• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORETIS. Peristiwa kehilangan karena kematian orang tua, terlebih lagi kematian kedua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORETIS. Peristiwa kehilangan karena kematian orang tua, terlebih lagi kematian kedua"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

Peristiwa kehilangan karena kematian orang tua, terlebih lagi kematian kedua orang tua menimbulkan kedukaan yang sangat dalam bagi anak-anak. Berdasarkan pemahaman tersebut saya ingin mengkaji kedukaan yang dialami oleh anak-anak. Terbatasnya literatur yang tersedia tentang kedukaan anak karena kematian kedua orang tua, maka saya akan memakai teori kedukaan secara umum bagi anak yang kehilangan kedua orang tua. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kehilangan

orang tua karenakematian adalah perubahan hidup yang pasti menimbulkan rasa duka

bagi anak-anak, sehingga seorang anak yang kehilangan orang tua akan mengalami masalah emosional seperti kesedihan, kesepian dan kurangnya kasih sayang. Untuk menyederhanakan kajian teori kedukaan karena kematian kedua orang tua, dalam bab ini saya akan membahas teori kehilangan yang mengakibatkan kedukaan, gejala-gejala kedukaan, tahapan-tahapan kedukaan, dan respon kedukaan.

2.1 Teori Kehilangan yang Mengakibatkan Kedukaan

Pada umumnya kehilangan adalah penarikan sesuatu, seseorang atau situasi yang berharga sebagai pemisahan yang nyata maupun yang diantisipasi. Kehilangan dapat terjadi melalui berbagai cara, salah satunya ialah melalui peristiwa kematian. Kematian menurut J. W. Santrock adalah saat dimana berakhirnya fungsi biologis tertentu, seperti pernafasan dan tekanan darah serta kakunya tubuh, hal tersebut telah

(2)

2 dianggap jelas menjadi tanda-tanda kematian.1 Menurut D. E. Papalia kematian adalah fakta biologis, akan tetapi kematian juga memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, perkembangan psikologis, medis, etis dan berbagai aspek ini saling

berkaitan.2 Berdasarkan pemahaman-pemahaman di atas, saya setuju dengan apa yang

disampaikan oleh Santrock dan Papalia bahwa kematian merupakan sebuah fakta biologis dan merupakan bentuk dari kehilangan yang sangat mendalam.

Dalam keluarga anak-anak mendapatkan kehangatan dan rasa aman serta bimbingan dari kedua orang tua, sehingga kehilangan kedua orang tua karena kematian pasti menimbulkan kedukaan bagi anak-anak yang ditinggalkan. Kematian merupakan bagian hidup manusia yang terjadi di segala waktu dan tempat, karena itu tidak ada seorang pun yang dapat mengelak darinya. Saat orang yang kita kasihi meninggal, kita tertunduk dalam kedukaan dan menyaksikan kefanaan hidup kita sebagai manusia. Tertunduk dalam kedukaan sebab kematian juga mengandung arti perpisahan secara jasmani. Perpisahan dengan seseorang yang kita kasihi dan sudah lama hidup dengan kita.3

Kematian merupakan bagian dari kehilangan dan akibat dari kehilangan ialah seseorang akan berduka. Menurut Parkes dan Weiss dalam Stewart, dukacita

1

J.W. Santrock, Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup (5th ed) (Jakarta: Erlangga, 2004),

263.

2D.E. Papalia, S. W. Olds & Feldman, Human Development Psikologi Perkembangan (9th ed) (Jakarta:

Kencana, 2008), 952.

3

(3)

3 merupakan trauma paling berat yang pernah dirasakan oleh kebanyakan orang.4 Sejalan dengan pemikiran Parkes dan Weiss menurut Santrock, dukacita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.5 Berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dipaparkan oleh para ahli di atas, menurut saya kedukaan merupakan sebuah respon emosional yang diperlihatkan oleh seorang penduka karena kehilangan yang dialami melalui kematian.

Proses dan lamanya kedukaan pada masing-masing penduka selalu berbeda satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang sangat memengaruhi kedalaman kedukaan yang dialami oleh setiap penduka. Menurut L. R. Aiken terdapat tiga faktor yang menyebabkan kedukaan yaitu: (1) hubungan individu dengan almarhum; (2) kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan dan (3) proses kematian.6 Berbeda dengan Aiken dalam jumlah faktor, menurut Wiryasaputra terdapat sembilan faktor yang dapat mempengaruhi kedukaan seseorang antara lain: (1) objek yang hilang7: orang tua merupakan figur yang dekat dengan anak, sehingga kematian kedua orang tua menyebabkan kedukaan yang mendalam bagi anak. Bila semasa hidup hubungan orang tua dengan anak terjalin begitu baik akan memungkinkan bagi anak yang ditinggalkan untuk sulit melupakan dan melepaskan ikatan dengan kedua orang tua; (2) cara kehilangan8: cara kematian kedua

4

C. A Stewart, M. Perlmutter, S. Friedman, Lifelong Human Development (USA: Willey, 1988), 605. 5

Santrock, Life-Span Development..., 272. 6

L. R. Aiken, Dying, Death and Bereavement (3ed) (Massachussets: Allyn dan Bacon, 1994), 164.

7

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 43.

8

(4)

4 orang tua sangat mempengaruhi dangkal atau dalamnya kedukaan yang dialami oleh anak. Pada kematian kedua orang tua yang berurutan dan mendadak, akan lebih sulit bagi anak untuk menghadapi kenyataan tersebut, karena secara psikologis anak tidak memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri; (3) jangka waktu kehilangan9: kedalaman kedukaan dapat juga dipengaruhi oleh jangka waktu kehilangannya. Kematian kedua orang tua merupakan salah satu kehilangan yang bersifat permanen, sebab pada peristiwa kehilangan ini kedua orang tua tidak akan kembali lagi kepada anak; (4) lapisan kehilangan10: kedukaan yang dialami oleh anak karena kematian kedua orang tua secara berurutan merupakan kedukaan yang bertumpuk, karena belum terselesaikannya kedukaan yang lama, telah muncul kedukaan yang baru. Kedukaan bertumpuk yang dialami oleh anak dapat membuat anak penuh dengan perasaan marah, dendam dan benci; (5) nilai objek yang hilang11: pada umumnya anak dapat mengalami kehilangan yang sama dengan orang lain, namun reaksi yang dimunculkan setiap anak akan berbeda. Perbedaan reaksi yang dimunculkan oleh anak bergantung dari seberapa berarti dan bermakna objek yang hilang. Orang tua merupakan objek yang bernilai dan bermakna bagi seorang anak, sebab di dalam keluarga anak mendapatkan kehangatan dan kasih sayang dari kedua orang tua; (6) tingkat hubungan emosional12: kedalaman kedukaan anak tidak hanya dipengaruhi oleh nilai dari objek yang hilang, namun pada kasus kedukaan yang dialami anak karena kehilangan kedua

9

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 47.

10

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 48.

11

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 52.

12

(5)

5 orang tua, hubungan emosional anak dengan orang tua turut mempengaruhi. Faktor ini sejalan dengan faktor pertama dan kelima, yakni bahwa orang tua menjadi figur terdekat bagi anak dan hubungan baik yang dibangun oleh orang tua dan anak memungkinan semakin mendalamnya kedukaan anak; (7) tingkat dukungan sosial13: setelah proses kematian kedua orang tua, pada umumnya anak akan merasa bingung dan tidak mampu menghadapi kenyataan tersebut sendirian, sehingga hari-hari pertama setelah pemakaman anak mulai merasa adanya kekosongan saat kerabat atau teman-teman telah pulang. Dalam kondisi seperti ini anak membutuhkan dukungan dari keluarga yang tersisa, sebab kedalaman kedukaan seorang anak dapat dipengaruhi pula oleh seberapa besar dukungan dari orang-orang sekitar bagi anak untuk menjalani kedukaannya; (8) visi kehidupan14: seorang anak saat mengalami kedukaan karena kehilangan kedua orang tua mempunyai kecenderungan tidak memiliki visi yang tetap bagi kehidupannya, sebab pikirannya masih tertuju pada orang tua yang hilang. Oleh sebab itu yang dibutuhkan anak pasca kematian kedua orang tua ialah dukungan dari keluarga yang tersisa. Besarnya dukungan yang diberikan kepada anak akan memungkinkan anak untuk menemukan visi hidupnya pasca kematian kedua orang tua; dan (9) kebudayaan dan adat istiadat15: dalam menjalani kedukaannya anak membutuhkan pola budaya yang sehat, sebab dalam pola budaya yang sehat seluruh perangkat sosial saling menumbuhkan. Pasca kematian kedua orang tua, anak memerlukan lingkungan yang mampu menerima keberadaan dirinya, sehingga anak

13

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 61.

14

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 64.

15

(6)

6 dapat dengan mudah mengalami kehilangannya secara penuh. Berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dipaparkan oleh Aiken dan Wiryasaputra, menurut saya setiap penduka membutuhkan waktu yang berbeda untuk menjalani proses kedukaannya. Penduka dapat bergerak maju dengan kehidupannya akan sangat bergantung dari faktor-faktor yang bersifat individual.

2.2 Gejala-Gejala Kedukaan

Kehilangan merupakan hal yang kompleks dan respon dari kehilangan yaitu kedukaan. Kedukaan yang disebabkan karena kehilangan berdampak bagi seorang penduka dan selalu mempengaruhi aspek fisik, mental, sosial dan spiritual. Penduka yang mengalami kedukaan karena kehilangan kemungkinan akan mengalami gejala-gejala tertentu sebagi respon terhadap kedukaannya.

2.2.1 Fisik

Gangguan-gangguan fisik merupakan dampak awal yang umum terjadi bagi penduka ketika kehilangan seseorang yang dikasihi. June Cerza Kolf menuturkan bahwa secara fisik dampak yang mungkin terjadi seminggu setelah kematian ialah munculnya gejala-gejala berupa sesak nafas, dada terasa sakit, serta terjadinya gangguan dibagian perut sebagai akibat dari menurunnya sistem kekebalan tubuh karena proses dukacita.16 Gejala fisik lainnya menurut Gary Reece ialah penduka akan

16

June Cerza Kolf, How Can I Help? Reaching Out to Someone Who Is Grieving (Grand Rapids: Baker, 1989), 79.

(7)

7 mengalami sakit kepala, mati rasa, gangguan tidur, keringat yang terus-menerus, amnesia, dan sulitnya konsentrasi.17

Menurut Worden ada beberapa perilaku tertentu yang sering dikaitkan dengan respon kesedihan yang normal. Perilaku-perilaku ini umumnya terjadi setelah kehilangan dan biasanya akan terjadi perbaikan dari waktu ke waktu. Perilaku-perilaku tersebut antara lain: gangguan tidur dan gangguan nafsu makan, para penduka yang mengalami kehilangan umumnya akan mengalami gangguan-gangguan khusus, seperti gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gangguan tidur yang dialami akan terjadi pada malam hari dan pagi hari saat bangun, dan sering melambangkan berbagai ketakutan. Pada saat tidur penduka akan mengalami ketakutan untuk bermimipi, takut berada di tempat tidur sendirian dan rasa takut untuk bangun.18 Menurut saya, jika gangguan tidur terus bertahan, kemungkinan penduka sementara menunjukkan depresi serius yang harus dieksplorasi dan diberi penanganan khusus. Selain mengalami gangguan tidur, penduka juga akan mengalami gangguan nafsu makan. Menurunnya nafsu makan lebih banyak menggambarkan perilaku kesedihan, dan akan tejadi perubahan yang signifikan terhadap berat badan penduka sebagai akibat dari perubahan pola makan.

Perilaku-perilaku lain yang mungkin terjadi pada diri penduka adalah perilaku pelupa. Penduka yang baru saja mengalami kehilangan kemungkinan akan lupa

17Gary W. Reece, Trauma, Loss & Bereavement: A Survivor’s Handbook (Eugene: Wipf and Stock, 1999), 8.

18

(8)

8 bagaimana cara mereka bertindak atau cenderung melakukan hal-hal yang pada akhirmya menyebabkan ketidaknyamanan atau membahayakan diri mereka sendiri.19 Demi meminimalisir kesedihan, kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh penduka, sebuah perilaku berduka yang sering dilakukan ialah mendesah. Mendesah merupakan sebuah korelasi dari sensasi fisik menahan nafas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mendesah adalah membuang napas kuat-kuat untuk menghilangkan kesal hati.20

Gejala fisik lain menurut Wiryasaputra ialah menangis, keluar air mata, mata menerawang, mati rasa, kesemutan, tubuh gemetaran, berjalan seperti melayang, tidak tenang, tubuh lemah, tenggorokan terasa kering atau serak, dada sesak, kejang-kejang, nafas pendek, pusing, kadang merasa gatal-gatal, bisulan, perut nyeri atau mulas, diare, ingin kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan nyenyak, merasa ada benda asing di uluh hati, ngilu di persendian, nafsu makan menurun atau bahkan sebaliknya kelainan makan, dan nafsu seks biasanya juga menurun.21

Secara fisik, perilaku menangis sering terjadi bagi setiap penduka. Tekanan stres akibat kehilangan orang yang dikasihi sering menyebabkan ketidakseimbangan kimia dalam tubuh dan sebagian orang percaya bahwa air mata dapat menghilangkan zat beracun dan membangun kembali homeostasis. Perlu disadari bahwa kandungan kimia air mata yang disebabkan karena stres emosional akan sangat berbeda dengan

19

Worden, Grief Counseling..., 27. 20

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi Lux, (Semarang : Widya Karya, 2011), 89.

21

(9)

9 air mata yang dikeluarkan sebagai fungsi dari iritasi mata.22 Menurut Wiryasaputra, menangis adalah gejala yang normal dalam proses berduka, karena dengan menangis orang yang berduka menumpahkan atau mengeluarkan segala isi hatinya, kepedihan

batinnya, dan semua yang mengotori batinnya dapat dikeluarkan.23 Dengan demikian,

menurut saya menangis merupakan perilaku yang wajar dan umum terjadi bagi setiap penduka. Menangis dilakukan oleh seorang penduka sebagai wujud ekspresi kesedihan dari peristiwa kehilangan yang dialaminya.

Berdasarkan pemahaman-pemahaman di atas menurut saya, secara fisik setiap penduka akan mengalami gangguan-gangguan fisik tertentu yang disebabkan karena peristiwa kehilangan yang dialami. Bagi anak yang kehilangan kedua orang tua karena kematian, gangguan fisik yang kemungkinan terjadi ialah gangguan tidur dan gangguan nafsu makan, serta sulitnya berkonsentrasi karena pikiran anak masih tertuju pada kehilangan yang dialami. Gejala-gejala fisik tersebut akan berkepanjangan bila tidak diatasi dan diberi penanganan khusus, dan kemungkinan akan mempersulit anak dalam menjalani kehidupannya.

2.2.2 Mental

Peristiwa kedukaan juga memberi dampak bagi mental seorang penduka. Dalam menerima peristiwa kedukaan penduka seringkali memunculkan gejala-gejala sulit menerima kenyataan, pikiran tidak jelas, mudah tersinggung, marah, kecewa, putus asa, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Menurut Worden pasca kematian

22Worden, Grief Counseling..., 30.

23

(10)

10 orang-orang yang dikasihi, penduka sering memiliki harapan untuk bertemu lagi dengan orang-orang tersebut. Keinginan penduka ini sering terwujud dengan memimpikan orang yang meninggal. Angan-angan untuk bertemu dengan orang yang meninggal merupakan hal yang sangat umum terjadi dalam diri penduka, dan seringkali mengandung sejumlah tujuan dan beberapa petunjuk diagnostik tentang bagaimana penduka menjalani kehilangannya. Worden mencoba menggambarkan hal di atas dengan melihat peristiwa kehilangan yang dialami oleh Ester.

Beberapa tahun setelah kematian ibunya, Ester menderita rasa bersalah terus-menerus atas keadaan yang terkait dengan kematian ibunya. Rasa bersalah ini diwujudkan dalam kepribadian yang rendah diri, saling tuding dan kecemasan. Pada suatu hari dia akan mengunjungi ibunya, Ester pergi untuk minum kopi dan makan makanan. Ketika dia berada di luar, ibunya meninggal. Ester menyesali perbuatannya dan walaupun telah menggunakan terapi realitas, rasa bersalahnya masih tetap bergulir. Dalam terapi dia bermimpi tentang ibunya. Dalam mimpi itu dia melihat dirinya mencoba membantu ibunya berjalan agar tidak jatuh karena jalan yang licin. Tetapi ibunya jatuh, Ester tidak dapat melaukukan apa-apa di dalam mimpinya itu untuk menyelamatkan ibunya. Mimpi yang signifikan adalah titik balik dalam terapi karena penduka membiarkan dirinya untuk melihat bahwa dia tidak dapat melakukan apa-apa ketika ibunya sekarat.24

Dalam bermimpi penduka dapat pula memperlihatkan perilaku kedukaan lainnya yakni mencari dan memanggil. Perilaku ini terkait dengan keinginan penduka yang ingin bertemu dengan almarhum, misalkan seringnya penduka memanggil nama

(11)

11 almarhum: “John, John, John, kembalilah kepadaku!”. Ketika hal ini tidak dilakukan secara lisan, hal ini dapat dilakukan secara internal.25

Berbeda dengan perilaku-perilaku sebelumnya, perilaku lain yang sering dimuculkan oleh penduka ialah menghindari ingatan dari orang yang sudah meninggal. Dalam kasus kedukaan tertentu, beberapa penduka justru akan menghindari tempat-tempat atau hal-hal yang memunculkan perasaan sedih terhadap almarhum, seperti menghindari tempat di mana almarhum meninggal, pemakaman

atau benda yang mengingatkan mereka terhadap orang yang dicintai.26 Menurut saya,

dalam perilaku ini penduka sementara memperlihatkan respon yang baik untuk tidak mengingat lagi kenangan buruk yang berkaitan dengan almarhum. Bila penduka terus-menerus menghindar sangat beresiko untuk penduka bila hal-hal tersebut kemungkinan kembali dialami di lain waktu. Lawan dari perilaku menghindari ingatan dari orang yang sudah meninggal ialah mengunjungi tempat atau membawa objek ingatan kepada almarhum.27 Gejala ini sering dilakukan oleh beberapa penduka, antara lain dengan mengunjungi makam tempat di mana almarhum disemayamkan, bahkan penduka juga hendak memperlihatkan gejala lain yakni penghargaan terhadap objek-objek milik almarhum, seperti menyimpan foto almarhum, pakaian, benda-benda kesukaan almarhum dan sebagainya.28 Menurut saya, gejala-gejala ini di dasari pada prinsip bahwa adanya rasa ketakutan dari penduka akan kehilangan kenangan dengan

25

Worden, Grief Counseling..., 29. 26

Worden, Grief Counseling..., 28-29. 27Worden, Grief Counseling..., 30. 28Worden, Grief Counseling..., 30-31.

(12)

12 almarhum, sehingga penduka berusaha menjaga memorinya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan almarhum.

Dalam studi berkabung di Harvard, sejumlah janda masuk dalam perilaku agresif setelah kematian suami mereka. Mereka lebih sering mengunjungi kafe-kafe karena merasa kesepian di rumah tanpa suami.29 Menurut saya, mencari hiburan di luar rumah merupakan cara penduka menyiasati kedukaannya. Para penduka akan cenderung mencari sesuatu yang dapat membuat mereka lupa terhadap peristiwa kehilangan yang dihadapi.

Menurut Wiryasaputra, dalam aspek mental dapat muncul gejala-gejala seperti tidak menerima kenyataan (menyangkal atau menolak), terkejut, sedih, bingung, gelisah, kacau, pikiran tidak teratur, tidak dapat berkonsentrasi, pikiran tidak jelas, acuh tak acuh, selalu berpikir tentang yang hilang, rindu akan yang hilang, mudah terluka hatinya ayau mudah tersinggung, benci, marah, kecewa, rasa putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal, rasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak berarti lagi, merasa tidak ada yang menolong, merasa tidak ada yang memperhatikan, merasa sendirian, kesepian, dan kadang muncul keinginan untuk bunuh diri. Tidak jarang kehilangan dan kedukaan juga dapat menimbulkan gangguan mental lain juga seperti: fobia (ketakutan), hipokondria (penderita merasa dirinya sakit meskipun tidak), schizophrenia (gila), insomnia (kesulitan tidur), anorexia (kehilangan berat badan) dan amnesia (kehilangan ingatan).30 Menurut saya, dalam kasus kedukaan anak yang

29Worden, Grief Counseling..., 29-30.

30

(13)

13 diakibatkan karena kematian kedua orang tua, anak dapat mengalami gejala mental tertentu. Gejala-gejala mental yang dialami oleh anak sewaktu-waktu dapat memburuk dan lebih memperdalam kedukaan anak bila tidak ditangani dengan baik.

2.2.3 Sosial

Secara sosial dampak kematian orang tua terhadap anak ialah terlihatnya gejala-gejala seperti suka menyendiri atau mengurung diri, bahkan anak dapat menunjukkan reaksi yang lebih ekstrim seperti ketagihan minuman keras, merokok, narkoba, serta tindakan negatif lainnya. Namun, disisi lain dampak yang cukup serius ialah secara sosial terjadi penurunan status terhadap anak yakni menjadi yatim, piatu dan yatim-piatu, yang secara tidak langsung dapat memberi tekanan psikologis atas diri anak. Sebutan-sebutan seperti ini hendak mengindikasikan bahwa kehidupan mereka tidak lagi “normal”, karena telah kehilangan keutuhan keluarga. Menurut Worden salah satu perilaku berduka yang sering dilakukan oleh penduka ialah menarik diri dari lingkungan sosialnya. Penarikan diri ini merupakan sebuah fenomena jangka pendek yang dilakukan oleh penduka untuk mengoreksi dirinya sendiri.31 Menurut saya, penduka yang menarik diri dari lingkungan sosial hendak menggambarkan sebuah bentuk kecemasan. Penduka cemas terhadap peristiwa kehilangan yang dialami, tetapi sekaligus cemas atas respon yang akan diberikan oleh lingkungan sekitar terhadap peristiwa tersebut. Mencoba untuk mengidentifikasi kecemasan yang dialami oleh penduka merupakan hal yang penting, karena akan membantu penduka dalam menyelesaikan kedukaannya. Bila kecemasan ini tidak diatasi, maka penduka

31

(14)

14 akan terus dibayangi dengan kenangan yang menyakitkan, pengalaman traumatis yang mengganggu dan menekan diri sendiri.

Menurut Maddison dan Walker yang dikutip oleh Brenda Mallon, dalam proses kedukaan orang-orang dalam lingkungan sosial dapat memfasilitasi dan menghambat penduka menjalani proses berduka, karena dukungan orang-orang tersebut memiliki dampak yang signifikan pada resolusi berduka.32 Sejalan dengan pemikiran tersebut menurut Wiryasaputra, lingkungan sosial dapat membantu penduka tetapi sebaliknya dapat mengganggu penduka melewati proses kedukaannya secara utuh, penuh atau sempurna sesuai dengan iramanya masing-masing.33 Berdasarkan pemahaman-pemahaman di atas, saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Maddison dan Walker serta Wiryasaputra, karena menurut saya ketika anak kehilangan kedua orang tuanya, maka lingkungan sosialnya secara tidak langsung teridentifikasi sebagai salah satu faktor penting bagi anak dalam proses mengelola kedukaannya. Lingkungan sosial yang baik akan sangat membantu anak untuk menyelesaikan kedukaannya, sebaliknya lingkungan yang tidak baik akan menghambat anak menyelesaikan kedukaannya.

2.2.4 Spiritual

Secara spiritual dampak kematian orang tua bagi anak ialah timbulnya perasaan-perasaan marah kepada Tuhan, meragukan pemeliharaan Tuhan, serta sulit untuk memiliki rasa syukur kepada Tuhan. Penduka yang dulunya aktif dalam sebuah

32Brenda Mallon, Dying, Death and Grief, (USA: SAGE, 2008), 12. 33

(15)

15 komunitas, dapat saja menarik diri dan menjadi pasif karena kecewa. Menurut Granger Westberg ketika seseorang mengalami kehilangan sesuatu yang berharga, orang tersebut mulai meragukan keberadaan Tuhan.34 Dengan kata lain menurut saya, ketika mengalami kehilangan, secara spiritual penduka akan cenderung menanyakan keberadaan Tuhan. Menurut Jeffreys, respon dukacita individu secara khas berhubungan dengan peran spiritual (keagamaan). Banyak orang-orang yang menderita kaena peristiwa kehilangan akan berbelok kepada sistem kepercayaan atau sistem iman mereka untuk menolong mereka menghadapi peristiwa kematian, seperti melaksanakan ritual-ritual maupun dukgan dari para pendoa (prayer support).35

Berdasarkan pemahaman-pemahaman yang telah dijelaskan di atas saya setuju bahwa kedukaan selalu ditandai dengan berbagai gejala dalam seluruh aspek kehidupan anak. Setiap gejala dalam seluruh aspek kehidupan anak dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, sebab setiap gejala memiliki keterkaitan. Gejala-gejala yang diperlihatkan oleh anak terhadap kehilangan kedua orang tua dapat memberikan informasi penting tentang bagaimana anak menjalani tahapan-tahapan kedukaannya.

2.3 Tahap-Tahap Kedukaan karena Kehilangan

Dalam membahas tahapan-tahapan kedukaan, saya ingin menyebutkan beberapa ahli antara lain Elisabeth Kübler Ross, Lindemann, Collin Murray Parkes

34

Westberg, Good Grief ..., 20.

35

J. S. Jeffreys, Helping Grieving People: When Tears Aren’t Enough (New York: Brunner-Routlegde, 2005).

(16)

16 dan Granger E. Westberg. Banyak teori atau model kesedihan memiliki kesamaan tema atau tahapan yang semuanya bertujuan untuk menggambarkan bagaimana penduka berupaya mengatasi pengalaman kehilangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan perubahan gaya hidup yang berkembang sebagai akibat dari pengalaman kehilangan.

Elisabeth Kübler Ross sebagai seorang psikiater mengidentifikasi kesedihan dalam lima tahapan yakni denial (penyangkalan), anger (marah), bargaining

(tawar-menawar), depression (depresi), acceptance (penerimaan).36 Tahapan denial

merupakan tahapan pertahanan sementara yang dipakai oleh penduka bagi dirinya sendiri. Tahapan pertama yang diusulkan oleh Kubler Ross ini merupakan fase pertama di mana penduka menolak bahwa kematian benar-benar ada. Tahapan denial adalah reaksi normal yang diperlihatkan oleh penduka untuk merasionalisasi emosi yang meluap.37 Tahapan selanjutnya ialah anger (marah), ketika penyangkalan mulai mereda, kehilangan yang dialami mulai dirasakan oleh penduka. Begitu intensnya perasaan kehilangan tersebut dirasakan, sehingga emosi ini berbelok menjadi kemarahan. Pada tahapan ini penduka akan semakin sulit meredam amarahnya dan amarahnya seringkali diproyeksikan kepada dokter, perawat, anggota keluarga bahkan

Tuhan.38 Tahapan ketiga bargaining. Dalam tahapan ini penduka sering

mengembangkan harapan bahwa sewaktu-waktu kematian dapat ditunda atau diundur. Tawar-menawar atau negosiasi seringkali dilakukan dengan Tuhan demi menunda

36

Elisabeth Kübler-Ross, On Death And Dying, (London And New York: Routledge, 2008), 31-91. 37Kübler-Ross, On Death And Dying..., 31-39.

(17)

17 kematian.39 Tahapan keempat yang diidentifikasi oleh Kubler Ross ialah depression. Depresi merupakan tahapan dimana penduka tidak lagi memiliki daya untuk mengubah keadaan yang dialami karena ditinggal pergi oleh orang terkasih.40 Pada umumnya kesedihan dan penyesalan akan mendominasi tahapan depresi ini, sehingga penduka sering enggan berbicara atau bertemu dengan orang lain, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menangis dan mengurung diri. Tahapan terakhir yang selanjutnya akan dilalui oleh penduka ialah tahapan acceptance. Pada tahapan ini reaksi fisiologi dan interaksi sosial dari penduka mulai berlanjut. Tahapan ini sepenuhnya dilalui oleh penduka dengan berbesar hati, menerima kepergian almarhum dan keadaan baru tanpa almarhum, karena perasaan dan rasa saki pada fisik perlahan hilang. Kubler Ross menggambarkan tahapan ini sebagai akhir dari perjuangan.41 Meskipun tahapan-tahapan ini telah banyak digunakan dan telah menerima beberapa kritikan, namun tahap atau fase yang dipaparkan oleh Kubler Ross sering tumpang tindih atau terjadi non berurutan.

Pendapat selanjutnya terkait tahapan kedukaan ialah tahapan yang dikemukakan oleh Lindemann, yang mengembangkan teori kesedihan dengan lima tahap yang berbeda yaitu (1) gangguan somatik (misalnya sesak di tenggorokan, sesak nafas atas tersedak); (2) keasyikan dengan gambar almarhum; (3) rasa bersalah; (4) perasaan permusuhan atau marah, dan (5) kesulitan dalam melaksanakan rutinitas

39

Kübler-Ross, On Death And Dying..., 66-68. 40Kübler-Ross, On Death And Dying ..., 69-90 41Kübler-Ross, On Death And Dying ..., 91-111.

(18)

18 sehari-hari.42 Bagi Lindemann proses psikologis dalam mengatasi kerugian karena kehilangan akan lebih siginifikan bila emosi penduka dapat dilepaskan dari orang yang telah meninggal dan penduka mampu beradaptasi dengan lingkungan baru di mana almarhum tidak ada.

Colin Murray Parkes seorang psikiater Inggris dan penulis berbagai buku serta publikasi tentang kesedihan juga memaparkan tahapan-tahapan kedukaan dan mengidentifikasikannya dalam empat fase yakni (1) shock atau mati rasa; (2) kerinduan dan merana; (3) disorganization dan putus asa; (4) pemulihan.43 Parkes memfokuskan tahapan-tahapannya pada tanggapan emosi dan fisik terhadap kematian, menekankan prevalensi kecemasan, mencari perilaku, kemarahan dan rasa bersalah, dan perlunya bekerja melalui perasaan untuk dapat beradaptasi. Tercatat bahwa fase-fase tersebut tidak selalu linear, tetapi dapat mengalami beberapa kali sebagai akibat dari kerugian atau pemicu seperti ulang tahun. Menurut Parkes kesedihan merupakan sebuah proses yang tidak melibatkan gejala-gejala yang dimulai setelah kematian dan kemudian memudar, melainkan suksesi fase yang bergabung ke dalam dan saling menggantikan.

Pendapat lainnya terkait tahapan kedukaan berasal dari Granger Westberg. Granger E Westberg adalah seorang pendeta Lutheran dan profesor terkenal karena bukunya, Good Grief. Westberg membagi tahapan kedukaan dalam sepuluh tahapan antara lain (1) kaget; (2) mengungkapkan emosi; (3) merasa depresi dan sangat

42Edith Buglass. Grief and bereavement theories. Nursing Standard. 6/16/2010, Vol. 24 Issue 41, p44-47.

(19)

19 kesepian; (4) muncul gejala-gejala fisik; (5) panik; (6) perasaan bersalah; (7) permusuhan dan kebencian; (8) kembali ke kebiasaan awal; (9) berpengharapan; dan (10) menerima kenyataan.

Tahapan pertama, kaget. Tahapan awal yang akan dialami penduka saat pertama kali menghadapi kehilangan ialah kaget. Westberg menyebut tahapan ini sebagai serangan kejutan. Perasaan kaget dapat terjadi dimana saja dan berlangsung beberapa menit, beberapa jam atau beberapa hari.44 Gejala shock atau kaget sering terjadi pada kasus kematian mendadak.45 Menurut Totok Wiryasaputra, dalam kasus tertentu perasaan terkejut yang dialami oleh penduka mungkin muncul pada awal setiap proses berduka. Namun, bukan berarti bahwa gejala terkejut selalu muncul pada awal setiap proses kedukaan. Karena dalam beberapa kasus kedukaan, gejala terkejut tidaklah mucul sama sekali, misalnya pada peristiwa kehilangan dan kedukaan yang terantisipasi (anticipated grief).46 Dengan demikian, shock atau kaget bukanlah gejala mutlak yang akan dimunculkan oleh penduka, karena dalam kasus kedukaan tertentu gejala ini telah diantisipasi sebelumnya.

Tahapan kedua, mengungkapkan emosi. Setiap penduka dimungkinkan untuk mengekspresikan emosi pada saat menghadapi kesedihan. Bagi Westberg, setiap orang telah diberi kelenjar air mata, dan seharusnya digunakan apabila penduka memiliki alasan untuk menggunakannya.47 Dalam tradisi tertentu cukup sulit bagi seseorang untuk menangis, karena sejak kecil sejumlah anak-anak seperti anak laki-laki telah

44

Westberg, Good Grief ..., 11-14. 45Worden, Grief Counseling..., 22. 46Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 104. 47

(20)

20 diajarkan untuk tidak menangis. Selain itu menangis sering digambarkan sebagai lambang kelemahan. Menurut saya, mengungkapkan emosi merupakan langkah yang efektif bagi penduka untuk mengekspresikan perasaan dari penduka. Sebaliknya menahan emosi justru mempersulit penduka dalam menerima kenyataan kehilangan yang dihadapi penduka.

Tahapan ketiga, merasa depresi dan sangat kesepian. Pada tahapan ini penduka akhirnya memunculkan perasaan depresi dan isolasi. Penduka mulai merasa seolah-olah Tuhan tidak lagi peduli terhadap keberadaan dirinya, dan selama beberapa hari penduka mulai membandingkan dirinya dengan orang lain. Menurut Westberg perasaan depresi dan isolasi yang dirasakan oleh penduka merupakan fenomena universal. Depresi adalah sebuah perasaan yang akan muncul pada semua orang ketika sesuatu yang mereka cintai atau harta karun mereka yang mahal diambil dari mereka.48 Salah satu faktor resiko depresi dipengaruhi oleh kejadian yang tidak diinginkan seperti kehilangan dan perceraian orang tua.49 Menurut Carmen Vázquez Bandín situasi kedukaaan dapat didifinisikan sebagai keadaan kesedihan dan kesepian yang mendalam, sehingga dalam tahapan ini terdapat kecenderungan untuk adanya bunuh

diri.50 Dengan demikian, menurut saya depresi merupakan bagian normal dari sebuah

tahapan kedukaan, karena dalam tahapan ini penduka benar-benar merasakan kehilangan dan kekosongan akan adanya kehadiran orang yang dicintai.

48Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 19.

49Teifion Davies & TKJ Craig, diterjemahkan., ABC Kesehatan Mental (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2004), 162.

50

(21)

21 Tahapan keempat, munculnya gejala-gejala fisik. Dalam tahapan ini penduka memperlihatkan gejala-gejala seperi kurangnya selera makan, susah untuk bernafas, otot lemah dan merasa seperti telah kehilangan energi. Menurut Westberg setelah kehilangan penduka seringkali ke dokter dengan keluhan fisik. Beberapa orang dari penduka akan cenderung mengalami gejala kelemahan fisik sehingga memerlukan bantuan untuk menyelesaikan masalah emosional ini.51 Menurut saya, salah satu faktor yang terkait dengan reaksi kesedihan ialah munculnya gejala-gejala fisik. Penduka mengalami stres karena kehilangan yang dihadapi sehingga menimbulkan ketidakberdayaan fisik. Gejala-gejala fisik yang diperlihatkan oleh penduka sering berkorelasi dengan kecemasan dan sering terjadi dalam tahapan awal kehilangan.

Tahapan kelima, panik. Ketidakmampuan untuk berkonsetrasi dalam masa kedukaan merupakan sesuatu yang alami. Ketika sesuatu yang penting dalam kehidupan diambil, maka pikiran orang tersebut akan terus-menerus ditarik ke objek yang hilang. Menurut Westberg ketika penduka dipikirannya mulai khawatir tentang kehilangan yang dialami, penduka sering panik. Ketakutan penduka ini oleh penduka sendiri tidak diketahui dan tidak dimengerti, sehingga membawa penduka kepada kepanikan.52 Kepanikan dan kecemasan sering lahir dari rasa ketidakamanan yang begitu intens dirasakan, sehingga menurut Worden, kecemasan yang dialami oleh penduka sering berasal dari dua sumber yaitu:

51Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 23-24. 52

(22)

22

a) Penduka takut tidak dapat merawat dirinya sendiri dan sering berkomentar “aku

tidak mampu bertahan tanpa dia”.

b) Peristiwa kematian membuat tingginya kesadaran penduka akan kematian yang sewaktu-waktu dapat terjadi.53

Dengan demikian menurut saya, kepanikan merupakan reaksi yang normal dari penduka. Akan tetapi bila serangan kepanikan dan intensitas kecemasan semakin tinggi ditunjukkan oleh penduka, maka reaksi kesedihan yang ditunjukkan oleh penduka bersifat abnormal sehingga memerlukan penanganan khusus.

Tahapan keenam, perasaan bersalah. Ketika kehilangan orang yang dikasihi karena kematian, terdapat kemungkinan bahwa penduka akan mulai menyalahkan dirinya sendiri. Rasa bersalah sering muncul dengan berbagai faktor, namun pada level tertentu rasa bersalah ini dapat membuat penduka marah atau benci pada dirinya sendiri. Westebrg membagi tahapan ini dalam dua kategori yakni rasa bersalah normal dan rasa bersalah neurotik.54

a) Rasa bersalah normal adalah rasa bersalah yang dirasakan seseorang, ketika orang tersebut telah melakukan sesuatu atau mengabaikan sesuatu yang dalam standar masyarakat hal tersebut harus dilakukan. Sebagai contoh rasa bersalah normal dalam kasus kedukaan ialah ketika kehilangan seseorang yang dicintai melalui kematian, akan sulit bagi penduka untuk memahami hal-hal yang tidak

53Worden, Grief Counseling..., 20. 54

(23)

23 sempat dilakukan bagi almarhum atau hal-hal yang melukai almarhum semasa hidupnya.

b) Rasa bersalah neurotik adalah rasa bersalah yang keluar dari proporsi

keterlibatan dalam masalah khusus. Misalnya, seorang puteri yang merawat ibunya di rumah sakit selama berhari-hari. Namun dokter menyuruhnya untuk pulang dan berisitirahat. Ketika malam hari, ibunya meninggal dan dia tidak pernah memaafkan dirinya sendiri karena peristiwa itu.

Menurut Wiryasaputra, setelah menyadari adanya kehilangan, penduka biasanya berbalik pada diri sendiri. Kemarahan dan kebencian tidak lagi dapat diarahkan pada pihak luar, namun diarahkan pada diri sendiri.55 Dengan demikian, rasa bersalah dapat muncul dalam diri penduka dengan kategori dan alasan tertentu. Sehingga menurut saya rasa bersalah yang belum terselesaikan dan emosi yang disalahpahami dapat membuat penduka sengsara selama bertahun-tahun atau mungkin memperlihatkan gejala fisik yang tertekan.

Tahapan ketujuh, permusuhan dan kebencian. Setelah peristiwa kehilangan karena kematian penduka akan selalu mencari seseorang untuk disalahkan dan mulai mengekspresikan permusuhan terhadap siapa pun.56 Kemarahan penduka terhadap orang lain merupakan indikasi bahwa penduka mulai menyadari bahwa kehilangan yang dialami adalah nyata. Kemarahan dapat diarahkan kepada Tuhan, staf kesehatan,

55Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 114. 56

(24)

24 anggota keluarga dan untuk orang lain.57 Meskipun pada awal kehilangan penduka akan menangis dan merasa sedih, namun menurut Carmen Vázquez Bandín

kemarahan sebenarnya merupakan emosi awal yang datang.58 Menurut saya, tahapan

ini bukanlah tahapan yang hendak menujukkan bahwa penduka dalam kesedihannya harus di dorong untuk bermusuhan atau marah kepada orang lain. Tetapi tahapan ini merupakan tahapan yang normal bagi penduka ketika mengalami kehilangan.

Tahapan kedelapan, kembali ke kebiasaan awal. Kebanyakan orang yang berduka sangat membutuhkan perhatian dari orang lain. Sehingga dalam tahapan ini peranan teman-teman dari penduka sangat penting untuk menjaga memori penduka terhadap orang yang dicintai dan menujukkan kepedulian satu sama lain, terutama ketika penduka telah mengalami kehilangan besar.59 Gangguan dalam kehidupan keluarga yang mengakibatkan anak kehilangan kontak langsung dengan orang tuanya baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian, dapat menimbulkan dampak psikologi yang merugikan perkembangan anak-anak yang ditinggalkan. Walaupun setiap anak berbeda, dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing, kehilangan orang tua akan memutarbalikkan dunianya. Karena itu, anak-anak membutuhkan

dukungan penuh selama masa-masa sulit.60

57Cimete, Güler; Kuguoglu, Sema. Journal of Loss & Trauma. Jan/Feb2006, Vol. 11 Issue 1, p31-51. 58

Carmen Vázquez Bandín, Gestalt Review. 2012, Vol. 16 Issue 2, p126-144. 59Westberg, Good Grief ..., 41.

60

(25)

25 Pasca kematian, lingkungan keluarga dan bantuan orang-orang sekitar untuk memulihkan dan mengembangkan adalah faktor kunci yang diperlukan bagi penduka untuk menjalani proses berduka yang sehat.61 Menurut Worden yang dikutip dalam Dannette M. Muselman dan Marsha I. Wiggins, anak-anak yang mengalami kematian orang tua membutuhkan dukungan, pemeliharaan, dan kontinuitas dari orang tua yang masih hidup atau pengasuh.62 Sehingga menurut saya, kualitas pribadi teman-teman dan orang-orang disekitar penduka dengan penduka menunjukkan bahwa teman-teman dari penduka ingin berbagi beban dengan penduka, walau penduka sendiri tidak memaksakan akan hal itu. Dukungan, pemahaman dan kehangatan dari lingkungan sosial merupakan kunci dalam adaptasi dan mengatasi kesedihan yang dialami penduka.

Tahapan kesembilan, berpengharapan. Dalam tahapan ini penduka mulai mendapat sedikit harapan dalam pengalamannya. Awan yang begitu gelap mulai putus dan sinar cahaya mulai datang. Pada tahapan ini penduka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru dimana penduka berada.63 Menurut Westberg, tidak ada penduka yang sama. Setiap penduka identik dengan situasi kesedihannya sendiri.64 Dengan kata lain menurut saya, dalam tahapan ini penduka mulai memahami dan menemukan makna di balik kedukaannya.

61

Bugge, Kari E.; Darbyshire, Philip; Røkholt, Eline Grelland; Haugstvedt, Karen Therese Sulheim; Helseth, Solvi. Death Studies. Jan2014, Vol. 38 Issue 1, p36-43.

62Dannette M Muselman; Marsha I. Wiggins,Counseling & Values. Oct2012, Vol. 57 Issue 2, p229-240.

63

J. L. Ch Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4.

64

(26)

26 Tahapan kesepuluh, menerima kenyataan. Tahapan ini merupakan tahapan akhir yang dilalui oleh penduka. Dalam tahapan ini penduka akhirnya mulai menerima kenyataan. Menurut Westberg, pada tahapan akhir ini tidak ada jaminan bahwa penduka akan menjadi dirinya yang lama lagi, karena hal ini sangat bergantung pada cara penduka menanggapi kesedihanya.65 Penduka yang memiliki sifat kekanak-kanakan cenderung menghadapi kesedihan mereka dengan cara yang tidak sehat. Penduka seperti ini umumnya tidak benar-benar bekerja melalui kesedihannya. Nampaknya penduka yang rohani lebih terampil, dewasa dan efektif mengelola kesedihannya, karena dibantu dengan keyakinan kepada Tuhan. Penduka yang imamnya kuat akan lebih menyadari bahwa hidup tidak akan pernah sama dan merasakan bahwa banyak hal dalam hidup ini yang perlu dilalui. Menurut Wirayasaputra, tahapan penerimaan ini merupakan titik akhir, sekaligus merupakan titik awal atau tonggak baru dari sebuah masa baru. Kehilangan telah diterima sebagai fakta yang benar atau disepakati sebagai suatu kebenaran.66 Tahapan ini bagi Andrew Setiawan menjadi tahapan reorganisasi, pengaturan ulang tatanan keluarga setelah kehilangan salah satu atau lebih anggota keluarga.67

Proses berduka pada dasarnya tidak mengikuti pola garis linear, secara teratur, berurutan dari satu tahap ke tahap yang lain. Proses berduka lebih tepat digambarkan sebagai cekungan-cekungan lingkaran yang terus berubah-ubah. Dengan kata lain,

65

Westberg, Good Grief ..., 49.

66

Wiryasaputra, Mengapa Berduka..., 115.

67Andrew Abdi Setiawan, Ya Tuhan Mengapa Kau Ambil Dia Dariku?Penghiburan Bagi Orang

(27)

27 proses psikologis berduka tidak berjalan mekanis, tetapi mondar-mandir, maju-mundur, dan naik-turun.68 Berdasarkan tahapan-tahapan yang disebutkan di atas maka menurut saya intensitas kedukaan pada masing-masing individu berbeda dan dapat berlangsung selama beberapa waktu. Kedukaan dapat dilalui oleh penduka dalam beberapa tahapan, namun setiap tahapan tidak selamanya berurutan, melainkan bervariasi dalam durasi waktu tertentu dan tidak dialami oleh setiap penduka. Seringkali penduka akan mengalamai beberapa tahapan secara berulang-ulang, bahkan bergantian dua atau lebih tahapan, kemudian penduka akan kembali pada satu atau beberapa tahapan sebelum akhirnya menyelesaikan tahapan-tahapan tersebut.

Setelah mengkaji pandangan-pandangan dari Elisabeth Kubler Ross, Lindemann, Collin Murray Parkes dan Granger Westberg tentang tahapan-tahapan kedukaan yang akan dilewati oleh seorang penduka, melalui penelitian yang akan dilakukan, saya akan mencocokan tahapan-tahapan manakah yang cocok dengan kondisi kedukaan dan mendukung kedukaan yang dialami oleh partisipan.

2.4 Respon Kedukaan karena Kehilangan

Kematian orang tua sering sulit untuk dipahami oleh anak-anak, karena setiap anak berbeda dalam memahami konsep kematian. Anak-anak dalam keluarga mungkin tidak mengerti apa artinya mati, mengapa orang mati, keabadian kematian atau kenyataan bahwa setiap orang akan mati, sehingga respon yang ditunjukkan masing-masing anak terhadap kematian orang tuanya akan berbeda. Worden mengadopsi

68

(28)

28 pendekatan yang berbeda untuk kerugian dengan menetapkan tugas-tugas yang harus dilalui atau diselesaikan oleh seorang penduka. Menurut Worden penekanan pada model ini ialah bahwa penduka harus bergerak dari fase pasif kedukaannya menuju fase aktif. Dalam kasus kedukaan yang diakibatkan karena kematian kedua orang tua, anak harus diarahkan untuk tidak pasif dalam menjalani kedukaannya, tetapi sebaliknya anak harus aktif menjalani kedukaannya. Adapun empat tugas yang dimaksudkan Worden antara lain:

1. Menerima realitas kerugian.

Menerima realitas merupakan sesuatu yang kemungkinan besar tidak disukai oleh setiap penduka, namun menurut Worden menerima bahwa kematian telah terjadi adalah dasar dari penyembuhan. Ketika seseorang meninggal, orang-orang yang ditinggalkan akan kesulitan dalam menerima kenyataan bahwa almarhum telah pergi dan tidak akan kembali lagi, sehingga tugas pertama ini menjadi penting.69 Saya setuju dengan apa yang di kemukakan oleh Worden dalam tugas pertama ini, dan menganggap bahwa dalam kasus kedukaan karena kehilangan kedua orang tua, anak dapat diajak untuk melihat tubuh kedua orang tua yang telah meninggal, anak diajak untuk turut terlibat dalam merencanakan pemakaman atau upacara peringatan, serta merawat makam almarhum sebagai cara untuk menerima realitas kehilangan.

69

(29)

29 2. Mengalami proses rasa sakit karena kedukaan

Masing-masing penduka memiliki perbedaan dan sering bertentangan dalam mengelola kesedihan. Beberapa penduka akan cenderung menangis, terlibat dalam pembicaraan, bahkan beberapa penduka akan menceburkan diri dalam pekerjaan atau hobi favorit. Beberapa penduka mengatasi rasa sakit juga dengan mencari cara-cara lain yakni mengenang orang yang telah meninggal. Menurut Worden bekerja melalui rasa sakit diperlukan oleh penduka, namun tidak semua penduka akan mengalami intensitas yang sama dari rasa sakit atau setiap penduka tidak akan merasakan rasa

sakit dengan cara yang sama.70 Dalam kasus kedukaan anak yang diakibatkan karena

kematian kedua orang tua, masing-masing anak cenderung berbeda-beda dalam mengelola kesedihannya. Ada anak yang pendiam dan mengelola rasa sakitnya dengan cara mengurung diri, sebaliknya ada anak yang cenderung bersifat aktif dalam mengelola kesedihannya. Menurut saya, dalam pelaksanaan tugas kedua ini tidak ada salahnya bila terjadi perbedaan dari masing-masing anak terhadap pengelolaan rasa sakit yang dialami, selama anak-anak masih tetap menggunakan tindakan-tindakan yang membawa dirinya bergerak melalui rasa sakit, bukan bersembunyi atau menghindarinya.

3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa almarhum

Tugas ketiga merupakan tugas yang sangat menantang setiap penduka, karena penduka harus terbiasa dengan kehidupan baru tanpa almarhum. Perlu diingat bahwa

70

(30)

30 setiap penduka sangat berbeda-beda dalam mengelola dan menyesuaikan diri, namun bekerja pada tugas ketiga ini dapat membantu penduka mengeksplorasi dan menjadi terbiasa dengan puncak dan lembah dari kehidupan barunya. Dalam menjalani kedukaan yang diakibatkan karena kematian kedua orang tua, seorang anak diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana tidak ada lagi kedua orang tua. Tugas penyesuaian ini dapat dilakukan oleh anak melalui bantuan dari lingkungan sosial dimana anak berada. Semakin besar dukungan yang diberikan bagi anak, akan mempercepat penyelesaian tugas ketiga ini.

4. Merelokasi almarhum dan memulai kehidupan baru

Pada tugas keempat Worden menyarankan penduka untuk menarik energi emosional dari orang yang telah meninggal dan menginvestasikan kembali ke tempat lain. Hal ini mungkin sulit dilakukan namun menurut Worden hubungan penduka dengan orang yang telah meninggal tidaklah lenyap, tetapi mereka berubah.71 Dalam kasus kedukaan anak yang diakibatkan karena kematian kedua orang tua, anak-anak disarankan untuk menarik perasaan dan pikiran dari peristiwa kehilangan yang dialami dan mulai membangun kehidupan baru tanpa kedua orang tua. Tugas keempat ini tidak bermaksud untuk membuat anak melupakan hubungan yang terjalin dengan kedua orang tuanya, namun lebih kepada mengajarkan anak untuk menyadari bahwa anak telah kehilangan kedua orang tua.

71

(31)

31 Setelah mengkaji tugas-tugas kedukaan yang dipaparkan oleh Worden, saya setuju dengan empat tugas tersebut yakni menerima realitas kerugian, mengalami proses rasa sakit karena kedukaan, menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa almarhum dan merelokasi almarhum dan memulai kehidupan baru. Dalam empat tugas tersebut menurut saya, anak dapat diarahkan untuk mengalami pergeseran dari fase pasif karena kedukaan menuju fase aktif. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan anak dalam mengelola kedukaannya dan sukses dalam melewati kedukaannya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis logistik terhadap faktor- faktor yang berhubungan dengan status gizi stunting pada anak usia sekolah menunjukkan, dari 9 variabel yang masuk dalam model, ada

Namun orang Jepang memandang tinggi budaya mereka sendiri, bagi mereka Shinken yang dibuat oleh Tosho 刀 匠 yang merupakan pekerjaan dengan kemampuan membuat bilah pedang dari

Fasilitas pendidikan meliputi semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar mengajar baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar pencapaian tujuan

· Meningkatkan ketajaman penalaran siswa yang dapat membentu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. · Meningkatkan kemampuan

Gejala yang sering berasal dari sumber infeksi asli seperti duh urethra dan nyeri atau itching  pada urethra (akibat urethritis), nyeri panggul dan frekuensi miksi yang

Hapsoro (2005) telah melakukan penelitian konfrehensif terhadap kedua kultivar kacang tanah transgenik tersebut antara lain untuk: (1) mengevaluasi respons tanaman kacang

guru kelas yang mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang akan diajarkan dan guru pamong sudah tidak ikut mendampingi masuk ke kelas yang diajar2.