• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. konsepnya habitus dan field yang menghasilkan praktik. Bourdieu merumuskan praktik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORITIS. konsepnya habitus dan field yang menghasilkan praktik. Bourdieu merumuskan praktik"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Teori Habitus dan Field dari Pierre Bourdieu

Peirre Bourdieu mencoba mengintegrasikan antara aktor dan struktur melalui konsepnya habitus dan field yang menghasilkan praktik. Bourdieu merumuskan praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial. Apabila interior itu adalah pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya yang dibentuk oleh habitus, dan eksterior adalah struktur objektif yang ada di luar diri pelaku sosial yaitu field, maka praktik sosial ini dengan sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial dan struktur sosial atau produk interaksi dialektis antara habitus dan struktur (Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009; Harker, 2009).

Karena itulah, pembahasan habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah “ruang” yang di dalamnya terjalin jaringan relasi antarposisi objektif, dan yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena sebagai suatu tempat pertempuran, “arena juga merupakan arena perjuangan” Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis (Ritzer dan Douglas, 2009: 582-583).

(2)

10

Pengertian field (s) diuraikan dalam tulisan Jenkins (1992:84) dari hasil wawancara Loic Wacquant dengan Bourdieu, sebagai berikut:

“...A field, in Bourdieu’s sense, is a social arena within which struggles or manoeuvers take place over specific resources or stakes and access to them. Fields are defined by the stakes which are at stake – cultural goods (life-style), housing, intellectual, distinction (education), employment, land, power (politics), social class, prestige, or whatever – and may be of differing degrees of specificity and concreteness. Each field, by virtue of its defining content, has a different logic and takenfor- granted structure of necessity and relevance which is both the product and producer of the habitus which is specific and appropriate to the field. [bolds added]”

Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, Bourdieu mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial, karena itu field merupakan wadah untuk mewujudkan habitus. Namun, menurutnya dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku.

Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1) Modal terakumulasi melalui investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Haryatmoko, 2003:11).

(3)

11

Berdasarkan penjelasan di atas, modal-modal tersebut dapat digolongkan menjadi: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; (2) Modal budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Misalnya kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar keserjanaan); (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa; dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi (Fashri, 2007: 98-100; Rtzer, 2009: 583-584; Haryatmoko, 2003: 11-13).

Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi. Pertama, dimensi vertikal, hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku–yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya–dengan mereka yang miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan melihat pemisahan antara keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal. Model pembagian kelas tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan yang memungkinkan perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat. Secara lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit kemungkinannya menikah dengan orang yang

(4)

12

berasal dari kelas bawah. Pertama, karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu; kedua, seandainya mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah saling memahami karena perbedaan latarbelakang budaya atau habitus mereka.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2009), yang menguraikan pemikiran Bourdieu mengungkapkan bahwa habitus dapat dimaknai sebagai “akal sehat” (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif, habitus memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.

Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus menghasilakan perbedaan gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan yang diperoleh dari pengalaman individu dalam berinteraksi. Pola yang terinternalisasi tersebut mencakup berbagai prinsip klasifikasi, Bourdieu (1990: 53) mengatakan:

“Habitus are also classificatory schemes, principles of classification, principle of vision on division, different tastes. They make distinction between with is good and what is bad, what is right and what is wrong, between what is distinguished and what is vulgar…”

(5)

13

Berdasarkan uraian di atas, maka definisi habitus yang dikemukakan Bourdieu dapat diformulasikan menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi. Hal ini mencakup beberapa prinsip, diantaranya: pertama, habitus mencakup dimensi kognitif dan afektif yang terejewantahkan dalam sistem disposisi1 (Harker, dkk., 1990: 81; 2009: 13) Kedua, habitus merupakan proses dialektika dari “struktur-struktur yang dibentuk (structured structure) dan “struktur-struktur yang membentuk” (structuring structure). Karena itu, disatu sisi habitus berperan membentuk kehidupan sosial, namun disisi lain habitus juga dibentuk oleh kehidupan sosial (Ritzer, 1996: 405). Dalam konteks seperti ini, Ritzer mengungkapkan bahwa habitus dapat bermakna sebuah proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas.

Prinsip ketiga, habitus dilihat sebagai produk sejarah. Bourdieu mengemukakan “the habitus, the product of history, produces individual and collective practices, and hence history, in accordance whit the schemes engendered by history (Ritzer, 1996: 404). Dengan demikian, habitus merupakan hasil pembelajaran dan sosialisasi individu maupun kelompok, terkadang pengaruh masa lalu. Prinsip keempat, habitus bekerja di bawah aras kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan instrospektif atau kontrol oleh keinginan aktor.

Walupun demikian, habitus juga memberikan strategi bagi individu untuk mengatasi berbagai situasi yang terus berubah, lewat pengalaman-pengalaman masa lalu, karena itu, habitus berfungsi sebagai matriks persepsi, apersepsi, dan tindakan.

1 Disposisi adalah hasil dari tindakan yang mengorganisir, menurut suatu makna yang dekat dengan makna kata-kata seperti struktur; ia juga menunjukkan way of being (cara mengada), keadaan kebiasaan (terutama kebiasaan tubuh), dan secara khusus menunjukkan predisposition, tendency, propensity, atau inclination.

(6)

14

Berdasarkan itu, maka dapat dikatakan bahwa sebuah tindakan tidak selamanya dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan pada aturan, namun habitus turut memberi arah (pendorong selakigus penghambat) bagi individu untuk bertindak. Dengan demikian, habitus memberi keleluasan bagi aktor untuk berimprovisasi, bebas, dan otonom. Pierre Bourdieu menyatakan, “sebagai sistem skema pendorong yang diperoleh, habitus memungkinkan kreatifitas pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan yang terpatri dalam pembatasan yang melekat pada kondisi khas produksinya. Habitus mencoba mengatasi determinisme dan kebebasan, pengkondisian dan kreativitas, kesadaran dan ketidaksadaran, atau individu dan masyarakat (Haryatmoko, 2003: 11).

Dalam kaitannya dengan bank sampah, habitus para aktor memungkinkan munculnya kreatifitas pemikiran yang termanifestasi dalam strategi pengelolaan sampah lewat lembaga bank sampah yang dibentuk. Selain itu, dengan memakanai habitus yang mereka miliki, telah membuak ruang dalam upaya peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat. Walaupun demikian, peneliti tidak bermaksud mengatakan bahwa anggota masyarakat tidak mampu “mengekspresikan” habitus yang mereka miliki. Namun dalam hal ini, pengaruh (dan mungkin saling pengaruh) antara para aktor dan masyarakat (umum–khususnya masyarakat Tegalrejo) mungkin akan memunculkan bentuk habitus baru, berupa perubahan pemahaman (pola pikir dan pola tindak) dalam masyarakat. Perubahan pemahaman ini, bisa saja tampak dalam kesadaran masyarakat untuk mulai memilih dan memilah sampah dari sumbernya sebelum sampai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau ke Bank Sampah.

(7)

15

2.2. Aktor dan Strategi Pengelolaan Bank Sampah

Anthony Giddens (2010:585) mengemukakan bahwa “analisis perilaku strategis adalah analisis sosial yang menggantung institusi sebagai hasil reproduksi sosial, dengan memusatkan perhatian pada bagaimana aktor mengawasi perbuatan mereka secara reflektif, serta bagaimana aktor menggali dan menyusun peraturan serta sumber daya dalam menciptakan interaksi. Pertanyaannyanya adalah apa atau siapakah agen/aktor itu? jika mencermati teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens (2010), demikian pula teori habitus dan field dari Pierrre Bourdieu (Harker, 2009; Fashri, 2007; Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009), yang bersepakat tentang adanya individu otonom, bebas dan rasional, maka keduanya sampai pada satu titik temu, bahwa setiap orang dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan, namun kebiasaan tindakan tidak bekerja seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan strategis dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dengan demikian, aktor tidak bisa direduksi sebatas manusia individu saja, namun bisa juga kelompok, atau bahkan institusi/lembaga.

Dalam konteks seperti ini, maka pertanyaannya adalah bagaimana aktor berperan dalam mengelola bank sampah? Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Dept. Pekerjaan Umum (SNI 19-2454-2002), bahwa sistem pengelolaan sampah perlu memperhatikan 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung, dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek ini saling

(8)

16

terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Lebih lejasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1

Lima Aspek Pengelolaan Sampah

Sumber: Parahita Foundation, 2012

Dalam konteks seperti ini, maka dibutuhkan aktor yang kompeten dan profesional guna mengelaborasi model konseptual pengelolaan sampah tersebut, agar dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan sampah. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan “para aktor” dalam penelitian ini adalah: pengurus Pahahita Foudation, pengurus Bank Sampah, Ketua RW dan RT. Peran para aktor inilah yang akan difokuskan dalam penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan bagaimana mereka berperan dalam memperkuat dan memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan sampah.

Karena itu, pola pengelolaan sampah bukan dalam pengertian fisik sampah dan fisik organisasi/lembaga. Namun lebih kepada bagaimana aktor membuka ruang bagi terjadinya “hubungan-hubungan bermakna” yang dapat merubah pola pikir dan pola tindak masyarakat terhadap sampah. Aspek teknik operasional yang diamanatkan oleh

(9)

17

Deprt. Pekerjaan Umum lewat Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 19-2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukikman, tidak dilihat bentuk fisiknya. Tetapi lebih kepada interaksi dan interelasi antara aktor dan masyarakat (umum) melihat dan mengelola sampah. Dengan demikian, maka penting untuk melihat bagaimana para aktor memberdayakan serta meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam hal pengelolaan sampah dengan pola standar spesifikasi tertentu (Hartoyo (1998:6).

Dengan adanya peran aktor dalam berupaya berubah pola pikir dan pola tindak masyarakat tersebut, diharapkan terjadi penguatan dan peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Perubahan pola pikir dan pola tindak yang dimaksudkan adalah bagaimana keningkatkan kesadaran setiap anggota keluarga (masyarakat) untuk memilih dan memilah sampah dari sumbernya (keluarga) sebelum sampah tersebut sampai ke Bank Sampah dan TPA. Artinya ketika sampah sampai ke bank sampah atau TPA tidak dalam keadaan tercampur aduk antara yang organik dan non-organik (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29).

Lima aspek pengelolaan sampah (gambar 1) di atas, adalah sistem kerja (pengelolaan) yang saling terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam sistem itu terdapat struktur yang dimaknai sebagai pendorong sekaligus penghambat tindakan, baik aktor maupun masyarakat (umum). Dengan demikian, pertanyaannya apakah “struktur” itu? Anthony Giddens yang muncul kemudian, melakukan kritik yang konstruktif terhadap para pemikir dan penganut teori fungsionalisme yang menurutnya telah menjadi identik dengan tradisi stukturalisme. Menurut Giddens, “perhatian para penulis fungsionalis dan para kritikus mereka lebih banyak tertuju pada gagasan tentang

(10)

18

„fungsi‟ ketimbang „struktur‟ dan akibatnya struktur lebih banyak dipakai sebagai sebuah gagasan yang diterima begitu saja. Baginya, dalam tradisi-tradisi strukturalis, biasanya terdapat ambiguisitas mengenai apakah struktur-struktur merujuk pada suatu matriks transformasi-transformasi valid di dalam suatu tempat ataukah pada aturan-atauran transformasi yang menggerakan matriks tersebut (Giddens, 2010:25-40).

Giddens tidak bersepakat dengan struktur sebagai “aturan-aturan transformasi”, sebab baginya “semua aturan itu pada hakikatnya adalah transformasional”. Dia mendefinisikan struktur sebagai “aturan-aturan (rules) dan sumber daya-sumber daya (resources) atau seprangkat relasi transformasi, terorganisasi sebagai kelengkapan-kelengkapan dari sistem-sistem sosial”, sedangkan sistem dimaknainya sebagai “relasi-relasi yang direproduksi diantara pada aktor atau kolektivitas, terorganisasi sebagai praktek-praktek sosial regular. Dengan demikian, dalam analisis sosial struktuk merujuk pada kelengkapan-kelengkapan penstrukturan yang memungkinkan „pengikatan‟ waktu-ruang dalam sistem-sistem sosial. Hal ini senada dengan teori Bourdieu bahwa struktur sosial, di satu sisi menghambat pikiran dan pilihan aktor untuk bertindak, namun di sisi lain memberi ruang atau mendorong aktor untuk berpikir dan bertindak. Persamaan mendasar dari kedua tokoh ini adalah pada konsep dualitas yang mereka gunakan, bahwa actor dan struktur selalu berada dalam hubungan saling pengaruh (Ritzer dan Douglas, 2009).

2.3. Makna Bank Sampah

Pemasalahan sampah semakin meningkat seiring bertambahnya penduduk dan adanya perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat yang menghendaki segala sesuatu yang bersifat simple dan praktis. Persoalan sampah yang tidak teratasi akan

(11)

19

mengancam kehidupan manusia dan lingkungan secara umum, seperti gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan (tanah, air, maupun udara). Berdasarkan pemahaman seperti inilah pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu sebagai landasan pengelolaan sampah oleh masyarakat.

Disadari bahwa, setiap hari manusia menghasilkan sampah yang jenisnya tergantung dari aktivitasnya. Setiap jenis memiliki metoda pengolahan yang berbeda. Sampah yang tercampur menyebabkan biaya pengolahan menjadi mahal. Oleh karena itu, kunci dari pengelolaan sampah adalah pemilahan, atau pemisahan antara jenis sampah yang satu dengan jenis sampah yang lain. Kegiatan pengurangan sampah bermakna agar seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas melaksanakan kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang dan pemanfaatan kembali sampah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Reduce, Reuse dan Recycle (3R) melalui upaya-upaya cerdas, efisien dan terprogram (KLH, 2012).

Jenis sampah yang dikenal dalam setiap masyarakt dapat digolongkan menjadi sampah organik dan sampah non-organik. Sampah organik atau sering disebut sampah basah adalah jenis sampah yang berasal dari jasad hidup sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami. Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, dan potongan rumput/ daun/ ranting dari kebun. Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari sampah organik setiap harinya. Pembusukan sampah organik terjadi karena proses biokimia akibat penguraian materi organik sampah itu sendiri oleh mikroorganime (makhluk hidup yang sangat kecil) dengan dukungan faktor lain yang terdapat di lingkungan. Sedangkan sampah non-organik atau sampah kering atau sampah yang

(12)

20

tidak mudah busuk adalah sampah yang tersusun dari senyawa non-organik yang berasal dari sumber daya alam tidak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Contohnya adalah botol gelas, plastik, tas plastik, kaleng, dan logam. Sebagian sampah non-organik tidak dapat diuraikan oleh alam sama sekali, dan sebagian lain dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama ( http://merbabu-com.ad-one.net/artikel/sampah.htmlGelas).

Bank Sampah merupakan konsep baru yang “diturunkan” dari amant UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu, kehadiran Bang Sampah didasarkan juga dengan adanya kebijakan berupa Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012, yang pada intinya mencanangkan sebuah gerakan “Menuju Indonesia Bersih.” Karena itu, kehadiran Bank Sampah perlu dipahami sebagai terbukanya ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi membantu pemerintah dalam mengelola sampah. Hal ini menjadi penting, sebab daerah yang kumuh akibat sampah yang tidak terkelola akan berkontribusi pada munculnya masalah-masalah sosial kemasyarakatan (Kustinah, 2005).

Di samping dampak buruk dari sampah, sebenarnya sampah mempunyai potensi yang cukup besar sebagai aset usaha apabila dapat dikelola dengan baik. Sampah yang dikelola secara kreatif mampu memberikan sumber pendapatan yang menjanjikan. Hanya saja masyarakat belum sadar benar bagaimana mengelola sampah dan mengolahnya menjadi sumber daya yang mampu menambah sumber pendapatan bagi keluarga. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup pasal 16 mengamanatkan bahwa masyarakat bertanggungjawab sebagai produsen timbulan sampah. Diharapkan masyarakat sebagai sumber timbulan yang beresiko sebagai

(13)

21

sumber pencemat, untuk ikut serta dalam sistem pengelolaan sampah (Kardiyono, 2000: 22-34; Syafruddin, 2004:1).

Dengan demikian, Bank sampah adalah salah satu alternatif pemecahan persoalan sampah yang dapat memberikan manfaat ganda bagi masyarakat. Secara prinsip bank sampah melaksanakan mekanisme sepert layaknya bank pada umumnya tetapi yang ditransaksikan adalah sampah yang berasal dari rumah tangga atau masyarakat dengan mengintegrasikan pendidikan lingkungan dan ekonomi. Bank sampah ialah bank yang melayani masyarakat menabung seperti bank-bank pada umumnya bedanya kalau di bank umum orang menabung berupa uang tetapi di bank sampah masyarakat menabung berupa barang bekas berupa: besi-besi bekas, kardus bekas, segala plastik bekas, kaleng minuman bekas, tembaga, alumunium dll. Bank sampah akan menyimpan dan mengelola sampah dari masyarakat, masyarakat yang menabung sampah akan menjadi nasabah dari bank sampah dan diberi buku tabungan (Parahita Foundation, 2012).

Dengan model pengelolaan bank sampah seperti ini, maka hal penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana para aktor berperan dalam memberdayakan masyarakat, merubah cara berpikir dan pola hidup masyarakat untuk melihat sampah sebagai bagian dari masalah sosial yang perlu ditanggulangi. Dengan demikian, pengelolaan sampah yang baik akan memberikan manfaat; peningkatan ekonomi keluarga dengan adanya kesempatan kerja bagi anggota keluarga.

Dalam perspektif teori strukturasi dari Anthony Giddens (2010), maka Bank Sampah menurut penulis, bisa ditempatkan sebagai “struktur.” Struktur dalam

(14)

22

perspektif Giddens dimaknai sebagai „sejumlah aturan dan sejumlah sumber daya‟. Dengan demikian, struktur dapat pula dimaknai sebagai “ruang” dimana para aktor dapat berinteraksi, bernogosiasi, dan berkompetisi untuk mendapatkan modal-modal darinya. Demikian juga yang diungkapkan oleh Bourdieu tentang konsep field yakni ruang dimana para aktor „berjuang untuk mengakumulasikan modal‟ yang mereka miliki. Maka, bank sampah dapat dimaknai sebagai field sekaligus struktur yang dapat berfungsi sebagai “pembatas/penghambat” sekaligus “pendorong” tindakan aktor untuk mendapatkan modal; baik modal ekonomi, sosial, maupun simbolik. Walaupun demikian, untuk mendapatkan modal-modal itu, aktor perlu memperhitungkan strategi maupun habitus yang dimilikinya (Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009; Harker, 2009)..

3.4. Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pikir penelitian ini digambarkan sebagi berikut:

Gambar 2

Kerangka Pikir Penelitian Masalah Sampah Bank Sampah “Pangrekso Bumi” Pengelolaan Sampah Peran Aktor Lingkungan yang Sehat Habitus dan Field

(15)

23

Permasalahan sampah di Kota Salatiga yang diketahui cenderung mengalami peningkatan, berdampak pada “tuntutan” pengelolaan sampah yang tepat agar tidak menimbulkan dampak lanjutan berupa kerusakan lingkungan hidup (kumuh), yang menimbulkan berbagai macam penyakit. Kekhawatiran tentang jumlah sampah yang cenderung meningkat itu, mendorong sebagian masyarakat Tegalrejo yang sadar akan akibat dari sampah untuk “bangkit” membantu Pemerintah Kota (pemkot) dalam pengelolaan sampah perkotaan, khususnya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Tegalrejo. Kebulatan tekad dari sebagian masyarakat itu, diusung dalam program “Tegalrejo Bersih”

Implementasi dari program “Tegalrejo Bersih” salah satunya adalah lewat Bank Sampah Pangrekso Bumi. Tujuan dari bank sampah Pangrekso Bumi adalah membantu pemkot dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Harapannya adalah dengan pengembangan bank sampah yang ikut mengelola sampah terwujut lingkungan yang sehat, bersih, indah, dan aman. Dalam mewujudkan kondisi lingkungan yang demikian, tentu dibutuhkan peran aktor-aktor yang berkomitmen dalam pengelolaan sampah dimaksud.

Peran aktor dalam pengelolaan sampah inilah yang hendak difokuskan sebagai tema penelitian ini. Guna mendiskripsikan dan menganalisis peran aktor tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan teori habitus dan field dari Pierre Bourdieu. Alasannya adalah bahwa bank sampah dapat diposisikan sejajar dengan field yang di dalamnya aktor berperan guna mendapatkan pengakuan sosial dan pengakumulasian modal, dengan mengandalkan berbagai macam habitus yang mereka miliki.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam komunitas literasi ini terdapat praktik – praktik kultural serta mencakup pula konsep Bourdieu mengenai trajektori dan strategi yang dilakukan para agen tujuan

Jabatan Kebajikan Masyarakat (JKM) merupakan salah satu lembaga pemerintah yang keberadaannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak dikarunia anak dimana mereka

Teori praktik sosial dari Bourdieu menjelaskan bagaimana pandangan masyarakat terbentuk dan berperan dalam keseharian manusia dipadu oleh habitus yang dikontruksi

1.) Untuk Menarik Minat Nasabah di KSPPS Arthamadina Banyuputih. Peranan hadiah mampu memengaruhi minat nasabah untuk beralih menggunakan produk SHaRi dan mendorong

Berdasarkan pengamatan dan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa IPAL komunal gerbang Lingkungan IV Kelurahan Malendeng Kecamatan Paal Kota Manado dikatakan kurang

Kitab-Kitab Takhrīj Setelah masa perkembangan sebagaimana tersebut di atas, kemudian para ulama banyak mentakhrīj hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab dan dalam

(4) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, yang menyebabkan perusakan dan pencemaran lingkungan serta kerugian pihak lain, dikenakan

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,