A. Latar Belakang
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupakan profesi yang
sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Seorang dokter
sebelum melakukan praktek kedokterannya atau pelayanan medis telah melalui
pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Karena dari profesi inilah banyak
sekali digantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan dari pasien serta
keluarganya yang sedang menderita sakit. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya
tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat
manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh resiko ini tidak
dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat Allah, karena kemungkinan
pasien cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja terjadi,
walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau
Standart Operating Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang
baik. Keadaan semacam ini seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko
ini terkadang dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi kedokteran sebagai
medical malpractice.
Sebagaimana profesi pada umumnya, pelayanan kesehatan merupakan
suatu profesi yang didasarkan kerahasiaan dan kepercayaan seperti halnya profesi
pengacara. Menurut Van der Mijn, ciri-ciri pokok dalam pelayanan kesehatan
1. Setiap orang yang meminta pertolongan professional, pada umumnya berada pada posisi ketergantungan, artinya bahwa ia harus meminta semacam pertolongan tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan khusus. Misalnya, untuk tujuan peningkatan kesehatannya seseorang minta pertolongan pada profesi dokter, kalau seseorang mempunyai tujuan melakukan suatu tuntutan hukum datang kepada profesi pengacara, sedang untuk tujuan menyatakan kehendaknya (membuat wasiat) minta pertolongan pada profesi notaris.
2. Setiap orang yang meminta pertolongan dari orang yang tidak mempunyai
profesi yang bersifat rahasia, pada umumnya tidak dapat menilai keahlian profesional itu.
3. Hubungan antara orang yang meminta pertolongan dan orang yang
memberi pertolongan bersifat rahasia dalam arti bahwa pihak yang pertama bersedia memberi keterangan-keterangan yang tidak akan ia ungkapkan kepada orang lain, dan pihak profesi harus bisa menjaga kerahasiaan tersebut.
4. Setiap orang yang menjalankan suatu profesi yang bersifat rahasia, hampir
selalu memegang posisi yang tidak bergantung (bebas), juga apabila ia berpraktek swasta. Malah dalam kasus demikian, ada otonomi profesi dan hanya ada beberapa kemungkinan saja bagi pihak majikan untuk melakukan tindakan-tindakan korektif.
5. Sifat pekerjaan ini membawa konsekuensi pula bahwa hasilnya tidak
selalu dapat dijamin, melainkan hanya ada kewajiban untuk melakukan
yang terbaik. Kewajiban itu tidak mudah untuk diuji.2
Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanya manusia biasa
yang suatu saat bisa lalai dan salah, sehingga pelanggaran kode etik bisa saja
terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono
Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang
tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.3
Etika berbeda dengan hukum, karena hukum dibentuk oleh perangkat
pembentuk undang-undang, ketaatan asas hukum tersebut dapat dipaksakan dari
luar oleh aparat penegak hukum (law enforcement official) karena dikandung
2
D. Veronika Komalasari, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989, hal 14-15.
3
sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran untuk
melaksanakannya timbul dari dalam diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu
insan tidak diperlukan sanksi yang berat. Etika kedokteran bersama-sama dengan
norma hukum, mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti
saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing.
Namun demikian menurut Safitri Hariyanti, bahwa pelanggaran terhadap
butir-butir Kodeki ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, dan ada
pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang
dikenal dengan istilah etikolegal.4
Demikian pula menurut Dedy Rasyid memberikan contoh pelanggaran etik
kedokteran semata dan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum, yaitu
sebagai berikut :5
1. Pelanggaran etik kedokteran :
a) Tidak memelihara kesehatannya sendiri dengan baik (melanggar Pasal
17 Kodeki).
b) Tidak mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat
(melanggar Pasal 8 Kodeki).
2. Pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum pidana
a) Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki
sekaligus Pasal 267 KUHP).
4
Safitri Hariyani, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta Diadit Media, 2005, hal 48.
5
b) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar Pasal 13
Kodeki sekaligus Pasal 322 KUHP).
Sekalipun pasien dan keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan
yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih
memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasaannya kepada
dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada
akhirnya menghambat kesembuhan sang pasien.
Walaupun demikian, tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan
dokter tidak memuaskan dirinya maupun keluarganya terutama bila salah satu
anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur
pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena
perubahan sudut pandang terhadap pola hubungan antara dokter dan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung
kepada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi), kini berubah
menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi
mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara
pengobatan, termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan
operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan
dokter, pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberi ganti
rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya.
Kemajuan teknologi bidang biomedis disertai dengan kemudahan dalam
pasien untuk mendapatkan “second opinion” dari berbagai pihak baik dari dalam
maupun dari luar negeri, yang pada akhirnya bila dokter tidak hati-hati dalam
memberikan penjelasan kepada pasien akan berakibat kurangnya kepercayaan
pasien kepada para dokter tersebut. Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak
terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya tentang perlindungan hukum, menjadikan dunia pengobatan bukan
saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan
pidana.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan
pelanggaran hukum di dalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut
menunjukkan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul bisa diterapkan
dalam pemecahan masalah-masalah medik. Maraknya kasus dugaan malpraktek
yang dimuat di media massa maupun elektronik, berita yang menyudutkan
kalangan kedokteran karena salahnya praktik atau yang dikenal luas istilah
“malapraktek” semakin banyak bermunculan.
Menurut pandangan Endang Kusuma Astuti perubahan karateristik
masyarakat dimana dokter sebagai pemberi dan perubahan masyarakat sebagai
pengguna jasa kedokteran tersebut jika tidak didukung oleh peningkatan
komunikasi antara dokter dan pasien, dapat menimbulkan ketidakpuasan dan
konflik antara keduanya. Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter
merupakan suatu pertanda untuk menunjukkan, bahwa saat ini sebagian
masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi dokter kepada
Pada umumnya, ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap
pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter.
Dengan perkataan lain, terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan kenyataan
yang didapat oleh pasien.6
Selain dokter, rumah sakit juga dapat dijadikan sebagai subyek hukum
karena badan hukum juga dapat berperan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Rumah sakit sebagai organisasi yang melaksanakan tugas pelayanan kesehatan
bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit tersebut,
yang secara umum dibebankan kepada Kepala Rumah Sakit yang bersangkutan.7
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan
pelayan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam
mempercepat derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dapat
dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang
ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menurut Azwar
pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan
rata-rata penduduk serta penyelenggaraanya sesuai dengan standart dan kode etik
profesi yang telah ditetapkan.8
Semakin berkembangnya dunia medis maka peranan rumah sakit sangat
penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya
6
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009, hal 238.
7
Danny Whiradharmaidharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, 1999, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 16-17.
8
rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang
bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada
di tempat tersebut. Rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya
dalam hal ini adalah pasien secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang
serta menghindari terjadinya kelalaian-kelalaian medis yang ditimbulkan.
Menurut Bambang Purnomo kedudukan rumah sakit sebagai lembaga
tempat asalnya masih memegang dasar “implied waiver” (yang relatif tidak
bertanggung jawab secara hukum). Oleh karena itu, dianggap kebal terhadap
hukum karena pada masa yang lalu rumah sakit merupakan suatu “charitable
corporation” yang diartikan sekadar sebagai naungan tempat penyelenggaraan
pengobatan. Namun perkembangan rumah sakit sudah berubah menjadi “health
care center”, yang berubah fungsinya dalam arti “the hospital in action”, yang
menghimpun segala arti organisasi pelayanan kesehatan sehingga menjadi subjek
hukum.9
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh
dunia rumah sakit di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan
malpraktek baik secara pidana dan perdata dengan jumlah ganti rugi yang semakin
hari semakin spektakuler. Tudingan-tudingan yang bernada miring seringkali
terlontar dari mulut pasien dan keluarganya terhadap pelayan kesehatan (dokter
dan perawat) dan bahkan terhadap rumah sakit karena kurang puas atas layanan
kesehatan yang mereka terima.
9
Hal yang perlu juga diketahui adalah, karena penyakit yang serius pada
umumnya ditangani di rumah sakit, maka dapat dipahami bahwa 80% kasus
malpraktek terjadi di rumah sakit, sedang sisanya terjadi di praktek pribadi dokter.
Oleh karena itu dapat pula dimengerti, tuntutan terhadap malpraktek tidak saja
ditujukan kepada dokter, tetapi sering pula melibatkan rumah sakit atau institusi
tempat pelayanan tersebut berlangsung dan bisa pula melibatkan paramedis yang
mendampingi dokter.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba untuk mengangkat topik
Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek
untuk membahas seberapa jauhnya rumah sakit sebagai badan hukum dapat
dimintai tanggung jawab pidana terhadap tindak pidana malpraktek.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka merasa perlu
dilakukan sebuah pembahasan yang membahas bagaimana bentuk
pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek.
Untuk membatasi pokok kajian yang akan dibahas dalam penulisan ini, maka
permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana malpraktek
2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit
sebagai badan hukum (korporasi) terhadap tindak pidana
malpraktek ?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Skripsi ini sebagai suatu karya ilmiah bermanfaat bagi perkembangan
hukum di Indonesia khususnya tentang hukum yang mengatur mengenai
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT TERHADAP
TINDAK PIDANA MALPRAKTEK dan yang diharapkan penulis dalam
penulisan skripsi ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana pengaturan hukum tentang terhadap tindak pidana
malpraktek dalam hukum positif di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit
sebagai suatu badan hukum (korporasi) terhadap tindak pidana malpraktek ?
Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan bidang ilmu hukum
pidana, khususnya dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta
memberikan kontribusi pemikiran kepada mahasiswa, masyarakat,
lembaga pemerintah dan aparat penegak hukum yang menyoroti dan
membahas tentang pertanggung jawaban pidana rumah sakit terhadap
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengetahui apakah pengaturan hukum pidana positif di
Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek oleh rumah
sakit sudah tepat pemberlakuannya.
b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana
rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek yang banyak terjadi
dewasa ini.
c. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana yang tepat
dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek yang dilakukan rumah
sakit.
D. Keaslian Penulisan
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis
selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
maka penulis menuangkannya dalam judul skripsi yang berjudul:
“Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek”
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak
dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini
sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana
mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari
permasalahan dan tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka
dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Malpraktek
Malpratek berasal dari kata “mal” yang berarti “buruk” dan “practice”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”. Sehingga malpraktek dapat
diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau yang menyimpang dari
ketentuan atau prosedur yang baku (benar). Dalam bidang kesehatan, malpraktek
adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk
penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi
penderita pasien.
Sebelum membahas pengertian tentang malpraktek, ada beberapa pendapat
para sarjana tentang terminologi malpraktek. Masing-masing pendapat tersebut
antara lain :
a) Veronica menyatakan bahwa istilah malpraktek berasal dari “malpractice”
yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan demikian medical malpractice atau kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik
dalam menjalankan profesinya.10
b) Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad
practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek, maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.11
10
D. Veronica Komalwati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989, hal 87.
11
c) Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab
dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter
melakukan praktek buruk.12
d) Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”, dengan demikian arti malpraktek medik sebagai tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi dibidang kedokteran (profesional misconduct) baik dipandang dari sudut norma etika maupun norma hukum.
e) Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh HM Soedjatmiko
merumuskan malpraktek sebagai berikut :
“any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct……..”
(perbuatan jahat dari seseorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang di bawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajiban secara hukum, praktek yang jelek atau illegal atau perbuatan yang tidak bermoral).
f) J.Guwandi dengan mengutip beberapa pendapat atau kamus-kamus
mengutarakan sebagai berikut :13
1) Dalam kasus Valentine v Society se Bienfaisance de Los Angeles,
California, 1956 dirumuskan :
Malpraktek adalah, kelalaian seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah lingkungan yang sama.
“malpractice is the neglect of a physician or to apply that degree of skill and learning on treating and nurshing a patient which is customary applied in treating and caring for the sick or wounded similary in the same community”.
12
Danny Wiradharmairadharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1996, hal 87.
13
2) Steadman’s Medical Dictionary
Malpraktek adalah salah satu cara mengobati suatu penyakit atau
luka, karena disebabkan sikap tindak yang acuh, sembarangan atau
berdasarkan motivasi kriminal.
“Malpractice is mistreatment of a disease or injury through
ignorance, carelessness of criminal intent”.
3) Coughlin’s Dictionary of Law :
Malpraktek adalah, sikap tindak profesional yang salah dari seorang yang berprofesi seperti dokter, ahli hukum akuntan, dokter gigi, dokter hewan.
Malpraktek bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tak pedulian, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kehati-hatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis.
“profesional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skillor fidelity in the performance of professional duties, intentional wrongdoing, or unethchical practice”.
4) The Oxford Illustrated Dictionary, 2 nd ed, 1975
Malpraktek sama dengan sikap tindak yang salah (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis, tindakan illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.
“Malpractice = wrongdoing (law) improper treatment of patient by medical attendant, illegal action for one’s own benefit while in positionof trust.
Dari beberapa defenisi malpraktek diatas dan kandungan hukum yang
berlaku di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk
membuktikan malpraktek yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional
pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.14 Ngesti Lestari dan Soedjatmiko
membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika
(ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yudicial malpractice), ditinjau dari
segi etika profesi dan segi hukum.15
Setiap malpraktek yuridik sudah pasti malpraktek etik, tetapi tidak semua
malpraktek etik merupakan malpraktek yuridik.16
a) Malpraktek Etik
Berikut akan dijelaskan
mengenai malpraktek etik dan malpraktek yuridik.
Yang dimaksud malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang
dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku bagi dokter.17
14
http:/Malpraktik sejauh Mana Kita Sebagai Seorang Dokter Memahaminya Orthopaedia & Traumathology.html., diakses tanggal 20 April 2013, Pukul 15.30 WIB
15
H.M Soedjatmiko, Masalah Hukum Medik dalam Malpraktek Yuridik, Kumpulan Makalah Seminar tentang : “Etika dan Hukum Kedokteran” RSUD dr. Syaiful Anwar, Malang, 2001, hal 4.
16
Ibid.
17
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 11.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek ini merupakan dampak
negatif dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien
dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih
cepat, lebih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
Efek samping ataupun dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran
tersebut antara lain:18
1. Kontak komunikasi pasien dengan dokter semakin berkurang.
2. Etika kedokteran semakin terkontaminasi dengan kepentingan
bisnis.
3. Harga pelayanan medis semakin tinggi dan sebagainya.
b) Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi 3 bentuk, yaitu:
malpraktek perdata (civil malpractice), pidana (criminal malpractice),
administratif (administrative malpractice).19
1.
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh
dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:20
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukannya
tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukannya
tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
18
Ibid.
19
H.M. Soedjatmiko, Op.Cit, hal 10.
20
2.
Malpraktek Pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang
hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap
pasien yang meninggal atau cacat tersebut. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
21
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya
pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis (Pasal
299 KUHP), melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP), membuka
rahasia jabatan (Pasal 332 KUHP).
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien (imformed
consent)
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya kurang
hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem pada perut pasien saat melakukan operasi.
3.
Malpraktek Administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan
tindakan yang tidak sesuai lisensi atau ijinnya, menjalankan praktek dengan ijin
yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik. Malpraktek Administratif ((Administrative Malpractice)
21
2. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang
berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari straafbaar feit. Adami
Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan
baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur
hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit, yaitu sebagai berikut:22
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan
perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan
perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya
seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro, S.H;
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:
Mr.R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana Mr.Drs.H.J van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Prof.A.Zainal Abidin,SH dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk
Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu
dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1);
22
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,
misalnya Prof.Drs.E.Utrecht,SH, walaupun juga beliau menggunakan
istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I).
Prof.A.Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”.
Prof.Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul
buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun
menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr.M.H.Tirtaatmidjaja
yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;
5. Perbuatan yang boleh dihukum, digunakan oleh Pembentuk
Undang-Undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);
6. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof.Mr.Moeljatno dalam berbagai
tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar
feit di dalam KUHP maupun, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman
pendapat.
Barda Nawawi Arif menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
(straafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak
dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian /batasan yuridis tentang tindak pidana.
Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para
sarjana.23
1) Simons
Pengertian dari kata straafbaarfeit :
24
Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti diatas karena untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
a. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang.
b. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap kewajiban menurut
undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
Jadi sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan
manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti
tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.
2) Wirjono Prodjodikoro menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana.
23
Barda Nawawi Arief , Op. Cit., hal 80.
24
3) J. Baumann dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan.25
4) E. Utrecht, menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab.
5) Pompe menerjemahkan, perkataan “straafbaar feit” itu secara teoretis
dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”.
3. Perbedaan Malpraktek dengan Resiko Medik
Luka berat, atau bahkan meninggalnya pasien seringkali dikaitkan dengan
malpraktek, sehingga menjadi masalah pidana. Kasus Dr. Setianingrum yang
pasien meninggal setelah dilakukan tindakan medik, kasus Muhidin di RSU
Syamsuddin di Sukabumi (tahun 1986) yang mengakibatkan dokternya dituntut
di pengadilan menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengerti akan hak-hak
25
kesehatannya, sehingga menganggap kasus diatas sebagai kesalahan atau kelalaian
dokter.26
26
Harjo Wisnoewardono, Fungsi Medical Record sebagai Alat Pertanggungjawaban Pidana Dokter terhadap Tuntutan Malpraktek, 2002, Malang, Arena Hukum No. 17, FH Unbraw, hal 106.
Akan tetapi, setelah dilakukan pemeriksaan atas Dr. Setianingrum,
Mahkamah Agung memutuskan bebas karena tidak ada bentuk kelalaian dan
kealpaan yang dilakukan Dr. Setianingrum, meski pasien telah meninggal dunia.
Berdasarkan hal tersebut diatas, diperlukan suatu pemikiran dan
langkah-langkah yang bijaksana dalam menyikapi masalah akibat tindakan medik yang
membahayakan nyawa karena di samping dapat dianggap sebagai malpraktek
dapat pula merupakan resiko medik dari tindakan medik tersebut.
Di dalam menegakkan diagnosa, memberi terapi, sampai dengan
melakukan tindakan medik, dokter harus melakukannya dengan secara lege artis,
agar dokter selamat dari tuduhan malpraktek. Semua perlakuan yang diberikan
kepada pasien harus selalu berpedoman kepada prosedur yang telah ditetapkan
oleh ikatan profesinya, yang tertuang di dalam standar pelayanan medik.
Niat seorang dokter adalah menolong pasiennya dan berupaya untuk
memberikan kesembuhan bagi pasien yang memohon bantuannya. Namun
kadang-kadang yang didapat justru sebaliknya dari niat tersebut. Pasien tidak
mendapatkan kesembuhan, malahan mendapat cacat atau bahkan kematian. Bila
hal itu terjadi dan dimuat di media massa maka biasanya orang akan beranggapan
Menentukan suatu kelalaian seorang dokter bukanlah hal yang mudah,
karena dalam ilmu kedokteran, tidak ada dua kasus yang sama persis. Banyak
faktor yang mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari kasus-kasus yang
terjadi tersebut, baik dari pihak dokter maupun pihak pasien pasien antara lain :
1. Dari pihak dokter :
a. Penatalaksanaannya
b. Cara pemeriksaan
c. Kecermatan dan ketelitian
2. Dari pihak pasien :
a. Tingkat keseriusan pasien
b. Daya taya tubuh pasien
c. Usia
d. Kemauan pasien untuk sembuh
e. Komplikasi dan penyakitnya, dan sebagainya.
Walaupun untuk menentukan kelalaian adalah hal yang tidak mudah,
tetapi sebagai manusia biasa yang mempunyai banyak kepentingan , kelalaian
dokter pasti dapat saja terjadi. Karena itu kelalaian ini tetap harus dapat
dibuktikan, agar dokter tidak mengulangi kesalahan yang sama dan masyarakat
dapat terlindungi haknya dalam mencari kesembuhan.
Di dalam ilmu hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian
”Kelalaian adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.”
Sedangkan M. Jusuf Hanafiah, merumuskan kelalaian sebagai melakukan
tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.27
Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan
bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian
serius dan dapat dikatakan sebagai kelalaian berat (culpa lata), yang dapat dilihat
berdasarkan tolak ukur sebagai berikut:28
1. Bertentangan dengan hukum
2. Akibatnya dapat dibayangkan
3. Akibatnya dapat dihindarkan
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan
Jadi, meskipun ada unsur ketidakpastian dari pihak dokter dalam
menyembuhkan pasiennya, tetapi dokter tidak bisa bersembunyi di balik
ketidakpastian tersebut. Dokter dapat dituduh melakukan malpraktek bila pasien
mengalami cedera atau kematian sebagai akibat sang dokter melakukan kelalaian
yang berat dan memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar.
27
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta,1999, hal 67.
28
Seperti pendapat yang diungkapkan Danny, beliau menjelaskan bahwa ada
3 aspek hukum yang dapat dipakai untuk menentukan malpraktek, yaitu:29
1. Penyimpangan dari standar profesi medis.
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan maupun
kelalaian.
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan
kerugian baik materiil maupun non materiil, atau fisik (luka atau kematian) atau mental.
Sedangkan Jusuf menyebutkan bahwa dokter dikatakan melakukan
malpraktek jika:
1. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum di
kalangan profesi kedokteran.
2. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi (tidak lege
artis)
3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak
hati-hati
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Berbeda dengan pengertian resiko medis (ada yang menyebut dengan
kecelakaan medis), karena pada resiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak
dapat diminta pertanggungjawaban atas akibat yang tidak dikehendaki dalam
melakukan pelayanan medis (dalam malpraktek dokter atau dokter gigi dapat
dituntut secara hukum).
Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh
pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi itu sendiri, setelah dokter atau dokter
gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi,
standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan
tetap juga terjadi. Dengan demikian resiko atau kecelakaan medis ini mengandung
29
unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaar-heid), tidak dapat dicegah
(vermijtbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya
(verzienbaarheid).30
30
Machmud Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Malpraktek, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal 165.
Sebagaimana yang telah diuraikan didepan bahwa dalam melakukan
transaksi terapeutik antara dokter dan pasien bentuknya adalah inspanning
verbintenis (perjanjian upaya) karena dokter atau dokter gigi tidak memberikan
jaminan akan penyembuhan pasien. Dalam pengertian ini yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah upaya atau usaha maksimal dokter atau dokter gigi
dalam upayanya melakukan pelayanan medis, jadi bukan terletak pada hasilnya.
Oleh karena itu apabila seorang dokter telah berusaha semaksimal mungkin dalam
melakukan pelayanan medis dengan memenuhi persyaratan standar yang telah
ditetapkan, namun juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
meninggalnya pasien atau gagal dalam upaya penyembuhan sakit pasien atau
tidak sepenuhnya sembuh dari penyakit semula, maka untuk kasus semacam ini
dokter atau dokter gigi dilepaskan dari tuntutan hukum. Dokter atau dokter gigi
harus berupaya semaksimal mungkin dengan segenap ilmu, kepandaian,
keterampilan serta pengalaman yang dimilikinya disertai sikap hati-hati dan teliti
menyembuhkan pasiennya.
Dengan demikian, agar suatu tindakan medis tidak bersifat melawan
1. Dilakukan sesuai dengan standar profesi kedokteran atau dilakukan secara
lege artis, yang tercermin dari:31
a. Adanya indikasi medis yang sesuai dengan tujuan perawatan yang
konkrit.
b. Dilakukannya sesuai dengan prosedur ilmu kedokteran yang baku.
2. Dipenuhinya hak pasien mengenai imformed consent.
Dari uraian yang telah dikemukakan tersebut, dapat dipakai bahwa standar
kedua yang dapat dipakai untuk membedakan antara malpraktek dengan resiko
adalah kemampuan dan kemauan dokter untuk dapat melaksanakan pofesinya
dengan selalu berpedoman kepada standar pelayanan medis yang telah digariskan
oleh ikatan profesi dalam bidang keahliannya.
Bila pelayanan medis telah dilakukan sesuai dengan standar yang telah
digariskan oleh profesi, namun kematian atau cedera tetap terjadi juga, ini
merupakan resiko medis dan bukan malpraktek medis.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini di fokuskan pada penelitian terhadap substansi hukum yang
berkaitan dengan bentuk pertanggung jawaban pidana rumah sakit terhadap tindak
pidana malpraktek terhadap hukum positif yang berlaku sekarang (ius
constitutum).32
1. Metode Penelitian
31
Danny Wiradharma, Op.Cit, hal 106-107.
32
Penelitian tentang Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit terhadap
Tindak Pidana Malpraktek dalam persfektif hukum pidana di Indonesia
menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan
mengkaji/menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum
terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma
positif didalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai
kehidupan manusia. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial yang
menjadi pokok permasalahan. Suatu penelitian hukum normatif
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang tindak
pidana malpraktek, pengaturan hukum, atau gejala-gejala lainnya.
3. Sumber Data
Penelitian hukum yang bersifat normatif selalu menitik-beratkan pada
sumber data sekunder. Data sekunder pada dapat dibedakan menjadi
bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut:33
33
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti
peraturan seperti peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang
berkaitan dengan permasalahan pertanggungjawaban pidana rumah
sakit terhadap tindak pidana malpraktek, seperti Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti makalah-makalah hukum tentang
pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana
malpraktek, jurnal hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab
pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek, pendapat dari
para ahli hukum pidana dan lain-lain.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia, Kamus Hukum
Kesehatan dan Kamus Hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian pada
dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian. Menurut
Rony Hanitijo Soemitro teknik pengumpulan data terdiri dari studi
kepustakaan, pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan
tujuan dan pendekatan dalam penelitian, maka teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah studi kepustakaan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan di bahas
dalam bentuk sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang
penulisan skripsi ini yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit
Terhadap Tindak Pidana Malpraktek”, kemudian menyebutkan apa yang menjadi
rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penulisan, tinjauan pustaka, serta
bagaimana metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Pada bagian ini akan membahas mengenai aturan hukum terhadap tindak
pidana malpraktek dalam Hukum Positip di Indonesia, baik yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun yang diatur diluar
KUHP, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT TERHADAP
TINDAK PIDANA MALPRAKTEK
Pada bagian ini akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pidana malpraktek serta bagaimana kebijakan penegakan hukum pidana Indonesia
dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek oleh rumah sakit.
BAB IV PENUTUP
Pada akhir penulisan skripsi ini berisi kumpulan mengenai bab-bab yang
telah di bahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan