• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. ke-27 Indonesia yang kini telah berdaulat menjadi Negara merdeka sejak. merdeka pada 20 Mei Pelaksanaan referendum didahului dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. ke-27 Indonesia yang kini telah berdaulat menjadi Negara merdeka sejak. merdeka pada 20 Mei Pelaksanaan referendum didahului dengan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konflik telah menjadi salah satu fenomena terpenting di dunia dan mempunyai imbas yang sangat signifikan terhadap wilayah beserta penduduknya yang dilanda konflik. Seperti itulah yang terjadi di Timor Leste, bekas provinsi ke-27 Indonesia yang kini telah berdaulat menjadi Negara merdeka sejak diadakannya referendum pada tahun 1999 yang kemudian diakui menjadi Negara merdeka pada 20 Mei 2002. Pelaksanaan referendum didahului dengan kedatangan UNAMET, salah satu misi khusus PBB untuk Timor Leste yang bertugas untuk menyiapkan dan memfasilitasi penduduk untuk menyalurkan haknya sebagai pemilih di dalam referendum. UNAMET kemudian mengakhiri misinya dengan penetapan jadwal referendum yakni 30 Agustus 1999 (Smith, 2003:18).

Sejarah kemudian tercipta pada 30 Agustus tersebut dimana sekitar 78% penduduk Timor Leste menyatakan dukungannya untuk lepas dari Indonesia dan menjadi Negara merdeka. Namun pada kenyataannya, lepasnya Timor Leste tidak serta merta menjamin keamanan penduduk Timor Leste sebab tidak berapa lama paska dilaksanakannya referendum, sebuah konflik berdarah mengemuka dan menjadi ajang dua pihak untuk beradu yakni pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi. Konflik pada tahun 1999 ini telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan lebih dari 300.000 mengungsi serta menghancurkan infrakstruktur

(2)

dan aset-aset publik yang tersebar di hampir seluruh wilayah di Timor Leste terutama di ibukota yakni Dili.

Paska konflik menjadi kondisi yang sarat dengan berbagai permasalahan meskipun sudah tercapai negosiasi atau kesepakatan perdamaian. Hal ini dikarenakan konflik berdarah termasuk yang terjadi di Timor Leste pada akhir 1999 sudah menyentuh berbagai sisi kehidupan masyarakat sehingga tidak lagi berjalan normal. Tidak berapa lama paska konflik berdarah tersebut, roda kehidupan penduduk lumpuh dan kegiatan perekonomian hampir nol. Hampir sebagian besar fasilitas publik dan infrastruktur di banyak wilayah hancur dan tidak bisa digunakan. Imbas buruk konflik yang membuat roda perekonomian menuju hampir ke titik nol salah satunya diindikasikan dengan lumpuhnya pasar membuat penduduk di Timor Leste tidak lagi dapat mencari penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Ancaman keamanan memperparah kondisi tersebut sebab penduduk merasa khawatir akan keselamatan dirinya apabila memaksakan diri untuk beraktiftas di luar guna mencari uang. Roda perekonomian hampir berhenti total di semua sektor perekonomian termasuk sektor pertanian yang selama ini menjadi sektor yang diandalkan oleh mayoritas penduduk di Timor Leste.

Guna mengembalikan kehidupan penduduk ke normal dan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi di berbagai aspek yang meliputi politik, hukum, ekonomi dan sosial, maka diperlukan usaha pemulihan yang terintegrasi dalam proses bina damai paska konflik atau post conflict peacebuilding. Bina damai yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguatkan struktur dalam sebuah

(3)

negara yang dapat memperkuat dan mensolidkan perdamaian untuk menghindari terjadinya konflik kembali (Ghali, 1992:46) mempunyai 4 elemen penting dalam keseluruhan prosesnya yakni DDR, reformasi sektor keamanan, reformasi pemerintahan dan reformasi sektor ekonomi. Tiap elemen mempunyai peran yang signifikan termasuk reformasi sektor ekonomi atau yang juga dikenal dengan pemulihan ekonomi paska konflik.

Peningkatan Resiko Kekerasan dan Konflik paska 1999

Pemulihan ekonomi paska konflik memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan pemulihan di sektor lain seperti keamanan dan pemerintahan. Korelasi antara kemiskinan dan konflik yang cukup kuat menjadi alasan utama pemulihan ekonomi harus berlangsung maksimal. Dengan pemulihan ekonomi yang berjalan maksimal, maka tingkat kemiskinan dapat dikurangi sehingga salah satu motivasi yang kerapkali menjadi alasan keterlibatan dalam konflik dan kekerasan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sebagai bagian dari proses bina damai maka hal ini dapat memberikan kontribusi positif guna melanggengkan perdamaian dan mengurangi resiko kemunculan konflik kembali atau conflict relapse.

Konflik pada tahun 1999 yang memberi imbas pada hampir seluruh masyarakat Timor Leste telah memunculkan ancaman baru yang harus menjadi perhatian baik oleh pemerintah Timor Leste maupun pihak asing yang turut aktif dalam proses pemulihan paska konflik. Hancurnya kehidupan perekonomian paska konflik 1999 mengakibatkan ratusan ribu orang di Timor Leste kehilangan mata pencaharian. Ketergantungan terhadap bantuan asing menjadi salah satu

(4)

indikator rendahnya kesejahteraan masyarakat Timor Leste pada waktu itu. Meskipun konflik 1999 lebih bermuatan politis namun imbas dari konflik 1999 lebih banyak menghancurkan kehidupan perekonomian Timor Leste dimana menyebabkan meningkatnya angka pengangguran secara tajam hampir di berbagai wilayah di Timor Leste.

Dalam beberapa tahun paska konflik 1999, kenyataan bahwa jumlah gerombolan meningkat dan menjadi lebih beraneka ragam mencerminkan serangkaian tekanan sosial di masyarakat dan bahwa Negara dan lembaga di Timor Leste masih lemah (Tlava, 2009:1). Jumlah kelompok bersenjata yang terus meningkat merupakan ancaman nyata bagi keamanan di Timor Leste yang mencederai perdamaian yang sudah tercapai. Meningkatnya jumlah kelompok bersenjata ini merupakan dampak dari rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Timor Leste paska konflik 1999. Terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulitnya membuka mata pencaharian baru pada masa paska konflik 1999 merupakan hal yang harus diwaspadai karena hal ini secara nyata menimbulkan ancaman baru berupa banyaknya kelompok pemuda atau geng yang sarat dengan kekerasan dan konflik. Tidak jarang, kelompok atau geng tersebut terlibat dalam aksi kekerasan dan konflik yang bahkan merugikan penduduk sipil yang tidak bersalah.

Di Timor Leste sendiri, konflik yang terjadi pada tahun 2006 menunjukkan bagaimana tingginya tingkat pengangguran turut memperparah konflik yang terjadi saat itu meski sudah 7 tahun berlalu dari konflik berdarah tahun 1999. Konflik yang diawali karena adanya pemecatan masal terhadap 591

(5)

personal militer di bawah pimpinan Lettu Galsao Salsinha diikuti dengan kemarahan anggota militer yang dipecat tersebut yang memutuskan untuk melakukan pemberontakan dan menyerang kediaman Presiden Timor Leste kala itu yakni Presiden Jose Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao. Pemberontakan tersebut kemudian meluas dan melibatkan pemuda-pemuda yang tergabung dalam kelompok dan gerombolan bersenjata. Kejadian ini menunjukkan bahwa kelompok dan gerombolan yang tersebar di hampir seluruh wilayah Timor Leste tidak boleh dipandang sebelah mata sebab merupakan ancaman nyata yang mencederai proses menuju perdamaian yang solid.

Pengangguran remaja adalah salah satu katalisator utama dalam pertumbuhan kelompok tersebut. Kira-kira sepertiga dari angkatan kerja di Timor Leste dengan rentang usia 25-29 adalah pengangguran (Tlava. 2009:2). Angka ini meningkat hingga 60% di antara remaja laki-laki dan sekitar 50% di kelompok usia 20-24 tahun (Neupert dan Lopes, 2006:22). Pengangguran diiringi oleh tingginya angka migrasi terutama pemuda dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan yaitu dari distrik-distrik ke Dili. Kurang lebih 40% dari penduduk Dili terdiri dari imigran internal dan kebanyakan terjadi baru-baru ini.

Angka dalam sensus 2004 mengungkapkan bahwa dalam waktu lima tahun saja antara 1999 dan 2004, penduduk Dili meningkat dari 100.715 hingga 173.542. Menurut sumber yang sama, 56,4% dari peningkatan ini disebabkan migrasi internal (Neupert dan Lopes, 2006:22). Sehingga trend kekerasan yang selama ini terjadi di Timor Leste biasanya diawali di kota Dili yang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Kondisi ini memperlihatkan dan menegaskan

(6)

pentingnya pemulihan atau rekonstruksi ekonomi yang sifatnya menyeluruh hingga ke pelosok desa sehingga dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat.

Sebenarnya, kelompok dan gerombolan bersenjata bukan fenomena baru di Timor Leste. Tetapi berevolusi dari kelompok pemberontakan klandestin ketika periode bergabung dengan Indonesia yang kemudian menjadi beraneka ragam termasuk kelompok yang beranggotakan para veteran yang termarjinalisir, kelompok bela diri, barisan politik, kelompok pemuda dan organisasi keamanan yang lain-lain (Tlava, 2009:1). Pada perkembangannya, konflik 1999 telah mempaparah keadaan mengingat makin tingginya jumlah anggota dan geng yang tersebar hampir di seluruh wilayah Timor Leste. Kelompok dan geng pemuda tidak jarang terlibat dalam aksi kekerasan baik antar kelompok maupun dengan polisi dan angkatan bersenjata Timor Leste. Pemerintah Timor Leste sendiri telah menganggap serius ancaman ini dengan berbagai cara antara lain memetakan kelompok-kelompok tersebut beserta teritorinya, mediasi, serta penangkapan kelompok-kelompok yang membahayakan (Tlava, 2010:23). Namun, upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang maksimal.

Perekonomian dan Resiko Konflik

Pada masyarakat paska konflik, resiko kemunculan kembali konflik mencapai 40% sedangkan resiko pada masyarakat yang sudah berada dalam kondisi damai hanya sebesar 9% (Collier, Hoeffler dan Rohner, 2007:15). Resiko ini mengindikasikan bahwa pemulihan paska konflik termasuk di dalam bidang ekonomi masih belum berjalan maksimal. Resiko yang cenderung tinggi biasanya sarat dengan karakteristik antara lain rendahnya pendapatan penduduk, dominasi

(7)

etnis dan ketergantungan terhadap sumber daya alam (Collier dan Hoeffler, 2004:8). Dan, berdasar penelitian yang dilakukan pada tahun 2007, Timor Leste menempati ranking 20 sebagai negara yang paling rentan dari 60 negara yang rentan konflik di dunia (FSI, 2007:4). Data ini didasarkan pada hasil dari 12 indikator dalam bidang politik dan ekonomi. Dari ke-12 indikator tersebut, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata yang merupakan dampak dari pemulihan ekonomi yang kurang optimal. Pada kasus Timor Leste, dua dari tiga faktor tersebut cukup kental yakni rendahnya pendapatan penduduk dan ketergantungan terhadap sumber daya alam yakni migas yang dieksplorasi bersama dengan Australian di Selat Timor.

Pertanyaannya adalah, apa dan bagaimana yang perlu dilakukan untuk melancarkan dan mensukseskan pemulihan ekonomi paska konflik sehingga resiko kekerasan dan konflik yang berulang dapat dieliminasi? Idealnya, kondisi ekonomi yang baik biasanya ditandai dengan tingkat pengangguran yang rendah, tingkat pendapatan penduduk per kapita yang tinggi, menguatnya sektor-sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja dan juga adanya kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi yang pro rakyat. Untuk mencapai kondisi ekonomi yang sedemikian rupa, maka diperlukan sebuah proses pemulihan ekonomi yang matang, terencana dan menyentuh berbagai aspek krusial dalam sendi-sendi ekonomi dan sosial. Yakni pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada masyarakat miskin yang dikenal dengan pertumbuhan ekonomi pro rakyat miskin (Griffin dan McKinley, 1994:78). Bahwa rakyat bukanlah obyek dari program

(8)

pemulihan dan pembangunan ekonomi namun sebagai subyek sehingga merekalah pelaku ekonomi yang harus diberdayakan dan dikuatkan kapasitasnya.

Meskipun secara sekilas permasalahan terutama dalam bidang ekonomi di wilayah paska konflik terlihat mirip dengan permasalahan di wilayah miskin namun pada kenyataannya berbeda. Permasalahan ekonomi di wilayah paska konflik tidak cukup hanya dengan penanganan dan kebijakan pembangunan biasa yang diimplementasikan di wilayah miskin namun seharusnya didukung dan ditangani dengan kebijakan, program dan manajemen khusus baik oleh pemerintah lokal maupun pihak pendonor (Collier, 2006:2). Berangkat dari hal inilah, maka pemulihan ekonomi paska konflik di tiap wilayah berbeda tergantung dari kebutuhan dan tujuan masing-masing.

Posisi Sektor Pertanian dalam Perekonomian Timor Leste

Dalam prosesnya, pemulihan ekonomi mendapat banyak tantangan dan hambatan yang biasanya tidak ditermui di wilayah-wilayah lain. Rusaknya aset-aset ekonomi, hancurnya jaringan sosial-ekonomi dan terganggunya penyaluran bantuan menjadi penyebab lamanya transisi pemulihan ke situasi ekonomi yang normal seperti sebelum terjadi konflik (Ohiorhenuan, 2011:1). Dalam kasus Negara paska konflik Timor Leste, ketergantungannya pada sektor migas membawa dampak positif dan negatif. Positifnya, produksi migas yang dikelola bersama Australia dapat mencukupi kebutuhan pengeluaran negara. Namun di sisi lain, sektor migas ini kurang menyerap tenaga kerja sehingga pertumbuhan ekonomi tidak merata dan hanya golongan tertentu yang dapat menikmati hasil dari produk migas di Celah Timor. Padahal, penduduk yang bertempat tinggal di

(9)

wilayah pedesaan mencapai 72% dimana wilayah-wilayah tersebut tidak banyak menyediakan lapangan pekerjaan dan banyak diantaranya tergolong penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor non migas bisa dilihat dari transaksi ekspor dan impor. Dalam kurun waktu 5,5 tahun dari awal tahun 2004, Timor Leste hanya mengekspor sebesar 46 juta US$ dari produk non-minyak, sedangkan jumlah impor yang dilakukan selama kurun waktu tersebut mencapai 926 juta US$ yang sebagian besar didominasi oleh impor bahan makanan (Hamutuk, 2009:1). Sebuah ironi yang menyedihkan mengingat Timor Leste juga merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi bidang pertanian dan perikanan yang cukup tinggi. Dari total keseluruhan wilayah darat yakni sekitar 14.800 kilometer persegi, kurang lebih 40% nya merupakan lahan aktif pertanian yang diolah oleh penduduk setempat.

Pengolahan lahan pertanian di Timor Leste sendiri hingga sekarang telah menghasilkan setidaknya 4 hasil panen utama yakni beras, jagung, singkong, kopi dan kacang-kacangan. Produksi pertanian di Timor Leste masih cenderung menggunakan sistem tradisional antara lain: pertanian tadah hujan untuk jagung, pertanian di lahan rendah baik tadah hujan maupun dengan sistem irigasi untuk beras, kebun rumah tangga dengan sistem tadah hujan untuk jagung, singkong dan kacang-kacangan, penggunaan kerbau untuk mengolah lahan pertanian, dan juga panen hasil hutan seperti buah asam dan kemiri (de Costa, 2003:46).

Sayangnya, selama menjadi bagian dari Indonesia hingga awal kemerdekaan, sektor pertanian kurang mendapatkan perhatian yang lebih.

(10)

Kurangnya pengetahuan petani dan bekal petani dalam perkembangan pengolahan pertanian termasuk terkait teknologi pertanian menjadi salah satu penyebab kuat rendahnya produktifitas pertanian. Sehingga, meskipun telah terpetakan potensi yang tinggi di bidang pertanian namun produktifitas pertanian di Timor Leste masih terbilang rendah. Hal ini bisa dilihat dari sistem pengolahan potensi pertanian yang masih tradisional. Tentu permasalahan rendahnya produktifitas bidang pertanian berimbas cukup signifikan terhadap kualitas kehidupan penduduk di Timor Leste sehingga tidak heran jika tingkat kemiskinan di antara penduduk tersebut terbilang tinggi.

Dengan adanya kurang lebih dua pertiga dari keseluruhan populasi Timor Leste bergantung pada pertanian maka pembangunan berkelanjutan di bidang pertanian menjadi sangat krusial dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan (FAO, 2010). Wilayah Timor Leste yang didominasi oleh daratan dengan potensi pertanian yang cukup tinggi merupakan peluang yang patut untuk terus dimanfaatkan. Selain itu, dengan hasil pertanian yang mencukupi maka kelangsungan keamanan pangan di Timor Leste juga lebih terjamin.

Hal ini sudah disadari oleh Negara-negara pendonor asing yang terlibat aktif dalam pemulihan ekonomi paska konflik bersama dengan pemerintah Timor Leste. Seperti diantaranya adalah Australia melalui AusAid dengan rangkaian program Seeds of Life yang sudah memasuki tahap ketiga. Pemerintah Jepang juga turut aktif melalui JICA dengan berbagai program antara lain Irrigation and Rice

Cultivation Project, Agriculture Policy Advisory, The Study of Promotion for

(11)

Timor Leste sendiri terus meluaskan dan memperbaharui strategi dan program pertaniannya dalam National Development Plan.

Fokus pada bidang pertanian juga sudah didukung oleh program-program lain diantaranya perbaikan infrastruktur publik di wilayah pedesaan dan perkotaan guna mempermudah distribusi dan penjualan produk pertanian. Salah satunya adalah yang dilakukan Pemerintah Timor Leste bersama AusAid dalam proyek

TIM Works dan Roads for Development, dan Inclusive Finance for Under Served

Economy. Apapun proyek dalam bidang pertanian yang diimplementasikan, hal

yang perlu diingat adalah bahwa karakter dan kondisi Timor Leste paska konflik harus menjadi satu hal tersendiri yang dipertimbangkan. Penentuan prioritas, strategi dan kebijakan harus didasarkan pada pertimbangan tersebut guna mengoptimalkan hasil dan efeknya.

Pada konteks Timor Leste, pertumbuhan ekonomi pro rakyat miskin harus dapat memandirikan dominasi populasi masyarakat pedesaan yang mencapai lebih dari 70% dari total populasi keseluruhan di Timor Leste melalui penguatan sektor pertanian. Ketika hal ini dapat diwujudkan, maka mayoritas penduduk mandiri secara ekonomi. Berkurangnya tingkat pengangguran berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan dan resiko konflik berulang sehingga kondisi damai menjadi lebih langgeng.

1.2. Rumusan Masalah

Beranjak dari latar belakang yang sudah dipaparkan di atas dimana ketergantungan ekonomi secara nyata membawa dampak negatif terhadap negara

(12)

paska konflik yang menerima bantuan asing, maka penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana pengembangan sektor pertanian dapat mengurangi tingkat kekerasan dan resiko konflik pada pemulihan ekonomi paska konflik 1999 di Timor Leste?“

1.3. Tujuan Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat memenuhi tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui proses pemulihan ekonomi paska konflik yang terjadi di Timor Leste

2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan dan pertumbuhan sektor pertanian pada masa pemulihan paska konflik

3. Untuk mengetahui bagaimana pemulihan ekonomi paska konflik yang berfokus ke sektor pertanian dapat memberikan kontribusi positif terhadap pengurangan resiko kekerasan dan konflik berulang di Timor Leste

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

a. Penelitian ini bermanfaat sebagai temuan baru dalam penelitian di bidang pemulihan ekonomi paska konflik

b. Penelitian ini bermanfaat dalam mendukung penulis lain yang melakukan penelitian di bidang yang sama

c. Penelitian ini bermanfaat dalam pengkajian proses pemulihan ekonomi paska konflik

(13)

d. Penelitian ini bermanfaat dalam pengkajian pengaruh pemulihan ekonomi paska konflik yang berfokus ke sektor pertanian terhadap resiko kekerasan dan konflik berulang

1.5. Obyek Penelitian

Dengan menggunakan unit analisis negara, maka penulis memilih Timor Leste sebagai obyek penelitian. Negara Timor Leste merupakan sebuah negara yang terletak di sebelah timur pulau Timor. Republik Timor Leste dikepalai oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan dan Presiden sebagai kepala negara.

1.6. Lingkup Penelitian

Untuk mendapatkan kajian yang mendalam dan fokus, maka penulis membatasi lingkup penelitian dalam kurun waktu 2000-2006.

1.7. Reviu Literatur

1.7.1 Post Conflict Pro-Poor Private Sector Development: The Case of Timor Leste oleh Takayoshi Kusago.

Pemulihan dan pembangunan ekonomi paska konflik utamanya bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Oleh karenanya, banyak rencana pembangunan paska konflik yang memfokuskan pada pembangunan sektor privat. Penelitian yang dilakukan oleh Kusago ini mengkaji peran dari sektor privat berbagai bidang dalam situasi paska konflik dan

(14)

mendiskusikan intervensi-intervensi yang mungkin dilakukan untuk mendukung pemulihan ekonomi di Timor Leste. Penelitian ini telah mengidentifikasi faktor-faktor krusial yang berpengaruh terhadap pembangunan sektor privat di Timor Leste, tantangan-tantangan utama serta memberikan masukan dan saran terkait kebijakan publik yang dapat meningkatkan jumlah ekspor, memperkuat sektor ekonomi mikro sehingga Timor Leste dapat mencapai pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat miskin.

1.7.2 Improving the Lot of the Farmer: Development Challenges in Timor Leste During the Second Decade of Independence oleh Mats Lundahl dan Fredirk Sjoholm.

10 tahun pertama kemerdekaan Timor Leste cukup bergejolak dengan sebagian besar populasi masih dalam kategori miskin meskipun sektor migas disebut-sebut memberikan devisa negara yang cukup besar. Peningkatan standar hidup secara umum di Timor Leste berkaitan erat dengan upaya peningkatan produksi pertanian mengingat sebagian besar penduduk Timor Leste berprofesi sebagai petani dan kurangnya sektor modern yang dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga hanya sektor pertanian yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Penelitian ini mengkaji hal-hal yang berpengaruh terhadap pembangunan sektor pertanian di Timor Leste dan bagaimana hal tersebut dapat tercapai. Penelitian dilakukan melalui dua cara yakni dengan mengkaji produksi pertanian di Timor Leste dan kondisi pasar yang menyerap penjualan hasil produksi pertanian. Kedua

(15)

hal tersebut dipengaruhi oleh faktyor internal yakni faktor-faktor yang berkaitan dengan implementasi pengolahan pertanian dan faktor eksternal yakni kebijakan pemerintah Timor Leste.

1.7.3 The Evolution of Agriculture Policies in East Timor oleh Helder de Costa

Helder de Costa, peneliti dan juga akademisi dari Universitas Nasional Timor Leste menyelesaikan sebuah riset yang mengkaji evolusi kebijakan pertanian di Timor Leste. Penelitian ini menghasilkan kajian tentang bagaimana kebijakan pertanian mempengaruhi sektor pertanian dan mengidentifikasi hasil produk pertanian yang berpotensi dan perlu untuk dikembangkan di kemudian hari. Selama bertahun-tahun, kebijakan domestik pemerintahan Timor Leste termasuk dalam bidang pertanian didasarkan oleh rangkaian tujuan ekonomi. Sehingga, perkembangkan, perdagangan dan kebijakan sektor pertanian di Timor Leste dalam hubungannya dengan kesinambungan ekonomi dan efeknya terhadap pembangunan wilayah pedesaan yang berkelanjutan masih dipertanyakan. Perekenomian di Timor Leste sendiri didominasi oleh sektor pertanian yang berkontribusi sebanyak sepertiga dari total GDP dan menyerap sekitar 80% dari penduduk dalam usia aktif bekerja dimana hasil pertanian tersebut dikonsumsi dan juga diperdagangkan. Melihat keterkaitan yang besar antara pertumbuhan sektor pertanian dan non pertanian, maka penting untuk menyalurkan sumber daya yang cukup ke sektor pertanian guna menggerakan roda perekonomian di Timor Leste.

(16)

Dalam pelaksanaannya, masih terdapat banyak tantangan kebjiakan yang meliputi perluasan layanan untuk mendukung sektor pertanian, keterbukaan terhadap pasar internasional dan ketersediaan infrastruktur yang memadai. Dengan adanya rezim fiskal yang ketat, perluasan layanan untuk mendukung sektor pertanian telah terpangkas cukup banyak. Sehingga untuk keluar dari permasalahan ini, maka salah satu caranya adalah dengan bekerja sama dengan institusi dan komunitas lokal. Perluasan layanan sejatinya tidak harus melibatkan modal dari pemerintah sebab masih banyak cara lain termasuk dengan perbaikan sistem irigasi lokal, sistem pemanenan hasil pertanian termasuk kopi dan juga perbaikan dalam pemeliharaan jalan publik. Upaya-upaya ini bisa dilakukan dengan melibatkan organisasi komunitas lokal dan sumber daya lain yang mempunyai kesamaan visi dan misi.

Ketiga penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas menjadi tinjauan pustaka yang relevan dan juga bermanfaat bagi penelitian ini. Penulis berangkat dengan stand point berbeda dengan penelitian oleh Takayoshi Kusago yang hanya berfokus pada kontribusi sektor privat pro rakyat miskin dan sektor privat modern terhadap pembangunan ekonomi. Sedangkan dengan penelitian kedua yang dilakukan oleh Mats Lundahl yang melihat perkembangan sektor pertanian dan berbagai factor yang mempengaruhinya, penulis juga mempunyai stand point yang berbeda. Stand point penulis juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Helder de Costa yang mengkaji evolusi kebijakan pertanian dalam pengaruhnya terhadap perkembangan sektor pertanian. Penulis membahas lebih lanjut mengenai proses pemulihan ekonomi paska konflik 1999 dan dilanjutkan

(17)

dengan pengaruh atau dampak pemulihan ekonomi tersebut terhadap sektor pertanian mengingat pertanian telah dipetakan menjadi sektor yang paling banyak diandalkan oleh penduduk di Timor Leste sehingga penting guna memperkuat perekonomian Timor Leste, mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan pemerataan penghasilan. Pengaruh dari pemulihan ekonomi paska konflik tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran Negara pendonor terutama pada tahun-tahun pertama pemulihan. Oleh karenanya, penulis dalam hal ini akan melibatkan Australia melalui AusAID dan Jepang melalui JICA dalam menganalisis pengaruh pemulihan ekonomi paska konflik terhadap sektor pertanian.

1.8. Kerangka Teori 1.8.1. Peacebuilding

Pencetus peacebuilding, yakni Boutros-Boutros Ghali, menyatakan bahwa

peacebuilding bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguatkan struktur dalam

sebuah negara yang dapat memperkuat dan mensolidkan perdamaian untuk menghindari terjadinya konflik kembali (Ghali, 1992:46). Dengan hampir 50% Negara yang menerima bantuan dalam proses peacebuilding jatuh kembali ke dalam konflik dalam kurun waktu 5 tahun pertama (Collier, 2003:9) maka penguatan struktur untuk mendukung institusionalisasi perdamaian menjadi sangat penting. Semenjak beberapa tahun lalu, para ahli, praktisi, organisasi regional dan internasional serta Negara-negara sudah melakukan berbagai upaya untuk mengidentifikasi apa yang dapat menginstitusionalisasi perdamaian selepas

(18)

perang dan apa saja faktor-faktor serta langkah-langkah vital untuk mencapai tujuan peacebuilding.

Ditegaskan oleh Lederach bahwa peacebuilding melibatkan komitmen jangka panjang pada proses yang dapat diibaratkan mendirikan sebuah bangunan yakni meliputi investasi, pengumpulan sumber-sumber dan material, arsitektur dan perencaaan, koordinasi antara sumber dan tenaga kerja, pendirian fondasi yang solid, mengkonstruksi dinding dan atap, sentuhan akhir dan juga pemeliharaan. Peacebuilding secara sentral melibatkan proses transformasi budaya dan relasi sementara rekonsiliasi yang berkelanjutan membutuhkan transformasi struktural, budaya dan relasi (Lederach, 1997:34).

Peacebuilding bukanlah merupakan sebuah proses yang berdiri sendiri

melainkan merupakan bagian dari sebuah rangkaian dalam menciptakan dan menjaga perdamaian yang meliputi diplomasi preventif, peace-making,

peace-keeping, dan peacebuilding (Ghali, 1992:23). Jika diplomasi preventif bertujuan

untuk mencegah terjadinya konflik atau krisis maka peacebuilding bertujuan untuk mencegah kemunculan kembali konflik. Dua hal ini sebenarnya berfokus pada satu hal yang sama yakni menciptakan dan mempertahankan perdamaian hanya waktu pelaksanaannya saja yang berbeda. Ketika keempat upaya besar tersebut dapat berjalan lancar dan maksimal maka kemunculan kekerasan dan konflik antar orang dan antar negara dapat dicegah. Pada mayoritas kasus, penyebab mendasar dari konflik meliputi tiga hal yakni, masalah ekonomi, ketidakadilan sosial dan penindasan politik (Ghali, 1992:15).

(19)

Sebagian program dalam peacebuilding fokus pada penciptaan dan peningkatan stabilitas dan keamanan pasca implementasi perjanjian damai sementara sebagian program lain fokus pada penguatan masyarakat sipil dan pembangunan ekonomi, demokrasi, keadilan dan hukum. Oleh karenanya, proses bina damai dibagi menjadi 4 proses utama antara lain security sector reform, DDR, governance reform dan economic reform. Ke dalam empat bagian itulah, institusionalisasi perdamaian harus diupayakan secara maksimal. Keempatnya berperan vital begitupun pemulihan ekonomi yang mempunyai dampak yang kuat dalam mensolidkan perdamaian secara keseluruhan sebab hal ini dapat mengurangi faktor ekonomi yang kerap memicu penduduk untuk turut ambil bagian dalam konflik. Bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk menciptakan perdamaian, stabilitas dan keamanan lebih dari hanya sekedar mengatasi ancaman militer guna memecah belenggu peperangan dan perselisihan (Ghali, 1992:24).

Peacebuilding atau bina damai idealnya harus dapat menciptakan ikatan

yang kuat secara sosial yang menjadi hal sangat penting bagi negara-negara paska konflik yang masih rentan. Putnam mengatakan bahwa social capital dapat mendorong masyarakat untuk menyelesaikan persoalan kolektif secara lebih mudah dikarenakan kuatnya hubungan dan kepercayaan antar individu (Putnam, 2000:11). Oleh karenanya, penulis menggunakan teori ini guna mempertegas argumen penelitian ini bahwa pemulihan ekonomi paska konflik perlu mendapat perhatian dan porsi lebih sehingga dapat berkontribusi pada upaya dan strategi untuk mengoptimalisasi proses pemulihan ekonomi.

(20)

1.8.2. Pemulihan Ekonomi Paska Konflik

Ketika konflik muncul, kehidupan ekonomi menjadi salah satu sendi kehidupan yang terkena imbas langsung. Konflik secara nyata mengurangi tingkat pendapatan penduduk dengan prosentase yang berbeda tergantung tingkat keparahan konflik. Hal ini diikuti dengan hancurnya modal, bangunan fisik dan sumber daya manusia yang selama ini menopang kehidupan ekonomi. Keadaan berbanding terbalik terjadi paska konflik yakni hilangnya sebagian besar modal perekonomian sementara itu di sisi lain, kebutuhan akan modal tersebut meningkat tajam mengingat banyak penduduk yang kehilangan kemampuan untuk menopang hidupnya sendiri.

Karakteristik kondisi paska konflik yang berbeda tersebut dengan kondisi pada keadaan masyarakat yang damai menjadi salah satu sebab pemulihan ekonomi di wilayah paska konflik membutuhkan penanganan khusus. Faktor-faktor ekonomi mempunyai posisi yang krusial dalam resiko konflik namun dengan kebijakan yang lebih baik, prioritas yang lebih baik untuk mereformasi bidang ekonomi dan dana bantuan yang lebih besar dan tepat dalam penggunaannya, maka sangat mungkin untuk merestorasi ekonomi dari negara paska konflik secara lebih cepat (Collier, 2006:8). Pemulihan ekonomi menjadi sangat penting sebab berpengaruh secara langsung terhadap resiko kemunculan kembali konflik.

Dalam argumennya, Collier berpendapat bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan di Negara paska konflik harus berbeda dengan di Negara damai yang mana hal ini sebagai dampak dari tujuan yang juga berbeda. Bukan hanya

(21)

kebijakan dari Negara yang mengalami konflik tersebut tetapi juga kebijakan dari Negara donor mengingat kedua pihak tersebut terus berinteraksi dalam proses pemulihan paska konflik. Hal ini melahirkan proses yang berbeda dari hanya sekedar pembangunan ekonomi biasa. Pengeluaran untuk kebutuhan militer idealnya tidak mendominasi alokasi penggunaan dana Negara tersebut.

Dengan kemungkinan resiko mencapai 39% bahwa konflik akan muncul kembali dalam kurun waktu 5 tahun pertama dan kemungkinan serupa dengan prosentase mencapai 32% dalam kurun waktu 5 tahun berikutnya (Collier dan Hoeffler, 2004:17) maka menjadi sangat penting dan mendesak untuk mengurangi tingkat resiko ini sebagai salah satu tujuan utama sebab resiko ini berpengaruh besar terhadap pemulihan ekonomi paska konflik. Sehingga, tiap kebijakan yang dilahirkan layaknya dinilai terlebih dahulu untuk melihat apakah mengurangi atau justru meningkatkan resiko tersebut. Collier menekankan pentingnya aksi-aksi dalam bidang ekonomi yang dapat mengatasi problem tipikal pada kondisi paska konflik untuk dilakukan oleh Negara dan juga aktor internasional. Termasuk juga kebijakan yang tepat guna mengurangi resiko kemunculan konflik kembali dan mempercepat proses pemulihan ekonomi.

Menurut Collier, salah satu hal terbaik yang bisa dilakukan oleh Negara paska konflik adalah memformulasikan strategi pertumbuhan ekonomi jangka menengah yakni dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun. Strategi ini sudah pernah diterapkan di Eropa Timur Tenggara melalui aksesi Negara-negara di wilayah tersebut ke dalam Uni Eropa dan terbukti keberhasilannya baik untuk menjaga stabilitas dan merangsang reformasi. Dalam prosesnya, Negara yang bersangkutan

(22)

harus dapat menentukan prioritas terutama terkait kebijakan. Salah satunya antara lain kebijakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan dimana hal ini membutuhkan rangkaian kebijakan dan program yang saling berkaitan. Dalam proses implementasi strategi-strategi tersebut, Collier juga menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dengan system top-down, bottom-up dan sideways.

Pertumbuhan ekonomi secara langsung mengurangi resiko konflik dan pada saat yang sama meningkatkan pendapatan ekonomi penduduk serta mendukung diversifikasi ekonomi yang mana kedua hal tersebut juga berperan mengurangi resiko. Dalam hal ini, pemerintah lokal mempunyai instrumen penting untuk mendukung prosesnya yakni melalui kebijakan ekonomi. Meskipun kebijakan tidak mempunyai efek sistematik yang langsung berpengaruh pada resiko konflik namun dengan efeknya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi maka pada kelanjutannya hal ini berdampak pada berkurangnya resiko.

Teori oleh Collier relevan bagi penelitian guna menegaskan argumen penulis serta bermanfaat dalam proses pengidentifikasian unit-unit yang berperan dalam pemulihan ekonomi dan kontribusinya di Timor Leste.

1.9. Hipotesis

Apabila pengembangan pertanian dapat meningkatkan pendapatan 70% penduduk Timor Leste yang bergantung pada sektor pertanian, maka pemulihan ekonomi paska konflik telah berlangsung optimal dengan resiko kekerasan dan konflik yang berkurang.

(23)

1.10. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif analisis yang memanfaatkan sumber-sumber data secara kualitatif. Metode ini akan membantu penulis dalam merekonstruksi realitas dengan bantuan kerangka teori. Dalam penelitian ini, penulis mengawali analisis dengan memaparkan salah satu argumentasi utama yakni kemiskinan dan pengangguran menjadi katalisator utama meningkatnya jumlah kelompok dan geng di Timor Leste yang kerap terlibat dalam aksi kekerasan dan konflik. Argumentasi ini didukung dengan data yang penulis dapatkan dari jurnal Tlava yang ditulis oleh lembaga Small Arms Survey, yang menyatakan bahwa rendahnya penyerapan tenaga kerja yang berakibat pada tingginya urbanisasi menyediakan penduduk yang rentan direkrut kelompok dan geng bersenjata di Timor Leste.

Dalam kaitannya dengan upaya untuk mengurangi resiko kekerasan dan konflik, maka penulis menganalisis situasi yang tengah terjadi di Timor Leste dan kemudian mendapati bahwa pengurangan kemiskinan dan pengangguran merupakan upaya penting untuk mencapai tujuan tersebut. Potensi sektor pertanian yang tersebar hampir seluruh distrik di Timor Leste menyediakan penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Oleh karenanya, ketika lebih banyak penduduk terserap dalam sektor pertanian, maka kerentanan penduduk untuk bergabung dalam kelompok atau geng pemuda lebih rendah.

Penulis menggunakan dua indikator utama untuk melihat bukti nyata dari berkurangnya resiko kekerasan dan konflik yakni (1) jumlah konflik yang terjadi

(24)

sebelum dan sesudah proses pemulihan ekonomi khususnya melalui sektor pertanian; dan (2) jumlah kelompok atau geng pemuda sebelum dan sesudah proses pemulihan ekonomi khususnya melalui sektor pertanian.

1.11. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui  Wawancara dengan beberapa narasumber terpercaya

 Studi literatur terhadap buku, jurnal, berita dan laporan dari sumber-sumber relevan dan dapat diandalkan yang penulis temukan

Referensi

Dokumen terkait

Riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya (Faniyah, 2018). Firman dalam Al-Qur’an tersebut

Kode baris diatas adalah untuk menampilkan nilai dari grafik garis dengan Font yang digunakan Arial dengan tipe Bold.. Nilai yang ditampilkan akan memiliki

Hasil ini didukung peningkatan kemampuan peserta dalam menyusun karya tulis ilmiah dimulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, menulis

Dengan demikian, penggunaan analisis isotop stabil untuk penentuan sumber makanan potensial bagi udang mantis dapat merupakan penelitian awal atau pelopor bagi

a) Berita, yaitu laporan peristiwa yang bernilai jurnalistik atau memiliki nilai berita antara lain aktual, faktual, penting, dan menarik yang dibuat oleh wartawan. Berita

Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup). Menurut Tarwoto dkk, adanya cedera kepala dapat mengakibatkan

2. Preferansi nasabah yang positif dan mendukung serta dari banyaknya nasabah yang menggunakan produk implan di Bank Syariah Mandiri KCP Tg. Balai Karimun menunjukkan