• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. suatu tajuk permasalahan yang dibahas dalam acara talk show yang dipandu oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. suatu tajuk permasalahan yang dibahas dalam acara talk show yang dipandu oleh"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Born In The Wrong Body” merupakan suatu tema yang diangkat menjadi

suatu tajuk permasalahan yang dibahas dalam acara talk show yang dipandu oleh Oprah Winfrey pada tanggal 28 September 2007. Dalam acara tersebut hadir 3 orang narasumber yang termasuk dalam kelompok orang-orang jenis ketiga, yaitu orang-orang yang jenis kelaminnya tidak teridentifikasi sebagai wanita maupun pria, yang selanjutnya akan disebut sebagai transeksual dalam tulisan ini.

Diantaranya adalah Angelika, seorang gadis berusia 21 tahun yang telah menjalani kehidupan 15 tahun pertamanya sebagai anak lelaki. Ia mulai merasakan konflik mengenai identitasnya saat ia masih berusia 3 tahun. Saat anak lelaki lain seusianya mulai tertarik dengan kegiatan olahraga, ia lebih memilih untuk bermain dengan boneka barbie. Saat ia memasuki masa remaja, ia mulai mengetahui mengenai homoseksual dan ia secara tidak sengaja mengira ia merupakan salah satu dari mereka.

Hal yang sama juga dirasakan oleh gadis kecil yang berasal dari California bernama Julia. Sejak kecil ia lebih suka bermain mobil-mobilan dan memakai pakaian anak lelaki. Semakin ia bertambah dewasa, ia menyadari ada sesuatu hal yang salah dari dalam dirinya. Selama 14 tahun, ia menjalani kehidupan menjadi seorang anak perempuan hingga suatu waktu ia mengetahui apa arti dari

(2)

transgender dan ia kemudian memulai perjalanan untuk mengganti identitas

melalui beberapa perubahan fisik menjadi Jake.

Baik Angelika maupun Jake mengakui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidaklah mudah. Keduanya sering kali mengalami beragam peristiwa yang tidak menyenangkan, mulai dari penolakan yang ditunjukkan oleh keluarga, dijauhi oleh teman-teman di sekolah, hingga usaha percobaan bunuh diri pun pernah mereka berdua lakukan.

Seorang narasumber lain yang hadir dalam acara talk show itu adalah seorang Dokter Spesialis Kandungan bernama Dr. Marci Bowers. Lima belas tahun yang lalu, ia bernama Mark Bowers, seorang dokter yang sukses, suami, dan ayah dari 3 orang anak. Ia mengakui bahwa berdasarkan pengalaman pribadinya untuk bertransisi dari seorang lelaki menjadi perempuan merupakan suatu permasalahan yang begitu sulit. Ia sebenarnya mulai merasakan keanehan saat ia berusia 4 tahun, namun ia lebih memilih untuk menarik diri dan “bersembunyi” dari kenyataan. Ia sengaja memilih jurusan ahli kandungan dan ginekologi, sehingga ia bisa menjadi salah satu bagian dari kehidupan para wanita. Ia menjalani 40 tahun kehidupannya untuk berusaha denial dari apa yang sebenarnya ia rasakan hingga sampai pada suatu waktu ia tidak sanggup untuk menahannya kembali. Awalnya ia merasa jika ia dapat hidup seperti lelaki lainnya dengan menikah dan membesarkan anak-anak, maka ia merasa hal itu akan cukup untuk membuatnya bahagia. Namun ternyata hal itu membuatnya merasa seolah-olah membohongi dirinya sendiri, ia merasa tertekan akan hal itu sampai akhirnya ia mulai membicarakan permasalahan itu kepada istrinya. Pada awalnya, istrinya

(3)

menyatakan penolakan atas permintaan suaminya yang meminta izin untuk berganti kelamin, tapi setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya ia menyetujui keinginan suaminya tersebut. Saat ini, setelah 11 tahun menjalani kehidupan menjadi seorang wanita, pernikahan Dr. Bowers dan istrinya masih berjalan dengan baik (dalam acara televisi The Oprah Winfrey Show, diakses secara online).

Fenomena orang-orang transeksual ini merupakan suatu permasalahan nyata yang tidak dapat ditolak keberadaannya di masyarakat. Merupakan suatu hal yang sangat disayangkan bahwa belum banyak masyarakat yang memaknai seluk-beluk kehidupan kaum transeksual yang sesungguhnya. (Nadia, 2005).

Di Indonesia sendiri, penelitian yang menyinggung mengenai orang-orang transeksual masih minim, sehingga peneliti menemui kesulitan untuk menemukan pandangan budaya timur yang terkait dengan fenomena transeksual itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggali data dengan mewawancarai beberapa orang untuk meminta pendapat mereka mengenai kaum transeksual di mata mereka. Adapun kutipan wawancaranya sebagai berikut:

“mereka adalah orang-orang yang melanggar kodrat yang telah diberikan

oleh Allah. Yang mereka kejar hanya kehidupan duniawai saja. Tapi kadang saya juga merasa kasihan sih sama mereka” – S, 41 tahun, Ibu

Rumah Tangga.

“Seseorang dikatakan laki-laki atau perempuan ditentukan hanya

berdasarkan jenis kelamin, bukan dilihat dari fisiknya maupun psikis, bukan pula dari penampilan dan sebagainya. Ganti kelamin diperbolehkan dalam Islam sepanjang untuk melakukan penyempurnaan. Hukum bagi transeksual adalah haram.” – A, 39 tahun, Ustadz.

“menurut saya, transeksual merupakan orang yang cenderung tidak mensyukuri nikmat Tuhan, tapi dalam menyikapi mereka, kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat tidak perlu menjauhinya, karena

(4)

dalam beberapa point mereka jauh lebih baik daripada para pelaku kriminalitas.” – E, 21 tahun, Mahasiswa.

Berdasarkan beberapa kutipan wawancara diatas, ketiga responden secara umum menyatakan sikap yang cenderung negatif dikaitkan dengan nilai agama dan norma ketimuran. Hal ini semakin mempersulit kehidupan kaum transeksual untuk menjalani kehidupan mereka. Menurut Nadia (2005), negara relatif meletakkan posisi kaum transeksual secara paralel bersama individu yang memiliki penyakit sosial, seperti pelacuran dan kejahatan. Mereka diposisikan sebagai kelompok marjinal yang tidak memiliki atau menghambat pembangunan.

Untuk melihat budaya timur lainnya yang terkait dengan kehidupan transeksual, dalam budaya Malaysia, terdapat satu istilah yang disebut dengan

mak nyah, yaitu orang-orang yang terlahir sebagai pria, namun merasa dirinya

adalah seorang wanita. Kehidupan mereka biasanya sangat dipengaruhi oleh budaya dan norma agama. Meskipun banyak dari mereka menyatakan bahwa mereka akan senang atau bahagia jika mereka menjalani operasi pergantian kelamin, namun mereka enggan untuk melakukannya. Mereka percaya jika mereka melakukannya, tak seorang pun akan melaksanakan upacara pemakaman bagi mereka ketika mereka mati, karena mereka tidak dianggap sebagai perempuan dan mereka juga tidak diterima sebagai laki-laki. Beberapa bahkan percaya bahwa jiwa mereka akan mengapung tanpa tujuan ketika mereka mati. Terlebih lagi perilaku cross-dressing di Malaysia dianggap sebagai perilaku yang tidak senonoh dan akan dikenakan sanksi tertentu, mulai dari membayar sejumlah denda, hukuman kurungan (imprisonment), atau keduanya (Teh, 2001).

(5)

Hal seperti itu terjadi dikarenakan kebanyakan dari masyarakat hanya melihat dari kulit luar semata, dan ketidaktahuan mereka atas fenomena tersebut bukannya membuat mereka mencoba belajar tentang apa, bagaimana, mengapa dan siapa melainkan justru melakukan penghukuman dan penghakiman yang sering kali menjurus pada tindakan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan (Nadia, 2005).

Orang-orang jenis ketiga dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme, yakni seseorang yang sejak lahir memiliki jenis kelamin yang jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenisnya (Koeswinarno, 2004).

Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female

transsexual (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang

perempuan) dan female-to-male transsexual (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki). Fokus dalam penelitian kali ini adalah male-to-female transsexual.

Transeksual menurut Carroll (2005) merupakan individu dengan gangguan identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya. Perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa. Hal ini dapat dilihat dari penyataan Angelika berikut :

“Ada suatu waktu saat aku masih kecil dan aku melihat diriku dicermin, aku hanya bisa berharap seandainya aku seorang perempuan, aku tidak mengerti mengapa wujudku lelaki tapi pikiranku mengatakan aku adalah perempuan. Aku merasa sangat bingung.”

(6)

Berdasarkan kutipan pernyataan diatas, Angelika mengalami kebingungan mengenai identitas dirinya sejak ia masih kecil dan ia mulai mempertanyakan siapakah dirinya yang sebenarnya. Menurut Diamond (1997), banyak transeksual yang mulai menerima diri mereka adalah saat ia mampu memasuki periode dimana mereka memiliki informasi yang cukup mengenai diri mereka sendiri, sehingga mereka meyakini hal tersebut dapat memberikan solusi yang tepat atas ketidaknyamanan gender (gender discomfort) yang mereka rasakan. Dalam periode ini, mereka terlibat dalam berbagai macam cara dan teknik untuk menguji kebenaran dan melihat apakah mereka dapat menerima sepenuhnya identitas mereka (dalam Devor, 2004).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ellen. D. Riggle dan rekan-rekannya pada tahun 2010 yang melibatkan 61 partisipan transgender dan transeksual menemukan bahwa sekitar 72% mengatakan merasakan perasaan yang amat sangat positif saat menampilkan identitas baru yang mereka miliki, dan 25% melaporkan mereka merasakan agak positif, 3% sisanya mengatakan tidak begitu positif dan tidak ada satupun partisipan yang menyatakan tidak merasakan perasaan positif sama sekali. Ditambahkan lagi oleh Ellen D. Riggle dan rekan-rekannya bahwa menampilkan identitas baru bagi mereka memberikan kesempatan untuk dapat menunjukkan kejujuran (honesty), kebenaran (truth), dan kesatuan dalam diri (unity within yourself).

Honesty dijelaskan oleh Seligman dan Peterson (2004) tidak hanya sebatas

mengatakan sesuatu dengan jujur, namun mereka mengartikannya dalam cakupan yang lebih luas lagi. Hal ini merujuk kepada kebenaran yang juga berusaha

(7)

bertanggung jawab atas apa yang ia rasakan dan apa yang ia kerjakan. Hal itu juga mengacu kepada presentasi asli dari diri seseorang kepada orang lain (sering diistilahkan dengan authenticity/ sincerity), dan bagaimana perasaan internal bahwa diri adalah mahluk yang koheren secara moral (disebut dengan istilah

integrity/ unity).

Kejujuran itu sendiri pada dasarnya memiliki banyak dampak yang baik, mulai dari peningkatan perasaan positif karena tidak terbebani dengan kebohongan, dapat lebih terbuka dalam menjalin suatu relasi, dapat menampilkan dirinya secara apa adanya, dan hal baik lainnya (Vaughan, 2007). Namun pada sisi yang lain kejujuran itu sendiri belum tentu memberikan efek yang baik, pada kaum transeksual misalnya, pada saat mereka berusaha menampilkan jati dirinya yang seutuhnya ke hadapan masyarakat, belum tentu masyarakat itu bisa dengan mudahnya menerima keberadaan mereka. Dalam DSM- IV-TR dikatakan bahwa salah satu diagnosa penegak kriteria Gender Identity Disorder adalah menyebabkan distress dan penurunan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Angelika lainnya :

“Sekolah merupakan tempat yang paling menyengsarakan bagiku, aku dipandang begitu berbeda hanya karena aku lebih feminim dibandingkan anak lelaki lainnya. Aku mengalami ‘panic attack’ dan hal itu membuatku malas untuk bersekolah. Dalam setahun, aku mungkin memiliki sekitar 40 hingga 50 absen”.

Berdasarkan sebuah penelitian oleh Bryan Rodriguez Alegre pada tahun 2006 yang meneliti mengenai kaum transeksual di Filipina, ia menemukan bahwa para partisipan menunjukkan mereka sangat menghargai nilai hidup dan kebahagiannya, keluarga mereka, teman-teman dan bagaimana mereka

(8)

berhubungan. Sangat penting bagi mereka untuk menemukan kebahagiaan. Mereka menginginkan untuk dapat diterima secara terbuka dan tanpa syarat. Dan mereka juga menginginkan agar masyarakat mau melihat dirinya sebagai wanita secara seutuhnya dan tidak memperlakukan mereka secara berbeda hanya karena identitas baru yang mereka miliki.

Menjadi transeksual adalah suatu proses antara ia dengan ruang sosial di mana dirinya hidup dan dibesarkan. Proses ini dilalui dengan berbagai tekanan-tekanan sosial untuk kemudian direspon, sehingga pada akhirnya akan membentuk satu makna kehidupan. Pada kenyataannya, masyarakat tidak mudah menerima keberadaan mereka dan membentuk suatu hubungan sosial dengan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok transeksual. Kebanyakan dari masyarakat menganggap bahwa kelompok tersebut merupakan suatu ketidaklaziman. Padahal tentunya mereka juga butuh untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara sosial. (Koeswinarno, 2004).

Melihat keadaan masyarakat yang seperti itu, pasti tidaklah mudah bagi seorang transeksual untuk membuka diri terhadap masyarakat dan lingkungannya. Kebanyakan dari masyarakat masih menganggap kelompok transeksual merupakan kelompok dari kelas rendah. Kecilnya penerimaan yang diberikan masyarakat cenderung memberikan perilaku diskriminatif di dunia kerja, sehingga para transeksual tidak dapat bekerja secara leluasa dalam sektor yang formal, sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan kehidupannya pada sektor yang tidak formal seperti dunia hiburan dan salon (Koeswinarno, 2004).

(9)

Menurut Atmojo (dalam Damariyanti, 2007), kehadiran mereka di keliling kita masih belum sepenuhnya diterima. Tak jarang mereka diperlakukan bagaikan manusia ajaib yang pantas untuk ditertawakan, dihina, dipandang secara sinis dan beragam bentuk penolakan lainnya, bahkan ada sebagian orang yang menganggap mereka adalah “pendosa” yang patut disingkirkan. Selanjutnya bentuk penolakan yang muncul adalah sikap antipati masyarakat. Maka dampaknya adalah mempersempit ruang gerak pergaulan mereka sehari-hari bahkan pada hal-hal yang serius.

Minimnya jumlah komunitas transeksual yang bebas bersuara untuk mempresentasikan kepentingan-kepentingan kaumnya, mempersulit akses para transeksual untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kalaupun ada, masyarakat tentu akan mengucilkan keberadaan mereka, padahal tujuan dibentuknya komunitas tersebut adalah untuk mengangkat derajat transeksual dan menghilangkan pandangan masyarakat bahwa mereka adalah manusia yang buruk (Damariyanti, 2007).

Mengingat beragam tekanan yang datang mulai dari dalam diri individu transeksual itu sendiri hingga ke orang-orang sekelilingnya pasti akan sulit bagi mereka untuk dapat menerima keadaan mereka secara seutuhnya. Penerimaan diri

(self-acceptance) sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani

kehidupannya, agar dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini merujuk kepada sejauh mana seorang individu memiliki pandangan positif mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya (Germer, 2009).

(10)

Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974) seseorang yang mampu menerima dirinya memiliki penilaian realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, dimana hal tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat orang lain. Mereka akan mengakui kelebihan yang mereka miliki sebagaimana mereka mengakui kelemahan mereka namun tanpa menyalahkan dirinya sendiri. Hal ini juga merupakan tanda bahwa adanya proses yang terjadi dalam diri individu yang mengantarkan dirinya kepada suatu pengetahuan dan pemahaman akan dirinya sendiri sehingga ia mampu menerima dirinya secara utuh dan bahagia.

Penerimaan diri tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu. Menurut Germer (2009), dalam proses perkembangannya, penerimaan diri terjadi dalam beberapa tahap, antara lain : dimulai dari tahap penghindaran (aversion), kemudian tahap keingintahuan (curiousity), masuk ke tahap toleransi (tolerance), selanjutnya tahap membiarkan begitu saja (allowing), dan berakhir saat individu mampu mencapai masa dimana ia dapat bersahabat dengan situasi yang dihadapinya, yang disebut dengan tahapan persahabatan (friendship).

Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974) bahwa cara bagaimana seseorang akan menerima maupun menolak dirinya dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu akan terbentuk jika didukung oleh kondisi-kondisi berikut : pemahaman diri yang baik, adanya harapan yang realtistis, tidak adanya hambatan lingkungan, sikap sosial yang menyenangkan, tidak adanya stress emosional, jumlah keberhasilan yang diraihnya, mampu mengidentifikasikan dirinya dengan well-adjusted people,

(11)

perspektif diri yang baik, pola asuh masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Hurlock menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki

self-acceptance yang konsisten, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh

lingkungan dan sikap orang-orang disekelilingnya.

Kemampuan untuk dapat menerima keadaan diri yang seutuhnya perlu dikembangkan oleh kaum transeksual, karena pada dasarnya transeksualisme itu saja sudah merupakan salah satu jenis gangguan psikologis. Terlebih lagi saat ia tidak dapat menerima dirinya, dikhawatirkan hal tersebut akan merujuk kepada gangguan psikologis lain yang akan semakin menghambat jalan kehidupannya. Peneliti menyadari bahwa untuk mengukur proses bagaimana seorang transeksual mampu menghadapi beragam respon-respon yang bermunculan dari lingkungannya dan melakukan proses penerimaan diri menjadi suatu hal yang jauh lebih kompleks dibandingkan hanya meminta individu itu untuk sekedar memberikan penilaian tentang bagaimana perasaan yang mereka rasakan tentang proses peralihan yang mereka alami tersebut.

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan diatas membuat peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai transeksual dalam melakukan

self-acceptance atau penerimaan diri atas identitas baru yang dimilikinya tersebut.

Dengan kondisi realita masyarakat yang seperti memandang keberadaan mereka dengan sebelah mata, tentu akan mempersulit seorang transeksual untuk dapat mengaktualisasikan dirinya kepada masyarakat. Bagi seorang transgender saja, pasti akan merasakan kesulitan untuk dapat diterima di masyarakat, apalagi kemudian mereka memutuskan untuk berganti kelamin, karena hal itu

(12)

memerlukan pertimbangan dan pemikiran berulang-ulang untuk melakukan operasi pergantian kelamin, sebagaimana yang dikatakan oleh Jake, berikut :

“Saat kecil aku mengira aku adalah seorang Lesbian, hingga suatu waktu aku bertemu dengan seorang teman yang persis seperti diriku sehingga aku mulai menyadari bahwa aku adalah lelaki yang terperangkap dalam tubuh wanita. Aku tidak hanya ingin menjadi seorang pacar, namun menjadi seorang suami, ayah, dan ‘role model’ yang baik untuk kehidupan seseorang. Saat aku memasuki usia 13 aku sudah menyatakan keinginanku untuk menjadi seorang pria seutuhnya kepada orangtuaku dan saat aku berumur 15, aku memulai transisi fisik untuk menjadi seorang Jake, yang diawali dengan mengkonsumsi hormon. Sebelumnya aku selalu mengikat erat payudaraku agar tidak terlihat berbentuk, hingga akhirnya pada usiaku yang ke-16, aku menjalani operasi pengangkatan payudara.”

Selain itu peneliti juga begitu tertarik untuk meneliti mengenai transeksual karena kasus ini sendiri masih jarang sekali terjadi. Tentulah tidak mudah bagi individu yang tadinya adalah seorang pria untuk dapat menerima diri mereka dalam suatu kondisi dimana ia harus menjalani satu fase kehidupan baru menjadi seorang wanita dengan sepenuhnya.

Penelitian ini menjadi begitu penting mengingat masih minim sekali orang yang mau menyinggung soal dunia transeksual dan juga banyak orang yang tidak mengerti dan cenderung menghindari kaum yang tergolong transgender maupun transeksual.

B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :

(13)

1. Bagaimana gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to

female transeksual?

2. Kondisi apa saja yang membantu seorang male to female transeksual untuk menerima dirinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses penerimaan diri dan kondisi yang mendukungnya pada seorang male to female transeksual.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat : a. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang

proses penerimaan diri pada kaum transeksual.

b. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum transeksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta pengakuannya kepada orang lain mengenai identitas yang dimilikinya. Mengingat keberadaan mereka masih menjadi pertentangan bagi masyarakat Indonesia.

(14)

d. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi penerimaan diri pada kaum transeksual.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :

a. Memberikan sumbangan informasi pada masyarakat, keluarga, lembaga-lembaga, ataupun yayasan yang bergerak dalam bidang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman atas kaum transeksual. b. Memberikan masukan atau inspirasi kepada kaum transeksual

untuk menyikapi kondisi dirinya dalam menjalani proses penerimaan diri.

c. Memberikan informasi mengenai masalah-masalah dalam proses penerimaan diri yang sulit dihadapi oleh kaum transeksual, sehingga diharapkan hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan intervensi ataupun solusi untuk membantu mereka melakukan proses penerimaan diri.

d. Memberikan informasi mengenai hal-hal apa saja yang dapat membantu kaum transeksual dalam melakukan penerimaan diri.

E. Sistematika Penulisan

(15)

BAB I : Pendahuluan berisi penjelasan latar belakang permasalahan mengenai proses penerimaan diri pada seorang transeksual, perumusan masalah, tujuan penelitian, menfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori berisi teori-teori kepustakaan yang

digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain, definisi penerimaan diri, tahapan penerimaan diri, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri, definisi transeksual dan literatur mengenai transeksual.

BAB III : Metode Penelitian berisi mengenai penjelasan metode penelitian yang digunakan peneliti, mencakup tentang pendekatan kualitatif, partisipan penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian, dan metode analisa data.

BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data yang memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian lanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Suksesnya strategi pemasaran es krim Magnum dengan menggunakan iklan televisi sebagai salah satu elemen strateginya, memberikan kesempatan kepada penulis untuk

Sedangkan Gambar 2 (A2) menggambarkan laju korosi baja AISI 304 dalam lingkungan HCl yang telah diberikan inhibitor kalium kromat 0,1%. Laju korosi baja AISI 304 menurun

Hasil penelitian ini adalah berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan perputaran piutang menunjukkan bahwa rata-rata pelanggan di wilayah Bali, Jawa Timur, Jawa

Pada hasil penelitian di setiap Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami tanah longsor karena berkorelasi dengan rendahnya tutupan lahan yang terlihat oleh

Kedua, KSP akan membeli saham ACST dari pemegang saham publik melalui mandatory tender offer atau penawaran tender wajib sebanyak 10,1% setara 50,5 juta saham.. Cara

Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis kualitas epub modul kimia materi pokok elektrolit dan non elektrolit untuk siswa difabel netra berdasarkan penilaian ahli materi,

pcrangkat pembelajaran , heberapa simpulan pcnting dan mcndesak untuk ditanggulangi dalam upaya peningkatan kualitas proses _dan capaian kompetensi fisika umum I di

Darah merupakan jaringan yang terbentuk dari cairan yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu pasma darah yang merupakan cairan darah dan sel-sel darah yaitu elemen-elemen yang