• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pelaksanaan Cuci Tangan Perawat dalam Melaksanakan Tindakan Keperawatan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pelaksanaan Cuci Tangan Perawat dalam Melaksanakan Tindakan Keperawatan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cuci Tangan

2.1.1.Defenisi Cuci Tangan

Menurut Depkes (2007) mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air. Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air (Tietjen, dkk, 2004). Sementara itu menurut Larson seperti yang dikutip dalam Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas di bawah air.

Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk menghindari penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar hilang. Mencuci tangan juga mengurangi pemindahan mikroba ke pasien dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berada pada kuku, tangan dan lengan (Schaffer, dkk, 2000).

(2)

Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi adalah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005). Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif dan singkat menggosok tangan dengan sabun dibawah air hangat yang mengalir (Depkes, 2003).

Cuci tangan adalah tindakan membersihkan kedua tangan dari mikoorganisme, debu, dan kotoran dengan cara menggosok kedua tangan dengan menggunakan air dan sabun secara bersamaan kemudian dibilas dengan air mengalir.

2.1.2.Tujuan Cuci Tangan

Menurut Tietjen (2004) tujuan cuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme sementara. Tujuan dari cuci tangan adalah untuk membersihkan mikroorganisme transien sebelum berpindah ke pasien yang rentan. Infeksi silang dapat terjadi sewaktu perawat berpindah dari satu pasien ke pasien yang lain atau memegang bagian yang berbeda pada satu pasien (Gould & Brooker, 2003).

(3)

2.1.3.Indikasi Cuci Tangan

Cuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum (Tietjien, dkk, 2004): a. memeriksa (kontak langsung) dengan pasien; dan

b. memakai sarung tangan bedah steril atau DTT sebelum pembedahan atau sarung tangan pemerikasaan untuk tindakan rutin .

Cuci tangan sebaiknya dilakukan setelah :

a. situasi tertentu dimana kedua tangan dapat terkontaminasi, seperti: memegang instrument yang kotor dan alat-alat lainnya; menyentuh selaput lendir, darah, atau duh tubuh lainnya (sekresi atau eksresi); kontak yang lama dan intensif dengan pasien,

b. melepas sarung tangan.

WHO (2009) mengindikasikan cuci tangan sebagai berikut :

a. cuci tangan dengan air dan sabun ketika terlihat kotor atau terpapar dengan darah atau cairan tubuh lainnya atau setelah menggunakan toilet, b. sebelum dan sesudah menyentuh pasien,

c. sebelum melakukan prosedur invasif dengan atau tanpa menggunakan sarung tangan,

d. setelah bersentuhan dengan kulit yang tidak intact , membrane mukosa, atau balutan luka,

e. bila berpindah dari satu bagian tubuh yang terkontaminasi ke bagian tubuh yang lainnya dalam satu perawatan pada pasien yang sama,

f. setelah kontak dengan peralatan medis,

(4)

h. sebelum pemberian medikasi atau mempersiapakan makanan cuci tangan menggunakan alcohol handrub atau cuci tangan dengan sabun anti bacterial dengan air mengalir.

2.1.4.Prinsip Cuci Tangan

Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang efektif untuk memutuskan rantai transmisi infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat berkurang. Pencegahan dan pengendalian infeksi mutlak harus dilakukan oleh perawat, dokter dan seluruh orang yang terlibat dalam perawatan pasien. Salah satu komponen standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi nosokomial adalah menggunakan panduan kebersihan tangan yang benar dan mengimplementasikan secara efektif.

Hand hygiene adalah istilah yang digunakan untuk membersihkan tangan dari

mikroorganisme dengan cara menggosok kedua tangan menggunakan air dan sabun antiseptic ataupun menggunakan alcohol handrub. WHO (2009) mencetuskan promosi global patient safety challenge dengan clean care is safecare, yang artinya adalah perawatan yang bersih maupun higienis adalah perawatan yang aman untuk keselamatan pasien (patient safety) dengan merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene atau kebersihan tangan untuk petugas kesehatan dengan five moments for hand hygiene atau 5 momen mencuci tangan, yaitu mencuci tangan di 5 momen krusial.

5 momen mencuci tangan adalah sebagai berikut: a. sebelum kontak dengan pasien

(5)

situasi seperti berjabat tangan, membantu pasien bergeser ataupun berpindah posisi, dan pemeriksaan klinis.

b. sebelum melakukan tindakan aseptic

Mencuci tangan segera sebelum tindakan aseptik dalam situasi seperti perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pembalutan dan perawatan luka, insersi kateter, mempersiapkan makanan, dan pemberian obat.

c. setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien risiko tinggi

Mencuci tangan segera setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien yang beresiko tinggi atau setelah melepaskan sarung tangan dalam situasi seperti perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pengambilan dan memeriksa darah, membersihkan urin, feses, dan penanganan limbah.

d. setelah kontak dengan pasien

Mencuci tangan setelah menyentuh pasien dan lingkungan sekitarnya dan ketika meninggalkan pasien dalam situasi seperti berjabat tangan, membantu pasien merubah posisi dan pemeriksaan klinik.

e. setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien

(6)

2.1.5.Teknik Cuci Tangan

a. Teknik cuci tangan biasa

Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum dan sesudah melakukan tindakan yang tidak mempunyai resiko penularan penyakit. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci tangan sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air bertangkai panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis atau kantung plastik berwarna kuning untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi), alat pengering seperti tisu, lap tangan (hand towel), sarung tangan (gloves), sabun cair atau cairan pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik, lotion tangan, serta di bawah wastafel terdapat alas kaki dari bahan handuk.

b. Teknik cuci tangan aseptic

Mencuci tangan aseptik yaitu cuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik. Mencuci tangan dengan larutan disinfektan, khususnya bagi petugas yang berhubungan dengan pasien yang mempunyai penyakit menular atau sebelum melakukan tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.

c. Teknik cuci tangan steril

(7)

cuci tangan dengan pedal kaki atau pengontrol lutut, sabun antimikrobial (non-iritasi, spektrum luas, kerja cepat), sikat scrub bedah dengan pembersih kuku dari plastik, masker kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril, pakaian diruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu (Tietjen, dkk, 2004).

2.1.6.Keuntungan Mencuci Tangan

Menurut Puruhito (1995), cuci tangan akan memberikan keuntungan yaitu dapat mengurangi infeksi nosokomial, Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak sehingga tangan lebih bersih dibandingkan dengan tidak mencuci tangan. Dari segi praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci tangan sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi nosokomial.

2.1.7.Perilaku Cuci Tangan Petugas Kesehatan

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

(8)

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku menurut Notoatmodjo (2003) dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup (convert

behavior) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

(9)

Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Musadad, et.al. (1993) ditulis dalam CDK (Cermin Dunia Kedokteran) yaitu perilaku cuci tangan oleh tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat menunjukkan bahwa sebagian besar petugas tersebut tidak melaksanakan cuci tangan. Hal ini terlihat pada waktu petugas akan memeriksa pasien, baik saat pertama kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien lainnya. Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai melakukan pemeriksaan pasien keseluruhannya. Kondisi seperti ini dapat memicu terjadinya Infeksi nosokomial yang dikenal dengan Healthcare Associated Infections (HAIs) yang dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien (Depkes RI, 2009).

Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian infeksi adalah hand hygiene (kebersihan tangan) karena kegagalan dalam menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multi resisten di fasilitas pelayanan kesehatan (Menkes dalam Depkes RI, 2009).

Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan menurut Tietjen (2004) adalah metode paling mudah, murah dan efektif dalam pencegahan infeksi nosokomial dengan strategi yang telah tersedia, yaitu:

(10)

b. memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti dengan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi,

c. meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya di mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering terjadi.

2.2. Infeksi Nosokomial

2.2.1.Defenisi Infeksi Nosokomial

Nosokomial berasal dari bahasa yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit,

dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/

Rumah Sakit. Jadi infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat pasien menjalani proses asuhan (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan juga setiap orang yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit (Septiari, 2012).

(11)

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien sebelum, selama dan sesudah menjalani perawatan.

2.2.2.Batasan infeksi Nosokomial

Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit. Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/ batasan tertentu diantaranya:

a. pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi nosokomial,

b. pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut,

c. tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan,

d. infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya,

(12)

2.2.3.Tahapan Infeksi Nosokomial

a. Tahap pertama

Mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu/ penderita dengan mekanisme penyebaran (mode of transmission) terdiri dari penularan langsung, dan tidak lansung.

1) Penularan langsung

Melalui droplet nuclei yang berasal dari petugas, keluarga/ pengunjung, dan penderita lainnya. Kemungkinan lain berupa darah saat transfusi darah. 2) Penularan tidak langsung

a) vehicle-borne

Penyebaran/ penularan mikroba patogen melalui benda-benda mati seperti peralatan medis, bahan-bahan/ material medis, atau peralatan lainnya.

b) vector-borne

Penyebaran/ penularan mikroba patogen dengan perantara seperti serangga.

c) food-borne

Penyebaran/ penularan mikroba patogen melalui makanan, dan minuman yang disajikan penderita.

d) water-borne

(13)

e) air-borne

Penyebaran/ penularan mikroba patogen melalui udara, peluang terjadinya infeksi melalui cara ini cukup tinggi karena ruangan/ bangsal yang tertutup secara teknis kurang baik ventilasi, dan pencahayaannya. b. Tahap kedua

Upaya dari mikroba patogen menginvasi ke jaringan/ organ penjamu (pasien) dengan cara mencari akses masuk (port d’entrée) seperti adanya kerusakan/ lesi kulit atau mukosa dari rongga hidung, mulut, orifisium uretra, dan sebagainya.

1) mikroba patogen masuk ke jaringan/ organ melalui lesi kulit. Hal ini dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik,

2) mikroba patogen masuk melalui kerusakan/ lesi mukosa saluran urogenital karena tindakan invasif seperti :

a) tindakan kateterisasi, sitoskopi,

b) pemeriksaan, dan tindakan ginekologi,

c) pertolongan persalinan pervaginam patologis, baik dengan bantuan instrumen medis maupun tanpa bantuan instrumen medis.

3) dengan cara inhalasi, mikroba patogen masuk melalui rongga hidung menuju saluran napas.

(14)

c. Tahap ketiga

Mikroba patogen berkembang biak (melakukan multiplikasi) disertai dengan tindakan destruktif terhadap jaringan, walaupun ada mengakibatkan perubahan morfologis, dan gangguan fisiologis jaringan. (Darmadi, 2008).

2.2.4.Dampak Infeksi Nosokomial

Menurut Septiari (2012) infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut:

a. menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat menyebabkan cacat yang permanen serta kematian,

b. dampak tertinggi pada Negara berkembang dengan prevalensi HIV/ AIDS yang tinggi,

c. meningkatkan biaya kesehatan diberbagai Negara yang tidak mampu, dengan meningkatkan lama perawatan di Rumah Sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya,

d. morbiditas dan mortalitas semakin tinggi, e. adanya tuntutan secara hukum,

f. penurunan citra Rumah Sakit (Septiari, 2012).

Menurut Nurhadi (2012) dampak infeksi nosokomial adalah :

a. bertambahnya stress emosional yang menurunkan kemampuan dan kualitas hidup,

b. lamanya rawat inap di Rumah Sakit sehingga bertambahnya biaya perawatan,

(15)

d. kebutuhan akan isolasi pasien,

e. penggunaan pemeriksaan laboratorium tambahan serta studi diagnosis lainnya, dan

f. meningkatnya jumlah kematian dirumah sakit.

2.2.5.Gejala Klinis Infeksi Nosokomial

Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter & Perry, 2005). Gejala klinis lokal akan memberikan gambaran klinis sesuai dengan organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan menimbulkan gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya. Bila organ pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah, kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2008).

Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari pada gejala infeksi lokal. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise, nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya (Potter & Perry, 2005).

2.2.6.Cara Penularan Infeksi Nosokomial

a. Penularan secara kontak

(16)

Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminassi peralatan medis oleh mikroorganisme.

b. Penularan Melalui Common Vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan dapat menyebabkan penyakit lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/ produk darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya.

c. Penularan melalui udara, dan inhalasi

Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme berukuran yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus), dan tuberculosis.

d. Penularan dengan perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal dan internal. Disebut penularan eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella, dan salmonela oleh lalat.

Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea) (Septiari, 2012).

2.2.7.Pengendalian Infeksi Nosokomial

(17)

a. adanya sistem surveilan yang mantap, surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang sistemik, dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan, dan pengendalian,

b. adanya peraturan yang tegas, dan jelas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang sangat penting adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas,

c. adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam merawat penderita. Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita (Septiari, 2012).

2.2.8.Pencegahan Infeksi Nosokomial

a. Kewaspadaan universal

Kewaspadaan universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control (CDC) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit

yang ditularkan melalui darah dilingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainya. Diantaranya :

1) cuci tangan, 2) sarung tangan,

3) masker, kaca mata, masker muka, 4) baju pelindung,

(18)

6) peralatan perawatan pasien, 7) pembersih lingkungan, 8) instrumen tajam, 9) resusitasi pasien, 10) penempatan pasien, b. Tindakan invasif

1) tindakan invasif sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat kesehatan ke dalam tubuh, dan menyebar ke jaringan. Contoh : suntikan, pungsi (vena, lumbal, pericardial, pleura suprapublik), bronkoskopi, angiografi, pemasangan alat (kontrasepsi, kateter intravena, kateter jantung, pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung),

2) tindakan invasif operasi adalah suatu tindakan yang melakukan penyayatan pada tubuh pasien, dan dengan demikian memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan menyebar.

c. Tindakan non invasif

Tindakan non invasif adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat kesehatan tanpa memasukkan ke dalam tubuh pasien yang memungkinkan masuk ke dalam jaringan. Contoh : tindakan EKG, USG, pengukuran suhu tubuh, pengukuran tekanan darah, pengukuran nadi, pemeriksaan reflek tonus treadmill test, pemasangan hotler, dan lain-lain.

d. Tindakan terhadap anak, dan neonatus

(19)

e. Sterilisasi

Sterilisasi merupakan suatu proses dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu bentuk keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorganisme hidup (Darmadi, 2008).

f. Desinfeksi

Desinfeksi adalah istilah umum tindakan/ upaya destruktif/ membunuh mikroba patogen (bentuk vegetatif, bukan endespora bakteri) dengan memanfaatkan bahan kimia, baik yang ada pada jaringan hidup maupun yang ada pada benda mati. (Darmadi, 2008).

2.3. Tindakan Keperawatan

2.3.1.Defenisi Tindakan Keperawatan

Tindakan keperawatan yaitu tindakan otonomi berdasarkan pada alasan ilmiah yang dilakukan untuk keuntungan klien dalam cara yang diperkirakan yang berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan ( Bulecheck & Mc Closkey, 1995 ).

Menurut Potter & Perry (2005), Tindakan keperawatan adalah semua tindakan yang dilakukan oleh perawat, yaitu dengan melaksanakan rencana atau tujuan spesifik yang telah ditetapkan. Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan yaitu (Notoatmojo.,2007) : a. Persepsi (perception)

(20)

b. Respons terpimpin (guieded response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indicator praktik tingkat dua.

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

d. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Cuci tangan merupakan salah satu bentuk tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan adalah semua rencana dan tujuan yang dilakukan oleh perawat yaitu dengan melaksanakan rencana dan tujuan spesifik yang telah ditetapkan (Potter & Perry, 2005). Menurut Bulechek & McCloskey cit Carpetino (1999) tindakan keperawatan adalah tindakan otonomi berdasarkan pada alasan ilmiah yang dilakukan untuk keuntungan klien dalam cara yang dipikirkan yang berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuaan.

2.3.2.Tujuan Proses Keperawatan

(21)

klien, tetapi juga profesi keperawatan itu sendiri.

Tujuan penerapan proses keperawatan bagi klien, antara lain: a. mempertahankan kesehatan klien,

b. mencegah sakit yang lebih parah/ penyebaran penyakit/ komplikasi akibat penyakit,

c. membantu pemulihan kondisi klien setelah sakit, d. mengembalikan fungsi maksimal tubuh,

e. membantu klien terminal meninggal dengan tenang.

Tujuan penerapan proses keperawatan bagi profesionalitas keperawatan, antara lain:

a. mempraktikkan metode pemecahan masalah dalam praktik keperawatan, b. menggunakan standar praktik keperawatan,

c. memperoleh metode yang baku, rasional, dan sistematis,

d. memperoleh hasil asuhan keperawatan dengan efektifitas yang tinggi.

2.3.3.Sifat-sifat Proses Keperawatan

(22)

dengan situasi dan kondisi klien (Asmadi, 2008).

2.3.4.Komponen Proses Keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Pengumpulan data dilakukan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini dan secara komprehensif terkait aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik (Asmadi, 2008).

b. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang dilakukan perawat yang mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya dikumpulkan selama pengkajian (Potter & Perry, 2005).

c. Perencanaan

(23)

Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan. Perencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk klien, keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi, 2008).

d. Implementasi

Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan atau diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian (Potter 7 Perry, 2005).

e. Evaluasi

(24)

1) melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, 2) menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum,

Referensi

Dokumen terkait

Perkara-perkara ini mengilhami pengkaji untuk melakukan kajian tentang pencapaian nilai-nilai keusahawanan holistik (NKH) di kalangan pelajar SMV yang pada akhirnya akan

Penelitian ini menggunakan simulasi computational fluid dynamics (CFD) untuk menganalisis performa tungku pada bagian geometri cerobong gas bakar, dan lubang

Surapati core blok k.18 jl. Phh

Pelumas Pertamina merupakan produk yang sesuai dengan kebutuhan saya untuk1. mendapatkan manfaat

Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, santun, responsif dan pro- aktif dalam berinteraksi secara efektif dalam lingkungan sosial sesuai dengan prinsip etika

[r]

Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian

Detection of Ace-1 gene with insecticides resistance.pdf 01.. Detection of Ace-1 gene with