• Tidak ada hasil yang ditemukan

PATOGENESIS DAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PATOGENESIS DAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PATOGENESIS DAN

PENATALAKSANAAN PENYAKIT

REFLUKS

GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)

Hernomo Kusumobroto

Divisi Gastroenterologi

Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

RSUD Dr. Sutomo Surabaya

Dikemukakan pada :

SIMPOSIUM PERKEMBANGAN BARU PENGGUNAAN PENGHAMBAT POMPA PROTON

DALAM KLINIK

(2)

PATOGENESIS DAN PENATALAKSANAAN

PENYAKIT REFLUKS

GASTROESOFAGEAL (GERD)

Hernomo Kusumobroto

Divisi Gastro-hepatologi Laboratorium-SMF Penyakit Dalam FK Unair - RSUD Dr. Sutomo Surabaya

BATASAN

Refluks gastroesofageal (GER = gastroesophageal reflux) sebenarnya merupakan gerakan atau usaha tubuh untuk mengeluarkan isi lambung dari dalam lambung ke esofagus. Kejadian ini dapat terjadi setiap saat pada setiap orang, biasanya tanpa menimbulkan keluhan maupun gejala kerusakan organ. Karena itu, GER sebenarnya bukan suatu penyakit, tetapi lebih banyak merupakan proses fisiologis yang normal. Namun GER dapat bersifat patologik, bila peristiwa ini menimbulkan keluhan dan gejala kerusakan jaringan dalam esofagus, orofarings, larings, dan saluran napas. Bila hal ini terjadi, penderita yang mengalami kejadian ini disebut sebagai penderita Penyakit Refluks Gastroesofaggeal (GERD = gastro-esophageal reflux disease). Sebagai salah satu penyakit “acid-peptic”, GERD mempunyai arti ekonomis yang penting, karena dapat menghabiskan biaya sekitar 3 milliard dolar setahun, untuk pengobatannya (1-3).

Esofagitis refluks merupakan salah satu bentuk GERD yang paling sering dijumpai. Penyakit ini paling sering dikenal, baik akibat keluhan rasa panas di dada (“heartburn”) yang berulang, atau akibat perubahan morfolgi epitel pada pemeriksaan radiologi, endoskopik, ataupun histologi (1,2).

Dalam kesepakatan Genval (75), istilah "gastro-esophageal reflux disease" (GERD) juga dapat digunakan untuk setiap penderita yang mempunyai resiko komplikasi akibat refluks ini, atau bagi siapa saja yang mengalami gangguan kesehatan yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita akibat keluhan refluks, meskipun telah diberi penjelasan bahwa penyakitnya sebenarnya adalah ringan (4-7). Komplikasi fisik tersebut dapat berupa esofagitis, asma, aspirasi pneumoni, dan laringitis akibat refluks.

Istilah "endoscopy negative reflux disease" dapat dipakai untuk penderita yang memenuhi batasan GERD, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya kelainan seperti : Barrett's oesophagus, maupun kerusakan mukosa (erosi atau ulserasi). Yang dimaksud dengan kerusakan mukosa adalah adanya esofagitis, bukan kelainan mukosa ringan seperti : eritema, edema, atau mukosa yang rapuh (“friability”) (8).

(3)

Klasifikasi esofagitis yang dipakai adalah Klasifikasi Endoskopi Los Angeles (tabel 1) (9,10).

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi GERD berbeda tergantung dasar analisis yang dipakai, apakah berdasar keluhan atau berdasar gejala yang dijumpai. Bila berdasar keluhan utama “heartburn”, penyakit ini cukup banyak dijumpai di negara Barat. GERD dilaporkan paling sedikit timbul 1 kali dalam sebulan pada sekitar 40 % orang dewasa Amerika. Bila diperhitungkan setiap hari, ada sekitar 7 % yang mengeluh rasa panas di dada (“heartburn”), dan hampir 1 % di antaranya mempunyai esofagitis erosiva. Insidensi GERD meningkat secara dramatik setelah usia 40 tahun, dan biasanya lebih banyak ditemukan pada pria dibanding wanita. Penderita-penderita GERD ini, 5% di antaranya akan mengalami ulserasi, 4 - 20 % kemudian akan menderita striktura, dan 8 - 20 % akan menjadi esofagus Barrett (1-3).

Di negera Timur, GERD ternyata jarang dijumpai. Laporan di kepustakaan sulit ditemukan, apalagi dari Indonesia. Dari pengalaman di praktek, GERD ternyata cukup banyak dijumpai. Dari data endoskopi penderita dengan dispepsia yang dapat dikumpulkan di praktek pribadi (tabel 2), dapat dilihat bahwa GERD merupakan kelainan ke dua terbanyak yang dijumpai setelah dispepsia nontukak (16 %). Perbandingan jenis kelamin menurut kelompok umur dapat dilihat dalam tabel 3.(95).

PATOGENESIS

Isi lambung yang ikut bertanggung jawab untuk timbulnya refluks antara lain adalah : asam lambung, pepsin, garam empedu, dan enzim-enzim pankreas. Dalam suasana pH yang normal, dekonjugasi garam empedu dan enzim pankreas akan menimbulkan kerusakan jaringan (1-3).

Ada beberapa mekanisme yang dapat menimbulkan GERD, yaitu (1-3) :

1. “Anti-reflux barrier”

Kontraksi tonik dari sfingter esophagus bagian bawah (LES = “lower esophageal sphincter”), dapat mencgah terjadinya GERD. Bila tekanan LES menurun (hipotonik) akan terjadi refluks isi lambung ke dalam esophagus. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi menurunnya LES, yaitu antara lain : hormonal (secretin, glucagons, somatostatin dll.); obat-obat golongan alfa dan beta adrenergik (agonis beta, antagonis alfa, anti-kholinergik); makanan tertentu (lemak, coklat, alcohol, pepermin), dan lain-lain (teofilin, kafein, nikotin, kehamilan, oabt-obat depresan SSP) (1).

(4)

2. Klirens lumen esofagus

Proses klirens (pembersihan) esophagus dari pengaruh isi lambung (pepsin, asam lambung, empedu, dll), terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu : gaya gravitasi, perilstatik, salvias, dan pembentukan bikarbonat intrinsic dari esophagus. Sebagian besar asam lambung yang masuk ke dalam esofagus akan turun kembali ke dalam lambung dengan cepat Karena gaya gravitasi dan perilstatik. Keluhan refluks lebih sering timbul sesudah makan, terutama bila makan terlalu banyak, atau ada keterlambatan pengosongan lambung. (1,2)

Keluhan yang paling dominan pada penyakit refluks adalah akibat kontak mukosa esofagus dengan asam dan pepsin. (9-14). Pada sebagian besar penderita dengan pnyakit refluks, terdapat paparan abnormal dalam jangka panjang dari bagian distal esophagus dengan asam dan pepsin (10-16). Hanya pada sebagian kecil saja , yang paparannya masih dalam batas normal, yang dapat memacu keluhan refluks tersebut (17).

Pemantauan pH esofagus menunjukkan bahwa paparan asam ditemukan lebih sedikit pada penderita refluks tanpa kelainan endoskopi dari pada mereka yang kelainannya positif, namun masih tetap lebih tinggi dibanding orang normal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa campuran banyak faktor patogenesis penderita dengan “endoscopy negative reflux” adalah sama dengan penderita esofagitis refluks, dengan faktor peningkatan sensitivitas esophagus yang lebih dominan pada penderita “endoscopy negative reflux disease” (18).

3. Daya tahan mukosa esofagus

Asam pepsin, juga empedu yang ada dalam bahan refluks mempnyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu, seperti : asam, kopi, rokok, dapat menambah keluhan penderita dengan GERD (1-3).

Dari pertemuan Gemsar, disimpulkan bahwa faktor gaya hidup (“lifestyle”) bukan merupakan faktor yang dominan dalam patogenesis esofagitis refluks (19-21), khususnya pada “endoscopy negative reflux disease” (19-24). Masih dibutuhkan penelitain lebih jauh untuk mengetahui pengaruh obesitas, asupan diit dengan lemak tinggi, dan factor gaya hidup yang lain, khususnya pada penderita dengan “endoscopy negative reflux disease”. Dalam pengamatan selama 10 tahun, “endoscopy negative reflux disease” ternyata tidak berkembang ke arah esofagitis (25-27). Namun pada keadaan tertentu, penderita dengan “endoscopy negative” secara periodic dapat menjadi esofagitis grade A (menurut pembagian LA).

Apakah esofagitis dapat berkembang menjadi lebih buruk dalam pengamatan 10 tahun, sulit untuk dipastikan. Beberapa peneliti mengatakan tidak dapat, antara lain karena kebanyakan penelitian longitudinal umumnya kurang dari 10 tahun (25-29). Hampir semua mengatakan interpretasi sulit karena efek pengobatan, dan laporan yang kurang adekuat dan tidak konsisten. Pada sejumlah kasus kecil, memburuknya esofagitis pernah dilaporkan, namun ini biasanya karena pengobatan yang kurang adekuat. Tampaknya

(5)

perjalanan penyakit pada “Los Angeles grades A and B oesophagitis” mungkin berbeda dengan grades C dan D (30).

DIAGNOSIS

Gambaran Klinik

Keluhan rasa panas di dada (“heartburn”).

Bila keluhan “heartburn” merupakan satu-satunya keluhan utama penderita, maka “gastro-oesophageal reflux” dianggap merupakan penyebab paling sedikit pada 75% penderita (31). Dokumentasi yang menunjukkan bahwa adanya “heartburn” dapat dipakai sebagai “predictive value” yang positif untuk penyakit refluks masih belum ada, sebagian karena belum adanya kesepakatan “gold standard” mana yang dipakai untuk membuat diagnosis penyakit refluks tanpa adanya esofagitis.

“Heartburn” merupakan keluhan terbanyak yang ditemukan pada penyakit refluks, dan terjadi pada 75 % penderita (32). Keluhan “heartburn” yang timbul pada penderita dengan tanpa esofagitis refluks pada pemeriksaan endoskopi, tampaknya disebabkan oleh refluks gastro-esofagus sendiri (17,33,34). Pemeriksaan pemantauan pH esophagus, pada penderita dengan “endoscopy negative reflux disease” akan sangat membantu kepastian diagnosis ini.

Istilah "heartburn" sendiri sering sulit diinterpretasikan oleh penderita (35,36). Karena itu diperlukan kesabaran serta ketrampilan dokter dalam melakukan anamnesis, supaya keluhan ini dapat dipakai untuk membuat diagnosis adanya refluks, dan tidak disalah tafsirkan dengan keluhan akibat penyakit lain. Pengaruh budaya local, serta pengenalan istilah setempat perlu dipelajari, baik dengan cara formal maupun dari pengalaman klinik sehari-hari. Keluhan “heartburn” sebagai “perasaanterbakar yang berasal dari lambung atau dada bagian bawah yang menjalar ke arah leher” merupakan keluhan yang lebih banyak dikemukakan penderita dari pada istilah “heartburn” sendiri yang pada waktu ini merupakan istilah yang dipakai secara luas di dunia medik (36,37).

Keluhan dyspepsia (sesuai dengan Kriteria Roma) dapat timbul pada penderita dengan “gastro-oesophageal reflux” (34,38). Kriteria Roma secara khusus tidak memasukkan keluhan “heartburn” dalam definisi dyspepsia. Pada penelitian dengan monitoring pH esophagus, menunjukkan bahwa sebagian kecil penderita dengan keluhan dyspepsia, ternyata berasal dari “gastro-oesophagealreflux”.

Bila adany tukak peptic kronik dan esofagitis refluks tidak dapat ditemukan dengan jelas, pada penderita dengan keluhan nyeri di perut bagian atas/retrosternal bawah yang menghilang dengan pemberian antasida, umumnya ini disebabkan oleh penyakit refluks (31,32,39). Dispepsia dan/atau “heartburn” yang timbul pada pada penderita dengan pemeriksaan endoskopi yang normal bisa disebabkan oleh karena sensitivitas esofagus

(6)

terhadap asam, ulserasi, kelainan motilitas, akibat pengobatan, atau kelainan psikologis. Pada penderita-penderita ini, hanya “endoscopy negative reflux disease” yang menunjukkan respons yang lebih baik terhadap antasid disbanding plasebo

Keluhan refluks terutama terjadi setelah penderita makan. Dari penelitian keluhan penderita yang dilakukan bersama-sama dengan monitoring pH esofagus, menunjukkan bahwa keluhan paling banyak timbul setelah makan pada saat refluks paling banyak terjadi (40-42).

Keluhan refluks yang mengganggu tidur penderita, hanya terjadi pada sebagian kecil penderita dengan penyakit refluks (43). Refluks pada malam hari biasanya hanya timbul pada relatif sebagian kecil penderita, terutama pada penderita dengan esofagitis tingkat C dan D menurut pembagian LA (40,41).

Intensitas dan frekuensi refluks yang menimbulkan keluhan, tidak dapat dipakai sebagai prediksi adanya atau beratnya kerusakan mukosa pada pemeriksaan endoskopi (erosi atau ulserasi) (32,33, 45,46).

Pemeriksaan Endoskopi

Kerusakan mukosa pada pemeriksaan endoskopi (erosi atau ulserasi) yang negatif ditemukan pada lebih dari 50 % penderita yang mempunyai keluhan “heartburn” sebanyak 2 kali atau lebih dalam seminggu selama 6 bulan (33,44). Data dari sejumlah besar penelitian klinik, menyokong pendapat ini. Karena itu penyakit refluks tidak boleh disingkirkan hanya atas dasar pemeriksaan endoskopi yang negatif (75).

Dari penderita dengan penyakit refluks yang tidak mendapat pengobatan yang berkunjung di lini depan, hanya 5 % atau kurang yang mengalami esofagitis yang berat yang mempunyai resiko terjadi komplikasi local (47-50). Komplikasi lokal yang dimaksud adalah timbulnya striktur, esofagus Barrett, dan ulserasi yang dalam. Relatif tingginya prevalensi esofagitis berat (Los Angelestingkat C dan D) pada salah satu pusat tersier, menunjukkan adanya filtrasi referral yang sangat baik. (16%) (50). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa esofagitis derajat A dan B LA, mempunyai resiko kecil untuk terjadinya komplikasi lokal (75).

Adanya perubahan mukosa yang minimal pada pemeriksaan endoskopi (eritema, edema, “friability”) tidak dapat dipakai sebagai temuan diagnosis adanya esofagitis refluks 8,51,52). Kelainan ini harus didiagnosis sebagai “endoscopy negative disease”. Karena sangat bervariasinya laporan endoskopi, maka Pertemuan Gemsal sepakat untuk mengelompokkan laporan seperti : “mild oesophagitis” atau “minor endoscopic mucosal changes” ke dalam kelompok “Los Angeles grades A and B oesophagitis “.

Biopsi endoskopik pada mukosa esofagus tidap mempunyai peranan dalam diagnosis rutin pada penderita dengan “endoscopynegative reflux disease” (53-55). Pendapat ini didukung berdararkan pengalaman tiadanya korelasi antara hasil biopsi dengan

(7)

monitoring pH esophagus dan keluhan yang khas yang menunjukkan respons yang baik dengan pengobatan.

Cara Diagnosis Lain

Monitoring pH esophagus selama 24 jam tidak cukup sensitive untuk dipakai sebagai “gold standard” diagnosis untuk penyakit refluks 17,53,56-62).Adanya pH yang normal telah dilaporkan pada 25 % penderita dengan esofagitis refluks yang khas, dan pada sekitar sepertiga penderita dengan “endoscopy negative reflux disease”. Klasifikasi pH (“acid exposure”) yang normal/abnormal dapat berubah pada sebagian kecil penderita, bila penelitian ini diulangi (61,62).

“Hiatus hernia” juga tidak dapat dipakai sebagai kriteria penyakit refluks, karena kelainan ini juga tidak selalu konsisten disertai kelainan ini 63-66).

Demikian pula adanya refluks pada pemeriksaan fluoroskopi tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis penyakit refluks (67).

PENGOBATAN

Perubahan Gaya Hidup

Penderita dengan penyakit refluks sering diberi tuntunan untuk percaya bahwa mereka harus mampu mengobati diri sendiri dengan cara mengubah gaya hidup yang lebih sesuai (76). Namun karena penelitian yang lebih luas belum pernah dilakukan, maka pendapat ini dianggap hanya sebagai opini saja. Dari hasil Pertemuan Genval, dapat di simpulkan bahwa terdapat overestimasi pengaruh perubahan gaya hidup yang dapat mempengaruhi penyembuhan keluhan penderita.

Dari pola waktu paparan asam pada esofagus, menunjukkan bahwa peninggian bagian kepala tempat tidur merupakan terapi yang tidak logis pada sebagian besar penderita dengan penyakit refluks (40,41,77-99). Sebagian besar refluks terjadi setelah makan . Hanya pada sebagian kecil penderita, yang ditandai dengan keluhan utama nyeri malam hari (“nocturnal symptoms”), paparan asam terutama pada malam hari, dan pada esofagitis yang berat (40), mungkin dapat bermanfaat dengan posisi tempat tidur di atas. Dari beberapa penelitian dapat ditunjukkan bahwa pengaruh peninggian bagian kepala tempat tidur pada penderita dengan paparan asam pada malam hari, ternyata lebih kecil dibandingkan dengan pengobatan dengan PPP (74,77,78).

Berhenti merokok mempunyai efek yang minimal, atau tidak sama sekali, baik dalam pengobatan esofagitis refluks, maupun pada “endoscopy negative reflux disease”

(8)

(22,23,74). Namun penelitian terhadap fisiologi dan monitoring pH menunjukkan hasil yang masih bertentangan satu dengan yang lain (22,23).

Menghindari makanan tertentu, dan/atau alkohol, yang dapat memacu keluhan refluks, dapat dianjurkan sebagai salah satu cara pengobatan untuk mengurangi keluhan penderita (80-82). Namun tindakan ini tidak dapat menyembuhkan esofagitis.

Perubahan gaya hidup dan pemakaian antasida, mempunyai efek minimal untuk pengobatan awal maupun jangka panjang pada penderita dengan esofagitis refluks (19,76,79,83-85). .

Pada penderita dengan “endoscopy negative reflux disease”, perubahan gaya hidup dan penggunaan antasida, ternyata cukup efektif pada awal pengobatan (19,76,79,85). Juga pada pengobatan jangka panjang (19,76,79).

Obat anti-sekretorik

Obat-obat anti-sekretorik berguna untuk menekan produksi asam lambung. Ada beberapa jenis obat yang beredar di pasaran Indoensia, yaitu antara lain : obat anti reseptor H-2 (ARH-2 atau “H-2 blocker”), obat antikholinergik (atropin, spasmolitik), dan penghambat pompa proton (PPI = “proton pump inhibitor”) (tabel 4-6).

Penghambat pompa proton (PPP) merupakan obat pilihan utama untuk “diagnostic trial” (33,68-71). Data terakhir menunjukkan bahwa percobaan dengan pemberian obat, berguna untuk melakukan uji coba diagnosis penyakit refluks, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan endoskopi bila hasilnya negatif (68). Pendapat ini terutama didukung oleh adanya keyakinan superioritas PPP dibanding obat lain, dalam hal menghilangkan keluhan penderita (72,75).

Uji coba dengan pemberian obat PPP, merupakan cara yang paling peka untuk membuat diagnosis penyakit refluks, bila digunakan dosis tinggi (e.g. omeprazole 20 atau 40 mg2 kali sehari) (68-70,73,74).

Obat Prokinetik

Obat-obat prokinetik digunakan untuk mempercepat pengosongan lambung. Ada beberapa obat yang waktu ini dipasarkan di Indoensia, yaitu : domperidone, metoklopramide, clebopride, dan cisapride. Metoklopramide dan clebopride, keduanya dapat menembus “blood-brain barrier”, sehingga dapat menimbulkan efek sistemik yang mengganggu konsentrasi penderita. Cisapride sebenarnya merupakan obat yang paling ideal, tetapi karena pernah dilaporkan dapat menimbulkan aritmia pada penderita tertentu, peredarannya saat ini asih dalam pengawasan Pemerintah (95).

(9)

Untuk pengobatan awal dan “maintenance” pada esofagitis refluks, beberapa obat telah dicoba, dari ARH-2, cisapride, sebagai monoterapi, sampai kombinasi, dan terakhir dengan PPP. Pada umumnya hasilnya makin ke kanan makin baik (72,86,87). Manfaat relatif penggunaan obat untuk esofagitis refluks telah dikenal dengan baik, khususnya kombinasi ARH-2 dengan cisapride, maupun PPP dengan cisapride (86). Hasil yang sama juga didapatkan pada penderita dengan “endoscopy negative reflux disease” (33,44,88).

Dosis standard ARH-2 dan cisapride ternyata memberi efek yang sama, baik pada penderita dengan esofagitis maupun “endoscopy negative reflux disease” (89,90). Diduga cisapride mempunyai efek yang sangat bermanfaat pada penderita dengan pengosangan lambung yang lambat. Namun pada penderita dengan esofagitis tingkat C dan D LA memerlukan pengobatan yang lebih khusus.

Peningkatan dosis ARH-2 ternyata mempunyai efek yang minimal atau bahkan tidak ada manfaatnya, khususnya pada penderita dengan esofagitis reflus (72,91-94).

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Orlando RC. Refflux esophagitis. In Textbook of Gastroenterology, Vol. II, 2nd. Ed., Edited by T. Yamada et al, JB Lippincott Co, Philadelphia, 1995. p. 1214.

2. Kahrilas PJ. Gastroesophageal reflux disease. In Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics, Ed. By G. Friedman et al. Lippincott-Raven Publ., Philadelphia, 1997. p. 31.

3. Yamada T. Handbook of Gastroenterology. Lippincott – Raven, Philadelphia – New York, 1998, p. 226.

4. Dimenäs E. Methodological aspects of evaluation of quality of life in upper gastrointestinal diseases. Scand J Gastroenterol 1993;28(suppl 199):18-21.

5. Glise H, Hallerbäck B, Johansson B. Quality-of-life assessments in the evaluation of gastroesophageal reflux and peptic ulcer disease before, during and after treatment.

Scand J Gastroenterol 1995;30(suppl 208):133-135.

6. Rush DR, Stelmach WJ, Young TL, et al. Clinical effectiveness and quality of life with ranitidine vs placebo in gastroesophageal reflux disease patients: a clinical experience network (CEN) study. J Fam Pract 1995;41:126-136

7. Glise H, Wiklund I. Measurement of the impact of heartburn and dyspepsia on quality of life. Aliment Pharmacol Ther 1997;11(suppl 2):73-77.

(10)

8. Bytzer P, Havelund T, Møller Hansen J. Interobserver variation in the endoscopic diagnosis of reflux esophagitis. Scand J Gastroenterol 1993;28:119-125

9. Armstrong D, Bennett JR, Blum AL, et al. The endoscopic assessment of esophagitis: a progress report on observer agreement. Gastroenterology 1996;111:85-92.

10. Lundell L, Dent J, Bennett JR, et al. Endoscopic assessment of esophagitis - clinical and functional correlates and further validation of the Los Angeles classification. Submitted.

11. Robertson DAF, Aldersley MA, Shepherd H, et al. H2 antagonists in the treatment of

reflux oesophagitis: can physiological studies predict the response? Gut 1987;28:946-949.

12. Wiener GJ, Richter JE, Copper JB, et al. The symptom index: a clinically important parameter of ambulatory 24-hour esophageal pH monitoring. Am J Gastroenterol 1988;83:358-361.

13. Breumelhof R, Smout AJPM. The symptom sensitivity index: a valuable additional parameter in 24-hour esophageal pH recording. Am J Gastroenterol 1991;86:160-164. 14. Johnston BT, Collins JS, McFarland RJ, et al. Are esophageal symptoms

reflux-related? A study of different scoring systems in a cohort of patients with heartburn.

Am J Gastroenterol 1994;89:497-502.

15. Masclee AAM, de Best CAM, de Graaf R, et al. Ambulatory 24-hour pH-metry in the diagnosis of gastroesophageal reflux disease - determination of criteria and relation to endoscopy. Scand J Gastroenterol 1990;25:225-230.

16. Schindlbeck NE, Heinrich C, Konig A, et al. Optimal thresholds, sensitivity, and specificity of long-term pH-metry for the detection of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology 1987;93:85-90.

17. Shi G, des Varannes SB, Scarpignato C, et al. Reflux related symptoms in patients with normal oesophageal exposure to acid. Gut 1995;37:457-464.

18. Watson RG, Tham TC, Johnston BT, et al. Double-blind cross-over placebo controlled study of omeprazole in the treatment of patients with reflux symptoms and physiological levels of acid reflux - the "sensitive oesophagus." Gut 1997;40:587-590.

19. Kjellin A, Ramel S, Rössner S, et al. Gastroesophageal reflux in obese patients is not reduced by weight reduction. Scand J Gastroenterol 1996;31:1047-1051.

20. Boeckxstaens GY, Tytgat GNJ. Pathophysiology, diagnosis, and treatment of gastroesophageal reflux disease. Curr Opin Gastroenterol 1996;12:365-372.

(11)

21. Sontag SJ. Rolling review: gastro-oesophageal reflux disease. Aliment Pharmacol

Ther 1993;7:293-312.

22. Waring JP, Eastwood TF, Austin JM, et al. The immediate effects of cessation of cigarette smoking on gastroesophageal reflux. Am J Gastroenterol 1989;84:1076-1078.

23. Kahrilas PJ. Cigarette smoking and gastroesophageal reflux disease. Dig Dis 1992;10:61-71.

24. Becker DJ, Sinclair J, Castell DO, et al. A comparison of high and low fat meals on postprandial esophageal acid exposure. Am J Gastroenterol 1989;84:782-786.

25. Schindlbeck NE, Klauser AG, Berghammer G, et al. Three year follow up of patients with gastro-oesophageal reflux disease. Gut 1992;33:1016-1019.

26. Isolauri J, Luostarinen M, Isolauri E, et al. Natural course of gastroesophageal reflux disease: 17-22 year follow-up of 60 patients. Am J Gastroenterol 1997;92:37-41. 27. Ollyo JB, Monnier P, Fontolliet C, et al. The natural history, prevalence and

incidence of reflux oesophagitis. Gullet 1993;3(suppl):3-10.

28. Kuster E, Ros E, Toledo-Pimentel V, et al. Predictive factors of the long-term outcome in gastro-oesophageal reflux disease: six-year follow-up of 107 patients. Gut 1994;35:8-14.

29. Ben Rejeb M, Bouché O, Zeitoun P. Study of 47 consecutive patients with peptic esophageal stricture compared with 3880 cases of reflux esophagitis. Dig Dis Sci 1992;37:733-736.

30. Spechler SJ. Epidemiology and natural history of gastro-oesophageal reflux disease.

Digestion 1992;51(suppl 1):24-29.

31. Klauser AG, Schindlbeck NE, Müller-Lissner SA. Symptoms in gastro-oesophageal reflux disease. Lancet 1990;335:205-208.

32. Carlsson R, Frison L, Lundell L, et al. Relationship between symptoms, endoscopic findings and treatment outcome in reflux esophagitis [abstract]. Gastroenterology 1996;110:A77.

33. Lind T, Havelund T, Carlsson R, et al. Heartburn without oesophagitis: efficacy of omeprazole therapy and features determining therapeutic response. Scand J

(12)

34. Small PK, Loudon MA, Waldron B, et al. Importance of reflux symptoms in functional dyspepsia. Gut 1995;36:189-192.

35. Locke GR, Talley NJ, Weaver AL, et al. A new questionnaire for gastroesophageal reflux disease. Mayo Clin Proc 1994;69:539-547.

36. Carlsson R, Dent J, Bolling-Sternevald E, et al. The usefulness of a structured questionnaire in the assessment of symptomatic gastroesophageal reflux disease.

Scand J Gastroenterol 1998;33:1023-1029.

37. Carlsson R, Bolling E, Jerndal P, et al. Factors predicting response to omeprazole treatment in patients with functional dyspepsia [abstract]. Gastroenterology 1996;110:A76.

38. Talley NJ, Colin-Jones D, Koch KL, et al. Functional dyspepsia: a classification with guidelines for diagnosis and management. Gastroenterol Int 1991;4:145-160.

39. Johnsson F, Roth Y, Damgaard-Pedersen N-E, et al. Cimetidine improves GERD symptoms in patients selected by a validated GERD questionnaire. Aliment

Pharmacol Ther 1993;7:81-86.

40. Robertson DAF, Aldersley MA, Shepherd H, et al. Patterns of acid reflux in complicated oesophagitis. Gut 1987;28:1484-1488.

41. Johnsson L, Adloum W, Johnsson F, et al. Timing of reflux symptoms and esophageal acid exposure. Gullet 1992;2:58-62.

42. Gudmundsson K, Johnsson F, Joelsson B. The time pattern of gastroesophageal reflux. Scand J Gastroenterol 1988;23:75-79.

43. Mann SG, Murakami A, McCarroll K, et al. Low dose famotidine in the prevention of sleep disturbance caused by heartburn after an evening meal. Aliment Pharmacol

Ther 1995;9:395-401.

44. Venables T, Newland R, Patel AC, et al. Omeprazole 10 milligrams once daily, omeprazole 20 milligrams once daily, or ranitidine 150 milligrams twice daily, evaluated as initial therapy for the relief of symptoms of gastro-oesophageal reflux disease in general practice. Scand J Gastroenterol 1997;32:965-973.

45. Green JRB. Is there such an entity as mild oesophagitis? Eur J Clin Res 1993;4:29-34.

46. Smout AJPM. Endoscopy-negative acid reflux disese. Aliment Pharmacol Ther 1997;11(suppl 2):81-85.

(13)

47. Locke GR, Talley NJ, Fett SL, et al. Prevalence and clinical spectrum of gastroesophageal reflux: a population-based study in Olmsted Country, Minnesota.

Gastroenterology 1997;112:1448-1456.

48. Lööf L, Götell P, Elfberg B. The incidence of reflux oesophagitis. Scand J

Gastroenterol 1993;28:113-118.

49. Jones RH, Hungin APS, Phillips J, et al. Gastro-oesophageal reflux disease in primary care in Europe: clinical presentation and endoscopic findings. Eur J Gen

Pract 1995;1:149-154.

50. Robinson M, Earnest D, Maton PN, et al. Frequent heartburn symptoms should not be ignored in subjects who self-treat with antacids [abstract]. Gastroenterology 1996;110:A241.

51. Gustavsson S, Bergström R, Erwall C, et al. Reflux esophagitis: assessment of therapy effects and observer variation by video documentation of endoscopy findings.

Scand J Gastroenterol 1987;22:585-591.

52. Johnsson F, Joelsson B, Gudmundsson K, et al. Symptoms and endoscopic findings in the diagnosis of gastroesophageal reflux disease. Scand J Gastroenterol 1987;22:714-718.

53. Schindlbeck NE, Wiebecke B, Klauser AG, et al. Diagnostic value of histology in nonerosive gastro-oesophageal reflux disease. Gut 1996;39:151-154.

54. Ismail-Beigi F, Horton PF, Pope CE. Histological consequences of gastroesophageal reflux in man. Gastroenterology 1970;58:163-174.

55. Collins BJ, Elliott H, Sloan JM, et al. Oesophageal histology in reflux esophagitis. J

Clin Pathol 1985;38:1265-1272.

56. Ghillebert G, Demeyere AM, Janssens J, et al. How well can quantitative 24-hour intraesophageal pH monitoring distinguish various degrees of reflux disease? Dig Dis

Sci 1995;40:1317-1324.

57. Kahrilas PJ, Quigley EMM. Clinical esophageal pH recording: a technical review for practice guideline development. Gastroenterology 1996;110:1982-1996.

58. Klauser AG, Heinrich C, Schindlbeck NE, et al. Is long-term esophageal pH monitoring of clinical value? Am J Gastroenterol 1989;84:362-366.

59. Olden K, Triadafilopoulos G. Failure of initial 24-hour esophageal pH monitoring to predict refractoriness and intractability in reflux esophagitis. Am J Gastroenterol 1991;86:1141-1146.

(14)

60. Quigley EMM. 24-hour pH monitoring for gastroesophageal reflux disease: already standard but not yet gold? Am J Gastroenterol 1992;87:1071-1075.

61. Johnsson F, Joelsson B. Reproducibility of ambulatory oesophageal pH monitoring.

Gut 1988;29:886-889.

62. Wiener GJ, Morgan TM, Copper JB, et al. Ambulatory 24-hour esophageal pH monitoring. Reproducibility and variability of pH parameters. Dig Dis Sci 1988;33:1127-1133.

63. Cohen S, Harris LD. Does hiatal hernia affect competence of the gastresophageal sphincter? N Engl J Med 1971;284:1053-1056.

64. Sloan S, Rademaker AW, Kahrilas PJ. Determinants of gastroesophageal junction incompetence: Hiatal hernia, lower esophageal sphincter, or both? Ann Intern Med 1992;117:977-982.

65. Petersen H. The clinical significance of hiatus hernia. Scand J Gastroenterol 1995;(suppl 211):19-20.

66. Ott DJ, Glauser SJ, Ledbetter MS, et al. Association of hiatal hernia and gastroesophageal reflux: correlation between presence and size of hiatal hernia and 24-hour pH monitoring of the esophagus. AJR Am J Roentgenol 1995;165:557-559. 67. Johnston BT, Troshinsky MB, Castell JA, et al. Comparison of barium radiology with

esophageal pH monitoring in the diagnosis of gastroesophageal reflux disease. Am J

Gastroenterol 1996;91:1181-1185.

68. Schindlbeck NE, Klauser AG, Voderholzer WA, et al. Empiric therapy for gastroesophageal reflux disease. Arch Intern Med 1995;155:1808-1812.

69. Johnsson F, Weywadt L, Solhaug JH, et al. One week omeprazole treatment in the diagnosis of gastro-oesophageal reflux disease. Scand J Gastroenterol 1998;33:15-20. 70. Brun J, Bengtsson L, Sörngärd H. Diagnostic test and treatment of acid related GERD

in a general practice population [abstract]. Gut 1997;41(suppl 3):A63.

71. Schenk BE, Kuipers EJ, Klinkenberg-Knol EC, et al. Omeprazole as a diagnostic tool in gastro-esophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 1997;92:1997-2000.

72. Chiba N, De Gara CJ, Wilkinson JM, et al. Speed of healing and symptom relief in grade II to IV gastroesophageal reflux disease: a meta-analysis. Gastroenterology 1997;112:1798-1810.

(15)

73. Fass R, Fennerty B, Yalam JM, et al. Evaluation of the "omeprazole test" in patients with typical symptoms of gastroesophageal reflux disease (GERD) [abstract].

Gastroenterology 1997;112:A114.

74. Holloway RH, Dent J, Narielvala F, et al. Relation between oesophageal acid exposure and healing of oesophagitis with omeprazole in patients with severe reflux oesophagitis. Gut 1996;38:649-654.

75. Dent J, Brun J, Fendrick AM et al. An evidence-based appraisal of reflux disease management the Genval Workshop Report. Gut 1998;44(Suppl 2):S1-S16 ( April ). 76. Kitchin LI, Castell DO. Rationale and efficacy of conservative therapy for

gastroesophageal reflux disease. Arch Intern Med 1991;151:448-454.

77. Shay SS, Conwell DL, Mehindru V, et al. The effect of posture on gastroesophageal reflux event frequency and composition during fasting. Am J Gastroenterol 1996;91:54-60.

78. Johnson LF, DeMeester TR. Evaluation of elevation of the head of the bed, Bethanechol, and antacid foam tablets on gastroesophageal reflux. Dig Dis Sci 1981;26:673-680.

79. Harvey RF, Gordon PC, Hadley N, et al. Effects of sleeping with the bed-head raised and of ranitidine in patients with severe peptic oesophagitis. Lancet 1987;ii:1200-1203.

80. Pehl C, Pfeiffer A, Wendl B, et al. The effect of decaffeination of coffee on gastro-oesophageal reflux in patients with reflux disease. Aliment Pharmacol Ther 1997;11:483-486.

81. Murphy DW, Castell DO. Chocolate and heartburn: evidence of increased esophageal acid exposure after chocolate ingestion. Am J Gastroenterol 1988;83:633-636.

82. Allen ML, Mellow MH, Robinson MG, et al. The effect of raw onions on acid reflux and reflux symptoms. Am J Gastroenterol 1990;85:377-380.

83. Graham DY, Patterson DJ. Double-blind comparison of liquid antacid and placebo in the treatment of symptomatic reflux esophagitis. Dig Dis Sci 1983;28:559-563.

84. Graham DY, Lanza F, Dorsch ER. Symptomatic reflux esophagitis: a double-blind controlled comparison of antacids and alginate. Curr Ther Res 1977;22:653-658. 85. Dent J. Heartburn - lifting the veil of mythology. Med J Aust 1992;157:336-337. 86. Vigneri S, Termini R, Leandro G, et al. A comparison of five maintenance therapies

(16)

87. Gough AL, Long RG, Cooper BT, et al. Lansoprazole versus ranitidine in the maintenance treatment of reflux oesophagitis. Aliment Pharmacol Ther 1996;10:529-539.

88. Bate CM, Griffin SM, Keeling PWN, et al. Reflux symptom relief with omeprazole in patients without unequivocal oesophagitis. Aliment Pharmacol Ther 1996;10:547-555.

89. Armstrong D. The clinical usefulness of prokinetic agents in gastro-oesophageal reflux disease. In: Lundell L, ed. The management of gastroesophageal reflux

disease. London: Science Press, 1997;45-54.

90. Reynolds JC. Individualized acute treatment strategies for gastroesophageal reflux disease. Scand J Gastroenterol 1995;30(suppl 213):17-24.

91. Wesdorp ICE, Dekker W, Festen HPM. Efficacy of famotidine 20 mg twice a day versus 40 mg twice a day in the treatment of erosive or ulcerative reflux esophagitis.

Dig Dis Sci 1993;38:2287-2293.

92. Simon TJ, Berenson MM, Berlin RG, et al. Randomized, placebo-controlled comparison of famotidine 20 mg b.d. or 40 mg b.d. in patients with erosive oesophagitis. Aliment Pharmacol Ther 1994;8:71-79.

93. Tytgat GNJ, Nicolai JJ, Reman FC. Efficacy of different doses of cimetidine in the treatment of reflux esophagitis. A review of three large, double-blind, controlled trials. Gastroenterology 1990;99:629-634.

94. Johnson N, Boyd E, Mills J, et al. Acute treatment of reflux oesophagitis: a multi-centre trial to compare 150 mg ranitidine b.d with 300 gm ranitidine q.d.s. Aliment

Pharmacol Ther 1989;3:258-266.

95. Hernomo K. Dyspepsia in private practice. Unpublished data, 2000.

(17)

Tabel 1.

Los Angeles Classificasion System of Reflux Esophagitis (Dent, 1998)

Grade A One (or more) mucosal break no longer than 5 mm, that does not extend between the tops of two mucosal folds.

Grade B One (or more) mucosal break more than 5 mm long, that does not extend between the tops of two mucosal folds.

Grade C One (or more) mucosal break that is continuous between the tops of two or more mucosal folds, but which involves less than 75 % of the circumference.

Grade D One (or more) mucosal break which involves at least 75 % of the esophageal circumference.

Tabel 2

Hasil Endoskopi Pada 532 Penderita dengan Dispepsia

(Hernomo, 2000)

Etiologi Jml. penderita Prosentase

1. Dispepsia nontukak (NUD) 202 37.97 %

2. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) 86 16.17 %

3. Gastropati NSAID 70 13.16 %

4. Gastropati kongestif (PHCG) 52 9.77 %

5. Tukak lambung (GU) 43 8.08 %

6. Tukak dudenum (DU) 21 3.95 %

7. Gastropati korosif 12 2.26 %

8. Keganasan 10 1.88 %

9. Lain-lain 36 6.77 %

(18)

Tabel 3.

Perbandingan jenis kelamin menurut kelompok usia Pada penderita GERD (Hernomo, 2000)

Kelompok usia Pria Wanita Total

< 20 2 0 2 20 - 29 3 1 4 30 - 39 5 2 7 40 - 49 9 3 12 50 - 59 13 7 20 60 - 69 15 8 23 > 70 10 8 18 TOTAL 57 29 86 Tabel 4.

Daftar Obat Dispepsia Yang Beredar Di Indonesia

Nama obat Jumlah obat Jumlah preparat

1. Antasida 10 66 2. Antikholinergik 20 32 3. H2 Blocker 5 57 4. PPI 4 29 5. Prokinetik 4 43 6. Sitoprotektor 5 10 Total 48 237 IIMS, May 2000

(19)

Tabel 5.

Jumlah Obat Golongan H2-Blocker Yang Beredar Di Indonesia

Nama Obat Jumlah preparat Prosentase

1. Cimetidin 14 23.73 % 2. Ranitidine 18 30.52 % 3. Famotidine 25 42.37 % 4. Roxatidine 1 1.69 % 5. Nizatidine 1 1.69 % TOTAL 59 100 % IIMS, May 2000 Tabel 6.

Jumlah Obat Golongan PPI Yang Beredar Di Indonesia

Nama Obat Jumlah preparat Prosentase

1. Omeprazole 20 68.96 % 2. Lanzoprazole 7 24.14 % 3. Pantoprazole 1 3.45 % 4. Rabeprazole 1 3.45 % TOTAL 29 100 % IIMS, May 2000

Referensi

Dokumen terkait

rib stitch yaitu elastis dan timbul atau berbukit (tidak tampak kencang) secara bergantian pada kedua sisinya dan semakin besar jumlah rasio pergantian antara knit

Tinjauan hukum Islam terhadap proses penyewaan lahan pemerintah yang tidak terpakai dan bernilai ekonomis untuk tanaman pangan warga pada sesepuh di Desa Bangsri

Nilai WVTR pada film dengan plasticizer polyethilen glikol lebih baik dibanding dengan gliserol karena gugus hidroksi yang lebih kecil dibanding dengan gliserol

11 Tahun 2008 tersebut hanya menentukannya sebagai perbuatan yang dilarang, tanpa memberikan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi dendanya, yang baru ditentukan

Melakukan studi persepsi resiko tentang kebakaran pada pekerja di bagian Utility (Boiler Turbine Generator) Departemen Engineering PT.. Indonesia Toray Synthetics

Sesuai dengan kondisi permasalahan yang terjadi pada birokrasi Pemerintah Kabupaten Kebumen, ada empat prioritas yang menjadi fokus perubahan. Adapun prioritas tersebut adalah

Pendekatan yang dilakukan untuk mereduksi genangan di lokasi penelitian adalah kombinasi antara rehabilitasi saluran drainase eksisting (diharapkan mampu mengurangi

Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui, bahwa banyak anakan pohon nipah masih sehat berada satu hamparan dengan tanaman yang rusak, sehingga sangat kecil kemungkinan