• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYISIPAN [ə] OLEH ANAK USIA 5 S.D. 6 TAHUN DALAM PENGUCAPAN KONSONAN RANGKAP PADA AWAL KATA (KAJIAN ANALISIS FONETIS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYISIPAN [ə] OLEH ANAK USIA 5 S.D. 6 TAHUN DALAM PENGUCAPAN KONSONAN RANGKAP PADA AWAL KATA (KAJIAN ANALISIS FONETIS)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENYISIPAN [ə] OLEH ANAK USIA 5 S.D. 6 TAHUN

DALAM PENGUCAPAN KONSONAN RANGKAP

PADA AWAL KATA

(KAJIAN ANALISIS FONETIS)

Oleh Iwan Darmawan Sutarsa

ABSTRAK

Belum sempurnanya perkembangan anak, baik secara mental, psikis, maupun fisiologis anatomi anak, akan banyak memengaruhi pemerolehan

bahasanya. Hal tersebut tidak dapat dipaksakan ataupun dibuat terlambat, karena anak memerlukan proses yang natural sesuai dengan apa yang telah seorang anak alami dalam proses pemerolehan bahasa. Penelitian ini setidaknya mengungkap salah satu diantara beribu fenomena kebahasaan yang terjadi pada anak dan menggali penyebab kemunculannya tersebut sebagai salah satu proses seorang anak memeroleh bahasa. Fenomena tersebut adalah kecenderungan disisipkannya vokal [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata yang dianalisis menggunakan kajian fonetis. Untuk itu pertama-tama analisis dan klasifikasi konsonan rangkap pada awal kata secara fonetis dilakukan agar memudahkan analisis penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata, yang kemudian didapat konsonan rangkap apa saja yang cenderung disisipi [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun. Kemudian di akhiri dengan deskripsi faktor penyebab terjadinya penyisipan tersebut baik dalam khazanah bahasa ataupun di luar khazanah bahasa.

Kata Kunci : penyisipan [ə], fonetis, konsonan rangkap pada awal kata, anak usia

5 s.d. 6 tahun, pemerolehan bahasa.

PENDAHULUAN

Manusia sebagai pemproduksi bunyi bahasa dianugerahi sistem alat ucap yang sangat luar biasa. Organ alat ucap yang dimiliki manusia memiliki sistem yang fleksibel. Artinya, alat ucap manusia ”normal” tidak memiliki keterbatasan dalam hal mengucapkan bunyi bahasa, dalam hal ini secara inovasi. Terbukti dari jumlah bunyi yang dapat dihasilkan manusia sebagai pemproduksi bahasa

sangatlah banyak, dan setiap bahasa memilki kekhasannya masing-masing. Organ alat ucap manusia tersebut ternyata pasti mengalami sebuah _________________________

Iwan Darmawan Sutarsa, Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Univ. Padjadjaran, Kajian Fonetis. Pembimbing: Hardiati, M. Hum & Tatang Suparman, M. Hum.

(2)

2

perkembangan yang bertahap, dari awal pembentukan organ alat ucap manusia sejak di dalam kandungan, bayi, batita, balita, kanak-kanak, anak-anak, remaja kemudian menjadi dewasa. Hal tersebut akan terlihat dari perbedaan bunyi yang dapat dihasilkan oleh seorang dewasa yang telah memiliki ”kesempurnaan” atau secara normal memilki organ alat ucap yang baik dengan seorang balita atau kanak-kanak yang memang belum memiliki organ alat ucap yang boleh dikatakan normal atau telah mengalami tahapan-tahapan tertentu. Hal tersebut yang

kemudian menjadi istilah untuk seorang anak memeroleh bahasa sebaik mungkin, yaitu pemerolehan bahasa.

Kasus yang menjadi perhatian peneliti adalah bagaimana pemerolehan bahasa itu terjadi. Hal yang menjadi ketertarikan peneliti adalah sebuah fenomena bunyi bahasa yang dituturkan oleh seorang anak yang seyogianya sedang

mengalami tahapan dalam pemerolehan bahasa.

Fenomena tersebut adalah penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap atau gugus konsonan yang terletak pada awal kata. Kasus penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap atau gugus konsonan yang terletak pada awal kata tersebut, terjadi pada contoh kata program, yaitu memiliki konsonan rangkap pr. Kata program tersebut akan diucapkan oleh penutur yang dimaksud dengan

[pərogram], yaitu [ə] yang terletak di antara bunyi [p] dan bunyi [r]. Contoh lain adalah pada kata : blakan, yaitu memilki konsonan rangkap bl. Kata blak-blakan ini akan diucapkan oleh penutur yang dimaksud dengan [bəlak-bəlakan], yaitu [ə] yang terletak di antara bunyi [b] dan bunyi [l].

Analisis kajian fonetis adalah kajian yang menarik perhatian peneliti untuk menganalisis fenomena penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam

pengucapan konsonan rangkap pada awal kata. Dengan kajian fonetis, peneliti dapat menjelaskan bagaimana organ alat ucap manusia memproduksi bunyi bahasa dengan artikulasi-artikulasinya, dan mengungkap bagaimana fenomena penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata dapat muncul.

(3)

3

PEMBAHASAN

Karena anak dapat memeroleh bahasa apapun, maka pastilah ada sesuatu yang mengikat bahasa-bahasa ini secara bersama, ada sesuatu yang sifatnya universal. Tanpa sifat ini mustahillah manusia dari pelbagai latar belakang yang berbeda-beda dapat memeroleh bahasa yang disajikan kepadanya (Dardjowidjojo, 2000: 17).

Jakobson dalam Dardjowidjojo (2000: 22) mengatakan bahwa, pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri dan anak memeroleh bunyi-bunyi ini melalui suatu cara yang konsisten. Bunyi pertama yang keluar dari anak adalah kontras antara vokal dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal ini, ada tiga vokal yang disebut sebagai Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System) yang sifatnya universal. Artinya, dalam bahasa apapun bunyi vokal ini pasti ada. Vokal-vokal itu adalah [i], [u], dan [a].

Mengenai konsonan, Jakobson dalam Dardjowidjojo (2000: 22) mengatakan bahwa kontras pertama yang muncul adalah oposisi antara oral dengan nasal ([p-t]-[m-n]) dan kemudian disusul oleh labial dengan dental ([p]-[t]). Sistem kontras seperti ini disebut Sistem Konsonan Minimal (Minimal Consonantal System) dan terdapat pada bahasa mana pun di dunia kecuali nahasa Tinggit yang penuturnya secara tradisional sengaja merusak bentuk bibirnya.

Dengan demikian Dardjowijdojo (2000: 24) mengatakan bahwa vokal minimal pasti diperoleh lebih awal dari pada vokal-vokal lainnya. demikian pula halnya dengan konsonan: konsonan hambat diperoleh lebih awal daripada frikatif, dan frikatif diperoleh lebih awal daripada afrikat. Implikasi lain dari urutan ini adalah bahwa anak tidak mungkin bisa menguasai afrikat dan frikatif sebelum mereka terlebih dahulu menguasai konsonan hambat. Bahkan di masing-masing kelompok ada pula urutannya: kontras antara bilabial [b] dengan dental [d] dikuasai lebih dahulu dari pada antara bilabial [b] dengan velar [g] atau dental [d] dengan velar [g]; kontras antara bilabial-dental [b-d] dikuasai sebelum frikatif [v-s]; bunyi hambat dan frikatif [b-d-v-s] dikuasai sebelum alveopalatal [ts-dz]. Bunyi likuid dan glaid dikuasai lebih belakang, dan bunyi gugus konsonan dikuasai lebih belakang lagi.

(4)

4

Kemudian, mengenai tingkatan umur dan kesiapan seorang anak, merujuk pada keuniversalan bahasa dan pemerolehan bahasa, Winitz dalam Mangantar Simanjuntak (1990: 8) mengatakan bahwa, seorang anak akan mampu melakukan artikulasi dengan baik, dan umumnya semua bunyi telah diucapkan dengan

sempurna adalah ketika umurnya genap 8 (delapan) tahun. Artinya, sebelum umur 8 (delapan) tahun, seorang anak masih belum dapat melakukan artikulasi bahasa dengan sempurna atau normal.

Perkembangan bahasa anak mengikuti jadwal biologis yang tidak dapat ditawar-tawar. Dengan demikian seorang anak tidak dapat dipaksa atau dipacu untuk dapat mengujarkan sesuatu, bila kemampuan biologisnya belum

memungkinkan. Sebaliknya, jika seorang anak secara biologis telah dapat

mengujarkan sesuatu, dia tidak akan dapat pula dicegah untuk tidak mengujarkan. Penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata ini kerap kali terdengar. Kesalahan pengucapan sebagai fenomena tersendiri yang terjadi pada anak usia 5 s.d. 6 tahun ini, dinilai peneliti sebagai sebuah kewajaran. Hal ini dapat dipahami, karena proses pemerolehan bahasa sedang berlangsung pada tahun-tahun informan, dalam hal ini anak usia 5 s.d. 6 tahun.

Kesalahan pengucapan sering terdengar seperti hal yang biasa saja, namun bagi masyarakat bahasa yang peka terhadap fenomena kebahasaan, ini merupakan sebuah kasus yang patut menjadi perhatian. Sama halnya dengan ketidakmampuan seorang anak mengucapkan konsonan getar apiko-alveolar [r] yang kemudian menjadi sampingan apiko-alveolar [l], dan dikenal dengan istilah cadel. Penyisipan [ə] dalam pengucapan konsonan rangkap ini pun adalah fenomena diantaranya.

Analisis dan Klasifikasi Fonetis Konsonan Rangkap Pada Awal Kata

Konsonan rangkap pada awal kata dalam Bahasa Indonesia (sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘edisi keempat’) berjumlah 28 (dua puluh

delapan) yaitu (secara fonetis) : [bl], [br], [dr], [dw], [fl], [fr], [fy], [gl], [kl], [kn], [kr], [ks], [mb], [pl], [pn], [pr], [ps], [pt], [sk], [sl], [sm], [sn], [sp], [sr], [st], [sw], [tr], dan [ts]. Konsonan rangkap tersebut dianalisis dan diklasifikasi secara fonetis

(5)

5

berdasarkan cara artikulasi, tempat artikulasi, bergetar tidaknya pita suara, dan striktur (hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan antara artikulator aktif dengan pasif).

Hal ini dilakukan karena tidak banyak referensi yang peneliti dapat tentang konsonan rangkap, apalagi referensi mengenai klasifikasi konsonan rangkap ini. Dengan kata lain, peneliti adalah yang pertama kali menganalisis dan

mengklasifikasi konsonan rangkap pada awal kata secara fonetis.

Selain itu, peneliti pun lebih mudah menganalisis penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap atau gugus konsonan yang terletak pada awal kata, karena secara fonetis, konsonan rangkap pada awal kata telah diurai dalam bahasan ini, kemudian peneliti hanya akan memasukan fenomena kecenderungan tersebut ke dalam analisis dan klasifikasi konsonan rangkap pada awal kata ini ke bahasan selanjutnya.

Berikut hasil analisis dan klasifikasi secara fonetis konsonan rangkap pada awal kata berdasarkan cara artikulasi, tempat artikulasi, bergetar tidaknya pita suara, dan striktur :

1. Hambat Letup Bilabial + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [bl] 2. Hambat Letup Bilabial + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [pl] 3. Hambat Letup Bilabial + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [br]

4. Hambat Letup Bilabial + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [pr]

5. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [dr] 6. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [tr] 7. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Semi Vokal Bilabial [dw]

8. Geseran (Frikatif) Labio-Dental + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [fl] 9. Geseran (Frikatif) Labio-Dental + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [fr]

10. Geseran Labio-Dental + Semi Vokal Medio-Palatal [fy]

11. Hambat Letup Dorso-Velar + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [gl] 12. Hambat Letup Dorso-Velar + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [kl] 13. Hambat Letup Dorso-Velar + Nasal Apiko-Alveolar [kn]

14. Hambat Letup Dorso-Velar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [kr]

(6)

6

16. Nasal Bilabial + Hambat Letup Bilabial [mb]

17. Hambat Letup Bilabial + Nasal Apiko-Alveolar [pn]

18. Hambat Letup Bilabial + Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar [ps] 19. Hambat Letup Bilabial + Hambat Letup Apiko-Alveolar [pt]

20. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Hambat Letup Dorso-Velar [sk] 21. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar

[sl]

22. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Nasal Bilabial [sm]

23. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Nasal Apiko-Alveolar [sn] 24. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Hambat Letup Bilabial [sp] 25. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [sr] 26. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Hambat Letup Apiko-Alveolar [st] 27. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Semi Vokal Bilabial [sw]

28. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar [ts]

Analisis Penyisipan [ə] oleh Anak Usia 5 s.d. 6 Tahun dalam Pengucapan Konsonan Rangkap pada Awal Kata

Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap objek penelitian yaitu anak usia 5 s.d. 6 tahun di 4 (empat) Taman Kanak-kanak di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi, peneliti menemukan kecenderungan penyisipan [ə] dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata ini kerap kali terjadi. Dengan demikian, selanjutnya peneliti mencoba menganalisis satu persatu konsonan rangkap pada awal kata yang cenderung disisipi [ə].

Penyisipan vokal [ə] di antara konsonan rangkap pada awal kata paling sering peneliti dengar pada saat informan melafalkan kata yang memiliki konsonan rangkap pada awal katanya sebagai bahan penelitian. Bisa dipastikan hampir dari 90% bahan penelitian yang peneliti coba untuk dilafalkan oleh informan adalah kasus kecenderungan penyisipan [ə] ini.

Kata pertama yang peneliti hadapkan pada informan adalah kata [blok] yaitu konsonan rangkap [bl], Informan melafalkannya dengan [bəlok] yaitu menyisipkan [ə] di antara [b] dan [l]. Peneliti memberikan kata lain yang sama

(7)

7

yaitu [bl], yaitu [blendər]. Informan melafalkannya dengan [bəlendər] yaitu menyisipkan [ə] di antara [b] dan [l].

Secara fonetis, Informan melafalkan konsonan rangkap pada awal kata dengan cara bibir bawah menekan rapat pada bibir atas, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba bibir bawah yang tadi menekan bibir atas dilepaskan dan terjadilah letupan udara keluar. Namun, pada saat udara tadi diletupkan informan tidak langsung menempelkan ujung lidah ke gusi sebagai awal artikulasi K2 pada waktu dan hembusan yang sama, melainkan mengakhiri artikulasi K1 dengan mengiringinya dengan vokal [ə]. Kemudian setelah itu melanjutkannya dengan artikulasi K2 sampingan apiko-alveolar.

Kemudian, peneliti menghadapkan Informan pada kata [truk] yaitu

konsonan rangkap [tr]. Informan melafalkannya dengan [təruk] yaitu menyisipkan [ə] di antara [t] dan [r].

Secara fonetis, Informan melafalkan konsonan rangkap pada awal kata dengan cara ujung lidah menekan rapat pada gusi, sehingga udara yang

dihembuskan terhambat beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba dilepaskan atau diletupkan. Namun, pada saat udara tadi diletupkan informan tidak langsung menempelkan ujung lidah ke gusi dan menghembuskan hembusan nafas secara berulang-ulang sebagai awal artikulasi K2 pada waktu dan hembusan yang sama, melainkan mengakhiri artikulasi K1 dengan mengiringinya dengan vokal [ə]. Kemudian setelah itu melanjutkannya dengan artikulasi K2 getar apiko-alveolar.

Selanjutnya Peneliti menghadapkan Informan pada kata [spidol] yaitu konsonan rangkap [sp], Informan melafalkannya dengan [səpidol] yaitu menyisipkan [ə] di antara [s] dan [p].

Secara fonetis, Informan melafalkan konsonan rangkap pada awal kata dengan cara daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara dengan bergeser. Namun, pada saat daun lidah dan ujung lidah mulai meninggalkan gusi informan tidak langsung menempelkan bibir bawah pada bibir atas dengan rapat sebagai awal artikulasi K2 pada waktu dan hembusan yang sama, melainkan mengakhiri artikulasi K1 dengan mengiringinya dengan

(8)

8

vokal [ə]. Kemudian setelah itu melanjutkannya dengan artikulasi K2 hambat letup bilabial.

Dengan demikian, konsonan rangkap pada awal kata yang disisipi [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun di antara K1 dan K2 adalah sebagai berikut :

1. Hambat Letup Bilabial + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [bl] 2. Hambat Letup Bilabial + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [pl] 3. Hambat Letup Bilabial + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [br]

4. Hambat Letup Bilabial + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [pr]

5. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [dr] 6. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [tr] 7. Hambat Letup Apiko-Alveolar + Semi Vokal Bilabial [dw]

8. Geseran (Frikatif) Labio-Dental + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [fl] 9. Geseran (Frikatif) Labio-Dental + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [fr]

10. Geseran Labio-Dental + Semi Vokal Medio-Palatal [fy]

11. Hambat Letup Dorso-Velar + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [gl] 12. Hambat Letup Dorso-Velar + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar [kl] 13. Hambat Letup Dorso-Velar + Nasal Apiko-Alveolar [kn]

14. Hambat Letup Dorso-Velar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [kr]

15. Hambat Letup Dorso-Velar + Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar [ks] 16. Hambat Letup Bilabial + Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar [ps] 17. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Hambat Letup Dorso-Velar [sk] 18. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Sampingan (Lateral) Apiko-Alveolar

[sl]

19. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Nasal Bilabial [sm]

20. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Nasal Apiko-Alveolar [sn] 21. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Hambat Letup Bilabial [sp] 22. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Getar (Trill) Apiko-Alveolar [sr] 23. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Hambat Letup Apiko-Alveolar [st] 24. Geseran (Frikatif) Lamino-Alveolar + Semi Vokal Bilabial [sw]

(9)

9

Di antara konsonan rangkap pada awal kata yang memiliki kecenderungan penyisipan [ə] di antara K1K2, terdapat 1 (satu) konsonan rangkap yang tidak memiliki kecenderungan. Dan konsonan rangkap yang tidak ditemukan memiliki kecenderungan penyisipan [ə] di antara K1K2 adalah Nasal Bilabial + Hambat Letup Bilabial

Peneliti menghadapkan Informan pada kata [mbaʔ] yaitu konsonan rangkap [mb], Informan melafalkannya dengan [embak] yaitu memisahkan konsonan tunggal [m] dan [bak]. Informan lain melafalkannya dengan [əmbaʔ] karena setelah peneliti melihat dan mendengar lebih dekat informan berasal dari Jawa Tengah yang memang sangat kental dengan pengucapan bunyi konsonan bilabial yang kental.

Informan sudah sejak kecil diperkenalkan dengan Bahasa Jawa yang berasal dari Bahasa Ibunya (B1) yang juga digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dengan demikian informan akan juga mengikuti dialek tersebut sebagai pengaruh Bahasa Ibu dalam pemerolehan bahasanya.

Dominasi vokal bilabial yang tebal pada Bahasa Jawa juga menjadi kekhasan tertentu yang memang dialami oleh penuturnya. Sama halnya dengan vokal [ə] pada masyarakat Sunda yang begitu khas, dialek tersebut pun akan sangat terlihat pada penutur Bahasa Jawa, terlebih jika hal tersebut adalah Bahasa Ibu yang pertama kali seorang penutur dapatkan.

Faktor Penyebab Penyisipan [ə] oleh Anak Usia 5 s.d. 6 tahun dalam Pengucapan Konsonan Rangkap pada Awal Kata

Penyisipan [ə] oleh Anak Usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor yang berasal dari khazanah bahasa, dan faktor-faktor lain seperti pengaruh luar, cara berkomunikasi, media komunikasi, dan lawan tutur seorang anak. Hal tersebut dapat dianalisis menggunakan Sosiologi Linguistik.

Faktor-faktor lain pun dapat menjadi penyebab terjadinya penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata. Seperti bila ditinjau dari faktor perkembangan anak secara umum, yang memang

(10)

10

merupakan salah satu bagian yang harus dilalui oleh anak dalam proses

pemerolehan bahasa, dan perkembangan anak, baik secara mental, psikis, maupun fisiologis anatomi anak. Berikut adalah faktor- faktor penyebab penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata:

Struktur Suku Kata Konsonan Rangkap (KKV) bukan Struktur Suku Kata Asli Bahasa Indonesia

Struktur suku kata, atau pola silabel asli dalam bahasa Indonesia adalah V seperti contoh [a] pada kata [a + pa], KV seperti contoh [ba] pada kata [ba + ra], VK seperti contoh [ak] pada kata [ak + rab], dan KVK seperti contoh [but] pada kata [se + but]. Ke-empat struktur suku kata tersebut adalah suku kata asli bahasa Indonesia. Dengan demikian, struktur suku kata lain, bukanlah struktur suku kata asli dari bahasa Indonesia, atau dengan kata lain, struktur lain tersebut adalah bentuk serapan dari bahasa asing, misalnya KKV seperti contoh [pla] pada kata [pla + net] dan KKKV seperti contoh [stra] pada kata [stra + te + gi].

Pada fenomena penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata, kaidah ini pun berlaku. Bahasa Indonesia yang sebenarnya hanya mengenal ke-empat struktur suku kata yaitu V, KV, VK, dan KVK, ternyata akan mengalami kesulitan atau mungkin saja

ketidakmampuan pada penuturnya untuk dapat mengucapkan struktur-struktur di luar ke-empat struktur tersebut.

Konsonan rangkap dalam bahasa Indonesia, keseluruhannya memiliki struktur suku kata hasil serapan dari bahasa asing. Konsonan rangkap memiliki struktur suku kata atau pola silabel KKV, bahkan ada juga KKKV. Seperti pada contoh kata [blak-blakan], [drama], [globə], [flεk], [strata] [strategi], dll.

Struktur suku kata yang asing inilah yang menyebabkan adanya upaya penambahan bunyi atau bentuk siasat yang dilakukan oleh informan yaitu anak usia 5 s.d. 6 tahun untuk mengucapkan konsonan rangkap pada awal kata ini, yaitu dengan menyisipkan vokal [ə] di antara konsonan rangkap tersebut, seperti pada kata [dərama], [gəlobe] dan [fəlεk]. Dengan penyisipan vokal [ə] ini, maka

(11)

11

struktur suku kata tersebut menjadi struktur suku kata asli bahasa Indonesia yang terdiri dari KV (konsonan-vokal).

Konsonan Rangkap dalam Bahasa Indonesia adalah Bentuk Serapan Bahasa Asing

Beberapa teori mengatakan bahwa, pada dasarnya bahasa Indonesia memang tidak mengenal konsonan rangkap, namun beda halnya dengan diafrag yang konsonannya rangkap tetapi memiliki pengucapan bunyi yang tidak rangkap seperti ng, ny, kh dan sy.

Konsonan rangkap yang ada dalam khazanah Bahasa Indonesia hampir seluruhnya adalah serapan dari bahasa asing. Seperti blok yang berasal dari kata block, brokoli yang berasal dari kata broccoli, drum yang berasal dari kata drum yang ketiganya berasal dari bahasa Inggris.

Istilah-istilah asing yang sudah begitu banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia ternyata banyak yang disesuaikan dan menjadi kata yang diawali dengan konsonan rangkap. Dengan demikian, sebenarnya bahasa Indonesia miskin akan konsonan rangkap, atau mungkin sebenarnya tidak ada.

Lidah Sebagai Artikulator Aktif yang Masih Kaku

Pergerakan lidah baik dalam proses pencernaan maupun fonasi dan proses-proses lainnya, ditentukan oleh otot-otot penggerak yang tersimpan di dalam dan luar lidah, atau keduanya disebut juga otot intrinsik dan ekstrinsik. Otot lidah ekstrinsik bertugas menggerakan lidah ke berbagai arah, seperti anterior, posterior, dan lateral, sedangkan otot lidah intrinsik bertugas mengubah bentuk lidah.

Otot-otot tersebut secara fleksibel bergerak ke atas bawah, depan belakang dan membentuk lidah guna membantu proses-proses alamiah yang terjadi pada organ tubuh manusia. Pergerakan otot-otot tersebut diantaranya Genioglossus yang berasal dari rahang bawah, bertugas menarik lidah ke bawah dan ke depan rongga mulut; Styloglossus berasal dari proses styloid bertugas menarik lidah ke atas dan ke belakang; Hyoglossus yang berasal dari tulang hyoid bertugas menarik

(12)

12

lidah ke bawah dan meluruskannya kembali; dan Palatoglossus yang berasal dari langit-langit lunak bertugas menaikan bagian belakang lidah (Tortora, 2009:354)

Pada struktur atau organ lidah orang dewasa atau normal, semua otot yang ada pada lidah diantaranya Styloglossus, Hyoglossus, Palatoglossus, dan

Genioglossus, telah dapat dengan sempurna bergerak sesuai dengan tugasnya masing-masing. Namun, lain halnya dengan otot-otot yang ada pada anak-anak, khususnya anak usia antara 5 s.d. 6 tahun. Secara bentuk dan tampilan otot lidah dewasa dan anak memang sama, yang membedakannya adalah kelenturan atau mobilitas lidah untuk bergerak secara normal.

Beberapa sumber dalam beberapa wawancara nonformal dalam rangka menambah bahan penelitian, mengatakan bahwa, organ alat ucap anak-anak memang memiliki serba kekurangan, karena masih dalam proses pembentukan kebiasaan. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa lidah pada anak fokusnya masih terbelah, yaitu antara memahami kebiasaan dalam proses pencernaan dengan proses berbicara, dan proses pencernaan biasanya lebih diprioritaskan karena berhubungan dengan proses bertahan hidup, dan proses berbicara terbentuk bersamaan di antara proses pencernaan tersebut.

Pengaruh Sosial Informan

Pengaruh sosial informan dapat dilihat dari identitas sosial informan yang notabene berasal dari masyarakat Sunda. Salah satu keunikan Bahasa Sunda yang peneliti dapat dari beberapa sumber terletak pada vokal eu atau dalam tulisan fonetis dinyatakan dengan [ə], yang mungkin hanya ada dalam bahasa sunda dan sedikit sekali dalam bahasa-bahasa di dunia ini, termasuk dalam bahasa Indonesia ataupun dalam bahasa Jepang yang tidak mengenal adanya vokal [ə] ini.

Seperti contoh penamaan untuk nama suatu daerah di Tatar Sunda seperti Cileunyi, Cicaheum, Cibeureum, dan Cibeusi. Vokal [ə] menjadi suatu khas tersendiri untuk masyarakat Sunda, bahkan ini menjadi salah satu identitas masyarakat Sunda.

Peneliti sedikit melakukan wawancara dengan lawan tutur informan sehari-hari, dalam hal ini adalah lingkungan sosial informan yang diwakili oleh orang tua dari informan itu sendiri. Kebanyakan dari informan telah

(13)

13

diperkenalkan dengan Bahasa Sunda sejak dini, dan orang tua sendiri menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi pertama dalam keseharian, meskipun ketika berbicara dengan anak lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia dengan perbandingan 60:40.

Lingkungan sekitar lain yang mencakup teman bermain, orang tua

tetangga, guru Taman Kanak-kanak, teman bermain di Taman Kanak-kanak, dan lawan tutur lainnya sudah membiasakan untuk melakukan komunikasi dengan informan menggunakan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia secara bersamaan, namun Bahasa Indonesia lebih sering digunakan, dan Bahasa Sunda didapatkan informan lebih banyak melalui proses mendengar percakapan antar lawan tutur lainnya.

Pengaruh sosial informan yaitu masyarakat Sunda menjadi faktor yang juga sangat kuat terjadinya kecenderungan penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata. Masyarakat Sunda yang kental dengan vokal eu atau [ə] membawa informan untuk terbiasa menggunakan dialek tersebut dalam proses artikulasi pada saat bertutur sehari-hari.

SIMPULAN

Penelitian penyisipan [ə] oleh anak usia 5 s.d. 6 tahun dalam pengucapan konsonan rangkap pada awal kata ini disimpulkan bahwa kecenderungan

penyisipan [ə] ini sangat terlihat pada anak usia 5 s.d. 6 tahun. Kurang lebih 90% objek penelitian yaitu konsonan rangkap yang terletak pada awal kata, cenderung disisipi vokal [ə] dalam pengucapannya.

Konsonan rangkap yang memiliki K1K2 yang keduanya saling berbeda cara artikulasi dan mungkin tempat artikulasinya, dihadapkan pada responden dan diucapkan dengan cenderung melafalkan [ə] di antara K1 dan K2. Seperti pada kata [knalpot] yaitu konsonan rangkap [kn], responden melafalkannya dengan [kənalpot] yaitu menyisipkan [ə] di antara [k] dan [n]. Dengan cara artikulasinya yaitu pangkal lidah menekan rapat pada langit-langit lunak, langit-langit lunak beserta anak tekak dinaikkan, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat beberapa saat, dan kemudian secara tiba-tiba pangkal lidah yang

(14)

14

menekan rapat itu kemudian dilepaskan dan terjadi letupan dan udara keluar. Namun pada saat udara tadi diletupkan responden tidak langsung menurunkan langit-langit lunak beserta anak tekaknya dan bersamaan dengan itu ujung lidah ditekankan rapat pada gusi sebagai awal artikulasi K2 pada waktu dan hembusan yang sama, melainkan mengakhiri artikulasi K1 dengan mengiringinya dengan vokal [ə]. Kemudian setelah itu melanjutkannya dengan artikulasi K2 nasal apiko-alveolar.

Kecenderungan penyisipan [ə] terasa hampir pada setiap konsonan rangkap pada awal kata dalam Bahasa Indonesia, kecuali konsonan rangkap pada awal kata Nasal Bilabial + Hambat Letup Bilabial [mb].

Faktor penyebab penyisipan [ə] oleh anak usia antara 5 s.d. 6 tahun dalam penyisipan konsonan rangkap pada awal kata adalah sebagai berikut:

a. Struktur Suku Kata Konsonan Rangkap bukan Struktur Suku Kata Asli Bahasa Indonesia;

b. Konsonan Rangkap dalam Bahasa Indonesia adalah Bentuk Serapan Bahasa Asing;

c. Lidah Sebagai Artikulator Aktif yang Masih Kaku; dan d. Pengaruh Sosial Informan.

Daftar Sumber

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo

Marsono. 2008. Fonetik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Simanjuntak, Mangantar. 1990. Psikolinguistik Perkembangan: Teori-teori Perolehan Fonologi. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Tortora, Gerard J. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. USA: Phoenix Color Corporation.

Referensi

Dokumen terkait

Penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh sebagian siswa/remaja bisa terjadikarena perbedaan persepsi khususnya pada anak atau remaja terhadap berbagai hal yang menyangkut

Kegiatan yang dilakukan adalah pembuatan ekstrak etanol daun ketepeng cina secara maserasi, pembuatan sediaan gel dan penentuan formula optimum gel dengan konsentrasi ekstrak

Tabel 6, menunjukan data hasil observasi higiene sanitasi gedung dan bangunan di perimeter Pelabuhan Talang Duku Jambi didapat hasil, dari 13 gedung/bangunan yang

ايرخأو .رعاشلماو ةيسفنلا تاعابطنلاا يرغتل ارظن ،ىرخلأ ةترف نم دحاولا طاطخلا .رمتسم نارمو ليوط بيردتل جاتحي هنلأ ،نف :ةفسلف طلخا يفف

Berdasarkan hasil korelasi Gamma yang dilakukan pada papatan sinar matahari sejak 10 tahun yang lalu dengan derajat pterigium didapatkan nilai p value sebesar

Untuk mengukur tingkat kesesuaian model regresi yang digunakan adalah dengan melihat R Square (R 2 ) hasil permodelan dengan harga pendekatan R 2 adalah skala

Melalui berbagai cara yang dilakukan tutor, para mahasiswa UNY diarahkan untuk menjadi mahasiswa yang baik (muhsin), yakni yang bersikap dan berperilaku mulia

Pusat dan Daerah Penghasilan dimana terealisasi lebih salur untuk jenis transfer DBH-SDA Minyak Bumi dalam rangka Otonomi Khusus kepada Provinsi Papua Barat Triwulan