VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA
6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan 6.1.1. Analisis Kontribusi
Perikanan merupakan merupakan salah satu sub sektor pertanian di Kota Padang dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Hal ini berdasarkan atas hasil analisis deskriptif dan studi literatur pada bab penelitian ini sebelumnya. Nilai kontribusi yang dihasilkan bagi perekonomian daerah diperoleh berdasarkan indikator PDRB melalui analisis Shift Share dengan perbandingan persentase antara PDRB sub sektor perikanan pada tahun i terhadap total PDRB seluruh sektor pada tahun i di Kota Padang. Secara rinci hasil analisis Shift Share disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan
No. SEKTOR KONTRIBUSI (%)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian 5,25 5,31 5,26 5,22 5,16 5,14 5,16 5,13 5,12 5,14 5,10 Perikanan 2,84 2,89 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,89 2,89 2 Pertambangan dan Penggalian 1,68 1,67 1,61 1,55 1,52 1,52 1,53 1,54 1,53 1,53 1,54 3 Industri Pengolahan 18,10 17,98 17,98 17,42 17,05 16,99 16,97 16,77 16,55 16,34 16,12 4 Listrik, Gas dan Air
Bersih 1,50 1,64 1,72 1,75 1,69 1,67 1,67 1,73 1,77 1,79 1,79 5 Bangunan 4,17 4,15 4,11 4,07 4,06 4,12 4,22 4,24 4,25 4,24 4,30 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 22,37 22,31 22,32 22,06 21,81 21,94 22,30 22,12 21,78 21,44 21,17 7 Pengangkutan dan Komunikasi 22,45 22,31 22,71 23,84 24,83 24,59 23,63 23,87 24,30 24,73 25,20 8 Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan 7,31 7,37 7,25 7,23 7,39 7,58 7,82 7,93 8,00 8,07 8,13 9 Jasa-jasa 17,17 17,25 17,03 16,85 16,49 16,46 16,69 16,66 16,69 16,72 16,66 Total (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data kontribusi antar sektor di Kota Padang selama 11 tahun terakhir menunjukkan terjadinya fluktuasi dan perbedaan kontribusi masing-masing sektor. Sektor yang secara umum memberikan peningkatan kontribusi antara lain; pertanian, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa. Peningkatan sektor ini pun tidak setiap tahun meningkat tapi beberapa kali mengalami fluktuasi. Sementara itu sektor lainnya mengalami penurunan.
Perbedaan kontribusi dan fluktuasi ini tidak lepas dari faktor karakteristik potensi daerah serta berbagai goncangan yang terjadi akibat krisis nasional maupun daerah. Secara umum terjadi peningkatan PDRB pada beberapa sektor di Kota Padang. Menggeliatnya ekonomi dan iklim investasi menjadi pemicu peningkatan pendapatan daerah ini. Kondisi ini juga berdampak pada sub sektor perikanan yang turut mengalami peningkatan. Perhitungan kontribusi ini dihitung melalui analisis Shift Share berdasarkan indikator PDRB harga konstan tahun 2000. Rekap perkembangan kontribusi ini secara jelas ditampilkan dalam Gambar 14.
Gambar 14. Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Perkembangan kontribusi yang dihasilkan sub sektor perikanan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 14, memperlihatkan terjadinya peningkatan kontribusi selama sepuluh tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan nilai tuna sebagai komoditi ekspor dan juga dampak positif dari kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan Kota Padang (PPS Bungus) sebagai sentra perikanan tuna Indonesia Bagian Barat. Kontribusi utama perikanan di Padang adalah berasal dari perikanan tangkap, hal ini didukung oleh posisinya sebagai daerah pesisir yang menghadap ke Samudera Hindia. Trend peningkatan kontribusi ini perlu disikapi stakeholder terkait melalui kebijakan pengembangan yang akan berdampak bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
2,84 2,89 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,89 2,89 y = 0,0034x + 2,8393 R² = 0,2193 2,78 2,80 2,82 2,84 2,86 2,88 2,90 Kont ri bus i (% )
6.1.2. Analisis Basis Ekonomi
Penilaian basis ekonomi Kota Padang dalam penelitian ini dihitung menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis basis ekonomi memuat sembilan sektor perekonomian yang ada di Kota Padang. Secara rinci perhitungan LQ antar sektor ditampilkan pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis Location Quotient, beberapa sektor di Kota Padang dapat dikategorikan sektor basis selama 10 tahun terakhir. Sektor basis tersebut yaitu; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi serta Keuangan, Persewaan; Jasa Perusahaan. Sektor-sektor ini menurut Sjafrizal (2008) merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi.
Perkembangan sub sektor perikanan di Kota Padang yang tergolong ke dalam sektor pertanian mengalami tren peningkatan. Dari tahun 2000 sampai tahun 2010 perikanan dikategorikan sektor basis karena nilai LQ>1. Kenaikan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya karena peningkatan produksi perikanan laut khususnya nilai kontribusi yang dihasilkan tuna. Perhitungan nilai LQ sub sektor perikanan diuraikan dalam Tabel 26 dan Gambar 15.
Tabel 26. Perhitungan LQ Sub Sektor Perikanan Kota Padang
No. Tahun vi Vi vt Vt LQ Ket.
(Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp)
1 2000 200.331,34 7.065.516,84 646.242,48 22.889.614,05 1,004 Basis 2 2001 212.670,09 7.353.091,21 672.803,05 23.727.373,93 1,020 Basis 3 2002 220.719,27 7.742.458,47 673.812,25 24.840.187,76 1,051 Basis 4 2003 232.880,90 8.171.842,43 723.332,45 26.146.781,64 1,030 Basis 5 2004 244.687,98 8.652.900,05 761.891,34 27.578.136,56 1,024 Basis 6 2005 257.950,07 9.110.697,44 789.009,26 29.159.480,53 1,046 Basis 7 2006 273.710,82 9.577.495,51 841.317,65 30.949.945,10 1,051 Basis 8 2007 290.518,81 10.165.760,80 884.919,95 32.912.968,59 1,063 Basis 9 2008 309.983,58 10.797.259,04 946.556,49 35.176.632,42 1,067 Basis 10 2009 328.365,61 11.345.637,08 989.540,40 36.683.238,68 1,073 Basis 11 2010 347.020,00 12.021.600,00 1.013.604,10 38.860.187,68 1,107 Basis
Gambar 15. Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 26 dan Gambar 15 menunjukkan perikanan merupakan sektor basis di Kota Padang. Adanya tren kenaikan nilai LQ menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan pengembangan yang akan diambil. Sub sektor perikanan sudah seharusnya ditempatkan menjadi tulang punggung perekonomian daerah sehingga mendapat proporsi untuk dikembangkan dan memberikan keuntungan komparatif bagi daerah. Kebijakan pengembangan sektor basis ini juga akan memberikan dampak berganda bagi peningkatan kontribusi sektor lain.
Perekonomian suatu daerah terdiri dari beberapa sektor dengan berbagai potensi ekonomi. Pertumbuhan atau penurunan salah satu sektor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Analisis pertumbuhan ekonomi dengan sektor wilayah tertentu membantu pembuat kebijakan (policy maker) dan stakeholder dalam pengambilan kebijakan yang lebih baik (Herath et al., 2012). Melalui hasil analisis shift share diperoleh kesimpulan bahwa sub sektor perikanan memiliki peluang dalam meningkatkan perekonomian daerah. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dalam penguatan sektor basis melalui investasi dan program pengembangan guna mencapai kesejahteraan.
1,00 1,02 1,05 1,03 1,02 1,05 1,05 1,06 1,07 1,07 1,11 y = 0,0079x + 1,0015 R² = 0,8221 0,94 0,96 0,98 1,00 1,02 1,04 1,06 1,08 1,10 1,12 Ni la i L Q
6.1.3. Analisis Makro Perikanan antar Wilayah
Menurut Fauzi (2010), pendekatan MRA (Minimum Requirement Approach) dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi makro sub sektor perikanan. Pendekatan ini dapat mengukur seberapa besar kekuatan sektor basis dengan mengukur base multiplier-nya. Melalui pendekatan ini diperoleh gambaran pengaruh sub sektor perikanan terhadap sektor lainnya di Kota Padang dengan membandingkannya pada daerah yang memiliki karakteristik potensi perikanan laut di Provinsi Sumatera Barat .
Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variabel tenaga kerja (E=Employment) sebagai indikator. Pada kasus ini, teknik MRA mengandalkan wilayah yang memiliki karakteristik yang sama yang digunakan sebagai acuan atau peer. Daerah lain yang dipilih sebagai pembanding dalam indikator tenaga kerja adalah daerah pesisir yang menjadikan sub sektor perikanan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian. Daerah tersebut antara lain Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Perhitungan nilai share tenaga kerja antar wilayah dijelaskan dalam Tabel 27 berikut:
Tabel 27. Share Tenaga Kerja Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010
No. Wilayah Total Tenaga
Kerja Tenaga Kerja Perikanan Share Tenaga Kerja 1 Kota Padang 304790 6898 0,023 2 Kota Pariaman 31932 1177 0,037
3 Kab. Padang Pariaman 159162 4381 0,028
4 Kab. Pesisir Selatan 158806 13998 0,088
5 Kab. Pasaman Barat 158617 2762 0,017
6 Kab. Kepulauan Mentawai 36453 3216 0,088
Sumber. BPS Provinsi Sumbar, 2010 (Data diolah tahun 2012)
Dari data nilai share yang diperoleh terlihat bahwa daerah yang memiliki nilai share tertinggi untuk perikanan adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Pesisir Selatan. Nilai ini merupakan perbandingan komposisi tenaga kerja keseluruhan dengan tenaga kerja yang khusus bekerja sebagai nelayan (perikanan tangkap). Sedangkan daerah dengan nilai share terendah adalah Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai 0,017. Kota Padang sebagai Ibu Kota Provinsi memiliki keunggulan komparatif pada sektor jasa, keuangan dan perdagangan,
sehingga jumlah tenaga kerja terbesar bergerak pada sektor-sektor tersebut. Nilai share Pasaman Barat dijadikan sebagai peer dalam tahap perhitungan selanjutnya karena merupakan nilai yang paling minimum dari sub sektor perikanan. Perhitungan MRA dijelaskan dalam Tabel 28 sebagai berikut:
Tabel 28. Perhitungan MRA Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010
No. Wilayah Share
Sektor Minimum Shares Peer Total Emp. Sektor Total Emp. Basic Emp. Basic Multiplier 1 Kota Padang 0,023 0,017 6.898 304.790 1.716,570 177,6 2 Kota Pariaman 0,037 0,017 1.177 31.932 634,156 50,4 3 Kab. Padang Pariaman 0,028 0,017 4.381 159.162 1.675,246 95,0 4 Kab. Pesisir Selatan 0,088 0,017 13.998 158.806 11.298,298 14,1 5 Kab. Kepulauan Mentawai 0,088 0,017 3.216 36.453 2.596,299 14,0 6 Kab. Pasaman Barat 0,017 0,017 2.762 158.617
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data hasil analis Tabel 28 dapat digunakan untuk menghitung pengganda basis (base multiplier) sub sektor perikanan. Pengganda basis ini dihitung berdasarkan rasio antara total tenaga kerja perikanan dibagi dengan basic employment. Kota Padang dalam analisis ini memiliki nilai basic multiplier sebesar 177,6 hal ini menunjukkan bahwa setiap 177 tenaga kerja yang diciptakan oleh sektor basis akan menghasilkan 0,6 tenaga kerja di sektor non basis. Daerah yang memberikan efek pengganda terbesar adalah Kota Pariaman, dimana dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah ini untuk setiap 50 tenaga kerja di sektor basis diharapkan akan tercipta 4 tenaga kerja di sektor non basis.
6.2. Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan
Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pada jenis ikan tuna. Tuna sebagai objek penelitian dipilih karena merupakan komoditi utama perikanan tangkap Kota Padang yang menghasilkan kontribusi terbesar dibandingkan jenis lain. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis bioekonomi dalam penelitian ini menggunakan satu jenis spesies (single species) yaitu tuna. Ikan tuna yang diteliti adalah jenis Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares).
Data sekunder sebagai rujukan analisis data pada tahap ini diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus Kota Padang yang juga merupakan sentra perikanan tuna Indonesia bagian barat. Jenis armada atau alat tangkap yang menjadi objek penelitian adalah tuna longline/rawai tuna. Data produksi dan effort yang diperoleh di lapangan yaitu selama 12 tahun. Data ini selanjutnya dianalisis melalui analisis bioekonomi dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Jumlah produksi dan effort ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dengan alat tangkap longline ditampilkan dalam Tabel 29.
Tabel 29. Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang
No. Tahun Produksi (ton) Effort (trip) Produksi Total (ton)
1 2000 801,63 181 833,69 2 2001 1.353,22 231 1.407,35 3 2002 1.095,45 177 1.139,27 4 2003 603,79 105 627,94 5 2004 251,87 27 261,94 6 2005 103,89 13 115,31 7 2006 1.277,93 161 1.289,72 8 2007 148,27 19 148,85 9 2008 397,35 59 403,37 10 2009 689,67 80 719,86 11 2010 679,64 83 730,82 12 2011 837,44 107 838,35
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap PPS Bungus 2000-2012.
Hasil tangkapan per-upaya penangkapan (CPUE) tuna longline dari waktu ke waktu yang didaratkan di Kota Padang cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada Gambar 16. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indek kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa masih terdapat peluang penambahan produksi mengingat tersedianya stok ikan di lokasi penangkapan. Upaya meningkatkan produksi ini juga harus mempertimbangkan faktor keberlanjutan sumberdaya. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah terkait pengelolaan khususnya sumberdaya ikan tuna di Perairan Kota Padang dan WPP 572 Kawasan Samudera Hindia menjadi suatu keharusan guna mencapai optimalisasi dan keberlanjutan. Perkembangan Catch Per Unit Effort (CPUE) ditampilkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Gambar 11 menunjukkan CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2004 (9,329 ton/trip) dan terendah terjadi pada tahun 2000 (4,429 ton/trip). CPUE rata-rata sebesar 7,222 ton/trip atau 7.222 kg/trip. Nilai ini relatif cukup besar dibandingkan biaya operasional sekali melaut. Rendahnya tingkat effort yang secara langsung berdampak pada CPUE juga dipengaruhi oleh kondisi pelabuhan. Melalui data di lapangan, beberapa kendala usaha tuna longline di PPS Bungus Kota Padang adalah terkait kurangnya pasokan BBM, sumber air bersih dan keamanan.
6.2.1. Estimasi Parameter Biologi
Estimasi Parameter biologi dilakukan dengan menggunakan beberapa model estimator yaitu, model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walter dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute. Adapun parameter yang diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Selain itu juga dilakukan uji statistik untuk validitas data serta membandingkan biomas (x), produksi (h) dan Effort (E) pemanfaatan aktual dan optimal sumberdaya ikan tuna dari tiap-tiap model.
4,43 5,86 6,19 5,75 9,33 7,99 7,94 7,80 6,73 8,62 8,19 7,83 y = 0,2646x + 5,5019 R² = 0,4495 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 CPU E
Perkembangan CPUE
Penelitian ini menggunakan hasil analisis model estimator Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP). Penggunaan model ini karena hasil analisis dari parameter estimasi menghasilkan nilai yang logis secara apriori teori dan didukung oleh uji statistik. R square dari model estimasi CYP dalam analisis penelitian ini juga cukup besar. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau R square lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik.
Estimasi parameter biologi dan teknik pada sumberdaya ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 30. Tingkat pertumbuhan intrinsik (r) dan koefisien daya tangkap (q) yang paling tinggi dari keempat model estimasi tersebut adalah model estimasi W-H yaitu sebesar 2,76 ton per tahun dan 0,0066 ton per trip, sedangkan untuk daya dukung lingkungan perairan (K) yang tertinggi adalah model Algoritma Fox sebesar 4.119,23 ton per tahun. Berdasarkan uji statistik, model estimasi yang memiliki signifikansi uji F di bawah 0,05 dan nilai adjusted R2 lebih tinggi dibandingkan model lain adalah model estimasi Walter-Hilborn.
Tabel 30. Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji Statistik pada Sumberdaya Ikan Tuna
Pemanfaatan Aktual Parameter Biologi MSY Persentase Aktual terhadap MSY Uji Statistik r q K Uji F Sig R Square Adjust ed R2 Algoritma Fox -1,325 0,002 4.119,23 7,437 0,023 0,452 0,392 Biomas (x) (ton) 2.059,62 Produksi (h) (ton) 672,97 (1.363,99) -50,3% Effort (E) (trip) 103,58 (319,05) -32,5% CYP 2,642 0,005 1.676,68 3,942 0,071 0,530 0,395 Biomas (x) (ton) 838,34 Produksi (h) (ton) 672,97 1.107,49 62,0% Effort (E) (trip) 103,58 248,14 41,7% Walter-Hibron 2,755 0,007 484,39 4,648 0,052 0,570 0,448 Biomas (x) (ton) 242,19 Produksi (h) (ton) 672,97 333,68 201,7% Effort (E) (trip) 103,27 207,26 49,8% Schnute 0,364 0,000 -56086,73 0,305 0,747 0,080 -0,183 Biomas (x) (ton) (28.043,36) Produksi (h) (ton) 672,97 (5.106,58) -13,2% Effort (E) (trip) 103,27 (1.228,18) -8,4%
Berdasarkan perhitungan model CYP yang diuraikan pada Lampiran 12, Lampiran 13 dan Lampiran 14 diperoleh parameter biologi untuk ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus seperti yang diuraikan dalam Tabel 31 dan Tabel 32. Melalui perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa tingkat pertumbuhan instrinsik ikan tuna (r) adalah 2,64 ton per tahun dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,0053 ton per trip serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah 1.676,68 ton per tahun.
Tabel 31. Keluaran Regresi Model CYP Parameter
Regresi Coefficients Standard Error t Stat F
Multiple R β 0 2,491798979 0,675790891 3,687233746 3,94176 0,727792 β 1 -0,138324632 0,303714268 -0,45544331 β 2 -0,001146852 0,000542138 -2,115423638
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 14)
Data pada Tabel 31 selanjutnya diolah untuk mengestimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tuna dengan alat tangkap longline. Tabel 32 menunjukkan hasil estimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tersebut berdasarkan estimator CYP dan fungsi pertumbuhan logistik. Parameter biologi yang ditunjukkan adalah laju pertumbuhan (r), koefisien daya tangkap (q), koefisien daya dukung (K).
Tabel 32. Parameter Biologi
Parameter
r q K
2,64211946530 0,00532382510 1.676,68
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data pada Tabel 32 menunjukkan parameter biologi dari sumberdaya ikan tuna hasil estimasi menggunakan metode CYP. Tingkat pertumbuhan alami atau laju pertumbuhan sumberdaya tuna sebesar 2,64, koefisien daya tangkap sebesar 0,005 sedangkan koefisien daya dukung sebesar 1.676,68. Hasil estimasi dari tiga parameter tersebut berguna untuk menentukan tingkat produksi lestari, seperti Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY) dan kondisi Open Access.
6.2.2. Estimasi Parameter Ekonomi a. Harga dan Struktur Biaya
Data untuk estimasi parameter ekonomi yang berkaitan dengan struktur biaya dan harga dalam penelitian ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui data sekunder selama 10 tahun di Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat dan wawancara lapangan pada nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Data cross section untuk biaya input diperoleh dari responden yang menggunakan armada longline yang terkait dengan sumberdaya ikan tuna. Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Harga yang digunakan pada ikan tuna adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2007. Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen sehingga diperoleh nilai biaya per-trip tuna longline dan harga per-ton seperti yang disajikan dalam Tabel 33.
Tabel 33. Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang No.
Tahun IHK IHK 2007 Biaya Trip
(Rp/trip) Harga (Juta Rp/ton) 1 2000 226,59 51,68 167.268.362 32,61 2 2001 254,24 57,98 187.679.936 36,59 3 2002 283,33 64,62 209.152.043 40,78 4 2003 297,58 67,86 219.667.562 42,83 5 2004 111,54 72,07 233.281.217 45,48 6 2005 126,12 81,50 263.791.271 51,43 7 2006 142,20 91,88 297.414.205 57,98 8 2007 154,76 100,00 323.685.445 63,10 9 2008 135,63 87,64 283.679.888 55,31 10 2009 116,64 116,64 377.544.005 73,60 11 2010 122,62 122,62 396.895.000 77,38 Rata-rata 269.096.267 52,46
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data biaya dalam penelitian ini adalah biaya per-unit effort, oleh karena itu biaya tersebut dihitung dari data primer yang diperoleh di lapangan. Biaya per-trip sangat ditentukan oleh lamanya penangkapan di laut. Selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan dalam menganalisis bioekonomi sumberdaya tersebut. Variabel harga
berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari harga target spesies dari alat tangkap yaitu tuna. Harga tersebut disajikan dalam bentuk harga ikan (juta rupiah) per ton yang diperoleh dari data primer.
b. Estimasi Discount Rate
Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social discount rate. Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. World Bank merilis tingkat discount rate yang dianjurkan bagi negara-negara berkembang adalah 10 persen sampai dengan 20 persen.
Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relatif sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman.
Melalui hasil perhitungan real discount rate diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kota Padang, yaitu dengan nilai g =0,0061 atau 0,61 persen. Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasarkan pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 17 persen. Nilai r dihitung menggunakan rumus r=ρ–γ.g, sehingga melalui perhitungan tersebut diperoleh nilai r yaitu 16,39. Nilai r tersebut kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ= ln(1+r), yaitu sebesar 0,16 atau 16 persen. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan optimal dinamik dari sumberdaya ikan tuna. Penggunaan nilai
market discount rate yang berlaku saat ini sebesar 17 persen juga digunakan sebagai nilai discount rate pembanding dalam analisis sumberdaya ikan tuna.
6.2.3. Estimasi Produksi Lestari
Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K, sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price), dan annual continues discount rate ( δ ).
MSY atau maximum sustainable yield merupakan hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan yang berada dalam batas kelestarian. MSY dalam hal ini dihitung menggunakan fungsi pertumbuhan logistik. Sebelum mengestimasi MSY, terlebih dahulu dilakukan estimasi parameter biologi. Selanjutnya hasil estimasi ini digunakan untuk mengestimasi tingkat upaya (effort) pada kondisi MSY. Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari Ikan Tuna Kota Padang disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34. Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang
No. Tahun Effort Produksi Produksi
(Et) Aktual (ton) Lestari (ton)
1 2000 181 801,63 1.986,59 2 2001 231 1.353,22 2.690,14 3 2002 177 1.095,45 1.933,20 4 2003 105 603,79 1.045,51 5 2004 27 251,87 240,63 6 2005 13 103,89 113,42 7 2006 161 1.277,93 1.723,93 8 2007 19 148,27 167,29 9 2008 59 397,35 551,11 10 2009 80 689,67 769,78 11 2010 83 679,64 801,99 Rata-rata 672,97 1.093,05
Melalui Tabel 34 dapat dilihat bahwa terdapat selisih antara pemanfaatan aktual dan lestari sumberdaya tuna. Rata-rata jumlah produksi aktual ikan tuna adalah 672,97 ton yang berada di bawah potensi lestarinya yaitu 1093,05 ton. Sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi tuna di kawasan ini. Fungsi produksi lestari (hMSY) dipengaruhi oleh tingkat effort (E) dengan
adanya parameter biologi r, q, dan K secara kuadratik. Dengan memasukan nilai effort (E) tersebut, maka akan diketahui tingkat produksi lestari dan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap longline di Kota Padang. Gambar 17 memperlihatkan perbandingan antara produksi aktual dibandingkan dengan produksi lestari dari alat tangkap longline pada sumberdaya ikan tuna.
Gambar 17. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Gambar 17 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 sampai 2010 produksi lestari cenderung lebih besar dibandingkan produksi aktual. Beberapa tahun diantaranya memang terjadi penurunan produksi lestari, namun dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa masih terbuka peluang peningkatan produksi tuna, karena masih tersedianya stok ikan di perairan. Menurunnya produksi ini dipengaruhi berkurangnya jumlah armada tangkap yang mendaratkan ikan di Kota Padang yang sekaligus menyebabkan turunnya upaya penangkapan (effort). Beberapa permasalahan berkurangnya armada tangkap di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus adalah terkait keamanan, ketersediaan air bersih dan supplay bahan bakar (solar).
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 P roduk si (t on ) P. Aktual P. Lestari
6.2.4. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap
Analisis bioekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat penguasaan maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan secara biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi juga sangat berperan penting. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Parameter ekonomi dimasukkan dalam analisis ini agar diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan. Sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan mampu mencapai tujuan akhirnya yaitu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pada Tabel 35 memperlihatkan hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi, sumberdaya ikan tuna.
Tabel 35. Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan Tuna Parameter
r (ton/trip) q (ton/unit) K (ton) p (price, jt Rp/ton)
c (cost, jt Rp/trip)
2,642119465 0,005323825 1.676,68 47,43 38,86
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan data pada Tabel 35, maka estimasi beberapa kondisi sustainable yield, yaitu MSY, Open Access dan Sole Owner dapat ditentukan. Hasil estimasi menunjukkan harga ikan yang diperoleh melalui parameter ekonomi adalah Rp 51,90 juta per ton, dan untuk biaya penangkapan ikan per-trip adalah sebesar Rp 440,56 juta. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan tuna secara ringkas disajikan dalam Tabel 34. Melalui hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi, diperoleh gambaran fungsi pertumbuhan logistik sumberdaya perikanan tuna dengan menggunakan aplikasi Maple 13 ditampilkan pada Gambar 18 (Perhitungan lihat Lampiran 15).
Gambar 18. Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang Keterangan : f(x)=2.642119465x (1-0.000596416728x)
Pada kondisi keseimbangan, laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sama dengan K (carrying capacity). Carrying capacity dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), semakin tinggi nilai r, semakin cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity atau K/2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sutainable Yield atau MSY. Melalui hasil analisis diperoleh kurva pertumbuhan logistik seperti terlihat pada Gambar 18 yang menunjukkan tingkat carrying capacity dan MSY sumberdaya ikan tuna. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat MSY saat ini adalah pada tingkat pertumbuhan (growth) 1.107,49 ton. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan ditampilkan pada Tabel 36.
Tabel 36. Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna
No. Variabel Kendali Sole Owner / MEY
Open Access/
OAY MSY Aktual
1 x (ton) 915,28 153,89 838,34 -
2 h (ton) 1.098,17 369,27 1.107,49 686,68
3 E (trip) 225 451 248 104
4 π (juta Rp) 43.332,71 - 42.890,17 31.572,62
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok tuna adalah sebanyak 915,28 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.098,17 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 225 trip, sehingga nilai rente yang didapatkan adalah sebesar
Rp 43.332,71 juta. Pengelolaan Open Access menghasilkan standing stock sebanyak 153,89 ton dengan hasil tangkapan sebesar 369,27 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 451 trip. Pada kondisi MSY, stok ikan adalah sebanyak 838,34 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.107,49 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 248 trip, sehingga memperoleh rente Rp 42.890,17 juta. Hasil analisis pada beberapa rezim pengelolaan sumberdaya tuna diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan optimal adalah pada rezim MEY (sole owner). Gambar rezim pengelolaan sumberdaya tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Nilai rente sumberdaya ikan tuna pada kondisi open access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan tuna di Kota Padang dibiarkan terbuka, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi lainnya. Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan secara statik di Kota Padang sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Keseimbangan bioekonomi model Gordon Schaefer ditampilkan pada Gambar 20. 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 0 200 400 600 800 1000 1200
Aktual MEY OAY MSY
Re n te Ek o n o m i (j u ta Rp ) Cat c h (to n), Effort (trip)
Rezim Pengelolaan SDI
Gambar 20. Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
6.2.5. Analisis Optimasi Dinamik
Model estimasi yang sesuai dalam pemanfaatan sumberdaya tuna berdasarkan analisis statik sebelumnya adalah model CYP. Melalui model ini diperoleh parameter biologi dan ekonomi pemanfaatan tuna di Kota Padang. Dalam rangka merumuskan sebuah kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, maka dalam tahap ini analisis menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Hasil analisis sumberdaya tuna dengan pendekatan dinamik menggunakan discount rate 16 persen ditampilkan pada Tabel 37. Tabel 37. Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna
No. Variabel Kendali Aktual
Optimal Dinamik (i=16) Optimal Dinamik (i=17) 1 x (ton) 876,46 874,23 2 h (ton) 686,68 1.105,21 1.105,46 3 E (trip) 104 237 238 4 π (juta Rp) 31.572,62 322.066,45 304.364,86 5 π overtime (juta Rp) - 5.172,22 874,23
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Analisis secara dinamik dengan menggunakan discount rate 16 persen dan 17 persen ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar
(10.000,00) 10.000,00 20.000,00 30.000,00 40.000,00 50.000,00 60.000,00 70.000,00 - 100 200 300 400 500 600 TR, TC (j ut a R p) Effort (trip) MEY MSY TC OA π max
sumberdaya ikan tuna dapat dikelola secara berkelanjutan. Besaran jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan akan berguna untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di Kota Padang secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan secara optimal dengan nilai discount rate 16 persen dan 17 persen menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan beberapa rezim yang ada. Nilai rente pada discount rate 16 persen adalah Rp 322.066,45 juta dan rente pada discount rate 17 persen adalah Rp 304.364,86 juta. Hasil analisis juga menujukkan semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan tuna semakin meningkat dan lestari, kondisi ini juga akan menghasilkan nilai rente yang semakin tinggi. Hasil optimasi dinamik pengelolaan sumberdaya tuna pada berbagai tingkat discount rate 10-20 persen sebagai pembanding ditampilkan pada Tabel 38.
Tabel 38. Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP Pada Pengelolaan Sumberdaya Tuna
No. Variabel
Kendali (i=10) (i=12) (i=14) (i=18) (i=20)
1 x (ton) 890,27 885,57 880,97 872,03 867,69
2 h (ton) 1.103,25 1.103,98 1.104,63 1.105,71 1.106,14
3 E (trip) 232 234 235 238 239
4 π (juta Rp) 502.296,71 422.247,41 365.023,42 288.621,83 261.836,75 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa pada tingkat discount rate 10% diperoleh nilai biomas sebanyak 890,27 ton, jumlah biomas tersebut lebih besar dibandingkan biomas pada tingkat discount rate 20% sebesar 867,69 ton. Jumlah tangkapan pada discount rate 10% sebanyak 1.103,25 ton, jumlah ini lebih besar dibandingkan pada discount rate 20% dengan jumlah tangkapan sebesar 1.106,14 ton. Tingkat upaya penangkapan pada discount rate 10% adalah sebanyak 232 trip sementara tingkat discount rate 20% sebanyak 239 trip. Keuntungan atau rente ekonomi yang diperoleh pada tingkat 10% sebesar Rp 502.296,71 juta, sedangkan tingkat discount rate 20% lebih kecil nilainya yaitu Rp 261.836,75 juta/trip. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya tuna di Kota Padang lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Pada Gambar 21 dapat dilihat tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin laju tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi dan apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau MEY. Tingkat discount rate yang tinggi akan memacu eksploitasi sumberdaya ikan tuna yang lebih ekstraktif dan dampaknya akan mempertinggi tekanan terhadap sumberdaya tuna. Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak hingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan Open Access (OA), sehingga kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan dari sumberdaya.
Berdasarkan hasil analisis melalui pendekatan optimasi dinamik, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal dan lestari pada sumberdaya ikan tuna sebaiknya dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh melalui analisis dengan discount rate 16 persen. Ini berarti pemerintah pusat dan daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang hendaknya dapat merumuskan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah effort yang diperbolehkan sebesar 237 trip. Jika dibandingkan
0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 9 11 13 15 17 19 21 R e n te E ko n o m i ( R p Jut a)
dengan effort aktualnya maka terdapat selisih, sehingga untuk hasil yang optimal maka jumlah effort dapat ditingkatkan sebanyak 133 trip atau setara dengan penambahan 33 unit armada tuna longliner. Pengelolaan optimal berdasarkan hasil analisis adalah pada tingkat produksi/ yield (h) sebesar 1.105,21 ton dan effort (E) sebanyak 237 trip. Kurva pengelolaan optimal sumberdaya ikan tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 22.
Gambar 22. Kurva Pengelolaan Optimal (i=16%)
Keterangan : Perhitungan dengan Maple 13 di Lampiran 15
Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi. Apabila tingkat discount rate turun hingga ke level 0, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau Maximum Economic Yield (MEY). Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan pelagis besar ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan open access (OA). Pengelolaan dengan tingkat discount rate 16% seperti yang ditampilkan pada Gambar 22 menunjukkan tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya tuna. Pengelolaan pada tingkat ini di satu sisi tidak memacu eksploitasi sumberdaya secara ekstraktif yang mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan sumberdaya dan di sisi yang lain memberikan rente ekonomi yang optimal.
6.3. Analisis Kebencanaan 6.3.1. Analisis Potensi Bencana
Identifikasi potensi bencana alam disamping potensi sumberdaya alam merupakan salah satu aspek penting dalam pertimbangan perumusan kebijakan pengembangan wilayah. Dengan memahami potensi bencana alam yang mungkin terjadi maka langkah preventif, proaktif dan kesiap-siagaan sebelum terjadinya bencana, serta langkah penanggulangan ketika terjadi bencana, dan langkah pemulihan setelah terjadi bencana alam dapat dimasukkan dalam rumusan kebijakan pengembangan wilayah. Sejauh ini, identifikasi potensi bencana alam di kawasan pesisir khususnya terkait pengembangan perikanan dan kelautan belum dilakukan secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang pada umumnya belum berperspektif mitigasi bencana (Forum Mitigasi Bencana, 2007). Secara khusus pentingnya analisis potensi bencana dalam penelitian ini terkait pada perumusan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis bencana alam yang potensial terjadi di Kota Padang dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Model analisis potensi bencana yang digunakan untuk menentukan potensi bencana yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pengembangan perikanan adalah dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), studi literatur dan analisis deskriptif.
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang digunakan dalam penelitian ini (Sub-bab 6.3.1 dan Sub-bab 6.3.2) merupakan salah satu metode penentuan prioritas keputusan yang dilakukan berdasarkan beberapa analisis dari tahapan penelitian sebelumnya. Hasil analisis yang dilakukan sebelumnya dijadikan sebagai komponen dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi potensi bencana yang ada di pesisir Kota Padang terkait pengembangan sumberdaya perikanan. Metode perbandingan eksponensial terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan yaitu:
Menyusun alternatif-alternatif potensi bencana
Menentukan kriteria atau perbandingan kriteria potensi bencana
Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria
Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif
Menentukan urutan potensi bencana
Pada tahapan MPE, perlu ditentukan dahulu kriteria potensi bencana dan alternatif bencana. Kriteria pembentuk MPE ini antara lain; kawasan pelabuhan, TPI dan PPI, kawasan pemukiman nelayan, kawasan pasar perikanan dan kawasan perairan (laut). Sedangkan alternatif bencana yaitu; gempa bumi, tsunami, banjir, erosi, akresi, longsor, abrasi, angin kencang, intrusi air laut dan gelombang laut. Rumusan yang akan ditentukan dalam rangkaian proses MPE diuraikan menjadi unsur-unsurnya yaitu kriteria dan alternatif.
Tingkat potensi bencana dalam metode ini diperoleh dengan menentukan besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat tidak berpotensi, bobot 2 berarti tidak berpotensi, bobot 3 berarti cukup berpotensi, bobot 4 berarti berpotensi dan bobot 5 berarti sangat berpotensi. Pada metode MPE, nilai total setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh kriteria yang dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE diperoleh nilai total potensi bencana yang ditampilkan pada Tabel 39.
Tabel 39. Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE
No. Alternatif Kriteria Nilai Alternat if Kawasan Pelabuhan , TPI, PPI Kawasan Pemukiman Nelayan Kawasan Pasar Perikanan Kawasan Perairan (Laut) 1 Gempa Bumi 5 5 5 5 2.500 2 Tsunami 5 5 5 5 2.500 3 Banjir 2 2 2 2 64 4 Erosi 2 1 1 1 19 5 Akresi 2 1 3 2 114 6 Longsor 2 2 2 2 64 7 Abrasi 2 4 1 1 274 8 Angin Kencang 4 4 4 4 1.024
9 Intrusi Air Laut 3 3 3 3 324
10 Gelombang Laut 2 4 2 5 913
Bobot 4 4 4 4
Langkah terakhir dalam Metode Perbandingan Eksponensial ini adalah menentukan urutan prioritas keputusan dari seluruh alternatif keputusan yang tersedia. Pemeringkatan dilakukan dengan mengurutkan alternatif keputusan dari jumlah nilai yang terbesar ke nilai terkecil. Hasil dari pengurutan akan diperoleh alternatif keputusan yang paling baik untuk kemudian dipilih menjadi sebuah kebijakan pengelolaan.
Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui metode ordinal MPE, diketahui bahwa secara spesifik jenis bencana yang berpotensi terjadi di Kota Padang terkait pengembangan perikanan adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut, sementara bencana yang lain pengaruhnya tidak terlalu besar. Hasil MPE ini merupakan rangkaian proses analisis setelah melalui studi literatur dan kepustakaan. Potensi bencana pesisir hasil MPE ditampilkan pada Gambar 23.
Gambar 23. Potensi Bencana Pesisir Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa potensi bencana yang paling tinggi terkait pengembangan sumberdaya perikanan adalah gempa bumi. Posisi kedua adalah tsunami, pada rangking ketiga ditempati angin kencang. Posisi keempat dan kelima adalah gelombang laut dan intrusi air laut. Penjelasan terkait potensi bencana pesisir yang berhubungan dengan pengembangan sumberdaya perikanan diuraikan pada sub bab selanjutnya. Data uraian potensi bencana tersebut diperoleh dari data lapangan melalui studi literatur dan kepustakaan.
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Gempa Bumi Tsunami Angin Kencang Gelombang Laut Intrusi Air Laut Kawasan Pelabuhan Kawasan Pemukiman Kawasan Pasar Kawasan Perairan
6.3.1.1. Gempa Bumi
Secara regional, daerah Sumatera Barat termasuk daerah rawan gempa bumi nomor 3 di Indonesia. Berdasarkan asal usul kejadiannya gempa dapat dibagi menjadi dua bagian yakni gempa bumi yang berasal dari \\jaman lempeng Samudera Hindia-Australia yang berinteraksi dengan lempeng Benua Asia di sebelah barat Sumatera dan gempa bumi yang berasal dari aktivitas gerak sesar aktif mendatar Sumatera. Jejak rekam gempa bumi merusak yang pernah terjadi akibat interaksi kedua lempeng tersebut diantaranya adalah gempa bumi Sumatera Barat tahun 1822, Gempa bumi Siri Sori tahun 1904 (tsunami), Gempa bumi Padang (1835,1981, dan 1991). Gempa bumi sesar aktif Sumatera pernah terjadi 1926, 1943, 1977, 2004 dan 2007. Gempa bumi tunjaman tersebut yang terjadi di dasar laut Samudera Hindia dengan kekuatan besar dari 6,5 SR dapat memicu terjadinya gelombang tsunami yang mengancam pantai barat Sumatera (Bappeda Kota Padang, 2010).
Berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Peta Geomorfologi Lembar Padang, Peta Bahaya Goncangan Gempa Bumi Indonesia, Peta Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi Indonesia. Intensitas Gempa Bumi (MMI) Kota Padang mempunyai tingkat kegempaan berkisar antara V hingga VII (skala MMI), yaitu:
Skala V–VI: tersebar dominan ke bagian barat laut–tenggara yang meliputi daerah bagian tengah hingga timur laut Kota Padang.
Skala VI–VII: tersebar mulai dari bagian barat laut–tenggara, bagian tengah meliputi daerah Pasir Jambak, Cupak hingga terus ke arah tenggara Kota Padang.
Dalam rangka mengetahui kerentanan Kota Padang ini terhadap bencana gempa bumi secara mikro, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah melakukan kajian mikrozonasi geoseismik yakni perpaduan kondisi geologi dengan parameter utama respon dinamika gempa (periode dan amplifikasi) sehingga dapat dipisahkan antara daerah berkerentan tinggi akan goncangan gempa bumi dengan daerah lainnya yang kurang kerentanannya akan goncangan gempa bumi. Secara umum wilayah Kota Padang mempunyai periode dominan terendah (<0,14 detik) hingga tertinggi (3,8 detik) dan bersifat
menguatkan gelombang gempa bumi (amplifikasi) terendah 4 kali dan amplifikasi tertinggi lebih dari 12 kali (Bappeda Kota Padang, 2010).
Pusat-pusat gempa di Kota Padang paling banyak berkaitan dengan gempa tektonik. Pusat-pusat gempa tektonik di Kota Padang terbentuk di sepanjang jalur gempa mengikuti zona subduksi sepanjang 6.500 km di sebelah barat Pulau Sumatera. Tumbukan Lempeng Samudra Hindia-Australia yang menyusup di bawah Lempeng Eurasia membentuk Zona Benioff yang secara terus menerus aktif bergerak berarah barat timur yang merupakan zona bergempa dengan seismisitas cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan Kota Padang menjadi daerah tektonik giat dan merupakan sumber gempa merusak.
Data kegempaan dari BMG dan USGS memperlihatkan lokasi pusat-pusat gempa di perairan Kota Padang tersebar cukup merata. Pusat gempa terlihat lebih banyak di perairan antara Pulau Enggano dan Daratan Sumatera. Frekuensi kejadian gempa dari tahun 1900 hingga 1963 relatif sedikit, sedangkan dari tahun 1963 hingga 1995 terjadi peningkatan. Gempa terjadi 3 sampai 16 kali per tahun dalam kurun 1963-1975, frekuensi ini menurun hingga 2 kali kejadian dalam tahun 1984 dan kemudian meningkat lagi dengan 2 kali kejadian pada tahun 1995. Sumber-sumber gempa tersebut kebanyakan berada pada kedalaman 33 hingga 100 km, dengan magnitude lebih besar dari 5 skala richter. Gempa berkekuatan lebih besar dari 6,5 skala richter di permukaan, berpeluang besar menyebabkan deformasi di daratan maupun di dasar laut (BPPT dalam UNP, 2007).
Tingginya tingkat kerawanan bencana gempa di Kota Padang adalah akibat gempa berskala besar yang merobohkan bangunan dan dapat memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan perikanan, sebab sentra-sentra usaha potensial perikanan di Kota Padang khususnya perikanan tangkap berada di lokasi yang rawan bencana. Sentra usaha itu seperti pelabuhan pendaratan ikan, pasar perikanan, pemukiman nelayan dan sarana perikanan lainnya. Peta risiko bencana gempa bumi Kota Padang disajikan pada Gambar 24 yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang.
Ga mbar 24 . P eta R isi ko B enc ana G empa Bum i K ota Pada ng
6.3.1.2. Tsunami
Posisi Kota Padang yang berada di pantai barat Sumatera dimana berbatasan langsung dengan laut terbuka (Samudra Hindia) dan zona tumbukan aktif dua lempeng menjadikan Padang salah satu kota paling rawan bahaya tsunami. Gempa tektonik sepanjang daerah subduksi dan adanya seismik aktif, dapat mengakibatkan gelombang yang luar biasa dahsyat. Melalui catatan sejarah bencana, tsunami pernah melanda Sumatera Barat pada tahun 1797 dan 1833. Kejadian bencana tsunami yang bersumber dari gempa yang berada di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40. Kejadian Tsunami di Sumatera Barat
Tahun Bulan Hari Lat Lon Ms I N C V TR BR Sumber
1797 2 10 -1 100 4 (Heck, 1947)
1861 9 25 -1.5 100 6.5 1.5 1 T 3 IND SG1 SW.
1922 4 10 -1 100 0 U 1 IND SG1 Padang
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
Ket: : Lat (latitude), Lon (longitude), Ms (Magnitude-SR ), I (Inundasi)
Berdasarkan catatan pada Tabel 40 tersebut, dibuat dua skenario terpaan tsunami. Skenario terburuk dengan terjadinya slip vertikal sepanjang 20 meter di dasar laut, tsunami akan ditandai dengan terjadinya gempa bumi besar diatas 8 skala richter selama lebih dari 1 menit tanpa terputus. Terpaan pertama akan datang selang antara 20-40 menit setelah terjadinya gempa. Pada kondisi ini tsunami akan menerpa Kota Padang dengan ketinggian bervariasi antara 5-16 meter (Bappeda Kota Padang, 2010).
Ketinggian tsunami setinggi 16 meter akan terjadi pada daerah teluk, seperti daerah Teluk Bayur dan Sungai Pisang. Daerah padat penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara dan lainnya, gelombang diperkirakan akan datang dengan ketinggian 5-6 meter. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 25 Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang, data bahaya tsunami di uraikan pada Tabel 41.
Tabel 41. Bahaya Tsunami Kota Padang
No. Kecamatan Luas Total
(Ha) Bahaya Tsunami Luas Bahaya Tsunami (Ha) Luas Bahaya Tsunami (%) 1 Koto Tangah 21.594 6-5 m 248 1,14 Koto Tangah 5-4 m 692 3,2 Koto Tangah 4-3 m 342 1,58 Koto Tangah 3-2 m 647 2,99 Koto Tangah 1-0 m 19.665 91,06 2 Pauh 15.953 1-0 m 15.953 100 3 Kuranji 5.795 1-0 m 5.795 100 4 Nanggalo 1.112 5-4 m 19 1,7 Nanggalo 4-3 m 36 3,23 Nanggalo 3-2 m 87 7,82 Nanggalo 1-0 m 970 87,23 5 Padang Utara 617 6-5 m 84 13,61 Padang Utara 5-4 m 328 53,16 Padang Utara 4-3 m 93 15,07 Padang Utara 3-2 m 20 3,24 Padang Utara 1-0 m 92 14,91 6 Lubuk Kilangan 8.362 1-0 m 8.362 100 7 Padang Timur 639 4-3 m 14 2,19 Padang Timur 3-2 m 157 24,56 Padang Timur 1-0 m 468 73,23 8 Padang Barat 508 6-5 m 80 15,74 Padang Barat 5-4 m 283 55,7 Padang Barat 4-3 m 145 28,54 9 Lubuk Begalung 2.711 6-5 m 24 0,88 Lubuk Begalung 1-0 m 2.687 99,11 10 Padang Selatan 1.119 6-5 m 30 2,68 Padang Selatan 5-4 m 20 1,78 Padang Selatan 4-3 m 7 0,62 Padang Selatan 1-0 m 1.060 94,72
11 Bungus Teluk Kabung 9.975 6-5 m 140 1,4
Bungus Teluk Kabung 1-0 m 9.836 98,6
12 Pulau 164 6-5 m 164 100
Sumber : UNP, 2007
Tabel 41 mennjukkan hampir seluruh kecamatan di Kota Padang berada dalam bahaya tsunami. Kisaran tinggi bahaya tsunami mencapai 1-6 meter. Bahaya tsunami terlebih dirasakan pada daerah pesisir yang merupakan basis usaha perikanan tangkap. Dengan demikian, diperlukan rumusan kebijakan pengembangan perikanan yang tepat di daerah ini.
Ga mbar 25 . P eta R isi ko B aha ya Tsuna mi Kota P ada ng
6.3.1.3. Angin Kencang/Badai
Angin kencang/badai baik yang terjadi di laut maupun pesisir dapat merugikan usaha perikanan. Badai yang terjadi di laut akan menimbulkan gelombang besar sehingga bisa merugikan armada penangkapan bahkan nyawa nelayan. Sementara itu, badai yang datang di wilayah pesisir akan menyebabkan kerugian materil dan non materil seperti rusaknya fasilitas perikanan, pemukiman nelayan dan lain sebagainya.
Kota Padang termasuk wilayah yang rawan bencana angin kencang/badai. Dari data yang tercatat di BPBD maupun BMKG Maritim Teluk Bayur, daerah-daerah yang berada di pesisir Kota Padang merupakan wilayah yang sering dilanda bencana ini. Badai umumnya berpotensi terjadi pada enam kecamatan pesisir di Kota Padang baik di daratan maupun di tengah laut. Saat badai terjadi, kecepatan angin bisa melebihi 50 kilometer per jam.
Beberapa faktor penyebab datangnya badai di Kota Padang adalah adanya transisi matahari dari Selatan menuju khatulistiwa sehingga terjadi pertemuan angin yang bergerak dari utara menuju Selatan. Selain itu badai juga terjadi akibat adanya pumpunan angin bergerak menuju daerah yang bertekanan rendah dengan kecepatan tinggi akibat terjadinya pertemuan angin dari arah utara dan selatan karena perbedaan pergerakan matahari dan angin. Faktor lainnya adalah adanya pumpunan angin yang memanjang di sepanjang Pantai Barat Sumatera dan berbalik karena daerah di Sumatera Barat umumnya dikelilingi Bukit Barisan. Akibatnya, angin berbalik arah dan bertambah kencang karena bertemu angin gunung di kawasan perbukitan dan angin darat di daerah sekitar pantai (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012).
Sejauh ini, informasi dan peringatan terkait bencana badai di Kota Padang disampaikan melalui BMKG Maritim. Khusus untuk kegiatan perikanan tangkap, nelayan mendapat informasi sebelum pergi melaut tentang perkiraan cuaca buruk dan kondisi perairan yang akan dilalui. Peta perkiraan dan peringatan bahaya serta informasi meteorologi maritim lainnya disampaikan secara online oleh BMKG Maritim setiap harinya melalui situs http://maritim.bmkg.go.id.
6.3.1.4. Intrusi Air Laut
Faktor penyebab meluasnya intrusi air laut adalah diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut. Selain itu, intrusi air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan, seperti air untuk kebutuhan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap.
Sebagai Kota Pesisir, Kota Padang yang juga merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat memiliki risiko yang tinggi terhadap ancaman intrusi air laut. Ancaman ini didasari oleh padatnya pemukiman di sekitar pusat kota serta berbagai aktivitas perdagangan dan industri yang menambah potensi bencana di daerah ini. Sejauh ini pemerintah Kota Padang telah berusaha mengantisipasi bencana intrusi air laut melalui program pembangunan dan pengelolaan hutan kota yang dikenal dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Usaha mengatasi intrusi air laut di Kota Padang adalah dengan upaya peningkatan kandungan air tanah melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah (Samsoedin dan Endro, 2007). Kawasan strategis perikanan yang rawan akan intrusi air laut seperti TPI, PPI, Pelabuhan dan pemukiman nelayan di sekitar kecamatan pesisir padat penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Padang Utara.
6.3.1.5. Gelombang Laut
Pada umumnya kondisi gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung yaitu melalui data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasari atas kondisi umum yang berlaku di laut yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui dibentuk oleh tiupan angin. Gelombang ini merambat ke segala arah membawa energi tersebut yang kemudian dilepaskannya ke pantai dalam bentuk hempasan ombak. Rambatan gelombang dapat menempuh jarak ribuan kilometer sebelum mencapai pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasaan (refraction), jika mendekati semenanjung akan memusat (convergence) dan menyebar (divergence) jika menemui cekungan.
Keadaan gelombang selain disebabkan oleh hembusan angin juga dipengaruhi oleh keadaan topografi dasar laut atau sea botton topography (Lutfi, 2005).
Hubungan yang erat antara gelombang, angin dan dasar perairan menyebabkan perairan di bagian barat Sumatera khususnya Padang tidak pernah tenang. Hal ini selain disebabkan oleh hembusan angin yang mempunyai gradian kecuraman yang tinggi, juga disebabkan karena pada musim barat di perairan Sumataera Barat sering terjadi badai dengan periode yang singkat antara 1-3 jam. Keadaan ini menyebabkan di daerah perairan pantai sering terjadi gelombang pecah. Tinggi gelombang yang terjadi di Kota Padang berkisar antara 0,5-2,0 meter (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012).
Gelombang laut atau gelombang samudera yang terjadi di perairan Kota Padang berasal dari Samudera Hindia sekitar Mentawai dan pesisir barat daratan Kota Padang. Posisi perairan Kota Padang yang berbatasan dengan Samudera Hindia menyebabkan kawasan ini sangat rawan dilanda gelombang laut. Selain itu, awan gelap (Cumulonimbus) di lokasi tersebut dapat menimbulkan angin kencang dan menambah tinggi gelombang. Gelombang laut berdampak langsung pada kerugian materi nelayan bahkan tidak jarang adanya korban jiwa. Informasi berupa prakiraan gelombang dari BMKG ditampilkan pada Gambar 26.
Gambar 26. Peta Prakiraan Tinggi Gelombang Sumber : BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012
6.3.1.6. Banjir
Bencana banjir merupakan kejadian alam yang sulit untuk diprediksi karena bencana ini datang secara tiba-tiba dengan periodisitas yang tidak menentu, kecuali untuk daerah-daerah yang sudah menjadi langganan terjadinya banjir tahunan. Secara umum banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung.
Beberapa wilayah yang diidentifikasikan rawan bencana banjir di wilayah Kota Padang menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padang antara lain adalah Lubuk Minturun, Simpang Kalumpang, Padang Sarai, Dadok Rawan Panjang sekitarnya, Ikur Koto, Anak Air, Padang Sarai semuanya berada di Kecamatan Koto Tangah, kemudian, Lapai, Siteba, Maransi, Gunung Pangilun di wilayah Kecamatan Nanggalo, serta Ampang, Gunung Sarik, Andalas di wilayah Kecamatan Kuranji. Daerah Simpang Haru yang termasuk wilayah Kecamatan Padang Timur juga merupakan wilayah rawan banjir, serta dua derah yang berada di Kecamatan Lubuk Begalung yaitu Parak Laweh dan Arai Pinang.
Banjir memberikan dampak yang sangat serius terhadap ekosistem perairan pantai. Kerugian yang ditimbulkan banjir bisa berupa material maupun non material. Baik secara langsung maupun tidak langsung kerugian ini dirasakan oleh masyarakat,termasuk juga nelayan. Kerugian banjir mungkin akan sulit untuk ditabulasi secara matematis, namun secara visual sangat nyata telah menimbulkan berbagai macam kerugian baik fisik maupun non fisik. Selain itu menurut Ilyas dan Slamet (2007) banjir peran penting dalam pengiriman butiran sedimen, air tawar yang cukup besar, pengayaan kandungan unsur hara (nutrien) dan peningkatan polusi ke dalam perairan. Keseluruhan material tersebut lambat laun akan berdampak terhadap keberadaan ekosistem perairan. Wilayah-wilayah yang berisiko terkena banjir dapat dilihat pada Gambar 27 Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang.
Ga mbar 27 . P eta R isiko B enc ana B anji r Kot a P ad ang
6.3.1.7. Gerakan Tanah (Longsor, Abrasi, Akresi dan Erosi)
Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan dengan kompresibilitas tinggi. Daerah yang berpotensi terjadinya gerakan tanah yaitu daerah pematang pantai, dimana lapisan keras berada pada kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya terdapat lapisan lempung/lanau lunak (Puradimaja dalam Ruswandi 2009).
Jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah longsoran dan amblesan. Longsor terjadi pada batuan/tanah pelapukan yang mempunyai lereng. Melalui data UNP (2007) tingkat risiko longsor lahan di Kota Padang dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu tingkat risiko longsor lahan rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat risiko longsor lahan rendah umumnya tersebar di bagian timur, barat, utara Kota Padang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bentuk penggunaan lahan berupa hutan dan kebun campuran, sedangkan pada satuan lahan yang memiliki kepadatan penduduk yang padat memiliki lereng yang rendah, sehingga tidak memiliki potensi untuk mengalami longsor lahan.
Tingkat risiko longsor lahan sedang umumnya tersebar pada bagian tengah Kota Padang. Tingkat risiko longsor lahan sedang ini disebabkan karena bentuk penggunaan lahannya berupa permukiman yang bersifat menyebar, sehingga apabila terjadi longsor lahan tidak begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Tingkat risiko longsor lahan tinggi umumnya terdapat pada satuan bentuk lahan perbukitan yaitu pada daerah Gunung Padang, Pauh, dan Lubuk Kilangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 28 tentang peta risiko longsor Kota Padang yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang.
Bencana gerakan tanah seperti longsor, abrasi, akresi dan erosi memiliki dampak terhadap pengembangan perikanan. Dampak bencana ini berupa kerusakan yang ditimbulkan terhadap sarana perikanan, pemukiman nelayan serta ekosistem lingkungan perairan yang secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan sub sektor perikanan. Beberapa kawasan strategis perikanan yang berada di wilayah pesisir Kota Padang rentan terhadap bencana ini, seperti Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Padang Selatan.
Ga m ba r 28 . P eta R isiko B enc ana Longso r Kota P ada ng
Wilayah dataran di Kota Padang dapat dikategorikan dalam dua kondisi, yaitu kondisi stabil dan tidak stabil. Kondisi ini dipengaruhi oleh topografi dan karakteristik masing-masing wilayah. Adapun uraian kondisi ini dijelaskan sebagai berikut (Bappeda Kota Padang, 2010) :
Kondisi Stabil (S)
Terdapat pada daerah dataran yang tersusun oleh endapan aluvial, rawa, kipas aluvial, pematang pantai dan dataran pantai, berupa lempung-pasir, kerikil-kerakal, lepas agak padat, sudut lereng 0–5 persen berupa dataran dengan elevasi 0–5 m (dml), tipe erosi limpasan-alur, serta runtuhan tebing sungai sebagai akibat limpasan aktivitas aliran air sungai, meliputi sepanjang pesisir pantai bagin barat Kota Padang.
Kondisi Tidak Stabil (TS)
- Tingkat Rendah-Sedang (R–S) : Terdapat pada daerah barat laut hingga ke arah selatan, yang tersusun oleh endapan dataran aluvial berupa endapan vulkanik (dominan) berupa lahar, tuf dan koluvium, sifat endapan padat-sangat padat, padat, sudut lereng 5–30 persen berupa dataran bergelombang dengan elevasi 5–10 m (dml), tipe erosi alur-lembah (runtuhan tebing sungai) akibat aktivitas aliran air permukaan dan sungai. Tingkat ini meliputi bagian timur laut-tenggara, sedikit berada pada bagian barat Kota Padang.
- Tingkat Sedang-Stabil (S–T): Terdapat pada daerah dataran hingga perbukitan yang tersusun oleh batuan tua yang terdiri dari malihan/ metamorf, sifat endapan sangat padat, mudah tererosi oleh aliran air permukaan dan terdapat dinding dengan >30 persen hingga tegak lurus, dapat runtuh, tipe erosi limpasan-galur-jurang. Adanya goncangan gempa bumi dapat menimbulkan rekahan-rekahan ke arah lembah yang dapat menyebabkan terjadinya longsoran ke arah hulu. Tingkat ini meliputi bagian timur laut hingga tenggara,dan selatan Kota Padang. Kondisi abrasi atau akresi di wilayah pantai Kota Padang terdapat pada daerah yang tersusun oleh endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat endapan lepas-lepas dan dapat terjadi abrasi atau akresi sebagai akibat dari