• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kajian ekologi bahasa merupakan paradigma baru yang berkaitan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. kajian ekologi bahasa merupakan paradigma baru yang berkaitan dengan"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Ekolinguistik

Kajian ekolinguistik yang pada awal kemunculannya dinamakan sebagai kajian ekologi bahasa merupakan paradigma baru yang berkaitan dengan hubungan ekologi dan linguistik yang diprakarsai oleh Einar Haugen pada tahun 1970. Kajian ini menyandingkan kajian bahasa dengan ekologi yang dapat didefinisikan sebagai sebuah kajian atas interaksi antara bahasa-bahasa dengan lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu digunakan, periksa Haugen (1972:323).

Pada hakikatnya Haugen berupaya menggunakan analogi dari ekologi dan lingkungan dalam menciptakan metafora berupa metafora ekosistem yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok komunitas pengguna bahasa dan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan, lihat Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1). Selanjutnya Fill dan Muhlhausler (2001:2) menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif manusia pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki.

(2)

Peneliti bahasa pada umumnya banyak membicarakan permasalahan-permasalahan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, kaidah-kaidah bahasa dan leksikon. Jarang sekali pembicaraan yang mengarah kepada ekologi bahasa, padahal menurut Haugen (1972: 325), penelitian ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerja sama dengan antropologi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik. Hal ini disebabkan kajian ekolinguistik sejatinya merupakan kajian interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkungannya.

Definisi lingkungan di sini mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa tersebut. Selanjutnya Haugen (1972: 326) menggambarkan bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak penggunanya dan hanya berfungsi menghubungkan penggunanya dengan sesama dan kepada alam yaitu lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam.

Fill dan Muhlhausler (2001:57) berpendapat bahwa ekolinguistik melibatkan teori-teori, metodologi, dan studi empiris bahasa, serta berkontribusi dalam perspektif semua level linguistik yang berkaitan atau berhubungan dengan ekologi. Jangkauan ekolinguistik luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa disiplin ilmu bahasa, seperti:

a. Menemukan teori bahasa yang tepat. b. Studi tentang sistem bahasa dan teks.

c. Studi keuniversalan bahasa yang relevan dengan isu-isu lingkungan. d. Studi bahasa yang bertalian dengan pendekan kontrastif.

(3)

e. Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi (ecoliteracy), seperti pengajaran pemahaman ekologi kepada anak-anak dan orang dewasa.

Cabang linguistik ini banyak menggunakan metafora ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok masyarakat pengguna bahasa-bahasa dengan lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1), selanjutnya menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam interelasi dan interdependensi dengan kognitif manusia pada komunitas yang multilingual.

Peneliti-peneliti dari Universitas Bielefelde di Jerman saat ini mulai mengarahkan penelitian mereka ke kajian ekolinguistik. Ide mentransfer konsep-konsep, prinsip-prisip, dan metode-metode, ekologi dan biologi kepada bahasa berkembang pesat. Pieter Finke (1983, 1993, 1996) mentransformasikan konsep-konsep ekosistem ke dalam sistem bahasa dan sistem kultural, seperti yang dijelaskan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:44-45). Ilmuwan ini mengkritik leksikon yang digunakan industri agrikultur untuk kepentingan bisnis dan perdagangan. Kata-kata seperti production replace, growing, dan giving yang sebenarnya dapat mengandung makna positif, di dalam dunia industri berubah

(4)

menjadi makna metafora yaitu pembunuhan (killing) dan pelenyapan (taking away) yang terjadi.

Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang dilaporkan oleh Mbete (2009:11-12) memiliki keterkaitan dengan sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut. Kesepuluh ruang kaji tersebut adalah, Sosiolinguistik, Dialektologi, Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi, Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.

2.1.1 Hubungan Bahasa dan Ekologi

Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2), pada tahun 1912 menulis tentang bahasa dan lingkungan yang beranggapan bahwa lingkungan fisik dari sebuah bahasa terdiri atas karakter geografi sebagai topografi dari sebuah negara, berhubungan dengan iklim, termasuk pula ke dalamnya flora dan fauna, curah hujan, serta sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan dan sumber ekonomi manusia yang terekam secara verbal. Sehingga, menurutnya kosa kata yang terdapat dalam bahasa-bahasa itu akan berbeda satu sama lain bergantung pada sosiokultural dan lingkungan (ecoregion) tempat bahasa itu digunakan. Perbedaan ini hanya bersangkut paut dengan unsur-unsur leksikal dan tidak berakibat kepada kaidah atau prinsip struktur bahasa tersebut.

(5)

Vokabulari dari sebuah bahasa tidak hanya bergantung atau dipengaruhi oleh lingkungan fisik bahasa tersebut, akan tetapi lingkungan sosial masyarakat penuturnya juga sangat berperan dalam pembentukan vokabulari sebuah bahasa. Lingkungan sosial dimaksud terdiri atas kekuatan masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu seperti agama, kepercayaan, etika, dan pemahaman tentang politik.

Berdasarkan klasifikasi dari ke dua lingkungan ini kelengkapan vokabulari bahasa dapat mengindikasikan pengetahuan, minat, pekerjaan serta pandangan hidup penuturnya dan tempat bahasa atau masyarakat tutur tersebut berada. Penutur bahasa yang hidup di pegunungan akan memiliki khasanah vokabulari yang lebih banyak berkaitan dengan lembah, ciri tanah, jenis burung, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan kehidupan satwa liar yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion). Sebagai contoh suku Noocka Indian yang secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan hutan memiliki vokabulari kelautan yang sangat minim. Demikian pula penutur bahasa yang bermukim di pesisir pantai memiliki lebih banyak khasanah vokabulari yang berkaitan dengan lingkungan kelautan, seperti yang terjadi pada suku Paiute, Arizona. Mereka lebih banyak mengenal dan menciptakan nama-nama ikan, ganggang, bunga karang, pasir dan semua kandungan laut.

Contoh lain dapat pula dilihat pada bahasa Aceh yang digunakan oleh masyarakat tutur di Desa Trumon yang menjadikan beras sebagai makanan pokok dan bahan panganan sebagai kudapan, memiliki vokabulari kuliner

(6)

yang lebih banyak berkaitan dengan pade ‘padi’dan bu ‘nasi’, sebagai contoh, eumping pade ‘padi sangrai yang ditumbuk’, bu kulah, bu phet, bu leukat, bu leumak, bu kanji, bu kuneng, dan bu leugok.

Selanjutnya, Sapir beranggapan bahwa bahasa yang diucapkan oleh seseorang sangat bergantung kepada pikiran dan tingkah laku orang tersebut yang terefleksi kepada bentuk vokabulari yang dituturkannya. Anggapan ini dikenal dengan hipotesis Sapir–Whorf yang diperkenalkan oleh Whorf dalam tulisannya tahun 1956.

Secara biologis, pada umumnya manusia memiliki kemampuan sama dalam kapasitas mempelajari bahasanya. Seperti yang diutarakan oleh Halliday (2001:21-22) bahwa kemampuan ini sama halnya dengan kemampuan manusia tersebut pada saat belajar berjalan serta belajar berdiri. Kesemuanya ini tidak bergantung kepada tingkat intelegensia sesorang. Secara ekologis sesungguhnya manusia adalah makhluk ekologis yang unik, karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda antara satu dengan lainnya walaupun berada dalam pola lingkungan yang sama dan bahasa yang sama pula.

Pengalaman yang sifatnya personal ini senantiasa berhubungan dengan lingkungannya. Lingkungan ini pula yang membentuk kultur manusia tersebut dan juga membentuk pola penggunaan bahasa seseorang yang seterusnya terekam dalam kognitif orang tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Heine (1997:3) bahwa bahasa merupakan produk interaksi manusia dengan dunia sekelilingnya, dunia alamih dan dunia sosial. Cara

(7)

seseorang menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan linguistiknya dapat langsung tergambar dari pengalaman yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman tentang lingkungan dan mengaplikasikan pengalaman tersebut dalam komunikasi yang spesifik dengan sesama.

Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah tentang dunia nyata sekitar, baik yang bersifat kultural maupun yang bersifat alamiah. Oleh karena itu, fungsi awal imajineri adalah menggambarkan lingkungan di sekitar dengan menggunakan bahasa karena bahasa didasari imajinari yang ada di otak dan pengalaman manusia (Palmer 1996:3 ; lihat Mbete, 2010:7).

Pakar ekolinguistik, Haugen (1972:326) menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak atau kognitif penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan di sini juga mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan.

Lebih lanjut Haugen (1972:325) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal (psychological environment) yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan bagian ke dua adalah sosiologikal yaitu

(8)

hubungan lingkungan dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai media komunikasi mereka.

Bahasa layaknya species yang hidup di lingkungan alam yang dapat hidup dan berkembangbiak, dapat berubah dan dapat pula lenyap atau mati. Jika bahasa itu digunakan oleh bertambah banyak penuturnya maka bahasa itu akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan dominasi terus berkurang, dikhawatirkan bahasa itu akan bergeser, berubah, lenyap atau berevolusi.

Mufwene (2004:146) berpendapat bahwa ini semua dapat terjadi disebabkan oleh evolusi bahasa. Pakar ekolinguistik ini membedakan dua jenis evolusi bahasa. Pertama, evolusi progresif yaitu perubahan yang menuju ke arah perubahan yang berkembang pesat seperti bahasa Inggris Amerika yang digunakan masyarakat tutur di benua Amerika bahkan di pelbagai belahan dunia dewasa ini. Kedua, evolusi yang beranalogikan kepada evolusi teori Darwin yang menganggap evolusi terjadi melalui proses seleksi alam. Subtipe dari teori Darwin di mana spesis suatu populasi berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya. Walaupun bahasa tidak termasuk ke dalam spesies biologi namun rentang umur bahasa dan linguistik berhubungan satu sama lain sebagaimana hubungan dalam rumpun biologi. Evolusi bahasa terjadi melalui seleksi alam dapat disebabkan oleh eksploitasi lingkungan alam dan bencana alam, serta perkembangan teknologi. Evolusi ini dapat dilihat pula pada idiolek dari individu penutur yang berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya.

(9)

Hasil penelitian Lucy (1996) tentang bahasa Yucatec Maya seperti yang diungkap oleh Kovecses (2006:323) menghasilkan satu temuan bahwa keberadaan bentuk plural dalam bahasa Yucatec sifatnya opsional dan kadangkala hanya diberlakukan kepada benda-benda hidup. Pola bahasa ini berkaitan dengan pola pikir penutur jati yang hanya peka kepada jumlah entitas yang hidup dan tidak kepada yang mati. Hal ini juga terimbas kepada cara pandang mereka kepada lingkungan pedesaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yucatec.

Hasil penelitian Ashok Kelkar tentang bahasa Inggris suku Marathi (1957), dibicarakan oleh Haugen (1972:335) bahwa bahasa Inggris yang digunakan oleh suku Marathi sebagai media komunikasi tidak sama dengan bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur asli. Masyarakat tutur di Marathi tidak hanya mengadopsi sistem bunyi bahasa Marathi ke dalam bahasa Inggris, lebih dari itu mereka juga mengaplikasikan sistem gramatikal bahasa mereka sendiri ke dalam bahasa Inggris. Bentuk gramatikal tersebut sejatinya tidak terdapat di dalam sistem bunyi dan kaidah bahasa Inggris, sehingga amat sulit bagi penutur asli bahasa Inggris untuk mengerti dan memaknai isi pembicaraan yang dituturkan oleh masyarakat tutur Inggris Marathi. Sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Inggris Marathi secara otomatis menyesuaikan diri dengan sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Marathi, karena bahasa dan lingkungan tempat bahasa itu digunakan saling terkait erat.

(10)

2.1.2 Parameter Ekolinguistik

Untuk menggambarkan keterkaitan antara bahasa dan lingkungan diperlukan adanya kajian interdisipliner yang menyandingkan kajian ekologi dengan linguistik, seperti yang diungkap oleh Mbete (2011:1). Ekologi merupakan ilmu yang menggeluti hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya, termasuk pula menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya yang tentu saja bergayut dengan bahasa manusia itu.

Kajian interdisipliner yang awalnya diprakarsai oleh Einar Haugen memadukan konsep ekologi dengan linguistik ini, pada awalnya mengkaji metafora. Kajian ini menerapkan konsep dasar berupa parameter ekologi bersatu padu dengan kajian linguistik kognitif, seperti yang dijelaskan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:1). Parameter ekologi dimaksud adalah kesalingterhubungan (interrelationship), lingkungan (environment), keberagaman (diversity), digunakan sebagaimana berlaku dalam analisis wacana lingkungan, antropolinguistik pragmatik, semantik kognitif, dan lainnya. Ketiga-tiga parameter ini akhirnya diaplikasikan ke dalam kajian penelitian ekolinguistik. Ketiga-tiganya saling terkait erat dan saling melengkapi. Ketiga-tiganya senantiasa diaplikasikan secara bersamaan dalam penelitian ekolinguistik. Ketika kajian ekolinguistik membicarakan parameter ekolinguistik pastilah ketiga terminologi, keberagaman (diversity), kesalingterhubungan (interrelationship), dan lingkungan (environment), tersebut dibicarakan saling berkaitan. Berikut ini secara khusus dibicarakan.

(11)

2.1.2.1 Parameter Keberagaman (Diversity)

Fill dan Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman (diversity) perbendaharan kosa kata sebuah bahasa memancarkan lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan kebudayaan berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, dan lain sebagainya. Kelengkapan kosa kata bahasa itu bergantung pula kepada cara pandang, sikap, dan perilaku serta pekerjaan (profesi) masyarakat tutur bahasa tersebut.

Keberagaman jenis species fauna, flora di satu lingkungan alam paralel dengan keberagaman vokabulari bahasa di dalam lingkungan sosial masyarakat tutur tersebut demikian pula sebaliknya. Keberagaman biota ini memperkaya khasanah vokabulari bahasa tersebut. Keberagaman juga dapat ditujukan atau berimplikasi kepada hubungan antara ranah sumber dan ranah target dalam sebuah metafora. Kepada sebuah ranah target dapat diaplikasikan beberapa ranah target, demikian pula sebaliknya sebuah ranah target dapat berasal dari beberapa ranah sumber.

2.1.2.2 Parameter Kesalingterhubungan (Interrelationship)

Keberadaan spesies dan kondisi kehidupan mereka tidak dapat dipandang sebagai dua bagian terpisah, tetapi sebagai satu bagian yang utuh, demikian pula halnya dengan bahasa ibu dan etnik tidak dapat

(12)

dicirikan secara individual. Hubungan paralel ini tidak berarti bahwa bahasa dan spesies biologi sama dalam semua hal. Satu hal mutlak yang dapat membedakan keduanya adalah bahwa bahasa bukanlah organisme hidup. Bahasa ditranformasikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh penutur bahasa dan penggunaannya. Berbeda dengan spesies biologi yang diturunkan melalui perkawinan.

Eksistensi sebuah bahasa sangat bergatung kepada jumlah penuturnya. Penamaan dan pengklasikasian nama tumbuhan dan hewan serta jenis batu-batuan bergantung kepada konvensi penuturnya. Istilah konvensi di sini tidak dapat diartikan sebagaimana lazimnya istilah konvensi yang digunakan dalam linguistik yaitu istilah yang mengacu kepada hubungan arbitrer antara bentuk atau lambang linguistik dengan makna yang dikandungnya. Istilah konvensi ini dialamatkan kepada tingkat kesepakatan penggunaan bahasa dalam komunitas bahasa tesebut.

Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan antara linguistik dengan ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya yang dapat terpantul pada metafora ekologi yang bernuansa isu lingkungan, dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Konsep metafora seperti yang digambarkan oleh Kovecses (2006:171), berisikan skema sumber yang dalam hal ini menyangkut ranah yang bersifat fisik dikodekan secara verbal kepada ranah yang bersifat abstrak seperti, pada metafora green house, green speak, dan lainnya.

(13)

Metafora ekologi menurut Fill dan Muhlhausler (2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural dan unsur kognitif masyarakat tutur bahasa tersebut. Waktu, situasi, dan ranah penggunaan bahasa juga memengaruhi bentuk metafora bahasa tersebut. Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti yang terjadi pada awal abad kesembilan belas, kebutuhan akan air sebagai bahan pokok kehidupan, secara eksklusif disejajarkan dengan uang yang memunculkan metafora seperti central money supply, ‘central water supply’, dan metafora water is money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money atau metafora bahasa Indonesia, air itu uang juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga merusak dan menggerus lingkungan.

Parameter keterhubungan antara bahasa dengan ekologi di Desa Trumon terlihat adanya metafora POK-POK DRIEN. Pok-pok adalah batang bambu yang dipotong panjangnya sekitar satu meter (2-3 ruas) kemudian bambu tersebut dibelah dua. Bagian pangkal bambu diikat dengan tali agar tidak mudah lepas dan salah satu belahan dipasang tali. Media ini digantungkan pada pohon durian atau buah-buahan lainnya yang sedang berbuah. Bila tali ditarik akan mengeluarkan suara gaduh. Fungsi dari benda tersebut untuk mengusir binatang yang akan memakan buah-buahan. Dalam pemaknaannya secara metaforis pok-pok dialamatkan kepada orang yang banyak cakap dan mengumbar janji. Seperti dalam tuturan, babah jih POK-POK DRIEN. Artinya dia itu besar cakap saja.

(14)

2.1.2.3 Parameter Lingkungan (Environment)

Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion), memberi nama dalam bahasa lokalnya, memahami sifat-sifat dan karakter yang dikodekan secara verbal, semata-mata demi tujuan dan kepentingan-kepentingan manusia (antroposentrisme) dan juga karena manusia adalah makhluk ekologis yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada demi hidupnya secara biologis (biosentrisme), baik hewan, tumbuhan, bebatuan, maupun udara dan keluasan pandangan secara ragawi (kosmosentrisme).

Berbagai cara manusia memengaruhi lingkungannya, sebagaimana yang pernah dibicarakan sebelumnya. Sikap masyarakat terhadap lingkungan alam banyak didasari oleh pola kultural masyarakat tersebut. Sebagai contoh pandangan suatu masyarakat terhadap daging binatang seperti lembu, babi, ayam, itik kambing sebagai makanan manusia berkaitan dengan kebutuhan manusia.

Keberadaan binatang-binatang tersebut yang menyangkut dengan perkembangbiakannya sangat diperhatikan oleh masyarakat yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya sifat alamiah dari binatang itupun menjadi bagian dari perhatian masyarakat dengan kata lain pengetahuan lokal dan pengetahuan manusia tentang lingkungan alam telah berpengaruh kepada pandangan hidup, kultur, bahasa dan kosmologi masyarakat yang bergantung kepadanya. Menurut Muhlhausler (2003:37) bahwa klasifikasi

(15)

hewan dan tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayatinya tempat tinggal masyarakat tersebut.

Lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun atau memberi nama-nama tersebut dalam kurun waktu yang sangat panjang, yang diturunkan secara berkesinambungan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Dari hasil penelitiannya Muhlhausler (2003:59) mengemukakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pelabelan nama dapat memakan waktu lebih kurang tiga ratus tahun lamanya untuk menghubungkan sebuah bahasa dengan lingkungan biologis penuturnya.

Parameter lingkungan (environment) yang menjadi acuan pada lingkungan alam di Desa Trumon dapat dilihat pada kehidupan siput yang secara alamiah hidup dalam dua lingkungan alam yaitu lingkungan darat dan lingkungan air. Dari kehidupan siput terbentuk sebuah metafora yaitu ABO UDEP DUA PAT. Secara harfiah ungkapan ini mengandung makna ‘siput hidup pada dua tempat’, yaitu: abo ‘siput’, udep ‘hidup’, dua ‘dua’dan pat’ tempat’menjelaskan kehidupan siput yang dapat bertahan hidup di dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk sebuah metafora yang tertuju kepada sifat atau perilaku seseorang yang dapat menyesuaikan diri di semua lingkungan sosial budaya dan semua kalangan masyarakat.

Ketiga parameter ekologi yang diterapkan dalam kajian ekolingustik yakni: (1) lingkungan (environment), (2) keberagaman (diversity), (3) interelasi

(16)

(interrelation), interaksi (interaction), interdependensi (interdependention), kendatipun dalam uraian ini dipilah-pilah, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Di lingkungan tertentu, misalnya di Desa Trumon, Aceh, pasti terdapat keberagaman atau keanekaragaman hayati dan nonhayati (abiotik) baik tumbuhan, hewan, manusia, maupun benda-benda (abiotik) lainnya. Di lingkungan itu pula selalu terjadi interaksi, interelasi, dan interdependensi khususnya antara masyarakat penutur bahasa Aceh dengan keberagaman atau keanekaragaman yang ditandai dan direkam secara verbal.

Kendatipun masyarakat tutur bahasa Aceh memiliki bahasa yang sama yakni bahasa Aceh, derajat kedekatan (degree of familiriaty) dengan entitas-entitas tertentu di lingkungan tertentu itu berbeda-beda pula sebagaimana tercermin pada ketelitian khazanah kata yang mengkodekannya (lihat. Sapir dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 16). Dalam kaitan dengan kerangka pikir ini, Haarmann, seperti yang dikutip oleh Fill dan Muhlhausler (2001: 44) menegaskan pula adanya variabel etnodemografi dan variabel etnokultural dalam hal ini para penutur bahasa dengan perbedaan derajat keakrabannya dan pengetahuannya, variabel etnokultural yang dipahami sebagai tradisi dan budaya etnik dan subetnik tertentu, masing-masing dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas tertentu secara sangat khusus dan variatif pula. Kekhususan itu tercermin pada khazanah kata bahkan ungkapan-ungkapan metaforik bersumberkan keanekaragaman tetumbuhan atau hewan, atau juga unsur-unsur abiotik yang diakrabi di ecoregion atau lingkungan tertentu.

(17)

Derajat kedekatan itulah yang dapat saja membedakan antar kelompok penutur atau subkelompok penutur bahasa yang sama di lingkungan (ecoregion) tertentu dengan kelompok lainnya dalam bahasa yang sama. Variasi ungkapan metaforik itulah yang memperkaya khazanah keberagaman bahasa dan ungkapan-ungkapan suatu bahasa. Dilacak lebih jauh, sebuah ungkapan-ungkapan atau beberapa ungkapan metaforik dalam bahasa yang sama, dapat saja hanya dimiliki, dipahami, dan digunakan di lingkungan tertentu saja sesuai dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan tertentu. Sebagai contoh, terdapat 51 metafora yang digunakan oleh masyarakat Trumon akan tetapi tidak di gunakan di desa lain yang berdekatan yaitu Desa Meukek, Desa Bakongan dan Sawang. Mereka hanya mengetahui makna harfiah dari setiap metafora tersebut, dan mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa Aceh akan tetapi mereka tidak mengetahui dan atau tidak memahami makna metaforis yang terkandung dalam semua metafora tersebut. Pemahaman ini sangat bergantung dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan Desa Trumon.

2.1.3 Teori Dialektikal Sosial Praksis

Pada umumnya kajian-kajian linguistik di abad ke 21 merupakan turunan dari kajian linguistik yang berasal dari pandangan Ferdinand de Saussure kecuali kajian ekolinguistik, seperti yang dinyatakan oleh Lindo dan Jeppe (2000:9). Ekolinguistik merupakan payung yang dapat memayungi dan menyelesaikan keberagaman-keberagaman lingkungan alam dan lingkungan

(18)

bahasa melalui pendekatan-pendekatan teori secara luas. Dalam pandangan kajian ini norma-norma bahasa merupakan bagian dari praksis sosial (social praxis). Berpatokan kepada teori yang bertalian dengan praksis sosial, pakar ekolinguistik menganggap bahwa bahasa merupakan produk sosial dari semua kegiatan manusia, namun pada waktu bersamaan bahasa itu sendiri dapat mengubah atau memodifikasi kegiatan-kegiatan manusia dan praksis sosial manusia.

Interelasi dan interdependensi yang tergambar antara keterhubungan bahasa dan praksis sosial, menurut Lindo dan Jeppe (2000:9), merupakan sebuah hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial. Lebih lanjut Lindo dan Jeppe (2000:9) menjelaskan bahwa dalam hubungan dialektikal ini praksis sosial mendominasi bahasa. Pendominasian praksis sosial terhadap bahasa disebabkan oleh satu pemahaman bahwa praksis sosial tanpa bahasa mungkin saja terjadi, akan tetapi baik secara historis maupun secara logis, bahasa tanpa praksis sosial mustahil terjadi. Lindo dan Jeppe (2000:10) juga berpendapat bahwa penelitian ilmiah terhadap bahasa juga merupakan penelitian ilmiah tentang praksis sosial, sehingga teori bahasa juga merupakan teori-teori praksis sosial. Ini berarti secara disadari maupun tidak semua teori-teori bahasa berhubungan dengan praksis sosial.

Akibat keterhubungan antara teori bahasa dan teori praksis sosial, kajian ekolinguistik merancang sebuah teori linguistik yang dihubungkan dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal sebagai The Three dimensionality of social praxis (Tiga Dimensi Praksis Sosial). Teori tiga dimensi praksis sosial

(19)

merupakan teori ekolinguistik yang banyak dipergunakan oleh Odense School, sekolah yang didirikan oleh Bang and Door (1998). Teori ini diaplikasikan dalam mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa lingkungan yang direpresentasikan dalam bentuk kerangka teori.

Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut adalah, pertama dimensi ideologis (the ideological dimension), yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif dan sistem psikhis seseorang yang terlefleksi pada bahasa, khasanah kebahasaan dengan kandungan maknanya dan perilakunya. Berikutnya dimensi sosiologis (sociological dimension) yaitu tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara sesama untuk membangun, menjalin dan memelihara keharmonisan hubungan individual secara kolektif, seperti rasa saling menyayangi satu sama lain di antaranya rasa saling menyayangi dalam anggota keluarga, atau antara sesama teman, dan saling mengenal antara tetangga atau suku. Ketiga adalah dimensi biologis (biological dimension) yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke dalamnya spesies flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organisme.

Berdasarkan teori dialektikal ini, tidak ada satu kejadianpun atau perwujutan yang monodimensi atau monologikal. Lindo dan Jeppe (2000:11) menjelaskan bahwa aktivitas bernafas sebenarnya bukan sekedar kegiatan biologis manusia, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mental dan sosial manusia. Kajian ekolinguistik tiga dimensi praksis sosial ini mengandung arti

(20)

bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi entitas dari praksis sosial. Oleh sebab itu kajian linguistik perlu mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini. Menurut pandangan kedua pakar ini, ekolinguistik merupakan sebuah kajian keterhubungan bio-, sosio-, dan ideo-logis dimensi bahasa, sehingga hubungan mental, kognitif, lingkungan sosial harus saling bahu membahu.

2.2 Linguistik kognitif

Linguistik kognitif merupakan kajian linguistik yang dianggap masih baru kemunculannya. Walaupun tahun kelahirannya masih belum diketahui secara jelas tetapi Barcelona dan Javier (2007:17) menyatakan bahwa teori ini muncul sekitar tahun 1987. Pada tahun tersebut tiga buku ditulis oleh pakar linguistik seperti Lakoff (1987) yang menulis, Woman, Fire, and Dangerous Things, Langacker (1987) menulis, Foundation of Cognitive Grammar, dan Johnson (1987) menulis The Body in The Mind. Pada tahun 1989 mereka membentuk sebuah asosiasi yang bernama International Cognitive Linguistic Association (ICLA) dan pada tahun 1999 asosiasi ini mengadakan konferensi pertamanya.

Lebih lanjut Barcelona dan Javier (2007:18-22) menjelaskan bahwa linguistik kognitif mengganggap, kemampuan seseorang belajar dan menggunakan bahasa ibunya merupakan kemampuan yang unik yang berada pada mental seseorang yang khusus dibawa sejak lahir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan kognitif manusia secara umum (kemampuan ketajaman mata, sensori motorik, kemampuan kinesthetic seseorang atau kemampuan lainnya). Kemampuan manusia berbahasa dalam memahami makna ucapan dan kalimat banyak dipengaruhi oleh kultur, konteks, dan fungsi ucapan. Seseorang

(21)

membentuk, membangun dan mengerti ucapan pada umumnya berdasarkan pengalaman yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia.

Arti kata atau kalimat dalam stuktur linguistik pada level bervariasi, bukan semata-mata gabungan seperangkat ciri-ciri simbol yang abstrak yang bersifat universal dan tidak pula secara arbitrer. Akan tetapi arti morfem, kata, dan struktur sintaksis pada umumnya lebih kepada bentuk-bentuk modifikasi yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia yang seterusnya disetujui secara konvensional oleh masyarakat tutur. Itulah sebabnya linguistik kognitif beranggapan bahwa bahasa merupakan sebuah produk kemampuan kognitif yang mendasar berkaitan dengan pengalaman yaitu pengalaman berdasar pada pengalaman diri pribadi (bodily experience) dan juga pengalaman sosio- kultural (social/cultural experience).

Pada umumnya semua pakar linguistik kognitif setuju bahwa pengalaman diri manusia memainkan peranan yang paling utama dalam semantik dan struktur garamatikal sebuah bahasa yang berada dalam kognitif manusia. Teori linguistik dan metodologis linguistik kognitif harus konsisten sebagai studi empiris yang dikenal dengan terminologi, kognitif, otak dan bahasa. Studi ini juga beranggapan bahwa makna sebuah ujaran tidak muncul secara terpisah dengan orang yang menuturkannya. Bukti empiris dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat, orang-orang yang banyak berkecimpung dalam masalah-masalah politik lebih banyak mengukapkan kata-kata atau leksikon-leksikon yang berhubungan dengan hal-hal yang bertalian dengan politik. Bidang kajian pustaka kognitif banyak

(22)

mengarah kepada kajian metafora, metonimi, mental space, conceptual blending theory, iconic, dan image- scema.

2.3 Metafora

Sebuah metafora dibangun dari unsur-unsur leksikal dan adanya referensi yang dirujuknya. Monroe Beardsley, menurut Recoeur (2005:81) bahwa metafora adalah “sebuah puisi miniatur” dan menggolongkan metafora sebagai sebuah kiasan yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan leksikal.

Teori metafora yang dikenal sebagai kajian linguistik, menurut Recoeur (2005:81), Sugiharto (2006: 102) sesungguhnya berasal dari pandangan para pakar retorika kuno yang sudah mengalami revisi. Kata metafora itu sendiri berasal dari bahasa Yunani metaforaa yang terdiri atas dua leksis yaitu meta yang berarti setengah atau sebagian atau tidak sepenuhnya dan phora yang berarti referensi atau acuan.

Lebih lanjut, Recoeur (2005:82) menjelaskan bahwa dalam kajian retorika kuno metafora diklasifikasikan sebagai sebuah kiasan, yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan kata dalam proses denominasi. Kemudian Recoeur (2005:84) menambahkan bahwa pakar retorika kuno seperti Aristoteles dalam karyanya Poetic menyebutkan “sebuah metafora adalah pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang lain, suatu transfer yang terjadi dari genus ke spesies, dari spesies ke genus dan dari spesies ke spesies secara analogi”. Oleh sebab itulah

(23)

maka sudah berabad-abad lamanya metafora selalu dikaitkan dengan nomina saja dan tidak dikaitkan pada diskursus.

Menurut Sugiharto (2006:103) Aristoteles juga menandai metafora ke dalam tiga ciri penting. Pertama, metafora adalah sesuatu yang dikenakan pada nomina. Ciri kedua, metafora didefinisikan dalam konteks gerakan (epiphora) yaitu pemindahan atau pergerakan dari sesuatu kepada sesuatu lainnya dan berlaku bagi semua bentuk transposisi istilah. Ciri ketiga, metafora merupakan tranposisi sebuah nama yang ‘asing’ (allotrios) yaitu nama yang sesungguhnya milik nama sesuatu benda yang lain. Implikasi dari ketiga ciri tersebut bahwa istilah metafora mengandung tiga gagasan yang berbeda berpadu dalam sebuah kesatuan yang tak terpisahkan yaitu substitusi sebuah leksikon biasa yang semestinya ada dan peminjaman dari suatu ranah asal ke ranah lain.

Para filosof selain Aristoteles pada awalnya menganggap metafora hanya sebagai lahan kajian yang kurang diminati dan hanya dibicarakan pada kajian-kajian yang menyangkut bidang kesusasteraan, bidang seni, dan bidang retorika, karena dianggap tidak dapat menggambarkan atau menyatakan keadaan yang sebenarnya. Mereka menganggap arti yang dikandung oleh sebuah metafora selalu mengaburkan dan menimbulkan ketaksaan makna. Oleh sebab itu para filosof merasa bahwa penggunaan metafora dalam membicarakan filsafat sangat tidak dibenarkan, namun ketika mereka menemukan ihwal filsafat yang tidak bisa mereka selesaikan dengan menggunakan bahasa umum, mereka beralih ke metafora dan akhirnya penggunaan metafora dalam membicarakan kajian filsafat dibenarkan, seperti diungkap oleh Goatly (1997:1-3).

(24)

Hingga saat ini menurut Sugiharto (2006:102), metafora terus berkembang untuk memenuhi perannya sebagai perangkat bahasa manusia dalam semua aspek kehidupannya dan metafora merupakan karakter fundamental hubungan linguistik manusia dengan dunia alam sekitarnya dan bukanlah semata-mata sekedar bentuk semantik tertentu. Goatly (1997:1) berpendapat metafora sangat bergantung pada bahasa dan pikiran. Metafora dan proses mental saling bertalian yang berasal dari bahasa dan kognitif. Bahasa yang digunakan oleh orang yang sedang kasmaran untuk merayu, membujuk dan menyapa selalu dalam bentuk-bentuk metafora seperti, dear, honey, hi my sweet heart, you an apple of my eyes.

Bentuk metafora sebagai perangkat bahasa manusia yang bergayut dengan lingkungan berkembang pesat sampai merambah kepada media elektronik. Sebagai contoh adanya penayangan iklan produk makanan, minuman di televisi di antaranya iklan biskuit biskuat yang menampilkan harimau, macan sebagai ranah asal yang dipinjamkan ke ranah lain yaitu manusia yg memakan biskuit tersebut menjadi kuat.

2.3.1 Metafora Leksikal

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa metafora tercipta karena adanya persamaan kandungan maknawi antara leksikon yang satu dengan leksikon lainnya, dan dikatakan pula bahwa metafora milik bahasa yang menata penamaan sesuatu dalam penggunaan leksikal. Penggunaan leksikal dimaksud meliputi hubungan antara makna literal dan makna figuratif yang terkandung dalam leksikal tersebut, memberikan karakter tuturan sebagai sebuah keutuhan yang berada pada kognitif manusia. Secara sederhana metafora

(25)

dapat dipahami sebagai suatu transfer makna leksikal dari sebuah ekspresi kepada ekspresi lain disebabkan adanya bentuk persamaan ciri maupun sifat dari keduanya berdasar pada pengalaman kognitif masyarakat tutur suatu bahasa periksa Cruse (2000: 202).

Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari sebuah leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat atau makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna dari sebuah situasi tersebut tidak semata- mata hanya milik bahasa. Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural, lingkungan alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian angggota tubuh makhluk sebagaimana yang diungkapkan oleh Kovecses (2006:126).

Lebih lanjut Kovecses memberi contoh metafora time (waktu) yang dalam lingkungan sosio-kultural dan kognitif masyarakat tutur bahasa Inggris menggandung makna sangat bernilai, sehingga banyak tuturan yang menggunakan time. Time is money. Tme and tide wait for no man, Time goes on, dan lain sebagainya. Dalam konstuksi struktur bahasa Inggris bentuk tenses atau penekanan kepada waktu sangat menentukan sehingga adakalanya penggunaan bentuk tenses yang salah akan berakibat kepada kesalahan interpretasi.

Dalam pustaka linguistik kognitif, metafora diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu metafora berdasarkan tingkat konvensional, metafora berdasarkan fungsi kognitif, metafora berdasarkan lingkungan alam, dan metafora berdasarkan kepada pengalaman inderawi dan pengalaman tubuh

(26)

(bodily experience) lihat Kovecses (2006:127-129). Saragih (2004:49), (2006:191) menjelaskan metafora leksikal menunjukkan bahwa makna satu kata dirujuk sebahagian untuk menyatakan atau memahami makna kata lain. Selanjutnya Saragih (2006:191) menjelaskan, metafora merupakan realisasi pengalaman secara tidak lazim atau merupakan ekspresi bertanda (marked) atau disebut juga makna figuratif yang melintasi ekspresi lazim (unmarked). Makna ini juga disebut sebagai makna harfiah atau makna literal dan makna tak lazim disebut pula makna figuratif. Untuk menjelaskan metafora ini dapat dilihat dari kedua tuturan berikut:

(a) Rini melihat seekor ular melilit di pohon kayu dekat rumahnya. (b) Rini itu ular, hati-hati berteman dengannya.

Tuturan (a) makna ular mengandung makna literal yaitu seekor binatang melata, berbisa, bersisik dapat membelit atau melilit. Pada tuturan (b) makna

ular mengandung makna metafora. Rini adalah manusia bukan hewan melata.

Sifat Rini yang diperbandingkan dengan sifat ular karena sebagian dari sifat ular dianggap ada pada Rini. Perkataan Rini contohnya, selalu menyakitkan dan meracuni orang seperti bisa ular. Sifat Rini yang gemar menipu dan berbohong pada orang diperbandingkan dengan sifat Ular yang suka membelit mangsanya.

Menurut Saragih (2006:191-193), metafora leksikal dapat wujud dalam beragam realisasi yang umumnya mengekspresikan satu fenomena dilihat dari dua perspektif dan dapat diurai ke dalam beberapa kriteria. Pertama, nomina dapat disandingkan dengan nomina pula, seperti internet merupakan jendela

(27)

pula disandingkan dengan verba seperti Gunung Merapi memuntahkan laharnya

tahun lalu. Verba memuntahkan disandingkan dengan nomina lahar. Nomina

dapat pula disandingkan adjektiva seperti jadilah orang yang kaya hati. Adjektifa kaya disandingkan dengan nomina hati.

2.3.2 Metafora Gramatikal

Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dikemukakann oleh Halliday (2004:3), menetapkan bahasa adalah teks yang mereprentasikan makna kepada semua masyarakat tutur bahasa tersebut. Kemudian bahasa merupakan fenomena sosial yang terjadi dari dua unsur yaitu arti yang direalisasikan oleh ekspresi. Dalam mengekspresikan makna ini, bahasa melaksanakan tiga fungsi yaitu memaparkan pengalaman (ideational function), mempertukarkan pengalaman (interpersonal function), dan merangkai pengalaman (textual function) periksa Halliday (2004: 29), Eggins (1996:3), Saragih (2006:7), Sinar (2010:3), Saragih (2006: 193). Dalam memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman ini dapat muncul suatu pengalaman tertentu yang lazim digunakan kepada pengalaman yang lain yang disebut sebagai metafora gramatikal atau metafora tata bahasa. Banyak pakar LFS mengupas metafora gramatikal seperti Halliday dan murid-muridnya.

Saragih (2004:50), (2006:193), Eggins (1996), kumpulan karya Halliday yang disunting Webster (2006:7-10) menyatakan bahwa metafora gramatikal atau metafora tata bahasa merupakan wujud kesenjangan (discrepancy) dalam realisasi fungsi eksperensial, interpersonal, tekstual, dan logis bahasa. Pengalaman yang lazimnya digunakan untuk sesuatu pengalaman tertentu

(28)

digunakan untuk pengalaman yang lain. Dengan kata lain, metafora tersebut memberikan pengertian bahwa realisasi yang lazim dari pengalaman (eksperensial, logis, antarpesona, dan tekstual) dalam bentuk transivitas, klausa kompleks, modus, tema/rema, dan kohesi tertentu direalisasikan dengan atau dalam aspek (struktur) tata bahasa yang lain atau yang tidak lazim. Disebabkan oleh perealisasian pengalamam dari lokasi makna lazim kepada lokasi makna yang tidak lazim, para pakar tersebut menempatkan metafora ke dalam dua relokasi realisasi makna.

Pertama relokasi makna yang lazim ke dalam aspek tata bahasa yang lain dalam peringkat yang sama, misalnya kegiatan atau aktivitas yang lazimnya direalisasikan oleh proses direalisasikan sebagai nomina atau realisasi yang lazim dikodekan dalam beberapa kata yang disampaikan dalam satu kata saja, contoh:

a. Mereka bertemu di pantai. Kemudian, mereka makan malam bersama di Restoran Terapung. (lazim)

Pertemuan mereka di pantai diikuti makan malam di Restoran Terapung. (metafora)

b. Rini terlambat berangkat ke sekolah karena dia tertidur. (lazim) Keterlambatan Rini berangkat ke sekolah dikarenakan dia tertidur. (metafora)

Kedua relokasi realisasi makna yang lazim pada satu peringkat dikodekan dalam peringkat tata bahasa yang lain yang lebih rendah (seperti pada metafora paparan pengalaman) atau lebih tinggi (seperti pada metafora

(29)

pertukaran pengalaman). Misalnya makna yang lazimnya dikodekan dalam klausa dikodekan dalam grup atau frase dan makna yang lazimnya dikodekan dengan kata dimetaforakan menjadi klausa, contoh:

a. Rini sering datang terlambat. Keadaan ini membuat gurunya marah. (lazim)

Kedatangan Rini yang sering terlambat membuat gurunya marah. (metafora)

b. Tono sering pulang larut malam. Hal ini membuat istrinya resah. (lazim)

Seringnya Tono pulang larut malam meresahkan istrinya. (metafora)

Dalam merealisaikan pengalaman pada umumnya, bahasa metafora digunakan dalam kajian akademik, kajian ilmiah atau diplomasi.

2.3.3 Metafora Konseptual

Metafora dalam pustaka linguistik kognitif merupakan bagian dari bahasa yang memainkan peranan amat penting dalam kajian pikiran dan kultur masyarakat pemilik atau penutur bahasa tersebut. Itulah sebabnya metafora tidak hanya dianggap sebagai fenomena linguistik saja, namun lebih dari itu metafora juga merupakan fenomena sosiokultural dan lingkungan alam yang kadang-kadang melibatkan atau disebabkan oleh pengalaman inderawi penutur bahasa. Sebagai contoh masyarakat Inggris pada umumnya memandang kehidupan melalui dua konsep yaitu konsep perjalanan dan konsep kehidupan, sehingga contoh linguistik yang lazim mereka paparkan tentang kehidupan berdasarkan

(30)

hubungan yang paling erat antara dua konsep tersebut, yaitu kehidupan (life) dan perjalanan (journey) LIFE is A JOURNEY. Hubungan ke dua konsep ini terjadi secara sistematis sehingga setiap pembicaraan yang menyangkut tentang kehidupan akan selalu dikaitkan dan dihubungkan dengan konsep perjalanan, lihat Kovecses (2006:117). Relasi ke dua konsep ini merupakan hubungan yang sistematis yang dapat digambarkan dalam skema kognitif penuturnya dan dapat pula dijabarkan sebagai berikut:

Metafora PERJALANAN dan KEHIDUPAN:

PERJALANAN KEHIDUPAN

Pelancong manusia yang memimpin kehidupannya perjalanan/bergerak bergerak/berusaha untuk tujuan hidupnya (mengarah ke satu tujuan)

tujuan (arah, tempat) cita-cita hidupnya

rintangan dalam perjalanan kesulitan-kesulitan yang dihadapi sampai ke tempat tujuan keberhasilan yang dicapai.

Terminologi metafora dalam pustaka linguistik kognitif adalah metafora konseptual karena metafora merupakan konseptual alamiah dalam hubungan antara unsur bahasa dan kognitif manusia. Lakoff dan Johnson (1980:267-268), Kovecses (2006:128) berpendapat, ada dua macam hubungan yang terlibat dalam suatu metafora, yaitu hubungan ontologi, yang melibatkan entitas dalam dua ranah dan hubungan epistimik, melibatkan hubungan pengetahuan tentang entitas tersebut. Lakoff mengilustrasikan contoh, ANGER IS HEAT OF FLUID IN CONTAINER.

(31)

Hubungan ontologis dari metafora tersebut adalah:

HEAT OF FLUID ANGER

kontener badan (tubuh) cairan panas kemarahan skala temperatur skala kemarahan

Hubungan epistemik dari metafora tersebut adalah:

Ketika cairan di dalam kontener di- Ketika kemarahan memuncak panaskan sampai batas tertinggi, te- sampai batas tertinggi tekanan

kanan meningkat yang mengakibat- meningkat yang mengakibat- kan kontener meledak kan kehilangan control

Secara garis besar pembentukan metafora konseptual selalu melibatkan dua ranah, yang pertama disebut ranah sumber (source domain) dan yang berikutnya disebut ranah target (target domain). Pada umumnya ranah sumber lebih bersifat fisik dan ranah target lebih bersifat abstrak. Seperti pada contoh LIFE is A JOURNEY. Pejalanan (journey) dijadikan ranah sumber yang bersifat fisik atau nyata dan kehidupan (life) dijadikan sebagai ranah target yang bersifat abstrak. Terbentuknya metafora ini karena berlangsung proses pemetaan silang.

Pemetaan silang terjadi karena ke dua-dua ranah tersebut memiliki ciri-ciri persamaan dalam beberapa hal. Ciri-ciri-ciri persamaan tersebut terekam dalam kognitif penutur bahasa, sehingga ranah sumber dan ranah target sebuah metafora sangat bergantung pada cara pandang penuturnya. Pemetaan silang juga dapat terjadi dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh atau

(32)

pengalaman inderawi manusia. Pengalaman non linguistik ini sudah terbentuk sejak usia dini seperti seorang anak merasa hangat ketika dipeluk oleh ibunya atau keluarganya dan saat itu si anak merasa senang, bahagia dan nyaman, serta menumbuhkan perasaan kasih sayang yang terhimpun dalam otak manusia, sebagai contoh HANGAT KASIH SAYANG ibu.

Hubungan antara ranah sumber dan ranah target tertata rapi di dalam kognitif penuturnya, sebuah ranah sumber dapat dipetakan kepada beberapa ranah target dan beberapa ranah sumber dapat pula dipetakan kepada satu ranah target saja, contoh, satu ranah sumber dipetakan kepada dua ranah target:

LIFE is A JOURNEY LOVE is A JOURNEY

Ranah sumber JOURNEY dipetakan kepada LIFE dan LOVE

Contoh beberapa ranah sumber dipetakan kepada satu ranah target: LOVE is A JOURNEY LOVE is AGAME LOVE is FIRE Ranah sumber JOURNEY, GAME, dan FIRE dipetakan kepada LOVE.

2.3.4 Klasifikasi Metafora

Berdasarkan pembentukan dan penggunaannya, menurut Kovecses (2006:120-130) bahwa metafora dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis metafora. Pertama metafora berdasarkan konvensi atau non konvensi. Dalam hal ini tidak ada hubungan istilah konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik yang mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan arbitrari antara bentuk (form) linguistik dan makna. Konvensi dimaksud mengacu kepada suatu persetujuan dan kesepakatan yang mendasar dari anggota masyarakat tutur untuk menggunakan bahasanya pada komunikasi antar sesama. Terminologi

(33)

konvensi dalam penelitian ini ditujukan kepada kesepakatan dan persetujuan anggota komunitas bahasa di Desa Trumon dalam penggunaan metafora pada interaksi verbal dalam kehidupan sehari-hari.

Jenis ke dua adalah metafora secara alami, yaitu berdasarkan pengetahuan dari pengalaman yang terjadi berulang-ulang secara regular yang terekam dalam kognitif manusia. Manusia melihat sesuatu yang dirasakan mempunyai hubungan sifat yang sama atau hampir sama dengan sesuatu lainnya, yang terjadi secara alami kemudian kemiripan ini dijadikan sebagai dasar pembentukan metafora bahasa mereka.

Munculnya metafora juga dapat termotivasi oleh pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula dari pengalaman yang didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam dalam pikiran atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam pikiran manusia ini yang menghubungkan antara ranah sumber dan ranah target.

Metafora ke tiga ini merupan klasifikasi metafora yang berkaitan dengan fungsi kognitif karena ranah sumber menentukan struktur ranah target melalui bentuk pemetaan silang yang ada di dalam pikiran manusia yang mencirikan metafora tersebut, seperti KASIH SAYANG IBU HANGAT. Seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa sayang. Bayi yang dipeluk merasa hangat karena ketika di peluk fungsi afektif yang menghubungkannya dengan otak bekerja dan pada waktu yang bersamaan wilayah otak yang menghubungkan indera perasa juga bekerja sehingga pelukan itu terasa hangat.

Jenis ke empat adalah klasifikasi metafora yang dikategorikan sebagai bentuk umum. Klasifikasi ini terdapat pada hasil pemetaan silang dari ranah

(34)

sumber yang non manusia kepada ranah target manusia atau sebaliknya, sebagai contoh John is a LION. ‘John seekor singa’ Metafora seperti ini dianggap termasuk ke dalam klasifikasi metafora umum.

2.3.5 Metafora Ekosistem

Metafora ekosistem merupakan sebuah peristilahan yang banyak dibicarakan dalam pustaka ekolinguistik. Menurut Fill dan Muhlhausler (2001:43) bahwa ekolinguistik bermula dari sebuah metafora yang pertama sekali dibicarakan oleh Haugen (1970), yaitu tentang interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkunganya. Haugen (1972:325) berusaha membandingkan hubungan ekologi antara spesies binatang dan tumbuhan tertentu dengan lingkungan alamnya. Dalam hal ini ekologis secara metaforis ditranformasikan ke dalam bahasa di dalam sebuah lingkungan.

Metafora ekosistem merupakan konsep atau bentuk yang sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu lingkungan alam, pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan bahasa tersebut dalam penyampainnya di sebuah masyarakat tutur. Ketiga komponen ini berada di dalam kognitif pemakai bahasa dalam sebuah masyarakat tutur. Yang dimaksud dengan kognitif seperti yang diungkapkan oleh Kovecses (2006:5) adalah gambaran yang ada dalam pikiran manusia yang diekspresikan atau dinyatakan dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu penggunaan metafora ekosistem tidak hanya bergantung kepada satu aspek saja.

Metafora ekosistem menurut Fill dan Muhlhausler (2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural, unsur kognitif masyarakat tutur bahasa tersebut. Waktu, situasi, dan ranah penggunaan bahasa juga memengaruhi bentuk metafora bahasa tersebut. Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti yang terjadi pada awal abad ke sembilan belas, kebutuhan air sebagai bahan pokok kehidupan secara ekslusif disejajarkan dengan uang yang

(35)

supply’. Selanjutnya metafora water is money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga merusak dan menggerus lingkungan.

Seorang pakar ekolinguistik yang bernama Wilhelm Trampe (1990) telah menggunakan metafora ekosistem dalam menjabarkan bahasa dan penggunaannya dalam interaksi bahasa tersebut dengan lingkungan alam, yaitu alam semesta. Penggunaan leksikon industri agrikultur pada kata produksi yang secara harfiah bermakna menghasilkan dan berkembang mengandung ideologi ekonomi sehingga memunculkan makna metaforis menghancurkan dan menghilangkan. Inilah efek penggunaan metafora yang sebenarnya terjadi. Metafora lain yang berkembang dalam masyarakat industri memposisikan bahasa sebagai alat atau instrumen komunikasi seperti dalam definisi bahasa “language is a tool or an instrument of communication”. Sesungguhnya alat atau pun instrumen merupakan benda-benda yang digunakan dan bermanfaat untuk kepentingan hidup dan kehidupan manusia seperti palu, gergaji, komputer dan alat-alat lainnya. Pemaknaan bahasa itu sendiri sudah dimetaforakan ke dalam metafora ekosistem, lihat Fill dan Muhlhausler (2001:45).

Metafora ekosistem memiliki cakupan yang luas yang sangat berkaitan dengan beberapa aspek ekologis di luar bahasa seperti yang dinyatakan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:3) yaitu:

a. Keberagaman (diversity) makhluk dari lingkungan alam atau kandungan ekologinya, seperti flora, fauna, kandungan mineral yang ada di lingkungan alam tersebut.

b. Faktor-faktor yang mempertahankan keberagaman tersebut. c. Keteraturan lingkungan alam yang ada.

(36)

d. Hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya.

2.3.6 Metafora dan Metonimi

Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari sebuah leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat atau makna dari sebuah situasi. Metafora juga digambarkan sebagai pemetaan konsep abstrak yaitu ranah sumber ke konsep nyata yaitu ranah target seperti yang disebutkan oleh Kovecses (2006:126) dan Cruse (2000:211) dengan menampilkan contoh life dan journey dalam tuturan life is journey.

Berbeda dengan metafora yang melibatkan dua ranah sekaligus, metonimi hanya melibatkan satu ranah saja atau satu kerangka saja seperti mangga, jeruk, dan apel termasuk ke dalam satu ranah atau satu kerangka yaitu buah. Hubungan unsur-unsur dalam metafora sangat jauh antara satu dan lainnya seperti pada contoh life dan journey. Dalam metonimi hubungan antara unsur yang satu dengan lainnya sangat erat satu sama lain, contoh producer dan product, mangga dan buah.

Metonimi, dijelaskan oleh Kovecses (2006:97) dengan menggunakan istilah stand for, yaitu unsur yang memiliki peran sebagai pengganti atau mewakili, sebagai contoh x digunakan untuk mengekspresikan atau mewakili, atau pula berperan sebagai y. Dapat dijabarkan bahwa metonimi merupakan unsur atau kata yang digunakan mengandung makna berbeda dengan makna dasar atau makna asal dari kata tersebut, namun hubungan kedua makna tersebut

(37)

masih berada pada ranah yang sama, sebagai contoh, frasa Indonesia

membangun kata Indonesia mewakili atau berperan sebagai pemerintah

Indonesia yang sedang membangun.

Menurut Cruse (2000:212-213), konstruksi metonimi membentuk struktur tuturan lebih sederhana, lebih natural, lebih singkat dan juga lebih ekonomis. Antara penutur dan mitra tutur sudah terjadi kesepakatan dalam memaknai tuturan tersebut, sebagai contoh ceret mendidih. Mitra tutur pasti sudah menyadari bahwa air di dalam ceret mendidih. Dalam frasa ceret mendidih, unsur ceret mewakili isi ceret terebut. Beberapa contoh yang lazim digunakan seperti pada tuturan berikut, saya kambing ya pak. Tuturan ini sangat umum digunakan di rumah makan, atau di warung pedagang sate. Rangkaian ujaran sesungguhnya dapat seperti saya pesan (beli) sate daging kambing bukan sate daging ayam. Kata kambing mewakili daging kambing, tuturan lain yang dapat dianggap sebagai metonimi seperti kamu parkir dimana?, ujaran ini dapat dijabarkan kepada tuturan kamu memarkir mobil

(kenderaan) kamu dimana?. Kata parkir mewakili frasa memarkir mobil

(kendaraan). Contoh lain, Linguistik mengadakan tour ke Parapat. Kata linguistik dapat mewakili mahasiwa program studi linguistik.

2.4 Semantik Leksikal

Dikarenakan kajian ini merupakan kajian atas fenomena metafora sebagai gejala kebahasaan yang terbentuk dari rangkaian pengalaman kognitif manusia dan lingkungannya, tentu saja kajian ini berkaitan pula dengan ranah kajian semantik, maka unsur-unsur leksikal kealaman khususnya yang berkaitan erat

(38)

dengan makna yang membangun metafora akan disinggung berikut ini. Pembicaraan tentang metafora senantiasa dikaitkan dengan semantik, sebab semantik merupakan cabang linguistik yang mengkaji arti dan makna. Dalam fungsi dan peranannya semantik membawahi dua bidang kajian peranannya yaitu semantik gramatikal dan semantik leksikal atau leksikologi.

Unsur-unsur yang terkait dengan semantik gramatikal tidak akan diikut- sertakan dalam menangani kajian ini. Hal ini dilakukan karena batasan yang akan dikaji berkaitan dengan metafora hanya sebatas hubungannya dengan unsur-unsur leksikal bahasa Aceh yang membentuk metafora bahasa tersebut. Oleh sebab itu, hanya semantik leksikal saja yang akan dibicarakan di sini.

Dalam membicarakan semantik leksikal, Cruse (2000:166-167) menempatkan kajian tersebut ke dalam dua hubungan yaitu hubungan sintakmatik dan hubungan paradigmatik. Di dalamnya, leksikal dikategorikan dalam hubungan-hubungan ini sehingga terminologi yang muncul dari hubungan ini adalah superordinat, hiponim, taksonomi, metonimi, sinonim, oposit, polariti, sinonimi, meronimi. Dalam kajian metafora ini pengkategorian tersebut tidak disinggung kecuali metonimi yang sudah dibicarakan sebelumnya, yaitu dalam keterkaitannya dengan metafora.

Verhaar (2006:385), mengatakan bahwa semantik leksikal menyangkut atau yang berkenaan dengan makna leksikal. Bidang ini juga dikenal sebagai leksikologi. Itulah sebabnya bidang semantik ini banyak membicarakan makna yang berkaitan erat dengan unsur-unsur leksikal dan tugas yang paling praktis dalam bidang kajian ini adalah penyusunan kamus bahasa. Seanjutnya Verhaar

(39)

(2006:388) menguraikan bahwa secara leksikologi, semantik leksikal mencakup beberapa komponen yang berkaitan dengan hal- hal kebahasaan, seperti makna dan referensi. Berikutnya denotasi dan konotasi, analisis ekstensinol, dan analisis intensional, dan analisis komponensial, selanjutnya metonimi dan metafora. Terakhir kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.

Komponen yang berkaitan dengan hal-hal kebahasaan yang akan diuraikan hanya sebatas pada makna dan referensi, denotasi dan konotasi, serta metonimi dan metafora. Ini dilakukan karena kebutuhan kajian metafora hanya kepada ke enam komponen tersebut.

2.4.1 Makna dan Referensi

Referensi dalam terminologi linguistik menurut Lyons (1995:417) merupakan hubungan antara kata dan benda, peristiwa, perbuatan atau kualitas yang ditandakan kepadanya. Verhaar menjelaskan (2006:389) bahwa referensi berhubungan erat dengan makna, oleh sebab itu referensi merupakan salah satu sifat makna leksikal. Walaupun referensi dan makna berhungungan erat namun keterkaitan makna dan referensi menggambarkan dua arti yang agak berbeda, misalnya kata buku mengandung makna tertentu, dan kata buku juga memiliki sifat yang disebut referensi, yaitu kemampuan kata buku mengacu pada bahan bacaan tertentu. Perbedaan antara referensi dan makna dapat digambarkan pada, misalnya tuturan saya membaca buku, maka bukulah yang saya baca, bukan makna kata buku yang saya baca.

Terminologi referensi mengandung dua arti referensi yang agak berbeda. Pertama referensi ekstralingual di mana perujukan terjadi kepada sesuatu di luar

(40)

bahasa , sebagai contoh, Saya membeli buku. Bentuk buku merujuk kepada benda yang berada di luar bahasa atau di luar tuturan. Inilah yang disebut sebagai referensi ekstralingual. Kedua referensi intralingual di mana perujukan terjadi di dalam bahasa itu sendiri, sebagai contoh, Saya membeli buku kemarin dan saya menitipkannya pada Rini. Bentuk nya pada tututran ini bereferensi ke kata buku yang ada pada tuturan pertama. Bentuk referensi yang terdapat pada kalimat ini disebut sebagai referensi intralingual.

2.4.2 Denotasi dan Konotasi

Terminologi denotasi dan konotasi di pustaka semantik sangat lazim dibedakan. Pengertian tentang denotasi dihubungkan dengan referensi ekstralingual. Makna kata dirujuk dari suatu keadaan, benda atau situasi di luar bahasa itu. Sedangkan konotasi menerangkan arti kata yang bereferensi kepada penilaian afektif dan emosional penutur, dan adakalanya pula merupakan lingkaran gagasan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata tersebut, sebagai contoh makna denotasi dari kata wanita ‘manusia perempuan atau lawan dari manusia laki-laki’, secara konotatif makna kata wanita dapat dijabarkan sebagai, perempuan, istri, bibik, janda, nenek dan semua hal yang dapat menimbulkan interpretasi dari kata tersebut.

Makna denotasi dan makna konotasi sebuah kata pada hakikatnya tidak sama. Makna denotasi adalah makna kata murni tanpa ada pengaruh perasaan dan emosi manusia, sedangkan makna konotasi merupakan pancaran interpretasi makna yang berada dalam pikiran manusia tentang makna kata tersebut, sebagai contoh kata langsing dan kurus, makna dari kedua kata tersebut pada dasarnya

(41)

sama yaitu merujuk kepada ringannya konsentrasi timbangan berat badan manusia. Akan tetapi makna konotasi kedua kata tersebut berbeda dalam pandangan manusia. Kata langsing merujuk kepada timbangan berat badan manusia yang menjadi keinginan atau idaman manusia, sebaliknya kata kurus merujuk kepada timbangan berat badan manusia yang pada umumnya kurang diinginkan oleh manusia sebab badan kurus, adakalanya disebabkan oleh penyakit atau kekurangan asupan makanan.

Dalam membedakan denotasi dan konotasi Verhaar (2006: 390) memberikan contoh kata penjara. Kata penjara mempunyai makna denotasi yang mempunyai kemampuan untuk bereferensi pada sebuah penjara, yaitu bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal para narapidana. Secara konotasi makna penjara menggambarkan sesuatu yang sifatnya negatif. Hampir semua penutur bahasa mempunyai anggapan negatif terhadap kata penjara disebabkan bayangan tentang kesengsaraan hidup terkurung di dalam penjara.

2.5 Kajian Relevan

Penelitian tentang ungkapan Bahasa Aceh pernah dilakukan oleh Athaillah dan Faridan (1984) dengan judul penelitian Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. Penelitian ini mengungkap masalah yang berkaitan dengan pengklasifikasian ungkapan tradisional yang berlaku pada masyarakat Aceh secara keseluruhan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori James Dananjaya (1982) tentang metode pengumpulan folklore bagi pengarsipan. Dari hasil penelitian ini diperoleh klasifikasi ungkapan tradisional berdasarkan penggunaan dalam

(42)

kehidupan sosial masyarakat tersebut yaitu; ungkapan yang bersifat mendidik atau pendidikan, ungkapan yang digunakan dalam upacara perkawinan, ungkapan yang digunakan dalam upacara kematian pada zaman dahulu, ungkapan yang digunakan pada upacara pertanian, dan ungkapan yang digunakan pada upacara tolak bala.

Penelitian yang dilakukan oleh Athaillah dan Faridan bermanfaat bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sebagai bahan pembanding. Walaupun ke dua-dua kajian ini sama-sama mengkaji ungkapan-ungkapan bahasa Aceh, namun ke duanya berbeda karena penelitian yang dilakukan oleh Athaillah dan Faridan mengkaji semua bentuk ungkapan, termasuk kedalamnya bentuk puisi, sajak dan pribahasa dengan menyertakan arti kiasannya tanpa menjelaskan keterkaitannya dengan lingkungan alamnya dan kognitif masyarakat tuturnya. Selain itu penelitian ini dilakukan pada lokasi yang berbeda. Athaillah dan Faridan melakukannya di Lhokseumawe, Matang, Kabupaten Aceh Utara, sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon dilakukan di Desa Trumon Kabupaten Aceh Selatan, dan teori yang diaplikasikan pada penelitian bertumpu kepada teori ekolinguistik.

Kajian ekolinguistik yang dilakukan oleh Mbete (2002) dengan topik penelitian Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan. Penelitian ini bertumpu pada tiga masalah pokok, yang berkaitan dengan pertama bagaimana bentuk ungkapan verbal etnik Lio dalam kaitan fungsionalnya dengan pemeliharaan lingkungan. Ke dua, bagaimana fungsi, makna, dan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut.

(43)

Berikutnya bagaimana kaitannya dengan sistem budaya masyarakatnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dalam perspektif linguistik budaya, khususnya etnografi berbahasa yang digunakan dalam konteks sosial budaya seperti dalam ritual keadatan, yang mengemban tujuan tertentu dan merupakan sumber budaya (sherzer, 1977 ). Kajian ini merupakan Kajian Isi (content analysis) dengan karakteristik data berupa data verbal yang berkaitan dengan makna-makna yang terkandung dalam teks dan konteks pemakaian tersebut.

Dari hasil penelitin ini diperoleh satu bentuk kebertahanan bahasa Lio yang berkaitan dengan lingkungan alam. Ini berlangsung disebabkan kandungan nilai, norma, dan fungsi penting ungkapan-ungkapan budaya verbal masyarakat etnik Lio secara kognitif dan konseptual cukup potensial dalam kaitan dengan pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial. Ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi sebagai pemeliharaan keharmonisan hubungan manusia dengan alam semesta, terutama hubungan dengan Yang Maha Kuasa tetap dijunjung tinggi dan diikuti dengan ungkapan–ungkapan verbal kepada leluhur yang secara genitis melahirkan mereka.

Ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung lingkungan alam, seterusnya ungkapan verbal yang mengamanatkan pemeliharan hutan lindung, sumber air, dan pelestarian pantai, dan laut yang diamanatkan oleh leluhur mereka masih digunakan oleh hanya sebagian dari mereka yang mengakibatkan kepedulian terhadap amanat ini mulai bergeser. Hal ini disebabkan merosotnya pemahaman

(44)

nilai dan norma pelestarian lingkungan akibat dari terjadinya kesenjangan kebahasaan antargenerasi.

Penelitian ini ditempatkan sebagai kajian relevan dengan penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon disebabkan kedua- dua penelitian sama-sama berfokus kepada ungkapan-ungkapan bahasa yang berhubungan dan berkaitan dengan lingkungan alam, ekologi dan sosio kultural, sehingga penelitian yang dilakukakan oleh Mbete ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pemerkayaan penelitian. Kendatipun demikian, penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon tidak menggunakan teori dalam perspektif linguistik budaya, tetapi penelitian ini mengaplikasikan kolaborasi teori yang bersesuaian dengan data yang diperoleh di lapangan. Teori-teori tersebut adalah metafora konseptual linguistik kognitif (Kovecses 2006) berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial (Lindo dan Jeppe 2000) dan parameter ekolinguistik (Haugen 1972), sehingga hasil penelitian ini memberikan gambaran keterkaitan antara bahasa, lingkungan alam dan lingkungan sosial manusia pemilik bahasa tersebut yang berlabel kajian ekolinguistik.

Penelitian yang dilakukan oleh Mishra (2009), berkenaan dengan kegiatan ritual agama dan mitos pada suku-suku di India dengan judul, Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions. Penelitian ini berusaha memecahkan permasalahan penggunaan ungkapan verbal yang berkaitan dengan ritual agama dan mitos dalam kehidupan sosial masyarakat asli India. Ke dua bagaimana keterhubungan antara agama dan mitos dengan lingkungan alam di sekitar mereka. Dalam memecahkan ke dua-dua masalah tersebut Mishra melalui

(45)

kajian ekolinguistik, menitik-beratkan pada teori tiga dimensi praksis sosial dan teori sosiolinguistik. Teori yang digunakan tentang kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial penutur asli dan perkembangan teknologi, melalui metode discovery and invention (Mishra 2009) dengan sumber data yang diperoleh secara langsung saat penelitian dilakukaknnya serta mengaitkannya dengan mitos dan agama pada penduduk asli India.

Penelitian ini menemukan bahwa ritual agama dan mitos berfungsi sebagai perekat dalam menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli India, dengan menghubungkan yang bernyawa dan yang tidak, serta mengaitkan masa lalu dan masa sekarang yang menyatu dengan alam sekitar mereka dalam ungkapan verbal, melalui doa dan harapan. Setiap kata mengandung makna yang dihubungkan dengan keempat hal tersebut. Namun seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, pengadaan transfortasi moderen dan ekploitasi lahan memaksa masyarakat lokal menerima budaya baru dan hampir melupakan alam yang tadinya merupakan bagian yang sarat dengan mitos dari sosio-kultural mereka.

Selanjutnya masuknya bahasa asing yang berimbas pula kepada masuknya budaya asing mengakibatkan bahasa dan budaya lokal semakin terdesak yang bermuara kepada pemusnahan tradisi lisan yang sarat dengan kearifan lokal. Kesemuanya ini menimbulkan perubahan prilaku penduduk asli dalam memerlakukan alam dan sumber daya yang mereka miliki.

Penelitian yang sudah dilakukan oleh Mishra ini dapat dijadikan bahan pembanding bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon disebabkan

(46)

kedua- duanya merupakan penelitian yang berada di bawah payung ekolinguistik. Di mana ke duanya sama-sama berfokus kepada ungkapan-ungkapan bahasa yang berhubungan dan berkaitan dengan lingkungan alam, ekologi dan sosio kultural, namun penelitian yang di lakukan oleh Mishra ini tidak dapat sepenuhnya dijadikan bahan masukan pada penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon, sebab penelitian tersebut hanya menitik beratkan penelitian pada ungkapan-ungkapan verbal yang ada hubungannya dengan mitos dan agama saja, serta menjelaskan ketergusuran bentuk ungkapan-ungkapan tersebut disebabkan oleh moderenisasi, kemajuan teknologi yang merusak hubungan harmonis antara mitos lingkungan alam, budaya masyarakat, bahasa dan agama mereka, sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon menelusuri semua bentuk ungkapan yang dikodekan ke dalam metafora yang bernuansa lingkungan alam tempat masyarakat tutur itu berada, tanpa harus memilah-milahnya hanya pada mitos dan agama. Selain itu penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon tidak berupaya mengaji pola pemertahanan, ketergerusan, dan pelesapan ungkapan-ungkapan. Sehingga teori sosiolinguistik tentang pemertahanan bahasa yang diaplikasikan oleh Mishra tidak digunakan pada penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Penelitian ini menggunakan teori metafora konseptual linguistik kognitif (Kovecses 2006) berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial (Lindo dan Jeppe 2000) dan parameter ekolinguistik (Haugen 1972), sedangkan Mishra hanya menggunakan teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan pola pemertahanan bahasa.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada tahap ini guru menggunakan alat peraga berupa benda kongkrit yang berada dekat dengan lingkungan siswa. Pada materi ini guru menayangkan video yang berhubungan dengan bumi

Outdoor activities dapat digunakan sebagai pembelajaran yang berorientasi pada lingkungan luar kelas, karena outdoor activities adalah kegiatan yang berada di

masalah dan membuat keputusan. Meningkatkan kesadaran dalam berperan serta dalam memelihara, menjaga, melestarikan lingkungan alam. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai

Konotasi disetiap lingkungan masyarakat akan memiliki beragam persepsi, karena hal ini berhubungan dengan perasaan yang mengandung emosi yang berbeda-beda, Rabbah dan

Pemanfaatan lingkungan alam sekitar sebagai sumber belajar dapat memberikan dorongan terhadap minat siswa untuk mempelajari konsep yang diberikan melalui berbagai

Kondisi Awal Kemampuan Anak TK A di TK Baiturrahaman Pusdikku TNI AD dalam Mengenal Bentuk Geometri Sebelum Menggunakan Pemanfaatan Alam dan Lingkungan Sekitar

Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang

Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata ; Kedua ,