• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Pendahuluan. Fokus permasalahan skripsi ini adalah pengaruh sosial. politik pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Pendahuluan. Fokus permasalahan skripsi ini adalah pengaruh sosial. politik pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Fokus permasalahan skripsi ini adalah pengaruh sosial politik pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terhadap Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” khususnya mengenai kemandirian gereja di dalam bidang organisasi, pelayanan, keuangan dan juga ciri khas dari Gereja.

Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 semangat anti kolonialisme berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Semangat anti kolonialisme ini berkembang sejak awal abad ke-20 dan semakin berkembang terutama pada era Revolusi Fisik (1945-1949). Pada periode ini Belanda berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Hal ini ditandai dengan Agresi Militer ke-1, tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947 dan Agresi Militer ke-2, tanggal 19 Desember 1948 hingga 5 Januari 1949. Pada 27 Desember 1949, pertikaian fisik antara

(2)

bangsa Indonesia dan Belanda berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.1

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda memiliki dampak yang signifikan terhadap proses pembentukan identitas Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi proses pengambilalihan aset-aset milik asing di Indonesia untuk digunakan dan dikelola bagi kepentingan Republik Indonesia. Aktivitas Nasionalisasi dan Indonesianisasi ini memuncak pada tahun 1959 ketika warga negara asing berbondong-bondong meninggalkan Indonesia sebagai akibat dari semangat anti kolonialisme.2

Dampak dari aktivitas tersebut tidak hanya dirasakan pada bidang sosial, ekonomi dan politik namun juga pada bidang agama. Anggota Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat baik jemaat3 maupun pendeta yang berkebangsaan Belanda dan

1Ailsa Zainu’ddin, A Short History of Indonesia. (Victoria: Cassell Australia LTD. 1968), hlm. 237.

2 SW. Lontoh dan H. Jonathans, Bahtera Guna Dharma. (Jakarta: Majelis Sinode XII Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. 1981), hlm. 175.

3 Pegawai sipil dan swasta pada masa kolonial Belanda terbagi dalam tiga kelompok: orang Eropa (termasuk orang Belanda), orang keturunan Belanda dan orang pribumi. Dalam gereja sendiri orang pribumi yang dimaksud adalah pegawai-pegawai yang berasal dari wilayah Indonesia Timur seperti Ambon, Minahasa dan Timor. ibid, hlm. 169-170.

(3)

Eropapun pergi meninggalkan Indonesia pada tahun 1958 dan yang tinggal hanya yang menjadi pengajar di sekolah-sekolah Teologia di Indonesia.

Kepergian orang-orang Belanda mengakibatkan perubahan mendasar di dalam tubuh GPIB. Apabila sebelumnya terdapat dua jemaat, dua majelis, dua kas jemaat dan juga dua bahasa di dalam pelayanan maka sejak tahun 1958/1959 semuanya berubah, tidak ada lagi dualisme di dalam tubuh GPIB.4

Berada dalam pengawasan yang ketat dari pemerintah kolonial sejak abad ke-19, permasalahan mengenai pembentukan identitas yang mencerminkan semangat nasionalisme yang populer pada saat itu muncul dalam tubuh gereja. Menurut SW. Lontoh & H. Jonathans dan Locher masalah tersebut telah diangkat pada tahun 1948 namun baru dapat terwujud pada tahun 1958-1959.5 Desakan yang terus muncul dari tokoh-tokoh Indonesia seperti Ds. Wenas, Ds. Rompas, Ds. Kainama dan kaum muda di dalam Gereja membawa perubahan yang dihasilkan dengan keputusan penghapusan praktek dualisme sejak Sidang

4 G.P.H. Locher, Tata Gereja Protestan di Indonesia, terj. Pdt. H. Jonathans dan Evie Item. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). hlm. 185.

5SW. Lontoh & H. Jonathans, op. cit., hlm. 182 & G. P. H. Locher,

(4)

Sinode ke-IV namun baru diterapkan sepenuhnya sejak tahun 1959 setelah orang-orang Eropa meninggalkan Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kepergian jemaat Belanda berdampak terhadap gereja. Kas gereja yang diperoleh dari pengumpulan uang kolekte jemaat untuk kepentingan pelayanan dengan kepergian para pegawai sipil maupun swasta serta para mantan tentara KNIL berkebangsaan Belanda, menurun drastis menjadi sangat sedikit. Walaupun demikian pengurus gereja terus berupaya mencari dana untuk membiayai berbagai aktivitas pelayanannya meskipun terkendala kepasifan jemaat Gereja.

Sementara itu di dalam bidang organisasi, periode 1948– 1964 merupakan fase di mana gereja meletakkan fondasi bagi perkembangan GPIB ke depan dan hal ini dilakukan hampir seluruhnya oleh orang-orang Indonesia yang mendapatkan sedikit pengalaman pada masa Penjajahan Jepang.6

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat pada zaman Belanda merupakan gereja negara yang dikenal dengan nama

Indische Kerk atau De Protestansche Kerk in Nederlands Indie.

Sama seperti pembagian kelompok sosial masyarakat zaman Belanda di dalam Gerejapun dilakukan praktek yang sama.

(5)

Dalam tubuh gereja terdapat pembagian terhadap kelompok jemaat Belanda dan kelompok jemaat pribumi. Praktek tersebut diikuti dengan praktek dualisme di Gereja dalam bidang organisasi, keuangan dan pelayanan.7

Praktek dalam tubuh GPIB berbeda dengan yang terjadi pada Gereja Katolik. Sejak awal berkembangnya otoritas Gereja Katolik telah mengangkat permasalahan identitas lokal sebagai hal yang harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Kesempatan yang diberikan oleh Gereja Katolik bagi orang pribumi untuk memimpin sebuah jemaat pada awal dasawarsa 1940-an lebih signifikan dibandingkan dengan Indische Kerk. Hal ini terjadi karena otoritas tertinggi Gereja Katolik terdapat di Vatikan bukan di Belanda.8 Meskipun demikian bukan berarti bahwa di dalam tubuh Indische Kerk hal tersebut tidak mendapat perhatian. Pada awal lahirnya GPIB telah ada beberapa pendeta dan majelis berkebangsaan Indonesia. Keberadaan orang-orang Indonesia ini merupakan hasil dari pemisahan administratif Gereja dan Negara

7 G.P.H. Locher, op. cit., hlm. 183.

8Lihat Anhar Gonggong, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ Antara

Gereja dan Negara. (Jakarta: PT. Grasindo, 2012), hlm. 34 -35 & G. Budi

Subanar, SJ. Soegija, Si Anak Betlehem dari Jawa. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 89 & 129. Bandingkan dengan kesempatan yang dimiliki oleh pendeta – pendeta pribumi pada periode yang sama, Lihat G. P. H. Locher

(6)

tahun 1935. Pada periode penjajahan Jepang orang-orang Indonesia seperti Ds. Supit, Ds. Wenas, Ds. Rompas, Ds. Kainama, Ds. Uktolseja dan Ds. Kawengian merupakan sebagian dari

kelompok pendeta Indonesia yang menjalankan roda

pemerintahan Gereja serta menjaga keutuhan Gereja hingga memungkinkan lahirnya GPIB pada tahun 1948.

Transisi GPIB terjadi pada konteks sosial politik Indonesia yang sedang berubah dari periode kolonial ke pasca kolonial. Secara khusus lingkup sosial politik itu terkait dengan posisi dan status kota Yogyakarta - tempat GPIB Jemaat “Margomulyo” berada - sebagai ibukota Revolusi Republik Indonesia. Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 yang ditandai dengan tibanya Soekarno dan Hatta di Yogyakarta. Kedatangan mereka diikuti perpindahaan aparat-aparat pemerintahan secara berangsur-angsur ke Yogyakarta. Perpindahan tersebut diikuti pula oleh kedatangan penduduk yang mengungsi ke kota dari tempat asal mereka.9 Perpindahan ibukota Republik Indonesia menjadikan kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan nasionalisme oleh para pemimpin Republik. Namun kelahiran GPIB diikuti dengan stigma masyarakat mengenai Gereja sebagai antek kolonial terutama pada periode Agresi Militer

(7)

ke-2 meskipun pada perkembangannya stigma ini dibuktikkan tidak benar oleh Gereja yang sebagian besar anggota jemaatnya turut berpartisipasi dalam Perang Kemerdekaan.

Sebagai bagian dari masyarakat, gereja dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena anggota gereja adalah juga anggota masyarakat dengan demikian gereja harus selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta sebagai bagian dari GPIB juga mengalami proses yang sama. Dalam hal ini adalah proses dekolonisasi.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini melihat perkembangan GPIB sejak tahun 1948 dengan tolok ukur antara lain: perubahan organisasi, pelayanan dan keuangan. Perkembangan jemaat dan keberagaman jemaat gereja menjadi daya tarik sendiri untuk pengkajian.

Untuk menjaga penelitian ini agar tidak menyimpang dari tema besar maka dibuatlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah dekolonisasi Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta memiliki kesamaan pola dengan dekolonisasi sosial dan politik? Mengapa?

(8)

2. Apa dampak dari dekolonisasi terhadap Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta?

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta dijadikan sebagai cakupan spasial. Pertama, karena tidak seperti GPIB di tempat lain, gereja ini berada di pusat kebudayaan Jawa yang memiliki perbedaan dari segi latar belakang budaya dan agama. Walaupun demikian gereja ini mampu menjalin ikatan dengan Keraton Yogyakarta maupun penduduk di sekitarnya. Gereja yang telah ada sejak tahun 1857 ini juga menjadi satu-satunya gereja GPIB yang hanya memiliki satu jemaat sampai saat ini di saat gereja-gereja lainnya mengalami pemekaran.10

Kedua, seperti telah disebutkan sebelumnya pada saat kelahiran GPIB “Margomulyo”, Yogyakarta adalah ibukota Republik Indonesia dan menjadikannya sebagai pusat Revolusi dan juga pelopor perubahan-perubahan sosial dan politik di Indonesia.11 Selain itu terdapat kesamaan permasalahan yang

10http://www.gpibmargamulya.org/index.php?option=com_conten t&view=article&id=15&Itemid=135b

11Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981). hlm. 6

(9)

terjadi dalam hal administrasi pemerintahan dengan yang terjadi di dalam tubuh gereja.

Cakupan temporal dari penelitian ini adalah tahun 1948 hingga 1964. Pemilihan tahun tersebut memiliki beberapa alasan. Pertama, pada kurun waktu tersebut gereja sedang mengalami proses peletakan dasar gereja dan pada saat yang bersamaan gereja juga mengalami untuk pertama kalinya pemisahan antara gereja dan negara.

Kedua, pada periode tersebut di Indonesia sedang terjadi gerakan anti kolonialisme yang berujung pada nasionalisasi berbagai perusahaan dan aset-aset milik asing. Gereja juga mengalami implementasi UU Agraria tahun 1960 yang menyebabkan konversi dari kepemilikan Belanda menjadi kepemilikan Organisasi Gereja Berbadan Hukum yang berhak memiliki Harta Milik Tak Bergerak sebagai kekayaan yang sah. Gerakan anti kolonialisme ini juga menyebabkan pergantian bahasa pelayanan Gereja menjadi Bahasa Indonesia dan

penghapusan dualisme di dalam jemaat Gereja.12

12SW. Lontoh & H. Jonathans, op. cit., hlm. 190 – 192 & Wawancara via e-mail dengan Pendeta H. Jonathans pada 21 Juni 2015 pukul 23.42 WIB.

(10)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

Pertama, untuk mengetahui perkembangan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta pada tahun 1948-1964.

Kedua untuk menjawab pertanyaan : apakah ada kesamaan pola antara dekolonisasi gereja dengan dekolonisasi sosial dan politik.

Yang terakhir adalah untuk melihat perubahan - perubahan yang terjadi di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta sebagai akibat dari proses dekolonisasi.

D. Tinjauan Pustaka

Telah ada berbagai tulisan mengenai Sejarah Gereja di Indonesia yang ditulis oleh beberapa peneliti. Buku-buku tulisan Th Muller Kruger,13 Th. van Den End,14 H. Berkhof dan I.H.

13Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia.(Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959).

14Th. van Den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia

(11)

Enklaar,15 Anne Ruck 16 pada umumnya membahas mengenai kemunculan gereja di Asia khususnya di Indonesia serta perkembangannya dari zaman ke zaman. Sebuah kesamaan dapat disimpulkan dari tulisan-tulisan mereka ini yaitu bahwa gereja di Indonesia khususnya berkembang secara pesat pada periode pertengahan abad ke 20. Tulisan-tulisan mereka menyinggung pula mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di luar maupun di dalam yang mempengaruhi perkembangan gereja tetapi sangat sedikit yang menyinggung mengenai proses dan efek dari dekolonisasi terhadap gereja di Indonesia khususnya di tingkat daerah.

Buku Biografi Mgr. A. Soegijapranata yang ditulis oleh Anhar Gonggong17 dan G. Budi Subanar, SJ18 serta buku Jan Bank19

Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860an – sekarang. (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2014).

15H. Berkhof, I.H. Enklaar, Sejarah Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005).

16Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005).

17Anhar Gonggong, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ Antara Gereja

dan Negara. (Jakarta: PT. Grasindo, 2012),

18G. Budi Subanar, SJ. Soegija, Si Anak Betlehem dari Jawa. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003).

19Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia. (Jakarta: Penerbit PT Grasindo, 1999).

(12)

membahas mengenai tokoh Gereja Katolik dan perkembangan Gereja Katolik, ketiga buku ini memberikan gambaran bagaimana perjuangan orang Kristen khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta sejak jaman Hindia-Belanda hingga pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Tulisan Charles F.Keyes20 tentang orang-orang Protestan di Asia Tenggara membahas mengenai jenis Protestan di Asia Tenggara, jumlah orang Protestan serta pengaruh dari penguasa terhadap penyebaran Kristen. Gavin W. Jones21 di dalam tulisannya menegaskan bahwa otonomi yang diperoleh gereja menjadi pendorong terjadinya perkembangan dalam gereja sejak 1930. Ia juga membahas mengenai perubahan dalam gereja dan perkembangan gereja di Indonesia khususnya mengenai perkembangan jumlah jemaatnya tetapi tidak membahas secara detail penyebab dan dampaknya di tiap-tiap daerah. Kedua tulisan tersebut mendukung penentuan tema penelitian yang dipilih ini.

20Charles F. Keyes, “Being Protestant Christians in Southeast Asian Worlds”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 27, No.2 (Cambridge University Press on behalf of Department of History, National University of Singapore, Sep1996), hlm. 280-292.

21Gavin W. Jones , “Religion and Education in Indonesia,” Indonesia, No. 22 ( Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Oct. 1976 ), hlm. 19-56.

(13)

Tulisan khusus mengenai Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat juga telah ada. Buku karya S.W. Lontoh & H. Jonatahans22 dan G.P.H Locher23 keduanya memberikan banyak informasi dasar seperti Sejarah Gereja di Indonesia khususnya GPIB dan perkembangannya dari masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Di dalam buku tersebut mereka membahas mengenai organisasi gereja, keuangan gereja, aktivitas gereja dan perkembangan GPIB secara nasional tetapi sedikit sekali membahas mengenai perkembangan gereja di tiap-tiap daerah.

Penelitian di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” ini akan mengangkat sebuah topik yang belum dibahas oleh pihak lain.

Seperti telah diuraikan di atas, tulisan ilmiah mengenai Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat “Margomulyo” telah dilakukan oleh dua orang. Pertama, tulisan Titi Handayani yang hanya membahas mengenai arsitektur GPIB “Margomulyo” dan tulisan yang paling mendekati dengan tema penelitian ini adalah tulisan Herbet Sitorus yang berjudul

22S. W. Lontoh & H. Jonatahans. Bahtera Guna Dharma GPIB. (J akarta: Lembaga Penelitian Perencaanaan dan Pengembangan GPIB, 1981).

23G. P. H. Locher, Tata Gereja Protestan di Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).

(14)

Protestansche Kerk Yogyakarta: Sejarah dan Perkembangannya 1857-1987.

Dalam tulisannya Herbet Sitorus membahas mengenai proses masuknya Kristen di Yogyakarta hingga lahirnya

Protestansche Kerk Yogyakarta serta perkembangannya dengan

cakupan temporal yang luas 1857-1987, juga mengenai perkembangan dalam Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) sendiri secara nasional serta menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dengan sedikit penjelasan mengapa perubahan tersebut dapat terjadi secara detil. Ia lebih banyak menjelaskan mengenai aktivitas sosial Gereja ke masyarakat. Hal-hal yang disebutkan di atas berbeda dengan apa yang akan dilakukan oleh penelitian ini.

Penelitian ini secara temporal akan membahas periode 1948-1964 - tidak seperti tulisan Herbet Sitorus, - perbedaan lainnya adalah penelitian ini akan melihat situasi politik dan sosial di Indonesia dan secara khusus Yogyakarta serta pengaruhnya terhadap perubahan di Gereja.

Tema besar dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah dekolonisasi. Oleh sebab itu tulisan-tulisan mengenai pengaruh barat dan dekolonisasi menjadi wajib untuk digunakan.

(15)

Artikel Harry J. Benda24 mengenai dekolonisasi membahas tentang proses dari dekolonisasi yang terjadi di Indonesia tetapi hanya dari aspek yang bersifat fisik dan juga tidak menyeluruh. Ia menyinggung perubahan yang terjadi di bidang politik, administrasi dan ekonomi tetapi tidak menyinggung mengenai perubahan di bidang sosial dan agama meskipun di dalam artikelnya ia berpendapat bahwa agama merupakan agen perubahan tersukses khususnya di Jawa.

Tulisan Pierre Van Der Eng25 mengenai bantuan ekonomi pasca Perang Dunia II dan pengaruhnya terhadap dekolonisasi. Ia menyinggung bahwa bantuan ekonomi asing terhadap Indonesia membantu proses kemandirian Indonesia dalam berbagai aspek. Gereja sangat tergantung kepada pemerintah dalam berbagai hal dan salah satunya adalah finansial. Kemampuan gereja untuk mandiri dalam hal finansial berpengaruh terhadap aktivitas pelayanan injil gereja.

24Harry J. Benda, “Decolonization in Indonesia: The Problem of Continuity and Change”, The American Historical Review, Vol. 70, No. 4 (Oxford University Press on Behalf of the American Historical Association, Jul., 1965), hlm. 1058-1073.

25Pierre Van Der Eng, “Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia, 1947-1949”, Journal of Southeast Asia

Studies, Vol. 19, No.2 (Cambridge University Press on behalf of

Department of History , National University of Singapore, Sep., 1988), hlm.335-352.

(16)

Tulisan Emmanuel Subangun26 menyinggung langsung tema dari penelitian ini akan tetapi tulisannya berfokus pada Gereja Katolik dan cakupan temporalnya berfokus pada tahun 90-an. Dekolonisasi Gereja adalah sebuah proses pembebasan diri Gereja dari ikatan-ikatan ketergantungan terhadap sistem kolonial. Ketergantungan ini adalah salah satu hal yang coba dihilangkan oleh GPI sejak tahun 1933 dan GPIB sejak tahun 1948. Gereja adalah bagian yang tidak terpisahkan oleh masyarakat karena jemaatnya merupakan bagian dari masyarakat, sehingga ketika masyarakat harus melakukan perubahan maka Gereja juga harus ikut dalam perubahan tersebut. Hal inilah yang terjadi pada periode pasca kemerdekaan di Gereja Protestan yang dipaksa untuk berubah mengikuti semangat anti kolonialisme yang sedang berkembang pada saat itu.

Tulisan Selo Soemardjan27 mengenai Yogyakarta menjadi salah satu buku yang penulis gunakan sebagai acuan untuk melihat gejolak yang terjadi di Yogyakarta pada tahun-tahun sekitar lahirnya Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Beberapa isu mengenai perubahan di bidang administrasi,

26Emannuel Subangun, Dekolonisasi Gereja di Indonesia, Suatu

Proses Setengah Hati. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003).

27Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981).

(17)

semangat revolusi, situasi sosial-ekonomi dan kondisi psikologis masyarakat Yogyakarta dalam tulisannya memiliki kesamaan dengan kondisi internal gereja yang baru saja berdiri dan sedang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar yang berciri khas Indonesia.

E. Metode dan Sumber

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Pertama penulis melakukan pencarian literatur di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya dan perpustakaan Universitas Gadjah Mada untuk memastikan bahwa tema yang dipilih belum pernah ditulis oleh orang lain. Wawancara awal dengan Kepala Kantor GPIB “Margomulyo” Marthen Lere Dawa dan Profesor Pendeta Gerrit Singgih untuk memastikan ketersediaan sumber serta mencari saran mengenai topik yang bisa ditulis. Setelah seluruh proses tersebut terlaksana penulis mengajukan tema “Dekolonisasi Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta 1948-1964” sebagai tema penelitian ini dan diajukan pada mata kuliah Seminar dan selanjutnya kepada Dosen Koordinator Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah setelah menyelesaikan mata kuliah Seminar.

Tahap kedua adalah proses pengumpulan data atau

(18)

beberapa instansi. Pertama dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta, Perpustakaan dan Arsip Universitas Gajah Mada. Dari ketiga tempat ini penulis mengumpulkan sumber-sumber berbentuk buku dan dokumen seperti arsip pemerintah, catatan harian, artikel koran dan foto.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta. Dari tempat ini penulis melakukan pengumpulan data berbentuk dokumen dan wawancara para pegawai instansi tersebut.

Pusat Dokumentasi Sejarah Gereja Indonesia - Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Dari tempat ini penulis melakukan pengumpulan data berbentuk dokumen seperti notulensi Sidang Sinode Am GPI ke-3 tahun 1948, Verslag van de Proto Synode

Protestantse Kerk in Westelijk Indonesia van 25 tot 31 October 1948 te Batavia, dan literatur-literatur berkaitan dengan aktifitas

pemuda di lingkungan Gereja dan nasionalisme di dalam Gereja.

Dari Majelis Sinode GPIB penulis mendapatkan rekomendasi mengenai narasumber-narasumber yang paham mengenai tema ini. Salah satu rekomendasi Majelis Sinode GPIB adalah menemui beberapa pendeta GPIB salah satunya Pendeta Hendrik Ongirwalu. Koleksi milik Pendeta Ongirwalu mengenai Notulensi Persidangan Sinode GPIB sejak tahun 1948 hingga 1964 sebagai sumber utama penulisan.

(19)

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta, dari tempat ini penulis mengumpulkan sumber dalam bentuk dokumen seperti Buku Daftar Jemaat Gereja, Buku Baptis Jemaat, Buku Pendaftaran Pernikahan Jemaat, Notulensi Rapat Majelis Gereja. Selain itu juga penulis melakukan wawancara dengan Pendeta-pendeta di Gereja tersebut, antara lain: 1) Pendeta Y.E.F. Talise, Ketua Majelis Jemaat 2014 – sekarang. 2) Pendeta Joseph Ginting, Ketua Majelis Jemaat 2005 – 2008. 3) Pendeta Profesor E. G. Singgih, Pendeta Jemaat GPIB “Margomulyo” dan Guru Besar Teologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Selain pendeta penulis melakukan wawancara dengan Kepala Kantor GPIB “Margomulyo” Yogyakarta Marthen Lere Dawa dan beberapa Majelis Jemaat gereja.

Perpustakaan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, dari tempat ini penulis mengumpulkan sumber dalam bentuk dokumen seperti Volkstelling 1930: Deel I –

VIII dan Statistical Pocketbook 1957-1959.

Setelah melakukan pengumpulan sumber, penulis melakukan seleksi terhadap data dari arsip dan wawancara Pada tahapan ini penulis melakukan verifikasi hasil-hasil wawancara dan dokumen-dokumen yang ditemukan di berbagai instansi yang

(20)

dikunjungi dengan literatur-literatur yang berkaitan dengan tema penelitian. Sebagian besar data dari arsip penulis gunakan sebagai sumber utama penulisan sedangkan sebagian hasil wawancara tidak digunakan dalam tahap penulisan. Tahapan terakhir dari penelitian adalah interpretasi fakta-fakta sejarah yang telah dikumpulkan dan ditulis menjadi sebuah tulisan sejarah.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama adalah pengantar yang membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan sumber dan sistematika penulisan.

Bagian kedua membahas mengenai perubahan makro sosial politik dalam hal kondisi, posisi dan arah gereja-gereja khususnya GPIB Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta serta kondisi Yogyakarta pada era Revolusi.

Bagian ketiga membahas mengenai reorientasi dan restrukturisasi di GPIB Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta. Proses reorientasi dalam Gereja sendiri merupakan sebuah proses yang terjadi sejak tahun 1917 yang berujung pada lahirnya GPIB pada tahun 1948 dan diikuti dengan perubahan organisasi serta keuangan Gereja.

(21)

Bagian keempat membahas mengenai hasil dari restrukturisasi gereja dan identitas kolektif gereja serta jemaat GPIB Jemaat “Margomulyo” Yogyakarta. Proses restrukturisasi yang dilakukan sejak tahun 1948 juga mempengaruhi perkembangan organisasi pelayanan Gereja GPIB yang dasar-dasar pelayanannya digunakan hingga hari ini. Selain itu penulis juga memaparkan mengenai identitas GPIB secara umum dan ciri khas dari GPIB “Margomulyo”.

Bagian kelima berisi kesimpulan dari seluruh penelitian ini serta jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memahami komunikasi yang baik antara suami yang berasal dari papu dan istri yang berasal dari jawa haruslah keduanya adanya saling mengerti satu masa

Pada proses utama, komputasi menggunakan metode Template Matching dan Hamming Distance, pola wajah akan dilatih untuk mendapatkan sebuah matriks bobot, yang selanjutnya

TULISKAN “K" DI KOLOM 1 PADA KALENDER BULAN TERAKHIR UNTUK KEHAMILAN YANG BERAKHIR DENGAN KEGUGURAN, "A" UNTUK KEHAMILAN YANG BERAKHIR DENGAN DIGUGURKAN,

Sertiflkasi produk pupuk kalium sulfat dilakukan oleh LPK yang telah terakreditasi oleh KAN berdasarkan SNI ISO/IEC 17065, Penilaian Kesesuaian - Persyaratan untuk

Terakhir peserta disajikan Pos-Test tentang materi akuntansi secara umum untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman akuntansi masing-masing pelaku IKM KUB RRT

Kemudian secara terminologis yang berdasarkan pada pendapat para ahli bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan

Perancangan Interior Pusat Edukasi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Bandung ini menampilkan cerita sejarah yang fokus pada saat Proklamasi Kemerdekaan

Menurut Jhon Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK adalah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan didalamnya (Elliot,