• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN. dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN. dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

47 BAB III PEMBAHASAN

Pada Bab III ini tulisan akan diawali dengan konsep pembuktian yang berlaku secara umum dalam hukum baik itu publik maupun privat kemudian merujuk pada konsep pembuktian yang khusus digunakan dalam hukum persaingan usaha. Maksud dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal – hal khusus dalam pembuktian yang berlaku dalam hukum persaingan usaha yang didasarkan pada sifat atau karakteristik dan jenis kasus yang diperkarakan dalam hukum persaingan usaha itu sendiri.

Untuk melakukan hal tersebut maka pada pembahasan awal bab ini akan diawali dengan pembahasan mengenai parameter, asas dan relevansi pembuktian. Kemudian selanjutnya akan dibahas mengenai konsep pendekatan yang rule of reason dan illegal perse dan diikuti dengan pembahasan hukum positif mengenai alat bukti dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Hal – hal yang telah disebutkan tadi penting untuk dibahas berkaitan dengan circumstantial evidence sebagai cara untuk membuktikan adanya kesepakatan kartel. Permasalahan yang paling mendasar dari penggunaan konsep circumstantial evidence adalah relevansi antara bukti komunikasi dan bukti ekonomi terhadap dugaan kartel.

Pada bagian akhir Bab ini akan membahas pada analisa kasus atau perkara kartel minyak goreng curah dengan nomor perkara 24/KPPU-I/2009 dan kemudian dilanjutkan dengan kartel ban nomor perkara 08/KPPU- I/2014. Adapun alasan dari pemilihan kedua kasus tersebut adalah tim investigator dalam membuktikan dugaan

(2)

48

kartel yang dilakukan terlapor berdasarkan analisis komunikasi dan analisis ekonomi. Tujuan dari menganalisa kedua kasus tersebut adalah untuk menilai apakah bukti komunikasi dan bukti ekonomi dapat dijadikan salah satu cara untuk membuktikan dugaan kartel di Indonesia.

A. Parameter, Asas dan Relevansi Pembuktian

1. Parameter Pembuktian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “parameter” berarti ukuran seluruh populasi dalam penelitian yang harus diperkirakan dari yang terdapat di dalam percontoh.71 Kemudian pembuktian adalah berbagai macam cara yang dilakukan oleh hakim untuk menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya akibat hukum.72 Jadi parameter pembuktian dapat disimpulkan sebagai ukuran ataupun percontohan hakim dalam menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya akibat hukum.

a. Bewijstheorie

Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian

oleh hakim di pengadilan yang terbagi lagi kedalam empat teori. Pertama adalah

71 Di unduh dari https://kbbi.web.id/parameter, tanggal 20 agustus 2017 pukul 6.43. 72 Lihat kembali : kesimpulan penulis mengenai arti pembuktian dalam hukum pada Bab II

(3)

49

positief wettelijk bewijstheorie yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti

menurut undang – undang.73 Menurut ajaran ini cukup alat bukti yang diakui undang-undang saja, ini positif dengan perkataan lain tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain dalam hal ini keyakinan hakim.74

Kedua, conviction intime yang berarti keyakinan hakim semata.75 Artinya dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata – mata diserahkan pada keyakinan hakim.76 Hakim tidak terikat pada alat bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati nuraninya dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat menjatuhkan putusan.77

Negara yang masih memakai konsep conviction intime adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat menggunakan sistem unus judex atau hakim tunggal untuk memutus perkara namun bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh juri. Hakim di Amerika memiliki hak veto. Hak veto tersebut dapat digunakan hakim apabila keyakinannya berbeda dengan juri.

Ketiga adalah conviction raisonnee. Teori ini mempunyai konsep bahwa hakim

dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang – undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut

73 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, h. 15

74 Latifah Amir, Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Dan Perkara Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, 2015, h. 55

https://media.neliti.com/media/publications/43309-ID-pembuktian-dalam-penyelesaian-sengketa-tata-usaha-negara-dan-perkara-pidana.pdf, dikunjungi pada tanggal 22 juli 2017 pukul 00.58

75 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h.16 76 Ibid.

(4)

50

pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan.78 Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim ini berada dalam batas – batas tertentu dengan alasan yang logis, sehingga hakim diberi kebebasan untuk memakai alat – alat bukti dengan alasan yang logis.79 Teori ini sering disebut juga dengan teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan – alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie) namun dengan batas – batas yang rasional.

Baik dalam conviction intime maupun conviction raisonnee keduanya mempunyai kesamaan yaitu menempatkan keyakinan hakim sebagai dasar utama dalam memutus suatu perkara. Namun yang menjadi pembeda dari kedua jenis pembuktian ini adalah ada atau tidaknya alasan yang logis sebagai dasar keyakinan seorang hakim. Dalam conviction raisonnee hakim wajib untuk memberikan alasan – alasan rasional dalam putusannya, sedangkan conviction intime hakim tidak perlu memberikan alasan apapun cukup dengan keyakinan saja.

Untuk menggunakan teori conviction raisonnee pada suatu perkara haruslah diimbangi dengan kemampuan akal sehat, ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan dari hakim itu sendiri. Teori ini dapat digunakan untuk memeriksa serta mengadili perkara – perkara khusus yang dianggap rumit. Sebagai salah satu contoh hakim yang bijaksana menggunakan keyakinannya dalam memutus suatu perkara yang rumit adalah Raja Salomo (Abad X SM) mengenai sengketa perebutan bayi oleh dua orang perempuan.80

78Wahyu Wiriadinata, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jurnal Bina Adhyaksa Vol. Iv No. 1 - November 2011, h. 54,

https://ojs.kejaksaan.go.id/index.php/binaadhyaksa/article/download/165/80, dikunjungi pada tanggal 26 Juli 2017, pukul 03.45

79 Eddy hiariej, Op. Cit, h. 17 80 Baca Alkitab, 1 Raja – raja 3:16-28

(5)

51

Ada dua perempuan yang tinggal serumah dan sama – sama memiliki bayi yang baru lahir. Salah satu bayi dari perempuan tersebut mati dan ibu dari anak yang mati tersebut tersadar bahwa anak yang mati tersebut bukanlah anaknya dan ia merasa ditukar. Pertentangan antar kedua perempuan tersebut terus terjadi dan tidak ada seorang pun saksi yang mengetahui kejadian tersebut. Raja Salomo dengan hikmat yang ia miliki ia mencari jalan keluar untuk membelah bayi itu dengan pedang agar kedua perempuan tersebut memiliki setengah bagian dari anak itu. Namun ada seorang perempuan yang tidak menghendaki anak itu dibelah dan ia melerakan anak tersebut diserahkan kepada perempuan satunya lagi, namun perempuan yang satunya lagi berkehendak agar anak itu dibelah.

Segera setelah itu berdasarkan keyakinannya Salomo menjatuhkan putusan bahwa ibu kandung dari bayi tersebut adalah perempuan yang mengalah. Alasan Salomo adalah ibu kandung dari anak tersebut tidak mungkin tega melihat anaknya mati, sehingga dengan demikian bayi yang dipersengketakan tersebut diserahkan pada salah satu perempuan yaitu perempuan yang tidak ingin anak itu dibelah.

Keempat adalah negatief wetterlijk bewijstheorie. Negatief wetterlijk bewijstheorie merupakan dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari

alat – alat bukti dalam undang – undang secara negatif.81 Sebagai salah satu contoh

norma hukum yang menganut pembuktian ini adalah pasal 183 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang berbunyi “Hakim tidak boleh

menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

(6)

52

ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

b. Bewijsmiddelen

Bewijsmiddelen adalah alat – alat bukti yang digunakan untuk membuktikan

telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Alat – alat bukti yang digunakan untuk membuktikan suatu peristiwa hukum biasanya telah termuat secara tegas dalam undang – undang. Sebagai contoh dalam hukum acara perdata alat bukti yang digunakan termuat dalam Pasal 1865 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disebut KUHPer), kemudian dalam hukum acara pidana alat bukti yang digunakan termuat dalam Pasal 184 Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).

Alat bukti yang digunakan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia termuat dalam pasal 42 UU Antimonopoli. Alat bukti dalam pasal 42 UU Antimomopoli tersebut lebih menyerupai atau mendekati dengan konsep alat bukti yang ada dalam KUHAP. Hal ini disebabkan perkara yang diajukan ke KPPU merupakan perbuatan perdata yang mempunyai sifat publik. Mengenai alat bukti akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab khusus dalam bab ini.

c. Bewijsvoering

Secara harafiah bewijsvoering diartikan sebagai penguraian bagaimana cara menyampaikan alat – alat bukti pada hakim di pengadilan.82 Parameter pembuktian ini

(7)

53

mempunyai peranan yang penting dalam hukum acara pidana. Alat – alat bukti yang digunakan untuk membuktikan kejahatan dalam persidangan harus didapatkan sah secara hukum. Herbert L. Parker menyatakan bahwa suatu bukti illegaly acquired

evidence (perolehan bukti secara tidak sah) tidak patut untuk dijadikan bukti di

pengadilan.83 Tidak diterimanya alat bukti yang diperoleh secara tidak patut oleh majelis hakim dalam persidangan, merupakan konsekuensi dari parameter pembuktian ini walaupun sebenarnya alat bukti tersebut mempunyai peran yang penting.

d. Bewijslast

Bewijslaat atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian yang

diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum. Pada perkara bidang perdata pihak yang tergugat yang mendalihkan haknya dilanggar oleh tergugat maka pihak penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalihnya (baca : pasal 1865 KUHPer). Hal tersebut diwajibkan berdasarkan asas actori incumbit

probotio yang berarti yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Sebaliknya

dari pihak tergugat wajib membuktikan bantahannya.

Dalam ranah hukum pidana secara umum di seluruh negara kewajiban untuk membuktikan dakwaan yang didakwakan kepada tersangka adalah kewajiban jaksa penuntut umum. Namun pada delik khusus terdapat pengecualian terhadap parameter ini. Pada perkara pemberian (gratification) yang berkaitan dengan suap (bribery), pada pokoknya disebut bahwa pegawai pemerintah yang menerima, dibayarkan atau

(8)

54

diberikan dari dan atau oleh seseorang, maka pemberian harus dianggap korupsi, sampai sebaliknya dibuktikan.84

e. Bewijskracht

Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing – masing

alat bukti dalam penilaian terbuktinya suatu dakwaan.85 Kekuatan permbuktian terletak pada kesesuaian masing – masing alat bukti dengan alat bukti lainnya serta relevansinya dengan perkara. Hakim mempunyai otoritas untuk menilai serta menentukan kesesuaian dan relevansi alat bukti dengan perkara yang sedang diperiksanya.

Dalam hukum acara perdata alat bukti tertulis seperti surat, sertifikat atau akta

authentic mempunyai kedudukan sangat kuat dalam pembuktian. Terlebih akta authentic adalah probation plena yang berarti mempunyai kekuatan pembuktian yang

penuh dan sempurna yang kedudukannya, sangat kuat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.86

f. Bewijs minimum

Bewijs minimum adalah bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian

untuk mengikat hakim.87 Secara umum dalam hukum acara perdata maupun pidana di Indonesia mengadopsi asas ini. Hal ini dimaksudkan agar hakim memberi putusan

84 Wahyu Wiriadinata, Op. Cit.. 325 85 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit,. h. 25 86Ibid,. h. 26

(9)

55

tidak hanya dari keyakinanannya semata melainkan harus berdasarkan alat bukti yang diungkapkan dalam suatu pemeriksaan perkara. Mengenai keyakinan hakim itu sendiri akan dibahas sendiri dalam sub-bab tersendiri dalam Bab III.

2. Asas – Asas yang Berkaitan dengan Pembuktian

a. Asas audi et alteram partem

Milton C. Jacobs mengatakan bahwa : General rules of evidence are the same

in equity as law”,88 ungkapan tersebut merupakan istilah klasiknya dinamis asas “audi

et alteram partem” atau “Eines Manres Reide Ist Keines Mannes Rede” yang apabila

diartikan secara bebas makna dari ungkapan tersebut adalah pada prinsipnya pembuktian di muka pengadilan para pihak yang sedang berperkara mempunyai porsi yang sama untuk membuktikan sesuatu. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh memberi putusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar kedua belah pihak, dengan demikian hakim harus adil dalam memberikan kesempatan beban pembuktian yang sedang berperkara.89

b. Asas ius curia novit

Asas ius curia novit mempunyai pengertian bahwa setiap hakim itu harus dianggap tahu hukumnya perkara yang diperiksanya, sehingga hakim tidak boleh memutus sebuah perkara dengan alasan bahwa hakim tidak mengetahui hukumnya.90

88 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas – Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prena

media Grup, Jakarta : 2012, h 61.

89 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Ibid., h.62. 90 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Ibid., h. 63.

(10)

56

Apabila perkara yang dihadapi oleh hakim ataupun majelis hakim belum ada undang – undang atau Yurisprudensi yang mengatur maka hakim diharapkan dapat menciptakan hukumnya.

c. Asas clear and convincing evidence

Asas ini diartikan sebagai standar pembuktian antara standar preponderance of

evidence dan beyond a reasonable doubt. Preponderance of evidence merupakan

kecukupan bukti yang biasanya digunakan dalam perkara perdata, di sini akan diputuskan adalah pihak yang dapat membuktikan lebih banyak.91 Sementara beyond

reasonable doubt yang berarti di luar tingkat keraguan yang masuk akal, asas ini

digunakan dalam pembuktian perkara pidana.92 Demi menghindari terjadinya keraguan bagi hakim untuk memutus salah tidaknya seseorang, tidaklah cukup dengan alat bukti saja, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hakim pula.93

d. Unus testis nulum testis

Secara harafiah unus testis nullus testis berarti seorang saksi bukanlah saksi.94

Perihal mengenai satu saksi bukanlah saksi ini sudah dikenal sejak abad ke VII – V sebelum masehi dari hukum Ibrani (Deuteronomion) yang dimana hal tersebut tercatat dalam dalam Kitab Ulangan Pasal 19 ayat 15 yang berbunyi sebagai berikut 95:

91 Amir Ilyas dan Muhammad, Kumpulan Asas – asas Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta 2016h. 3

92 Ibid. 93 Ibid.

94 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h. 45

95 John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Jakarta:

(11)

57

“Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara itu tidak disangsikan”.

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas ini menghendaki akan adanya saksi yang lebih dari satu orang untuk memberikan kesaksian tentang apa yang saksi tersebut ketahui mengenai perkara yang sedang diperiksa. Mengenai maksud dari asas ini mempunyai hubungan dengan bewijs minimum yang merupakan parameter dari suatu pembuktian.

e. Actori incumbit probation dan Actori incumbit onus probandi

Asas Actori incumbit probation merupakan asas yang dikenal dalam hukum acara perdata, yang secara harafiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan.96 Sedangkan asas Actori incumbit onus probandi merupakan asas yang berlaku dalam hukum acara pidana yang mempunyai arti, siapa yang menuntut dialah yang membuktikan.97 Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha adalah apabila

KPPU dalam memeriksa dugaan terjadinya pelanggaran terhadap UU Antimonopoli maka KPPU wajib untuk membuktikan kehadapan Majelis Komisi melalui alat bukti yang cukup dan meyakinkan.

96 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h. 42 97 Ibid. h. 43

(12)

58

3. Relevansi Alat Bukti dalam Pembuktian

Suatu alat bukti yang dipakai dalam membuktikan suatu peristiwa haruslah relevan dengan perkara atau kasus yang sedang diperiksa oleh pengadilan, dan hakim yang harus menilai dan memutuskan bahwa alat bukti tersebut relevan atau tidak relevan dengan perkara tersebut. Untuk menentukan suatu alat bukti itu relevan maka hakim harus mempunyai pedoman – pedoman umum sebagai tolak ukur dalam menentukan relevansinya suatu alat bukti. Pedoman – pedoman umum tersebut adalah sebagai berikut :98

1. Seseorang membuktikan bahwa dia mempunyai hak (Pasal 163 HIR) 2. Seseorang membuktikan untuk menguatkan haknya (Pasal 163 HIR) 3. Seseorang membuktikan untuk membantah hak orang lain (Pasal 163 HIR) 4. Seseorang membuktikan adanya suatu peristiwa (Pasal 163 HIR)

5. Karena yang perlu dibuktikan adalah masalah yang dipersengketakan, yang tidak disangkal pihak lawan tidak perlu dibuktikan

6. Fakta – fakta yang telah diketahui umum (fakta Notoir) tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 ayat (2) KUHAP)

7. Karena membuktikan adalah untuk memberikan keyakinan hakim, segala sesuatu yang sudah dilihat sendiri oleh hakim dipersidangan tidak perlu dibuktikan lagi.

Apa yang telah disebutkan diatas merupakan pedoman umum bagi hakim karena tindakan membuktikan mempunyai maksud untuk menumbuhkan atau

98 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, cetakan ke II, Citra Aditya

(13)

59

menambahkan keyakinan hakim. Akan tetapi untuk menumbuhkan atau menambahkan keyakinannya, seorang hakim haruslah kreatif dalam mencari pedoman lain misalnya dari teroi – teori hukum pembuktian. Dengan begitu hakim dapat menentukan dengan tepat apakah suatu alat bukti relavan atau tidak dengan kasus yang sedang diperiksa oleh hakim tersebut.

B. Pendekatan Per se illegal dan Rule of reason

Untuk membuktikan serta memutus suatu perkara tentang adanya kegiatan monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat, hukum persaingan usaha mengenal dua hal prinsip atau pendekatan untuk digunakan, yaitu pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason. Berikut ini penjelasan mengenai apa itu per se illegal dan pendekatan rule of reason dan bagaimana kedua pendekatan tersebut digunakan dalam menyelesaikan perkara – perkara yang terjadi dalam hukum persaingan usaha.

1. Pendekatan Per se Illegal

Per-se dapat dimaknai “dengan sendirinya”.99 Kemudian dalam Black’s Law

Dictionary kata illegal berarti not authorized by law; unlawful; contrary to law atau

bila terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum. Per-se juga merupakan suatu terminologi berkenaan dengan keadaan yang tidak memerlukan bukti yang tidak berhubungan (extraneous

(14)

60

evidence) atau pendukung atas suatu kejadian.100 Jadi secara etimologi dapat disimpulkan bahwa pendekatan per se illegal berarti dengan sendirinya telah bertentangan hukum.

Selain itu ada beberapa pandangan mengenai pendekatan per se illegal yaitu sebagai berikut:

a. Dr. A.M. Tri Aggraini, S.H. M.H., per se illegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan setiap perjanjian usaha atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.101

b. Menurut Kissane dan Benerofe, per se rule adalah bahwa pengadilanlah yang memutuskan bahwa telah terjadi adanya tindakan anti persaingan dan tidak diperlukan lagi fakta – fakta tertentu dari perkara tesebut untuk menyatakan bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum.102

c. Susanti Adi Nugroho mendefinisikan per se rule adalah apabila suatu perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang diatur jika perbuatan itu telah memenuhi rumusan undang – undang tanpa alasan pembenaran dan tanpa perlu melihat akibat dari tindakan yang dilakukan.103

100 Dr. Sutrisno Iwantono MA Anggota/Ketua KPPU 1999-2005, “Perse Illegal dan Rule of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha” 16 januari 2011,

https://serambihukum.wordpress.com/2011/01/16/perseillegaldanruleofreasondalamhukumpersainganu saha, dikunjungi pada tanggal 10 juni 2016 pukul 10 ; 30 WIB.

101 Dr. A.M. Tri Aggraini, S.H. M.H.. Penerapan Pendekatan “Rule of Reason ” dan “illegal Per Se” dalam hukum persaingan, dalam Jurnal ilmiah hukum bisnis volume 24 no.2, 2005, h. 5

102 L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laras, Sidoarjo, 2015, h. 94 103 Susanti Adi N, Op. Cit., h. 701

(15)

61

Lebih lanjut Susanti mengatakan bahwa mengenai apa yang dimaksud dengan per-se illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak perlu pembuktian, apakah pembuktian tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha.104

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa per se illegal adalah suatu perbuatan atau tindakan tertentu dari pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya akan dinyatakan melanggar hukum dan akan dikenakan sanksi tanpa harus dibuktikan lagi bahwa perbuatan tersebut mempunyai dampak buruk bagi pihak lain. Larangan bersifat per-se adalah larangan yang memang secara alamiah105 dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Ilustrasi tentang pendekatan per-se illegal dapat dilihat dalam Gambar 3. 106

Gambar 3. Per-se Illegal Approach

104 Ibid.

105 Alamiah disini berarti dengan sendiri perbuatan itu mempunyai akibat hukum. 106 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta: 2002, h. 66 Dugaan atas Perbuatan yang dilarang Perbuatan Tersebut Terbukti Illegal dan dikenakan sanksi

(16)

62

2. Pendekatan Rule of Reason

Pendekatan Rule of Reason adalah doktrin yang dibangun berdasarkan penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust Act oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New Jersey v. United State pada tahun 1911, yang penerapan hukumnya mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan oleh pelaku usaha.107 Organisation For Economic

Co-operation and Development (OECD) mengartikan Rule Of Reason sebagai berikut :108 “The Rule of reason is a legal approach by competition authorities or

the courts where an attempt is made to evaluate the pro-competitive features of a restrictive business practice against its anticompetitive effects in order to decide whether or not the practice should be prohibited”

Pendekatan Rule of Reason dalam persaingan usaha ini merupakan kebalikan dan cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan pendekatan per-se illegal.109 Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang–undang, namun jika ada alasan obyektif yang dapat membenarkan perbuatan tersebut maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran.110 Dalam pendekatan rule of reason ada dua jenis teori pembuktian

yang sering dipakai oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu bright line

evidence theory dan hard line evidence theory.111

107 Hermansyah, Pokok – Pokok Hukum Persaingan Indonesia, cetakan ke 2, Kencana, Jakarta

:2009, h. 79

108 Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law, compiled by R. S.

Khemani and D. M. Shapiro, commissioned by the Directorate for Financial, Fiscal and Enterprise Affairs, OECD, 1993. Diunduh dari https://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=3305, pukul 00:59 WIB, pada tanggal 21 Juni 2017

109 L. Budi Kagramanto, Op. Cit., h. 102 110 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 711 111 L. Budi Kagramanto, Op. Cit.,112

(17)

63

Penggunaan pembuktian dengan bright line evidence theory, adalah dengan

menggunakan garis tipis atau sederhana, yaitu cukup dengan membuktikan tidak adanya kompetisi (tidak ada persaingan).112 Salah satu contoh penggunaan bright line

evidence theory terletak pada kasus tender, dimana dalam melakukan tender

seharusnya diawali dengan adanya pengumuman lelang di media masa, apabila tidak adanya publikasi lelang tender di media masa maka penyelenggara tender tersebut dapat diputus bersalah karena menghilangkan persaingan. Metode pembuktian secara

rule of reason melalalui hard line evidence theory harus menggunakan pembuktian

dengan analisa ekonomi atau dengan analisa ekonomi terhadap hukum.113 Contohnya adalah menangani kasus perkara predatory pricing (jual rugi). Predatory pricing mempunyai tujuan untuk mematikan usaha pesaingnya ataupun dengan tujuan menghambat pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar bersangkutan. Sehingga dengan demikian diperlukan analisa bukti ekonomi yang dapat menilai kerugian yang dialami sementara oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang akan diperoleh dikemudian hari karena tidak adanya pesaing. Ilustrasi tentang pendekatan rule of

reason approach dapat dilihat dalam Gambar 4. 114

Gambar 4. Rule Of Reason Approach

112 Ibid. 113 Ibid. h. 113

114 Arie Siswanto, Loc. Cit

Tindakan Terbukti Faktor

Lain

Unreaonable Illegal

(18)

64

Pada Tabel 1 dapat dilihat penggolongan pasal – pasal mana saja yang termasuk per se illegal dan pasal – pasal mana saja yang termasuk rule of reson dalam UU Antimonopoli.

Tabel 1. Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason di Dalam UU Antimonopoli

Jenis Larangan Rule of Reason Per se Illegal

Perjanjian yang dilarang - Pasal 4. Oligopoli - Pasal 6 S.D. Pasal 8. Penetapan Harga Dibawah Pasar. - Pasal 9. Pembagian Wilayah - Pasal 11 Kartel - Pasal 12 Trust - Pasal 13 Oligopsoni - Pasal 14. Integrasi Vertical - Pasal 16. Perjanjian dengan Luar Negeri.

- Pasal 5. Penetapan Harga - Pasal 10 Pemboikotan - Pasal 15 Perjanjian Tertutup Kegiatan yang dilarang - Pasal 17. Monopili - Pasal 18. Monopsoni - Pasal 19 S.D 21 Penguasaan Pasar - Pasal 22 S.D. 23 Persekongkolan - Pasal 24 Persekongkolan Larangan posisi dominan

- Pasal 26 Jabatan Rangkap - Pasal 27 Kepemilikan

Saham

- Pasal 28 Merger

- Pasal 25 Posisi Dominan

C. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Dalam proses pemeriksaan perkara terkait pelanggaran UU Antimonopoli, KKPU memerlukan adanya bukti – bukti yang menunjukan bahwa terlapor telah melakukan perjanjian, kegiatan dan/atau posisi dominan yang dilarang oleh UU

(19)

65

Antimonopoli tersebut. Dalam rangka untuk membuktikan hal tersebut maka KPPU memerlukan alat bukti yang sah menurut hukum. Alat bukti yang dikenal dalam hukum persaingan usaha di Indonesia mengacu pada pasal 42 UU Antimonopoli Pasal 72 Peraturan Komisi nomor 1 tahun 2010 (selanjutnya disingkat Perkom KPPU no. 1/2010), terdiri lima jenis alat bukti yaitu ; saksi, keterangan/pendapat Ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan pelaku usaha.

1. Saksi

Saksi yang dihadirkan ke pengadilan adalah saksi fakta yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau megalami sendiri suatu peristiwa, namun ada juga saksi yang dihadirkan dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum pada saat peristiwa itu dilakukan dimasa lampau.115 Saksi dalam hukum publik khususnya dalam acara pidana adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri dan ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian saksi tersebut merupakan saksi fakta.

Tugas dari seorang saksi adalah memberikan kesaksian. Kesaksian yang dimaksud itu adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu peristiwa atau kejadian yang tentu saja ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Hal tersebut juga dikuatkan oleh Sudikno Mertokusumo yang

115 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h.85. Lihat juga : Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam Teori dan Prakteknya, Mandar Maju, Bandung, 2009, h. 70.

(20)

66

mengungkapkan bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian.116

Didalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai saksi. Namun penjelasan mengenai saksi dapat ditelusur dalam Pasal 1 angka 14 Perkom KPPU no.1/2010 menyebutkan bahwa, saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya dalam Pasal 73 Perkom KPPU no.1 Tahun 2010 menyatakan bahwa keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terlapor dan atau pelapor, istri atau suami dari terlapor meskipun sudah bercerai, anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun atau orang sakit ingatan, tidak dapat di dengar keterangannya. Apabila Majelis Komisi menganggap perlu maka keterangan dari orang – orang yang disebutkan dapat di dengar terkecuali orang sakit ingatan.

2. Keterangan / Pendapat Ahli

Dalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai siapa saja yang dapat dijadikan ahli dalam perkara persaingan usaha. Namun pengkualifikasian ahli dapat ditelusur pada Pasal 75 Perkom KPPU no.1/2010 yang menyatakan bahwa orang yang dapat menjadi ahli adalah orang yang wajib memiliki keahlian khusus yang dibuktikan dengan sertifikat; atau memiliki pengalaman yang sesuai dengan

(21)

67

keahliannya. Pendapat ahli yang dianggap sebagai bukti merupakan pendapat yang dikemukakan dalam Sidang Majelis. Penentuan lama pengalaman sesuai dengan keyakinan Majelis Komisi. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 tidak boleh memberikan pendapat sebagai ahli. Berbeda dengan saksi, ahli bukanlah orang yang dimintai keterangan mengenai fakta – fakta tentang suatu perkara dalam persidangan. Seorang ahli dalam suatu persidangan, mempunyai tugas untuk memberikan penilaian terhadap suatu fakta yang diungkapkan kepada hakim berdasarkan keilmuannya untuk membantu hakim dalam menilai fakta – fakta tersebut. Sudikno mengungkapkan bahwa bedanya keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dan ahli adalah seorang saksi dipanggil dimuka sidang untuk memberikan tambahan keterangan peristiwanya, sedangkan seorang ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya.117

3. Surat dan/atau Dokumen

Dalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bukti surat atau dokumen. Ketentuan mengenai alat bukti surat atau dokumen dapat dilihat dalam Pasal 76 Perkom no.1/2010 yang menyatakan bahwa surat atau dokumen sebagai alat bukti terdiri dari :

a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat

(22)

68

surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

b. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;

d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha Terlapor, antara lain, data produksi, data penjualan, data pembelian dan laporan keuangan;

e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c yang ada kaitannya dengan perkara; f. Atas permintaan, Majelis Komisi dapat menyatakan data sebagaimana

dimaksud dalam huruf e sebagai rahasia dan tidak diperlihatkan dalam pemeriksaan.

Surat atau dokumen yang diajukan sebagai alat bukti merupakan surat atau dokumen asli atau bukan foto copy. Foto copy surat atau dokumen harus dinyatakan sesuai aslinya, diparaf oleh petugas yang berwenang, dengan dibubuhi materai cukup.

4. Petunjuk

Alat bukti petunjuk merupakan salah satu jenis alat bukti yang digunakan untuk membuktikan adanya dugaan pelanggaran terhadap UU Antimonopoli, yang termuat

(23)

69

dalam pasal 42 ayat (1) huruf d UU Antimonopoli. Alat bukti petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Penjelasan mengenai alat bukti petunjuk ini termuat dalam pasal 72 ayat (3) Perkom no.1/2010.

Penjelasan alat bukti petunjuk yang termuat dalam Perkom KPPU ini mengakibatkan dua perspektif yaitu keyakinan hakim berdasarkan conviction in time dan keyakinan hakim conviction raisonnee. Penulis berpendapat bahwa sebaiknya dan seharusnya penjelasan mengenai alat bukti pertunjuk yang ada dalam Perkom no.1 tahun 2010 harus dimaknai sebagai conviction raisonnee. Jadi hakim dapat saja menerima bukti-bukti yang tidak tercantum dalam undang – undang namun harus dibatasi dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh nalar secara umum. Hal ini dikarenakan sering kali undang – undang atau peraturan – peraturan lain yang mengatur mengenai persaingan usaha di Indonesia tidak up to date atau tidak mengikuti perkembangan pola perilaku pelaku usaha yang menggunakan berbagai macam cara atau teknik dalam hal unfair competition.

Pada prakteknya Majelis komisi yang memeriksa dan memutus perkara persaingan usaha biasanya terdiri dari lima orang hakim yang merupakan campuran dari orang yang mempunyai kemampuan di bidang ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Kolaborasi antara para hakim yang paham mengenai ilmu hukum dan ilmu ekonomi merupakan syarat yang mutlak dalam penyelesaian perkara persaingan usaha. Dengan demikian apabila pembuktian yang diajukan oleh penyidik KPPU berupa perhitungan analisis ekonomi dengan metode ekonomi maka para majelis komisi mempunyai pengetahuan yang cukup untuk menganalisa dan menilai metode yang digunakan

(24)

70

tersebut valid atau tidak. Dengan pemahaman alat bukti petunjuk dalam UU Antimonopoli secara convition raisonnee, maka hal ini tentu saja dapat mengakomodir penyelesian perkara-perkara yang rumit dikarenakan undang – undang belum mengatur atau kurang jelas.

Namun apabila ditelusur dengan interpretasi sistematis maka mengenai alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam KUHAP. Di dalam hukum pidana alat bukti petunjuk diatur dalam pasal 188 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi; b. surat;

c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti “yang tercipta”, berbeda dengan alat bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat bukti petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas hakikatnya sendiri, alat bukti petunjuk terwujud karena adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.118

118 Drs.Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, alumni, Bandung :

(25)

71

Apabila dibanding dengan alat bukti yang ada dalam hukum acara pidana yang berlaku di Belanda (wetboek van starfvordering) tidak dikenalnya alat bukti petunjuk, melainkan pengamatan atau pengetahuan hakim (eigen waarneming van de rechter).

119 Pengetahuan hakim tidak hanya menyangkut teknis hukum semata melainkan lebih

dari itu, sehingga seorang hakim di Belanda harus mengikuti perkembangan jaman dalam memeriksa suatu perkara.120 Hal tersebut tentu saja sangat berguna untuk menyelesaikan kasus yang rumit ataupun kasus yang dalam undang – undang rumusannya tidak jelas. Otomatis dalam keadaan seperti itu penafsiran atau interpretasi hukum yang dipilih haruslah tepat dan sesuai dengan perkembangan jaman.

Kemudian dalam Hukum Acara perdata dapat ditemukan pula alat bukti yang mempunyai makna serupa dengan alat bukti petunjuk yaitu alat bukti persangkaan. Perkataan “persangkaan” dalam pasal 163 H.I.R. oleh karenanya agak kurang tepat, seharusnya adalah persangkaan-persangkaan, persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana, kurang tepat untuk mencampur baurkan kedua pengertian ini sehingga dalam acara perdata harus memakai perkataan persangkaan dan tidak menggunakan kata petunjuk. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti.121

Pada umumnya jika hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu

119 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h. 18 120 Ibid.

121 Ny. Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata: dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung : 2009. H.77

(26)

72

terbukti, dengan lain perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap, apabila saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain yang terdapat dalam perkara itu.122

5. Keterangan Pelaku Usaha atau Terlapor

Dalam Pasal 1 angka 13 Perkom 2010, terlapor adalah pelaku usaha dan atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran. Sehingga dengan demikian keterangan terlapor merupakan keterangan dari pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran UU Antimonopoli. Keterangan yang sudah diberikan oleh terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis Komisi. Alat bukti yang disebutkan diatas lebih mirip dengan alat bukti yang tertuang dalam Kitab Undang – undang hukum acara pidana ketimbang yang ada dalam hukum acara perdata. Hal ini tentu saja terkait dengan sifat khas dari hukum persaingan usaha yang merupakan sub bidang dari hukum ekonomi yang memiliki substansial antar bidang hukum (hukum perdata dan publik). Salah satu contoh sifat khas substansi hukum persaingan adalah pada kasus persengkongkolan jahat (kartel), dimana dalam kartel terdapat unsur perdata yaitu adanya suatu perjanjian (kesepakatan) antar pelaku usaha yang merugikan masyarakat luas (pelaku usaha lain maupun konsumen).

(27)

73

D. Analisa Kartel Minyak Goreng Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 1. Kasus Posisi

Tim investigator KPPU telah melakukan investigasi dugaan pelanggaran Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU Antimonopoli terhadap beberapa perusahaan produksi dan penjualan minyak goreng (minyak goreng kemasan maupun curah) di Indonesia yang terdiri dari: PT Multimas Nabati Asahan (Terlapor I) PT Sinar Alam Permai (Terlapor II), PT Wilmar Nabati Indonesia (Terlapor III), PT Multi Nabati Sulawesi (Terlapor IV), PT Agrindo Indah Persada (Terlapor V), PT Musim Mas (Terlapor VI), PT Intibenua Perkasatama (Terlapor VII), PT Megasurya Mas (Terlapor VIII), PT Agro Makmur Raya (Terlapor IX), PT Mikie Oleo Nabati Industri (Terlapor X), PT Indo Karya Internusa, PT (Terlapor XI), Permata Hijau Sawit (Terlapor XII), PT Nagamas Palmoil Lestari (Terlapor XIII), PT Nubika Jaya (Terlapor XIV), PT Smart (Terlapor XV), PT Salim Ivomas (Terlapor XVI), PT Bina Karya Prima (Terlapor XVII), PT Tunas Baru Lampung (Terlapor XIII), PT Berlian Eka Sakti Tangguh (Terlapor XIX), PT Pacific Palmindo Industri (Terlapor XX) dan PT Asian Agro Agung Jaya (Terlapor XXI).

Minyak goreng curah biasanya dipasarkan oleh para produsen secara jual putus dalam bentuk bulk/drum/tangki karena produsen hanya melayani pembelian dalam jumlah atau volume yang besar. Kualitas minyak curah ini relatif cukup rendah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga karena memiliki kualitas rendah apabila dilihat dari sisi kejernihan produk relatif tidak sejernih minyak goreng kemasan (bermerek). Selain itu, ketahanan waktu penyimpanan minyak

(28)

74

curah ini tidak terlalu lama yaitu sekitar 1 (satu) minggu sehingga sebagian besar hanya melayani penjualan di gudang milik produsen.

Selanjutnya, untuk minyak kemasan atau bermerek biasanya dipasarkan melalui distributor yang ditunjuk oleh produsen dengan sistem komisi yang besarannya berkisar 5% (lima persen). Secara umum, produsen mendistribusikan atau memasarkan dalam bentuk kemasan khusus dengan kantong plastik 1 liter, 2 liter atau dengan jerigen. Kualitas minyak goreng kemasan (bermerek) ini lebih tinggi dibandingkan minyak goreng curah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 45% (empat puluh lima persen) hingga 65% (enam puluh lima persen) setelah melalui beberapa kali proses penyaringan sehingga menghasilkan minyak goreng yang lebih jernih dan kadar olein yang tinggi. Oleh karena itu, minyak goreng kemasan (bermerek) ini memiliki ketahanan waktu simpan yang cukup lama yaitu sekitar 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan.

Pasar geografis, dimana pasar geografis ini direlevansikan dengan jangkauan atau daerah pemasaran minyak goreng baik curah maupun kemasan (bermerek). Secara umum pemasaran minyak goreng baik curah maupun kemasan (bermerek) mencakup seluruh wilayah Indonesia tanpa adanya hambatan regulasi.

2. Pertimbangan Majelis Komisi

Dalam bagian pertimbangan Majelis Komisi terdapat 3 hal pokok yang diutarakan yaitu, price parallelism, indirect evidence dan kerugian konsumen. Ketiga pertimbangan Majelis Komisi tersebut kemudian akan digunakan untuk menjadi dasar pertimbangan pemenuhan unsur kartel yang dituduhkan kepada para terlapor. Dibawah ini akan diurai mengenai pertimbangan tentang price parallelism, tentang indirect

(29)

75

evidence dan tentang kerugian konsumen, kemudian dilanjutkan dengan pertimbangan

Majelis Komisi tentang pemenuhan unsur pasal 11.

a. Price paralelism

Dalam menentukan ada atau tidaknya price paralelism dalam suatu industri dapat dilakukan dengan metode uji statistik yaitu Uji Homogenity of Varians. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan varian dari harga minyak goreng masing-masing perusahaan, sehingga bisa mengetahui kesamaan pola pergerakan harga antar perusahaan. Apabila perubahan harga dari setiap pelaku usaha memiliki probabilitas dibawah 5%, maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, namun sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar dari 5% maka perubahan variasi harga antar perusahaan sama atau ada price parallelism. Berdasarkan uji nilai probabilitas tersebut, Majelis Komisi berpendapat bahwa terdapat fakta adanya price parallelism pada pasar minyak goreng curah maupun kemasan (bermerek) karena nilai probabilitas lebih besar dari 5%.

b. Tentang Indirect evidence

Dalam perkara tersebut muncul pernyataan dari Terlapor XV yang menyatakan bahwa price parallelism belum cukup membuktikan tentang adanya penetapan harga atau kartel harga. Kemudian Majelis Komisi memberikan pendapat bahwa dalam pembuktian hukum persaingan, pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan dengan hanya menggunakan indirect evidence yang terdiri dari bukti komunikasi

(30)

76

dengan bukti ekonomi. Kemudian tentang indirect evidence Majelis Komisi mengulasnya sebagai berikut :

1) Bukti komunikasi dapat berupa fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi;

2) Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi;

3) Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan - pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.

Selanjutnya Majelis Komisi menjelaskan contoh praktek pembuktian adanya sebuah kartel dengan menggunakan indirect evidence tercermin dari kasus kartel baja dan kasus kartel Sao Paulo airlines di Brazil. Pada kasus kartel baja tersebut, Brazil’s

Council for Economic Defence (selanjutnya disebut CADE) memutuskan para pihak

dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan

(31)

77

permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada pemerintah. Pada kasus kartel Sao Paulo airlines investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga.

c. Tentang kerugian konsumen

Dalam pertimbangannya, Majelis komisi berpendapat bahwa tidak responsifnya pergerakan harga minyak goreng yang ditetapkan para terlapor terhadap penurunan harga CPO periode bulan April 2008 tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian bagi konsumen untuk memperoleh harga minyak goreng yang lebih rendah, karena kontribusi CPO sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total biaya produksi minyak goreng. Majelis Komisi dapat menghitung kerugian konsumen dengan cara menghitung selisih rata harga penjualan minyak goreng dengan rata-rata harga perolehan CPO masing-masing terlapor. Setelah perhitungan selisih harga rata-rata tersebut pada periode bulan Januari 2007 hingga bulan Maret 2008 dengan periode bulan April 2008 hingga Desember 2008.

Berdasarkan hasil perhitungan, Majelis Komisi menemukan fakta kerugian konsumen selama periode bulan April 2008 hingga bulan Desember 2008 setidak-tidaknya sebesar Rp. 1.270.263.632.175,00 (satu trilyun dua ratus tujuh puluh milyar dua ratus enam puluh tiga juta enam ratus tiga puluh dua ribu seratus tujuh puluh lima rupiah) untuk produk minyak goreng kemasan dan sebesar Rp. 374.298.034.526,00

(32)

78

(tiga ratus tujuh puluh empat milyar dua ratus sembilan puluh delapan juta tiga puluh empat ribu lima ratus dua puluh enam rupiah) untuk produk minyak goreng curah.

d. Pertimbangan pemenuhan unsur Pasal 11

Menurut pendapat Majelis Komisi para terlapor merupakan pelaku usaha bergerak di bidang usaha produksi dan penjualan minyak goreng curah dan atau minyak goreng kemasan (bermerek) di wilayah Indonesia maka unsur pelaku usaha yang saling bersaing terpenuhi. Kemudian Majelis Komisi berpendapat bahwa perjanjian yang dilakukan oleh terlapor adalah perjanjian tidak tertulis yang didasarkan pada inidirect

evidence.

Bukti komunikasi didasarkan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Berkaitan dengan bukti ekonomi, Majelis Komisi menilai berdasarkan fakta-fakta terkait dengan struktur dan perilaku dimana secara struktur pasar merupakan oligopoli yang semakin terkonsentrasi dan perilaku para terlapor yang dapat dikategorikan sebagai price parallelism dan

facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling.

Kemudian mengenai unsur monopoli atau persaingan usaha tidak sehat Majelis Komisi berpendapat bahwa dengan adanya perjanjian antar pesaing yang mempunyai dampak terhadap harga dan produksi maka hal tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang tidak jujur dan/atau menghambat persaingan usaha. Oleh karena itu Majelis Komisi berpendapat bahwa unsur praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.

(33)

79 3. Putusan Majelis Komisi

Kemudian Majelis Komisi yang memeriksa serta mengadili perkara aquo berdasarkan pertimbangannya yang telah menyatakan bahwa seluruh unsur yang ada pada Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU Antimonopoli maka Majelis Komisi memberikan putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah.

2. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek).

3. Menyatakan Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT

Nagamas Palmoil Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng curah;

(34)

80

4. Menyatakan Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XVIII:

PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng kemasan (bermerek).

5. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah.

6. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek);

7. Menyatakan Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari tidak terbukti

melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah.

8. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima,

(35)

81

Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek);

9. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya tidak terbukti melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah.

4. Analisa Hukum

Analisa hukum yang diberikan adalah khusus mengulas pemenuhan aspek yang ada pada Pasal 11 pada pertimbangan tentang hukum Majelis Komisi. Selain itu analisa pada kasus ini difokuskan pada konsep pembuktian yang sudah diurai penulis dalam Bab III. Dalam perkara aquo bahwa para terlapor diduga melanggar ketentuan Pasal 11 UU Antimonopoli menyatakan:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”

(36)

82

Badan Hukum (Perseroan Terbatas) yang melakukan kegiatan usaha di bidang produksi dan penjualan minyak goreng curah dan bermerek yang saling bersaing di pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu aspek pelaku usaha pada perkara aquo ini sudah sesuai dengan hal yang dimaksud dalam rumusan Pasal 11.

Majelis Komisi berpendapat kartel merupakan perjanjian tidak tertulis yang terjadi pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009 dalam suatu pertemuan. Dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi. Karena jenis perjanjian ini merupakan perjanjian tidak tertulis maka dibutuhkan keterangan saksi untuk membuktikan adanya suatu kartel di dalamnya. Selain keterangan saksi notulen pertemuan dapat dijadikan alat bukti akan adanya suatu kesamaan kehendak dari para terlapor untuk mempengaruhi harga.

Kemudian dengan adanya yaitu bukti ekonomi yang mengungkapkan adanya

price pararellism perubahan harga minyak goreng bermerek dapat dijadikan sebagai

bukti tambahan yang memperkuat keyakinan hakim bahwa telah terjadi kolusi (concerted action) dalam pertemuan yang terjadi pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Walaupun dalam pertemuan tersebut tidak diungkapkan secara tegas kesepakatan kartel namun apabila tindakan atau perilaku dikemudian hari yang dilakukan sesuai dengan kehendak para pihak maka para pihak tersebut telah melakukan perjanjian. Kemudian majelis komisi juga menambahkan asosiasi sebagai

facilliating practices untuk melakukan price signaling.

Dalam memutus pelaku usaha telah melanggar Pasal 11 UU Antimonopoli Majelis Komisi tidak hanya melihat adanya perbuatan yang dilanggar, namun rumusan

(37)

83

pasal mengharuskan untuk perlu dilihat juga akibat dari perjanjian tersebut apakah menyebabkan monopoli atau persaingan yang sehat atau tidak sehat (pendekatan rule

of reason).

Pada kasus kartel minyak goreng Majelis Komisi menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan tidak langsung dengan menggunakan pembuktian tidak langsung atau indirect evidence. Bukti komunikasi pada Tabel 2 dipakai oleh Majelis Komisi sebagai fakta mengenai pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Menurut Majelis komisi dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut membahas mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi.

Tabel 2. Bukti Komunikasi Kartel Minyak Goreng

No Yang Menjadi Dasar Bukti Komunikasi

Keterangan

1 Adanya pertemuan tanggal 29 Februari 2008

Tidak mengurai secara spesifik mengenai komukasi tersebut yang dipakai sebagai patokan bahwa telah terjadi kesepakatan, kolusi ataupun

concerted action sehingga dengan

demikian nilai dari bukti komunikasi kurang kuat.

2 Adanya pertemuan tanggal 9 Februari 2009

Tidak mengurai secara spesifik mengenai komukasi tersebut yang dipakai sebagai patokan bahwa telah terjadi kesepakatan, kolusi ataupun

(38)

84

demikian nilai dari bukti komunikasi kurang kuat.

3 Faciliating Practices Tidak dikronologikan pertemuan – pertemuan asosiasi yang mengandung

price signaling.

Kemudian bukti ekonomi pada Tabel 3 dipakai Majelis Komisi dalam perkara industri minyak goreng baik curah dan kemasan memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha (oligopoli). Adapun bukti ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari adanya price parallelism. Majelis Komisi di dalam pertimbangannya memakai contoh kasus kartel baja dan kartel pesawat komersil sebagai contoh penyelesaian kasus kartel dengan menggunakan indirect evident atau bukti tidak langsung.

Tabel 3. Bukti Ekonomi Kartel Minyak Goreng

No YANG MENJADI DASAR

BUKTI EKONOMI

TANGGAPAN

1 Struktural - Merupakan produsen serta penjual

minyak goreng curah dan bermerek yang di pasarkan di Indonesia. Sehingga maka terlapor merupakan pelaku usaha yang saling bersaing. 2 Penentuan Motivasi Kartel - Produk yang dihasilkan terbagi dua

yaitu minyak goreng curah dan minyak goreng bermerek. Tingkat homogen produk tinggi tetapi dalam perhitungan price parallism harus dipisah antar keduanya sebab

(39)

85

keduanya berbeda segmen pasar. Oleh karena itu hal tersebut dalam indikator produk homogeni.

2 Analisa Perubahan - Adanya price parallelism pada pasar

minyak berdasarkan uji nilai probabilitas minyak goreng curah maupun kemasan (bermerek) karena nilai probabilitas lebih besar dari 5%. Walaupun analisa tersebut valid tetapi analisa tersebut tidak bisa dikatakan sebagai bukti adanya kartel.

Pada pokoknya bukti ekonomi merupakan bukti tambahan untuk memperkuat bukti komunikasi. Yang pertama harus dinilai oleh majelis hakim yaitu melihat dengan detil bukti komunikasi yang mengandung kesepakatan antara para terlapor. Karena dalam penguraian bukti komunikasi secara detil maka disitu bisa dinilai apakah terjadi kesepakatan kehendak untuk melakukan pengaturan harga atau penjualan. Pada kasus kartel minyak goreng ini Majelis Komisi menyatakan ada komunikasi tetapi tidak mengurai secara mendalam wujud dari komunikasi yang menjadi kesepakatan diantara pelaku usaha minyak goreng tersebut. Seharusnya wajib bagi Majelis Komisi untuk mengurai secara spesifik komunikasi yang terjadi dalam pertemuan yang dimaksud memberi pendapat tentang komunikasi itu apakah mengandung kesepakatan atau tidak.

(40)

86

E. Analisa Kartel Ban Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014 1. Kasus posisi

Pada tahun 2014 tim investigator KPPU telah melakukan investigasi dugaan pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU Antimonopoli terhadap beberapa perusahaan yang bergerak dibidang usaha industri ban kendaraan bermotor roda empat yang dilakukan oleh : Terlapor I (PT Bridgestone Tire Indonesia), Terlapor II (PT Sumi Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah Tunggal, Tbk.), Terlapor IV (PT Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang Perdana Tyre Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli). Dugaan kartel yang dilakukan oleh terlapor terkait dengan produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas passenger car (penumpang) untuk ban Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 periode 2009-2012 di Wilayah Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan ban yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (selanjutnya disingkat APBI).

Diketahui dari sekitar tahun 2009 - 2011 APBI telah melakukan beberapa pertemuan resmi berupa rapat presidium APBI. Berikut rentetan agenda pertemuan rapat presidium yang dimaksud :

a. Rapat presidium APBI tanggal 21 Januari 2009 bertempat di Hotel Inter Continental di Jakarta, yang dipimpin oleh Ketua APBI dan dihadiri oleh: PT Goodyear Indonesia, PT Bridgestone Tire Indonesia Shigeru, PT Gajah Tunggal, PT Industri Karet Deli, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Suryaraya Rubberindo Industries, PT Elangperdana Tyre Industry, PT Banteng Pratama, PT Hung-A Indonesia dan perwakilan APBI. Pada risalah termuat hal pokok sebagai berikut :“Pada bulan Desember 2008, Sales Director’s APBI telah

(41)

87

mengadakan pertemuan rutin setiap bulan bertempat di Ruang Rapat PT Sumi Rubber Indonesia. Kesimpulan pertemuan tersebut adalah “Anggota APBI jangan melakukan banting membanting harga”, karena jika pasar dibanjiri ban dengan harga murah, sekali harga turun akan sulit bagi Anggota APBI untuk dapat mengakselarasi harga dikemudian hari. Lagi pula dalam kondisi permintaan turun (lesu) akibat krisis, menurunkan harga juga belum tentu dapat meningkatkan penjualan”.

b. Rapat presidium 24 November 2010 yang dihadiri oleh PT Goodyear Indonesia, PT Bridgestone Tire Indonesia Shigeru, PT Gajah Tunggal, PT Industri Karet Deli, PT Elangperdana Tyre Industry, PT King Land dan perwakilan APBI. Bahwa disampaikan keinginan dari Tim Teknis/TAC APBI mengenai peninjauan kembali masa jaminan klaim ban (warranty claim) dari 3 tahun menjadi 5 tahun. Peninjauan ini menurut Tim mendesak karena di pasar ban, terdapat ban impor yang memberikan jaminan klaim lebih dari 5 tahun (Michelin 6 tahun). Bila tidak dirubah dikhawatirkan akan mengganggu pasar ban dalam negeri. Pada risalah tersebut juga termuat penolakan PT. MAS untuk masuk dalam APBI karena APBI terlalu jauh mengatur urusan desain dan harga ban.

c. Rapat presidium 29 Maret 2011 yang dihadiri oleh : PT Goodyear Indonesia, PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Gajah Tunggal, PT Industri Karet Deli, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Suryaraya Rubberindo Industries, PT Elangperdana Tyre Industry dan APBI. Risalah rapat membahas dan

(42)

88

menyepakati pengaturan warranty claim ban yang disepakati dirubah dari 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun.

Setiap hasil rapat presidium diberikan kepada seluruh anggota APBI dengan cara mengirimkannya kepada para anggota. Adapun PT. MAS yang merupakan produsen dan penjual ban di Indonesia yang keberatan untuk masuk dalam APBI karena aturan main dalam APBI terlampau jauh mengatur sampai pada desain dan harga ban.

2. Pertimbangan Majelis Komisi

Dalam bagian pertimbangan Majelis Komisi terdapat hal – hal pokok yang diutarakan yaitu tentang industri ban, tentang pasar bersangkutan, tentang metode deteksi kartel Harrington, tentang perjanjian dan tentang keuntungan (profit). Berikut urain pertimbangan Majelis Komisi tersebut.

a. Tentang Industri Ban (pasar bersangkutan)

Menurut Majelis Komisi pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah pasar produk dan pasar geografis. Pasar Produk, dimana dalam perkara ini pasar produknya adalah ban untuk kendaraan roda 4 yang digunakan sebagai ban mobil penumpang (passenger car) untuk ban Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16. Pasar geografis, dimana dalam perkara ini pasar geografisnya adalah mencangkup seluruh wilayah Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan ban yang tergabung dalam APBI. Dalam pasar bersangkutan yang memproduksi ban dalam periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 yang tergabung dalam APBI, antara lain PT Bridgestone

(43)

89

Tire Indonesia, PT Goodyear Indonesia Tbk, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal, Tbk, PT Elang Perdana Tyre Industry, PT Industri Karet Deli, PT Multistrada Arah Sarana (non APBI).

b. Tentang metode deteksi kartel Harrington

Bahwa Metode Harrington adalah penggabungan dari berbagai metode dan jika dilihat seperti kartel check list (seperti competition check list yang dimiliki KPPU) karena dia melihat kartel dari berbagai sisi. Model dari Harrington menggunakan metode analisis hubungan error atau residual regresi antar perusahaan dari hasil estimasi data panel tersebut. Dalam ekonometrika, error atau residual regresi ini selalu dijadikan dasar untuk melihat perilaku dari suatu kartel. Bahwa ahli ekonometrika menggunakan analisis perilaku menggunakan pola residual baik antar waktu maupun antar individu.

Metode Struktural (Structural Methods) merupakan suatu cara untuk melakukan identifikasi karakteristik pasar yang kemungkinan menjadi kondusif untuk terjadinya kartel. Dalam penelitian ini digunakan analisis struktural, diantaranya analisis Jumlah perusahaan, analisis hambatan masuk dan analisis konsentrasi dan ukuran perusahaan. Bahwa Metode Perilaku (Behavioral Methods) terkait dengan observasi cara-cara yang dilakukan perusahaan atau industri untuk melakukan kartel atau observasi hasil akhir dari kartel. Cara-cara yang dilakukan bisa dalam bentuk komunikasi langsung antar anggota kartel atau melihat dampak terhadap pasar dari koordinasi pada harga dan kuantitas yang dilakukan perusahaan pada industri.

Gambar

Gambar 3. Per-se Illegal Approach
Gambar 4. Rule Of Reason Approach
Tabel 1. Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason di Dalam UU Antimonopoli  Jenis Larangan  Rule of Reason  Per se Illegal
Tabel 2. Bukti Komunikasi Kartel Minyak Goreng  No  Yang Menjadi Dasar Bukti
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian mendapati terdapat lima latihan yang diperlukan oleh sukarelawan bencana banjir iaitu latihan rawatan asas kecemasan, latihan psikologi, latihan fizikal,

Kendala yang dihadapai ketika konsumen melakukan pemesanan katering pada perusahaan Qita Catering masih manual dengan cara telepon terlebih dahulu untuk membuat janji lalu

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan terhadap Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Motivasi Kerja Guru di SDN 016 Kelesa Kecamatan

Hal ini berarti auditor yang dapat mengimplementasikan due professional care yang terefleksikan oleh sikap skeptisme dan keyakinan yang memadai dalam pekerjaan

Tidak terjadi perubahan karakter suhu optimum aktivitas hyaluronidase antara hyaluronidase yang diisolasi dari supernatan dengan hyaluronidase hasil pengendapan amonium

Pondasi dangkal adalah pondasi yang mempunyai perbandingan antara kedalaman dengan lebar pondasi sekitar kurang dari 4 (Df/B < 4), dan bentuk pondasi

Sesuai dengan keragka pemikiran/ pendekatan masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian yaitu situasi sumber daya sekolah mencakup

Cara pengambilan data penelitian ini antara lain yakni; (1) data kegiatan pembelajaran diambil dari RPP yang dibuat oleh guru dan lembar observasi pelaksanaan model