2.1 Paradigma Kajian Pustaka
Istilah konstruksi sosial atau realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan
oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social Constuction of Reality, a Treatise in The Sociological of Knowledge” (Bungin, 2006 : 189). Lalu ia kemudian menggambarkan proses sosial memalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang di miliki dan dialami bersama secara subjektif.
Dalam aliran filsafat, konstruktivisme muncul sejak Socrates menemukan jiwa dan tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalahfakta(Bungin,2006:189).
Dalam bahasa sederhanya, hanya menyentuh level mikro (konsep diri sumber) danlevel meso (lingkungan dimana sumber itu berada) dan tidak menyentuh hingga level makro (sistem politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain). Konsentrasi analisis pada paradigma ini adalah menemukan bagaimana suatu peristiwa ataupun realitas dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.
2.2 Kajian Pustaka
Kerangka teori menggambarkan dari teori yang mana suatu problem riset berasal atau dengan teori yang mana problem itu dikaitkan (Lubis, 1998 : 107). Dalam setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan dan menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang akan memuat pokok-pokok pikiran yang dapat menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian ini akan dibahas (Nawawi, 1995:39).
2.2.1 Komunikasi Terapeutik
Berbicara tentang defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar ataupun salah. Defenisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefenisikan dan mengevaluasinya. Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama,” communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi defenisi-defenisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagi hal-hal tersebut, seperti dalam kalimat “kita berbagi pikiran,” “kita
mendiskusikan makna,” dan “kita mengirimkan pesan” (Mulyana, 2010 : 46).
ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?. Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yakni:
- Komunikator - Pesan - Media - Komunikan - Efek
Jadi kesimpulan dari paradigma tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
Carl I. Hovland menyatakan bahwa, ilmu komunikasi adalah: Upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan sikap dan pendapat (Effendy, 2005 : 10).
Fungsi Komunikasi yang dikemukakan William I. Gorden dalam Mulyana (2010 : 5), yakni:
1. Fungsi Komunikasi Sosial 2. Fungsi Komunikasi Ekspresif 3. Fungsi Komunikasi Ritual 4. Fungsi Komunikasi Instrumental
Komunikasi merupakan komponen yang penting dalam keperawatan. Perawat perlu menjaga hubungan kerjasama yang baik dengan pasien, peran komunikasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan hubungan yang baik antara perawat dengan pasien. Dalam memberikan asuhan keperawatan komunikasi yang dilakukan perawat dengan pasien bukanlah komunikasi sosial biasa, melainkan komunikasi terapeutik yang merupakan komunikasi antara perawat dengan pasien yang dilakukan secara sadar, selain itu bertujuan untuk kesembuhan pasien.
komunikasi terapeutik itu sendiri adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan/pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008 : 11). Northouse, 1998 dikutip (Nurhasanah, 2010:65), komunikasi terapeutik adalah kemampuan perawat untuk membantu pasien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain. Sedangkan pendapat Stuart,1998 dikutip (Nurhasanah, 2010 : 65) komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan pasien, dalam hal ini perawat dan pasien memperoleh pengalaman belajar besama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional pasien.
Komunikasi terapeutik termasuk dalam komunikasi antar pribadi dimana komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi inti yang dilakukan oleh perawat. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal dan nonverbal (Mulyana 2010 : 81). Onong U. Effendy mendefinisikan komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara dua orang, dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk percakapan, komunikasi jenis ini bisa langsung secara berhadapan muka (face to face) bisa juga melalui medium, umpamanya telepon. Ciri khas komunikasi antar pribadi adalah dua arah atau timbal balik (Effendy, 1993 : 61). Selain itu menurut Dean Barnulus mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antara dua individu, tiga individu ataupun lebih yang terjadi sangat spontan dan tidak berstruktur (Liliweri, 1991:12).
Adapun De Vito dalam Liliweri, (1991 : 13) mendefinisikan komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. De Vito juga mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi yang mengandung ciri- ciri antara lain adalah :
1. Keterbukaan atau openness
atau malu. Kedua- keduanya saling mengerti dan memahami pribadi masing- masing.
2. Empati atau Empathy
Kemampuan seseorang memproyeksikan dirinya orang lain di dalam lingkungannya.
3. Dukungan atau Supportiveness
Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak- pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya.dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta merih tujuan yang didambakan. 4. Rasa positif atau Positiveness
Setiap pembicaraan yang disampaikan dapat gagasan pertama yang positif, rasa positif menghindarkan pihak- pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau prasangka yang menggangu jalannya interaksi keduanya.
5. Kesamaan atau Equality
Suatu komunikasi lebih akrab dalam jalinan pribadi lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia, ideologi dan sebaiknya (Liliweri, 1991 : 13).
Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal.
a. Komunikasi Verbal
b. Komunikasi Nonverbal
Adapun pendapat Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima, defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak sengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan (Mulyana,2010 : 343). Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal jauh lebih banyak dipakai daripada komuniasi verbal. Dalam berkomunikasi hampir secara otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau diungkapkan karena spontan.Komunikasi nonverbal dapat berupa bahasa tubuh, tanda (sign), tindakan/perbuatan (action) atau objek (object).
2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Purwanto (dalam Damaiyanti, 2008 : 11) mengemukakan tujuan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut.
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya
3. Memengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri
2.2.3 Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik
Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers adalah
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.
3. Perawat jiwa harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
4. Perawat jiwa harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.
5. Perawat jiwa harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah- masalah yang dihadapi. 6. Perawat jiwa harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk
mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan, maupun frustasi.
7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
8. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.
9. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik. 10. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan
orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat jiwa perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik , mental, spiritual, dan gaya hidup.
11. Disarankan untuk mengeskpresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
12. Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.
13. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.
2.2.4 Sikap Komunikasi Terapeutik
Egan dalam Keliat, 1992 dikutip (Damaiyanti 2008 : 14), mengidentifikasikan lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, yaitu:
a. Berhadapan;
Arti dari posisi ini adalah saya siap untuk anda b. Mempertahankan kontak mata;
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi
c. Membungkuk kearah klien;
Posisi ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau mendengarkan sesuatu d. Memperlihatkan sikap terbuka;
Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi dan siap membantu
e. Tetap rileks;
Tetap dapat mengendalikan keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang kurang menyenangkan
2.2.5 Teknik-teknik Komunikasi Terapeutik
Beberapa teknik komunikasi terapeutik menurut Wilson dan Kneist (1992) serta Stuart dan Sundeen (1998) dalam (Damaiyanti 2008 : 14) antara lain:
1. Mendengarkan dengan perlu perhatian
Perawat berusaha mengerti pasien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan. 2. Menunjukkan penerimaan
Bersedia mendengarkan tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. 3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
4. Pertanyaan terbuka
Pertanyaan yang memerlukan jawaban yang luas dan bukan pertanyaan yang
memiliki jawaban “ya” dan “tidak” sehingga pasien dapat mengemukakan
masalahnya, perasaannya, dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan.
5. Mengulang ucapan pasien dengan kata-kata sendiri
Pengulangan kata pasien menunjukkan umpan balik perawat terhadap apa yang disampaikan oleh pasien. Umpan balik bahwa perawat mengerti pesan pasien dan berharap kelanjutan komunikasi.
6. Mengklarifikasi
Untuk menyamakan pengertian dengan pasien, perawat melakukan klarifikasi dengan kata yang tidak jelas disampaikan oleh pasien dengan berusaha menjelaskan dalam kata, ide,atau pikiran .
7. Memfokuskan
Tujuannya untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan lebih spesifik dan dimengerti. Dengan cara berusaha untuk tidak memutus pembicaraan ketika pasien menyampaikan masalah yang penting.
8. Menyatakan hasil observasi
Perawat harus memberikan umpan balik dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga pasien dapat mengetahui pesannya diterima dengan benar atau tidak.
9. Menawarkan informasi
Memberikan tambahan informasi berupa tindakan penyuluhan kesehatan untuk pasien dengan tujuan memfasilitasi pasien untuk mengambil keputusan.
10. Diam
Sikap diam perawat yang digunakan perawat terhadap pasien yaitu untuk mengorganisir pikiran dengan kata lain memberikan kesempatan pada pasien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu agar tidak menimbulkan perasaan tidak enak. Diam juga berfungsi pada saat pasien dan keluarga mengambil keputusan untuk dirinya.
Yaitu pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Manfaatnya untuk mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan percakapan selanjutnya.
12. Memberikan Penghargaan
Pasien juga perlu penghargaan dan pujian, tetapi penghargaan jangan sampai menjadi beban untuk pasien. Dengan kata lain jangan sampai pasien berusaha keras dan melakukan segala sesuatu demi mendapatkan penghargaan, pujian atau persetujuan atas perbuatannya. Teknik ini tidak pula dimaksudkan untuk menyatakan bahwa yang ini bagus dan yang sebaliknya buruk.
13. Menawarkan diri
Bukan tidak mungkin pasien belum siap berkomunikasi dengan perawat, tetapi tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sering juga perawat hanya menawarkan kehadirannya. Sebaiknya komunikasi ini dilakukan tanpa pamrih dan tidak mengharapkan balasan terhadap pasien. Perawat cukup menyediakan diri tanpa respons bersyarat atau respons yang diharapkan.
14. Memberikan kesempatan pada pasien untuk memulai pembicaraan
Perawat harus memberikan kesempatan pada pasien berinisiatif memilih topik yang ingin dibicarakan bersama. Buat pasien merasakan bahwa ia diharapkan membuka pembicaraan.
15. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Berikan kesempatan kepada pasien mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. Teknik ini juga mengindikasikan bahwa perawat mengikuti apa yang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Perawat berusaha menafsirkan dan mengarahkan diskusi pembicaraan.
16. Menempatkan kejadian secara berurutan
Mengurutkan kejadian membantu perawat dan pasien melihat dalam suatu perspektif. Dan kelanjutan dari suatu kejadian menuntun perawat dan pasien melihat kejadiaan berikutnya yang merupakan akibat dari kejadian sebelumnya dan menemukan pola kesukaran dalam hubungan interpersonal.
Perawat harus melihat segala sesuatunya dari perspektif pasien jika igin mengerti pasien. Pasien harus bebas menguraikan persepsinya pada perawat.
18. Refleksi
Perawat mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan dan isi pembicaraan kepada klien. Metode ini menganjurkan pasien untuk mengemukakan dan menerima ide serta perasaannya sebagai bagian dirinya sendiri.
19. Asertif
Asertif adalah kemampuan dengan secara meyakinkan dan nyaman untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain.
20. Humor
Untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit akibat stress dan meningkatkan keberhasilan dalam asuhan keperawatan dalam menangani pasien jiwa, perawat perlu menggunakan humor dalam berkomunikasi dengan pasien.
2.2.6 Teknik Komunikasi Yang Kurang Tepat
Beberapa teknik komunikasi yang kurang tepat yang dikemukakan dalam buku(Nurhasanah,2010:87)
a. Memberi jaminan: Teknik ini tidak tepat, sebab apabila hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dijaminkan, pasien menjadi tidak percaya lagi atau bahkan mungkin menjadi marah.
b. Memberikan penilaian: berkaitan dengan kemampuan perawat dalam memahami dan mengklarifikasi nilai-nilai yang dianutnya. Teknik ini kurang tepat, karena apabila teknik ini digunakan dapat mengakibatkan klien merasa bahwa perawat mengabaikan perasaan pasien atau merendahkan dirinya.
c. Memberi komentar klise: memberi komentar yang itu-itu saja atau yang terlalu umum. Contoh: setiap pasien melakukan atau menjawab sesuatu dengan tepat,
perawat mengatakan “bagus”.
e. Mengubah pokok pembicaraan: Teknik ini tidak tepat karena berorientasi pada perawat. Ketika menggali masalah pasien, terkadang perawat tidak tertarik pada ungkapan pasien sehingga perawat mengubah topik pembicaraan.
f. Defensif: Respon perawat yang defensif bisa menghambat pasien dalam mengungkapkan perasaannya. Dengan memberikan respons defensif, sebenarnya perawat sedang menutupi kekurangan atau kelemahannya.
2.2.7 Proses Komunikasi Terapeutik
Dalam proses komunikasi terapeutik, seorang perawat mempunyai empat tahapan yang pada setiap tahapnya mempunyai tugas yang harus diselesaikan oleh seorang perawat. Stuart & Sundeen (Damaiyanti, 2008 : 21).
a. Fase Pra-Interaksi
Fase ini dimulai sebelum perawat bertemu dengan pasien untuk pertama kalinya dan merupakan fase dimana perawat merencanakan pendekatan terhadap pasien. Pada fase ini perawat dapat melihat kembali catatan medik pasien, mengantisipasi masalah kesehatan yang mungkin timbul pada interaksi pertama, mempersiapkan lingkungan yang nyaman dan merencanakan waktu yang cukup untuk interaksi. Pada fase ini juga perlu mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan yang ada di dalam dirinya serta menganalisis kekuatan dan keterbatasan yang dimiliki sebelum melakukan interaksi dengan pasien. Perawat yang berhasil melalui fase ini dengan baik akan menampilkan sikap yang lebih percaya diri dan lebih siap menghadapi segala macam kemungkinan.
b. Fase Orientasi atau Perkenalan
c. Fase Kerja
Fase kerja merupakan dimana perawat dan pasien bekerja sama untuk memecahkan suatu masalah dan mencapai tujuan bersama. Perawat perlu memotivasi pasien untuk berekspresi, mengeksplorasi dan menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Pada fase ini perawat dapat menunjukkan sikap caring dengan memberikan informasi yang dibutuhkan klien, melakukan tindakan yang sesuai dan menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Perawat juga dapat membantu pasien dalam menggali pikiran dan perasaannya, mengeksplorasi stressor, mendorong perkembangan kesadaran diri pasien, mendukung pemakaian mekanisme koping yang adaptif dan merencanakan program selanjutnya yang sesuai dengan kemampuan pasien. Perawat juga perlu mengatasi penolakan pasien terhadap perilaku adaptif yang hendak diajarkan oleh perawat dengan teknik dan pendekatan yang sesuai.
d. Fase Terminasi
Fase terminasi merupakan fase untuk mengakhiri hubungan. Perawat bersama pasien dapat saling mengeksplorasi perasaan yang muncul akibat dari perpisahan yang akan dijalani. Pada fase ini baik perawat maupun pasien dapat merasakan perasaan puas, senang, marah, sedih, jengkel dan perasaan lainnya yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan. Perawat perlu menghadirkan realitas perpisahan kepada pasien dan melakukan evaluasi dari pencapaian tujuan setelah interaksi dilakukan. Pada fase ini perawat juga perlu menetapkan rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan pasien terkait intervensi yang baru saja dilakukan pada fase kerja dan menetapkan kontrak untuk interaksi yang berikutnya. Terminasi terbagi dua yaitu, terminasi sementara dan terminasi akhir.
a. Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan antarperawat dan pasien, dan sifatnya sementara, karena perawat akan menemui pasien lagi, apakah satu atau dua jam atau mungkin besok akan kembali melakukan interaksi.
Tabel 2.1 Tahap komunikasi terapeutik (Intan dalam Damaiyanti, 2008) 1 Tahap prainteraksi
Mengumpulkan data tentang pasien.
Mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan diri.
Membuat rencana pertemuan dengan pasien (kegiatan, waktu, tempat).
2 Tahap orientasi
Memberikan salam dan tersenyum pada pasien. Melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif). Memperkenalkan nama perawat.
Menanyakan nama panggilan kesukaan pasien. Menjelaskan tanggung jawab perawat dan pasien. Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan. Menjelaskan tujuan.
Menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melalukan kegiatan Menjelaskan kerahasiaan.
3 Tahap kerja
Memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya.
Menanyakan keluhan utama/keluhan yang mungkin berkaitan dengankelancaran pelaksanaan kegiatan.
Memulai kegiatan dengan cara yang baik. Melakukan kegiatan sesuai dengan rencana.
4 Tahap terminasi
Memberikan reinforcement positif.
Merencanakan tindak lanjut dengan pasien.
Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu, tempat, topik). Mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik.
Dimensi respon/perilaku non verbal minimal yang perlu ditunjukkan:
Berhadapan.
Mempertahankan kontak mata. Tersenyum pada saat yang tepat
Membungkuk ke arah klien pada saat yang diperlukan.
Mempertahankan sikap terbuka(tidak bersedekap, memasukkan tangan ke kantung atau melipat kaki).
2.2.8 Gangguan Jiwa
2.2.8.1 Pengertian Gangguan Jiwa
Menurut Yosep 2007 dalam (Damaiyanti, 2008:64), dari berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut dibagi kedalam dua golongan yaitu: Gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai macam gejala, yang terpenting di antaranya adalah ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan, takut pikiran-pikiran dan sebagainya.
perasaan/emosi, dan dorongan motivasinya sangat terganggu), tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan.
2.2.8.2 Tujuan Komunikasi Pada Pasien Jiwa
Menurut (Damaiyanti, 2008:66), dalam bukunya mengungkapkan beberapa tujuan pada pasien jiwa:
- Perawat dapat memahami orang lain - Menggali perilaku pasien
- Memahami perlunya memberi pujian - Memperoleh informasi pasien
2.2.8.3 Beberapa Masalah yang Terjadi Pada Pasien
Terdapat beberapa masalah yang terjadi pada pasien jiwa dalam buku (Damaiyanti,2008:67)
1. Pasien dengan masalah perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.
2. Pasien dengan masalah harga diri rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri.
3. Pasien dengan masalah halusinasi
4. Pasien dengan masalah isolasi sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
5. Pasien dengan masalah waham
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. Jenis-jenis waham: Waham kebesaran, curiga, agama,somatik, nihilistik.
6. Pasien dengan masalah kurangnya perawatan diri
Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting (Buang air besar dan buang air kecil).
7. Pasien dengan masalah resiko bunuh diri
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk mengakhiri hidupnya. Ada tiga macam perilaku bunuh diri yaitu:
Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri.
Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengkhiri kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencananya.
Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien menciderai atau melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya.
2.2.9 Indikator Kesembuhan Pasien Jiwa
Prof. Dr. Budi Anna Keliat, MAppSc, yakin bahwa pasien gangguan jiwa bisa pulih. Menurut Budi, ada beberapa indikator untuk mengetahui pasien sudah pulih (m.beritasatu.com/kesehatan/313244-penderita- gangguan-jiwa-bisa-pulih/).
Pasien mampu mengendalikan gejala Mampu merawat diri
Dapat bersosialisasi kembali
Mampu melakukan kegiatan rumah tangga
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional dan merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi,2001:40)