• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN LAPORAN HASIL KAJIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN LAPORAN HASIL KAJIAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN

LAPORAN HASIL KAJIAN

KAJIAN KARAKTERISTIK JENIS-JENIS BATU PENYUSUN

CANDI BOROBUDUR

Oleh:

Leliek Agung Haldoko, S.T.

Roni Muhammad, S.T

Al. Widyo Purwoko

BALAI KONSERVASI BOROBUDUR

Jalan Badrawati, Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367 Borobudur,

Magelang - Jawa Tengah

(2)

LAPORAN KAJIAN

KAJIAN KARAKTERISTIK JENIS-JENIS BATU PENYUSUN CANDI BOROBUDUR

Tim Pelaksana :

Ketua : Leliek Agung Haldoko, S.T. / 19850925 201101 1 008 Anggota : Roni Muhammad, S.T. / 19750925 200912 1 001

Al. Widyo Purwoko / 19791115 200701 1 003

Jangka Waktu Pelaksanaan : 6 Bulan

Sumber Anggaran : DIPA Balai Konservasi Borobudur Tahun 2013

Borobudur, Desember 2013 Menyetujui

Kepala BK Borobudur Ketua Kajian

Drs. Marsis Sutopo, M.Si. Leliek Agung Haldoko, S.T. NIP. 19591119 199103 1 001 NIP. 19850925 201101 1 008

(3)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan kurunianya kami dapat menyelesaikan laporan kajian Karakteristik Jenis-Jenis Batu Penyusun Candi Borobudur. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan kajian ini dari pembuatan proposal, penelitian di laboratorium, konsultasi narasumber, sampai pada penyusunan laporan. Laporan kajian ini juga telah diseminarkan dalam acara Diskusi Hasil Kajian di Hotel UNY, Yogyakarta. Dalam acara tersebut banyak saran serta masukan yang selanjutnya kami gunakan untuk menyempurnakan laporan kajian ini.

Ucapan terima kasih kami haturkan kepada :

1. Kepala Balai Konservasi Borobudur, yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan kajian ini.

2. Kepala Seksi Layanan Konservasi Balai Konservasi Borobudur, yang telah memberikan pengarahan untuk kajian ini.

3. Agus Hendratno, S.T, M.T., dosen Jurusan Teknik Geologi UGM, selaku narasumber dalam pelaksanaan kajian ini.

4. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan kajian yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu

Demikian laporan kajian ini kami susun. Semoga laporan kajian ini dapat memberikan manfaat untuk pelestarian Cagar Budaya khususnya untuk mengetahui karakteristik batu penyusun Candi Borobudur. Jika masih terdapat kekurangan kami mohon saran dan masukannya untuk kami gunakan sebagai bahan perbaikan.

Borobudur, Desember 2013

(4)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR TABEL ... vi ABSTRAK ... vii BAB I. PENDAHULUAN ... 1 A. Dasar Hukum ... 1 B. Latar Belakang ... 1

C. Maksud dan Tujuan ... 3

D. Ruang Lingkup ...4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Batuan Beku ... 5

B. Andesit ... 7

C. Pelapukan Batuan ... 5

BAB III. METODE PENELITIAN ... 13

A. Alat dan Bahan ... 13

B. Cara Kerja Penelitian ... 15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

A. Kondisi Batuan di Lapangan ... 18

B. Sifat Fisik Batuan ... 20

C. Komposisi Kimia Batuan... ..21

D. Mineralogi Batuan ... 22

E. Karakteristik Batu Candi Borobudur dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Lumut ... 23

F. Karakteristik Batu Candi Borobudur dan Hubungannya dengan Endapan Garam pada Permukaan Batu ... 26

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 31

A. Kesimpulan ... 31

B. Rekomendasi ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(5)

Gambar 4.1. Andesit abu-abu ... . 18

Gambar 4.2. Andesit abu-abu kecokelatan ... 18

Gambar 4.3. Andesit abu-abu kehitaman ... 18

Gambar 4.4. Andesit kemerahan ...18

Gambar 4.5. Andesit hitam ... 19

Gambar 4.6. Blok batu yang ditumbuhi lumut ...19

Gambar 4.7. Relief pada batu yang ditumbuhi lumut ...19

Gambar 4.8. Penggaraman pada batu Candi Borobudur ………...20

Gambar 4.9. Blok batu yang ditumbuhi lumut dan yang tidak ... 23

Gambar 4.10. Relief pada batu yang ditumbuhi lumut dan yang tidak ... 23

Gambar 4.11. Analisis XRD sampel batu yang ditumbuhi lumut ... 25

Gambar 4.12. Relief pada batu yang mengalami penggaraman dan yang tidak ...27

(6)

Tabel 2.1. Jenis batuan beku berdasarkan kandungan silika ………... 7

Tabel 2.2. Komposisi Kimia Andesit (Travis dalam Muryowiharjo, 2005) ... 8

Tabel 4.1. Sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur ...20

Tabel 4.2. Komposisi kimia batu penyusun Candi Borobudur ... 21

Tabel 4.3. Sifat fisik batu candi yang ditumbuhi lumut ... 24

Tabel 4.4. Komposisi kimia batu candi yang ditumbuhi lumut ... 24

Tabel 4.5. Sifat fisik batu candi yang mengalami penggaraman ... 27

Tabel 4.6. Komposisi kimia batu candi yang mengalami penggaraman ... 28

Tabel 4.7. Hasil analisis endapan garam pada permukaan batu Candi Borobudur (Septiningrum, 2007) ... 29

(7)

Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia. Candi Borobudur tersusun oleh andesit karena kelimpahannya yang banyak, mengingat gunung api di Pulau Jawa kebanyakan mengandung magma intermediet dan membeku ketika mencapai puncak sehingga menghasilkan batuan beku jenis andesit.

Meskipun secara umum penyusun Candi Borobudur merupakan batu yang sejenis (andesit), namun jika dibedakan secara spesifik batu-batu penyusun tersebut memiliki karakteristik yang berbeda sehingga memiliki tingkat kerusakan dan pelapukan yang berbeda. Kerusakan dan pelapukan ini banyak sekali macamnya, yang tentunya disebabkan oleh faktor penyebab yang berbeda-beda pula. Karena itu, perlu diketahui karakteristik batu Candi Borobudur berdasarkan parameter-parameter yang ada.

Penentuan karakteristik batu Candi Borobudur didasarkan pada parameter sifat fisik, komposisi kimia dan mineralogi batuan. Batu candi yang berwarna gelap memiliki memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan batu candi yang berwarna cerah karena kandungan kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi. Selain itu batu candi yang berwarna gelap mampu menyerap panas yang lebih besar dibandingkan dengan batu candi yang berwarna cerah.

Batu candi yang ditumbuhi lumut memiliki densitas yang lebih kecil dan porositas yang lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak ditumbuhi lumut. Kandungan silika pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut. Hal ini dikarenakan proses pelapukan yang terjadi menyebabkan berkurangnya kadar silika pada batu. Selain itu, kandungan kalium pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut karena kalium merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan lumut.

Batu candi yang mengalami penggaraman memiliki densitas yang lebih kecil dan porositas yang lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak mengalami penggaraman. Kandungan silika pada batu candi yang mengalami penggaraman lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak mengalami penggaraman. Hal ini dikarenakan oleh proses penggaraman yang salah satunya melarutkan silika dan kemudian mengendapkannya di permukaan batu.

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Dasar

Dasar hukum yang digunakan dalam melakukan Kajian Karakteristik Jenis-Jenis Batu Penyusun Candi Borobudur adalah :

1. Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Borobudur.

4. DIPA Balai Konservasi Borobudur Tahun 2013

B. Latar Belakang

Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia. Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra dan merupakan tempat pemujaan bagi pemeluk agama Budha. Lokasi Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Secara astronomis Candi Borobudur terletak pada 7,7olintang selatam dan 110obujur timur.

Pada tahun 1814 saat Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro daerah Magelang. Karena minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa, maka Raffles segera memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

Cornelius dibantu oleh sekitar 200 pria menebang pepohonan dan menyingkirkan semak belukar yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena mempertimbangkan bangunan yang sudah rapuh dan bisa runtuh, maka Cornelius melaporkan kepada Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa gambar. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi sudah berhasil digali.

Pada tahun 1907-1911 T. Van Erp memulai restorasi terhadap Candi Borobudur. T. Van Erp memulai pekerjaan dengan melakukan restorasi terhadap pagar-pagar langkan, dinding lorong pertama, saluran-saluran air di lereng bukit, tangga-tangga bagian bawah,

(9)

1983, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNESCO melakukan restorasi besar-besaran terhadap Candi Borobudur, dengan harapan dapat bertahan selama 1000 tahun (Soekmono, 1972).

Candi Borobudur tersusun oleh andesit yang memiliki porositas tinggi. Karena porositas tinggi inilah, andesit penyusun Candi Borobudur memiliki kuat tekan yang tergolong rendah jika dibandingkan dengan batuan sejenis.

Andesit dipilih karena kelimpahannya yang banyak, mengingat gunung api di pulau Jawa kebanyakan mengandung magma intermediet dan membeku ketika mencapai puncak sehingga menghasilkan batuan beku jenis andesit. Andesit termasuk dalam batuan beku

intermediet dengan kandungan silika 52-66 %, memiliki tekstur porfiroafanitik yaitu fenokris

(butiran kristal) dikelilingi oleh massa dasar yang afanitik (halus), dengan komposisi mineral utama plagioklas, mineral aksesori hornblende, biotit, piroksen dan massa dasar dapat berupa mineral felsic (asam, warna cerah) atau mineral mafic (basa, warna gelap). Sedangkan batu candi dipilih yang memiliki porositas tinggi, karena dengan porositas yang tinggi maka batuan akan lebih mudah dibentuk karena tidak mudah hancur ketika dipahat. Tetapi porositas yang tinggi pada batuan penyusun candi juga memunculkan masalah, karena daya serap terhadap air juga akan semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kekedapan konstruksi candi menjadi terganggu.

Meskipun secara umum penyusun Candi Borobudur merupakan batu yang sejenis (andesit), namun jika dibedakan secara spesifik batu-batu penyusun tersebut memiliki karakteristik yang berbeda sehingga memiliki tingkat kerusakan dan pelapukan yang berbeda. Kerusakan dan pelapukan ini banyak sekali macamnya, yang tentunya disebabkan oleh faktor penyebab yang berbeda-beda pula. Karena itu, perlu diketahui karakteristik yang spesifik untuk tiap-tiap batu berdasarkan parameter-parameter yang ada. Proses kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada batu penyusun Candi Borobudur dapat dikelompokkan dalam 4 macam yaitu :

1. Kerusakan mekanis

Kerusakan material batuan yang disebabkan oleh gaya-gaya mekanis, seperti pembebanan dan getaran

2. Pelapukan fisik

Pelapukan material batuan yang disebabkan oleh adanya faktor fisik seperti suhu, kelembaban, angin, air hujan, penguapan dan akan menghasilkan gejala-gejala seperti pengelupasan dan aus

3. Pelapukan kimia

Pelapukan yang terjadi pada material batuan sebagai akibat dari proses atau reaksi kimiawi seperti penggaraman dan korosi

(10)

Pelapukan pada material yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme seperti pertumbuhan lumut, alga dan lichen

Beberapa penelitian tentang batu penyusun Candi Borobudur pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Leisen dkk (2012) menerangkan bahwa pola dan tingkat pelapukan pada setiap individu blok batu sangat tergantung pada varietas batunya. Ada perbedaan yang signifikan untuk pelapukan bagi varietas batu yang berbeda. Selain itu penelitian mengenai karakteristik material di situs dan di laboratorium menunjukkan karakteristik fisik seperti penyerapan air sangat berbeda untuk tiap varietas batu yang berbeda.

Meucci (2007) melakukan penelitian mengenai degradasi batuan Candi Borobudur dengan analisis petrografi, XRD, dan SEM. Pada penelitian tersebut banyak dijelaskan mengenai tekstur dan komposisi batuan.

Ariyanto (1993) menjelaskan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya pengelupasan, terutama pada dinding candi Borobudur akibar dari adanya pemuaian dan pengkerutan yang berbeda antara mineral-mineral pembentuk batuan dengan endapan garam.

C. Maksud dan Tujuan

Maksud dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi secara lebih spesifik batu penyusun Candi Borobudur. Sedangkan tujuan dari kajian ini adalah adalah penentuan karakteristik batu penyusun Candi Borobudur dengan parameter-parameter :

1. Sifat fisik batuan a. Warna b. Densitas c. Berat jenis d. Porositas

e. Daya serap batu terhadap air f. Kekerasan

g. Temperatur batu 2. Komposisi kimia batuan 3. Mineralogi batuan

Selain itu juga dilakukan identifikasi mengenai karakteristik pelapukan yang terjadi pada batu candi tersebut seperti pertumbuhan lumut dan munculnya endapan garam pada permukaan batu.

(11)

D. Ruang lingkup

Ruang lingkup dari kajian ini adalah penentuan karakteristik batu penyusun Candi Borobudur dari aspek sifat fisik batuan, komposisi kimia batuan, dan mineralogi batuan serta hubungannya dengan pelapukan yang terjadi seperti pertumbuhan lumut dan munculnya endapan garam di permukaan batu.

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Batuan Beku

Pada umumnya batuan beku non fragmental berupa batuan beku intrusif ataupun aliran lava yang tersusun atas kristal-kristal mineral. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam deskripsi adalah :

1. Warna Batuan

Warna batuan beku berkaitan erat dengan komposisi mineral penyusunnya. Mineral penyusun batuan tersebut sangat dipengaruhi oleh komposisi magma asalnya, sehingga dari warna dapat diketahui jenis magma pembentuknya, kecuali untuk batuan yang mempunyai tekstur gelasan.

a. Batuan beku yang berwarna cerah umumnya adalah batuan beku asam yang tersusun atas mineral-mineral felsik misalnya kuarsa, potas feldspar, muskovit. b. Batuan beku yang berwarna gelap sampai hitamnya umumnya adalah batuan beku

intermediet dimana jumlah mineral felsik dan mafiknya hampir sama banyak.

c. Batuan beku yang berwarna hitam kehijauan umumnya adalah batuan beku basa dengan mineral penyusun dominan adalah mineral-mineral mafik.

d. Batuan beku yang berwarna hijau kelam dan biasanya monomineralik disebut batuan beku ultrabasa dengan komposisi hampir seluruhnya mineral mafik.

2. Struktur Batuan

Struktur adalah penampakan hubungan antar bagian-bagian batuan yang berbeda. Pengertian struktur pada batuan beku biasanya mengacu pada pengamatan dalam skala besar atau singkapan di lapangan. Pada bekuan beku, struktur yang sering ditemukan adalah :

a. Masif : Bila batuan pejal, tanpa retakan ataupun lubang-lubang gas.

b. Jointing : Bila batuan tampak mempunyai retakan-retakan. Penampakan ini akan mudah diamati pada singkapan di lapangan.

c. Vesikuler : Dicirikan dengan adanya lubang-lubang gas. Struktur ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu :

Skoriaan, bila lubang-lubang gas tidak saling berhubungan.Pumisan, bila lubang-lubang gas saling berhubungan.

Aliran, bila ada penampakan aliran dari kristal-kristal maupun lubang-lubang

gas.

(13)

3. Tekstur Batuan

Pengertian tekstur dalam batuan beku mengacu pada penampakan butir-butir mineral di dalamnya, yang meliputi tingkat kristalisasi, ukuran butir, bentuk butir, granularitas dan hubungan antar butir (fabric). Jika warna batuan berkaitan erat dengan komposisi kimia dan mineralogi, maka tekstur berhubungan dengan sejarah pembentukan dan keterdapatannya.

Equigranular

Disebut equigranular apabila memiliki ukuran butir yang seragam. Tekstur equigranular dibagi lagi menjadi:

a) Fanerik granular. Bila mineral kristal mineral dapat dibedakan dengan mata telanjang dan berukuran seragam. Contoh : granit, gabbro.

b) Afanitik. Apabila kristal mineral sangat halus sehingga tidak dapat dibedakkan dengan mata telanjang. Contoh : basalt.

Inequigranular

Disebut inequigranular bila ukuran krisral pembentuknya tidak seragam. Tekstur ini dibagi menjadi:

a) Faneroporfiritik. Bila kristal mineral yang besar (fenokris) dikelilingi kristal mineral yang lebih kecil (massa dasar) dan dapat dikenali dengan mata telanjang. Contoh : diorit porfir.

b) Porfiroafanitik. Bila fenokris dikelilingi oleh masa dasar yang afanitik. Contoh : andesit porfir.

 Gelasan (glassy)

Batuan beku dikatakan memiliki tekstur gelasan apabila semuanya tersusun atas gelas.

Antara fenokris dan massa dasar terdapat perbedaan ukuran butir yang menyolok.

 Fenokris : Mineral yang ukuran butirnya jauh lebih besar dari mineral lainnya.Biasanya merupakan mineral sulung, dengan bentuk subhedral hingga euhedral.

 Massa dasar : Mineral-mineral kecil yang berada di sekitar fenokris. 4. Komposisi Mineral

Berdasarkan mineral penyusunnya batuan beku dapat dibedakan menjadi empat, yaitu : a. Kelompok Granit – Rhyolit

Berasal dari magma yang bersifat asam, tersusun oleh mineral kuarsa, ortoklas, plagioklas Na, terkadang terdapat hornblende, biotit, muskovit dalam jumlah kecil. b. Kelompok Diorit – Andesit

Berasal dari magma yang bersifat intermediet, terusun oleh mineral plagiokklas, hornblende, piroksen, dan kuarsa biotit, ortoklas dalam jumlah kecil.

(14)

c. Kelompok Gabbro – Basalt

Tersusun dari magma basa dan terdiri dari mineral-mineral olivin, plagioklas Ca, piroksen dan hornblende.

d. Kelompok Ultra Basa

Terutama tersusun oleh olivin, dan piroksen. Minera lain yang mungkin adalah plagioklas Ca dalam jumlah sangat kecil.

5. Identifikasi Mineral

Identifikasi mineral merupakan salah satu bagian terpenting dari deskripsi batuan beku karena identifikaasi tersebut dapat diungkap berbagai hal seperti kondisi temperatur, tempat pembentukan, sifat magma asal dan lain-lain.

Di dalam batuan beku dikenal status mineral dalam batuan, yaitu:

a. Mineral Primer, merupakan hasil pertama dari proses pembentukan batuan beku. Mineral utama terdiri dari :

 Mineral utama ( essential minerals) : mineral yang jumlahnya cukup banyak (>10%). Mineral ini sangat penting untuk dikenali karena menentukan nama batuan.

 Mineral tambahan (accesory minerals) : Mineral yang jumlahnya sedikit (<10%) dan tidak menentukan nama batuan.

b. Mineral sekunder, merupakan mineral hasil perubahan (altersi) dari mineral primer. 6. Pembagian Berdasar Komposisi Kimia

Tabel 2.1. Jenis batuan beku berdasarkan kandungan silika

Nama Batuan Kandungan Silika

Batuan Beku Asam > 66% Batuan Beku Intermediet 52 – 66% Batuan Beku Basa 45 – 52% Batuan Beku Ultra Basa < 45%

B. Andesit

Andesit termasuk jenis batuan beku kategori menengah sebagai hasil bentukan lelehan magma diorit. Nama andesit sendiri diambil berdasarkan tempat ditemukan, yaitu di daerah Pegunungan Andes, Amerika Selatan. Peranan bahan galian ini penting sekali di sektor konstruksi, terutama dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, gedung, jembatan, saluran air/irigasi dan lainnya. Dalam pemanfaatannya dapat berbentuk batu belah, split dan abu batu. Sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia membutuhkan bahan galian ini yang terus setiap tahun.

(15)

Jenis magma diorit merupakan salah satu magma terpenting dalam golongan kapur alkali sebagai sumber terbentuknya andesit. Lelehan magma tersebut merupakan kumpulan mineral silikat yang kemudian menghablur akibat pendinginan magma pada temperatur antara 1500 – 2500oC membentuk andesit berkomposisi mineral felspar plagioklas jenis

kalium felspar natrium plagioklas, kuarsa, felspatoid serta mineral tambahan berupa hornblenda, biotit dan piroksen.

Mineral yang ada dalam andesit ini berupa kalium felspar dengan jumlah kurang 10% dari kandungan felspar total, natrium plagioklas, kuarsa kurang dari 10%, felspatoid kurang dari 10%, hornblenda, biotit dan piroksen. Penamaan andesit berdasarkan kepada kandungan mineral tambahannya yaitu andesit hornblenda, andesit biotit dan andesit piroksen. Komposisi kimia dalam batuan andesit terdiri dari unsur-unsur, silikat, alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium, titanium, mangan, fosfor dan air. Komposisi kimia andesit dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2. Komposisi Kimia Andesit (Travis dalam Muryowiharjo, 2005) Senyawa Komposisi (%) SiO2 58,2 Al2O3 17,0 Fe2O3 3,2 FeO 3,7 CaO 6,3 MgO 3,5 Na2O 3,5 K2O 2,1 C. Pelapukan Batuan

Pelapukan merupakan perubahan fisika maupun kimia dari suatu batuan atau mineral yang terekspose di dekat permukaan bumi (Price dan Burton, 2011). Menurut pengertian lain pelapukan adalah proses berubahnya batuan menjadi tanah (soil) baik oleh proses fisik atau mekanik (disintegrasi) maupun oleh proses kimia (dekomposisi). Proses dekomposisi dapat menyebabkan terjadinnya mineral-mineral baru. Pelapukan merupakan salah satu proses yang mempercepat denudasi. Batuan, baik batuan beku, sedimen maupun metamorf yang tersingkap diatas permukaan, bersentuhan dengan atmosfir, hidrosfir dan biosfir akan mengalami proses pelapukan. Batuan akan terubah secara fisik dan atau secara kimiawi. Di alam, kedua proses ini sulit dibedakan, karena berlangsung secara bersamaan. Namun secara teoritis kedua proses ini dapat dibedakan. Proses

(16)

pelapukan inilah salah satu proses yang mengubah permukaan bumi setiap saat meskipun perubahannya tidak tampak dengan segera dan faktor waktu sangat berpengaruh dalam proses ini.

Pada pelapukan terjadi 2 proses yakni desintegrasi dan dekomposisi. Proses desintegrasi merupakan suatu proses yang mana hasil lapukan akan berbeda secara fisik dengan batuan asalnya. Hasil proses desintegrasi berupa lapukan yang berukuran lebih kecil dibandingkan bantuan asal, sehingga menambah luas permukaan dan mempercepat pelapukan kimia yang dapat terjadi setelahnya. Sedangkan dekomposisi adalah perubahan kimia pada batuan yang lapuk.

Pada pelapukan fisika terjadi desintegrasi akibat pembekuan, pencairan, pemanasan dan pendinginan, pembasahan dan pengeringan serta aktivitas organisme (Notohadiprawiro dan Suparnowo, 1978). Pada proses pelapukan ini hanya terjadi perubahan fisik saja tidak disertai perubahan kimia. Sehingga komposisi kimianya tetap yang berubah hanya sifat fisiknya saja. Dari yang semula yang merupakan batuan besar serta masif, hancur menjadi bentuk-bentuk lebih kecil, yang terjadi hanya disintegrasi saja. Perubahan fisik batuan ini dapat diakibatkan oleh beberapa cara.

1. Rekahan-rekahan (sheeting joint)

Perubahan secara fisik atau terurainnya batuan yang semula masif dapat terjadi akibat hilangnya tekanan dari beban lapisan diatasnya yang semula menimbunnya. Akibat lapisan penimbunan tererosi, maka beban yang menekan batuan akan hilang. Dengan hilangnya beban, maka batuan seolah-olah mendapat tekanan dari dalam, yang menjadikan rekahan-rekahan yang sejajar dengan permukaan. Kenampakannya seperti perlapisan, dan dinamakan kekar berlembar atau sheeting joint. Pengaruh hilangnya beban ini tidak terlalu tebal, pada umumnya tidak melebihi dari 50 meter, karena beban ini cukup berat sehingga kekar tidak berkembang lebih lanjut.

2. Tekanan Es (frost wedging)

Pada suhu yang sangat rendah, melebihi titik beku, air akan membeku menjadi es. Air yang membeku mempunyai volume yang lebih besar sekitar 9 persen. Tekanan dari membesarnya volume ini dapat menghancurkan batuan. Pembekuan air yang terdapat didalam pori-pori dan rekahan batuan menekan dinding disekitarnya, dan dapat menghancurkan batuan. Pelapukan ini umumya terjadi didaerah pegunungan tinggi, atau daerah bermusim dingin. Penekanan dari pertambahan volume ini paling efektif pada suhu antara -5oC sampai -15oC.

3. Pertumbuhan Kristal

Air tanah yang mengalir perlahan melalui rekahan-rekahan batuan dibawah permukaan mengandung ion-ion yang dapat mengendap sebagai garam dan terpisah dari

(17)

antara butir pada batuan, sehingga batuan tersebut dapat terdisintegrasi atau hancur. Gejala semacam ini sering terlihat didaerah gurun, dimana air tanah naik dan menguap dengan cepat.

4. Pengaruh Suhu (thermal)

Bila suatu bahan yang dipanaskan akan memuai dan mengkerut kembali apabila dingin. Perbedaan suhu antara siang hari dan malam hari dapat menghancurkan batuan. Pada siang hari batuan mengalami panas, maka mineral-mineralnya akan memuai, dengan daya muaianya masing-masing yang tidak sama. Pada malam hari suhu turun dan mineral mengkerut kembali, sehingga ikatan antara butir atau mineral melemah dan lama-kelamaan terlepas. Bila tidak ada lagi ikatan antara mineral dalam batuan, maka hancurlah batuannya. Akan tetapi pada percobaan di laboratorium terhadap batuan di permukaan, perbedaan suhu antara siang dan malam tidak berpengaruh terhadap batuan. Sehingga faktor waktu dan perubahan suhu yang ekstrim secara periodiklah yang berperan.

Pelapukan kimia adalah pelapukan pada batuan yang terjadi akibat pengaruh atmosfer, hidrosfer, dan agen biologi yang menyebabkan terbentuknya mineral baru dalam kondisi yang lebih stabil (Price & Burton,2011). Pengertian yang lain dari pelapukan kimia atau dekomposisi kimia adalah penghancuran batuan oleh pengubahan kimia terhadap mineral-mineral pembentuknya yang melibatkan beberapa reaksi penting antara unsur-unsur di atmosfir dan mineral-mineral pada kerak bumi. Dalam proses-proses ini, struktur dalam mineral semula terurai dan terbentuk mineral-mineral baru, dengan struktur kristal baru yang stabil diatas permukaan bumi. Reaksi-reaksi yang demikian menyebabkan terjadinya perubahan besar terhadap komposisi kimia dan sifat fisik batuan, sehingga dapat dikatakan proses dekomposisi. Misalnya mineral-mineral yang terdapat dalam batuan beku dan metamorf terbentuk pada kondisi suhu dan tekanan tinggi. Bila sampai di permukaan bumi, baik suhu maupun tekanannya jauh lebih rendah dari kondisi saat pembentukan. Untuk mencapai keseimbangan mineral tersebut terurai dan komponen komponennya membentuk mineral baru yang lebih stabil pada lingkungan atmosfir.

Mineral-mineral yang terbentuk pada awal pendinginan magma, pada suhu dan tekanan tinggi seperti olivin dan kelompok feldspar akan lebih mudah mengalami pelapukan dipermukaan, karena kondisinya jauh dibawah saat pembentukannya. Sedangkan mineral yang terbentuk paling akhir yaitu kuarsa, akan lebih tahan terhadap pelapukan karena kondisi pembentukannya hampir mirip dengan permukaan.

Air mempunyai peran utama dalam pelapukan kimiawi, sebagai medium yang mentrasport unsur-unsur yang ada di atmosfir langsung ke mineral-mineral pada batuan dimana reaksi dapat berlangsung. Air juga memindahkan hasil pelapukan sehingga

(18)

teringkap sebagai batuan segar. Kecepan dan derajat pelapukan kimia sangat dipengaruhi oleh banyaknya hujan.

Beberapa proses yang berbeda dapat terjadi pada pelapukan kimia. Proses yang paling umum terjadi adalah oksidasi, reduksi, hidrasi, hidrolisis dan karbonasi (Rapp, 2009). Menurut sumber tersebut, karbonasi merupakan reaksi antara karbonat dan ion bikarbonat dengan mineral.

Oksidasi merupakan penambahan oksigen dan pelepasan ion hidrogen sehingga hilang suatu ion negatif. Proses ini menyebabkan hilangnya satu atau lebih elektron dari suatu mineral, sehingga mineral yang telah ada sebelumnya menjadi tidak stabil. Proses ini dapat menyebabkan struktur mineral terurai. Proses reduksi berkebalikan dari proses oksidasi. Misalnya akibat kekurangan oksigen mengubah Fe 3+ menjadi Fe 2+ sehingga

mudah larut.

Sedangkan hidrasi merupakan penambahan air atau penggabungan molekul air dengan mineral atau senyawa-senyawa kimia. Proses ini sering terjadi pada permulaan pelapukan. Proses desintegrasi menjadi lebih lancar karena mineral bertambah lunak. Proses pelapukan kimia yang paling sering terjadi pada daerah tropis selain hidrasi adalah hidrolisis. Hidrolisis adalah reaksi pelapukan yang terjadi pada permukaan mineral yang bereaksi dengan air,sehingga akan terjadi dekomposisi batuan dengan pembentukan mineral-mineral baru. Loughnan (1969) menjelaskan mekanisme yang terjadi, yakni : jumlah muatan negatif dan positif di dalam kristal adalah sama, tetapi pada permukaan kristal terdapat valensi tidak penuh yang dapat berkontak dengan air sehingga air akan tertarik menuju permukaan kristal. Selanjutnya air akan terdisosiasi akibat daya tarik tersebut menjadi ion H dan OH-. Ion hidroksil akan berikatan dengan oksigen sedangkan ion lainnya

akan mengikat kation. pH larutan naik karena ion H mengganti kation dipermukaan mineral. Proses pelapukan sesuai dengan prinsip kesetimbangan kimia. Reaksi hidrolisis dan hidrasi dapat mengubah anortit dan albit menjadi montmorilonit atau kaolinit. Sedangkan karbonasi adalah pelapukan yang melibatkan kontak antara batuan dengan karbon dioksida dan air.

Pelapukan feldspar merupakan contoh yang bagus untuk pelapukan kimia. Ketika feldspar melapuk, terjadi kehilangan potasium, kalsium dan sodium, menghasilkan mineral baru yakni mineral lempung. Beberapa candi yang berada di dekat gunung berapi sempat terkubur oleh endapan material piroklastik. Ketika terkubur,candi berada dalam kondisi baru yang lebih stabil. Ketika candi tersebut ditemukan dan dieskavasi, candi tersebut akan kembali terekspos terhadap kondisi luar yang terpengaruh oleh proses-proses kimia, fisika dan biologis. Perubahan kondisi yang cepat dapat menyebabkan kerusakan candi dengan lebih cepat. Stabilitas candi akan dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH) dan kelembaban.

(19)

Menurut Rapp (2009) rusaknya batuan pada bangunan bersejarah seperti candi dapat disebabkan oleh :

1. Disolusi kimia

2. Disintegrasi mekanis disebabkan oleh membekunya air pada pori-pori dan rekahan batuan

3. Abrasi oleh partikel yang terbawa angin 4. Eksfoliasi akibat pergantian suhu yang cepat

5. Disintegrasi yang dihasilkan oleh aktifitas mikroorganisnme 6. Pembentukan kristal di permukaan

7. Kerusakan yang dihasilkan oleh konservasi yang salah

Apabila bantuan mengandung uap air dan air tersebut membeku, maka dapat terjadi rekahan pada batuan. Namun hal ini hanya terjadi pada daerah yang suhunya dingin. Batuan dengan porositas yang besar akan lebih mudah terkena pelapukan daripada batuan kompak.

Menurut Martini dan Chesworth (1992), batuan yang tersusun atas berbagai jenis material akan lebih peka terhadap proses desintegrasi dibandingkan yang tersusun oleh mineral tunggal. Menurut Loughnan (1969) pada pelapukan terdapat 3 tahap penting, yakni : 1. Hancurnya struktur mineral asal dengan disertainya pembebasan silika dan kation-kation 2. Terpindahnya beberapa komponen batuan yang terlapukkan

3. Kontak batuan yang tersisa dengan komponen dari atmosfer seperti air, oksigen, dan karbon dioksida sehingga terbentuk mineral baru yang stabil pada kondisi stabil dengan lingkungan.

Pada pelapukan, perubahan batuan segar menjadi batuan yang lapuk terjadi dalam suatu sistem makro yang tersusun oleh sistem-sistem mikro. Pada batuan yang lapuk apabila diperhatikan akan terlihat setiap bagian-bagian kecil (microsystem) dari batuan tersebut lapuk dengan tingkatan dan cara yang berbeda-beda sehingga membentuk pelapukan secara keseluruhan (macrosystem).

Ketahanan batuan beku terhadap proses pelapukan dipengaruhi mineral penyusunnya. Mineral yang terbentuk pada suhu yang tinggi dan kondisi yang anhidrous biasanya tidak stabil terhadap kondisi atmosfer. Mineral yang paling tidak stabil adalah olivin, piroksen, dan plagioklas Ca. Hornblenda, biotit dan mineral feldspar berada pada stabilitas yang sekarang. Kuarsa, muskovit dan mineral lempung cukup stabil pada kondisi atmosfer. Hal tersebut dijelaskan dalam Bowen’s Reaction series.

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan : - Palu geologi

- Mikroskop polarisasi - Termometer infrared - AAS

- Alat XRD

2. Bahan yang digunakan : - Pensil air

- Kapas - Aquadest - pH indikator

- Bahan untuk analisis kimia - dll

B. Cara Kerja Penelitian

1. Studi Pustaka

Tahap pertama yang kali lakukan adalah studi pustaka. Hai ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang lengkap mengenai batu penyusun Candi Borobudur dan pelapukan yang terjadi. Sumber literatur yang kami pakai meliputi buku-buku tentang Candi Borobudur, maupun dari penelitian terdahulu.

2. Pengumpulan Data di Lapangan

Setelah memperoleh data sekunder yang cukup, selanjutnya adalah pengumpulan data di lapangan yang meliputi sifat fisik batuan yaitu warna, kekerasan dan daya serap batuan terhadap air. Selain itu juga dilakukan pengamatan mengenai pelapukan yang terjadi seperti munculnya endapan garam, pertumbuhan lumut dan alveol. Selanjutnya dilakukan juga pengambilan sampel untuk dianalisis di laboratorium.

(21)

3. Analisis Sampel

Sampel dari hasil pengambilan di lapangan selanjutnya dilakukan analisis di laboratorium. Analisis yang dilakukan antara lain komposisi kimia batuan, sifat fisik batuan dan mineralogi batuan.

Analisis yang akan dilakukan antara lain :

a. Analisis AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry), untuk mengetahui komposisi kimia batuan

Analisa AAS dilakukan di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA UGM. Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) atau Spektrofotometri Serapan Atom adalah salah satu jenis analisa spektrofometri dimana dasar pengukurannya adalah pengukuran serapan suatu sinar oleh suatu atom, sinar yang tidak diserap, diteruskan dan diubah menjadi sinyal listrik yang terukur. Prinsip dari spektrofotometri adalah terjadinya interaksi antara energi dan materi. Pada spektroskopi serapan atom terjadi penyerapan energi oleh atom sehingga atom mengalami transisi elektronik dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Dalam metode ini, analisa didasarkan pada pengukuran intesitas sinar yang diserap oleh atom sehingga terjadi eksitasi. Untuk dapat terjadinya proses absorbsi atom diperlukan sumber radiasi monokromatik dan alat untuk menguapkan sampel sehingga diperoleh atom dalam keadaan dasar dari unsur yang diinginkan. AAS adalah spektroskopi yang berprinsip pada serapan cahaya oleh atom. Atom–atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tersebut mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik

suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, terdapat lebih banyak energi yang akan dinaikkan dari keadaan dasar ke keadaan eksitasi dengan tingkat eksitasi yang bermacam-macam. Instrumen AAS meliputi Hollow Cathode Lamp sebagai sumber energi, flame untuk menguapkan sampel menjadi atom. Monokromator sebagai filter garis absorbansi, detektor dan amplifier sebagai pencatat pengukuran. AAS bekerja berdasar pada penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan oleh lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang mengandung energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom. Hollow Cathode Lamp sebagai sumber sinar pada AAS akan menghilangkan kelemahan yang disebabkan oleh self absorbtion yaitu kecenderungan atom-atom pada ground state untuk menyerap energi yang dipancarkan oleh atom tereksitasi ketika kembali ke keadaan ground state.

(22)

b. Analisis fisik

Analisis fisik ini dilakukan di laboratorium fisik Balai Konservasi Borobudur. Parameter-parameter yang dipakai meliputi densitas, berat jenis, porositas, daya serap air dan kekerasan. Analisis fisik ini penting untuk mengetahui sifat fisik batu terutama dalam hubungannya dengan pelapukan yang terjadi. Batu yang telah mengalami pelapukan tentunya akan mengalami penurunan kualitas dibandingkan batu yang masih segar, diantaranya adalah semakin kecilnya nilai densitas, berat jenis dan kekerasannya. Selain itu terjadinya pelapukan akan menyebabkan porositas dan daya serap batu menjadi lebih tinggi.

Dalam melakukan analisis fisik untuk parameter-parameter diatas diperlukan pengukuran berat natural, berat kering, berat jenuh dan volume total. Selanjutnya dari parameter terukur dapat dihitung volume pori dan volume padatan. Untuk menghitung densitas, berat jenis, porositas dan daya serap air menggunakan rumus berikut :  Volume pori Vv=Ws-Wd (cm3)  Volume padatan Vg=V-Vv (cm3)  Densitas J= Wd (g/ cm3) V  Berat jenis G=Wd Vg  Porositas η=Vv x 100% (%) V

 Daya serap air W= Vv x 100% (%)

Wd

Untuk parameter kekerasan batu dilakukan dengan menggoreskan skala mohs. Jika permukaan batu tergores maka kekerasannya lebih rendah sedangkan apabila permukaan batu tidak tergores maka kekerasannya lebih tinggi dari skala mohs yang dipakai.

c. Analisis XRD (X Ray Difraction)

Analisa XRD dilakukan di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA UGM. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komposisi mineral sekunder pada batu Candi Borobudur. Dasar dari prinsip pendifraksian sinar X yaitu difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi

Keterangan : Wd : Berat kering Ws : Berat jenuh V : Volume total Vv : Volume pori Vg : Volume padatan

(23)

interferensi yang konstruktif. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg :

n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2,...

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal,maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini disebut JCPDS. Prinsip kerja XRD secara umum adalah sebagai berikut : XRD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar X. Sinar X dihasilkan di tabung sinar X yang berisi katoda memanaskan filamen, sehingga menghasilkan elektron. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek sehingga dihasilkan pancaran sinar X. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar X. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar X dan mengolahnya dalam bentuk grafik.

d. Analisis petrografi

Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui tekstur, struktur dan komposisi mineral penyusun batu Candi Borobudur. Analisis ini dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi. Pengamatan dilakukan dengan 2 cara yaitu, nikol sejajar dan nikol bersilang. Perbedaan antara nikol sejajar dengan nikol bersilang yaitu pada pengamatan nikol sejajar tidak perlu menggunakan analisator. Analisator tersebut di keluarkan dari jalan cahaya yang masuk menuju lensa okuler pada tubus, atau keping analisator di putar ke arah sejajar dengan arah polarisator. Nikol bersilang sendiri merupakan pengamatan dengan menggunakan analisator, dimana keping analisator tersebut di masukan kedalam jalan cahaya menuju lensa okuler pada tubus atau keping analisator di putar tegak lurus dengan arah polarisator.

Selain pada nikol sejajar pengamatan dilakukan dengan menggunakan cahaya yang paling terang sedangkan pada nikol bersilang pengamatan dilakukan

(24)

dengan cara mencari keadaan paling gelap, agar memperoleh beberapa unsur sifat optik yang hanya bisa diamati pada mikroskop nikol bersilang.

4. Analisis dan Interpretasi Data

Dari hasil pengumpulan data dilapangan dan analisis sampel di laboratorium selanjutnya dilakukan analisis data untuk mengetahui karakteristik jenis-jenis batu penyusun Candi Borobudur. Selanjutnya juga dilakukan interpretasi data untuk menentukan hubungan antara kompisisi kimia batuan, sifat fisik batuan dan mineralogi batuan terhadap pelapukan yang terjadi pada batu penyusun Candi Borobudur, sehingga akan diketahui penyebab terjadinya pelapukan dari faktor internal batu itu sendiri.

(25)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Batuan di Lapangan

Candi Borobudur tersusun atas batu andesit. Namun jika diamati batu andesit penyusun Candi Borobudur memiliki beberapa macam karakteristik, misalnya dilihat dari segi warna, pertumbuhan lumut maupun munculnya endapan garam. Dilihat dari warna batuan kami membagi batu Candi Borobudur menjadi 5 macam warna yaitu : abu-abu, abu-abu kecokelatan, abu-abu kehitaman, kemerahan dan hitam, meskipun jika diamati lebih jauh perbedaan warna batuan terlihat secara gradasional, sehingga macam warna batu bisa sangat banyak dan relatif (subjektif). Tetapi disini kami harus mengambil batas yang tegas untuk batuan yang warnanya terlihat kontras sehingga didapatlah 5 macam warna batuan, dengan salah satu tujuannya karena akan diambil sampel untuk dianalisis baik fisik, kimia maupun mineraloginya.

Gambar 4.1. Andesit abu-abu Gambar 4.2. Andesit abu-abu kecokelatan

Gambar 4.4. Andesit kemerahan Gambar 4.3. Andesit abu-abu kehitaman

(26)

Pelapukan yang terjadi pada batu Candi Borobudur antara lain disebabkan oleh pertumbuhan tumbuhan tingkat rendah seperti lumut. Pertumbuhan lumut pada tiap blok batu tidak sama. Ada blok batu yang banyak ditumbuhi oleh lumut, di sisi lain ada juga blok batu yang bersih dari pertumbuhan lumut. Hal ini tentunya disebabkan karena adanya faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal antara lain adalah keberadaan air yang membuat batuan menjadi lembab maupun intensitas sinar matahari. Sedangkan faktor internal sangat erat kaitannya dengan karakteristik batu itu sendiri, antara lain porositas, daya serap air maupun unsur yang terkandung dalam batu tersebut.

Pelapukan lain yang terjadi pada pada batu Candi Borobudur adalah pelapukan kimia yang berupa penggaraman. Munculnya penggaraman ini dikarenakan unsur yang ada pada batu terlarut oleh air dan keluar melalui pori-pori batu akibat penguapan lalu mengendap di permukaan batu. Karena itulah banyak faktor yang menyebabkan penggaraman terjadi baik faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang bekerja adalah air karena air keberadaan air inilah yang dapat melarutkan unsur yang terkandung pada batu. Selain itu faktor internal juga sangat mempengaruhi terjadinya penggaraman seperti keberadaan unsur yang dapat terlarut oleh air, maupun porositas

Gambar 4.5. Andesit hitam

Gambar 4.7. Relief pada batu yang ditumbuhi lumut

Gambar 4.6. Blok batu yang ditumbuhi lumut

(27)

batuan karena keberadaan pori-pori pada batuan inilah yang menjadi celah untuk keluarnya hasil pelarutan yang pada akhirnya akan mengendap di permukaan batuan.

Selanjutnya yang dilakukan adalah analisis sifat fisik, komposisi kimia maupun mineralogi batuan. Karena analisis yang dilakukan bersifat destruktif maka sampel batu andesit diambil dari batu asli di ruang penyimpanan batu yang ada di sebelah barat Candi Borobudur, sehingga tidak merusak batu yang ada di candi. Sampel yang diambil adalah andesit yang terdiri dari 5 macam warna dan juga andesit yang ditumbuhi lumut maupun yang telah mengalami penggaraman. Setelah itu dilakukan pengkodean batu :

BDR 1 : andesit warna abu-abu

BDR 2 : andesit warna abu-abu kecokelatan BDR 3 : andesit warna abu-abu kehitaman BDR 4 : andesit warna kemerahan

BDR 5 : andesit warna hitam

B. Sifat Fisik Batuan

Tabel 4.1. Sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur

Parameter BDR 1 BDR 2 BDR 3 BDR 4 BDR 5 Densitas (gr/cm3) 2,14 2,12 2,21 2,18 2,23

Berat Jenis 2,67 2,63 2,7 2,68 2,71 Porositas (%) 19,45 20,35 18,78 19,24 17,96 Daya serap air (%) 10,68 10,94 9,78 10,23 9,25 Kekerasan (skala mohs) 4 - 6 4 - 6 4 - 6 4 - 6 4 - 6 Temperatur batu 45,2 44,7 47,1 45,9 48,6 Keterangan :

Nilai tiap-tiap parameter sifat fisik didapatkan dari rata-rata beberapa sampel batu yang warnanya sama

Temperatur batu diukur diukur pada bulan Agustus jam + 11.00 Gambar 4.8. Penggaraman pada batu Candi

(28)

Dari tabel sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur tersebut, densitas sampel BDR 5 (hitam) memiliki nilai yang paling tinggi. Berturut-turut yang memiliki nilai densitas dari besar ke kecil yaitu BDR 3 (abu-abu kehitaman), BDR 4 (kemerahan), BDR 1 (abu-abu) dan BDR 2 (abu-abu kecokelatan). Nilai densitas yang lebih tinggi untuk batu yang berwarna gelap dikarenakan sesuai dengan teorinya memiliki kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan densitasnya menjadi lebih tinggi juga. Nilai berat jenis batu candi mengikuti pola yang sama dengan densitasnya, dimana batu yang memiliki berat jenis yang lebih tinggi, densitasnya juga lebih tinggi. Nilai berat jenis dan densitas ini berbanding terbalik dengan nilai porositas maupun daya serap airnya. Hal ini dikarenakan batuan dengan rapat massa yang lebih besar akan memiliki volume pori yang lebih kecil.

Untuk nilai kekerasan batu, nilai yang didapatkan relatif sama yaitu 4 - 6 skala mohs. Nilai kekerasan 6 skala mohs didapat pada batuan yang tekstur permukannya halus (pori-pori batu kecil), sedangkan nilai kekerasan 4 skala mohs didapat dari andesit yang tekstur permukaannya kasar.

Untuk pengukuran temperatur, andesit dengan warna yang gelap mampu menyerap panas yang lebih besar dibandingkan dengan andesit yang berwarna cerah. Hal ini dikarenakan andesit dengan warna gelap memiliki kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi, sehingga kemampuan menyerap dan menyimpan panasnya juga lebih tinggi.

C. Komposisi Kimia Batuan

Batu penyusun Candi Borobudur yang berjenis andesit tersusun atas komposisi kimia yang terdiri dari unsur-unsur utama yaitu silikat, alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium.

Tabel 4.2. Komposisi kimia batu penyusun Candi Borobudur

Parameter BDR 1 BDR 2 BDR 3 BDR 4 BDR 5 Al2O3 16,93 17,19 14,35 15,47 13,00 CaO 2,68 2,60 3,89 3,50 1,96 FeO 4,78 4,62 6,03 5,37 6,78 Fe2O3 5,31 5,14 6,71 5,97 7,53 MgO 1,57 0,62 1,55 0,62 1,29 Na2O 3,81 3,50 4,13 4,02 3,29 K2O 2,83 2,35 2,65 2,88 2,73 SiO2 59,69 59,97 58,15 58,20 56,12

(29)

Keterangan :

Sampel yang dianalisis dipilih andesit yang paling segar (tidak ditumbuhi lumut/menggalami penggaraman)

Dari komposisi kimia andesit Candi Borobudur terlihat bahwa andesit yang berwarna cerah relatif memiliki kandungan silika lebih tinggi daripada andesit yang berwarna gelap. Selanjutnya untuk kandungan besi (Fe), andesit yang berwarna gelap memiliki nilai yang lebih tinggi dari andesit yang berwarna terang. Hal ini dikarenakan kandungan mineral mafik (ferro magnesium silikat) yang lebih tinggi sehingga menyebabkan warna yang lebih gelap.

D. Mineralogi Batuan

Sayatan tipis andesit penyusun Candi Borobudur menunjukkan kenampakan yang sama dari segi tekstur dan komposisi mineral. Datanya adalah sebagai berikut :

BDR 1

Warna abu-abu kecokelatan, tekstur porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari fenokris berupa plagioklas (25 %), piroksen (15 %), mineral opak (5 %) dan massa dasar berupa plagioklas (35 %) dan gelas vulkanik (20 %)

BDR 2

Warna abu-abu kecokelatan, tekstur porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari fenokris berupa plagioklas (30 %), piroksen (15 %), mineral opak (5 %) dan massa dasar berupa plagioklas (30 %) dan gelas vulkanik (20 %)

BDR 3

Warna abu-abu kecokelatan, tekstur porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari fenokris berupa plagioklas (20 %), piroksen (20 %), mineral opak (5 %) dan massa dasar berupa plagioklas (35 %) dan gelas vulkanik (20 %)

BDR 4

Warna abu-abu kecokelatan, tekstur porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari fenokris berupa plagioklas (25 %), piroksen (20 %), mineral opak (5 %) dan massa dasar berupa plagioklas (30 %) dan gelas vulkanik (20 %)

BDR 5

Warna abu-abu kecokelatan, tekstur porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari fenokris berupa plagioklas (20 %), piroksen (20 %), mineral opak (5 %) dan massa dasar berupa plagioklas (30 %) dan gelas vulkanik (25 %)

Dari analisis petrografi tersebut menunjukkan bahwa batu penyusun Candi Borobudur tersusun atas mineral yang sama yaitu plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas vulkanik, yang membedakan hanyalah pada presentase komposisinya saja. Plagioklas

(30)

yang ada berjenis andesin. Andesit yang berwarna lebih cerah relatif memiliki kandungan plagioklas yang lebih tinggi dibandingkan yang berwarna lebih gelap. Sedangkan untuk kandungan piroksen, andesit yang berwarna lebih gelap memiliki komposisi yang lebih tinggi dibandingkan andesit yang berwarna lebih cerah.

E. Karakteristik Batu Candi Borobudur dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Lumut

Batu penyusun Candi Borobudur yang tersusun atas andesit, sebagian telah mengalami pelapukan. Faktor yang berpengaruh terhadap pelapukan batu Candi Borobudur terdiri dari dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keberadaan air, fluktuasi suhu maupun aktifitas organisme, sedangkan faktor internal yang berpengaruh adalah dari karakteristik batu itu sendiri. Lumut yang merupakan tumbuhan tingkat rendah menjadi salah satu faktor penyebab pelapukan batu Candi Borobudur. Tumbuhnya lumut pada batu candi selain tentunya disebabkan karena faktor air (kelembaban) juga dipengaruhi oleh karakteristik batu itu sendiri. Alasan kenapa karakteristik batu menjadi salah satu faktor pertumbuhan lumut ini dikarenakan tidak semua batu Candi Borobudur ditumbuhi oleh lumut. Bahkan untuk blok batu yang langsung bersinggungan ada yang ditumbuhi lumut dan ada yang bersih dari pertumbuhan lumut.

Dari gambar diatas terlihat bahwa satu blok batu ditumbuhi lumut sedangkan blok batu lain yang bersebelahan tidak ditumbuhi lumut. Secara sepintas terlihat bahwa permukaan batu yang ditumbuhi lumut memiliki tekstur yang lebih kasar jika dibandingkan dengan batu yang bersih dari pertumbuhan lumut. Karena itulah diperlukan analisis sifat fisik dan kimia batuan untuk menjelaskan penyebabnya. Dari analisis sifat fisik yang dilakukan terhadap 3 sampel batu candi yang ditumbuhi lumut didapatkan hasil sebagai berikut :

Gambar 4.9. Blok batu yang ditumbuhi

(31)

Tabel 4.3. Sifat fisik batu candi yang ditumbuhi lumut

Parameter A B C

Densitas (gr/cm3) 2,02 2,07 2,05

Porositas (%) 23,81 22,85 23,31 Kekerasan (skala mohs) + 4 + 4 + 4

Dari analisis fisik pada tabel diatas terlihat bahwa batu yang ditumbuhi lumut memiliki nilai densitas antara 2,02 - 2,07 gr/cm3. Nilai ini lebih kecil dari nilai densitas batu

penyusun candi borobudur pada umumnya. Pada tabel 1 mengenai sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur, nilai densitas batu berkisar antara 2,12 - 2,23 gr/cm3. Hal ini

menunjukkan bahwa lumut tumbuh pada batu yang memiliki rapat massa yang relatif lebih kecil. Ini dikarenakan batuan yang memiliki rapat massa lebih kecil akan memiliki pori-pori yang lebih besar yang akan dapat menyerap dan menyimpan air lebih besar pula sehingga kelembaban batu akan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan porositas yang dimiliki yaitu berkisar antara 22,85 - 23,81 %, yang lebih tinggi dari rata-rata porositas batu penyusun Candi Borobudur yang berkisan antara 17,96 - 20,85 %.

Dari segi kekerasan, batu yang ditumbuhi lumut memiliki kekerasan + 4 skala mohs, yang merupakan nilai kekerasan paling rendah diantara batu penyusun Candi Borobudur yang pada umumnya memiliki kekerasan 4 - 6 skala mohs. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh densitas dan porositas batu yang memungkinkan untuk terjadinya pelapukan yang lebih cepat sehingga menyebabkan kekerasan batu menjadi rendah. Pelapukan menjadi semakin intensif karena adanya pertumbuhan lumut. Hal ini dikarenakan rhizoid lumut menembus ke dalam batuan mengikuti sistem pori-pori yang dapat menyebabkan dinding-dinding diantara pori-pori menjadi pecah (Samidi, 1975).

Selain analisis fisik juga dilakukan analisis kimia untuk mengetahui komposisi batu yang ditumbuhi lumut. Hasilnya pada tabel berikut :

Tabel 4.4. Komposisi kimia batu candi yang ditumbuhi lumut Parameter A B Al2O3 17,82 15,41 CaO 4,56 4,04 FeO 8,19 7,21 Fe2O3 9,11 8,02 MgO 1,71 1,76 Na2O 4,20 3,80 K2O 3,63 3,51 SiO2 47,36 52,47

(32)

Dari tabel diatas terlihat bahwa komposisi kimia batu candi yang ditumbuhi lumut memiliki kandungan SiO2 yang lebih kecil dari batu penyusun Candi Borobudur pada

umumnya. Dari analisis kimia yang dilakukan pada dua sampel batu yang ditumbuhi lumut didapatkan nilai SiO247,36 % dan 52,47 %. Sedangkan pada analisis kimia batu

yang relatif masih segar memiliki nilai SiO2 yang berkisar antara 56,12 - 59,97 %.

Rendahnya kandungan SiO2 pada batu yang ditumbuhi lumut dikarenakan proses

pelapukan yang menyebabkan berkurangnya kadar silika pada batu.

Selain itu juga dilakukan analisis XRD untuk mengidentifikasi mineral sekunder yang terbentuk dari hasil pelapukan mineral yang ada.

Dari interpretasi data XRD yang ada terlihat adanya kandungan mineral kaolinit (mineral lempung) pada batu candi. Ini menunjukkan bahwa proses pelapukan telah terjadi sehingga muncul mineral kaolinit yang merupakan hasil lapukan dari mineral plagioklas (andesin).

Reaksi kimia yang berlangsung adalah sebagai berikut :

2 NaAlSi3O8(s)+ 2 H2CO3(aq)+ 9 H2O Al2Si2O5(OH)4(s)+ 2 Na+(aq)+ 4 H4SiO4(aq)+ 2 HCO3-(aq)

Andesin asam karbonat kaolinit asam silikat

Dari reaksi diatas terlihat andesin dengan rumus kimia NaAlSi3O8mengalami kontak

dengan air hujan sehingga bereaksi dengan H2CO3 dan H2O sehingga menghasilkan

mineral kaolinit dan komponen terlarut yang berupa ion Na+, asam silikat dan ion

(33)

bikarbonat. Reaksi ini pula yang menyebabkan berkurangnya kadar SiO2dalam batuan

karena sebagian silika telah terlarut dalam bentuk asam silikat (H4SiO4)

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lounghnan (1969) bahwa pelapukan memiliki 3 tahapan penting yaitu :

a. Hancurnya struktur mineral asal dengan disertai oleh pembebasan silika. b. Terpindahnya beberapa komponen batuan yang lapuk

c. Terbentuknya mineral baru yang stabil pada kondisi lingkungan

Selain itu dari komposisi batuan terlihat bahwa batu yang ditumbuhi lumut memiliki kandungan kalium yang lebih tinggi dari batu yang tidak ditumbuhi lumut (Tabel 2). Kalium merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan lumut. Fungsi kalium bagi pertumbuhan lumut antara lain :

a. Membentuk dan mengangkut karbohidrat, b. Sebagai katalisator dalam pembentukan protein

c. Menetralkan reaksi dalam sel terutama dari asam organik

Kalium diserap dalam bentuk ion K+. Dari analisis 2 batu yang ditumbuhi lumut, didapat

K2O 3,51 % dan 3,63 %. Ini lebih tinggi dari kandungan K2O batu yang tidak ditumbuhi

lumut yang berkisar antara 2,35 - 2,88 %. Hal ini menandakan bahwa batu yang memiliki kandungan kalium lebih tinggi relatif lebih mudah untuk ditumbuhi lumut, meskipun masih banyak faktor lain yang berpengaruh dalam pertumbuhan lumut seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

F. Karakteristik Batu Candi Borobudur dan Hubungannya dengan Endapan Garam pada Permukaan Batu

Selain pertumbuhan lumut pelapukan pada batu penyusun Candi Borobudur yang lain adalah munculnya endapan garam pada permukaan batu. Akibat pengaruh suhu lingkungan dan penyinaran matahari serta faktor-faktor lain, air yang terakumulasi pada batu akan menguap. Pada proses penguapan air melalui pori-pori batu, air membawa bahan mineral terlarut ke permukaan batu. Pada waktu air menguap bahan-bahan mineral terlarut akan tertinggal di permukaan batu sehingga dalam jangka waktu tertentu terakumulasi menjadi endapan garam yang tebal (Sudibyo, 2002).

Karakteristik batu menjadi salah satu faktor yang penting dalam proses penggaraman. Hal ini dikarenakan tidak semua batu Candi Borobudur menggalami penggaraman. Bahkan untuk blok batu bersebelahan ada yang mengalami penggaraman dan ada yang tidak mengalami penggaraman. Karena itulah sangat penting untuk mengidentifikasi karakteristik batu seperti tingkat porositas maupun unsur yang terkandung dalam batu dan endapan garam.

(34)

Dari analisis sifat fisik yang dilakukan terhadap 2 sampel batu candi yang mengalami penggaraman didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.5. Sifat fisik batu candi yang mengalami penggaraman Parameter BDR 6 BDR 7

Densitas (gr/cm3) 2,03 2,05

Porositas (%) 23,15 23,36 Kekerasan (skala mohs) + 4 + 4

Dari analisis fisik terhadap 2 batu yang mengalami penggaraman seperti pada tabel diatas terlihat bahwa nilai densitas adalah 2,03 dan 2,05 gr/cm3. Nilai ini lebih kecil dari

nilai densitas batu penyusun Candi Borobudur pada umumnya. Pada tabel 1 mengenai sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur, nilai densitas batu berkisar antara 2,12 - 2,23 gr/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa endapan garam muncul pada batu yang memiliki

rapat massa yang relatif lebih kecil. Ini dikarenakan batuan yang memiliki rapat massa lebih kecil akan memiliki pori-pori yang lebih besar yang akan dapat menyerap dan menyimpan air lebih besar sehingga pelarutan unsur-unsur yang terkandung didalamnya akan lebih intensif. Hal ini sesuai dengan nilai porositas yang dimiliki yaitu 23,15 % dan 23,36 %, yang lebih tinggi dari rata-rata porositas batu penyusun Candi Borobudur yang berkisar antara 17,96 - 20,85 %. Dari segi kekerasan, batu yang mengalami penggaraman memiliki kekerasan + 4 skala mohs. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh densitas dan porositas batu yang memungkinkan untuk terjadinya pelapukan yang lebih cepat sehingga menyebabkan kekerasan batu menjadi rendah. Nilai kekerasan ini lebih rendah dari kekerasan endapan garam yang ada di permukaannya yang mencapai 5 - 6 skala mohs. Tingkat kekerasan endapan garam yang tinggi menjadi salah satu sebab

(35)

kenapa pada permukaan batu yang mengalami penggaraman tidak ditumbuhi lumut. Lumut hanya tumbuh pada bagian tertentu saja, pada umumnya mengumpul di lubang-lubang alveol dan pori-pori yang tidak tertutup endapan garam.

Selanjutnya dilakukan analisis kimia untuk mengetahui komposisi kimia batu yang mengalami penggaraman. Hasilnya adalah berikut :

Tabel 4.6. Komposisi kimia batu candi yang mengalami penggaraman Parameter BDR 8 Al2O3 20,55 CaO 4,15 FeO 7,73 Fe2O3 8,60 MgO 1,55 Na2O 4,16 K2O 3,03 SiO2 47,34

Dari tabel diatas terlihat bahwa komposisi kimia batu candi yang mengalami penggaraman memiliki kandungan SiO2 yang lebih kecil dari batu penyusun Candi

Borobudur pada umumnya. Dari analisis kimia yang dilakukan pada sampel batu yang mengalami penggaraman didapatkan nilai SiO247,34 % Sedangkan pada analisis kimia

batu yang relatif masih segar memiliki nilai SiO2 yang berkisar antara 56,12 - 59,97 %.

Rendahnya kandungan SiO2pada batu yang mengalami penggaraman dikarenakan oleh

proses penggaraman yang salah satunya melarutkan SiO2dan kemudian mengendap di

permukaan batu.

(36)

Ini terlihat hasil analisis endapan garam pada permukaan batu Candi Borobudur yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Septiningrum (2007) menganalisis 4 sampel endapan garam yang diambil pada permukaan batu di ke-4 sisi Candi Borobudur. Hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.7. Hasil analisis endapan garam pada permukaan batu Candi Borobudur (Septiningrum, 2007)

No. Parameter Endapan Garam (%) Rata-rata (%) Sampel A Sampel B Sampel C Sampel D

1 Kalsium (Ca+) 15,83 13,57 14,47 12,72 14,15 2 Magnesium (Mg2+) 10,57 8,47 9,60 9,65 9,57 3 Aluminium (Al3+) 1,42 1,66 1,83 4,27 2,30 4 Besi (Fe3+) 3,68 2,29 3,78 4,43 3,54 5 Sulfat (SO42-) 2,53 2,95 1,08 2,18 2,19 6 Klorida (Cl-) 0,41 0,43 0,27 0,40 0,38 7 Silika (SiO2) 38,62 37,05 38,50 36,07 37,56 8 Karbonat (CO32-) 26,94 33,57 30,47 30,29 30,32 Keterangan :

Sampel A : Endapan garam pada dinding sisi timur lantai 1 Sampel B : Endapan garam pada dinding sisi barat lantai 1 Sampel C : Endapan garam pada dinding sisi utara lantai 1 Sampel D : Endapan garam pada dinding sisi selatan lantai 1

Dari hasil analisis pada tabel diatas terlihat bahwa komposisi kimia endapan garam pada permukaan batu Candi Borobudur mayoritas tersusun atas silika, karbonat, kalsium dan magnesium. Silika (SiO2) larut dalam air yang terakumulasi pada pori-pori batu

membentuk asam silikat (H4SiO4). Karena proses penguapan air melalui pori-pori batu,

silika akan mengendap di permukaan batu. Reaksinya adalah sebagai berikut :

H4SiO4(aq) SiO2(s) + 2 H2O

Adapun senyawa karbonat muncul karena unsur yang ada dalam batu mengalami kontak dengan air hujan. Reaksinya adalah sebagai berikut :

CO2+ H2O H2CO3(aq)

CaO(s)+ H2CO3(aq) CaCO3(s)+ H2O

MgO(s)+ H2CO3(aq) MgCO3(s)+ H2O

Dari reaksi diatas terlihat bahwa kalsium dan magnesium bereaksi dengan H2CO3dan

(37)

garam karbonat akan mengendap di permukaan batu dalam bentuk CaCO3dan MgCO3.

Hal ini yang membuat endapan garam pada permukaan batu banyak mengandung karbonat, kalsium dan magnesium.

(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari hasil kajian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Batu candi yang berwarna gelap memiliki memiliki densitas yang lebih besar

dibandingkan batu candi yang berwarna cerah karena kandungan kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi. Selain itu batu candi yang berwarna gelap mampu menyerap panas yang lebih besar dibandingkan dengan batu candi yang berwarna cerah.

2. Batu candi yang berwarna cerah memiliki kandungan silika lebih tinggi dan kandungan besi (Fe) yang lebih rendah daripada batu candi yang berwarna gelap. 3. Batu penyusun Candi Borobudur yang berjenis andesit memiliki komposisi mineral

plagioklas (andesin), piroksen, mineral opak dan gelas vulkanik. Batu candi yang berwarna lebih cerah relatif memiliki kandungan plagioklas yang lebih tinggi dibandingkan yang berwarna lebih gelap.

4. Batu candi yang ditumbuhi lumut memiliki densitas yang lebih kecil dan porositas yang lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak ditumbuhi lumut.

5. Kandungan silika pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut. Hal ini dikarenakan proses pelapukan yang terjadi menyebabkan berkurangnya kadar silika pada batu.

6. Kandungan kalium pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut. Hal ini dikarenakan kalium merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan lumut.

7. Batu candi yang mengalami penggaraman memiliki densitas yang lebih kecil dan porositas yang lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak mengalami penggaraman.

8. Kandungan silika pada batu candi yang mengalami penggaraman lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak mengalami penggaraman. Hal ini dikarenakan oleh proses penggaraman yang salah satunya melarutkan silika dan kemudian mengendapkannya di permukaan batu.

9. Lapukan plagioklas pada batu penyusun Candi Borobudur menghasilkan mineral kaolinit.

(39)

B. Rekomendasi

1. Setiap akan melakukan penggantian blok batu yang rusak dengan batu baru, maka batu penggganti harus dianalisis sifat fisik dan komposisi kimianya untuk memastikan batu pengganti memiliki kualitas yang lebih tahan dari proses pelapukan.

2. Pembersihan endapan garam yang baru terbentuk dilakukan secara kontinyu sehingga endapan garam belum mengeras (lebih mudah dibersihkan)

3. Endapan garam yang telah mengendap dan menempel sangat keras di permukaan batu tidak dibersihkan, karena jika dibersihkan dikhawatirkan akan merusak permukaan batu mengingat kekerasan endapan garam lebih tinggi dari kekerasan batu.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, Y.B., 1993, Laporan Studi Konservasi Tentang Penanganan Pengelupasan Batuan

Candi Borobudur, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang.

Leisen, H., & Leisen E.v.P., 2012, Technical Mission to Borobudur World Heritage Site in

Indonesia, Cologne University, Germany.

Loughnan, F.C., 1969, Chemical Weathering of Silicate Minerals, Elsevier, New York. Martini, I.P., Chesworth, W., 1992. Weathering Siol dan Paleosoil, Elsevier, Amsterdam. Meucci, C., 2007, Candi Borobudur Research Program, Studio C Meucci, Italy.

Muryowiharjo, S., 2005, Petrografi Batuan Beku, Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta.

Notohadiprawiro, T & Suparnowo, 1978, Asas-Asas Pedologi, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Price, T.D. & Borton, J.H., 2011, An Introduction to Archaelogical Chemistry, Springer, New York.

Rapp, G., 2009, Archaeomineralogy 2nded, Springer, Berlin.

Samidi, 1975, Penelitian Pendahuluan Pemberantasan Lumut pada Batuan Candi

Borobudur, Pelita Borobudur Seri B No. 7, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Jakarta

Septiningrum, D.P., 2007, Analisis Endapan Garam pada Permukaan Batu Candi

Borobudur, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Soekmono, R., 1972, Riwayat Usaha Penyelamatan Candi Borobudur, Pelita Borobudur, Seri A No. 1, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sudibyo, Suhardi & Hersaktiningrum, 2002, Studi Proses Penggaraman pada Batu Candi

(41)

Gambar

Tabel 2.2. Komposisi Kimia Andesit (Travis dalam Muryowiharjo, 2005) Senyawa Komposisi (%) SiO 2 58,2 Al 2 O 3 17,0 Fe 2 O 3 3,2 FeO 3,7 CaO 6,3 MgO 3,5 Na 2 O 3,5 K 2 O 2,1 C
Gambar 4.1. Andesit abu-abu Gambar 4.2. Andesit abu-abu kecokelatan
Gambar 4.7. Relief pada batu yang ditumbuhi lumut
Tabel 4.1. Sifat fisik batu penyusun Candi Borobudur
+7

Referensi

Dokumen terkait

mudah panas. 2) Sifat unggul lain dari karet alami adalah memiliki daya tahan yang tinggi terhadap. keretakan, tahan hentakan yang berulang-ulang, serta daya lengket

Pemberian bantuan pemerintah untuk pelestarian budaya didasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 24 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Bantuan Sosial di

Dalam rangka memberi layanan yang baik bagi masyarakat, telah dikembangkan program E-Layanan untuk lingkup pendidikan dasar dan menengah yang mencakup (1) Data Pokok Pendidikan

Peserta OGN tahun 2017 adalah guru SMA/SMK Mata Pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa

Banyak hal yang belum diungkap secara spesifik oleh studi ini seperti perubahan-perubahan dalam jalinan kekuatan civil society, pola relasi kekuasaan yang berlangsung di