yang hidup di pinggiran laut.

Melihat keberadaan Kelurahan Bagan Deli dengan permukiman

kumuhnya, pemerintah provinsi melalui Dinas Tata Ruang dan Permukiman

Sumatera Utara mengalokasikan bantuan pengelolaan sanitasi bagi kelurahan

tersebut. Kelurahan Bagan Deli memperoleh program Sanitasi Berbasis

(7)

Bagan Deli diwujudnyatakan dengan pembangunan fasilitas kamar mandi, cuci

dan kakus (MCK) di lokasi atau lingkungan yang telah disepakati Satker PPLP

dengan pemerintah daerah dan masyarakat kelurahan. Program SANIMAS tidak

hanya ditujukan untuk membantu masyarakat dalam pengelolaan sanitasi, tetapi

juga sekaligus memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan

manfaat yang berkelanjutan.

Suatu kebijakan untuk dapat diketahui apakah kebijakan yang telah

dijalankan meraih dampak yang diinginkan memerlukan tindakan evaluasi.

Evaluasi kebijakan berupa pemeriksaan yang objektif, sistematis, dan empiris

terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi

tujuan yang ingin dicapai. Salah satu akibat dari output kebijakan adalah akibat

yang dihasilkan oleh intervensi program pada kelompok sasaran dan akibat

tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran

(impact).

Sebuah program berbasis masyarakat dan dirancang dengan pendekatan

yang tanggap terhadap kebutuhan adalah sesuatu yang akan sangat bermanfaat

bagi kelompok sasaran. Dengan melihat tujuan pokok dari program SANIMAS

berupa pemberdayaan masyarakat dan berusaha untuk meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, penulis tertarik

melakukan penelitian terhadap program ini. Penulis ingin mengevaluasi program

SANIMAS dan melihat apakah program ini telah benar-benar memberdayakan

(8)

peneliti hendak melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Dampak Program

Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) Dalam Pemberdayan Masyarakat (Studi

Kasus di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan)”.

1.2 Fokus Masalah

Dalam penelitian kualitatif, batasan masalah penelitian disebut fokus

masalah. Fokus masalah ditentukan agar ada batasan yang jelas didalam

melaksanakan penelitian. Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian

ini adalah untuk melihat dampak program SANIMAS yang telah diimplentasikan

dalam pemberdayaan masyarakat secara khusus bagi masyarakat di Lorong Ujung

Tanjung I Lingkungan V Kelurahan Bagan Deli.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana dampak Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dalam

pemberdayaan masyarakat (Studi Kasus di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan

(9)

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

dampak Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dalam pemberdayaan

masyarakat di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam

melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah, referensi

bacaan dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai Program

Sanitasi Berbasis Masyarakat.

3. Manfaat Praktis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi

pemerintah dan masyarakat dalam rangka peningkatan upaya pencapaian

program Sanitasi Berbasis Masyarakat.

1.6 Kerangka teori

Kerangka teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefinisikan sebagai masalah

(10)

tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Oleh karena itu,

penulis akan mengemukakan beberapa teori, pendapat ataupun gagasan yang akan

dijadikan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini.

1.6.1 Kebijakan Publik

1.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologi, Kebijakan Publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan

dan publik. Kebijakan oleh Graycar (Donovan dan Jackson dalam

Pengertian lain menurut Anderson

Kaban,

2008:59) dapat dipandang dari perspektif filosofis, produk, proses, dan kerangka

kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan dipandang sebagai serangkaian

prinsip atau kondisi yang diinginkan. Sebagai suatu produk, kebijakan diartikan

sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. Sebagai suatu proses,

kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat

mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam

mencapai produknya. Dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan

suatu proses tawar-menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode

implementasinya.

dalam Winarno (2002) lebih jelas lagi

bahwa istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku

seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga

pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Menurutnya, perilaku para aktor berperan penting dalam merumusakan dan

(11)

Charles O. Jones (1994) melihat kata kebijakan sering digunakan dan

dipertukarkan maknanya dengan tujuan, program, keputusan, hukum, proposal,

patokan, dan maksud besar tertentu. Pergantian makna tersebut menurut Jones

memang bukanlah masalah, hanya saja biasanya dalam hubungan atau kaitan

teknis atau administratif tertentu kata ini mempunyai acuan khusus yang hanya

dimengerti oleh kelompok tertentu.

Menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam

Niat (Intentions)

Jones (1994), kebijakan

adalah “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan

(repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang

mematuhi keputusan tersebut. Eulau dan Prewitt juga mengamati bahwa

“kebijakan dibedakan dari tujuan-tujuan kebijakan, niat-niat kebijakan dan

pilihan-pilihan kebijakan”. Berikut ini merupakan definisi menurut mereka untuk

membedakan beberapa komponen kebijakan umum:

Yaitu tujuan-tujuan sebenarnya dari sebuah tindakan

Tujuan (Goals)

Yaitu keadaan akhir yang hendak dicapai

Rencana atau usulan (Plans or proposals)

Yaitu cara yang ditetapkan untuk mencapaitujuan

Program

Yaitucara yang disahkan untuk mencapai tujuan

(12)

Keputusan atau pilihan (Decisions or choices)

Yaitu tindakan-tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan,

mengembangkan rencana, melaksanakan dan mengevalusi program

Pengaruh (Effects)

Yaitu dampak program yang dapat diukur (yang diharapkan dan yang

tidak diharapkan; yang bersifat primer atau yang bersifat sekunder)

Sementara itu, gagasan tentang publik berasal dari bahasa Inggris yaitu

public yang berarti (masyarakat) umum dan juga rakyat. Menurut Parsons

(2008:3), publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk

diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh

tindakan bersama.

Rumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye adalah

apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan

(Winarno, 2002:15). Sementara itu, Wildavsky dalam Kusumanegara (2010)

mendefinisikan kebijakan publik merupakan suatu hipotesis yang mengandung

kondisi-kondisi awal dari aktivitas pemerintah dan akibat-akibat yang bisa

diramalkan. Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara

lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, seperti

tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy

(13)

kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (outcomes) (Anderson

dalam

1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting) Winarno, 2002).

Dari beberapa pengertian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa

kebijakan publik merupakan suatu bentuk keputusan yang telah dipilih dan

ditetapkan pemerintah untuk dilaksanakan maupun tidak dilaksanakan dan

menyangkut kepentingan orang banyak.

1.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang

dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas

politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan

divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (William Dunn,

2003:22). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting),

rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah

aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn

mengemukakan beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu:

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan

(14)

masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan

agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi

yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan

tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan

yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

Perumus kebijakan harus difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan

politik, dukungan budaya.

2. Formulasi kebijakan

Dalam tahap formulasi kebijakan, peramalan dapat menyediakan

pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan

terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif,

termasuk tidak melakukan sesuatu.

3. Adopsi kebijakan

Pada tahap adopsi kebijakan, pengambil kebijakan terbantu dalam

rekomendasi yang membuahkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang

akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.

4. Implementasi kebijakan

Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya terhadap

pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan

(15)

tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan

dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang

bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan. Proses implementasi

membutuhkan fasilitasi seperti tim, lembaga, peraturan, sumber daya.

5. Evaluasi kebijakan

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan

yang benar-benar dihasilkan.

1.6.2 Implementasi Kebijakan

Hal yang paling penting dalam proses kebijakan adalah

pengimplementasiannya. Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa

Inggris yaitu to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means

for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give

practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Sesuatu

yang dimaksud dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang

dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Menurut Patton dan Sawicki dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan (2003:9),

implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk

merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk

(16)

diseleksi. Program dan atau kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif

pemecahan masalah harus diimplementasikan oleh badan-badan administrasi

maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.

Seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber

daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta

melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk

yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Dunn

mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus dengan menyebutnya

implementasi kebijakan (policy implementation) adalah pelaksanaan pengendalian

aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu (Dunn, 2003:132).

Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni

peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan

atau legislasi kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak

tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa (Mazmanian dan Sabatier

dalam

Tahap implementasi kebijakan merupakan tahap dimana alternatif yang

telah ditetapkan diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Tahap tersebut

dilaksanakan oleh unit-unit administratif dengan memobilisasi sumber daya yang

ada. Tanpa implementasi, suatu kebijakan akan sia-sia dan hanya berupa konsep

(17)

formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa implementasi berupa penerapan, penyelenggaraan,

pelaksanaan, atau pengeksekusian suatu kebijakan yang telah disahkan.

1.6.3 Evaluasi Kebijakan

Evaluasi merupakan tahap terakhir didalam proses kebijakan publik.

Evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu

berjalan dengan baik atau tidak. Lester dan Stewart dalam

Sementara itu, Anderson (1979) berpendapat evaluasi kebijakan

memusatkan perhatiannya pada estimasi, penilaian, dan taksiran terhadap

implementasi (proses) dan akibat-akibat (dampak) kebijakan. Dalam hal ini,

evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi

kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan Kusumanegara (2010)

menyatakan evaluasi kebijakan pada hakekatnya mempelajari

konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik. Evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat

sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik

yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan.

Thomas R. Dye dalam Parsons (2008:547) menyatakan bahwa evaluasi

kebijakan adalah “pembelajaran tentang konsekuensi dari kebijakan publik”.

Tepatnya ia mencatat evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif,

sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap

(18)

meliputi perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang

diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun

dampak kebijakan.

1.6.3.1 Tujuan Evaluasi Kebijakan

Dalam mengevaluasi kebijakan, ada fokus yang ingin dicapai oleh

pengevaluasi. Evaluasi kebijakan memiliki tujuan yang dapat dirinci sebagai

berikut (Subarsono, 2005:120-121) :

a. menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan

Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan

sasaran kebijakan.

b. mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan

Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu

kebijakan

c. mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan

Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas

pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

d. mengukur dampak suatu kebijakan

Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari

suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

(19)

Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan –

penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara

tujuan dan sasaran dengan pencapaian target

f. sebagai bahan melakukan (input) untuk kebijakan yang akan datang

Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses

kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

1.6.3.2 Langkah-Langkah Evaluasi Kebijakan

Agar suatu kebijakan dapat dievaluasi dengan baik, para ahli

mengembangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan. Edward Suchman

dalam

1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi

Winarno (2004:169) mengemukakan enam langkah dalam evaluasi

kebijakan yaitu:

2. Analisis terhadap masalah

3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan

4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi

5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari

kegiatan tersebut atau karena penyebab lain

6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak

Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap yang paling

(20)

maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga

mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset

evaluasi seperti:

(1) Apakah yang menjadi isi dari tujuan program?

(2) Siapa yang menjadi target program?

(3) Kapan perubahan yang diharapkan terjadi?

(4) Apakah tujuan yang ditetapkan satu atau banyak (unitary or multiple)?

(5) Apakah dampak yang diharapkan besar?

(6) Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai?

1.6.3.3 Pendekatan Evaluasi

Menurut William N. Dunn (2003:611-612), evaluasi kebijakan

mempunyai dua aspek yang saling berhubungan: penggunaan berbagai macam

metode untuk memantau hasil kebijakan publik dan program dan aplikasi

serangkaian nilai untuk kegunaan hasil terhadap beberapa orang, kelompok atau

masyarakat secara keseluruhan. Dunn membedakan tiga jenis pendekatan dalam

evaluasi antara lain:

1. Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan

metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan

dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk

menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap

(21)

utamanya adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan

sesuatu yang dapat terbukti sendiri atau tidak kontoversial.

2. Evaluasi formal (formal evaluation) merupakan pendekatan yang

menggunakan metode dekriptif untuk menghasikan informasi yang valid

dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi

hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan

secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi

utamanya bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah

merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.

3. Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah

pendekatan yang menggunakan metode-metode dekriptif untuk

menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid

mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai

macam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok evaluasi ini dengan dua jenis

pendekatan di atas adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha

untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku

(22)

Tabel 1.2 : Pendekatan Evaluasi Menurut William Dunn

PENDEKATAN TUJUAN ASUMSI

BENTUK-BENTUK UTAMA Evaluasi Semu Menggunakan

metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial • Eksperimentasi sosial • Akuntansi sistem sosial • Pemeriksaan sosial

• Sintesis riset dan praktik

Evaluasi Formal Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program-kebijakan Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai • Evaluasi perkembangan • Evaluasi eksperimental

• Evaluasi proses retrospektif

• Evaluasi hasil retrospektif Evaluasi Keputusan Teoritis Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai • Penilaian tentang dapat tidaknya evaluasi

• Analisis utilitas multiatribut

(23)

1.6.3.4 Model Evaluasi Kebijakan

Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi

kebijakan yang digunakan yaitu:

1. Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau

program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang

“seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang

bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi

memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah

program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa

berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.

Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi

ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan:

• Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat

• Apakah penyampaian pelayanannya konsisten degan spesifikasi

desain program atau tidak

• Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program

2. Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur

(24)

yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model

penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu:

• membandingkan sebelum dan sesudah program diimplentasikan

• membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok

dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi

subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok

kontrol);

• membandingkan apa yang terjadi dengan yang apa yang mungkin

terjadi tanpa intervensi.

• atau membandingkan bagaiamana bagian – bagian yang berbeda

dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda – beda akibat

dari kebijakan yang sama.

1.6.3.5 Kriteria Evaluasi

Suatu kebijakan yang telah diimplementasikan harus menghasilkan

informasi mengenai kinerja kebijakan. William N. Dunn (2003:610)

mengemukakan beberapa kriteria dalam menilai kinerja kebijakan, sebagai

(25)

Tabel 1.3 : Kriteria Evaluasi

TIPE KRITERIA PERTANYAAN ILUSTRASI

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan

telah dicapai?

Unit pelayanan

Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan

untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil

yang diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap

(masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II)

Perataan Apakah biaya dan manfaat

didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok tertentu?

Kriteria Pareto Kriteria kaldor-Hicks Kriteria Rawls

Resposivitas Apakah hasil kebijakan

memuaskan kebutuhan, preferensi

atau nilai kelompok-kelompok

tertentu?

Konsistensi dengan survai warga negara

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang

diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisien

Sumber: Dunn (2003:610)

Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi

kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka

pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang

dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya

setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

1) Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian

dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas

disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil

(26)

tujuan-tujuan organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.

Adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula

hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.

William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis

Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:

“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn, 2003:429).

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak

mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat

dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya

suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan

tetapi setelah melalui proses tertentu.

Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam

bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran daripada

efektivitas, yaitu:

1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;

2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;

3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan

kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;

4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap

(27)

5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah

semua biaya dan kewajiban dipenuhi;

6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang

dan masa lalunya;

7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya

sepanjang waktu;

8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada

kerugian waktu;

9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian

tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan

perasaan memiliki;

10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu

untuk mencapai tujuan;

11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai

satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan

mengkoordinasikan;

12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk

mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk

mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan;

(28)

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas

merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang

akan dicapai.

2) Efisiensi

Apabila kita berbicara tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal

penggunaan sumber daya (resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber

daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai.

William N. Dunn berpendapat bahwa:

“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” (Dunn, 2003:430).

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat

sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau

besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah

melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

3) Kecukupan

Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah

(29)

mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh

suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang

menumbuhkan adanya masalah (Dunn, 2003:430).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih

berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa

jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan

dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan

menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang

diharapkan.

3) Perataan

Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan

keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. William N. Dunn

menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan

rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara

kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434).

Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang

akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin

dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari

(30)

5) Responsivitas

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan

sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.

Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu

kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok

masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat

melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih

dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan

dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai

dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang

negatif berupa penolakan.

Dunn pun mengemukakan bahwa:

“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan” (Dunn, 2003:437).

Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan

nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi,

(31)

6) Ketepatan

Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada

kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn

menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:

“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut” (Dunn, 2003:499).

Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila

ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik

dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif

lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga

kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.

1.6.3.6Metode Evaluasi

Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2005:128), untuk

melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada

beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni:

a. Single program after – only yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan

kelompok sasaran sesudah program dijalankan

b. Single program before – after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan

(32)

c. Comparative after – only yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan

sasaran dan bukan sasaran program dijalankan

d. Comparative before – after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek

program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.

Tabel 1.4 : Metodologi untuk Evaluasi Program

Jenis Evaluasi

Pengukuran kondisi

kelompok sasaran Kelompok Kontrol

Informasi yang diperoleh Sebelum Sesudah

Single Program After – Only

Tidak Ya Tidak Ada Keadaan kelompok sasaran

Single Program Before – After

Ya Ya Tidak Ada Perubahan kelompok sasaran

Comparative After - Only

Tidak Ya Ada Keadaan kelompok

sasaran dan kelompok kontrol

Comparative Before – After

Ya Ya Ada Efek program terhadap

kelompok sasaran dan kelompok kontrol

Sumber : Subarsono (2005:130)

1.6.3.7 Evaluasi Dampak

Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah usaha

untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata.

Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output

kebijakan. Akibat dari output kebijakan ada dua macam yakni:

• Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok

(33)

tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran

(impact).

• Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok

sasaran, baik yang sesuai dengan yg diharapkan atau tidak dan akibat

tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran

(effects).

Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi

kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan atau

kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.

Menurut Lester dan Stewart dalam

Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan

dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalanya usaha untuk mengurangi

kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminalitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan

barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy

feedback, termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah

Winarno (2002: 170-171), setidaknya

ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh seorang evaluator didalam melakukan

evaluasi kebijakan publik, yaitu: Pertama, evaluasi kebijakan mungkin

menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang

diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang

nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi

(34)

atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat

keputusan.

Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam

1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan

pada orang-orang yang terlibat.

Winarno (2002: 171-173)

menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan

semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi.

2) Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan

atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.

3) Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan

sekarang dan keadaan di masa yang akan datang.

4) Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang

dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik.

5) Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut

biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa

anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat

jauh dari yang diharapkan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada

(35)

1.6.3.8 Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti

Didalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan

menggunakan model Single Program Before-After. Peneliti hendak melihat

perubahan keadaan kelompok sasaran sebelum dan sesudah program Sanitasi

Berbasis Masyarakat (Sanimas) diimplementasikan.

1.6.4 Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan dapat dikatakan sebagai jawaban atas realitas

ketidakberdayaan (disempowerment). Mereka yang tidak berdaya adalah pihak

yang tidak memiliki daya atau kehilangan daya. Mereka yang tidak berdaya

adalah mereka yang kehilangan kekuatannya.

Definisi pemberdayaan dalam arti sempit, yang berkaitan dengan sistem

pengajaran antara lain dikemukakan oleh Merriam Webster dan Oxford English

Dictionary kata”empower” mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to

give power of authority dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable.

Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan

kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam

pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau

keberdayaan.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi

yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

(36)

and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk

mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya

belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap

konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu (Ginanjar K., “Pembangunan

Sosial dan Pemberdayaan : Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan”, 1997:55).

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat

dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain,

pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya

memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama,

menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap

masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada

masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk

membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan

kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk

mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat

(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain

dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi

(37)

pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat

masyarakat menjadi berdaya. Upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf

pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan

ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.

Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana

dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah

dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada

lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan,

dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang

keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi

masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku

tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota

masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya

modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban

adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan

institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan

serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan

partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan

masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya

(38)

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses

pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena

kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Perlindungan dan pemihakan

kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan

masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi,

karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.

Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan

yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin

tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena pada dasarnya

setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat

dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah

memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk

memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan

(Bahan Kuliah PPS SP ITB, “Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat”, hlm 2-3).

1.6.4.1 Tahap-tahap Pemberdayaan

Tujuan yang ingin dicapai dalam pemberdayaan masyarakat adalah untuk

membentuk individu masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi

kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan

(39)

berupa sumberdaya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, psikomotorik

afektif dan sumberdaya lain yang bersifat fisik dan material (Khausar, 2012).

Agar pemberdayaan dapat dilakukan sesuai dengan target, perlu

memperhatikan tahap-tahap yang harus dilalui meliputi:

1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan

peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan

keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar

sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

3) Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga

terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk menghantarkan pada

kemandirian. (Ambar Teguh S, 2004:82-83)

1.7 Definisi Konsep

Defenisi konsep memberi batasan terhadap pembahasan dari permasalahan

yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari penelitian ini adalah :

a. Evaluasi dampak kebijakan Program SANIMAS adalah usaha untuk

menentukan dampak atas implementasi kebijakan program SANIMAS

yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada kelompok sasaran atau

tujuan kebijakan.

b. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat

(40)

mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan

keterbelakangan serta berusaha untuk memampukan dan memandirikan

masyarakat.

1.8 Definisi Operasional

Singarimbun (1989:46) menyatakan definisi operasional adalah unsur

penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.

Definisi operasional ini semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya

mengukur suatu variabel. Adapun definisi operasional dari variabel evaluasi

dampak kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Efektivitas, yaitu pencapaian hasil yang diinginkan:

- Kualitas yang dihasilkan dari program

- Produktivitas (kuantitas dari jasa yang dihasilkan)

- Motivasi (adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk

mencapai tujuan)

2. Efisiensi, yaitu usaha-usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan:

- Adanya target pencapaian waktu

- Tersedianya sumber daya manusia

- Adanya sumber daya modal

3. Kecukupan, yaitu adanya pemecahan masalah dari hasil yang diinginkan:

- Kecukupan produktivitas

(41)

4. Pemerataan, yaitu pendistribusian biaya dan manfaat yang merata:

- Distribusi hasil yang merata

- Kesamaan manfaat program yang dirasakan masyarakat

5. Responsivitas, yaitu dampak kebijakan terhadap pemuasan kebutuhan

preferensi atau kelompok tertentu

- Adanya tanggapan positif

- Adanya kritik

- Adanya saran

6. Ketepatan, yaitu manfaat atau kegunaan hasil yang diinginkan

- Program ditujukan kepada masyarakat PAKUMIS

- Kesesuaian hasil program dengan tujuan yang diharapkan

- Adanya perubahan yang dialami masyarakat

1.9 Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, fokus masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional dan

sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan

(42)

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan data tentang gambaran umum dan karakteristik lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Bab ini menyajikan data yang diperoleh selama penelitian di

lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang kajian dan analisis data yang diperoleh

pada saat penelitian di lapangan dan memberikan interpretasi

terhadap masalah yang diteliti.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan simpulan dari temuan penelitian yang telah

Gambar

Tabel 1.1 : Lokasi Sanimas Tahun 2012 Propinsi Sumatera Utara
Tabel 1.2 : Pendekatan Evaluasi Menurut William Dunn
Tabel 1.3 : Kriteria Evaluasi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini terapi kesalahan dilakukan dengan memberikan pengajaran gramatika guna melihat apakah proses pemerolehan gramatika telah berhenti (dengan kata

Bukan itu saja, kita akan memeriksa lebih lanjut lagi adakah virus jenis lain yang ditularkan kepada Adik yang dapat menyebabkan penyakit kanker rahim (carcinoma cervix).. P2

Berdasarkan hasil analisis mengenai hubungan peran orang tua dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi pada siswi kelas VII SMPN 3 Bantul Yogyakarta maka

Pada tahun 2012 Widodo menulis Skripsi yang berjudul Analisis Dan Perancangan Website Sebagai Media Promosi Dan Penjualan Selfish Clothing Company Ecommerce atau

Setelah saya menikah di GKJW Karangpilang sejak tahun 1995 saya mencoba aktif ikut kegiatan dijemaat, salah satu mengikuti kegiatan paduan suara, karena belum mengenal

maka untuk memeriksa visus mata kanan pasien, tutup mata kiri penderita dengan occluder yang dimasukkan dalam trial frame.. Minta penderita untuk menyebut huruf, angka

Uji Duncan efek utama dadih susu kerbau dan susu kambing menggunakan bambu ampel dan bambu gombong terhadap uji organoleptik aroma... anlaisis sidik ragam

Kecamatan Rakumpit ini memunculkan berbagai macam pertanyaan seperti bagaimana warga Kelurahan Pager Kecamatan Rakumpit mengaktualisasi kerukunan hidup beragama dalam