• Tidak ada hasil yang ditemukan

nampaknya, yang menjadi daya pikat pantun sehingga banyak para peneliti tertarik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "nampaknya, yang menjadi daya pikat pantun sehingga banyak para peneliti tertarik"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

2

nampaknya, yang menjadi daya pikat pantun sehingga banyak para peneliti tertarik untuk mengkajinya. Ketertarikan para peneliti untuk mengkaji pantun tersebut, menurut Maman S Mahayana (2007), karena pantun memancarkan semacam mysterium tremendum et fascinosum (misteri yang dahsyat menggetarkan dan menakjubkan) sehingga banyak orang yang mencoba mencari ”intan permata” yang ada didalamnya, mereguk nilai luhur dan menguak misteri yang dikandungnya. Beberapa pakar yang secara serius mengkaji pantun di antaranya adalah Suripan Hadi Utomo dari Indonesia, Harun Aminurrashid dan Muhammad Haji Salleh dari Malaysia, Francois-Rene Daillie dan H. Overback dari Perancis, dan AN Veselovsky dari Rusia. Selain diteliti, pantun juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa non Melayu, seperti Perancis, Rusia, Inggris, Italia, dan Polandia (Victor Pogadaev dan Anna Pogadaev, 2007).

Penelitian-penelitian terhadap pantun Melayu secara garis besar membahas tiga hal, yaitu: pertama, penelitian terhadap struktur kebahasaan dan ciri-ciri formal pantun, seperti yang dilakukan Francois-Rene Daillie (2002) dan Muhammad Haji Salleh (2000). Kedua, penelitian terhadap fungsi pantun. Model ini dapat dilihat pada karya Tenas Effendy (2004; 2005) dan Fatimah Abdullah (2007). Ketiga, penelitian terhadap pantun sebagai identitas Melayu dan persebarannya, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana (2007), Ding Choo Ming (2007), dan Mahyudin Al Mudra (2008). Dari ketiga tema besar kajian terhadap pantun tersebut, belum ada yang secara khusus mengkaji dua baris pertama (selanjutnya disebut sampiran pantun), bahkan beberapa penelitian terdahulu melihat sampiran pantun hanyalah permainan

(2)

3

kata-kata dan metafor belaka.3 Padahal, menurut hemat penulis, penggunaan alam dan fenomena-fenomenanya pada sampiran pantun terkait erat dengan pemahaman dan penghayatan orang Melayu terhadap tempat tinggalnya. Setiap simbol-simbol yang digunakan merupakan ekspresi dari pemikiran seseorang dalam memahami dan memaknai fenomena yang berada di sekitarnya (Kris Budiman, 1999; Aan van Zoest, 1993). Berdasarkan hal tersebut, maka bentuk alam sebagai rujukan penggunaan sampiran pantun juga akan berubah seiring perubahan alam akibat munculnya kesadaran-kesadaran baru yang didorong oleh modernisasi. Memperhatikan perubahan bentuk-bentuk alam yang digunakan pada sampiran pantun, dengan demikian, kita akan mengetahui dinamika kosmologi orang Melayu pada satu sisi dan dinamika sosial Melayu pada sisi yang lain.

Setelah melakukan inventarisir terhadap pantun dari beberapa daerah di Kepulauan Nusantara, Ding Cho Ming (2007: 24) secara tegas menyatakan bahwa pantun merupakan satu hasil dari kebudayaan asli Melayu yang unik. Lebih lanjut, Noriah Taslim (http://www.usm.my) menguatkan bahwa pantun merupakan sumber khazanah dalam kehidupan masyarakat Nusantara, baik dari segi pemikiran dan nilai-nilai moralnya. Pantun menjadi guru untuk menimba dan menambah ilmu, mengetahui dan mengkaji adat istiadat, menyampaikan dan mengingatkan petuah-amanah, mengangkat tuah Melayu, mengajar hukum dan syarak, memperbaiki

3

Pada umumnya pendapat yang mengatakan sampiran pantun sekedar rima dan irama disampaikan oleh para pengkaji pantun yang berasal dari luar tanah Melayu. Pendapat seperti ini nampaknya didasari oleh pandangan mereka yang melihat pantun dengan menggunakan perspektif persajakan Barat, sehingga kurang tepat mengungkap simbol-simbol yang hendak disampaikan orang Melayu melalui pantun.

(3)

4

perangai, mengisi mana yang kurang, dan tempat mencari suluh. Pantun menjadi alat masyarakat Melayu untuk mengkonstruksi dan mereproduksi kebudayaannya. Pentingnya pantun dalam kehidupan orang Melayu dapat dilihat pada beberapa pantun hasil inventarisir Tenas Effendy (2004) berikut:

Apa guna orang bertenun Untuk membuat pakaian adat Apa guna orang berpantun Untuk mengingat petuah amanat Apa guna orang bertenun

Untuk membuat pakaian budak Apa guna orang berpantun

Untuk mengajar hukum dan syarak Apa guna orang bertenun

Untuk membuat kain cindai Apa guna orang berpantun Untuk membaiki laku perangai Apa guna orang bertenun Untuk membuat pakaian nikah Apa guna orang berpantun

Untuk menyampaikan petuah amanah Apa guna orang bertenun

Untuk membuat kain pelekat Apa guna orang berpantun Untuk mengkaji adat istiadat Apa guna orang bertenun Untuk membuat kain selerang Apa guna orang berpantun Untuk mengisi mana yang kurang Apa guna orang bertenun

Untuk membuat kain dan baju Apa guna orang berpantun Untuk menimba berbagai ilmu

(4)

5 Kalau orang melabuh pukat

Carilah pancang kayu berdaun Kalau kurang mengetahui adat Carilah orang tahu berpantun Kalau kayu hendak ditarah Keratlah cabang dengan daunnya Kalau ilmu hendak bertambah Dekati orang dengan pantunnya Apalah guna daun kayu

Untuk tempat orang berteduh Apalah guna pantun Melayu Untuk tempat mencari suluh

Pantun lahir dari tradisi oral masyarakat Melayu, yaitu sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikiran-pemikirannya. Ia menggambarkan segala hal ikhwal yang berkaitan dengan pemikiran dan perilaku orang Melayu, seperti bagaimana bersikap, bertutur kata, sampai mengungkapkan perasaan (Zainal Abidin Ahmad, 1957; Muhammad Haji Salleh, 2000: 241). Menurut Ding Cho Ming (2007: 24), pantuns not only embodies the philosophy, values, culture, wisdom, imagination, and life of Malays World People but also has been playing a prominent social symbol in the Malay world all along. Bagi masyarakat Melayu, penggunaan pantun sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikirannya telah berlangsung sejak masyarakat Melayu belum mengenal tulisan, terus berlangsung hingga saat ini, dan bahkan mungkin sampai masa-masa yang akan datang (Tengku Intan Marlina bt Tengku Mohd Ali dan Madiwati Mamat, 2007: 61).4 Namun demikian, perlu disadari sejak

4

Menurut hemat penulis, ramalan bahwa pantun akan digunakan sampai masa-masa mendatang cukup beralasan. Proyek Selaksa Pantun Melayu oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta, dan Sejuta Pantun Melayu yang diselenggarakan dan Institut Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia dengan memanfaatkan tekhnologi informasi (www.melayuonline.com dan www.malaycivilization.com) merupakan salah satu cara untuk mengekalkan dan mengembangkan pantun Melayu.

(5)

6

awal bahwa sebagai media berkomunikasi pantun akan senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan dan perubahan zaman seiring pencapaian-pencapaian kebudayaan manusia.5

Sebagai hasil dari kebudayaan oral, pembuatan pantun bersifat situasional, yaitu dibuat berdasarkan sesuatu yang berada dekat dengan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang bersifat kelisanan, pemikiran yang bersifat abstrak atau konseptual selalu dihindari (W.J. Ong, 1982). Apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, maka dirujuk kepada benda-benda yang berada disekitarnya. Perwujudan ide-ide dan gagasan seperti ini biasanya merupakan cara yang digunakan oleh masyarakat oral agar pesan yang bersifat abstrak dapat diterima dan dipahami oleh orang yang mendengarnya.

Oleh karena yang dijadikan rujukan untuk mewujukan ide-ide abstrak adalah alam raya, maka perubahan struktur alam karena perubahan zaman atau masuknya tekhnologi tentu akan menyebabkan perubahan simbol-simbol yang digunakan sebagai sampiran pantun. Bisa saja bagian-bagian dari alam raya yang dulu digunakan sebagai sampiran pantun karena ada peristiwa alam, penemuan tekhnologi, dan perubahan pola budaya dari oral ke tulisan saat ini sudah berubah sehingga tidak dikenal oleh masyarakat Melayu sekarang. Perubahan-perubahan fenomena kealaman sebagai simbol-simbol yang digunakan sebagai sumber rujukan untuk membuat sampiran pantun Melayu merupakan hal yang sangat vital karena merupakan penanda

5

Perubahan dan perkembangan pantun secara sederhana dapat ditelusuri dari perubahan jumlah baris pada pantun. Pada awalnya pantun hanya terdiri satu larik, kemudian berkembang menjadi dua, empat, delapan, enam belas dan tiga puluh dua larik. Seiring perkembangan zaman, bentuk pantun empat baris larik menjadi bentuk pantun yang paling populer.

(6)

7

adanya perubahan pola pikir masyarakat Melayu. Hal ini disebabkan karena alam tidak sekedar sumber ilham untuk menciptakan pantun tetapi juga menjadi ‘kaca benggala’ dalam membentuk peradaban Melayu, dan pada saat bersamaan menjadi penjaga keberlangsungan peradaban Melayu. Pantun merupakan hasil dari peradaban Melayu dan pada saat yang sama ia juga menjadi alat untuk mengkonstruksi dan mereproduksi peradaban Melayu. Oleh karenanya, tepat jika dikatakan bahwa pantun merupakan identitas Melayu.

Sedikitnya ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa pantun dijadikan identitas Melayu, yaitu: pertama, pantun merupakan karya sastra asli bangsa Melayu yang telah ada sebelum Hindu, Buddha, dan Islam datang. Pantun merupakan bentuk pengungkapan rasa hati dan pemikiran yang khas bangsa Melayu dan mempunyai sifat multi-budaya, multi-bahasa, multi-agama dan multi-ras. Kedua, pantun tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Pantun merupakan hasil karya sastra bangsa Melayu yang hidup baik dalam ranah great tradision maupun litle tradition. Dibandingkan dengan karya sastra lainnya, pantun merupakan satu-satunya karya sastra yang mampu menisbikan batas-batas agama, budaya, politik, dan struktur sosial masyarakat. Tidak ada aturan bahwa yang boleh berpantun hanyalah para pejabat, yang ada hanyalah keharusan agar semua puak-puak Melayu dapat berpantun. Ketiga, pantun dipergunakan dalam berbagai tempat dan dalam berbagai macam kondisi sosial (Maman S Mahayana, 2007; Mahyudin Al Mudra, 2008). Dengan demikian, maka benar apa yang diungkapkan oleh Ding Choo Ming (2007: 24), bahwa the development of pantun is closely linked to the language, culture, civilization and history of the Malay word.

(7)

8

B. Rumusan dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah perubahan fenomena kealaman yang terekam dalam pantun Melayu, khususnya pada sampirannya. Secara lebih spesifik, penelitin ini akan menjawab:

1. Bagaimana posisi pantun dalam khazanah kebudayaan Melayu?

2. Bagaimana pengaruh sosiogeografis (lokalisasi daerah) terhadap pantun Melayu? 3. Bagaimana pantun Melayu membentuk imaji kebersamaan antarorang-orang

Melayu?

Pantun merupakan hasil dari kebudayaan oral Malayu yang masih terus bertahan hingga saat ini. Hanya saja pantun seringkali disalah artikan hanya sebagai salah satu karya sastra Melayu asli. Padahal, sejatinya ia lebih luas dari anggapan tersebut. Pertanyaan pertama penting diajukan untuk membongkar salah kaprah pandangan tentang pantun.

Dalam tradisi masyarakat oral, ide-ide abstrak akan diupayakan menjadi hal yang kongkrit, seperti dengan merujukkan ide-ide yang hendak disampaikan terhadap alam sekitarnya. Perujukan alam sekitar, dengan demikian, bertujuan untuk mengkongkritkan ide-ide yang abstrak. Sebagai media untuk mengkonkritkan ide-ide abstrak, maka fenomena kealaman yang digunakan dalam pantun Melayu merupakan ekspresi dari pemahaman orang-orang Melayu terhadap lingkungan alam dimana mereka tinggal. Dengan demikian, pengkajian terhadap fenomena sosiogeografis

(8)

9

yang terekam dalam pantun Melayu dapat digunakan untuk mengetahui perubahan kosmologi Melayu. Hal inilah yang hendak dijawab pada rumusan masalah kedua.

Faktor-faktor sosiogeografis yang menjadi inspirasi dalam penciptaan pantun Melayu, sehingga dapat digunakan untuk melihat perubahan alam Melayu sebagaimana hendak diketahui melalui pertanyaan pertama, nampaknya juga menunjukkan adanya perubahan pola relasi sosial di kalangan masyarakat Melayu. Dalam konteks ini, analisis terhadap perubahan sosiogeografis yang digunakan akan bermanfaat untuk mengetahui bagaimana orang Melayu menjadikan pantun sebagai media untuk membangun kebersamaan (togetherness atau unity) antara orang-orang Melayu yang berada dalam kawasan politik dan tembok agama yang berbeda-beda. Hal ini penting untuk menjawab pertanyaan ketiga.

Oleh karenanya, berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan posisi pantun Melayu dalam khazanah kebudayaan Melayu 2. Mengetahui dan memahami pengaruh sosiogeografis terhadap pantun Melayu. 3. Mengetahui dan memahami bagaimana orang-orang Melayu menggunakan

pantun untuk membangun imaji kebersamaan di tengah-tengah perbedaan politik negara dan agama.

(9)

10

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Bagi Pelestari dan Pengembang Pantun Melayu

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bermutu bagi semua pihak yang concern pada pelestarian dan pengembangan pantun Melayu sehingga tidak terjebak pada sisi formalitas belaka. Penelitian ini tidak sekedar melihat aspek prosedural (larik dan rima), tetapi juga aspek substansi (dalaman), khususnya sampiran. Dengan cara ini, pantun tidak sekedar diposisikan sebagai identitas Melayu yang harus dipertahankan, tetapi juga menjadi penopang untuk membentuk peradaban melayu yang multikultur dan toleran, serta ramah terhadap alam.

2. Bagi Pemerintah

Pantun sebagai salah satu budaya asli Melayu mempunyai peran cukup signifikan dalam mengkonstruksi dan mentransformasikan pemikiran Melayu. Oleh karenanya, dalam era desentralisasi yang memberikan peluang cukup luas bagi setiap daerah untuk mengembangkan “jati dirinya” secara maksimal, maka hasil penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengggunakan pantun sebagai media mensukseskan pembangunan daerah baik secara materi maupun non materi.

(10)

11 3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Secara ideal, hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi dalam bidang kajian tentang pantun, baik perkembangannya pantun itu sendiri, maupun dinamika perkembangan pemikiran orang Melayu yang terejawantahkan dalam pantun Melayu. Jika penelitian-penelitian terdahulu hanya terfokus pada struktur, fungsi, serta pantun sebagai identitas dan persebarannya, maka pantun hasil kajian ini dapat menjadi referensi untuk melihat pantun dengan cara yang berbeda.

D. Tinjauan Pustaka

Sejak tahun 1688, pantun telah menjadi objek penelitian yang menarik. Para peneliti baik yang berasal dari kawasan Melayu maupun dari luar kawasan Melayu terus berdatangan untuk mengkaji setiap bagian-bagian pantun. Setap kali pantun selesai diteliti, semakin membuat para peneliti kagum dan tertantang untuk terus meneliti dan menelitinya kembali agar mampu menyingkap misteri yang melingkupinya. Pantun ibarat mata air yang tidak pernah kering untuk mengalirkan air pengetahuan kepada siapapun yang menelitinya.

Dr. J. Pijnappel Gzn (1883), dalam tulisannya yang berjudul Over de Meleische Pantuns dan diterbitkan dalam Bijdragen van het Koninldijk Instituut voor de taal-, land-, en volkenkunde van Nederlands-Indië menjelaskan bahwa dua baris pertama pada pantun Melayu hanya dimaksudkan untuk rima dan hanya dalam pengecualian mempunyai hubungan arti dengan dua baris terakhir. Sedangkan Ch. A. van Ophuijsen (1904) mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara dua bagian

(11)

12

pantun, atau setidak-tidaknya tidak perlu ada hubungan antara kedua bagian tersebut (sampiran dan isi). Selain berbicara tentang hubungan kedua bagian pantun tersebut, Ch. A. van Ophuijsen juga berupaya untuk menjelaskan tentang asal-usul pantun. Ahli lain yang berbicara asal-usul pantun adalah R.J. Wilkinson dan R.O. Winstedt. Lebih jauh dari van Ophuijsen, Wilkinson dan Winstedt merumuskan asas pantun, syarat dan ciri khasnya, yaitu dua baris yang pertama mengandung sugesti bunyi untuk dua baris yang terakhir. Sugesti bunyi merupakan unsur untuk membentuk pantun (R.A. Hoesein Djajadiningrat, 1988).

Tulisan H. Overbeck (1922) ”The Malay Pantun” dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society menunjukkan bahwa di antara kedua bagian pantun itu, mula-mula terdapat asosiasi bunyi, barulah kemudian asosiasi pikiran, yaitu dengan jalan menjajarkan bermacam-macam pantun yang bagian pertamanya berbeda, tetapi bagian keduanya serupa atau hampir serupa dan sebaliknya. Di antara kedua bagian pantun tersebut tidak hanya harus ada asonansi, tetapi juga suatu hubungan yang tentu.

Abbe P. Favre (1876), dalam Grammaire de la Langue Malaise mengemukakan bahwa dua baris yang pertama pada pantun merupakan lambang untuk dua baris terakhir. Sering kali dua baris yang pertama tidak mengandung arti, tetapi hanya digunakan untuk irama dan rima baris-baris berikutnya. Pandangan Abbe P. Favre ini didasarkan kepada pantun-pantun yang ada dalam kitab "Kisah Pelayaran ke Kelantan" karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Pendapat yang sama dikemukakan oleh W. R. van Höevell dan L. K. Harmsen dalam Verhandelingen van

(12)

13

het Bataviaasch Genootschap XIX (1843) ketika menerbitkan syair Melayu yang berjudul Syair Bidasari; dan Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap XXI (1875) ketika menerbitkan Vijftig Minangkabausche Pantuns. Menurut mereka, dua baris pertama pantun seringkali hanya omong kosong belaka.

Karya Francois-Rene Daillie (2002) yang berjudul Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pantun sampai pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa pantun merupakan ekspresi peradaban Melayu (an exspression of Malay Civilization). Menurutnya, melalui pantun kita bisa melihat peradaban Melayu (Daillie, 2002: 151).

Beberapa hasil kajian para peneliti di atas banyak mendapat kritikan, khususnya dari para pengkaji pantun yang berasal dari tanah Melayu. Kritikan terhadap para peneliti dari Eropa tersebut karena mereka memandang pantun dengan menggunakan perspektif persajakan Barat, sehingga kurang berhasil memahami makna dalaman pantun. Hasan Junus (2001: viii-ix) misalnya, mengkritik Francois-Rene Daillie karena kurang cermat dalam menerjemahkan pantun ke dalam bahasa asing. Sedangkan Intojo, sebagaimana dikutip Maman S. Mahayana (2007), mengatakan bahwa kesalahan peneliti Barat dalam memahami pantun karena mereka menganggap pantun tidak lebih dari hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Kritikan terhadap peneliti Barat menunjukkan bahwa usaha memahami pantun mestinya berdasarkan pemikiran, ukuran atau sudut pandang pantun itu sendiri yang tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melahirkannya.

(13)

14

R.A. Hoesein Djajadiningrat (1988) dalam tulisannya yang berjudul Latar Belakang Magis Yang Mendasari Arti Pantun Melayu, mencoba untuk melacak makna-makna yang terkandung dalam pantun Melayu. Menurutnya, pantun tidak sekedar bunyi, tetapi ia adalah asosiasi bunyi yang mengandung arti berkaitan dengan bunyi yang dikembalikan pada ranah kepercayaan sehingga mempunyai kekuatan magis.

Tulisan Tenas Effendy yang berjudul Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu (2004) dan Tunjuk Ajar Melayu (2005) menjelaskan fungsi pantun Melayu dalam kehidupan masyarakat Melayu. Menurutnya, pantun sangat penting dalam kehidupan orang Melayu, yaitu sebagai alat untuk memproduksi, mereproduksi, dan mentransmisikan nilai-nilai kemelayuan. Maman S. Mahayana (2007) dalam tulisannya yang berjudul Pantun sebagai Representasi Kebudayaan Melayu mencoba melihat pantun tidak sekedar sebagai sebuah wacana tekstual, tetapi juga wacana kontekstual. Dengan cara ini, ia berupaya memberikan landasan akademis bahwa pantun tidak sekedar permainan kata-kata tetapi merupakan refleksi pemahaman dan penghayatan orang Melayu terhadap mikrokosmos dan makrokosmos. Oleh karenanya, menurutnya, pantun merupakan ikon kebudayaan Melayu.

Tulisan Ding Choo Ming (2008) yang berjudul Pantun Peranakan Baba: Mutiara Gemilang Negeri-Negeri Selat mengungkapkan bahwa peranakan China di Malaysia pun tertarik dan ikut mengembangkan tradisi berpantun. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang-orang peranakan Cina yang hidup di Malaysia pantun merupakan bagian penting dalam kehidupan mereka.

(14)

15

Mahyudin Al Mudra (2007) dalam tulisannya yang berjudul Revitalisasi Pantun Melayu Memangku Tradisi Menjemput Zaman melakukan pembacaan ulang terhadap peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu. Menurutnya, pantun mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Melayu, yaitu sebagai media untuk merekonstruksi dan mentransmisikan peradaban Melayu. Oleh karenanya, pantun tidak sekedar karya sastra, tetapi juga identitas budaya yang seharusnya direvitalisasi agar orang-orang Melayu tidak tercerabut dari akar lokalitasnya.

Sebuah buku berjudul Prosiding Seminar Pantun Melayu: Semalam, Hari ini, dan Esok nampaknya merupakan informasi paling lengkap tentang perkembangan dan dialektika pantun Melayu. Dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan para pakar ini membahas berbagai hal yang terkait dengan pantun, seperti fungsi, kebahasaan, perkembangan dan persebaran pantun. Tetapi sebagai kumpulan makalah seminar, pembahasan pantun cenderung tidak mendalam.

Masih banyak lagi kajian-kajian terhadap pantun Melayu, hanya saja kajian tersebut belum satupun yang secara khusus melihat perubahan-perubahan sosiogeografis dalam pantun Melayu. Padahal, sebagai hasil dari kebudayaan oral Melayu, faktor sosiogeografis sangat penting dalam penciptaan pantun. Oleh karena itu dengan mengakaji sosiogeografis pantun kita akan mengetahui keterkaitan antara sosiogeografis tersebut dengan pantun Melayu, khususnya pada sampirannya. Selain itu, kita juga akan mengetahui perubahan pola interaksi sosial antarorang Melayu, dan sekaligus imagi kebersamaannya.

(15)

16

E. Landasan Teori

Buah mengkudu ku sangka bidara Kandis terletak di tangan tuan

Pantun Melayu warisan kita Tidak luput ditelan zaman

Pantun di atas secara jelas mengatakan bahwa pantun merupakan warisan budaya lisan Melayu yang tidak akan hilang ditelan zaman. Pantun, melalui proses produksi dan reproduksi, akan terus mengiringi orang-orang Melayu menapak sejarah peradabannya. Melalui pantun kita dapat melihat gambaran jelas tentang sejarah, budaya, dan pandangan hidup orang Melayu. Penggunaan alam dan fenomenanya dalam sampiran pantun, menunjukkan kepekaan orang-orang Melayu menangkap fenomena alam dan menggunakannya untuk membangun nilai-nilai moral, sosial, dan identitas orang-orang Melayu. Ia menjadi alat untuk merekam dan mengungkapkan pandangan hidup orang Melayu. Dengan kata lain, pantun menjadi kerangka interpretasi tindakan manusia sehingga merupakan bagian dari sistem kebudayaan.

Menurut Geertz (2001: 3), kebudayaan adalah pola makna-makna yang diwariskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Sedangkan menurut Woodward (2000: 69), kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan sadar dan di luar sadar di dalam pikiran individu, sehingga kemudian disebut aksioma pengetahun budaya.

(16)

17

Kebudayaan menurut Simuh, dengan mengutip St Takdir Alisjahbana, merupakan hasil krida, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Proses tersebut melahirkan enam nilai budaya yaitu: nilai agama-teori, seni-ekonomi, dan solidaritas-kuasa, (Simuh, 2003: 1-24). Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2001: 23-25), kebudayaan adalah produk atau hasil kerja dari aktivitas nalar manusia. Dengan demikian, kebudayaan adalah nalar manusia atau human mind.

Menurut Suparlan (1986: 107) kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Oleh karenanya benar yang dikatakan Berger (1967), bahwa kebudayaan merupakan totalitas dari produk manusia. Menurutnya, kebudayaan meliputi tiga hal: material artefak, non material sosio-kultural, dan refleksi kesadaran manusia. Material artefak dan non material artefak disebut dengan kelakuan dan produk kelakuan sedangkan refleksi kesadaran berkaitan dengan pengalaman dan kesadaran manusia.

Demikian juga dengan pantun yang lahir dari tradisi oral masyarakat Melayu. Ia merupakan refleksi pengalaman dan kesadaran orang Melayu. Penggunaan alam dan fenomenanya sebagai sampiran, dengan demikian, tentu tidak sekedar seperti apa yang disampaikan para pengkaji pantun dari luar tanah Melayu, yaitu sebagai permainan rima dan irama saja, tetapi juga merefleksikan penghayatan dan

(17)

18

pemahaman orang Melayu terhadap alam sekitarnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ong (1982), pemikiran kelisanan itu bersifat situational dan tidak abstrak. Situational artinya ia beroperasi dengan menggunakan rujukan dengan dunia yang dekat dengan kehidupan manusia. Dalam masyarakat kelisanan, pemikiran yang bersifat abstrak atau konseptual selalu dihindari, dan oleh karenanya selalu dirujukkan dengan alam sekitar.

Modernisasi kawasan Melayu yang ditandai oleh masuknya teknologi dan semakin intensifnya lalu lintas orang, sedikit banyak telah menyebabkan alam dan fenomenanya sebagai bahan rujukan untuk mengkonkritkan ide-ide yang bersifat abstrak dan konseptual itu sedikit banyak juga akan berubah. Sebagaimana dipaparkan oleh Rudolf Mrazek (2006) bahwa modernisasi dengan tekhnologi yang dibawanya telah menyebabkan berubahnya lingkungan material yang berpotensi merubah pola interaksi sosial masyarakatnya.

Perubahan alam di mana orang Melayu tinggal, secara teoritik juga akan menyebabkan perubahan-perubahan fenomena alam yang menjadi rujukan, bisa saja nilai-nilai yang ingin disampaikan masih sama tetapi karena alam dan fenomenanya telah berubah maka perujukannya juga berubah. Alam sebagai tempat belajar juga akan mempengaruhi bagaimana manusia yang berada dalam setting tempat tertentu akan membangun kebudayaannya yang unik, dan mungkin saja berbeda dari masyarakat yang menempati setting tempat yang berbeda. Mengutip Berger, manusia dibentuk oleh lingkungan sosialnya, dan pada saat bersamaan membentuk lingkungan sosialnya.

(18)

19

Sampiran pantun Melayu yang merekam suasana lingkungan dimana pantun tersebut dibuat tidak saja menginformasikan tentang konteks sosiogeografis pantun Melayu, tetapi juga berisi informasi tentang bagaimana orang-orang Melayu memahami alam sekitarnya. Dengan kata lain, sebagai pengejawantahan dari kebudayaan oral Melayu dengan alam sebagai rujukannya akan memberikan informasi yang sangat kaya tentang dinamika kosmologi orang Melayu, perubahan relasi sosial yang dibentuk, dan juga imagi kebersamaannya.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini disusun berdasarkan pengamatan lapangan yang dipadukan dengan sumber kepustakaan (library research), baik berupa buku, artikel, makalah, jurnal, majalah, surat kabar dan lain sebagainya. Pemaduan kedua jenis sumber data ini sangat penting untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian ini. Sumber-sumber tertulis pantun, khususnya yang berisi kumpulan Melayu dari berbagai wilayah di nusantara, sangat penting untuk mengetahui aspek lokalitas penciptaan sebuah pantun. Selain itu, penggunaan sumber-sumber kepustakaan juga untuk mengetahui perubahan aspek-aspek sosiogeografis dalam penciptaan pantun Melayu, sehingga akan diketahui juga perubahan yang terjadi pada alam Melayu. Sedangkan pengamatan lapangan akan dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini penggunaan pantun Melayu. Dengan mengamati secara langsung penggunaan pantun Melayu, misalnya dalam tradisi berbalas pantun dalam upacara pernikahan, kita tidak saja dapat mengetahui keahlian seseorang dalam berpantun, tetapi juga dapat mengetahui

(19)

20

bagaimana pantun sebagai warisan dari tradisi oral masih terus hidup pada zaman sekarang. Selain itu, faktor penting lainnya adalah untuk mengetahui penggunaan faktor sosiogeografis dalam penciptaan pantun, dan juga penggunaan pantun itu sendiri untuk membangun imaji kebersamaan antarmasyarakat Melayu.

Walaupun datanya berasal dari sumber kepustakaan dan lapangan, pengumpulan datanya sendiri tidak menggunakan metode khusus. Hanya saja, semua yang koheren dengan obyek pembahasan diupayakan dapat dikumpulkan selengkap mungkin. Dokumentasi tentang pantun Melayu secara garis besar akan dihimpun dan dikumpulkan dari buku-buku kumpulan pantun Melayu, baik yang telah dicetak dalam bentuk buku, maupun yang terdokumentasi dalam media online. Sedangkan data tentang bagaimana pantun dibuat dan gunakan dalam kondisi kekinian akan di dapat dengan melihat secara langsung pertunjukan berpantun, baik pertujukan secara langsung, di mana peneliti ikut hadir dalam pertunjukan tersebut, maupun melalui dokumentasi video tentang pertunjukan berbalas pantun.

Pantun-pantun yang dihimpun dari data-data kepustakaan akan dicatat dan dipilih sedemikian rupa sehingga dihasilkan dokumentasi pantun yang secara tegas dapat menunjukkan adanya faktor sosiogegografis pantun Melayu. Sedangkan dalam pertunjukkan berpantun, peneliti akan melihat ekspresi orang yang berpantun dan mencatat (atau merekam) semua pantun yang diucapkan. Dengan cara ini, diharapkan dapat diketahui keterkaitan antara pantun dengan faktor sosiogeografisnya (baca: lokalitasnya).

(20)

21

G. Sistematika Pembahasan

Laporan penelitian disusun dalam lima bab. Bab pertama ini akan memberikan penjelasan tentang alasan yang melatarbelakangi penelitian ini, posisinya dari penelitian-penelitian yang lain, dan bagaimana melakukan penelitian ini. Secara formal bab pertama akan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, landasan teoritik, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua akan menjelaskan tentang sosiogeografis pantun Melayu. Secara garis besar, pembahasan pada bab ini akan menjelaskan setting dari penciptaan pantun Melayu. Pembahasan tentang setting pantun akan memberikan gambaran tentang “konteks” penciptaan pantun. Pembahasan tentang setting (sosiogeografis) pantun akan dimulai dengan pembahasan tentang Pantun sebagai prasasti Masyarakat Oral Melayu. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang alam Melayu dalam Penciptaan Pantun. Setelah membahas posisi pantun dalam masyarakat Melayu dan keberadaan alam sebagai sumber inspirasi penciptaannya, pembahasan dilanjutkan dengan pemosisian pantun dalam pengetahuan masyarakat Melayu melalui pembahasan dengan judul subbab pantun Melayu: Alam Sebagai Simbol dan Pantun Sebagai Identitas Melayu

Bab ketiga menjelaskan secara lebih fokus terhadap keberadaan alam dan perubahannya sebagai faktor penting dalam dinamika pantun Melayu. Pembahasan pada bab ini akan dimulai dengan mennyajikan lanskap peruangan “orang Melayu” yang berubah akibat baik dikarenakan perubahan kondisi alam yang disebabkan oleh

(21)

22

perkembangan zaman ataupun yang diakibatkan oleh dari proses migrasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Dari pembahasan tersebut kita akan beranjak lebih lanjut, yaitu faktor perubahan tersebut terhadap ragam nama pantun yang dihasilkan. Pembahasan ini akan diberi judul subbab Pantun Melayu: Satu Bentuk Banyak Nama. Pembahasan bab ketiga ini akan diakhiri dengan pembahasan Kosmologi Melayu dalam Pantun: Ruang Privat dan Publik.

Bab keempat memfokuskan kajian pada Pantun dan imajinasi solidaritas Melayu Bab ini membahas tentang pantun sebagai memori kolektif Melayu, dialektika pantun Melayu, dan diakhiri dengan pembahasan tentang peran pantun dalam pembentukan imaji kebersamaan (togetherness) orang Melayu. Bab kelima berisi kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang digunakan penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah nasabah tabungan wadi’ah BPR Syariah Tanmiya

PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PWT KAB. KEPULAUAN YAPEN TH. Kawasan Perdesaan, yaitu kawasan yang diharapkan dapat menjadi pendorong pertumbuhan Kabupaten Kepulauan Yapen Kawasan

Dengan demikian, karena pekerjaan sebagai guru merupakan profesi sebagaimana yang juga telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, maka guru harus

Hasil tersebut menjelaskan bahwa proporsi kepemilikan manajerial yang tinggi akan mengakibatkan melemahnya nilai perusahaan dengan berasumsi bahwa pihak manajemen

usaha pemasaran yang lebih besar. Nice Bakery melakukan berbagai pengembangan usahanya mulai mencari informasi akan produk roti terbaru meningkatkan kreatifitas

Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma

Bukittinggi sebagai kota pendidikan telah memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai karena saat ini telah tersedia 101 Satuan PAUD, 68 Sekolah Dasar, 17

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penelitian ini berfokus pada bagaimana pandangan masyarakat Desa Porangparing Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati terhadap