• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN TANAMAN POKOK JATI (Tectona grandis Linn F.) PADA HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN SUMEDANG ASEP HENDRA SUPRIATNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUMBUHAN TANAMAN POKOK JATI (Tectona grandis Linn F.) PADA HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN SUMEDANG ASEP HENDRA SUPRIATNA"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN TANAMAN POKOK JATI

(Tectona grandis Linn F.) PADA HUTAN RAKYAT

DI KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN SUMEDANG

ASEP HENDRA SUPRIATNA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

ABSTRACT

ASEP HENDRA SUPRIATNA. Main Plant Growth of Teak (Tectona grandis Linn F.) in Small Scale Private Forest in Conggeang District, Sumedang Regency. Guidance by Dr. Ir. NURHENI WIJAYANTO, MS.

The need for teak wood processing in Indonesia is still high both for domestic demand and export wood demand. But the shortage of teak wood demand can give opportunities for people to cultivate teak on their privately land. The purpose of this research is to examine the main plant growth of teak (Tectona grandis Linn F.) in small scale private forest and compare it with teak’s growth from monoculture forest at Perum Perhutani KPH Sumedang in same ages. The main data of plant dimensional were taken with census method from teak plants in each of the selected land such as height, canopy diameter and canopy projection. In this research, soil parameter observed consist of physical and chemical content of soil samples from each selected land then analyzed in laboratory. Crown closure data taken by using a spiracle densiometer. The history of land management known by interview with farmers in each selected land. Those data were analyzed descriptively.

The results showed that the observed forest have 3 (three) different age classes of teak plantation. They are teak plant with class age of 3 years, 6 years, and 12 years whom the growth of teak are different in those parameter such as diameter, height, crown closure and basal area. Growth of teak plantation in the village of Babakan Asem is a plant with the best teak growth among the other villages. Their growth maybe influenced by several factors, that is the condition of the site or soil condition factors and cultivation activities. The result of crown closure show that the majority of sunlight blocked by the crop canopy of teak, so less than 40% of sunlight can reach the soil surface. That condition maybe affected by size crop of teak and the distance between teak plantation it self. The result of soil analysis indicatedthat physical and chemical soil content in Conggeang District are impactonteak growth which bulk density, water storage, KTK, pH, and other chemical substance are related to teak diameter’s growth.

Growth of teak plantation between small scale private forest and Perum Perhutani were significantly different in class ages of 3 and 12 years and didn’t different at class ages of 6 years in diameter. The difference in teak growth between small scale private forest and Perum Perhutani are caused by a factor of using teak seed and the forest management.

(3)

RINGKASAN

ASEP HENDRA SUPRIATNA. Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang. Dibimbing oleh Dr. Ir. NURHENI WIJAYANTO, MS.

Kebutuhan akan kayu jati olahan masih sangat tinggi baik dari segi kebutuhan kayu domestik maupun kebutuhan kayu ekspor. Namun, kurangnya pasokan kayu jati tersebut dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk membudidayakan tanaman jati di lahan milik pribadi dalam bentuk agroforestri. Hutan rakyat yang berada di wilayah Kabupaten Sumedang mencapai luasan 12.663 hektar, dengan produksi khususnya kayu jati mencapai 58.190 batang pada tahun 2008 (4.969,07 m3)(BPS Kab. Sumedang 2009). Nilai produksi tersebut dinilai memiliki potensi besar untuk menutupi kebutuhan akan kayu jati di pasaran, karena produksi kayu jati yang dihasilkan dapat mencapai 50% dari produksi hasil produksi Perum Perhutani KPH Sumedang. Namun, pengelolaan hutan rakyat itu sendiri belum dapat berkembang dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji pertumbuhan tanaman pokok jati pada hutan rakyat dan membandingkannya dengan pertumbuhan jati pada hutan monokultur di Perum Perhutani KPH Sumedang pada umur tanam yang sama.

Pengambilan plot contoh dilakukan dengan mempertimbangkan keterwakilan, kemudahan teknis pelaksanaan penelitian di lapangan, faktor aksesibilitas dan informasi dari penyuluh kehutanan tingkat kecamatan. Data dimensi tanaman pokok diambil secara sensus terhadap tanaman pokok jati pada masing-masing lahan petani yang terpilih. Tinggi pohon diukur menggunakan haga hypsometer, sedangkan diameter pohon diukur menggunakan pita ukur. Panjang dan lebar tajuk diukur dengan pita ukur pada proyeksi tajuknya. Parameter tanah yang diamati adalah sifat fisik dan sifat kimia tanah. Data sifat fisik tanah diambil dengan metode tanah tidak terusik menggunakan ring tanah. Data sifat kimia tanah diambil dengan menggunakan metode tanah terusik. Contoh tanah kemudian dianalisis di laboratorium. Data penutupan tajuk tegakan diambil dengan menggunakan alat spiracle densiometer. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hutan rakyat yang diamati terdapat 3 (tiga) kelas umur yang berbeda, yaitu tanaman jati umur 3 tahun, 6 tahun, dan 12 tahun dengan pertumbuhan tanaman yang berbeda. Pertumbuhan tanaman jati di Desa Babakan Asem memiliki pertumbuhan yang paling baik dibandingkan pertumbuhan tanaman jati di desa lainnya yang diamati. Pertumbuhan tanaman pokok jati pada masing-masing lahan penggarap diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi tempat tumbuh atau faktor kondisi tanah dan kegiatan pemeliharaan.

Hasil pendugaan penutupan tajuk menunjukkan bahwa sebagian besar cahaya matahari tertahan oleh tajuk tanaman pokok jati, sehingga kurang dari 40% cahaya yang dapat masuk ke permukaan tanah. Besarnya penutupan cahaya matahari oleh tajuk tanaman dipengaruhi oleh ukuran tajuk dan jumlah pohon dalam petak tersebut (jarak tanam).

Pertumbuhan diameter tanaman jati di hutan rakyat sangat berbeda nyata pada kelas umur 3 dan 12 tahun dan tidak berbeda nyata pada kelas umur 6 tahun

(4)

PERTUMBUHAN TANAMAN POKOK JATI

(Tectona grandis Linn F.) PADA HUTAN RAKYAT

DI KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN SUMEDANG

ASEP HENDRA SUPRIATNA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

terhadap pertumbuhan tanaman jati di Perum Perhutani. Sedangkan pertumbuhan tinggi bebas cabang antara hutan rakyat dengan Perum Perhutani memiliki perbedaan yang nyata pada kelas umur 3 tahun, sangat berbeda nyata pada kelas umur 12 tahun, dan tidak nyata pada kelas umur 6 tahun. Pertumbuhan tinggi total tanaman jati pada hutan rakyat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata kecuali untuk kelas umur 3 tahun. Perbandingan luas bidang dasar antara hutan rakyat terhadap Perum Perhutani terlihat berbeda nyata pada kelas umur 6 dan 12 tahun. Perbedaan pertumbuhan tanaman jati diduga disebabkan oleh faktor asal benih yang digunakan dan sistem pengelolaan hutan.

(6)

Judul Skripsi : Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang Nama : Asep Hendra Supriatna

NIM : E44063164

Menyetujui: Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS) NIP 19601024 198403 1 009

Mengetahui,

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

(Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr) NIP 19641110 199002 1 001

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Asep Hendra Supriatna NRP E44063164

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 14 Oktober 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dana Supriatna dan Enok Widayani. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah atas diselesaikan di Sumedang mulai tahun 1994 – 2006. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sindang II pada tahun 2000, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Sumedang pada tahun 2003 serta pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Sumedang pada tahun 2006. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan yakni sebagai ketua divisi Human Resourses Development (HRD) himpunan profesi Tree Grower Community (TGC) tahun 2008-2009, serta panitia TGC in Action, Pelatihan Jamur Tiram, dan Belantara 2008. Penulis juga pernah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat, Cilacap dan Pulau Nusakambangan, serta BKPH Gunung Slamet Timur, KPH Banyumas Timur, Baturraden pada tahun 2008. Penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Kabupaten Sukabumi tahun 2009. Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja Profesi (PKP) di KPH Saradan, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah pengaruh hutan (2008-2010). Penulis selama masa kuliah, pernah menerima beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang dibawah bimbingan Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.

(9)

KATA PENGANTAR

Hutan rakyat dan pola agroforestri pada dasarnya bukan merupakan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Saat ini, keberadaan hutan rakyat dan agroforestri menjadi penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari hutan rakyat. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati (Tectona grandis Linn F.) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pertumbuhan tanaman jati pada hutan rakyat dan membandingkannya dengan pertumbuhan tanaman jati pada hutan monokultur di Perum Perhutani KPH Sumedang.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing, Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang serta Bapak Tatang Sutisna selaku Asper BKPH Conggeang, KPH Sumedang serta berbagai pihak yang telah membantu penulis saat pengumpulan data di lapangan. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk ayah, ibu, dan adik tercinta serta teman-teman Silvikultur 43 yang senantiasa memberikan doa dan dorongan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan di Kabupaten Sumedang, terutama dalam pengembangan hutan rakyat.

Bogor, April 2011

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik dan lancar. Pada kesempatan ini, penulis dengan kerendahan hati ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Keluarga tercinta, Ayah (Dana Supriatna), Ibu (Enok Widayani), dan adikku tersayang (Melinda, Elda), yang telah memberi doa, dukungan, dan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, dan Soni Trison, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan, atas kritik dan saran yang diberikan agar penulisan karya ilmiah ini dapat lebih baik.

4. Bapak Adang Tohir, Bapak Emid, Bapak Nana dan saudaraku, Zainal Abudin yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

5. Sahabat-sahabatku; Rendi, Ifan, Dadang, Yudi, Agus dan Maya.

6. Anak-anak Wapemala di Wisma Jamparing (Edi, Riva, Aip, Ace, Rully, Dian, Yana, A Rizal, A Regi).

7. Teman-teman Silvikulturku; Riri, Rara, Helga, Nunu, Ditha, Anna, Betty, Idham, Kalingga, Vonny, Dewi, Ghidut, Sandra dll.

8. Keluarga besar staf Silvikultur; Ibu Atikah, Ibu Aliyah, Mas Ipul, Pak Ismail, Bi Ncah yang telah memberikan semangat, bantuan, dan dukungannya kepada penulis.

9. Teman-teman PKP 2010 di KPH Saradan (Adrian, Mbak Puti, Teh Tina, Yang Mulya Furqon).

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dan telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terima kasih.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

4.1 Hutan Rakyat ... 4

4.2 Jati (Tectona grandis Linn F.) ... 5

2.2.1 Ciri fisik ... 5

2.2.2 Syarat tumbuh ... 5

2.2.3 Teknik silvikultur ... 6

2.2.4 Pemanfaatan ... 8

4.3 Agroforestri ... 9

III. METODE PENELITIAN ... 11

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 11

3.3 Metode Penelitian ... 11

3.3.1 Metode pengumpulan data ... 11

3.3.2 Metode pengambilan contoh ... 12

3.3.3 Pengambilan data dimensi tanaman pokok ... 12

3.3.4 Pengambilan data persentase penutupan tajuk ... 13

3.3.5 Pengambilan data tanah ... 14

3.3.6 Penelusuran sejarah pengelolaan ... 15

3.3.7 Analisis data ... 15

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 16

4.1 Kecamatan Conggeang ... 16

4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan ... 16

4.1.2 Fisiologi, topografi, iklim, dan tanah ... 16

4.1.3 Penggunaan lahan di Kecamatan Conggeang ... 17

4.1.4 Kondisi sosial ekonomi ... 18

4.2 Desa Babakan Asem ... 19

4.2.1 Letak dan batas Desa Babakan Asem ... 19

4.2.2 Topografi, geologis, iklim, dan tanah ... 19

4.2.3 Tata guna lahan di Desa Babakan Asem ... 19

(12)

4.3 Desa Conggeang Kulon ... 20

4.3.1 Letak dan batas Desa Conggeang Kulon ... 20

4.3.2 Topografi, geologis, iklim, dan tanah ... 21

4.3.3 Tata guna lahan di Desa Conggeang Kulon ... 21

4.3.4 Kondisi sosial ekonomi ... 21

4.4 Desa Karanglayung ... 22

4.4.1 Letak dan batas Desa Karanglayung ... 22

4.4.2 Topografi, geologis, iklim, dan tanah ... 22

4.4.3 Tata guna lahan di Desa Karanglayung ... 22

4.4.4 Kondisi sosial ekonomi ... 23

4.5 Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang ... 23

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1 Pertumbuhan Dimensi Tanaman Tectona grandis Linn F. ... 26

5.2 Persentase Penutupan Tajuk ... 29

5.3 Parameter Tanah ... 32

5.4 Pengelolaan Lahan pada Hutan Rakyat di Kec. Conggeang .... 40

5.5 Perbandingan Pertumbuhan Tanaman Jati Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang dengan Tanaman Jati BKPH Conggeang, KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten ... 45

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

6.1 Kesimpulan ... 50

6.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Potensi tegakan kayu rakyat di Kecamatan Conggeang ... 17 2. Jumlah penduduk Kecamatan Conggeang berdasarkan jenis kelamin 18 3. Rata-rata pertumbuhan tanaman jati pada 3 (tiga) desa dengan 3

(tiga) umur tanam yang berbeda di Kecamatan Conggeang ... 26 4. Rata-rata ukuran tajuk dan persentase penutupan tajuk pada hutan

rakyat di Kecamatan Conggeang ... 30 5. Hasil analisis sifat fisik tanah pada hutan rakyat di Kecamatan

Conggeang ... 33 6. Hasil analisis sifat kimia tanah dan diameter rata-rata pada hutan

rakyat di Kecamatan Conggeang ... 37 7. Teknik persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan sumber asal

bibit pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang ... 43 8. Perbandingan diameter pertumbuhan tanaman jati antara hutan

rakyat di Kecamatan Conggeang dengan tanaman jati di Perum Perhutani KPH Sumedang ... 45 9. Perbandingan pengelolaan hutan rakyat dengan Perum Perhutani ... 47

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perbandingan pertumbuhan rata-rata tanaman jati ... 27 2. Grafik nilai sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kecamatan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian Kabupaten Sumedang ... 55 2. Peta lokasi penelitian Kecamatan Conggeang ... 56 3. Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa

Babakan Asem ... 57 4. Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa

Conggeang Kulon ... 57 5. Data petani dan status kepemilikan lahan pada hutan rakyat Desa

Karanglayung ... 58 6. Rekapitulasi persentase penutupan tajuk ... 59 7. Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Babakan Asem 60 8. Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Conggeang

Kulon ... 61 9. Rekapitulasi rataan data hasil pengukuran pada Desa Karanglayung .. 62 10. Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan

rakyat dengan Perum Perhutani umur 3 tahun ... 63 11. Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan

rakyat dengan Perum Perhutani umur 6 tahun ... 64 12. Data hasil perhitungan Minitabs14 untuk perbandingan jati hutan

(16)

1.1 Latar Belakang

Kayu jati (Tectona grandis Linn F.) termasuk pada golongan kayu keras yang memiliki jaringan kuat dan dalam. Jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun (Suryana 2001). Sampai sekarang jati masih menjadi komoditas mewah yang banyak diminati oleh masyarakat walaupun nilai jualnya mahal.

Sebagian besar hutan jati terdapat di Pulau Jawa, dimana pengelolaannya telah lama dilakukan oleh Perum Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Kawasan hutan Perum Perhutani terdiri dari hutan produksi seluas 1,9 juta ha dan hutan lindung seluas 700 ribu ha. Luas hutan jati yang dikelola adalah seluas 1 juta ha (Asosiasi Meubel Indonesia 2001 dalam Siregar 2005)

Namun, sekarang banyak masyarakat yang mulai membudidayakan tanaman jati pada lahan milik mereka sendiri secara sederhana dengan sistem agroforestri. Pengembangan hutan rakyat bermula dari program pemerintah di dalam penuntasan masalah lahan kritis di Pulau Jawa, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Program pembangunan Hutan Rakyat. Pengelolaan hutan rakyat dan pola agroforestri pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat di daerah pedesaan telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan.

Saat ini, kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m3 per tahun dan hanya dapat dipenuhi oleh hutan alam dan hutan tanaman sebesar 45,8 juta m3 per tahun (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3 per tahun. Hutan rakyat diharapkan mampu untuk memenuhi defisit kebutuhan kayu tersebut.

Di Kabupaten Sumedang, lahan hutan rakyat tersebar pada 26 kecamatan dengan luasan mencapai 12.663 ha (BPS Kab. Sumedang 2009). Berdasarkan hal

(17)

tersebut, keberadaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang memiliki peran penting di dalam pemenuhan kebutuhan kayu, khususnya kayu bangunan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, hutan rakyat telah memberikan peran lain dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup seperti pencegahan erosi, penangkap emisi gas CO2, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati.

Pernyataan diatas didukung pula oleh data produksi hasil hutan rakyat dimana pada tahun 2008 produksi kayu jati mencapai 58.190 batang dengan volume kayu sebesar 4.969,07 m3. Produksi kayu jati yang dihasilkan oleh hutan rakyat dinilai memiliki potensi besar untuk menutupi kebutuhan akan kayu jati di pasaran karena produksi kayu jati yang dihasilkan dapat mencapai 50% dari produksi hasil hutan Perum Perhutani KPH Sumedang. Produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh Perum Perhutani KPH Sumedang sendiri mencapai 10.429 m3 pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008 menjadi 9.703 m3 (BPS Kab. Sumedang 2009).

Namun, pengelolaan hutan rakyat itu sendiri belum dapat berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya fluktuasi naik dan turunnya produksi kayu jati pada hutan rakyat dari tahun ke tahun. Selain itu, keberadaan hutan rakyat belum dapat menjamin peningkatan pendapatan petani yang mengelola. Kontribusinya masih kecil dibandingkan pendapatan dari bidang pertanian dan perdagangan terhadap pendapatan total Kabupaten Sumedang. Romansah (2007) menyebutkan bahwa peran hutan rakyat terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang relatif kecil dibandingkan sektor-sektor lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh sektor hutan rakyat hanya sebesar Rp. 17,36 milyar atau sebesar 0,45 % dari nilai tambah bruto total Kabupaten Sumedang. Selain itu, pendapatan per kapita warga salah satu desa di Kecamatan Conggeang pada sektor kehutanan yang mencapai Rp.400.000/orang sangat kecil bila dibandingkan dengan pendapatan perkapita mencapai Rp. 1.200.000/orang di sektor pertanian (Desa Karanglayung 2009).

Pendapat bahwa keberadaan hutan rakyat belum dapat menjamin peningkatan pendapatan petani yang mengelola, didasarkan pula pada belum kontinunya produksi hasil hutan rakyat terhadap pendapatan petani. Petani cenderung menebang pohon pada daur yang tidak optimal yang disebabkan

(18)

desakan ekonomi rumah tangga. Selain itu, kebiasaan-kebiasaan petani dalam membudidayakan hutan rakyat masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip silvikultur akibat belum optimalnya kegiatan penyuluhan oleh Dinas Kehutanan setempat dan belum adanya kelompok tani yang mengkoordinasikan kegiatan petani dengan baik dan terstruktur.

Permasalahan yang ada dan besarnya potensi hutan rakyat di Kabupaten Sumedang dijadikan sebagai salah satu alasan dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan tanaman pokok jati yang tumbuh pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang, kemudian membandingkannya dengan tanaman jati yang tumbuh secara monokultur pada lahan hutan produksi milik Perum Perhutani KPH Sumedang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemerintah Kabupaten Sumedang.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan tanaman pokok jati (Tectona grandis Linn F.) pada hutan rakyat di Kecamatan Conggeang dan membandingkannya dengan pertumbuhan jati pada hutan monokultur di Perum Perhutani KPH Sumedang pada umur tanam yang sama.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar dan bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang dalam rangka peningkatan dan pengembangan hutan rakyat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.

(19)

2.1 Hutan Rakyat

Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan (UU No.5/1967 junto UU No.41/1999) adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencangkup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).

Dalam lampiran Peraturan Menteri Kehutanan RI No : P.3/Menhut-II/2011 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan Tahun Anggaran 2011 menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%.

Menurut Zain (1998), dasar pemilikan hutan rakyat sebagaimana di dalam rumusan undang-undang yaitu :

1. Penguasaan tanah harus dilakukan lebih dahulu, kemudian mengusahakan hutan.

2. Pemilikan hak atas tanah harus lebih dahulu diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk kemudian mengurus pemilikan hutan. 3. Penguasaan dan pemilikan tanah kering secara perorangan sangat dibatasi

(maksimum 5 ha) menurut ketentuan hukum pertanahan.

Terdapat 3 (tiga) tujuan pengelolaan hutan rakyat (Lembaga Penelitian IPB 1990), yaitu :

1. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan petani hutan rakyat secara berkesinambungan.

2. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan kualitas lingkungan secara berkesinambungan.

(20)

3. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.

2.2 Jati ( Tectona grandis Linn F. ) 2.2.1 Ciri fisik

Jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter. Tinggi bebas cabangnya dapat mencapai 18 - 20 meter dengan kulit batang berwarna cokelat gradasi dan kuning keabu-abuan. Pohon jati yang baik merupakan pohon yang memiliki garis diameter yang besar, memiliki batang yang lurus, dan jumlah cabangnya sedikit. Bentuk daunnya besar dan membulat dengan ukuran daun pohon jati yang telah tua sekitar 15 x 20 cm. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah jika diremas. Bunga dari pohon jati terletak di puncak tajuk pohon dengan ukuran sekitar 40 x 40 cm. Sementara buahnya berbentuk bulat agak gepeng dengan diameter 0,5 – 2,5 cm (Mulyana dan Asmarahman 2010).

Kayu jati mempunyai berat jenis rata-rata 0,67 (0,62 - 0,75) dan termasuk kelas kuat II serta kelas awet II. Penyusutannya sampai kering tanur untuk bidang radial sebesar 2,8% sedangkan bidang tangensial sebesar 5,2% (Martawijaya et al. 1981).

2.2.2 Syarat tumbuh

Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mendominasi hutan di Indonesia. Jati dapat ditanam di berbagai kondisi lahan dan lingkungan. Syarat lokasi yang cocok untuk budi daya jati diantaranya ketinggian lahan maksimum 700 mdpl, suhu udara antara 13 – 43ºC, pH tanah 6, dan kelembaban lingkungan 60 – 80%. Tanah yang cocok untuk pertumbuhan jati adalah tanah lempung, lempung berpasir, dan liat berpasir. Sementara itu, curah hujan optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan jati sekitar 1.000 – 1.500 mm per tahun (Mulyana dan Asmarahman 2010).

(21)

2.2.3 Teknik Silvikultur 2.2.3.1 Penanaman

Teknik penanaman tanaman jati mempunyai beberapa tahapan di dalam pengerjaaannya (Mulyana dan Asmarahman 2010), yaitu :

a. Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan tanam meliputi dua tahapan, yaitu pembersihan lahan dengan radius sekitar satu meter dari titik tanam dan pengolahan tanah, seperti mencangkul agar tanah di sekitarnya menjadi gembur.

b. Pembuatan Lubang Tanam

Sebelum pembuatan lubang tanam, tandai lokasi dengan ajir. Ajir dibuat dari bambu atau kayu dengan ukuran panjang 0,5 – 1 m dan lebar 1 - 1,5 cm. Penempatannya disesuaikan dengan jarak tanam 3 x 3 m. Lubang tanam umumnya digali dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Setelah digali, biarkan lubang tersebut selama 2 - 3 hari.

c. Penanaman Bibit

Jumlah bibit jati yang diperlukan untuk lahan seluas 1 ha dengan jarak tanam 3 x 3 m sebanyak 1.111 bibit. Namun, selain bibit yang ditanam, perlu disiapkan juga bibit untuk sulaman. Bibit diusahakan berada di tengah-tengah lubang tanam dan akar bibit tidak terlipat. Agar bibit mudah lepas dari polibag, sedikit diremas bagian samping polibag. Tanah di dalam polibag diusahakan tidak pecah saat penanaman.

2.2.3.2 Pemeliharaan

Teknik pemeliharaan tanaman jati mempunyai beberapa tahapan diantaranya (Mulyana dan Asmarahman 2010) :

a. Penyulaman

Penyulaman merupakan kegiatan penanaman kembali tanaman yang telah mati. Tujuan penyulaman adalah untuk mempertahankan populasi pohon sesuai dengan standar yang ada. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman jati yang mati atau kurang bagus pertumbuhannya. Bibit pengganti sebaiknya memiliki kualitas yang baik dan umur yang hampir sama dengan yang diganti sehingga pertumbuhan jati tetap seragam.

(22)

b. Penyiangan

Penyiangan berguna untuk mengendalikan laju pertumbuhan ilalang, gulma, dan tanaman penggangu lainnya. Penyiangan dilakukan dengan mencabut atau menghilangkan tanaman lain yang dapat mengganggu penyerapan unsur hara. Penyiangan dilakukan secara intensif pada awal tahun agar pertumbuhan jati tidak kerdil atau terhambat. Selain itu, penyiangan juga perlu dilakukan pada awal dan akhir musim hujan. Dikarenakan pertumbuhan gulma pada musim hujan cukup tinggi.

c. Pemupukan

Pemberian pupuk cukup penting bagi pertumbuhan jati karena dapat mengoptimalkan penyerapan unsur hara dari dalam tanah. Salah satu jenis pupuk alami yang umum digunakan untuk tanaman jati, yakni pupuk kompos atau pupuk kandang yang diberikan dalam dua kali setahun. Patokan dosis pupuk yang diberikan adalah hingga ketebalan pupuk di tanah sekitar 5 cm.

Selain pupuk, mulsa diberikan di sekitar pohon jati dengan diberi jarak sekitar 10 cm dari pangkal pohon. Ketebalan mulsa kira-kira 10 cm. Lapisan yang tebal ini sangat baik untuk menjaga kelembapan tanah dan meningkatkan kualitas tanah dengan cepat. Pemberian mulsa dilakukan setiap satu tahun sekali selama tiga tahun berturut-turut.

d. Pemangkasan dan Penjarangan

Pemangkasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dan mengatur komposisi arah tumbuhnya. Selain itu, pemangkasan juga berguna untuk mencegah serangan penyakit dan jamur. Pemangkasan yang baik dilakukan dengan memotong cabang batang utama pohon jati. Buat potongan tersebut sehalus mungkin, agak miring, dan tidak mendatar.

Selain memotong cabang, perlu dilakukan juga penjarangan. Penjarangan dimaksudkan untuk memotong pohon yang tidak sesuai kriteria yang telah ditentukan. Prioritas pohon yang dilakukan penjarangan atau dimatikan adalah pohon yang terserang penyakit, pohon yang cacat atau jelek, pohon yang tingginya kurang dari tiga perempat bila dibandingkan dengan pohon lainnya, pohon yang tumbuhnya tidak normal, dan pohon yang tumbuhnya terlalu rapat.

(23)

Penjarangan perlu dilakukan secara hati-hati. Hindari kesalahan fatal seperti pohon hasilpenjarangan menimpa pohon-pohon yang masih ada. Jika hal tersebut terjadi, dapat menyebabkan patah cabang dan luka batang, sehingga dapat menimbulkan serangan hama penyakit. Penjarangan dapat dilakukan dua kali, yakni saat jati berumur tiga tahun dan tujuh tahun.

e. Pengendalian Hama Penyakit

Hama yang sering menyerang tegakan jati yang masih muda adalah ulat jati (Hyblaea puera). Hama ini memakan daun jati yang masih muda dengan meninggalkan urat-urat dan tulang-tulang daun. Ulat dewasa memakan seluruh jaringan daun kecuali tulang-tulang daun yang besar. Ulat jati menyerang pada awal musim penghujan, menyerang pohon-pohon jati yang baru saja memunculkan daun-daun hijau setelah menggugurkan daun pada musim kemarau. Pengendalian hama ini adalah dengan cara manual dan menggunakan insektisida. Serangan hama lain yang banyak menyerang tanaman jati muda adalah hama uret jenis Leucopholia rorida, Lepidiota stigma, dan Holotricha helleri. Hama uret merusak perakaran tanaman, baik tanaman kehutanan (tanaman pokok jati) maupun tanaman tumpangsari (padi, palawija). Gejala yang tampak, tanaman muda tiba-tiba layu, berhenti tumbuh, kemudian mati mengering. Bagian perakaran tanaman rusak/habis dimakan uret. Serangan hama uret terjadi pada awal musim hujan, pada awal – pertengahan musim. Kerusakan yang parah terjadi pada tanaman umur 1-2 bulan di lapangan, tanaman jati menjadi mati. Pengendalian dengan penggunaan pestisida kimia merupakan cara pengendalian terakhir yang dapat dilakukan. Namun, cara efektif yang dapat dipakai dalam pengendalian hama uret yaitu dengan menaburkan campuran detergen (1 kg) dengan kapur barus (¼ kg) ke dalam tanah yang terkena hama uter. Biarkan air hujan menyebabkan campuran tersebut meresap ke dalam tanah. Dosis campuran 1 kg detergen dengan ¼ kg kapur barus untuk 1 ha (Budiatmoko et al. 2008).

2.2.4 Pemanfaatan

Kayu jati merupakan jenis kayu yang banyak dipakai untuk berbagai keperluan khususnya di Pulau Jawa, karena sifat-sifatnya yang baik. Kayu jati sangat cocok untuk segala jenis konstruksi, seperti: tiang balok dan gelagar pada

(24)

bangunan rumah dan jembatan, rangka atas, kusen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, meubel, dek kapal, lantai dan sirap. Meskipun kayu jati mempunyai kegunaan yang luas, tapi karena sifatnya agak rapuh, kurang baik untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan kekenyalan yang tinggi, seperti rangka perkakas, alat olahraga, peti pengepakan dan lain-lain. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan kimia (Martawijaya et al. 1981). Selain itu, kayu jati dapat digunakan pula untuk vinir dan meskipun perlu mendapatkan perlakuan pendahuluan sebelum dikupas. Kayu jati banyak dipakai untuk vinir muka karena mempunyai gambar yang indah.

2.3 Agroforestri

Agroforest adalah ‘hutan buatan’ yang didominasi tanaman serbaguna yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Dalam hal ini agroforest dapat dipandang sebagai sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur lebih panjang dipadukan dengan tanaman pangan yang berumur pendek atau pakan ternak pada satu lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu (De Foresta et al. 2000). Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya. Huxley (1999) dalam Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin (2003) menyatakan agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), Kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

Andayani (2005) menyatakan bahwa agroforestri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektif (collective name) dari sebuah sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk seperti :

1. Agrisilvikultur, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan.

(25)

2. Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak.

3. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem dimana lahan dikelola untuk memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.

4. Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak.

Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) dalam Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin (2003) :

1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu.

2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.

3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.

4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.

5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga atau masyarakat.

6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.

Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani yang mempunyai tanaman jati pada hutan rakyat di Desa Karanglayung, Desa Babakan Asem dan Desa Conggeang Kulon, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang serta tegakan jati umur 3 tahun dan 12 tahun di RPH Cipelang dan tegakan jati umur 6 tahun di RPH Sampora, BKPH Conggeang, KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu pada bulan Oktober hingga November 2010.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah lahan milik petani dengan tanaman pokok jati. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pita ukur, haga hypsometer, kompas, tali rafia atau tambang, golok atau parang, tally sheet, alat tulis, ring tanah, spiracle densiometer, lembar kuisioner, sekop, alat hitung, kantong plastik, alat tulis, program Minitab14 dan kamera digital.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung ke lapangan dan wawancara. Observasi lapangan dilakukan terutama dalam penghitungan potensi tegakan jati dengan cara pengukuran dimensi pohon. Sedangkan wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung kepada penggarap atau pemilik lahan. Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri dari dua jenis, yaitu :

 Data primer yang meliputi data dimensi tanaman pokok dan sejarah pengelolaan lahan.

 Data sekunder yang diperoleh dengan cara studi pustaka dan pencarian literatur. Data sekunder ini meliputi data kondisi umum wilayah penelitian, batas administatif kecamatan, kondisi fisik, data monografi kabupaten dan kecamatan dan lain-lain.

(27)

3.3.2 Metode pengambilan contoh

Pengambilan contoh plot sampling dilakukan secara bertahap (multistage sampling), dimana tahap pertama yaitu menentukan kecamatan contoh. Tahap kedua penentuan desa contoh dari kecamatan yang terpilih dan tahap ketiga penentuan petani contoh dari desa yang terpilih. Sedangkan untuk menentukan contoh pada setiap tahapnya dilakukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterwakilan untuk memperoleh kemudahan teknis pelaksanaan penelitian di lapangan, faktor aksesibilitas dan informasi dari penyuluh kehutanan tingkat kecamatan.

Penentuan kecamatan contoh telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti yaitu di Kecamatan Conggeang, yang didasarkan pada potensi hutan rakyat yang besar dan luasannya dibandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Sumedang. Tahap selanjutnya yaitu penentuan desa contoh. Pada dasarnya cara penentuan desa contoh berdasarkan asumsi bahwa desa yang mempunyai luasan hutan rakyat besar mempunyai potensi yang besar, sehingga banyaknya desa yang diambil sebanyak 3 desa untuk mewakili desa yang mempunyai potensi tinggi, sedang dan rendah. Terakhir yaitu penentuan petani hutan rakyat dari desa-desa yang sudah ditentukan. Jumlah petani terpilih yaitu 6 - 7 orang per desa diperoleh dengan cara menentukan secara acak para petani berdasarkan keterangan petugas penyuluh lapangan. Jadi total responden yang terpilih sebanyak 20 orang.

3.3.3 Pengambilan data dimensi tanaman pokok

Dimensi tanaman pokok yang diamati adalah tinggi, diameter, panjang dan lebar tajuk pohon. Pengambilan data dilakukan secara sensus terhadap lahan milik masyarakat dengan memilih lahan yang dinilai dapat mewakili kondisi hutan rakyat yang ada di Kecamatan Conggeang. Tinggi pohon diukur menggunakan haga hypsometer, sedangkan diameter pohon diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran diameter dilakukan pada ketinggian setinggi dada atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah.

Panjang dan lebar tajuk diukur dengan pita ukur pada proyeksi tajuk pohon yang diamati. Panjang tajuk merupakan tajuk terpanjang dari pohon jati yang diukur pada garis proyeksinya yang tegak lurus ke tanah. Lebar tajuk yang

(28)

diukur adalah tajuk terlebar dari pohon jati yang garis proyeksinya tegak lurus dengan garis imajiner dari proyeksi tajuk terpanjang yang sudah diukur. Arah proyeksi tajuk juga diamati dengan menggunakan kompas, azimuth proyeksi tajuk yang diukur adalah penyimpangannya dari arah Utara. Pengukuran dilakukan dengan cara berdiri di bawah tajuk dan mengarahkan kompas pada arah proyeksi tajuk pohon.

3.3.4 Pengambilan data persentase penutupan tajuk

Persentase penutupan tajuk diukur untuk menduga besarnya jumlah radiasi sinar matahari yang menembus sampai ke tanah. Radiasi sinar matahari ini penting artinya bagi pertumbuhan tanaman khususnya tanaman pertanian yang dibudidayakan di bawah tegakan jati. Pendugaan penutupan cahaya matahari oleh tajuk tegakan ini dilakukan dengan menggunakan alat spiracle densiometer. Titik pengukuran pada masing-masing lokasi ditetapkan secara acak sebanyak 10 titik contoh yang tersebar merata pada lokasi yang dianggap mewakili, masing-masing titik diukur pada 4 arah mata angin.

Pengamatan pada masing-masing titik dilakukan dengan cara meletakkan spiracle densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Masing-masing kotak dihitung persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan. Terbuka penuh memiliki bobot 4 (100 %), bobot 3 (75 %), bobot 2 (50 %), bobot 1 (25 %), bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat).

Data pengukuran masing-masing titik selanjutnya dijumlahkan dan merupakan nilai pada titik. Bobot rata-rata pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: 04 , 1 .... 3 2 1     N T T T T Ti n

Ket: Ti : Keterbukaan tajuk

Tn : Bobot pada masing-masing titik pengukuran N : Jumlah titik pengukuran

(29)

Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: T = 100-Ti (Rifa’i 2010).

3.3.5 Pengambilan data tanah

Data tanah yang diperlukan adalah sifat fisik dan sifat kimia tanah. Pengukuran data sifat fisik tanah dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dan metode tanah terusik. Alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah tidak terusik adalah ring tanah. Pengambilan contoh tanah untuk penentuan sifat fisik maupun sifat kimia tanah dilakukan pada masing-masing lahan yang sudah dipilih. Sifat fisika tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori dan kadar air contoh tanah. Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut :

a. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah. b. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop.

c. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung. d. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah.

e. Tabung lainnya diletakkan tepat di atas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm.

f. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan.

g. Tabung ditutup dengan tutup plastik.

Sifat kimia tanah seperti pH tanah, kandungan bahan organik, nitrogen, serta unsur-unsur hara yang lain diamati dengan cara mengambil contoh tanah menggunakan metode sebagai berikut :

a. Titik pengambilan contoh tanah pada masing-masing petak pengamatan dilakukan secara acak sebanyak 1 titik contoh pada lokasi yang dianggap mewakili.

b. Permukaan tanah dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah.

(30)

c. Tanah dicangkul sedalam lapisan olah (±20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul. Berat contoh tanah yang diambil adalah 500 gr dari setiap petak pengamatan.

d. Contoh tanah diberi label yang berisi keterangan: tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi (desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah.

e. Contoh tanah kemudian dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB.

3.3.6 Penelusuran sejarah pengelolaan lahan

Penelusuran sejarah pengelolaan lahan dilakukan untuk mengetahui tehnik dan sistem pengelolaan yang dilakukan petani dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman pokok jati. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung dengan petani. Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara secara terstruktur, menggunakan daftar kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan dilakukan juga wawancara bebas atau semi terstruktur yang dilakukan tanpa kuisioner. Isi wawancara menekankan pada aspek kegiatan pengelolaan lahan(persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dll.), asal benih yang ditanam, sampai dengan penerapan teknologi pada masing-masing lahan yang terpilih. Responden yang dipilih adalah petani atau penggarap lahan terpilih yang merupakan objek dari kegiatan penelitian.

3.3.7 Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif terhadap parameter pertumbuhan tanaman pokok jati kaitannya dengan pola agroforestri yang dikembangkan dan tehnik pengelolaan lahan yang dilakukan. Data hasil pengukuran pada hutan rakyat akan dibandingkan dengan hasil pengukuran pada hutan monokultur pada umur yang sama. Data pengukuran antara hutan rakyat dan hutan monokultur dilakukan uji sidik ragam dengan menggunakan program Minitab14 untuk mengetahui adanya perbedaan dari pengaruh pengelolaan hutan pada umur tanam yang sama. Parameter yang diamati adalah umur, diameter, luas bidang dasar, tinggi dan peninggi.

(31)

BAB IV

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kecamatan Conggeang

4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan

Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan Conggeang memiliki luas wilayah 10.531 ha yang terdiri dari wilayah darat dan persawahan. Secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Conggeang terbagi menjadi 12 desa atau kelurahan yaitu Desa Babakan Asem, Cacaban, Cibeureuyeuh, Cibubuan, Cipamekar, Conggeang Kulon, Conggeang Wetan, Jambu, Karanglayung, Narimbang, Padaasih, dan Desa Ungkal. Adapun batas-batas administratif Kecamatan Conggeang, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Kecamatan Ujung Jaya, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu; sebelah Barat dibatasi oleh Kecamatan Buah Dua; sebelah Selatan dibatasi oleh Kecamatan Paseh, Kecamatan Cimalaka dan sebelah Timur dibatasi oleh Kecamatan Tomo. Jarak ibu kota kecamatan dengan ibu kota kabupaten adalah 30 km (Kabupaten Sumedang 2009). Peta lokasi penelitian di Kecamatan Conggeang disajikan pada Lampiran 2.

4.1.2 Fisiologi, topografi, iklim dan tanah

Topografi Kecamatan Conggeang berupa areal yang datar, bergelombang sampai berbukit/bergunung dengan ketinggian daerah sekitar 280-500 mdpl dan kemiringan lahan berkisar antara 8-15%. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah sedang dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk agak peka. Rata-rata curah hujan mencapai 3.092 mm/tahun dan rata-rata hari hujan mencapai 114 hari hujan (HH). Tipe iklim termasuk B-1 dengan bulan basah sebanyak 7 (tujuh) bulan dan bulan kering selama 5 (lima) bulan. Suhu rata-rata di Kecamatan Conggeang berkisar antara 23 – 27 °C (Kabupaten Sumedang 2009).

Jenis tanah di Kecamatan Conggeang menurut Sistem Dudal/Soepraptohardjo (1951-1961) dan Modifikasi Sistem D/S (1978) termasuk ke dalam jenis latosol (BPS Kabupaten Sumedang 2009).

(32)

4.1.3 Penggunaan lahan di Kecamatan Conggeang

Luas Kecamatan Conggeang mencapai 10.531 ha. Selain untuk pemukiman dan perumahan penduduk lahan desa, sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. Pertanian lahan kering yang dimaksud adalah sistem budidaya pertanian dengan cara perladangan atau hanya bergantung pada air hujan dan irigasi setengah teknis, sedangkan pertanian lahan basah berupa sistem pertanian dengan memanfaatkan irigasi atau sering disebut persawahan.

Pertanian lahan kering merupakan jenis penggunaan lahan yang paling luas yaitu mencapai 441 ha, sedangkan hutan rakyat yang dibangun mencapai 854 ha dengan berbagai jenis tanaman kayu. Potensi kayu rakyat yang paling dominan dikembangkan adalah jenis jati (Tectona grandis), albizia atau sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia sp.), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophyllus), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan lain sebagainya. Penggunaan lain yang meliputi perkantoran, sekolah, rekreasi dan olah raga, pemakaman umum, akses jalan, tempat ibadah dan lainnya. Data tentang potensi kayu rakyat di Kecamatan Conggeang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Potensi tegakan kayu rakyat di Kecamatan Conggeang

No Desa Luas (ha) Jumlah Tegakan (pohon) % Komposisi

Jati Mahoni Tisuk Suren Sengon

1 Conggeang Kulon 30 12.000 78 12 0 0 10 2 Conggeang Wetan 25 10.000 64 20 0 0 16 3 Cipamekar 25 10.000 62 20 0 0 18 4 Cibeureuyeuh 2 800 28 64 0 0 8 5 Jambu 102 40.800 52 38 0 0 10 6 Babakan Asem 150 60.000 48 25 1 1 25 7 Padaasih 80 32.000 18 38 0 0 44 8 Ungkal 142 45.200 24 34 5 12 25 9 Karanglayung 60 24.000 26 28 5 15 26 10 Cacaban 42 16.800 27 30 1 14 28 11 Narimbang 80 32.000 25 31 2 14 28 12 Cibubuan 145 58.000 25 28 3 14 30 Jumlah 854 341.000 40 31 1 6 22

(33)

4.1.4 Kondisi sosial ekonomi

Jumlah penduduk di Kecamatan Conggeang mencapai 31.175 jiwa yang terdiri dari 12.884 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 15.377 orang laki-laki dan penduduk perempuan mencapai 15.798 (Kecamatan Conggeang 2010). Data tentang jumlah penduduk disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah penduduk Kecamatan Conggeang berdasarkan jenis kelamin

No Desa / Kelurahan

Luas (km2)

Jumlah Penduduk Jumlah KK Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Conggeang Kulon 668 1.602 1.785 3.387 1.474 2 Conggeang Wetan 291 1.052 1.080 2.132 811 3 Cipamekar 461 1.882 1.804 3.686 1.443 4 Cibeureuyeuh 218 619 627 1.246 569 5 Jambu 204 1.224 1.160 2.384 871 6 Babakan Asem 1.611 1.452 1.581 3.033 1.413 7 Padaasih 1.678 2.045 2.118 4.163 1.720 8 Ungkal 550 323 320 643 310 9 Karanglayung 1.724 1.578 1.619 3.197 1.332 10 Cacaban 234 889 921 1.810 749 11 Narimbang 516 1.573 1.653 3.226 1.287 12 Cibubuan 2.353 1.138 1.130 2.268 905 Jumlah 10.508 15.377 15.798 31.175 12.884

Sumber : Kecamatan Conggeang 2010

Penduduk Kecamatan Conggeang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah buruh tani dan petani. Profesi buruh tani mencapai 2.854 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 8.540 orang. Buruh tani tersebut berperan sebagai penggarap bagi para pemilik lahan dengan sistem bagi hasil pada saat panen. Komoditas pertanian yang diusahakan antara lain jagung, padi, buah-buahan, dan sebagainya yang dikombinasikan dengan beberapa tanaman kayu. Mata pencaharian lain yang digeluti oleh penduduk adalah karyawan swasta, wiraswasta, pedagang, PNS, TNI & POLRI.

(34)

4.2 Desa Babakan Asem

4.2.1 Letak dan batas Desa Babakan Asem

Secara geografis, Desa Babakan Asem terletak di Kecamatan Conggeang, sebelah utara Kabupaten Sumedang. Desa Babakan Asem memiliki luas wilayah 484,963 ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, perkantoran dan sarana umum lainnya. Adapun batas-batas administratif Desa Babakan Asem, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Ungkal; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Padaasih dan Desa Cacaban; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Bugel, Kecamatan Tomo; dan sebelah Timur dibatasi oleh Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya. Jarak desa dengan ibu kota kecamatan adalah 9 km; jarak dengan ibu kota kabupaten 27 km; dan jarak dengan ibu kota propinsi 72 km (Desa Babakan Asem 2008).

4.2.2 Topografi, geologi, iklim dan tanah

Topografi di Desa Babakan Asem berupa areal yang datar dan daerah yang didominasi oleh area perbukitan. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah lempungan dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk ringan. Curah hujan rata-rata mencapai 2.707 mm/tahun. Tipe iklim termasuk B-2 dengan bulan basah sebanyak 6 (enam) bulan dan bulan kering selama 6 (enam) bulan. Suhu rata-rata berkisar antara 22 – 23 °C. Jenis tanah di Desa Babakan Asem termasuk dalam jenis latosol (Desa Babakan Asem 2008).

4.2.3 Tata guna lahan di Desa Babakan Asem

Luas Desa Babakan Asem adalah 484,963 ha, selain untuk pemukiman dan perumahan penduduk lahan desa sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. (Desa Babakan Asem 2008).

4.2.4 Kondisi sosial ekonomi

Jumlah penduduk di Desa Babakan Asem mencapai 2.703 jiwa yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.278 jiwa dan penduduk

(35)

perempuan mencapai 1.425 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Babakan Asem mencapai 1.137 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 0,0006 orang per m2. Penduduk di Desa Babakan Asem mayoritas beragama Islam (2.964 orang).

Penduduk Desa Babakan Asem dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah buruh tani dan petani. Profesi buruh tani mencapai 213 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 1.869 orang. Mata pencaharian lain yang digeluti adalah Pegawai Negeri Sipil (32 orang), Pengrajin industri rumah tangga (4 orang), dan karyawan swasta (39 orang).

Sebagian besar masyarakat Desa Babakan Asem merupakan tamatan SD, SMP dan SMA. Beberapa orang merupakan lulusan dari Perguruan Tinggi. Tingkat keluarga pra sejahtera Desa Babakan asem termasuk tinggi dengan jumlah 240 keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pendapatan per kapitanya. Pendapatan per kapita Desa Babakan Asem mencapai Rp. 500.000/orang di sektor pertanian, pada sektor Perkebunan mencapai Rp. 0/orang, pada sektor peternakan mencapai Rp. 500.000/orang. Sehingga rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Desa Babakan Asem mencapai Rp. 450.000/orang (Desa Babakan Asem 2008)

4.3 Desa Conggeang Kulon

4.3.1 Letak dan batas Desa Conggeang Kulon

Secara geografis, Desa Conggeang Kulon terletak di Kecamatan Conggeang, sebelah Utara Kabupaten Sumedang. Desa Conggeang Kulon memiliki luas wilayah 384,873 ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, perkantoran dan sarana umum lainnya. Adapun batas-batas administratif Desa Conggeang Kulon, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Karanglayung; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Sekarwangi, Kecamatan Buahdua; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Narimbang; dan sebelah Timur dibatasi oleh Desa Conggeang Wetan. Jarak desa dengan ibu kota kecamatan adalah 0,2 km; jarak dengan ibu kota kabupaten 21 km; dan jarak dengan ibu kota propinsi 66 km (Desa Conggeang Kulon 2008).

(36)

4.3.2 Topografi, geologi, iklim dan tanah

Topografi di Desa Conggeang Kulon berupa areal yang datar dan dataran tinggi. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah lempungan dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk ringan. Curah hujan rata-rata mencapai 3.139,5 mm/tahun. Tipe iklim termasuk B-2 dengan bulan basah sebanyak 6 (enam) bulan dan bulan kering selama 6 (enam) bulan. Suhu rata-rata berkisar antara 22 – 23 °C. Jenis tanah di Desa Conggeang Kulon termasuk dalam jenis regosol (Desa Conggeang Kulon 2008).

4.3.3 Tata guna lahan di Desa Conggeang Kulon

Luas Desa Conggeang Kulon adalah 384,873 ha, selain untuk pemukiman dan perumahan penduduk lahan desa sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. (Desa Conggeang Kulon 2008).

4.3.4 Kondisi sosial ekonomi

Jumlah penduduk Desa Conggeang Kulon mencapai 2.964 jiwa yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.395 jiwa dan penduduk perempuan mencapai 1.569 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Conggeang Kulon mencapai 1.047 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 0,0008 orang per m2. Penduduk di Desa Conngeang Kulon mayoritas beragama Islam (2.964 orang) (Desa Conggeang Kulon 2008).

Penduduk Desa Conggeang Kulon dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah sebagai buruh tani dan sebagai petani. Profesi buruh tani mencapai 561 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 300 orang. Mata pencaharian lain yang digeluti adalah Pegawai Negeri Sipil (52 orang), Pengrajin industri rumah tangga (6 orang), pedagang (25 orang), peternak (42 orang), TNI/POLRI (7 orang), dan karyawan swasta (220 orang). Masyarakat Desa Conggeang Kulon didominasi oleh lulusan SD, SMP dan SMA. Penduduk

(37)

Desa Conggeang Kulon yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi sangat sedikit ditemukan.

4.4 Desa Karanglayung

4.4.1 Letak dan batas Desa Karanglayung

Secara geografis, Desa Karanglayung terletak di Kecamatan Conggeang, sebelah Utara Kabupaten Sumedang. Desa Karanglayung memiliki luas wilayah 1.724,45 ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, perkantoran dan sarana umum lainnya. Adapun batas-batas administratif Desa Karanglayung, yaitu: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Cibuluh, Kecamatan Ujungjaya; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Cibubuan; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Conggeang Kulon; dan sebelah Timur dibatasi oleh Desa Ungkal. Jarak desa dengan ibu kota kecamatan adalah 2,5 km; jarak dengan ibu kota kabupaten 25 km; dan jarak dengan ibu kota propinsi 70 km (Desa Karanglayung 2009).

4.4.2 Topografi, geologi, iklim dan tanah

Topografi di Desa Karanglayung berupa areal yang datar, dataran rendah, sebagian besar berbukit-bukit, sebagian dataran tinggi, terdapat kawasan rawa dan kawasan aliran sungai. Kedalaman efektif lahan mencapai > 90 cm dengan tekstur tanah lempungan dan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk ringan sampai erosi tinggat berat. Curah hujan rata-rata mencapai 3.125,5 mm/tahun. Tipe iklim termasuk B-1 dengan bulan basah sebanyak 10 (sepuluh) bulan dan bulan kering selama 2 (dua) bulan. Suhu rata-rata berkisar antara 27 °C dengan kelembapan 27 %. Jenis tanah di Desa Karanglayung termasuk dalam jenis grumosol (Desa Karanglayung 2008).

4.4.3 Tata guna lahan di Desa Karanglayung

Luas Desa Karanglayung adalah 1.724,45 ha, selain untuk pemukiman dan perumahan penduduk lahan desa sebagian besar digunakan untuk budidaya pertanian. Sebagian besar lahan dipakai sebagai daerah pesawahan dengan luas 700 ha. Bidang pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian lahan kering,

(38)

pertanian lahan basah, perkebunan, hutan negara dan hutan rakyat. (Desa Karanglayung 2009).

4.4.4 Kondisi sosial ekonomi

Jumlah penduduk di Desa Karanglayung mencapai 3.131 jiwa yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.546 jiwa dan penduduk perempuan mencapai 1.585 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Karanglayung mencapai 1.069 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 0,0002 orang per m2. Penduduk di Desa Karanglayung mayoritas beragama Islam (3.131 orang).

Penduduk Desa Karanglayung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar mengandalkan dari sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah sebagai buruh tani dan sebagai petani. Profesi buruh tani mencapai 521 orang sedangkan yang berprofesi sebagai petani adalah 1.021 orang. Mata pencaharian lain yang digeluti adalah Pegawai Negeri Sipil (29 orang), Pengrajin industri rumah tangga (13 orang), pedagang (8 orang), peternak (26 orang), TNI/POLRI (8 orang), dan pensiunan (17 orang).

Tingkat pendidikan di Desa Karanglayung termasuk tinggi. Meskipun sebagian besar masyarakat Desa Karanglayung hanya tamatan SD, SMP dan SMA, namun banyak juga yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi. Pendapatan per kapita Desa Karanglayung mencapai Rp. 1.200.000/orang di sektor pertanian, pada sektor perkebunan mencapai Rp. 660.000/orang, pada sektor peternakan mencapai Rp. 220.000/orang, pada sektor perikanan mencapai Rp. 500.000/orang, pada sektor kerajinan mencapai Rp. 400.000/orang, pada sektor kehutanan mencapai Rp. 400.000/orang, pada sektor industri mencapai Rp. 530.000/orang, dan pada sektor jasa perdagangan mencapai Rp. 600.000/orang. Sehingga rata-rata pendapatan perkapita masyarakat Desa Karanglayung mencapai Rp. 600.000/orang (Desa Karanglayung 2009)

4.5 Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang

Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang sudah berlangsung cukup lama, bahkan bisa dikatakan merupakan warisan budaya dari nenek

(39)

moyang yang telah berkembang puluhan tahun yang lalu. Jenis kayu rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Sumedang antara lain ; jati, mahoni, suren, manglid, pinus, sengon, meces/kayu afrika, kihiang, tisuk dan jenis kayu rimba lainnya. Sebagian masyarakat mengelola hutan rakyat dengan menerapkan sistem agroforestri atau kebun campuran.

Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Sumedang selama 4 tahun terakhir, kayu mahoni dan jati masih merupakan jenis kayu yang dominan dikembangkan dan dihasilkan oleh masyarakat. Jenis ini selain dikenal memiliki kualitas kayu yang baik juga memiliki tingkat harga yang tinggi. Kecamatan Conggeang mampu memproduksi 1.246 batang kayu jati dengan volume kayu 377,08 m3 dan 807 batang dengan volume kayu 1.168,82 m3 untuk produksi kayu mahoni.

Perkembangan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang saat ini dipengaruhi oleh maraknya permintaan kayu baik untuk kebutuhan lokal maupun permintaan dari luar Kabupaten Sumedang. Permintaan kayu rakyat dari Cirebon, Jepara, dan Surabaya saat ini cukup tinggi terutama untuk jenis kayu jati dan mahoni. Berdasarkan hasil survey di lapangan diperoleh informasi bahwa hasil penjualan kayu rakyat secara ekonomi cukup menjanjikan terutama untuk jenis kayu mahoni dimana saat ini banyak dicari oleh para tengkulak atau para pedagang pengumpul. Jenis kayu ini cukup banyak diminati karena nilai jual yang cukup tinggi serta daur yang relatif sedang dalam artian bukan kayu daur cepat seperti halnya kayu sengon namun juga tidak terlalu lama sebagaimana kayu jati. Dengan umur tebang sekitar 10 – 15 tahun kayu mahoni rata-rata memiliki diameter 25-30 cm atau memiliki volume 0,3 – 0,4 m3. Harga di pasaran (tingkat pedagang) rata-rata saat ini untuk ukuran diameter tersebut sekitar Rp. 500.000/m3 (Romansah 2007).

Kayu jati hasil produksi hutan rakyat dijual sampai ke kota Jepara dan Cirebon, selain dijual pula pada pasar lokal di sentra meubel Kecamatan Paseh. Namun, daur tanaman yang cukup lama menjadi salah satu faktor terhambatnya suplai bahan baku sehingga saat ini yang masih tersedia umumnya adalah tanaman jati dengan usia yang relatif masih muda. Adanya prospek pasar yang cukup baik merupakan peluang usaha yang cukup menguntungkan bagi para petani. Akan tetapi, kondisi nyata di tingkat petani saat ini menunjukkan bahwa tingginya

(40)

permintaan kayu rakyat tersebut belum diimbangi dengan peningkatan teknologi budidaya yang cenderung masih sangat sederhana. Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang masih menerapkan pola-pola warisan yang kurang intensif. Kegiatan pemeliharaan tanaman jarang sekali dilakukan termasuk kegiatan pemupukan. Mereka umumnya menganggap bahwa tanaman kayu tersebut sebagai tabungan atau dalam istilah setempat dikenal dengan istilah teundeun poho yang sewaktu-waktu dapat digunakan.

(41)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pertumbuhan Dimensi Tanaman Tectona grandis Linn F.

Hasil pengamatan menunjukkan tidak semua petani di Kecamatan Conggeang menanam tanaman jati sebagai tanaman pokok pada lahannya. Ada juga sebagian petani yang mengkombinasikan dengan tanaman lain seperti mahoni (Swietenia macrophylla), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophyllus) dan lamtoro (Leucaena leucocephala). Penelitian yang dilakukan pada 3 desa contoh menunjukkan bahwa pertumbuhan dimensi tanaman jati berbeda-beda baik dari diameter maupun rata-rata tinggi pohon yang diukur meskipun memiliki umur tanam yang relatif sama. Untuk Desa Karanglayung, tanaman jati dengan umur 12 tahun tidak dapat ditemukan karena sebagian besar tanaman jati yang berumur lebih dari 10 tahun telah ditebang oleh petani untuk keperluan sehari-hari sehingga sulit ditemukan. Rata-rata pertumbuhan dimensi tanaman jati pada ketiga desa yang diteliti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata pertumbuhan tanaman jati pada 3 (tiga) desa dengan 3 (tiga) umur tanam yang berbeda di Kecamatan Conggeang

Umur (tahun) Lokasi Rata-Rata Dimensi Diameter (cm) Tinggi Bebas Cab. (m) Tinggi Total (m) LBDS (m2) 3 Babakan Asem 5,35 3,62 7,02 0,0027 Conggeang Kulon 4,97 3,35 5,75 0,0021 Karanglayung 6,21 1,74 6,06 0,0034 6 Babakan Asem 10,29 3,69 9,11 0,0093 Conggeang Kulon 7,88 3,21 7,45 0,0054 Karanglayung 9,37 2,45 8,58 0,0077 12 Babakan Asem 13,98 3,97 12,19 0,0169 Conggeang Kulon 13,88 3,45 9,38 0,0163

(42)

l p c p D m d b t k k T p 6 u ( f k b Pad lebih baik d pada Desa B cm (untuk perbedaan d Desa Karang memiliki tin dalam kelas Ber bebas caban tanaman pal kelas umur, kelas umur 6 Ttot 12,19 pertumbuhan 6,06 m dan umur 6 tahu (tiga) desa te G Sec faktor, yaitu kondisi kesu baik (Sirega 0 5 10 15 Ra ta ‐ra ta  diame ter  (cm ) Babakan A da Desa Bab dibandingka Babakan As umur 6 tah dimana diam glayung untu nggi bebas c umur 3 tahu rdasarkan kr ng (Tbc), De ling baik den

yaitu untuk 6 tahun Ttot m dan Tb n tinggi tana 1,74 untuk un. Perband ersebut disaj ( Gambar 1 Pe Ket : (A) D cara teknis, u faktor leta uburan lahan ar 2005). Sel 3 6 Asem Conggean bakan Asem n dengan d em tersebut hun); dan 1 meter dan Lu uk kelas um cabang (Tbc un dan 6 tahu riteria tinggi esa Babakan ngan tinggi k kelas umur t 9,11 m da bc 3,97 m aman jati pal

kelas umur dingan rata-r jikan pada G (A) erbandingan Diameter ra pertumbuha ak lahan (to n (struktur lain dari itu,

12 Umur tan g Kulon Karangl m menunju desa lainnya adalah 5,35 13,98 cm (u uas Bidang D mur 3 tahun. A c) paling ren un, yaitu 1,7 i tanaman, b n Asem meru total dan be r 3 tahun Tt an Tbc 3,69 m m. Sedangka ling rendah d r 3 tahun da rata tinggi d Gambar 1. pertumbuha ta-rata; (B) T an tanaman opografi), ko dan tekstur jenis perlak 0 5 10 15 Ra ta ‐ra ta  ti n gg i (m) nam (thn) ayung ukkan pertum . Rata-rata 5 cm (untuk untuk umur Dasar (LBDS Akan tetapi ndah diantar 74 m dan 2,4 baik tinggi upakan desa ebas cabang tot 7,02 m d m; dan untu an Desa Ka dengan Ttot an 8,58 m da dan diamete an rata-rata t Tinggi total sangat dipen ondisi ekolo tanah), dan kuan setelah 0 5 0 5 3 mbuhan dim diameter tan k umur 3 tah r 12 tahun) S) terbaik b di Desa Kar ra desa yang 45 m. total (Ttot) a yang mem berturut-turu dan Tbc 3,62 uk kelas umu aranglayung dan Tbc ber an 2,45 m u r tanaman j (B) anaman jati rata-rata. ngaruhi oleh ogis, iklim n pemilihan h penanaman 6 Um mensi yang naman jati hun); 10,29 . Terdapat erada pada ranglayung g lain baik dan tinggi miliki tinggi ut menurut 2 m; untuk ur 12 tahun g memiliki rturut-turut untuk kelas jati pada 3 h beberapa dan lahan, bibit yang n pun dapat 12 mur tanam (thn)

Gambar

Gambar 2 Grafik nilai sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kecamatan  Conggeang dalam kelas umur 6 tahun

Referensi

Dokumen terkait

Analisis efektivitas Program UPPKS dilakukan dengan membandingkan realisasi jumlah rata-rata efektivitas dari seluruh indikator variabel baik input, proses dan

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasannya mengenai pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja

169 Berdasarkan konsep tersebut, memang gaya kepemimpinan otoriter tidak bisa dilakukan terutama pada lembaga pendidikan seperti sekolah atau madrasah, karena

Pembangunan manusia Indonesia di bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika Indonesia bisa mewujudkan target sustainable development goals (SDG’s) seperti

Bagi masyarakat, agar tetap melestarikan tradisi tilik wong loro ini, karena dukungan yang diberikan kepada pasien dapat berpengaruh terhadap motivasi sembuh. pasien,

Perlindungan tangan : Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian

Bahaya penghirupan Berdasarkan data yang tersedia, kriteria klasifikasi tidak terpenuhi. Informasi lebih lanjut Complete toxicity data are not available for this

Hasil analisis data dengan menggunakan uji wilcoxon signed rank test didapatkan p-value = 0,014 lebih kecil dari pada α (α = 0,05) maka H0 ditolak artinya ada pengaruh