• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan juga meningkatkan tingkat asusila dan pencabulan.

Pertumbuhan kebudayaan seperti teknologi, banyak mempengaruhi kehidupan manusia dalam masyarakat, dan sebaliknya masyarakat harus menyesuaikan diri dengan cara kerja baru seperti seharusnya berfungsi untuk menangani teknologi itu. Jika perkembangan itu berjalan seimbang niscaya pertumbuhan budaya akan berhasil dan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya. Artinya dalam keadaan serasi dan seimbang senantiasa akan membawa perubahan positif bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya jika masyarakat tidak mampu untuk menyesuaikan diri dan tidak bisa menciptakan cara kerja baru, serta tidak mampu menerapkan teknologi terhadap kebutuhan kehidupannya, maka pertumbuhan budaya senantiasa akan membawa berbagai akibat negatif, sehingga tidak dapat memenuhi harapan keterlambatan dalam penyesuaian diri terhadap unsur-unsur kebudayaan tersebut.4

(2)

Sejalan dengan proses pembangunan dan era globalisasi serta meningkatnya kualitas teknologi, masyarakat Indonesia mengalami banyak perubahan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Pemikiran masyarakat juga sudah dipengaruhi oleh berbagai hal. Media elektronik telah memberikan pengaruh besar bagi masyarakat, karena adanya sesuatu yang baru pasti menimbulkan dampak yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kemajuan teknologi adalah masalah kejahatan sebagai masalah sosial yang serius karena menjangkiti masyarakat kita. Kejahatan selalu menarik dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak, terdapat kecenderungan peningkatan dari bentuk dan jenis kejahatan tertentu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya5

Indonesia pornografi tumbuh pesat terutama setelah dimulainya masa reformasi. Kendati produk media komunikasi dan/atau pertunjukan yang mengandung muatan materi pornografis telah lama hadir di negara ini, namun tidak pernah dalam skala begitu luas dan masif seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.6

Pornografi disajikan secara bebas tanpa batas oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Peredaran pornografi hampir menyentuh di berbagai bidang media massa, seperti koran, majalah, tabloid, film, buku, gambar/foto, bahkan tulisan, materi sandiwara, lawak atau dagelan masyarakat7

5

Moh. Kemal Darmawan. Strategi Pencegahan Kejahatan, (Bandung: Citra Bakti, 1994), hal 1 6

Azimah Soebagijo, Pornografi Dilarang Tapi Dicari, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal, 4 7

Vina Dwi Laning, Kenakalan Remaja dan Penangulangannya, (Karanganom: Ciempaka Putih, 2008), hal 38

(3)

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, mengenai tindak pidana yang melanggar kesusilaan diatur dalam Pasal 282 Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHPidana) yang berbunyi sebagai berikut:

1. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, membuat tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukanya ke dalam negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkanya atau menunjukannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah;

2. Barangsiapa yang menyiarkan, mempertunjukan kepada umum, menempelkan, ataupun untuk disiarkan, dipertunjukan kepada umum atau ditempelkan, memasukan ke dalam negeri atau menyimpan atau dengan terang-terangan menyiarkan tulisan, menawarkan tidak atas permintaan orang atau menunjukan bahwa oleh di dapat tulisan, gambar bahwa tulisan, gambar atau barang itu melanggar kesusilaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau benda sebanyak-banyaknya; dan

3. Kalau melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama itu oleh yang berasal dijadikan pekerjaan atau kebiasaan, dapat dijatuhkan hukuman penjara

(4)

selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ribu rupiah8

Menurut Undang-UndangNomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pasal 1 angka (1), menyebutkan bahwa:

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, perrcakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Pornografi memang suatu hal yang sangat kompleks, karena ini tidak berdiri sendiri, melainkan kumpulan dari beberapa hal. Masalah tentang pornografi bukan hanya masalah pemerintah dan negara saja, tapi juga merupakan masalah bersama. Karena hal ini menyangkut kehidupan bersama, dan akan berdampak pada diri semua orang. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya aksi-aksi kejahatan seksualitas yang terjadi belakangan ini. Sebagian besar dari motifnya adalah akibat dari konsumsi pornografi, baik dari media apapun, visual atau audio. Kurangnya ketegakan hukum dalam mengurus hal ini membuat pornografi menjadi suatu masalah sosial yang besar. Semua ini akan menjadi boomerang bagi bangsa Indonesia baik cepat atau lambat. oleh karena itu kerjasama pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam masalah pornografi ini.9

Diundangkannya Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi adalah bagian pemenuhan kebutuhan perkembangan hukum Indonesia terhadap perkembangan kejahatan pornografi dengan media tehnologi informasi, karena

8

Erinda Sinaga, Tinjauan Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pornografi Menurut Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 4, Oktober-Desember 2014. ISSN 1978-5186, hal 696

9

Enik Isnaini, Penanggulangan Tindak Pidana Pornografi Dalam Media Internet, (diakses pada

tanggal 26 April

2017http://journal.unisla.ac.id/pdf/15222014/4_Enik_Jurnal%20Independent%20Vol%20II%20N

(5)

KUHPidana yang merupakan hukum pidana umum tidak lagi mampu menjangkau perkembangan tindak pidana pornografi tersebut. Sehingga satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi penyebaran pornografi sebelum diundangkannya Undang-undang No. 44 Tahun 2008 adalah dengan menghimbau kepada pihak Internet Service Provider (ISP) yaitu badan usaha yang mengoperasikan jasa layanan internet untuk memblokir situs-situs yang mengandung content pornografi, akan tetapi usaha pemerintah ini selalu sia-sia dan menemui jalan buntu, karena pintu masuk situs-situs semacam ini sangatlah banyak jumlahnya dan sangat mudah ditemukan oleh para pengguna internet.10

Undang-Undang Pornografi No. 44 tahun 2008 merupakan produk negara yang pengesahaannya melalui proses cukup panjang, sekitar 10 tahun. Inipun diawali dengan suatu rancangan dengan mengalami pengubahan, sebelumnya adalah dengan nama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP). Dalam perkembangan kemudian nama rancangan itu menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi, dan selanjutnya melalui sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia disahkan dan ditetapkan sebagai UndangUndang Pornografi.11

Pornografi di Indonesia merupakan masalah serius bagi pemerintah, di mana

Associated Press pernah menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi surga

pornografi berikutnya, karena di Indonesia sekarang ini berbagai informasi

10

http://www.antaranews. com/berita/299166/pemerintah-bukan-pemblokir -situs-porno / diakses tanggal 18 April 2017

11

(6)

maupun gambar-gambar erotis atau sensual dengan mudah dapat diunduh yang hanya untuk sekedar ditonton maupun dinikmati sehingga oleh oknum-oknum tertentu gambar-gambar yang bersifat pornografis tersebut telah pula dikembangkan dan diperniagakan seperti misalnya masyarakat dapat memperoleh dimanapun dan tidak ada pembatasan atas siapapun terutama termasuk VCD-VCD porno dan banyaknya poster-poster yang menunjukan keseksiannya. Tidak dapat berjalan dengan semestinya juga dapat disebabkan karena lemahnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut untuk menjangkau para pelaku tindak pidana. Adapun beberapa Pasal yang memiliki multitafsir dalam Undang-Undang tersebut yaitu Pasal 8 yang menggunakan unsur “dengan sengaja” Unsur “dengan sengaja” merupakan unsur subjektif, di mana di dalam sistem peradilan pidana khususnya di dalam pemeriksaan di depan sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) wajib membuktikan bahwa perilaku pelaku memenuhi unsur “dengan sengaja” (dolus/opzet atau kesengajaan) tersebut. Dalam penjelasan dari Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 tentang Pornografi 2008 ternyata melakukan pengecualian dalam penyimpanan dan memiliki barang pornografi. Dengan menyebutkan bahwa larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Kalimat tersebut kembali menimbulkan bias hukum.12

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yaitu pada Pasal 4 ayat (1) dan penjelasan Pasal 6 terdapat pengecualian terhadap pembuatan, pemilikan, dan/atau penyimpangan produk pornografi. Hal ini terlihat bahwa

12

(7)

Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi membuka jalan terjadinya kemaksiatan dikarenakan pada penjelasan tersebut tidak mengatur secara terperinci bagaimana dapat dikategorikan pengecualiaan, sehingga boleh dikatakan belum ada kepastian hukum, tetapi jika tujuannya untuk kepentingan pendidikan dan kepentingan pelayanan kesehatan itu dibolehkan dengan batasan yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Indonesia beberapa tahun belakangan ini marak terjadi tindak pidana penyebaran pornografi salah satu kasus yang dilakukan oleh para terdakwa dalam putusan No. 465/Pid.Sus/2014/PN-Dps dan Putusan No 466/Pid.Sus/PN-Dps Dimana dalam melakukan tindak pidana tersebut para terdakwa melakukan turut serta dengan tujuan keuntungan financial. Dalam tindak pidana tersebut selain turut serta para terdakwa juga memanfaatkan teknologi yang ada diantara dengan cara membuat website porno, menggandakan dan mengcopy kedalam DVD sebelum dikirim kepada pembeli.

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka penulis memilih judul Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penyertaan Tindak Pidana Pornografi menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2008 (Studi Putusan No. 465/Pid.Sus/2014/PN Dps dan Putusan No. 466/Pid.Sus/2014/PN Dps).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya dari skripsi ini, yaitu :

(8)

1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pornografi menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi?

2. Bagaimana Penyertaan (deelneming) menurut hukum pidana di Indonesia? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyertaan tindak

pidana pornografi bedasarkan Putusan No.465/Pid.Sus/2014/PN Dps dan Putusan No.466/Pid.Sus/2014/PN Dps?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, adapun tujuan yang akan dicapai dari karya ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana pornografi menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

2. Untuk mengetahuipenyertaan (deelneming) menurut hukum pidana di Indonesia.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyertaan tindak pidana pornografi bedasarkan Putusan No.465/Pid.Sus/2014/PN Dps dan Putusan No.466/Pid.Sus/2014/PN Dps?

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini : 1. Manfaat teoritis

Guna memperkaya khasanah Ilmu Pengetahuan dibidang Ilmu hukum pidana pada umumnya dan tentang tindak pidana pornografi khususnya, menambah dan melengkapi perbendarahan koleksi ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan hukum kedepannya.

(9)

a. Untuk memberi kontribusi dalam sosialisasi tentang tindak pidana pornografi kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadarann kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pornografi di Indonesia.

b. Memberikan kontribusi pemikiran kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum umumnya dan khususya bagi aparat hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme dan melakukan terobosan serta inovasi-inovasi dalam upaya penegakan hukum dalam pemberantas tindak pidana pornografi.

c. Untuk membantu memberikan pemahaman tentang efektivitas berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana pornografi agar lembaga yang berwenang dapat meningkatkan upaya penerapan undang-undang tersebut lebih efektif.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penyertaan Tindak Pidana Pornografi menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2008 (Studi Putusan No. 465/Pid.Sus/2014/PN Dps dan Putusan No. 466/Pid.Sus/2014/PN Dps)” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi tentang pornografi memang telah ada sebelumnya, tetapi dapat dipastikan bahwa sebenarnya substansi pembahasannya

(10)

berbeda. Ide dan pemikiran untuk menulis skripsi ini adalah benar-benar karya penulis sendiri. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian, unsur-unsur tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana

a. Tindak pidana

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” didalam KUH Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit tersebut.

Perkataan feit itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de wekelijkheid, sedang starfbaar itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat karena kelak akan diketehui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia secara pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.13

KUHPidana tidak memberikan definisi terhadap istilah tindak pidana atau

strafbaar feit. Karenanya, para penulis hukum pidana telah memberikan pendapat

mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari isitlah tersebut.14

13

P.A.F. Lamintang, dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Sinar Grafika, Jakarta, 2014), hal.179

14

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal.57

(11)

Pompe, bahwa menurut hukum positif, suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.15

Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.16

Adami Chazawi telah mengiventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu sebagai berikut:17

1) Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam undangan pidana. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Undang-Undang-Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Wirjono Prodjodikoro;

2) Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, seperti: Mr.R.Tresna dalam bukunya:“Asas-asas Hukum Pidana”, van Scharavendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, Zainal Abidin,dalam bukunya “Hukum Pidana”,

15

Lamintang dan Franciscus, Op.Cit, hal.191 16

(12)

pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS’1950;

3) Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,

misalnya Utrecht, walaupun beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana 1), A. Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”, Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;

4) Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirta Amidjaja yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;

5) Perbuatan yang boleh dihukum, istilah tersebut digunakan M. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana”, begitu juga Scharvendjik dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”;

6) Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam Undang-Undang-Undang-Undang. No.12/Drt/1951 tentang Senjata dan Bahan Peledak (Pasal 3);

7) Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku asas-asas hukum pidana.

(13)

Sudah umum diketahui dalam beberapa undang-undang yang berlaku pada saat ini, strafbaar feit disamakan pengertiannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai “tindak pidana”.18

Terminologi strafbaar feit disamakan pengertiannya dengan “tindak pidana” dengan maksud untuk mempermudah pemaknaan karena tindak pidana sudah banyak dikenal dibeberapa peraturan perundang-undangan maupun disebutkan oleh beberapa ahli hukum pidana dalam literatur-literaturnya. Penggunaan terminologi “tindak pidana” mempunyai maksud agar terjadi konsistensi penulisan mengenai terminologi strafbaar feit, sehingga akan lebih mudah apabila menggunakan istilah “tindak pidana” bukan “perbuatan pidana” atau “peristiwa pidana”.19

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dalam perumusan ketentuan-ketentuan pidana digunakan kata “tindak pidana” sebagimana hal tersebut, dalam ketentuan pidana Pasal 29 Undang-Undang Pornografi. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini juga menggunakan kata “tindak pidana” tanpa ada maksud untuk memperdebatkan kembali perbedaan pengertian dengan kata “perbuatan pidana” atau “peristiwa pidana” sebagaimana dijelaskan diatas.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Para ahli ada yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yang merinci unsure-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan

18

(14)

undang.20Dalam mengemukakan apa yang merupakan unsur-unsur tindak pidana, umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara unsur (bagian) perbuatan dan unsur bagian kesalahan (pertanggungjawaban pidana). Unsur (bagian) perbuatan ini sering juga disebut unsur (bagian) objektif sedangkan unsur (bagian) kesalahan sering juga unsur (bagian) subjektif.

J.M van Bemmelen yang menulis bahwa pembuat undang-undang, misalnya membuat perbedaan antara kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dan karena kealpaan. Bagian yang berkaitan dengan si pelaku itu dinamakan “bagian subjektif”. Bagian yang bersangkutan dengan tingkah laku itu sendiri dan dengan keadaan di dunia luas pada waktu perbuatan dilakukan, dinamakan “bagian objektif”.21

Unsur subjektif itu adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur objektif itu adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat diuraikan dengan singkat, yaitu:22 1) Unsur subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan”, kesalahan dalam hal ini adalah yang diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) dan ketidaksengajaan/kealpaan (culpa).

20

Muhammad Eka Putra, Op.Cit, hal 107 21

Maramis, Op.Cit, hal.65-66 22

(15)

2) Unsur objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri si pelaku yang terdiri atas : a) Perbuatan manusia;

b) Akibat

c) Keadaan-keadaan

d) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

c. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.23

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah

kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan

23

(16)

pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya.24

Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.25

Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.26

Tiap orang dipandang sehat jiwanya dan karenanya juga mampu bertanggungjawab sampai dibuktikan sebaliknya. Ini merupakan suatu asas dalam hukum pidana. Kemampuan bertanggungjawab juga tidak merupakan unsur

24

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 23

25

E.Y.Kanter, dan S.R.Sianturi,, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta, Storia Grafika, 2012), hal.250

26

(17)

tertulis dari suatu pasal tindak pidana sehingga tidak perlu dibuktikan. Beberapa pendapat tentang pengertian kemampuan bertanggungjawab, yaitu:

1. G.A van Hamel menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kemahiran, yang membawa tiga macam kemampuan (kecakapan), yaitu (1) mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri; (2) mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; (3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat;

2. D. Simons memberikan pendapatnya bahwa mampu bertanggungjawab adalah (a) jika orang mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum; dan (b) sesuai dengan penginsyafan itu dapat menentukan kehendaknya.

3. W.P.J Pompe menyatakan bahwa unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab adalah :

a. Suatu kemampuan berpikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya;

b. Dan oleh sebab itu, pembuat dapat mengerti makna dan akibat kelakukannya;

c. Dan oleh sebab itu pula, pembuat dapat menentukan kehendaknya seusai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat kelakuannya).27

(18)

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak dan memenuhi unsur-unsurnya suatu tindakan terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut “mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggung-jawabkan (pidana)-kan.

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab, bilamana pada umumnya a. Keadaan jiwanya :

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);

2. Tidak cacad dalam pertumbuhan (gagu, idioot, imbecile dan sebagainya) dan;

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah-sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya :

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.28

28

(19)

Menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu :

a. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya b. Jiwanya terganggu karena penyakit

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban pidana harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.

2. Penyertaan dalam Hukum Pidana

Istilah “penyertaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menyertakan atau perbuatan ikut serta (mengikuti). Kata “penyertaan” berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.29

Seperti diketahui bahwa aparat penegak hukum terkadang mengabaikan bahkan tidak teliti dalam menetapkan seorang tersangka, terutama pada posisi penyertaan dalam melakukan perbuatan yang dapat dihukum (Pasal 55 KUHP), ataupun menyertai deelneming. Menurut doktrin, deelneming menurut sifatnya terbagi menjadi dua yaitu :

a. Deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta dihargai sendiri-sendiri.

(20)

b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta yang lain

Saat ini hampir setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan lebih dari seorang. Jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlihat lebih daripada seorang yang berarti terdapat orang-orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana diluar diri si pelaku. Tiap-tiap peserta mengambil atau memberi sumbangannya dalam bentuk perbuatan kepada peserta lain sehingga tindak pidana tersebut terlaksana. Dalam hal ini secara logis pertanggungjawabannya pun harus dibagi diantara peserta, dengan kata lain peserta juga turut dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, berhubung tanpa perbuatannya tidak mungkin tindak pidana tersebut diselesaikan.

Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut bermacam-macam, yaitu :

a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan

b. Seorang mempunyai kehendak dan merencakan sesuatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.

c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.

Karena hubungan daripada tiap peserta terhadap tindak pidana tersebut dapat mempunyai berbagai bentuk, maka ajaran penyertaan ini berpokok pada “Menentukan pertanggungjawaban daripada peserta terhadap tindak pidana yang telah dilakukan”. Disamping menentukan pertanggungjawaban tiap peserta ajaran

(21)

ini juga mempersoalkan peranan atau hubungan tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang telah diberikan oleh tiap-tiap peserta, agar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan.30

3. Pornografi dan Perkembangannya di Indonesia

Secara etimologi pornografi berasal dari dua suku kata yakni pornos dan

grafi. Pornos artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan

dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk benda-benda patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Bagi setiap orang yang normal bedasrkan pengalaman orang-orang pada umumnya, jika membaca tulisan atau melihat gambar atau benda patung seperti itu akan menyerang rasa kesusilaannya seperti dai merasa malu atau mungkin jijk atau mungkin pula merasa berdosa.31

Pengertian aslinya, pornografi secara harfiah berarti "tulisan tentang pelacur", dari akar kata Yunani klasik "πορνη" (porne) dan "γραφειν" (graphein). Mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara harafiah berarti '(sesuatu yang) dijual.' Kata ini berasal dari dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat "pornoai", atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari Yunani kuno. Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19 menerbitkan risalat-risalat yang mempelajari

(22)

pelacuran dan mengajukan usul-usul untuk mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam Oxford English Dictionary hingga 1905. Belakangan istilah digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak bermoral, apabila pembuatan, penyajian atau konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah "pornografi" seringkali mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan dengan erotika yang sifatnya lebih terhormat. Istilah eufemistis seperti misalnya film dewasa dan video dewasa biasanya lebih disukai oleh kalangan yang memproduksi materi-materi ini.

Meskipun demikian, definisi pornografi sangat subjektif sifatnya. Karya-karya yang umumnya diakui sebagai seni seperti misalnya patung "Daud" karya Michelangelo dianggap porno oleh sebagian pihak.

Kadang-kadang orang juga membedakan antara pornografi ringan dengan pornografi berat. Pornografi ringan umumnya merujuk kepada bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif bersifat seksual, atau menirukan adegan seks, sementara pornografi berat mengandung gambar-gambar alat kelamin dalam keadaan terangsang dan kegiatan seksual termasuk penetrasi. Di dalam industrinya sendiri dilakukan klasifikasi lebih jauh secara informal. Pembedaan-pembedaan ini mungkin tampaknya tidak berarti bagi banyak orang, namun definisi hukum yang tidak pasti dan standar yang berbeda-beda pada penyalur-penyalur yang berberbeda-beda pula menyebabkan produser membuat

(23)

pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara yang berbeda-beda pula. Mereka pun terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam versi yang berbeda-beda kepada tim hukum yang bersangkutan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguhuntuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.32

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

2. Jenis data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :

(24)

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa perundang-undangan;

b. Badan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana menyangkut tindak pornografi, seperti seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah tentang tindak pornografi dan beberapa sumber dari situs internet yang berkatian dengan persoalan diatas;

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Metode pengumpulan data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisam kepustakaan (library

research), yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti

peraturan perundang-undangan, buku, majalah, jurnal, karya ilmiah, internet, pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang dapat menunjang skripsi ini.

4. Analisis data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diaturkan, kemudian diorganisir dalam satu pola, ketegori dan uraian dasar. Analisis data dan skripsi ini adalah analisis dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis secara lengkap dan komperhensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini33

33

(25)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA

PORNOGRAFI MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI.

Bab ini menguraikan mengenai Pornografi dalam berbagai Peraturan diluar UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi yakni Pornografi menurut KUHPidana, Pornografi menurut UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pornografi menurut UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Pornografi menurut UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pornografi menurut UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan Pornografi menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang membahas mengenai bentuk dan sanksi tindak pidana Pornografi dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

BAB III PENYERTAAN (DEELNEMING) DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

(26)

(medeplichtige) serta membahas mengenai Penyertaan diluar KUHPidana yakni

Penyertaan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyertaan dalam UU No. 15 Tahun 2003 jo. PerPU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Penyertaan dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang, dan Penyertaan dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

BAB IV ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYERTAAN TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM PUTUSAN NO.465/PID.SUS/2014/PN DPS DAN PUTUSAN NO.466/PID.SUS/2014/PN DPS

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku penyertaan dalam putusan No.465/Pid.Sus/2014/PN Dps dan Putusan No. 466/Pid.Sus/2014/PN Dps yang dimulai dari kronlogis, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hukum dan putusan serta akan dibahas juga mengenai analisa putusan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang diharapkan akan dapat berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun praktiknya.

Referensi

Dokumen terkait

Prestasi yang berhasil diraih SMK PN 2 sepanjang tahun 2015 antara lain, peringkat 3 Pencak Silat G Putra tingkat Provinsi, peringkat 3 Festival dan Lomba Seni Siswa

Hasil :Penulis berharapsetelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, pasien dapat mengenal halusinasi yang dialaminya, dapat mengontrol halusinasi dengan 4

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui dua cara

Berdasarkan pemaparan pada latarbelakang masalah tersebut, maka yang menjadi identifikasi masalah dalam kajian penelitian ini adalah penduduk yang melakukan

Untuk menganalisa maka peralatan monitoring harus terhubung ke sistem distribusi listrik pada titik di mana fenomena elektromagnetik atau titik gangguan yang dapat diukur.

Tujuan penelitian adalah adalah untuk mengetahui kualitas fisik (pH, tekstur, WHC) dan kimia (kadar air, kadar protein, kadar lemak) daging kambing di pasar kota

) 20321 ( ﻦﺑ ﺢﻴﻠﻤﻟا ﻲﺑأ ﻦﻋ جﺎﺠﺤﻟا ﻦﻋ ـ ماﻮﻌﻟا ﻦﺑا ﻲﻨﻌﻳ ـ دﺎﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺞﻳﺮﺳ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻲﺑأ ﻲﻨﺛﱠﺪﺣ ﷲا ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛّﺪﺣ ــ لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نأ ﻪﻴﺑأ ﻦﻋ ﺔﻣﺎﺳأ

4 Bagi masyarakat yang mempunyai hak eigendom verponding, dan pemerintah melalui kantor pertanahan (BPN) masih melayani konversi eigendom verponding menjadi sertifikat