• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genderlect Style dalam Ruang Media Massa (Studi Kasus Jurnalis Perempuan AJI Makassar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Genderlect Style dalam Ruang Media Massa (Studi Kasus Jurnalis Perempuan AJI Makassar)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Genderlect Style dalam Ruang Media Massa (Studi Kasus Jurnalis

Perempuan AJI Makassar)

A.Fauziah Astrid UIN Alauddin Makassar fauziah.astrid@uin-alauddin.ac.id

Abstrak

Penelitian ini ingin memahami dunia jurnalis khususnya perempuan dalam gambaran teori komunikasi Genderlect Style yang dikemukakan Deborah Tannen. Penelitian ini mengacu pada dua aspek, yaitu gaya komunikasi jurnalis perempuan pada ruang redaksi dan ruang liputan. Lima konsep yang diutarakan Tannen, yaitu percakapan publik versus percakapan pribadi; menyampaikan cerita; mendengarkan; mengajukan pertanyaan; dan konflik. Dari hasil pembahasan diketahui bahwa konsep teoritik Tannen bekerja pada tiga aspek saja. Dua lainnya, ternyata berbeda karena dipengaruhi dunia maskulinitas jurnalis.

Kata Kunci: Genderlect Style, Jurnalis Perempuan, Media Massa.

Pendahuluan

Media massa menjadi salah satu alat yang digunakan untuk menjadi penyambung antara pemerintah dan masyarakat. Segala macam informasi bisa kita dapatkan dari media massa. Mulai dari membaca suratkabar atau majalah, mendengarkan radio, menonton televisi, atau membaca melalui internet. Semua hal serasa berada di genggaman kita ketika kita mengakses media massa secara berkala.

Media massa dalam konteks komunikasi tentu tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi massa yang ada. Salah satunya yaitu unsur komunikator. Bicara komunikator daam komunikasi massa, maka bentuknya agak berbeda dengan komuikasi yang lain. Hal ini disebabkan, komunikator dalam komunikasi massa bersifat melembaga. Komunikator bukan hanya orang per orang tetapi bicara lembaga media atau perusahaan. Keberadaan jurnalis, fotografer, layouter, kameramen, desain grafis, maupun editor, merupakan bagian dari komunikasi massa dan tidak berdiri sendiri sebagai komunikator.

Salah satu yang sangat berperan penting yaitu jurnalis. Pada mulanya, pekerjaan jurnalis hanya menyemat pada laki-laki saja. Tetapi seiring waktu, pekerjaan sebagai jurnalis juga telah merambah minat perempuan. Hingga saat ini, minat perempuan untuk menjadi jurnalis semakin meningkat, walaupun masih kalah jumlah dari laki-laki. Luviana dalam tulisan Bahrul Amsal berjudul Perempuan dan Media yang ditulis 26 April 2017 menyebutkan hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Tahun 2012 yang menyebutkan dari 10 jurnalis hanya ada 2-3 perempuan yang menjadi jurnalis. Dengan kata lain, sekitar

(2)

200-300 jurnalis perempuan yang ada di Indonesia dari 1000 jurnalis laki-laki. Bahrul menambahkan, tahun 2003, berdasarkan data Persatuan Wartawan Indonesia jumlah wartawan perempuan di Indonesia hanya berkisar 10,5% atau 1.079 orang dari 10.278 anggota PWI yang terdaftar. Luviana dalam Luviana (20;2012) menuliskan (AJI mencatat, di tahun 2010 jumlah jurnalis perempuan yang bekerja di media cetak tercatat dengan jumlah paling besar (41,80%) diikuti jurnalis perempuan yang bekerja di media televisi (25,93%) kemudian jurnalis perempuan yang bekerja di radio (23,81%) dan terakhir jurnalis perempuan di media online (8,47%). Sementara itu dilihat dari sisi usia, 49,21% responden berada pada usia 25-29 tahun, disusul 30-34 tahun (20,63%) dan 20-24 tahun (14,81%). Rentang usia ini terhitung usia yang sangat produktif. Namun survey juga berhasil menjaring 2,12% responden berusia 50-55 tahun dan 1,06% responden berusia 45-49 tahun.

Penelitian berjudul Jurnalis Perempuan dan Citizen Jurnalism oleh Nurul Qomariah (04;2012) menyebutkan, jurnalis perempuan yang ada di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak 1904. Kebanyakan dari mereka merupakan aktivis organisasi perempuan pada zaman itu untuk menggugah kesadaran bangsa. Majalah perempuan pertama adalah Tiong Hwa Wi Sien Po, yang terbit pada 1906 dan diasuh seorang perempuan peranakan, Lien Titie Nio. Menyusul terbit adalah majalah perempuan Poeteri Hindia yang dipimpin R. T. A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar, yang kemudian menjadi Ketua Perkumpulan Boedi Oetomo.

Kehadiran perempuan menjadi jurnalis memang membuat keinginan menyetarakan gender semakin besar. gerakan-gerakan kesetaraan gender juga sedang giat-giatnya dilakukan organisasi jurnalis dan beberapa organisasi perempuan. Pasalnya, walaupun angka jurnalis perempuan semakin meningkat, tetapi interaksi dan pola komunikasi mereka belum sepenuhnya baik.

Sayangnya, menurut Luviana dalam Luviana (23;2012) bentuk penyetaraan gender dalam ruang kerja jurnalis belum terealisasi baik. Masih banyak kasus diskriminasi terjadi kepada perempuan. AJI menyebutkan ada empat masalah yang biasa muncul ketika membahas jurnalis perempuan, yaitu subordinasi, diskriminasi, eksploitasi dan stereotip.

Pada konteks subordinasi, struktur organisasi masih didominasi oleh laki-laki. Pada konteks diskriminasi, terjadi tindakan pembedaan atau tindakan yang lebih menyenangkan orang lain. Pada konteks eksploitasi, terkadang jurnalis perempuan dimanfaatkan pengalaman dan keterampilannya tanpa memberikannya penghargaan. Yang terakhir, stereotip, memberi cap buruk pada jurnalis perempuan dan digunakan untuk memperlemah dirinya.

Selain itu, bentuk lain yang terjadi biasanya pelecehan seksual kepada jurnalis perempuan. Seperti yang dilansir dari website ajiindonesia.or.id yang diakses April 2018, di tahun 2017, AJI mencatat setidaknya tiga kasus kekerasan seksual di ruang kerja atau saat bekerja yang dialami jurnalis perempuan. yaitu kekerasan seksual terhadap empat pekerja

(3)

media kantor berita Antara, kekerasan seksual wartawan magang Radar Ngawi, dan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan di Medan saat peliputan yang dilakukan aparat TNI Angkatan Udara. Untuk itu, Endah Lismartini, Pengurus Bidang Perempuan AJI Indonesia berharap keterlibatan laki-laki untuk mendukung dan berpartisipasi aktif mewujudkan kesetaraan, serta menghentikan diskriminasi dan kekerasan seksual pada jurnalis perempuan.

Sebenarnya, segala macam tindakan pembeda dan diskriminasi yang dialami jurnalis perempuan tak terlepas dari cara berkomunikasi yang salah dan peran budaya. Masyarakat kerap kali memercayai gaya komunikasinya sudah tepat. Terkhusus pada bidang jurnalis, perempuan dan laki-laki dalam berkomunikasi, memiliki cara yang berbeda. Hal ini menjadi penyebab terjadinya miskomunikasi bahkan parahnya bisa terjadi dalam empat masalah tadi.

Hal lainnya, ketika kita membahas gender, terkhusus pada bahasa dan cara berkomunikasi pada tatap muka, Shirlet dalam Littlejohn (170;2009) memberi kesimpulan bahwa perempuan merasa lebih tidak nyaman dan tidak ekspresif dalam situasi publik (umum) dibandingkan laki-laki. Sementara itu, perempuan juga sangat berhati-hati dengan apa yang mereka katakan dan menerjemahkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan.

Oleh karena itu, menarik bagi penulis untuk melihat genderlect style dalam Ruang Media Massa. Secara khusus meneliti lima Jurnalis Perempuan yang menjadi anggota AJI Makassar. Ada dua aspek yang diteliti, yaitu genderlect style dalam ruang kerja (redaksi) dan genderlect style dalam ruang narasumber dan liputan

Pembahasan

A. Komunikasi Massa

Komunikasi massa menurut Joseph A Devito dalam Nurudin (11:2007), pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual.

Sementara itu, menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988) dalam Nurudin (12;2007) komunikasi massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang diproduksi secara massal/ tidak sedikit itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonym, dan heterogen.

Unsur komunikasi massa terdiri komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan, gatekeeper, pengatur, filter. Komunikator dalam komunikasi massa meliputi jaringan, stasiun lokal, direktur, dan staf teknis yang berkaitan dengan sebuah berita atau program. Jadi komunikator merupakan gabungan dari berbagai individu, dalam sebuah lembaga media massa dalam Nurudin (96:2007). Artinya, jika kita bicara jurnalis, maka dia tidak berdiri sendiri sebagai komunikator dalam media massa. Jurnalis menjadi bagian dari komunikator

(4)

massa. Secara spesial, jurnalis tentu saja menjadi ujung tombak dari kehadiran media massa. Pasalnya, tanpa jurnalis, masyarakat tidak akan mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

B. Jurnalis Perempuan

Berbicara komunikasi massa, maka salah satu komponen terpenting dalam komunikator yaitu jurnalis. Mereka ini yang menjadi ujung tombak di lapangan, berjibaku dengan narasumber dan juga segala macam situasi yang harus mereka laporkan.

Laman thenewsmanual.net yang diakses April 2018 menyebutkan, jurnalis merupakan pekerjaan yang menemukan dan menyajikan informasi. Entah itu laki-laki maupun peremuan. Mereka menyajikan informasi sebagai sumber berita kepada khalayak suratkabar, majalah, stasiun radio, televisi atau internet.

Sementara itu, mendefenisikan perempuan secara sederhana bisa dilihat pada konteks jenis kelamin dan gender. Orang mengartikan perempuan tanpa melepas pemahaman terhadap laki-laki. Begitu pula ketika kita mencoba mengartikan perempuan yang bekerja sebagai jurnalis. Ihwal ini terjadi karena seharusnya profesi tidak mengenal jenis kelamin. Tentu saja, hal ini bisa menimbulkan diskriminasi gender yang lebih luas.

C. Komunikasi Gender

Di setiap ruang sosial, biasanya masalah gender menjadi hal yang paling sering diperbincangkan. Tapi, pemahaman gender tidak sama dengan jenis kelamin. Jika bicara jenis kelamin, manusia telah ditentukan sejak lahir dan bersifat permanen. Louann Brizendine MD dalam bukunya The Female Brain (20; 2006) menyebutkan anak laki-laki dan perempuan sudah tertata sebagai anak perempuan dan laki-laki sejak mereka lahir. Otak yang berbeda dan yang menjadi pendorong impuls nilai dan realitas sejati mereka. Hal yang senada disampaikan dalam buku yang ditulis Siti Azisah,dkk (05;2015). Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun secara sosial dan kultural yang berkaitan dengan peran, perilaku, dan sifat yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan.

Ditambahkan lagi Siti Azisah, sifat, peran, kerja, kedudukan dan ranah gender dapat berubah karena perubahan masyarakat terhadap pendidikan, politik, ekonomi yang mengharuskan perubahan nilai budaya dan norma sosial. Dahulu, seorang perempuan yang keluar rumah sendirian dianggap melanggar nilai budaya dan norma sosial, tetapi saat ini perempuan dapat leluasa pergi sendiri dengan sepeda motor menuju sekolah, perkantoran, aktifitas ekonomi dan politik. Sebaliknya, di masa lalu, laki-laki dipandang tabu memasak di dapur, tetapi saat ini laki-laki dapat menjadi koki handal seperti yang ada di televisi, restoran dan perhotelan. Semakin banyak pula laki-laki yang menjadi desainer dan penjahit yang dahulu dianggap sebagai peran gender perempuan. Dahulu perempuan hanya cocok menjadi sekretaris atau perawat, sekarang perempuan dapat menjadi direktur dan dokter, rektor

(5)

hingga presiden. Demikian pula sebaliknya, ada laki-laki yang menjadi sekretaris dan menjadi perawat, dan seterusnya meskipun banyak laki-laki yang menolak sampai sekarang.

D. Genderlect Style

Deborah Tannen dalam Griffin (433;2012) mengaitkan pembicaraan genderlect Style terkait gaya bicara perempuan dan laki-laki. Gaya bicara seseorang biasanya dikaitkan dengan sisi maskulinitas dan feminitas. Tannen melihat beberapa hal yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perempuan mencari hubungan VS laki-laki mencari status Pembicaaran terkait hubungan Vs pembacaan laporan. Tannen menyebutkan tiga syarat dalam percakapan lelaki (433:2012) yaitu (1) Pria berkomunikasi untuk menegaskan ide, pendapat, dan identitasnya, (2) Pria berbicara untuk memecahkan masalah atau mengembangkan strategi, (3) Pria berbicara dengan cara membuat orang tertarik pada dirinya. Hal yang berbeda yang dilakukan perempuan yaitu (1) Perempuan berbicara untuk menciptakan dan memelihara hubungan, (2) Perempuan senang melibatkan orang lain dalam percakapan mereka dan mereka butuh untuk ditanggapi, (3) Perempuan harus menunjukkan kepekaan mereka terhadap orang lain dan juga dalam sebuah hubungan. Ada hal yang juga patut dipertimbangkan dalam sebuah pembicaraan. Perempuan sangat menghargai pembicaraan yang baik, sementara pria menghargai laporan bicara.

1. Pembicaraan pribadi Vs berbicara publik

Kesan dari sebuah pepatah kuno menyebutkan, perempuan berbicara lebih banyak daripada pria. Louuann Brizendine seorang profesor psikiatri di Universitas California, San Fransisco menyebutkan wanita berbicara rata-rata 20.000 kata per hari. Sementara pria berbicara 7.000 kata per hari (434;2012). Tapi, Tannen menambahkan, dalam ruang publik, justru pria lebih aktif walaupun yang dia sampaikan merupakan pembicaraan laporan, bukan pembicaraan yang menyangkut hubungan.

2. Menceritakan kisah

Tanen mengakui bahwa kisah-kisah yang dibicarakan orang, berhubungan dengan harapan, kebutuhan, dan nilai mereka. Pria menggunakan cerita kisah daripada wanita. Terutama dalam hal lelucon. Hal ini dibutuhkan pria untuk bernegosiasi terhadap statusnya. Selain itu, pria melalui ceritanya bisa hadir sebagai sosok yang lucu. Ketika mereka tidak hadir sebagai sosok yang lucu, mereka akan menceritakan kisah dimana mereka berada atau situasi dimana mereka menjadi pahlawan. Pria senang menggambarkan kemampuan dirinya bertindak sendiri menghadapi rintangan besar. sementara itu, wanita cenderung mengekspresikan keinginan mereka untuk komunitas dan menceritakan kisah tentang orang lain. Bahkan, mereka jarang menghadirkan karakter wanita dalam ceritanya. Malah, mereka sering menggambarkan dirinya melakukan sesuatu yang bodoh daripada bertindak dengan cara yang cerdas. Tindakan

(6)

mengecilkan diri ini untuk mendapatkan dukungan dari jaringan dukungannya atau pendengarnya.

3. Mendengarkan

Ketika seorang wanita mendengarkan cerita atau penjelasan, mereka cenderung melakukan kontak mata, mengangguk, dan bergumam. Mereka juga menghadirkan tanggapan lain yang secara tersirat menggambarkan bahwa mereka mendengarkan. Lain halnya dengan pria. Mereka peduli dengan status dan ketika mendengarkan, mereka tidak mau menempatkan diri secara submisif atau berada di bawah. Mereka harus memperlihatkan penegasan setuju atau tidak setuju. Akhirnya, sering muncul kesan oleh wanita, bahwa pria tidak mendengarkan apa yang mereka ucapkan. Ketika seorang wanita yang mendengarkan, akan menambahkan kata persetujuan untuk menunjukkan dukungannya terhadap apa yang disampaikan si pembicara.

4. Mengajukan pertanyaan

Menurut Tannen dalam Griffin (435:2012) Perempuan pada umumnya terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan di awal sesi bertanya atau ketika mereka menginterupsi. Hal ini menjadi upaya kooperatif perempuan sebagai tanda bahwa mereka setuju. Pada laki-laki, interupsi justru dinilai sebagai upaya untuk menunjukkan kekuatan dalam memperoleh kekuasaan atau mengendalikan pembicaraan. Perempuan ketika mengajukan pertanyaan menjadi upaya untuk memantapkan proses hubungan dan juga upaya untuk memperhalus penolakan atau ketidaksetujuan terhadap lawan bicara. Pria menggunakan proses bertanya untuk mencari kesempatan dan menjadikan lawan bicaranya menjadi lemah. Perempuan mengajukan pertanyaan ketika mereka ingin menunjukkan minat, kesepakatan daam subjek yang sedang dibicarakan. Sementara laki-laki mengajukan pertanyaan untuk menantang lawan bicara atau menguji pengetahuan lawan bicara akan subjek yang sedang dibicarakan. Laki-laki cenderung enggan menanyakan pertanyaan dalam situasi dimana mereka sedang memerlukan bantuan. Hal ini dianggap laki-laki sebagai upaya menurunkan status mereka. Sebaliknya, perempuan senang meminta bantuan orang lain sebagai upaya untuk mendapatkan petunjuk mengenai dimana lokasi yang sedang mereka cari. Perempuan juga tidak khawatir dengan stereotip akan penurunan status mereka hanya karena menanyakan sesuatu untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.

5. Konflik

Tannen dalam Griffin (437: 2012) menyebutkan, banyak pria lebih nyaman dengan konflik dan karenanya cenderung menahan diri dalam pertikaian. Bagi kebanyakan wanita, justru konflik merupakan ancaman bagi hubungan dan dihindari dengan segala

(7)

cara. Tannen juga menyebut pria memiliki sistem peringatan dini dan diarahkan untuk mendeteksi tanda-tanda bahwa mereka diberitahu apa yang harus dilakukan.

Selain lima poin tadi, yang tak kalah pentignya yaitu penggunaan komunikasi Non Verbal. Pada konteks ini, Tannen tidak memperluas hubungan perbedaan status dengan cara di mana pria dan wanita berkomunikasi secara non verbal. Susan Pease Gadoua dalam Griffin (437:2012) menyebutkan sulit untuk menganalisis cara pria dan wanita berbicara satu sama lain tanpa memasukkan komponen non verbal. Gadoua menceritakan pengalamannya sebagai konselur pernikahan. Begitu banyaknya permasalahan dalam ruang komunikasi suami dan istri, dia bahkan harus membuat skenario khusus untuk membantu pasangan untuk mengatasi tantangan serius atau mengarungi celah dalam kehidupan mereka. Setiap pasangan memiliki cara berbeda untuk menyelesaikan masalah. Perempuan memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah saat itu juga. Mereka tidak akan bercinta ketika belum merasa terhubung dengan pasangannya pasca konflik. Sementara pria merasa bisa menyelesaikan konflik dengan bercinta dan berbicara kemudian.

Pria dan Wanita Tumbuh dalam Komunitas dan Budaya Berbicara yang berbeda Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar merupakan organisasi kewartawanan yang gigih memperjuangkan hak-hak azasi jurnalis khususnya Makassar dan Sulawesi Selatan. Tumbuh dari pergerakan jurnalis yang tidak lagi sejalan dengan organisasi sebelumnya, AJI Makassar seperti yang ditulis di laman ajimakassar.or.id (akses April 2018) telah ada sejak tahun 1998 melalui Sukriansyah Latief mewujudkan keinginan jurnalis di Makassar untuk bisa berorganisasi selain PWI. Sukriansyah menyebutkan PWI kala itu tidak bisa lagi berbuat banyak terhadap pembredelan dan tekanan terhadap wartawan dan media. Apalagi saat itu, PWI sangat dekat dengan pemerintah. AJI muncul untuk menyuarakan kebebasan pers, mengangkat harkat dan martabat wartawan serta kesejahteraan wartawan.

Hingga memasuki usia 20 tahun, AJI Makassar memiliki anggota sebanyak 124 orang yang tersebar di wilayah Sulawesi Selatan. Dari jumlah itu, tercatat 20 orang di antaranya merupakan perempuan. Hal ini menunjukkan minat perempuan dalam bidang jurnalistik semakin besar. perempuan sudah berani tampil dalam ruang publik dan menyetarakan hak nya dalam konteks profesionalisme. Lalu bagaimana dengan kondisi komunikasi mereka di lapangan dan di ruang redaksi?

Pada teori yang disajikan Deborah Tannen mengenai genderlect style, komunikasi antar manusia memiliki gaya yang berbeda. Dari sehi konteks budaya, perempuan dan laki-laki memiliki cara berbicara dan konten yang berbeda. Akan halnya dunia jurnalis, perempuan dan laki-laki juga memiliki cara berbicara yang berbeda. Kita bisa membedakan dari dua jenis tempat, yaitu ruang redaksi dan lapangan. Di ruang redaksi. Komunikan yang berinteraksi dengannya pun bisa dibedakan berdasarkan status dan profesi. Di lapangan, jurnalis perempuan menghadapi tidak hanya sesamanya jurnalis tetapi juga narasumber. Ada

(8)

lima konteks yang disampaikan Tannen, yaitu percakapan publik versus percakapan pribadi, menyampaikan cerita, mendengarkan, mengajukan pertanyaan, dan konflik.

1. Percakapan publik versus percakapan pribadi

Teori Tannen menyebutkan laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan gaya bicara. Seperti yang disampaikan Rahmi Djafar. Jurnalis sulselekspres.com menuturkan, dalam ruang redaksi, antara dirinya dengan rekan kerjanya biasanya membincangkan masalah. Hal-hal yang menyangkut tanggungjawab dan tugas dari sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang dimaksud yaitu sesuatu yang menghasilkan, entah uang (gaji) atau sekadar kepuasan (seperti kerja sosial). Rahmi menjelaskan, banyak hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Sebagai jurnalis, tentunya membicarakan isu-isu berbagai bidang. Selain itu tentang penulisan yang akan dipulikasikan, dalam hal ini penggunaan bahasa sesuai kaidah bahasa indonesia yang terbaru. Rahmi juga biasa membincangkan seputar keluarga yang tidak mendalam.

“Hanya sekadar tahu dan saling mengenal. Sebab kami yakin, dengan lebih mengenal satu sama lain terutama keluarga akan memberikan suasana kenyamanan dan pertemanan yang baik dalam bekerja. Meski seringkali ada kesalahpahaman, akan mudah dicarikan solusi dengan saling mengena” (Wawancara dengan Rahmi Djafar, 33 anggota AJI Makassar sejak 2009. Senin, 30 April 2018)

Rahmi dengan jurnalis perempuan di kantornya, selain membahas masalah pekerjaan, biasanya membahas persoalan pribadi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena temannya telah memercayainya. Jadi, tanpa diminta, temannya akan menceritakan.

Rahmi yang berada pada posisi redaktur juga menjelaskan. dalam ruang redaksi misalnya rapat, percakapan dengan struktur yang sama justru menampakkan sikap „keakuan‟ pada redaktur laki-laki. Rahmi dan redaktur laki-laki hanya membincangkan hal yang umum saja, hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Ketika berembuk sesuatu, redaktur pria memperlihatkan dirinya tidak mau dikalah oleh redaktur perempuan. Menurutnya, ketika dia berbicara untuk memutuskan sesuatu, dia harus menegaskan apa yang dia inginkan, barulah kemudian disetujui oleh redaktur lai-laki. Kecuali dengan reporter, Rahmi menggambarkan, reporter pria biasa lebih patuh atau lebih mendengarkan daripada redaktur pria. Menurutnya, ini terjadi karena fungsi strukturnya lebih tinggi dari reporter. Suasana di lapangan juga tidak jauh berbeda. Ketika berhadapan dengan narasumber, ia melihat perbedaan gaya bicara antara narasumber laki-laki dengan perempuan. Ia melihat narasumber perempuan lebih terbuka dan mudah didekati secara emosional daripada laki-laki.

(9)

“Perempuan lebih mudah kalau sudah didekati dan bicara terkait apa yang dia sukai dan hobinya. Atau bahkan bicara make up apa yang dia pakai.” (Wawancara dengan Rahmi Djafar, 33 anggota AJI Makassar sejak 2009, Senin, 30 April 2018)

Bicara dengan narasumber perempuan menurut Rahmi biasanya bisa berlanjut lebih akrab. Biasanya mereka akan bercerita persoalan anak, keluarga, atau cerita yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan narasumber perempuan berkomunikasi hal yang pribadi dan untuk membangun hubungan yang lebih akrab dengan dirinya.

Berbeda dengan narasumber pria. Biasanya ketika diwawancarai, mereka mengungkapkan data secara formal dan akan berbicara lebih panjang. Apalagi jika narasumber pria memiliki kedudukan yang penting, mereka berbicara untuk menunjukkan harga diri dan jabatannya.

Begitu pula ketika Rahmi berinteraksi dengan jurnalis di lapangan. Terdapat perbedaan dalam membangun komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Jurnalis perempuan yang sudah mulai akrab dengan dirinya, akan lebih terbuka dan menjalin hubungan yang lebih dalam. Tetapi jurnalis laki-laki yang akrab dengan dirinya, biasanya akan menunjukkan kapasitasnya sebagai laki-laki yang dibutuhkan.

Hal ini menunjukkan, dalam berkomunikasi, laki-laki menunjukkan kemampuannya berbicara sebagai bagian dari eksistensi dirinya. Laki-laki menunjukkan dirinya „ada‟ dalam ruang publik. Mereka menjaga drinya sebagai orang yang punya jabatan dan sikap sebagai laki-laki. Laki-laki juga membicarakan hal yang informatif dan topik-topik yang sifatnya umum.

Lain halnya dengan perempuan, mereka memilih untuk mengungkapkan hal yang pribadi guna lebih mendekatkan dirinya dengan orang lain. Perempuan melakukan ini karena melihat hubungan tidak sekadar formalitas tetapi bisa lebih dari itu. Makanya perempuan cenderung membahas hal yang sifatnya pribadi, agar lawan bicaranya bisa lebih terbuka kepada dirinya.

2. Menyampaikan cerita

Teori Tannen mengaitkan gaya maskulinitas dan feminitas dalam cara menyampaikan cerita. Rahma Amin dari Harian Radar Makassar menjelaskan bahwa cara narasumber laki-laki atau jurnalis laki-laki dengan perempuan cenderung berbeda dalam menyampaikan sesuatu. Pria lebih banyak bercerita menggunakan lelucon dibandingkan perempuan. Narasumber perempuan cenderung menjaga citra dirinya. Tannen menyebutkan, kalau pria dalam bercerita cenderung berusaha menonjolkan siapa dirinya, maka berbeda dengan perempuan yang dalam bercerita cenderung akan menceritakan orang lain.

(10)

“Narasumber laki-laki sering tanpa ditanya, mereka cerita sendiri”( Wawancara dengan Rahma Amin, 27 anggota AJI Makassar sejak 2015, Senin, 1 Mei 2018).

Selain narasumber, jurnalis laki-laki yang ditemui Rahma di lapangan seringkali bercerita dan menunjukkan dirinya telah berhasil melakukan sesuatu. Menurutnya, pernah ada seorang jurnalis laki-laki yang selalu mengkritisi teman-teman jurnalis lainnya sewaktu dia di tempatkan di desk DPRD.

“Katanya harusnya itu wartawan tidak berdiam diri di kantor DPRD, tapi jalan kelurahan atau kecamatan untuk menanyakan keluhan warga. Di situ dia cerita pengalamannya, saat berhasil angkat berita soal keluhan warga tentang krisis air bersih, di situ dia merasa seperti pahlawan...,” ( Wawancara dengan Rahma Amin, 27 anggota AJI Makassar sejak 2015, Senin, 1 Mei 2018)

Perempuan menurut Tannen, dalam bercerita cenderung akan menceritakan orang lain. Rahma menceritakan, ia pernah mendapatkan narasumber perempuan yang sering menceritakan temannya. Pernah ada anggota DPRD perempuan sementara wawancara dia tiba-tiba mempertanyakan status salah seorang wartawan laki-laki apakah sudah menikah apa belum. Dia bilang kalau belum, dia ingin memperkenalkan temannya yang bisa dikenalkan agar fungsinya sebagai laki-laki bisa dilakukan. Hal ini menurut Rahma konyol karena si narasumber perempuan melakukannya di sela-sela wawancara dan cenderung menjatuhkan orang lain. Narasumber perempuan ini juga kerap menjatuhkan citra teman perempuannya yang lain.

“Pernah ada narasumberku perempuan. Waktu itu saya lagi cerita. Kemudian ada anggota dewan perempuan masuk. Dia berhenti cerita,terus dibilang kalau ada dia bahaya. Biasa dia cerita ke partai begini...begini...” (Wawancara dengan Rahma Amin, 27 tahun, anggota AJI Makassar sejak 2015. Senin, 1 Mei 2018).

Di kantornya pun kerap laki-laki menunjukkan cara yang maskulin untuk menunjukkan status mereka. Laki-laki dalam bercerita tidak mau dikalah hebat dan tidak mau dipotong pembicaraan. Pria senang menggambarkan kemampuan dirinya bertindak sendiri menghadapi rintangan besar. sementara itu, wanita cenderung mengekspresikan keinginan mereka untuk komunitas dan menceritakan kisah tentang orang lain.

3. Mendengarkan

Perempuan menurut Tannen memiliki gaya mendengarkan dengan memasukkan unsur non verbal. Selain itu, perempuan lebih peka daripada paki-laki ketika mendengarkan. Menurut Nurul Iccy Ulfa, jurnalis INews TV ketika melakukan wawancara, sebaiknya memang jurnalis atau presenter mendengarkan cerita dari narasumbernya dengan cara bertatapan agar paham dengan yang dimaksud si narasumber. Selain itu lawan bicara juga pasti merasa dihargai karena dirinya diperhatikan ketika dia bicara. Iccy melihat, kebanyakan

(11)

jurnalis perempuan melakukan itu. Makanya, kebanyakan narasumber merasa lebih nyaman saat ditanyai oleh perempuan dan lebih terbuka jawabannya karena perempuan memperlakukan mereka lebih perhatian dengan informasi yang narasumber sampaikan. Narasumber juga memperlakukan atau meminta jurnalis atau pewawancara perempuan lebih baik saat menjawab, meskipun narasumbernya perempuan atau laki-laki.

“Kalau jurnalis laki-laki kadang pendekatan sebelum wawancara live atau masuk ke inti pertanyaan masih kurang, mereka cenderung to the point dan cara bertanya atau pemilihan kata lebih „ingin cepat dijawab pertanyaannya” (Wawancara dengan Nurul Iccy Ulfa, 30 anggota AJI Makassar sejak 2013. Senin, 1 Mei 2018)

Situasi perempuan lebih cenderung mendengarkan daripada laki-laki, menurut Iccy dikarenakan perempuan lebih mudah menggunakan perasaannya. Seperti cara mereka merespon situasi teman jurnalis perempuan lainnya. Menurut Iccy berdasarkan pengalaman di kantor atau di lapangan, biasanya jurnalis atau teman laki-lakinya saat mengetahui ada yang mendapat musibah, mereka merespon dengan cara segera "membalas" atau lapor polisi. Sementara perempuan biasa lebih fokus merespon tentang kondisi temannya pada saat itu. Misalnya dengan memberi saran lebih baik istirahat dulu, lebih fokus ke kondisi psikologis teman sambil mencari solusi segera untuk mengatasi musibahnya. Laki-laki dalam merespon lebih santai. Misalnya dengan mengeluarkan kalimat "Weh dimana ko dikasi begitu?" Atau, paling parahnya menurut Iccy, teman laki-lakinya hanya bilang "Santai moko, biasaji itu".

Perempuan biasanya lebih paham kapan dia harus ada menemani atau bahkan membiarkan teman jurnalisnya atau narasumbernya sendiri dan tidak bertanya banyak terlebih dulu. Situasi agak berbeda dari apa yang dipaparkan Tannen bahwa kaum pria ketika mendengar ia menghindarkan sikap yang tunduk atau sikap yang merendahkan dirinya sendiri. Menurut Iccy, sebenarnya sikap tunduk atau merendahkan diri sendiri memang tidak diperbolehkan untuk jurnalis karena mereka harus memosisikan diri setara dengan siapapun narasumber mulai dari tukang becak sampai pejabat. Situasi yang terjadi biasanya, jurnalis atau presenter laki-laki kurang peka terhadap keadaan. Iccy melihat, tidak semua presenter laki-laki kaku. Dia menyebutkan salah saeorang presenter laki-laki di kantornya, bagus sekali memperlakukan narasumber meskipun pada akhirnya si narasumber khususnya narasumber laki-laki tetap saja kurang membuka diri atau merespon pertanyaan.

Perlakuan narasumber laki-laki yang dihadapi Iccy, sejalan dengan apa yang digambarkan Tannen dalam hal memotong pembicaraan. Kalau narasumber laki-laki biasanya akan marah kalau dipotong.

(12)

“Tidak selalu marah sih memang tapi mereka tidak peduli kita menyela dan terus saja melanjutkan bicara sampai dia rasa memang harus berhenti menjelaskan,” (Wawancara dengan Nurul Iccy Ulfa, 30 anggota AJI Makassar sejak 2013. Senin, 1 Mei 2018)

Berbeda dengan narasumber perempuan yang kalau disela atau dipotong pembicaraan biasanya langsung berhenti bicara. Narasumber laki-laki yang cenderung tidak mau disela bicara itu laki-laki yang punya jabatan di pemerintahan, biasanya lebih ke masalah kebijakannya. Tapi justru dari situasi ini, menurut Iccy, dia mampu mengetahui kalau orang yang tidak mau disela artinya punya kekurangan yang mereka tidak mau dimasuki atau diungkap. Narasumber laki-laki biasanya melanjutkan protesnya pada saat off air dengan sangat panjang. Untuk itu, Iccy sebagai presenter biasanya mengeluarkan kalimat-kalimat yang menenangkan narasumber laki-laki. Bahkan berusaha mengalihkan pembahasan lain supaya si narasumber lupa karena sudah disela.

4. Mengajukan pertanyaan

Menurut Tannen, Wanita mengajukan pertanyaan guna terjalinnya hubungan dengan orang lain. Ternyata pada kondisi jurnalis perempuan atau menghadapi narasumber perempuan hal ini tidak berlaku menyeluruh. Menurut Nurlina Arsyad, jurnalis Harian Fajar Makassar, semua jurnalis melakukan hal yang sama karena hal itu penting dilakukan sebelum memulai wawancara langsung ke narasumber.

“Saya pasti ngobrol dulu, ngobrol lepas. Apakah itu soal hobi narasumber, kegiatan sehari-harinya atau hal-hal menarik yang ada di lingkungan narasumber.” (Wawancara dengan Nurlina Arsyad, 33 anggota AJI Makassar sejak 2013. Senin, 1 Mei 2018).

Menurut Lina, baik jurnalis laki-laki maupun perempuan, sebelum melakukan wawancara ke narasumber, terlebih dahulu melakukan perencanaan. Tak hanya menguasai objek yang akan ditanyakan, tetapi harus paham mengenai narasumbernya. Minimal jurnalis punya referensi tentang narasumber. Tujuannya, selain tidak kaku saat proses wawancara, juga seolah-olah kita menempatkan diri sebagai teman saat wawancara. Targetnya, agar data dan informasi yang diinginkan bisa tergali dengan baik. Secara psikologis, menurut Lina, sangat berbeda ketika kita membangun hubungan emosional dengan narasumber lebih awal dibanding tidak. Selain itu, hubungan narasumber juga bias terjaga dengan baik. Semakin terkoneksi, informasi akan semakin mudah diperoleh.

Menurut Lina, tidak ada perbedaan antara jurnalis laki-laki dengan perempuan dalam mengajukan pertanyaan. Semua jurnalis yg paham soal membangun hubungan dengan narasumber, mau laki-laki atau perempuan, pasti melakukan itu. Termasuk dengan narasumbernya, mau laki-laki atau perempuan.

Tannen menyebutkan, wanita sering mengajukan pertanyaan di akhir kalimat pendapatnya. Dan juga pertanyaan yang sifatnya ringan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk

(13)

membuka percakapan dengan cara mengajak orang lain untuk berpartisipasi. Tetapi, pada situasi jurnalis, Lina tidak pernah menanyakan hal-hal yang ringan kepada narasumbernya, kecuali kalau si narasumber memulai membahas, misalnya membahas make up nya atau tas nya.

“Tapi tidak menutup kemungkinan ada teman yang menanyakan soal itu, apalagi kalau objeknya memang soal fashion. Karena dulu pernah saya jadi editor halaman Sosialita di Fajar. Kita kan mengulik soal gaya hidup narasumber termasuk soal brand yang dia pakai,” Wawancara dengan Nurlina Arsyad (33) anggota AJI Makassar sejak 2013. (Senin, 1 Mei 2018)

Menurut Lina, yang terpenting yaitu pola komunikasi dengan narasumber disesuaikan dengan hobi atau karakter narasumber. Kalau dia perempuan misalnya, dan suka fashion, pasti pertanyaan akan menyerempet ke sana. Tapi kalau tidak, Lina biasanya membicarakan hal yang disukai si narasumber saja.

Jurnalis laki-laki yang di lapangan biasanya tidak menanyakan hal yang sifatnya sensitif atau pertanyaan untuk membangun hubungan dengan narasumber. Hal itu juga berlaku pada narasumber laki-laki. Rata-rata menurut Lina, mereka tidak terlalu suka digali soal barang-barang pribadi atau hal privasi kecuali untuk kebutuhan liputan. Paling lebih banyak ke hobi dan aktivitas sehari-hari. Misalnya, jika narsum laki-laki menyukai bola, dia akan antar obrolan soal bola. Lina melihat, membangun hubungan dengan narasumber tidak harus menyerempet ke hal-hal yang sangat privasi sekali. Secara umum dia tidak melihat dari jenis kelaminnya ketika berinteraksi dengan narasumber. Tapi pola pola pendekatan ke narasumber disesuaikan dengan karakter narasumbernya.

5. Konflik

Tannen menyebutkan, bagi pria, hidup merupakan ibarat sebuah kontes dan karenanya pria merasa lebih nyaman dengan konflik. Sebaliknya dengan wanita, mereka cenderung menghindari konflik. Hal ini tidak berlaku sama di dunia jurnalistik. Jurnalis laki-laki maupun jurnalis perempuan di Sulawesi Selatan cenderung open to conflict atau dekat dengan situasi konflik. Hal ini digambarkan Daerwaty Dalle, jurnalis Koran Sindo Makassar. Perempuan menurut Daer justru senang meliput hal-hal yang bersifat konflik. Biasanya memang, ketika meliput berita criminal atau bentrok misalnya, jurnalis laki-laki kelihatan mendominasi karena jumlah mereka lebih banyak daripada perempuan. Begitu pula ketika mendapatkan isu, menurut Daer, baik itu jurnalis laki-laki maupun perempuan tidak pernah berkompetisi secara tidak sehat untuk mendapatkan bahan liputan. Mereka cenderung mengutamakan pertemanan.

Teori Tannen kemudian tergambarkan ketika jurnalis laki-laki mengajukan pertanyaan kepada narasumber laki-laki. Pada situasi bertanya, jurnalis laki-laki biasanya cenderung mengajukan pertanyaan yang menyerang dan menyudutkan narasumber laki-laki.

(14)

“Sering saya dapati situasi jurnalis laki-laki malah terkesan memaksakan jawaban kepada narasumber. Kadang pertanyaannya bukan bertanya tapi menuduh.” (Wawancara dengan Daerwaty Dalle (39) anggota AJI Makassar sejak 2010. (Rabu, 3 Mei 2018)

Jurnalis laki-laki juga cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pemunculan perdebatan. Baik itu di lapangan dengan narasumber maupun dengan teman sesama jurnalis di rapat redaksi. Apabila jurnalis laki-laki tidak mendapatkan jawaban yang mereka inginkan dari si narasumber atau si narasumber bertahan dengan jawabannya, si jurnalis kadang seperti mau marah.

“Nah kalau dapat narasumber yang kekeuh juga sama jawabannya, disitulah kadang mereka kayak mau mi baku lompat. Biasanya jurnalis-jurnalis yang ndak mau paham sama jawaban yang dikasih narasumber begitu sikapnya.” Wawancara dengan Daerwaty Dalle (39) anggota AJI Makassar sejak 2010. (Rabu, 3 Mei 2018)

Jurnalis perempuan di lapangan menurut Daer cenderung pasrah dengan jawaban narasumber. Biasanya itu terjadi karena jurnalis tidak menguasai bahan yang mereka konfirmasi atau memang tidak mau berlama-lama berhadapan dengan narasumber. Bagi dia pribadi, sesuatu yang menjadi jawaban narasumber, itulah yang harus dituangkan ke dalam berita, tanpa mesti memaksa sumber menjawab sesuai keinginan jurnalis. Walaupun si jurnalis sebenarnya lebih paham jaaban yang lengkapnya.

“Misalnya soal penggusuran pedagang K5. Kita tau nih kalau cuma di jalan tertentu saja yang digusur karena alasan pelataran jalan. Tapi di ruas jalan lain pedagang dibiarkan...Apapun jawabannya dengan alasan apapun, itu yang ditulis. Nanti pembaca yang menilai soal kalasi-kalasinya petugas,” (Wawancara dengan Daerwaty Dalle,39 anggota AJI Makassar sejak 2010, Rabu, 3 Mei 2018)

Lain halnya ketika di ruang redaksi atau ketika rapat redaksi. Justru jurnalis perempuan yang paling ngotot dan cenderung menyerang. Sementara jurnalis laki-laki malah pendiam, pasrah dan menerima saja usulan rapat.

Penutup

Kondisi yang dipaparkan lima jurnalis perempuan berdasarkan teori Genderlect Stye Deborah Tannen ternyata tidak berlaku menyeluruh pada lima komponen yang disebutkan Tannen. Jurnalis perempuan ruang kerja (redaksi) cenderung sama dalam hal percakapan publik versus percakapan pribadi, menyampaikan cerita, dan mendengarkan. Sementara pada konteks mengajukan pertanyaan dan konflik, jurnalis perempuan di Sulsel khususnya Makassar tidak berbeda perlakuan komunikasinya dengan jurnalis laki-laki. Genderlect style dalam ruang narasumber dan liputan pun hanya sama pada tiga komponen. Dua komponen yang berbeda, yaitu mengajukan pertanyaan dan konflik, cenderung berbalik dengan apa

(15)

yang dipaparkan Tannen. Teori Tannen menyebutkan, laki-laki cenderung Open to conflict dan perempuan cenderung close to conflict ternyata tidak terjadi di dunia jurnalis. Tanpa melihat jenis kelamin, keduanya terlibat sama. Begitu pula hal mengajukan pertanyaan, tergantung karakter dan konteks mendekati narasumber. Hal ini berbeda dari teori Deborah Tannen pad dua konsep tadi karena dunia jurnalis lahir dari bentuk maskulinitas laki-laki yang diserap sama antara perempuan dan laki-laki.

Daftar Pustaka

Azisah, dkk. 2016. Kontekstualisasi Gender, Islam dan Budaya, (Cet.1).Makassar: UIN Alauddin Makassar.

Brizendine, Louann. 2006. The Female Brain , (Cet. 1). United States: Broadway books.

Griffin, EM. 2012. A First Look At Communication Theory (8th edition). New York: Mcg raw Hill published.

Imran, Hasyim Ali.2013. Genderlect Style dan Fenomena Komunikasi, Jakarta : Jurnal Insani STISIP Widuri.

Littlejohn, Stephen W dan Karen A Foss. 2009. Teori Komunikasi Terjemahan, (Cet. 1). Jakarta: Salemba Humania

Luviana, Luviana. 2012. Jejak Jurnalis Perempuan.(Cetakan 1); Jakarta: AJI Indonesia.

Nurudin.2007. Pengantar Komunikasi Massa, (Cet. 2). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Amsal, Bahrul. Perempuan dan Media. http://kalaliterasi.com/perempuan-dan-media/.

Diakses pada 25 April 2018.

Qomariah, Nurul. Jurnalis Perempuan dan Citizen Jurnalism, http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/marwah/article/view/489/469 diakses 25 April 2018

https://ajiindonesia.or.id/read/berita/622/stop-kekerasan-seksual-penuhi-hak-jurnalis-perempuan-di-ruang-kerja.html diakses 26 April 2018

https://www.thenewsmanual.net/Manuals%20Volume%201/volume1_02.htm akses pada 6

Referensi

Dokumen terkait

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin

Sehingga kami sebagai penulis menyarankan dalam merancang aspek tatanan lahan serta bentuk dalam kategori banyak massa perlu untuk tetap dikaitkan dengan teori yang sudah

Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dimiliki siswa setelah mengalami proses pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran bergantung pada tujuan,

Homescreens Android biasanya terdiri dari ikon aplikasi dan widget, ikon aplikasi meluncurkan aplikasi yang terkait, sedangkan widget menampilkan hidup, auto-update

Atau dalam motif para followers @farhatabbaslaw, agar dapat memenuhi rasa penasaran mereka akan sosok fenomenal Farhat Abbas, memenuhi keinginan sendiri untuk mengomentari

& Phillips, J.A., 2003, Studi Distribusi, Penggunaan dan Pemilihan Tipe Sarang oleh Biawak Komodo: Implikasi untuk Konservasi dan Manajemen, Laporan dari the Zoological Society

'en*akit mioma uteri berasal dari otot polos ra)im Beberapa teori men*ebutkan  pertumbu)an tumor ini disebabkan rangsangan )ormon estrogen 'ada jaringan mioma

Di dalam suatu perusahaan multinasional pangan seperti PT Nestlé Indonesia yang memiliki kantor pusat di Swiss, beberapa pabrik di Indonesia, serta kantor cabang