• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

LAPORAN AKHIR

Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur

Studi Kasus Industri Kimia, Tekstil dan Produk Tekstil, dan Elektronik

Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

(2)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan i

KATA PENGANTAR

Perkembangan impor Indonesia selama lima tahun terakhir (2010-2014 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir sebesar USD 191,69 miliar. Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar 74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%.

Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkattidak diiringi oleh peningkatan pertumbuhan industri manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015.

Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur 11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan importasi. Hal tersebut membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan berdaya saing di pasar ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/ penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor, produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015). Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar dan liberal terhadap produk jadi.

Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya mengidentifikasi peran kebijakan impor bahan baku/ penolong dalam mendukung kesinambungan ketersediaan bahan baku/ penolong bagi kebutuhan industry manufaktur di Indonesia.

Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufakturini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini.

Jakarta, September 2016 Pusat Pengkajian

(3)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii

ABSTRAK

Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur

Kajian ini bertujuan untuk : a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik; dan b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik. Kajian ini menggunakan metode berupa survei dan Focus Group Discussion (FGD) serta regresi. Peran kebijakan impor terhadap kinerja masing-masing industri sangat bervariasi. Pada industri kimia, kebijakan tarif bea masuk berpengaruh signifikan pada kinerja Industri, sementara kebijakan non tarif tidak signifikan. Sedangkan pada industri tekstil, kebijakan tarif dan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri. Sementara itu, pada industri elektronik, kebijakan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri, sementara kebijakan tarif tidak signifikan. Secara umum, pemerintah diharapkan memberi dukungan positif pada peningkatan kinerja industri kimia, TPT dan elektronik mengingat ketiga industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Disisi makro, untuk mendorong kinerja industri kimia, TPT dan elektronik, maka pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan output sektoral (PDB sektoral).

(4)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii ABSTRACT

Import Policy Contribution to Support the Manufacturing Industry

This study aims to: a. Identifying the policy of import tariff and non tariff governing raw / intermediate goods for the Chemical, Textile and Electronics industry; and b. Analyzing the effect of policy tariff and non tariff import of raw / intermediate goods on the performance of Chemical, Textile and Electronics industry. This study uses methods such as surveys, Focus Group Discussion (FGD), and regression. The contribution of Import policy on the performance of the industry is vary widely, where on the chemical industry, policy tariffs have a significant effect on the industry's performance. Meanwhile, non-tariff policy does not have a significant impact. In the textile industry, tariff and non tariff policies have a significant effect on the performance of the industry. In the electronics industry, non-tariff policies have a significant effect on the performance of the industry, while the tariff policy does not have a significant impact. In general, the government is expected to give positive support to the improvement of the performance of the chemical industry, textile and electronics. That is because the three industries is able to absorb a large enough labor. On the macro side, to encourage the performance of the chemical industry, textile and electronics, the government is expected to boost sector output (GDP sectoral)

Keywords: import policy, raw/ intermediate goods, the manufacturing industry

(5)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... i ABSTRAK ... ii ABSTRACT ... iii DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan ... 5 1.4. Output ... 5 1.5. Dampak/Manfaat ... 5 1.6. Ruang Lingkup ... 5 1.7. Sistematika Laporan ... 6 BAB II ... 8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8

2.1. Teori Perdagangan Internasional ... 8

2.2. Konsep Impor ... 15

2.3. Hambatan Perdagangan Internasional ... 17

2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity ... 26

2.5. Kajian Sebelumnya ... 29 2.6. Kerangka Pemikiran ... 35 BAB III ... 37 METODOLOGI PENGKAJIAN ... 37 3.1. Metode Analisis ... 37 3.2. Model Ekonometrik ... 38 3.3. Metode Estimasi ... 41

3.4. Ruang Lingkup Analisis ... 43

(6)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v

BAB IV ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong ... 47

4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional ... 47

4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri Kimia, TPT dan, Elektronika ... 50

4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ... 54

4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ... 54

4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ... 55

4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .... 63

4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ... 64

4.4.1. Analisa Deskriptif... 64

4.4.2. Hasil Regresi ... 75

4.5. Hasil Temuan Lapang ... 88

BAB V ... 92

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 92

5.1. Kesimpulan ... 92

5.2. Rekomendasi Kebijakan ... 92

(7)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015 04 Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014 48 Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun

Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 49 Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun

Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 50 Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan

Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk 56 Tabel 4.5. Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok

Produk 57

Tabel 4.6. Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia, TPT,

dan Elektronik 61

Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia 64

Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT 68

Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik 72 Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia 76 Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia 77 Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor industri Kimia (2000-2013) 78

Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TP 80 Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT 81 Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor industri TPT (2000-2013) 82

Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik 84 Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik 85 Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

(8)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional 09 Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari

Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil 19 Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan

Keseimbangan Parsial 23

Gambar 2.4. Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap

kesejahteraan 24

Gambar 2.5. Kerangka Pikir Kajian 36

Gambar 3.1. Alur Kerja Pemodelan

Gambar 4.1. Nilai bahan baku impor yang digunakan pada Industri

Kimia, TPT, dan Elektronik 51

Gambar 4.2. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

industri Kimia, TPT, dan Elektronik 51

Gambar 4.3. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri Kimia 52

Gambar 4.4. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri TPT 53

Gambar 4.5. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri Elektronik 54

Gambar 4.6. Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan

Elektronik 55

Gambar 4.7. Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia

Berdasarkan Kelompok Produk 57

Gambar 4.8. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia menurut

KBLI 5 digit 59

Gambar 4.9. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT menurut

KBLI 5 digit 60

Gambar 4.10. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik

(9)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia, TPT,dan

Elektronik 63

Gambar 4.12. Perkembangan PDB Industri Kimia , 2000-2013 (Rp.

Miliar) 64

Gambar 4.13.

Perkembangan Nilai tukar , 2000-2013

65 Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013 66 Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada

Industri Kimia, 2000-2013 66

Gambar 4.16. Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga kerja per

tahun pada Industri Kimia, 2000-2013 67 Gambar 4.17. Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013 (harga

Berlaku, Rp. Miliar) 68

Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013 69 Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada

Industri TPT, 2000-2013 70

Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan baku

industri TPT, 2000-2010 70

Gambar 4.21.

Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 2000-2013

71 Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik 2000-2013

(harga berlaku, Rp. Milliar) 72

Gambar 4.23. Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri Elektronik,

2000-2013 73

Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan non tarif Sektor Elektronik 74 Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor pada

industri Elektronik, 2000-2010 74

Gambar 4.26. Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri

Elektronik, 2000-2013 75

(10)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT 82 Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik 86

(11)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selama lima tahun terakhir (2010-2014) impor Indonesia cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir sebesar USD 191,69 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015). Pasca mengalami nilai impor tertinggi pada tahun 2012, impor Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2013. Impor Indonesia dari awal tahun sampai dengan bulan Oktober 2015 menurun sebesar 20,44% dari periode Januari-Oktober 2014 hingga nilai impornya mencapai USD 119,10 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015).

Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar 74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%. Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia pada periode Januari-Oktober 2015 senilai USD 89,83 miliar atau sebesar 76,44% dari impor Indonesia. Sementara itu, impor Barang Modal Indonesia pada periode yang sama mencapai USD 20,46 miliar (16,45%) dan Barang Konsumsi yang diimpor sebesar USD 10,50 miliar (7,11%). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan Bahan Baku/Penolong.

Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkat, di sisi yang lain tidak dibarengi oleh peningkatan pertumbuhan industri manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, porsi industri manufaktur

(12)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2 terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015.

Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur 11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan kegiatan impor yang membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan barang-barang yang berdaya saing di pasar ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/ penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor, produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015). Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar dan liberal terhadap produk jadi.

Mengacu pada hal tersebut, kebijakan impor yang berkembang saat ini mempunyai peran terhadap fenomena dinamika kinerja industri manufaktur yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Premis ini menjadi penting untuk dilihat kembali mengingat mayoritas industri manufaktur di Indonesia menggunakan input bahan baku/ penolong berasal dari impor.

Dugaan diatas dilandasi oleh studi Amiti dan Konings (2007) dan Ing dan Putra (2015), dengan menggunakan studi kasus perusahaan di Indonesia, yang menunjukkan produktivitas industri meningkat seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif terhadap bahan baku penolong. Dengan metode yang sedikit berbeda, beberapa studi yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor

(13)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3 dapat mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue, 2008; Halpern, Koren dan Szeidl, 2011; Bas dan Strauss-Khan, 2011). Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan kinerja industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan perdagangan (Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik dan Topalova, 2010; Khandelwal dan Topolova, 2011). Namun demikian, faktor terkait kebjakan non tarif belum dipelajari dalam studi – studi tersebut di atas. Terkait dengan paket kebijakan pemerintah yang bergulir saat ini, tentunya kajian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai salah satu kontribusi perubahan kebijakan impor tarif maupun non tarif yang akan mendorong kinerja industri manufaktur yang selanjutnya akan mendorong kinerja ekspor non migas dan tentunya berpengaruh dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi.

Terkait dengan berbagai perkembangan di atas, maka dinilai perlu untuk melakukan kajian tentang kinerja industri dan perdagangan beberapa produk. Adapun kriteria pemilihan produk yang akan dijadikan obyek

kajian antara lain adalah sumbangannya terhadap industri/perdagangan relatif besar; industrinya sedang berkembang/bertumbuh; industrinya padat karya/menyerap banyak tenaga kerja; import contentnya masih relatif tinggi; menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi serta ekspornya sedang berkembang/bertumbuh. Berdasarkan kriteria tersebut, maka beberapa industri yang terpilih adalah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Industri Kimia dan Industri Elektronika.

Selama tahun 2010 jumlah industri TPT di dalam negeri yang meliputi industri Pakaian Jadi, Serat dan Benang serta Kain mencapai 441 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1,0 juta orang. Industri ini menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 70,6 triliun. Sementera itu nilai ekspor TPT pada tahun 2015 (Januari-Nopember) mencapai US$ 11,2 milyar. Untuk industri kimia yang antara lain

(14)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4 meliputi Industri Kimia Dasar, Industri Kimia Organik, dan Industri Pupuk, saat ini terdapat sebanyak 333 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 47,2 ribu orang. Nilai ekspor produk kimia sepanjang tahun 2015 (Januari-Nopember) sebesar US$ 2,4 milyar dimana untuk Kimia Anorganik mengalami peningkatan 18,9% dibanding periode yang sama tahun 2014, sedangkan industri Kimia Organik menurun 32,3%. Sementara itu, untuk industri elektronika pada tahun 2010 terdapat 605 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 248,9 ribu dan menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 51,3 triliun. Adapun nilai ekspor yang terdiri dari Produk Konsumsi, Elektronik Bisnis/Industri, Komponen dan Bagian serta Alat Cetak Elektronik pada tahun 2015 (Januari-Nopember) mencapai US$ 7,6 milyar.

Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

a. Apa saja kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik?

b. Bagaimana peran kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik?

Nilai Tambah Bruto Nilai Ekspor 2015 (Jan-Nop) (Ribuan Rp) (US$ Ribu)

TPT 4.549 1.006.728 70.629.832.179 11.186.312,1 KIMIA 333 47.245 34.400.842.427 1.988.157,2 ELEKTRONIKA 605 248.933 51.348.493.047 7.623.651.9

Sumber : Kemenperin, dan BPS 1

Jenis Industri Unit Usaha

Tenaga Kerja

(15)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5

1.3. Tujuan

Tujuan kajian ini secara rinci adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan

baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik

1.4. Output

Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan output sebagai berikut: a. Identifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan

baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik

b. Analisis peran kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik

1.5. Dampak/Manfaat

Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam penyusunan kebijakan impor bahan baku/penolong, dalam rangka mendukung ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dan kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik.

1.6. Ruang Lingkup

Kajian ini hanya akan mengkaji 3 (tiga) industri manufaktur yaitu industri kimia, tekstil dan elektronika (KLBI 5 digit) berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Nilai dan trend nilai impor bahan baku/ penolong yang tinggi b. Rasio bahan baku/ penolong impor terhadap total penggunaan

(16)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6 c. Industri manufaktur yang menjadi prioritas dalam pengembangan industri berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2019

d. Memiliki kebijakan impor berupa tarif dan/atau non tarif

e. Memiliki kebijakan impor yang belum termasuk ke dalam Paket Deregulasi Bidang Perdagangan

f. Memiliki tarif bea masuk di atas 0%

1.7. Sistematika Laporan

Laporan ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan isi masing-masing bab sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Kajian 1.4 Output Kajian

1.5 Dampak/ Manfaat Kajian 1.6 Ruang Lingkup Kajian 1.7 Sistematika Laporan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Teori Perdagangan Internasional

2.2 Konsep Impor

2.3 Hambatan Perdagangan Internasional 2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif 2.3.2 Hambatan Perdagangan Non Tarif 2.4 Kajian Sebelumnya

2.4.1 Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/ Penolong 2.4.2 Kajian tentang Peran Kebijakan Impor terhadap Total

Faktor Produktivitas (TFP) 2.5 Kerangka Pemikiran

BAB III METODE PENGKAJIAN 3.1 Metode Analisis

(17)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7 3.1.1. Model Ekonometrik Peran Kebijakan Impor terhadap Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong dan Kinerja Industri Manufaktur

3.1.2. Pengukuran Produktivitas Industri Manufaktur 3.2 Jenis dan Sumber Data

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong

4.2 Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

4.3 Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik 4.4 Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non

Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

4.5 Hasil Temuan Lapang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan

5.2. Rekomendasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA

(18)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi dagang barang dan jasa antara subjek ekonomi satu negara dengan subjek ekonomi negara lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri ataupun perusahaan negara. Perdagangan internasional sendiri terjadi akibat adanya perbedaan potensi sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia dan kemajuan teknologi antar negara (Halwani & Hendra, 2005).

Beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara (Salvatore, 1997). Perbedaan ini terjadi karena 1) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan 2) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terus-menerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola perdagangan internasional.

(19)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 9

Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional

Sumber : Salvatore (1997)

Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut: a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri.

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri. b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri. c. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para

(20)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10 dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.

d. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern

Secara historis, teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep perdagangan internasional atau aktivitas ekspor dan impor antar wilayah/negara dimulai dari teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif. Teori keunggulan absolut yang diperkenalkan oleh Adam Smith dinyatakan bahwa perdagangan didasarkan kepada keunggulan absolut (absolute advantage), yaitu jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dan memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkan dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Menurut Adam Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling efisien. Output yang diproduksi pun akan meningkat.

Teori perdagangan komparatif yang diperkenalkan David Ricardo tahun 1817 menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien

(21)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11 dibanding (atau memiliki kerugian absolut) dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antar negara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadi pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara. Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage (Salvatore, 1997).

John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).

Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan

(22)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12 bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja.

Teori perdagangan lainnya adalah konsep proporsi faktor produksi atau dikenalkan dengan Teori Heckscher-Ohlin. Intisari dari teorema Hecksher-Ohlin (H-O) adalah sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Intisari dari teori Hecksher-Ohlin adalah mengupas dan memprediksikan pola perdagangan, dan teori penyamaan harga faktor (factor-price equalization theorem) yang mengupas dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan internasional (ekspor-impor) terhadap harga faktor produksi di negara yang terlibat.

Teorema penyamaan harga faktor (teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson) sebagai berikut: Perdagangan internasional akan mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut, di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Perdagangan internasional dapat berfungsi sebagai pengganti atau substitusi bagi mobilitas faktor internasional. Ada tiga asumsi penting dalam memprediksi penyamaan harga-harga faktor yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada. Ketiga asumsi itu adalah 1) kedua negara memproduksi selalu kedua jenis barang sekaligus; 2) adanya kesamaan dalam teknologi; dan 3) hubungan perdagangan benar-benar menyamakan harga-harga barang di kedua negara.

(23)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13 Perdagangan antar negara cenderung meningkatkan harga faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di suatu negara dan dalam waktu yang bersamaan akan menurunkan harga faktor produksi yang relatif langka dan mahal. Seluruh faktor produksi tenaga kerja dan modal diasumsikan telah terdayaguna secara penuh (full employment) sebelum maupun sesudah perdagangan,maka pendapatan rill tenaga kerja dan suku bunga rill bagi para pemilik modal akan bergerak ke arah yang dituju oleh pergerakan harga-harga faktor produksi itu sendiri. Teori Hecksher-Ohlin memberikan konklusi bahwa perdagangan cenderung memperbesar tingkat pendapatan atau tingkat upah para pekerja dan menurunkan suku bunga rill modal di negara yang kaya tenaga kerja dan yang mengalami kelangkaan modal. Perdagangan (ekspor dan impor) akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang melakukannya.

Namun demikian, dalam perkembangannya teori Heckscher-Ohlin (Teori H-O) mengalami pertentangan. Alasan utamanya adalah adanya ketidaksesuaian antara teori Heckscher-Ohlin-Samuelson dengan kondisi nyata, yaitu: asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori tersebut terlampau restriktif dan cenderung menyederhanakan kenyataan-kenyataan yang ada. Sebagai contoh, tingkat teknologi setiap negara tidak sama, sedangkan biaya-biaya dan hambatan perdagangan diabaikan yang dalam prakteknya merupakan ganjalan utama bagi berlangsungnya perdagangan internasional sehingga proses penyamaan harga-harga relatif komoditi tidak pernah berjalan sempurna.

Keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya juga karena adanya produksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan ini sifatnya lebih dinamis dengan perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan SDM yang sangat

(24)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14 cepat. Hal ini mendorong suatu konsep baru mengenai perdagangan internasional, yaitu teori keunggulan kompetitif.

Menurut Porter (1990), keunggulan persaingan suatu negara tidak berkorelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara untuk dimanfaatkan menjadi daya saing dalam perdagangan. Banyak negara di dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya sangat besar secara proporsional dengan luar negeri tetapi terbelakang dalam daya saing internasional. Begitu juga tingkat upah yang relatif murah daripada negara lainnya, begitu pula berkorelasi erat dengan rendahnya motivasi bekerja keras dan berprestasi. Porter menyebutkan bahwa peranan pemerintah sangat mendukung selain faktor produksi. Porter mengungkapkan ada empat atribut utama yang menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai sukses internasional, keempat atribut itu adalah kondisi faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri pendukung, dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri.

Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri yang tinggi, industri hulu atau hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh 1/2 atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang sukses. Di samping keempat atribut di atas, peran pemerintah juga merupakan variabel yang cukup signifikan

Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam

(25)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15 menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pendorong semua negara di dunia untuk melakukan perdagangan luar negeri. Menurut Sukirno (2004), dari faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah: 1) memperoleh barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri; 2) mengimpor teknologi yang lebih modern dari negara lain; 3) memperluas pasar produk-produk dalam negeri; dan 4) memperoleh keuntungan dari spesialisasi.

Di sisi lain, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan tantangan dan kendala yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tantangan dan kendala tersebut, antara lain eksploitasi terhadap negara-negara berkembang, ambruknya industri lokal, keamanan barang menjadi rendah, ancaman ketahanan pangan, dan keamanan konsumen dan sebagainya. Untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, negara-negara di dunia berupaya untuk menciptakan hambatan perdagangan terutama hambatan untuk impor.

2.2. Konsep Impor

Secara harfiah, impor adalah barang dan jasa yang diproduksi di luar negeri dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2006). Impor terjadi jika ada kelebihan permintaan internasional. Dengan adanya kegiatan impor, negara produsen yang produksinya melimpah dan melebihi permintaan domestik dapat melakukan memenuhi permintaan impor di suatu negara sehingga sehingga produksinya tetap berlangsung. Saat ini impor dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku di negara pengimpor.

Pada dasarnya, impor yang akan dilakukan oleh suatu negara bergantung pada banyak faktor. Pertama, barang-barang yang diperlukan di dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh pemilik

(26)

faktor-Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16 faktor produksi di dalam negeri atau terbatas sedangkan permintaan domestik tinggi. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut dikarenakan dua hal, yakni 1) kapasitas produksi terbatas (titik optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau 2) pemakaian kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua, permintaan impor sangat ditentukan faktor-faktor harga atau keseimbangan harga, baik yang terdapat di dalam negeri maupun keseimbangan harga internasional. Impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi biaya yang dikeluarkan untuk impor (Rhee, 2012). Keempat, nilai impor tergantung dari nilai tingkat pendapatan nasional negara tersebut. Makin tinggi pendapatan nasional, semakin rendah menghasilkan barang-barang tersebut, maka impor pun semakin tinggi sehingga pada akhirnya pendapatan nasional menjadi terkikis. Selain keempat faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi impor suatu negara yakni nilai tukar riil, situasi politik, harga relative, dan variabel struktural lainnya (Wang & Lee, 2012).

Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara lain dengan tujuan untuk menjaga dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011).

(27)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17

2.3. Hambatan Perdagangan Internasional

Perbedaan komparatif dan kompetitif antar negara dan pengamanan kepentingan nasional mendasari penerapan kebijakan perdagangan internasional. Hampir seluruh negara di dunia memiliki hambatan perdagangan untuk mengendalikan impor. Hambatan perdagangan tersebut merupakan intervensi pemerintah dalam mengurangi kebebasan perdagangan internasional. Pada umumnya hambatan perdagangan internasional dibedakan menjadi 2 (dua), yakni:

2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif

Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam (Salvatore,1997):

a. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain.

b. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.

Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor.

b. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor.

c. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan tarif spesifik.

Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan

(28)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18 ekonominya terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan umum. Ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan. Walaupun setiap produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.

Gambar 2.2 menggambarkan bagaimana dampak-dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari pemberlakuan tarif di sebuah negara kecil seperti Indonesia. Negara kecil dimaksudkan sebagai negara yang tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar dunia. Pada Px/Py = 1 di pasar dunia, negara 2 akan berproduksi di titik B

dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100 persen terhadap komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik

di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X; separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni

HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai

pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari pengenaan tarif ad valorem 100 persen terhadap komoditi X

(29)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19 yang diimpor. Karena kita berasumsi bahwa pemerintah negara 2 menggunakan kebijakan tarif tersebut dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke

kurva indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara

dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan.

Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil

Sumber: Nicholson (1994)

Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas. Hal ini dibuktikan

dengan bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang

140 - 120 - 85 - 60 - 55 - 40 - I 40 I 80 I 65 I 100 I 95 X Y 0 A F B H’ E II III PF = 2 PW = 1 G H

(30)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 20 terletak pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada sebelumnya.

Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab: (a) Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia. (b) Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a) maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan kesejahteraan (the loss in welfare) terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Hal ini merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum dari kerugian akibat produksi (production distortion loss) yang telah dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang tidak efisien juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat konsumsi (consumption distortion loss).

Volume perdagangan mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas.

Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri.

(31)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21 Pada analisis dampak pemberlakuan tarif berdasarkan analisis keseimbangan parsial, mengacu pada Oktaviani et al. (2014). Pada Gambar 2.3. Dx adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran komoditi X yang merupakan produk pangan di Negara 2 yang merupakan negara kecil. Jika Negara 2 tidak mengadakan hubungan perdagangan internasional maka keseimbangan di titik E yang merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Pada titik tersebut Negara 2 mengkonsumsi produkpanganX sebanyak 30 unit dengan harga Px = 3 dolar per unit. Jika kemudian Negara 2 melakukan hubungan perdagangan internasional, maka Negara 2 akan menikmati produkpangan X dengan harga yang jauh lebih murah, yakni Px 1 dolar per unit sehingga konsumsinya pun akan meningkat menjadi sebesar 70X (AB). Dari konsumsi sebesar itu, 10X diantaranya merupakan produksi domestik, sedangkan 60X (CB) diimpor. Garis putus-putus Sf melambangkan kurva penawaran produk panganX dari luar negeri yang elastia sempurna untuk Negara 2. Artinya, pasar-pasar internasional mampu memasok produk pangan X sebanyak apa pun ke Negara 2 berdasarkan harga dunia yang berlaku.

Jika kemudian Negara 2 memberlakukan tarif ad valorem sebesar 100 persen terhadap produk pangan X yang diimpor, maka Px atau harga yang harus ditanggung konsumen di Negara 2 meningkat menjadi 2 dolar per unit, sementara harga bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibat naiknya harga X di negara 2 maka penduduk di Negara 2 akan menurunkan konsumsinya menjadi 50X (GH), dengan komposisi 20X (GJ) merupakan hasil produksi domestik, sedangkan 30X (JH) merupakan produk pangan impor dari negara lain. Garis putus-putus Sf + T Gaambar 2.2 merupakan kurva penawaran produk

(32)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22 pangan X dariluar negeri yang baru (setelah memperhitungkan dampak tarif) untuk Negara 2.

Analisis dampak kebijakan perdagangan berupa tarif dapat dilihat dari dampak terhadap konsumsi, produksi, perdagangan, dan dampak terhadap penerimaan pemerintah. Dampak pemberlakuan tarif tarif terhadap konsumsi (consumption effect of the tariff) yakni berkurangnya konsumsi domestik akibat pemberlakuan tarif ad valorem yang mencapai 20X (BN). Sementara dampak pengenaan tarif terhadap produksi (production effect of the tariff) yakni peningkatan produk domestik karena adanya tarif yakni sebesar 10X (CM). Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan (trade effect of the tariff) yakni turunnya impor sama dengan 30X (BN + CM). Sedangkan dampak pengenaan tarif terhadap penerimaan pemerintah (revenue effect of the tariff) yakni berupa pemasukan bagi pemerintah sebesar 30 dolar atau 1 dolar dari 30 unit komoditi X yang diimpor (MJHN).

Elastisitas demand dan supply memengaruhi dampak kebijakan. Semakin elastis Dx dan semakin mendatar

bentuknya, maka kenaikan harga produk pangan akibat pemberlakuan tarif akan menimbulkan dampak konsumsi (consumption effect) yang semakin besar. Semakin elastis Sx

maka semakin besar dampak produksi (production effect) yang akan ditimbulkan oleh kenaikan harga komoditi sehubungan dengan pemberlakuan tarif. Semakin elastis Dx dan Sx, akan

semakin besar dampak perdagangan (trade effect) yang dimunculkan oleh kenaikan harga komoditi akibat pemberlakuan tarif tersebut sehingga semakin besar pula pengurangan impor yang terjadi. Hal ini pada gilirannya akan memperkecil dampak pendapatan (revenue effect) bagi pemerintah negara.

(33)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23 1 - 2 - 3 - 4 - 5 - I 10 I 20 I 30 I 40 I 50 I 60 I 70 I 80 Px ($) Sx SF SF + T X DX A C G J M N H B E

Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan Keseimbangan Parsial

Sumber: Oktaviani et al. (2014)

2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif

Salah satu bentuk hambatan perdagangan internasional non-tarif adalah kuota impor. Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik. Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor. Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah sebagai barang perdagangan penting serta di bawah suatu pengawasan badan internasional.

(34)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24 Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran

yang defisit. Pemberlakuan hambatan non-tarif akan meningkatkan harga produk sehingga pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997).

Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi kesejahteraan (welfare). Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 2.3.

Gambar 2.4 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap kesejahteraan Sumber: Wall (1999) P Kuantita P QS0 A B C D S D QS1 QD1 QD0 Harga

(35)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25 Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw?. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah

yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada

proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi PM?.

Sehingga negara tersebut akan produksi sebesar QS1 dan

jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen

akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight Loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui

penjualan lisensi kuota sehingga dengan menggunakan θ yang

mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.

Berbagai macam restriksi atau hambatan non-tarif itu telah menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya, ini merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Penggunaan hambatan perdagangan ini pada intinya bertentangan dengan semangat pasar bebas (liberalisasi) yang diusung WTO. Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus bisa melakukan pengelolaan hambatan impor agar dapat menjaga

(36)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26 kepentingan nasionalnya, terutama yang terkait dengan kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan dan moral bangsa.

2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity

Produktivitas dapat diartikan sebagai rasio dari output per unit input dalam suatu unit waktu. Produktivitas meningkat bila rasio output per unit input semakin besar dalam periode tertentu. Teknologi dan manajemen produksi yang lebih baik menjadi faktor yang signifikan dalam peningkatan produktivitas.

Meningkatkan produktivitas dipandang sebagai satu-satunya cara dalam memperbaiki standar kehidupan dalam jangka panjang. Peningkatan produktivitas merupakan determinan dalam pertumbuhan ekonomi, yang ditunjang oleh semakin luasnya lapangan kerja yang tersedia menjadi kunci sukses menuju kemakmuran. Kemakmuran secara umum diukur dengan menghitung tingkat produk domestik bruto (GDP) per orang, total output dalam perekonomian relatif pada jumlah populasi suatu wilayah.

Untuk mengukur kinerja industri secara khusus, umumnya digunakan Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan indikator umum yang digunakan untuk mengukur produktivitas, yaitu mencakup perbedaan teknologi, organisasi, restrukturisasi, managerial skill, dll. TFP dapat menjadi alat yang penting dalam menganalisis sumber pertumbuhan ekonomi, perbedaan perkapita antar negara, dsb. TFP menjelaskan mengapa dua perusahaan dapat menghasilkan output yang berbeda dengan input yang sama. Secara konsep, TFP didefinisikan sebagai porsi dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan dalam produksi.

Metode yang digunakan untuk mengukur TFP telah banyak dikembangkan. Banyak pula perdebatan diantara para ahli tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur TFP, mulai dari yang sederhana sampai tingkat tinggi dengan menggunakan

(37)

metode-Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27 metode ekonometrik. Pada tahun 1957, Solow mendekomposisikan pertumbuhan output menjadi pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan

kemajuan teknologi dalam artikelnya yang berjudul “Technical Change

and Aggregat Production Function”, dan mengajukan metode nilai

residual Solow, yang kemudian digunakan secara luas untuk

mengukur perkembangan teknologi dan sumber pertumbuhan output. Terdapat dua cara untuk menghitung TFP yaitu melalui metode non parametrik dan metode parametrik. Metode nonparametrik tidak diperlukan bentuk fungsi spesifik atau asumsi-asumsi statistik tertentu dalam mengukur TFP. Prinsip dasarnya, TFP diperoleh dengan cara merasiokan antara output dengan input, sehingga dihasilkan nilai produktivitas.

Metode parametrik mengestimasi TFP melalui fungsi produksi, sehingga kita harus menggunakan fungsi-fungsi produksi tertentu seperti fungsi produksi Cobb-Douglas (C-D), Transcendental Logaritmic (Translog), Constant Elasticity Subtitution (CES), dll. Fungsi produksi yang masih berbentuk fungsi matematis (deterministic) tersebut diubah dulu kedalam fungsi produksi yang berbentuk fungsi statistik (stochastic), yang artinya mengandung error. Ilustrasinya, kira-kira seperti ini.

Misalnya, kita menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas (C-D) dengan 2 input yaitu modal (K) dan tenaga kerja (L), sedangkan A adalah indeks teknologi konstan.

(38)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28 Prinsip dasar pengukuran TFP dengan menggunakan metode parametrik adalah dengan memanfaatkan nilai error dalam model regresi. Error dalam model regresi dapat mewakili pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar atau yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel penjelas yang digunakan dalam model. TFP menjelaskan porsi dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan dalam produksi, maka pengukuran TFP identik dengan pengukuran error. Nilai error tersebut pada aplikasinya tidak bisa diobservasi secara langsung karena nilai-nilai parameter fungsi produksi tidak diketahui. Untuk mengestimasi nilai-nilai parameter tersebut dengan menggunakan berbagai metode estimasi seperti Ordinary Least Squares (OLS), Generalized Least Squares (GLS), Maximum Likelihood Estimators (MLE), Bayesian Estimators, dll. Pada akhirnya kita akan memperoleh nilai residual sebagai pendekatan untuk error. Nilai residual inilah yang akan digunakan untuk mengestimasi Total Factor Productivity (TFP).

(39)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 29

2.5. Kajian Sebelumnya

2.5.1. Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong

Berbagai studi terdahulu telah membahas tentang permintaan impor secara disagregat dan berdasarkan pengelompokkan golongan ekonomi barang (Broad Economic Category, BEC). Studi Houthakker dan Magee (1969), yang menganalisis elastisitas permintaan impor dan ekspor terhadap Produk Nasional Bruto (Gross National Product (GNP)) atau pendapatan riil dan harga, baik secara agregat maupun disagregat di Amerika Serikat, menemukan bahwa nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan impor di Amerika Serikat sama dengan negara maju lainnya sedangkan elastisitas harga terhadap total impor dan total ekspor secara relatif rendah dan lebih besar untuk beberapa kelompok komoditi di Amerika Serikat. Serupa dengan model Houthakker dan Magee (1969) dan Price dan Thornblade (1972), Kreinin (1973) mengestimasi model permintaan impor Amerika Serikat secara disagregat berdasarkan kelompok komoditi dan negara pemasok dan menyimpulkan bahwa permintaan impor disagregat dipengaruhi oleh elastisitas harga relatif (perbandingan harga barang impor terhadap indeks harga perdagangan besar) dan elastisitas pendapatan. Khan (1975) juga mengestimasi struktur dan perilaku impor di Venezuela yang dihubungkan dengan harga relatif barang impor terhadap harga domestik dan pendapatan domestik riil. Secara konsisten, Ali dan Chani (2013) juga menemukan bahwa variabel pendapatan lebih elastis pada kelompok komoditi barang manufaktur dibandingkan dengan kelompok komoditi lainnya.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang secara konsisten membahas estimasi elastisitas harga dan

(40)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30 pendapatan, Sarmad dan Mahmood (1987) dan Sarmad (1989) menambahkan tarif impor dalam penyesuaian harga relatif, beberapa variabel aktivitas lainnya (seperti pengeluaran konsumsi riil, nilai tambah riil sektor industri manufaktur) dan elastisitas hubungan harga relatif dengan variabel aktivitas lainnya terhadap permintaan impor secara disagregat untuk Pakistan. Penelitiannya menemukan bahwa elastisitas harga relatif yang disesuaikan dengan tarif bea masuk di Pakistan adalah rendah dan berbeda dengan besaran elastisitas di negara-negara maju. Deyak, Sawyer, dan Sprinkle (1989) menambahkan variabel stabilitas struktural terhadap fungsi permintaan impor disagregat Amerika Serikat berdasarkan kelas ekonomi – pangan mentah, barang mentah, produk makanan olahan, produk semi-manufaktur dan produk jadi manufaktur dan menemukan bahwa instabilitas struktural terjadi pada tiga kelompok ekonomi – produk jadi manufaktur, produk makanan olahan, dan barang mentah. Penelitian-penelitian sejenis tentang permintaan impor disagregat dan berdasarkan kategori golongan barang telah meluas ke berbagai cakupan negara seperti Cyprus (Pattichis, 1999), Korea Selatan (Mah, 2000) Malaysia (Cheong, 2002); Fiji (Narayan dan Narayan, 2005); Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (Fukumoto, 2012), Uganda (Samuel, 2015); dan sebagainya.

Dalam pendekatan permintaan impor secara disagregat, kebijakan impor baik berupa tarif impor maupun non tarif lebih jarang diulas dibandingkan dengan pendekatan permintaan impor agregat. Santos-Paulino (2002) dan Santos-Paulino dan Thirlwall (2004) menganalisis dampak penurunan tarif dan hambatan non tarif terhadap impor dari 22 negara berkembang dan menemukan bahwa tarif impor akan menurunkan pertumbuhan impor, tetapi dampaknya beragam bergantung

(41)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31 pada region dan jenis rezim kebijakan perdagangan yang ada ada pada suatu negara. Penurunan distorsi kebijakan perdagangan juga memiliki dampak yang kuat dan positif terhadap peningkatan impor. Kemudian, elastisitas pendapatan dan harga akan meningkat sebagai hasil dari reformasi kebijakan perdagangan. Penurunan tarif input akan mendorong importir untuk meningkatkan volume impor bahan baku/penolong dan barang modal, memperluas produk dan negara pemasok, mengakses ke negara yang lebih maju, dan mengimpor bahan baku/penolong yang lebih mahal (Ge, Lai, & Zhu, 2011).

Di Indonesia, beberapa penelitian telah menitikberatkan pembahasan pada permintaan impor secara disagregat dan berdasarkan kategori ekonomi barang, khususnya untuk bahan baku/ penolong. Studi Waluyo (2004), yang mengestimasi permintaan bahan baku di sektor industri di Indonesia selama periode 1981-2000, menyimpulkan bahwa investasi luar negeri, investasi domestik, dan cadangan devisa luar negeri berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan bahan baku di sektor industri sedangkan nilai tukar rupiah terhadap USD dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong. Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan impor bahan baku sektor industri Indonesia (Waluyo, 2004). Hasil kajian tersebut diperkuat oleh studi Azis (2009) yang menyimpulkan bahwa investasi pemerintah dan investasi swasta berpengaruh terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong dan Suswati (2012) yang berpendapat bahwa suku bunga riil bepengaruh negatif dan signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap impor bahan baku dan penolong. Inflasi juga dapat berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap impor

(42)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32 bahan baku dan penolong secara langsung sedangkan secara tidak langsung inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap total impor dan bahan baku dan penolong (Suswati, 2012). Puslitbang Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan (2007) dan Arianti (2014) menganalisis mengenai ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor dari sisi output, nilai tambah, dan pendapatan dan berpendapat bahwa ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor masih cukup besar karena elastisitas bahan baku impor lebih tinggi dibandingkan bahan baku domestik untuk beberapa sektor seperti alas kaki; kimia, elektronik serta kendaraan bermotor dan komponen kendaraan bermotor. Kelangkaan input suplai, masalah ketenagakerjaan dan sumber daya manusia serta teknologi pengolahan juga diduga ikut mempengaruhi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Selain itu persoalan infrastruktur, utilitas (listrik, gas dan air) serta masalah permodalan (bank dan non bank) juga diduga ikut menjadi faktor pendukung kurang bersaingnya input domestik dibandingkan input impor. Puska Daglu (2013) juga telah menganalisis substitusi impor pada industri pengolahan (manufaktur) tertentu yang memiliki tingkat impor dan substitusi impor yang besar dalam industri pengolahan dan perubahan yang terjadi pada impor sebagai bahan baku penolong. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan sebanyak 73 industri yang memiliki rasio ketergantungan impor bahan baku/penolong yang sangat tinggi dan 110 industri memiliki rasio impor bahan baku/penolong yang tinggi. Perilaku industri yang tingkat impornya tinggi tidak hanya mengalami substitusi impor tetapi juga tidak mengalami substitusi impor. Demikian pula, untuk industri yang mengalami substitusi impor tidak hanya indutsri dengan tingkat impor tinggi tetapi juga pada industri dengan tingkat impor rendah.

(43)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33

2.5.2. Kajian Peranan Kebijakan Impor terhadap Total Faktor Produktivitas (TFP)

Kinerja suatu industri manufaktur lazimnya diukur melalui tingkat produktivitas industri atau total faktor produktivitas (TFP). Berbagai studi terlebih dahulu telah membahas mengenai TFP sektor industri manufaktur dan mentautkannya dengan kebijakan tarif impor barang jadi (output). Trefler (2004) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor industri Kanada dan Amerika Serikat dapat meningkat secara tajam akibat adanya dampak persaingan impor yang disebabkan pemotongan tarif yang tinggi. Pavcnik (2002) menunjukkan bahwa industri yang bersaing dengan impor di Chili menikmati peningkatan produktivitas yang lebih tinggi yang disebabkan oleh liberalisasi perdagangan. Beberapa penelitian lainnya yang mempelajari tarif barang jadi dan produktivitas termasuk Topalova (2004), Head dan Ries (1999), Krishna dan Mitra (1998), Gatson dan Trefler (1997), Tybout dan Westbrook (1995), Harrison (1994), Levinsohn (1993), dan Tybout, de Melo dan Corbo (1991).

Beberapa studi sebelumnya yang menganalisis penurunan tarif bahan baku/penolong atau barang input. Corden (1971) berpendapat bahwa penurunan tarif bahan baku/penolong akan meningkatkan proteksi efektif, menurunkan persaingan impor dan sebagai hasilnya akan menurunkan produktivitas. Berlawanan dengan itu, Ethier (1982), Markusen (1989) dan Grossman dan Helpman (1991) justru memperlihatkan bahwa perusahaan dapat merasakan peningkatan produktivitas dengan adanya penurunan tarif impor barang input karena dapat mengakses berbagai macam bahan baku/penolong dan kemungkinan mendapatkan input dengan kualitas yang lebih tinggi. Studi Schor (2004) di Brazil

Gambar

Gambar  2.2.  Dampak-dampak  Keseimbangan  Umum  dari  Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil
Gambar 2.3.  Dampak  Pemberlakuan Tarif Berdasarkan  Keseimbangan Parsial
Gambar 2.4 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap  kesejahteraan  Sumber: Wall (1999) P KuantitaPQS0A B C D S D QS1QD1QD0Harga
Gambar 2.5 Kerangka Pikir Kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Formation Micro Image (FMI) untuk mengetahui struktur dan sedimen dari formasi.. Prinsip kerja log

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Retha Maya Masitta, menyatakan bahwa skripsi dengan judul PROBLEMATIKA AKUNTANSI HERITAGE ASSETS: PENGAKUAN, PENILAIAN DAN

Dalam data dua puluh lima ditemukan serpihan kata kategori numeralia yaitu “sapek ceng” muncul dalam percakapan dua orang siswa beretnis Tionghoa Kata tersebut

Dapat menjawab pertanyaan dari guru maupun kelompok lain Tanggung jawab Menjawab pertanyaan dari guru maupun kelompok lain dengan tepat Menjawab pertanyaan guru

Barangkali di sini saya sebagai saksi hanya ingin juga mempertegas apa yang telah disampaikan oleh Bapak Asisten I Sekretaris Daerah Kabupaten Buru bahwa

Di antara berbagai teori yang menjelaskan sebab- sebab timbulnya kepemimpinan terdapat tiga teori yang menonjol, yaitu

Dari masing-masing kelompok tersebut, bila ada, dipilih siswa yang sering (banyak) dapat menyelesaikan tugas dengan baik (++), yaitu siswa yang dapat membuat soal

Ketiga, upaya hukum yang dilakukan oleh PPATK dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang adalah sesuai dengan apa yang terdapat pada tugas dan wewenang PPATK di