• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Lahirnya kajian dialektologi bermula dari ketidakpuasan para pakar ilmu bahasa terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh Jung Grammatiker atau kaum Neo-Grammarian (Petyt, 1980:62). Salah satu pandangan dari kaum Neo-Grammarian adalah adanya hukum perubahan bunyi tanpa terkecuali. Ilmuwan Jerman, George Wenker termasuk salah satu yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan ini, yang kemudian melakukan penelitian dialek, atau yang dikenal dengan geografi dialek tahun 1876. Pada dasarnya, kerja atau penelitian Wenker mengenai dialek-dialek bahasa Jerman dimotivasi oleh pandangan para sarjana mengenai sejarah bahasa yang menunjukkan bahwa perubahan bunyi itu bersifat teratur (Ayatrohaedi, 1979:17). Model penelitian ini disebut sebagai aliran Jerman.

Percobaan Wenker dilakukan untuk membuktikan hukum kaum Neo-Grammarian dengan mengirim daftar kalimat yang ditulis dalam bahasa Jerman Standar ke guru-guru di Jerman Utara dan meminta mereka untuk mengembalikan daftar tersebut yang ditranskripsi ke dalam dialek lokal. Antara 1877 dan 1887, dia melakukan pengiriman yang sangat banyak, sekitar 50.000 guru dan terdapat 45.000 guru yang mengisi daftar tanyaan itu dengan lengkap. Setiap kuesioner memuat 40 kalimat, dan beberapa dari kalimat tersebut sangat sederhana, dengan kandungan bunyi-bunyi yang relevan. Dari jawaban kuesioner tersebut diketahui bahwa dialek Jerman Utara telah mengalami perubahan. Namun, kajian Wenker

(2)

ini tidak dapat memetakan garis pemisah Jerman Selatan sebagai dialek tinggi dan Jerman Utara sebagai dialek rendah.

Penelitian Wenker juga tidak berakhir dengan publikasi atlasnya, sehingga hasil yang dikerjakan oleh Wenker masih kurang memuaskan. Oleh karena itu, Ferdinand Wrede kemudian melanjutkan pekerjaan yang dilakukan oleh Wenker. Akhirnya, publikasi tersebut dapat dimulai tahun 1989, dan dapat dilengkapi tahun 1912. Kajian dialektologi kemudian terus mengalami perkembangan mulai dari pemfokusan pada daerah-daerah terpencil sampai pada daerah perkotaan. Dialektogi yang terkait dengan daerah perkotaan disebut juga sebagai dialektologi urban. Hal ini, kemudian melahirkan sejumlah perkembangan metodologi penelitian dialektologi.

Pada tahun 1880,Louis Gillieron melakukan penelitian yang serupa untuk mengetahui dialek-dialek lokal bahasa Prancis. Hal ini, dikenal juga dengan pemetaan bahasa aliran Prancis (Ayatrohaedi, 1979:22). Penelitian ini bermula dari anjuran Gaston Paris tahun 1875 agar melakukan penelitian yang terinci mengenai dialek-dialek bahasa Prancis. Gaston Paris menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai nama-nama tempat di Prancis dan monografi untuk setiap lingkungan masyarakat Prancis (Ayatrohaedi, 1979:23). Penelitian Gillieron ini menggunakan 1920 kosakata, 100 kalimat, dan 639 titik pengamatan. Penelitian yang dilakukan oleh Gustav Wenker pada tahun 1867 di Jerman dan Jules Louis Gillieron pada tahun 1880 di Swis membuka babak baru dalam penelitian dialektologi ini. Perbedaan kedua penelitian tersebut yaitu Wenker menggunakan

(3)

metode pupuan sinurat, sedangkan Gillieron menggunakan pupuan lapangan dalam mengumpulkan data.

Pada tahun 1897, Gillieron dan Edmont mulai melakukan penelitian di seluruh wilayah Prancis (Lauder, 1993:28). Pada tahun 1910, penelitian itu sudah selesai diterbitkan. Peta bahasa Prancis merupakan hasil yang diperoleh dari 639 titik pengamatan. Setiap titik pengamatan dibebani 1920 tanyaan leksikal dan 100 tanyaan kalimat. Semua penelitian yang dikemukakan di atas merupakan kajian dialektologi yang bertumpu pada variasi bahasa karena perbedaan wilayah. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut selalu menjadi referensi bagi peneliti-peneliti bidang dialektologi di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia.

Penelitian dialektologi di Indonesia dimulai oleh Teeuw pada tahun 1951 yang ditandai dengan terbitnya ―Atlas Dialek Pulau Lombok (Dialect Atlas van Lombok)‖ dan analisisnya kemudian diterbitkan pada tahun 1958. Teeuw memperkenalkan metode madzhab Prancis dengan menggunakan daftar tanyaan sebanyak 250 kosakata yang dikelompokkan dalam 8 bagian. Penelitian itu memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kajian dialektologi di Indonesia. Ayatrohaedi, kemudian mengembangkan penelitian dialektologi di Indonesia dengan penelitiannya berjudul ―Bahasa Sunda di Daerah Cirebon‖. Penelitian itu telah diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1985. Hasil temuan Ayatrohaedi dalam penelitiannya adalah bahasa Sunda yang digunakan di daerah Cirebon diberlakukan sebagai bahasa Sunda Cirebon. Secara geografis, bahasa Sunda Cirebon menerima banyak pengaruh, baik dari bahasa Sunda Standar, bahasa Sunda lain yang berada di sebelah barat dan selatan daerah pakai bahasa

(4)

Sunda Cirebon maupun bahasa Jawa Cirebon yang terletak di sebelah utara daerah pakai bahasa Sunda Cirebon.

Sebelumnya, Nothofer (1975) juga pernah melakukan penelitian mengenai bahasa Sunda di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan judul ―Tinjauan Sinkronis dan Diakronis Bahasa Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Bagian Barat)‖. Penelitian itu bertujuan untuk mendeskripsikan bahasa Sunda dan menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik historis komporartif. Penelitian itu menggunakan daftar tanyaan sebanyak 750 kosakata dan 80 kalimat. Penelitian itu dilengkapi dengan pemetaannya pada tahun 1980. Salah satu hasil penelitiannya menunjukan bahwa ada banyak kosakata bahasa Jawa yang digunakan dalam bahasa Sunda. Selain itu, penelitian tersebut tidak hanya melibatkan kajian sinkronis tetapi juga kajian diakronis.

Penelitian dialektologi kemudian dikembangkan juga oleh Bawa (1983) mengenai bahasa Bali dengan judul penelitiannya ―Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek‖. Penelitian tersebut memfokuskan pada kajian aspek fonologi dan aspek leksikal dengan penerapan teori struktural dan dialektologi tradisional (aliran Prancis). Kajian dialektologi struktural difokuskan pada analisis variasi fonologis dan kajian dialektologi tradisional digunakan untuk menganalisis variasi leksikal. Penelitian tersebut menggunakan 25 desa sebagai titik pengamatan dengan rata-rata 3 orang informan untuk setiap desa/titik pengamatan. Salah satu hasil penelitian tersebut yaitu berdasarkan variasi fonologis dan leksikal, bahasa Bali dikelompokkan menjadi

(5)

dua, yaitu bahasa Bali dialek Bali Aga/Bali Pegunungan dan bahasa Bali dialek Dataran.

Kajian dialektologi yang juga memberi sumbangan penting dalam kajian ini, terutama dalam upaya pemaparan hasil analisis kajian ini adalah Danie (1991) dalam disertasi yang telah diterbitkan berjudul Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan variasi fonologis, leksikal, dan morfologis, dan situasi kebahasaan di daerah Minahasa Timur, serta melakukan rekonstruksi protobahasa dan penelusuran unsur relik dan inovasi pada bahasa Minahasa Timur Laut. Danie (1991) menyusun hasil penelitiannya dalam deskripsi sinkronis dan diakronis dengan menggunakan teori dialektologi tradisional dan struktural. Walaupun demikian, Danie (1991) terlebih dahulu menggunakan metode leksikostatistik sebelum menggunakan metode dialektometri dalam menghitung persentase kekognatan dengan data 200 kata Swadesh. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik diperoleh persentase kekognatan leksikal sebagai berikut: Tombulu = 71%, Tonsea-Tolour = 69%, dan Tombulu-Tonsea-Tolour = 71%. Selain itu, juga dilakukan pemetaan bahasa di Minahasa Timur Laut, berkas isoglos, dan rekonstruksi protobahasa Minahasa dan protobahasa Minahasa Timur.

Lauder (1993) juga memberikan sumbangsih berharga dalam disertasinya berjudul ―Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang‖. Adapun fokus penelitian di Tangerang ini adalah bidang leksikon dengan anggapan bahwa walau bagaimana pun, leksikon merupakan unsur yang mandiri di dalam bahasa mana pun. Lauder (1993) melakukan penelitian dialektologi mengenai bahasa Jawa,

(6)

Sunda, dan Melayu di Kabupaten Tangerang dengan menggunakan komputerisasi pemetaan bahasa. Pemetaan bahasa dengan komputer dapat membantu mempercepat proses pemetaan bahasa di seluruh Indonesia. Dalam perhitungan dialektometri ini, penelitian itu menggunakan 580 leksikon. Dalam penelitiannya melalui metode dialektometri, ditemukan bahwa wilayah Tangerang terdiri atas satu bahasa dengan tiga dialeknya, yakni bahasa Tangerang dialek Barat Laut, bahasa Tangerang dialek Timur, dan bahasa Tangerang dialek Selatan.

Mahsun (1994) dalam disertasinya yang berjudul ―Dialek Geografis Bahasa Sumbawa‖ turut mengembangkan penelitian dialektologi. Penelitian tersebut menggunakan teori dialektologi tradisional. Penelitian Mahsun (1994) merupakan penelitian geografi dialek yang bersifat sinkronis dan diakronis yang mengawali analisis datanya dengan variasi fonologis dan leksikal, kemudian diikuti dengan perhitungan dialektometri, peta bahasa, dan teknik rekonstruksi. Dengan menggunakan berkas isoglos, bahasa Sumbawa dapat dikelompokkan atas empat kelompok dialek, yaitu dialek Jereweh, dialek Taliwang, dialek Tongo, dan dialek Sumbawa Besar. Dialek Sumbawa Besar merupakan dialek yang paling banyak dijumpai pada titik pengamatan. Penelitian tersebut pada dasarnya mengikuti pola penelitian yang dilakukan oleh Danie (1991) yang dipelopori oleh Nothofer (1975). Hal ini, berbeda dengan penelitian yang dikerjakan oleh Ayatrohaedi, Bawa, dan Lauder yang hanya memfokuskan pada kajian sinkronis.

Dhanawaty (2002) ikut memberikan sumbangsih yang besar bagi kajian dialektologi dengan warna yang sedikit berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya dalam penelitiannya berjudul ―Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah

(7)

Transmigrasi Lampung Tengah‖. Penelitian Dhanawaty lebih diarahkan pada kajian dialek sosial sehingga semakin memperkaya kajian dialektologi di Indonesia. Penelitian itu menggunakan teori akomodasi dan prototipe dengan melibatkan tiga macam variabel, yaitu variabel lek, variabel daerah, dan variabel usia. Cara kerja analisis penelitian dialektologis ini adalah pendeskripsian fonologis, variasi fonologis, dan persebarannya dalam semua titik banding. Salah satu hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa variasi fonologis pada bahasa Bali di Lampung Tengah dapat ditemukan pada tuturan semua kelompok usia di semua titik pengamatan dengan derajat yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut muncul akibat adanya konsep akomodasi para penutur bahasa Bali di Lampung Tengah. Selain itu, dalam penelitian itu, ada upaya pengombinasian teori dialektologi dan sosiolinguistik dan juga teori akomodasi.

Putra (2007) juga melakukan penelitian dialektologi dalam disertasinya yang berjudul ―Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi‖. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan variasi bahasa Sumba dan daerah penyebarannya, mengelompokan lek-lek bahasa sumba, dan melakukan penelusuran bentuk asal dan turunan. Penelitian itu menggunakan teori dialektologi generatif dengan sampel sebanyak 30 titik pengamatan dengan 90 informan. Selain itu, penelitian ini menggunakan 1050 daftar tanyaan dengan rincian 936 kosakata, 64 frase, dan 50 kalimat sederhana. Metode dan teknik penganalisisan yang digunakan dalam penelitian tersebut meliputi metode padan fonetis, dan selanjutnya menggunakan metode berkas isoglos dan metode dialektometri, serta penggambaran bentuk asal dan bentuk turunan. Salah satu

(8)

hasil penelitian tersebut berdasarkan penghimpunan berkas isoglos dan penghitungan dialektometri (leksikal dan fonologis), dan penghitungan permutasi menunjukkan bahwa BS (bahasa Sumba) di Pulau Sumba dapat dikelompokan menjadi lima dialek, yaitu (1) dialek Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dan (3) dialek Waijewa-Louli, (4) dialek Kodi, dan (5) dialek Lamboya.

Penerapan teori dialektologi generatif yang dilakukan Putra (2007) dalam penelitiannya memberikan sumbangan dalam penelitian ini terutama dalam variasi fonologis dan analisis bentuk asal dan bentuk turunan. Dalam menganalisis variasi fonologis, Putra melakukan beberapa langkah kerja, seperti identifikasi bunyi, pembuktian fonem, distribusi fonem, dan karakterisasi fonem bahasa Sumba dalam ciri pembeda. Selain itu, kebanyakan analisis data dalam penelitian ini mengikuti cara kerja seperti yang ada dalam penelitian Putra (2007), khususnya terkait dengan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri. Putra (2007) melakukan pembuatan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri baik secara fonologis maupun leksikal per medan makna dan secara keseluruhan medan makna. Salah satu perbedaan penelitian Putra (2007) dengan penelitian ini adalah penggunaan teori, yakni penelitian ini menggunakan teori dialektologi tradisional dan generatif, sedangkan Putra hanya menggunakan teori dialektologi generatif.

Fautngil (2008) juga pernah melakukan penelitian dialektologi dalam disertasinya yang berjudul ―Varietas-Varietas Bahasa di Lembah Grime Jayapura: Kajian Dialektologi Regional‖. Penelitian Fautngil menggunakan teori dialektologi tradisional dan hanya memfokuskan pada variasi fonologis dan leksikal dengan menggunakan 700 kosakata yang juga digunakan untuk membuat

(9)

peta isoglos dan melakukan perhitungan dialektometri. Salah satu hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hasil perhitungan jarak kosakata dengan dialektomeri yang diperkuat dengan tampilan peta berkas isoglos dalam tingkat leksikal, secara keseluruhan tergambar adanya tiga kelompok bahasa, satu dialek, dan satu subdialek, dan beberapa beda wicara sampai tidak ada beda dari 30 titik pengamatan di wilayah Lembah Grime Jayapura.

Suryati (2012) juga tidak ketinggalan memberikan sumbangsih dalam kajian dialektologi dalam disertasinya berjudul ―Variasi Fonologis dan Leksikal Bahasa Lio di Flores, Nusa Tenggara Timur: Kajian Dialektologi Geografi‖. Penelitian tersebut menggunakan teori dialektologi tradisional dan generatif. Dalam penelitian tersebut, digunakan sampel sebanyak 26 desa sebagai titik pengamatan dengan setiap desa menggunakan 3 informan. Selain itu, penelitian itu menggunakan 900 kosakata yang tercakup dalam 20 medan makna. Metode dan teknik penganalisisan yang digunakan dalam penelitian tersebut meliputi metode padan dengan teknik dasarnya teknik pilah unsur penentu yang dilanjutkan dengan teknik banding. Adapun pengelompokan dialek-dialek dan subdialeknya dilakukan dengan metode berkas isoglos dan dialektometri. Penentuan hubungan antartitik pengamatan dilakukan dengan pembuktian secara kuantitatif yang diawali dengan pembuatan segi tiga dialektometri. Salah satu hasil penelitian tersebut berdasarkan penghimpunan hasil dialektometri leksikal antar TP yang berdekatan, dialektometri fonologis, gabungan dialektometri leksikal dan fonologis, serta gabungan ketiganya ditambah permutasi dapat diketahui dialek dan kelompok dialek bahasa Lio menjadi 7, yaitu dialek Bahasa

(10)

Lio Timor, dialek Bahasa Lio Tengah, dialek Bahasa Lio Barat, dialek Lio Ende, dialek Welamosa, dialek Wolele, dan dialek Koanara.

Penelitian Suryati (2012) juga menjadi acuan untuk melakukan pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan variasi fonologis dan leksikal, serta pembuatan berkas isoglos dan dialektometri dalam penelitian ini. Dalam analisis variasi fonologis, Suryati (2012) melakukan beberapa prosedur kerja, seperti inventarisasi bunyi, identifikasi fonem, distribusi fonem, karakterisasi ciri pembeda, karakterisasi bahasa Lio, penentuan bentuk asal, dan variasi fonem, serta proses dan kaidah fonologis. Adapun dalam penerapan berkas isoglos dan dialektometri, penelitian tersebut dilakukan baik secara fonologis maupun leksikal per medan makna dan secara keseluruhan medan makna, dengan teknik segi tiga dialektometri dan permutasi. Penelitian ini banyak merujuk dan mengikuti model kerja dalam penelitian tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, penelitian Putra (2007) dan Suryati (2012) memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga dan dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini banyak mengikuti model atau cara kerja yang dilakukan oleh Putra (2007) dan Suryati (2012) dalam mendeskripsikan variasi bahasa Wakatobi karena adanya banyak kemiripan dengan kedua penelitian tersebut. Dengan kata lain, analisis data dalam penelitian ini banyak merujuk dari kedua penelitian tersebut, khususnya terkait dengan deskripsi variasi fonologis dan leksikal dengan penelusuran bentuk asal dan bentuk turunan, pembuatan berkas isoglos, dan perhitungan dialektometri. Adapun pada variasi fonologis, penelitian ini juga

(11)

menganalisis faktor-faktor intra-linguistik yang memengaruhi terjadinya variasi fonologis tersebut. Selain itu, aspek ekstra-linguistik juga dianalisis dalam penelitian ini, khususnya terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya variasi bahasa Wakatobi.

Selain kajian pustaka tentang dialektologi di atas, diuraikan pula kajian relevan yang pernah dilakukan mengenai bahasa Wakatobi yang menjadi objek penelitian ini. Penelitian mengenai variasi-variasi bahasa Wakatobi dapat dikatakan masih sangat jarang dilakukan. Terlebih lagi, studi dialektologi isolek-isolek dalam bahasa Wakatobi belum pernah dilakukan secara lengkap oleh penelitian-penelitian sebelumnya sebagimana layaknya prosedur-prosedur penelitian dialektologi.

Esser (1938) dalam penelitiannya berjudul ―In Atlas van Tropsich Nederland” sedikit menggambarkan situasi bahasa Wakatobi. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerabatan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara. Dalam penelitian tersebut dilakukan pengelompokan bahasa-bahasa sekerabat di Sulawesi ke dalam tujuh kelompok. Salah satu dari ketujuh kelompok tersebut adalah kelompok Muna-Butung sebagai bahasa yang berasal dari satu kelompok bahasa yang terbagi menjadi empat sub-kelompok bahasa yaitu: (1) Muna-Buton, (2) Buton Selatan, (3) Kelompok Kepulauan Tukang Besi (Kalaotoa, Larampa, dan Bonerato), dan (4) Wolio dan Laiyolo. Namun, dalam penelitian tersebut, kajian secara khusus bahasa Wakatobi beserta dialek-dialeknya tidak dibicarakan. Namun, Yatim (1981:1) meragukan pembagian kelompok bahasa Muna-Butung yang dilakukan oleh Esser. Adapun Donohue

(12)

(1999:6) menganggab bahwa penelitian Esser tidak substansial pada bahasa Wakatobi/Tukang Besi.

Kaseng, et al. (1991) melakukan penelitian mengenai bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara dengan judul ―Pemetaan Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara‖. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk memetakan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan metode leksikostatistik dan teori yang lazim digunakan dalam linguistik historis komparatif, tetapi tidak secara merata/lengkap. Selain itu, penelitian tersebut hanya bersifat kuantitatif dan universal terhadap seluruh bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Tenggara, serta hanya terbatas pada 200 kata Swadesh. Bahkan, penelitian itu hanya melibatkan isolek Wanci sebagai representatif dari bahasa Wakatobi dan tidak menyinggung dialek-dialek yang lainnya. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa ada 20 isolek yang masuk kategori bahasa di Sulawesi Tenggara.

Donohue (1999) telah melakukan penelitian yang cukup lengkap mengenai struktur bahasa Wakatobi, yang disebutnya sebagai bahasa Tukang Besi atau Kepulauan Tukang Besi dalam disertasinya berjudul ―The Tukang Besi Language of Southeast Sulawesi, Indonesia. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis aspek tatabahasa Bahasa Wakatobi (Tukang Besi), yang meliputi aspek fonologi, kata, morfologi, frase, klausa, sintaksis, bahkan tindak tutur, pivot, dan hubungan gramatikal. Walaupun penelitian tersebut merupakan kajian struktural yang bersifat deskriptif kualitatif dan tidak menganalisis variasi-variasi bahasa Wakatobi, terdapat banyak informasi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam penelitian ini, khususnya terkait dengan

(13)

analisis aspek fonologi bahasa Wakatobi. Donohue (1999:9) juga sependapat dengan hasil penelitian SIL bahwa ada dua kelompok bahasa Wakatobi, yaitu bahasa Tukang Besi Utara dan bahasa Tukang Besi Selatan. Menurut Donohue (1999:9), perbedaan kedua kelompok bahasa tersebut dapat dilihat pada aspek leksikon dan alofonnya. Selain itu, Donohue menyebutkan bahwa Wanci merupakan salah satu dialek bahasa Wakatobi/Tukang Besi yang terdiri atas lima subdialek, yaitu Rupu, Wanse, Kapota, Mandati, dan Lia. Terkait dengan aspek fonologi bahasa Wakatobi dalam penelitian tersebut, ada beberapa informasi yang dijadikan sebagai data pembanding dengan penelitian ini, seperti deskripsi fonem, bunyi-bunyi unik, proses fonotaktiks variabel, dan morfo-fonologi.

Lauder, et al. (2000) juga pernah melakukan penelitian yang berjudul ―Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia: Provinsi Sulawesi Tenggara‖. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui jumlah dan tingkat kekerabatan bahasa-bahasa tersebut. Penelitian Lauder, et al. ini menggunakan 200 kata dasar swadesh, 888 kosakata budaya dasar, 62 frase, dan 41 kalimat sederhana, dan hanya bersifat kuantitatif. Selain itu, penelitian tersebut menggunakan metode leksikostatistik dan dialektometri. Hasil perhitungan leksikostatistik menunjukan bahwa terdapat 12 bahasa daerah di Sulawesi Tenggara. Hasil perhitungan dialektometri diketahui bahwa bahasa Pulo yang sekarang dikenal dengan bahasa Wakatobi dapat dikelompokan dalam 4 dialek, yaitu Pulo Kapota, Tomia, Kaledupa, dan Binongko.

Marafad, et al. (2001) juga telah melakukan penelitian yang berjudul ―Pengelompokan Genetis Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara‖. Tujuan

(14)

penelitian tersebut pada dasarnya juga bertujuan untuk mengelompokan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara, dan melakukan rekonstruksi bahasa-bahasa asal. Penelitian itu menggunakan metode sinkomparatif dan diakomparatif (Lass, 1969:15) dengan masing-masing menggunakan metode agih dan metode leksikostatistik dalam kajian linguistik historis komparatif (LHK). Teori yang digunakan dalam analisis data yaitu teori-teori yang berhubungan dengan kajian LHK, seperti adanya perubahan bunyi bahasa, retensi, inovasi, dan korespondensi. Namun, penelitian itu hanya memfokuskan pada beberapa bahasa saja di Sulawesi Tenggara. Dalam artian, penelitian tersebut hanya diuraikan secara genetis dan sepintas mengenai hubungan-hubungan antarbahasa di Sulawesi Tenggara dan tidak menyinggung hubungan antardialek, khususnya dialek-dialek dalam bahasa Wakatobi sebagai salah satu bahasa di Sulawesi Tenggara dengan variasi dialek yang sangat banyak dan populasi penduduk yang cukup besar. Instrumen yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu 200 kata Swadesh sebagai data awal dan 1645 kata Holle untuk keperluan data lanjutan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ada dua kelompok bahasa di Sulawesi Tenggara, yaitu kelompok Bungku-Tolaki, yang beranggotakan bahasa Wawonii, Kulisusu, Morunene, dan Tolaki, dengan kelompok Muna-Buton yang beranggotakan bahasa Bosowa, Kambowo, Muna, Wolio, CiaCia, dan Wakatobi. Penelitian tersebut juga memperlihatkan adanya hubungan keseasalan kelompok bahasa Wawonii, Kulisusu, Moronene, Tolaki, Bosowa, Kambowa, Muna, Ciacia, dan Wakatobi dengan Proto Austronesia (PAN).

(15)

SIL (2006), Kantor Bahasa Sultra (2006), dan Pusat Bahasa (2008) juga telah memberikan deskripsi mengenai hubungan bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara, termasuk bahasa Tukang Besi (Wakatobi). SIL (2006) pernah melakukan penelitian berjudul ―Bahasa-Bahasa di Indonesia‖. Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui jumlah bahasa dan dialek di Indonesia, termasuk tingkat kekerabatannya. Penelitian tersebut menggunakan metode leksikostatistik yang diawali dengan menanyakan langsung ke masyarakat yang didatangi mengenai nama bahasa masyarakat tersebut. Salah satu hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ada 2 bahasa di Wakatobi yaitu bahasa Wakatobi Utara dan Wakatobi Selatan. Bahasa Wakatobi utara/Tukang Besi Utara terdiri atas dialek Wanci dan Kaledupa, dan bahasa Wakatobi Selatan/Tukang Besi Selatan terdiri atas dialek Tomia dan Binongko.

Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara (2006) juga pernah melakukan penelitian berjudul ―Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Sulawesi Tenggara‖. Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk membuat analisis jumlah bahasa, dialek, atau subdialek yang terdapat di Sulawesi Tenggara, serta analisis hubungan kekerabatan antarbahasa-bahasa daerah tersebut. Penelitian tersebut menggunakan metode leksikostatistik dengan teori yang lazim digunakan dalam kajian perbandingan bahasa. Salah satu hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada 8 kelompok isolek yang berstatus sebagai bahasa tersendiri di Sulawesi Tenggara. Kemudian, Pusat bahasa (2008: 89) juga melakukan penelitian berjudul ―Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia‖ dengan tujuan untuk mengetahui jumlah bahasa dan dialek/subdialek yang ada di

(16)

Indonesia. Penelitian tersebut menggunakan metode dialektometri dengan teori yang lazim digunakan dalam dialektologi tradisional. Selain itu, penelitian tersebut hanya berupa statistik atau bersifat kuantitatif. Sala satu hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa perbedaan isolek yang digunakan antarkeempat daerah di Wakatobi berada dalam kategori beda subdialek, yaitu berkisar 33-45%.

Semua penelitian yang dikemukakan di atas merupakan kajian perbandingan bahasa atau linguistik historis komparatif, yakni penelusuran kekerabatan bahasa yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan ini, yakni kajian dialektologi, kecuali penelitian Lauder, et al. (2000) yang menggabungkan kajian linguistik historis komparatif dan dialektologi, dan penelitian Pusat Bahasa (2008) yang menggunakan kajian dialektologi tradisional. Namun, kajian Lauder, et al. (2000) lebih memfokuskan pada analisis kuantitatif, sehingga analisis variasi fonologis baik yang bersifat teratur maupun sporadis, kaidah-kaidah fonologis, penyusunan bentuk asal dan turunan, serta penyusunan berkas isoglos masih kurang mendapat perhatian. Demikian pula, Pusat Bahasa lebih memfokuskan pada analisis kuantitatif dan hanya menerapkan teori dialektologi tradisional.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Donohue (1999) sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya juga berbeda dengan penelitian ini. Penelitian Donohue lebih menfokuskan pada dialek Wanci, khususnya subdialek Rupu (Donohue, 1999:1 dan 532), sedangkan penelitian ini meliputi seluruh dialek bahasa Wakatobi. Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisi variasi fonologis baik yang bersifat teratur maupun sporadis, serta penyusuan bentuk asal dan turunan, yang tidak ditemukan dalam penelitian Donohue. Selain itu, data

(17)

penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian Donohue. Donohue (1995:1) mengambil data dari cerita-cerita tradisional dan percakapan yang direkamnya dari informan, sedangkan penelitian ini menggunakan daftar sejumlah kosakata dan frase.

Semua penelitian yang dikemukakan di atas berbeda dengan penelitian yang dikerjakan ini karena penelitian-penelitian tersebut belum mengkaji bahasa Wakatobi secara lengkap sebagaimana lazimnya langkah-langkah penelitian dialektologi dan hanya terbatas pada pemanfaatan teori dialektologi tradisional. Adapun penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian dialektologi bahasa Wakatobi dengan menerapkan prosedur dan langkah-langkah dalam kajian dialektologi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan menerapkan teori dialektologi generatif dan tradisional. Walaupun penelitian-penelitian tersebut belum melakukan penelitian dialektologi dalam bahasa Wakatobi secara lengkap, penelitian-penelitian tersebut juga memberikan konstribusi dalam penelitian ini terkait dengan informasi situasi kebahasaan di Sulawesi Tenggara, khususnya bahasa Wakatobi. Oleh karena itu, penelusuran daftar pustaka mengenai kajian-kajian bahasa Wakatobi yang pernah dilakukan merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam penelitian ini.

Hal-hal yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka ini menunjukkan bahwa penelitian-penelitian tersebut hanya menggunakan hasil perhitungan leksikostatistik atau dialektometri dalam pengelompokan variasi-variasi dalam bahasa Wakatobi. Dalam kajian dialektologi, hasil analisis kuantitatif masih dianggap belum memadai jika tanpa adanya dukungan analisi kualitatif. Dengan

(18)

kata lain, belum ditemukan literatur yang mengkaji atau menyinggung variasi-variasi bahasa Wakatobi berdasarkan penggabungan kajian dialektologi generatif dan tradisional, khususnya melalui deskripsi dan analisis secara kualitatif.

2.2 Konsep

Ada sejumlah konsep yang perlu untuk dijelaskan dalam penelitian ini sehingga diperoleh pemahaman yang sama tentang konsep tersebut. Konsep-konsep yang dimaksud adalah (1) variasi bahasa; (2) dialek, subdialek, dan isolek; (3) isoglos; (4) bentuk asal dan bentuk turunan; (5) ciri pembeda; dan (6) peta bahasa sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

2.2.1 Variasi Bahasa

Variasi merupakan sifat hakiki dari setiap sistem linguistik; baik secara sintopik maupun diatopik, dan tidak ada bahasa yang homogen tanpa variasi (Grijns, 1976:2). Pada dasarnya, variasi bahasa mengarah pada ragam-ragam bahasa. Variasi bahasa tersebut diabstraksikan dalam sebuah peta bahasa dengan bantuan lambang-lambang atau sistem tertentu dan garis isoglos yang menyatukan persamaan, serta heteroglos yang memisahkan perbedaan variasi bahasa tersebut.

Menurut Halliday (2001:184), variasi bahasa dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu dialek dan register. Dialek merupakan variasi bahasa yang terjadi disebabkan oleh perbedaan berdasarkan pemakai/penutur bahasa, sedangkan register adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan pemakaiannya. Adapun, Kridalaksana (1980:12-13) menyatakan bahwa variasi bahasa juga ditentukan oleh faktor waktu, faktor tempat, faktor sosioliguistik, dan

(19)

faktor situasi. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke masa. Variasi regional membedakan bahasa yang dipakai di suatu tempat dengan yang ada di tempat lain. Variasi sosio kultural membedakan bahasa yang dipakai suatu kelompok sosial dari kelompok sosial yang lain. Variasi situasional timbul karena pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi tertentu.

Variasi bahasa yang dimaksudkan dalam penelitian ini ada dua, yaitu variasi elemen kebahasaan dan variasi tingkat perbedaan dalam bahasa. Variasi elemen kebahasaan yaitu variasi fonologis dan variasi leksikal bahasa Wakatobi. Adapun, variasi tingkat perbedaan dalam bahasa, yaitu tingkat bahasa, dialek, subdialek, wicara, dan tidak beda.

2.2.2 Dialek, Subdialek, dan Isolek/Lek

Istilah dialek yang bersaal dari kata bahasa Yunani, dialektos pada mulanya hanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya (Ayatrohaedi, 1979: 1). Meillet (1967: 69) mencirikan dialek sebagai seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dengan mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Dari ciri tersebut dapat dipahami bahwa dialek adalah variasi bahasa, khususnya variasi di bawah tingkatan bahasa. Adapun Putra (2007:32) menyebutkan bahwa dialek merupakan variasi bahasa yang terjadi disebabkan oleh perbedaan pemakai/penutur bahasa. Dialek dalam pengertian yang lebih luas diartikan sebagai varietas yang tidak saja ditentukan berdasarkan perhitungan dialektometri, tetapi juga untuk semua varietas intrabahasa tanpa mempersoalkan

(20)

apakah derajat kebervariasiannya secara dialektometris, telah mencapai tahap dialek atau belum (Dhanawaty, 2002:29). Sebuah bahasa terkadang terdiri atas beberapa dialek. Perbedaan variasi dalam tataran dialek lebih sedikit dibandingkan dengan perbedaan variasi pada tataran bahasa. Dalam kajian dialektometri, bahasa dan dialek memiliki jarak persentase yang berbeda, yaitu 81-100% (beda bahasa) dan 51-80% (beda dialek) (Guiter, 1973 dalam Ayatrohaedi, 1979: 31).

Sebuah bahasa dapat terdiri atas beberapa dialek. Sebuah dialek terkadang terdiri atas beberapa subdialek. Perbedaan variasi bahasa dalam tataran subdialek lebih sedikit dibandingkan dengan perbedaan variasi bahasa pada tataran dialek. Dalam kajian dialektometri, dialek dan subdialek memiliki jarak persentase yang berbeda, yaitu 51-80% (beda dialek) dan 31-50% (beda subdialek) (Guiter, 1973 dalam Ayatrohaedi, 1979: 31).

Istilah isolek mengacu pada suatu bentuk tanpa memperhatikan statusnya, baik sebagai bahasa atau sebagai dialek (Hudson, 1970: 302-303). Dari pengertian ini, isolek/lek merupakan istilah yang digunakan untuk sesuatu yang belum jelas statusnya, apakah sebagai tingkatan bahasa, dialek, subdialek, atau pun wicara. Dengan kata lain, istilah isolek merupakan istilah netral yang dapat digunakan untuk menunjuk pada bahasa, dialek, subdialek, atau wicara. Penggunaan istilah isolek karena adanya perbedaan pendapat para peneliti sebelumnya tentang status variasi bahasa Wakatobi yang terdiri atas Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa keempat variasi tersebut berada pada tataran dialek, sedangkan peneliti lainnya menyebutkannya pada tataran

(21)

bahasa, dan bahkan subdialek. Oleh karena itu, ketika disebutkan isolek-isolek bahasa Wakatobi, hal itu memiliki beberapa makna, yaitu bahasa Wakatobi, dialek-dialek bahasa Wakatobi, termasuk subdialek-subdialeknya atau wicara-wicaranya.

2.2.3 Isoglos

Pada umumnya, orang beranggapan bahwa suatu bahasa amat erat hubungannya dengan keadaan alam, suku, dan keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan (Ayatrohaedi, 1979:5). Oleh karena itu, di dalam usaha menentukan batas-batas pemakaian suatu bahasa pun, hal itu didasarkan pada kenyataan-kenyataan tersebut. Alat bantu yang sangat penting dalam kajian geografi dialek ialah isogloss atau (garis) watas kata, yaitu (garis) yang memisahkan setiap gejala bahasa dari dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan pada peta bahasa (Dubois, dkk, 1973). Garis atau watas kata yang kadang juga disebut heteroglos (Kurath, 1972) itu sebenarnya adalah garis imajinari yang dibuat oleh para peneliti kajian geografi dialek berdasarkan berian yang diterimanya di lapangan. Istilah yang berbeda ini muncul karena cara pandang yang berbeda. Isoglos digunakan untuk menyatukan persamaan, sedangkan heteroglos digunakan untuk memisahkan perbedaan variasi bahasa.

Chambers dan Peter (1980:112) selanjutnya memperkenalkan istilah tingkatan isoglos. Tingkatan isoglos digambarkan berdasarkan tingkat struktur linguistik, yang meliputi isoglos leksikal dan isoglos pelafalan (Chambers dan

(22)

Peter, 1980:113). Isoglos leksikal menggambarkan perbandingan dalam aspek kata yang digunakan oleh penutur yang berbeda untuk menyifatkan objek atau tindakan yang sama. Adapun isoglos pelafalan/pengucapan yang kadang dianggap selalu bersama dengan isoglos leksikal. Namun, isoglos pelafalan ini lebih memfokuskan pada bunyi-bunyi fonem pada kata yang sama atau mirip dengan makna yang sama pula.

Isoglos dalam penelitian ini digunakan dalam pembuatan peta bahasa Wakatobi, baik untuk memisahkan berian-berian yang berbeda secara fonologis maupun yang berbeda secara leksikal. Isogloss memiliki bentuk yang beranekaragam yang disesuaikan dengan tujuan pembuatannya, sehingga berian-berian yang sama atau berbeda, baik secara fonologis maupun leksikal dapat terlihat dengan jelas.

2.2.4 Bentuk Asal dan Bentuk Turunan

Penelitian ini yang juga melibatkan penelusuran bentuk asal (BA), maka konsep bentuk asal dan turunan (BT) perlu untuk diuraikan, terlebih lagi penelitian ini menggunakan kajian dialektologi generatif. Dalam kajian dialektologi generatif diterapkan konsep ciri pembeda sebagai unit bahasa terkecil yang menggunakan transkripsi fonetik. Analisis suatu bahasa secara generatif melibatkan penentuan bentuk asal dari suatu morfem dan pernyataan kaidah yang menghubungkan dengan bentuk turunannya sebagai gambaran fonetiknya (Putra, 2007:37). Hal ini, menunjukkan bahwa kaidah fonologis yang telah dibuat dapat menghubungkan bentuk asal dan bentuk turunannya.

(23)

Bentuk asal dapat agak berbeda dari bentuk turunan, yaitu boleh lebih abstrak daripada bentuk turunannya. Dalam bentuk yang abstrak, bentuk asal memperlihatkan keteraturan struktur yang tidak selalu terlihat dalam bentuk turunan. Schane (1973: 82) menyatakan bahwa, jika ada bentuk yang berselang-seling dari suatu morfem dan ada kaidah-kaidah yang dapat dinyatakan bagi kejadian varian-varian itu, maka morfem itu mempunyai satu bentuk asal yang khas.

Bentuk asal dalam penelitian ini merupakan bentuk dasar atau bentuk pertama yang menurunkan satu atau beberapa bentuk turunan. Dengan kata lain, bentuk turunan merupakan bentuk yang diturunkan dari bentuk asalnya. Penentuan bentuk asal dan turunan dalam bahasa Wakatobi memperhatikan beberapa kriteria para ahli dan proses perubahan bunyi bahasa yang umum dan wajar terjadi dalam bahasa tersebut. Hal ini dijelaskan secara lebih mendetail pada landasan teori.

2.2.5 Ciri Pembeda

Ciri pembeda adalah unsur terkecil dari bahasa. Adapun fonem digambarkan sebagai kumpulan ciri pembeda yang tidak memiliki status linguistik tertentu. Ciri-ciri pembeda dapat mendeskripsikan ciri-ciri fonetik secara artikulatoris karena mengacu kepada bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh titik artikulasi tertentu (anterior dan koronal); bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh artikulator (tinggi, rendah, belakang, bulat); sementara secara akustik karena melibatkan tingkat kenyaringan suatu bunyi, seperti sonoran dan obstruen (Pastika, 1990: 19).

(24)

Dalam menggambarkan ciri pembeda dapat digunakan sistem biner, yaitu tanda (+) dan tanda (-). Sistem biner ini digunakan untuk memperlihatkan ciri-ciri yang memperlhatkan sifat-sifat yang berlawanan (apakah sifat itu ada atau tidak). Jika sifat itu ada, maka diberi tanda (+); dan jika sifat itu tidak ada, maka diberi tanda (-). Sifat-sifat yang berlawanan tersebut, seperti bersuara dan tak bersuara, atau bunyi nasal dan oral.

Schane (1973: 20) mengelompokan ciri-ciri pembeda menjadi 7 macam, yaitu: (1) ciri-ciri golongan utama: silabis, sonoran, dan konsonantal; (2) ciri-ciri cara artikulasi: malar, pelesapan tak bersuara, kasar, nasal, dan lateral; (3) ciri-ciri tempat artikulasi: anterior dan koronal; (4) ciri-ciri punggung lidah: tinggi, rendah, belakang; (5) ciri-ciri bentuk bibir: bulat dan tidak bulat; (6) ciri-ciri prosodi; dan (7) ciri-ciri tambahan: tegang dan bersuara. Dalam mendeskripsikan cirri pembeda bahasa Wakatobi digunakan acuan pengelompokan yang disarankan oleh Schane di atas.

2.2.6 Peta Bahasa

Salah satu alat bantu utama untuk bidang ilmu dialektologi adalah peta bahasa. Peta bahasa dapat membantu para ahli dialektologi untuk melakukan analisis karena peta bahasa dengan jelas menampilkan visualisasi distribusi variasi bahasa secara spasial. Isoglos adalah garis imajiner yang telah diterangkan di atas yang digunakan dalam peta bahasa. Apabila puluhan atau ratusan peta bahasa yang sudah dibubuhi isoglos ditumpuk menjadi satu, maka menjadi sebuah berkas isoglos. Alur garis-garis berkas isoglos yang dominan merupakan alat bantu untuk

(25)

menganalisis dan menginterpretasikan distribusi gejala kebahasaan secara spasial. Adapun konsep isoglos dan heteroglos telah dijelaskan pada subbagian di atas.

Pemetaan sebagaimana disinggung sebelumnya sangat penting dalam menampilkan gejala kebahasaan. Artinya, pemetaan dan kajian geografi dialek merupakan suatu kesatuan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Ayatrohaedi (1985:31–32) berpandangan bahwa peta bahasa atau peta dialek merupakan alat bantu untuk menggambarkan kenyataan yang terdapat dalam dialek-dialek, baik itu persamaan maupun perbedaan di antara dialek-dialek tersebut. Sejalan dengan itu, penulis berpandangan bahwa pemetaan dialek harus selalu diawali dengan pendeskripsian dialek atau ciri-ciri dialek sebagaimana ditunjukkan oleh tradisi awal penelitian dialektologi yang dilakukan Gillieron dan Wenker. Hal ini, diakui pula oleh Saussure (1988:332–333) bahwa penelitian ciri-ciri dialek adalah titik tolak usaha memetakan bahasa.

Peta bahasa bisa berupa peta peragaan (display maps) dan peta tafsiran (interpretive maps). Peta peragaan sungguh-sungguh mentransfer jawaban tertabulasi untuk masalah tertentu ke atas peta dan meletakkan tabulasi ke perspektif geografis. Peta tafsiran mencoba membuat pernyataan yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi utama dari satu daerah ke daerah lain (Chambers dan Peter Trudgill, 1980:29). Peta peragaan dapat dibedakan dari peta tafsiran. Misalnya, pada peta tafsiran terdapat garis isoglos yang menunjukkan variasi-variasi utama, sedangkan pada peta peragaan tidak. Pada peta tafsiran varian-varian dikelompokkan berdasarkan etimonnya. Kedua jenis peta ini biasanya terdapat bersama-sama, peta tafsiran mengikuti peta peragaan.

(26)

Walaupun bukan merupakan tujuan utama, pembuatan peta menjadi penting untuk penelitian yang dilakukan selain memberikan gambaran perspektif geografis terhadap data yang diteliti, juga bisa menjadi sumber untuk penelitian lainnya atau menjadi sumber informasi yang berkaitan dengan distribusi unsur kebudayaan atau unsur kesenian tertentu.

Peta bahasa dalam penelitian ini meliputi peta semua berian bahasa Wakatobi, baik yang berbeda secara fonologis maupun leksikal. Terkait dengan pembuatan peta berkas isogloss, penelitian ini hanya menfokuskan pada variasi fonologis yang bersifat teratur dan variasi leksikal, baik per medan makna maupun keseluruhan medan makna. Peta bahasa juga menampilkan hasil perhitungan dialektometri dan pengelompokan bahasa Wakatobi.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori dialektologi generatif dan dialektologi tradisional. Penerapan kedua teori itu disesuaikan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Deskripsi dan analisis variasi fonologis, serta proses dan kaidah fonologis menggunakan teori dialektologi generatif, yaitu teori fonologi generatif. Deskripsi dan analisis variasi leksikal menggunakan teori dialektologi tradisional. Pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan berkas isoglos dan metode dialektometri menggunakan teori dialektologi generatif dan tradisional. Sebelum menguraikan penggunaan setiap teori tersebut dipandang perlu untuk memaparkan secara ringkas kedua teori dimaksud. Hal ini dilakukan karena kajian dialektologi atau dialek geografi tidak dapat terpisahkan dari fenomena perubahan bahasa.

(27)

Bahasa merupakan sesuatu yang sifatnya senantiasa berubah-ubah sehubungan dengan perubahan-perubahan yang ada di sekelilingnya, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Dengan kata lain, perubahan bahasa itu adalah suatu fenomena yang bersifat umum dan dapat berlaku pada bahasa apa saja di dunia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Crowley (2010:23) dan Chambers dan Peter Trudgill (1980:37) bahwa semua bahasa dapat berubah dari masa ke masa dengan berbagai cara yang mirip dan pantas untuk ditelaah. Hal senada juga disampaikan oleh Guiraud (1970) bahwa anasir kebahasaan yang berbeda-beda selalu terbentuk dari masa ke masa (Ayatrohaedi, 1979: 3).

Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini, teori dialektologi generatif digunakan untuk mendeskripsikan variasi fonologis, penelusuran bentuk asal dan bentuk turunan, dan pembuatan berkas isoglos secara fonologis, sedangkan teori dialektologi tradisional digunakan untuk mendeskripsikan variasi leksikal dan pembuatan berkas isoglos dan dialektometri secara leksikal. Kedua teori tersebut digunakan dalam menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. Berikut ini adalah rincian teori dialektologi tradisional, struktural, dan generatif. Uraian dialektologi struktural perlu dilakukan untuk mengetahui perkembangan teori dialektologi yang berawal dari dialektologi tradisional sampai pada dialektologi generatif.

Dialektologi sebagai cabang linguistik selalu bertumpu pada konsep-konsep yang dikembangkan dalam linguistik. Konsep-konsep-konsep yang dimaksud berkaitan dengan konsep-konsep yang digunakan dalam bidang-bidang kajian linguistik (umum) seperti konsep fonem, alofon untuk bidang fonologi atau

(28)

konsep fitur distingtif untuk fonologi generatif, konsep-konsep morfologi, morfem, alomorfemis, morfofonemis, dan termasuk juga bidang sintaksis. Konsep-konsep kebahasaan tersebut dimanfaatkan di antara daerah pengamatan dalam penelitian mengenai deskripsi ciri-ciri kebahasaan yang menjadi penanda atau pembeda antara dialek/subdialek yang satu dengan lainnya dalam bahasa yang diteliti.

Kajian dialektologi dapat dilakukan, baik secara sinkronis maupun diakronis. Adapun penelitian ini hanya menggunakan analisis dialektologi sinkronis. Dialektologi sinkronis dalam penelitian ini menggunakan prinsip yang telah disebutkan oleh Mahsun (1995), yakni sebagai berikut.

Beberapa hal yang menjadi telaah sinkronis, yaitu: (a) pendeskripsian perbedaan unsur-unsur kebahasaan (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik); (b) pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda; (c) penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek; dan (d) membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek melalui pendeskripsian unsur-unsur kebahasaan yang ada (Mahsun, 1995:13-14).

Salah satu cara untuk mengetahui tingkat perbedaan dari setiap variasi bahasa dalam kajian dialektologi yaitu dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode dialektometri. Metode dialektometri yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada tingkat perbedaan variasi bahasa yang ditetapkan oleh Guiter dan Crowley. Guiter (1973, dalam Ayatrohaedi, 1979:31) dan Crowley (2010:139) memberikan tingkat perbedaan variasi-variasi bahasa yang dibandingkan secara dialektometri sebagaimana pada tabel 2 berikut.

(29)

Tabel 2

Perbedaan Variasi-Variasi Bahasa

Tingkat Perbedaan Jarak Kosakata (%)

Perbedaan bahasa 81-100

Perbedaan dialek 51-80

Perbedaan subdialek 31-50

Perbedaa wicara 21-30

Tidak ada perbedaan 0-20

Munculnya teori-teori baru dalam bidang tata bahasa juga menandai berkembangnya kajian dialektologi di samping masuknya berbagai disiplin ilmu dalam kajian tersebut. Teori tata bahasa struktural yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan teori tata bahasa generatif oleh Noam Chomsky melahirkan dua jenis kajian dalam dialektologi: dialektologi struktural dan dialektologi generatif. Adapun penelitian ini hanya menggunakan dialektologi tradisional dan generatif dalam penganalisian data. Namun, ketiga jenis dialektologi tersebut (tradisional, struktural, dan generatif) perlu untuk disebutkan sebagaimana uraian di bawah ini.

Teori dialektologi tradisional digunakan untuk menganalisis variasi leksikal bahasa dan pembuatan berkas isoglos dan dialektometri secara leksikal. Teori ini beranggapan bahwa setiap kata memiliki sejarahnya masing-masing. Pada dasarnya, dialektologi tradisional merupakan dialektologi yang paling awal diterapkan dalam mengkaji variasi-variasi bahasa yang diakibatkan faktor geografis atau wilayah penutur. Adapun Chambers dan Peter Trudgill (1980:207) memunculkan istilah geolinguistik sebagai alternatif bagi dialektologi tradisional akibat konsep yang terkandung di dalam dialektologi, dalam perkembangan berikutnya, mengalami penyempitan. Istilah tersebut diusulkan dengan munculnya

(30)

metode baru dalam penanganan dialektologi, yakni dialektologi perkotaan yang dipelopori William Labov.

Dialektologi tradisional merupakan cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Dubois et al. dalam Ayatrohaedi, 1985:29). Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa dialektologi tradisional merupakan kajian linguistik yang berobjek dialek regional atau dialek geografis. Selain itu, dialektologi tradisional beranggapan bahwa semua perbedaan antarvariasi bahasa memiliki sifat dasar yang sama atau perbedaan tersebut diperlakukan sama pentingnya. Dialektologi tradisional mengabaikan perbedaan fonologis dan morfologis, dan hanya lebih memfokuskan pada kontras leksikal. Dalam dialektologi tradisional banyak perhatian telah diberikan pada variasi intrasistemik. Alam dan manusia dianggap berpotensi menjelaskan lokasi batas dialek sebagai hasil dari divergensi dialek.

Adanya sejumlah kritikan pada dialektologi tradisional, maka munculah dialektologi struktural. Weinreich (1954) menegaskan bahwa tidak semua perbedaan antardialek memiliki sifat dasar yang sama. Setiap dialek mempunyai sistem kebahasaan tersendiri termasuk pada bagian aspek perbedaan-perbedaan fonologi atau fonetik. Adapun Deutsch (1980:119-120) mengatakan bahwa dialektologi struktural adalah sebuah pendekatan yang menguji ciri-ciri dialek dalam kaitannya dengan sistem-sistem kebahasaan dari dialek-dialek tersebut. Menurut Weinreich (1954) dalam artikelnya ―Is a Structural Dialectology Possible‖ mengatakan bahwa tugas dialektologi struktural adalah meneliti di

(31)

dalam satu rangka sistem-sistem bahasa yang pada satu pihak merupakan sistem tersendiri dan pada pihak lain menunjukkan kesamaaan dalam bagian-bagian setiap sistem itu.

Salah satu hal yang membedakan teori dialektologi struktural dan tradisional yaitu dialektologi struktural membedakan segala jenis fonetik sesuai dengan pengaruhnya pada struktur fonologi dari dialek-dialek yang khusus, sedangkan dialektologi tradisional menganggap semua perbedaan antardaerah titik pengamatan diperlakukan sama pentingnnya. Perbedaan lainnya adalah dialektologi tradisional, misalnya, lebih memperhatikan kontras leksikal, sedangkan dialektologi struktural lebih menekankan pada fonologi (Petyt, 1980: 171; dan Chambers dan Peter Trudgill, 1980:37-46). Dialektologi struktural telah mampu menginventarisasi perbedaan variasi dalam suatu bahasa. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan generalisasinya, terlebih bila penelitian melibatkan lebih dari dua variasi bahasa. Adapun penjelasan tersebut dapat diungkap dengan dialektologi generatif.

Penelitian ini menggunakan teori dialektologi generatif, tentunya mengarah pada teori fonologi generatif, yakni sebagai subbidang teori bahasa yang dikenal sebagai tatabahasa generatif transformasi. Dengan kata lain, teori dialektologi generatif ini menerapkan gagasan teori linguistik generatif, yakni teori Tata Bahasa Generatif Transformasional (TGT). Dalam TGT, komponen fonologi digunakan untuk memproses struktur lahir sehingga menghasilkan gambaran fonetik (Pastika, 1990:9). Dengan demikian, semua unsur atau gambaran fonetik secara geografis dapat digambarkan dengan jelas. Oleh karena

(32)

itu, teori ini sangat bermanfaat dalam mendeskripsikan variasi fonologis bahasa Wakatobi.

Chomsky (1965:16—17) membedakan tiga komponen utama dalam tata bahasa generatif. Ketiga komponen itu adalah komponen sintaksis (syntactic component), komponen fonologi (phonological component), dan komponen semantik (semantik component). Di antara komponen itu, komponen sintaksis merupakan komponen sentral, sedangkan komponen fonologi dan komponen semantik bersifat interpretatif (Kenstowich dan Charles Kosseberth, 1978:2-7; dan Putra, 2007:41). Setiap komponen itu memuat kaidah, yakni komponen sintaksis memuat kaidah-kaidah sintaksis yang berkaitan dengan pembentukan kalimat; komponen fonologi mengandung kaidah-kaidah fonologis yang berhubungan dengan pelafalan; sedangkan komponen semantik memuat kaidah-kaidah semantik yang berkaitan dengan makna.

Dialektologi generatif adalah kajian tentang berbagai dialek yang menerapkan kerangka teori transformasi generatif yang meliputi bentuk dalaman dan bentuk permukaan. Perbedaan dari dialek-dialek yang dikaji adalah hasil dari pelaksanaan rumus fonologi ke atas bentuk dalaman ini. Oleh karena itu, bahasa sumber itu dianggap sebagai bentuk dalaman dan dialek-dialek turunannya dianggap sebagai representase permukaannya. Dialektologi generatif menafsirkan perubahan itu sebagai kesan daripada pelaksanaan rumus fonologi.

Chambers dan Peter Trudgill (1980:41) menyebutkan bahwa dialektologi generatif menerapkan konsep dan temuan-temuan dari tata bahasa generatif transformasional yang digagas Noam Chomsky, terutama fonologi generatif

(33)

dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan membandingkan variasi bahasa atau dialek yang diteliti. Terdapat dua tahap pendekatan dalam fonologi generatif, yaitu bentuk dasar sebagai bentuk-bentuk leksikal yang terdaftar dalam kosakata, dan kaidah-kaidah fonologis yang mengubah bentuk dasar ke bentuk yang diucapkan oleh penutur asli. Hal ini menunjukkan bahwa fonologi generatif meyakini perwujudan bentuk-bentuk dalam berbagai variasi penggantian dalam suatu variasi bahasa, seperti bunyi tertentu dalam sebuah kata berubah ketika kata tersebut dalam keadaan-keadaan tertentu.

Teori dialektologi generatif, khususnya fonologi generatif difokuskan untuk mengkaji variasi fonologis bahasa Wakatobi, dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya keanekaragaman variasi fonologis tersebut. Berdasarkan variasi fonologis tersebut ditelusuri perubahan bentuk turunan dari bentuk asalnya dengan menerapkan prinsip-prinsip teori generatif, yaitu (1) adanya struktur lahir dan struktur batin yang diaplikasikan pada BT dari BA; (2) unit bunyi bahasa terkecil bukan fonem, melainkan ciri pembeda; (3) perubahan bunyi disebabkan tidak hanya oleh perubahan bunyi bahasa, tetapi oleh perbatasan morfem dan kata; (4) adanya kaidah-kaidah berurutan di samping kaidah-kaidah fonologis tertentu (Schane, 1973).

Lebih jauh, kajian dialektologi generatif terkait dengan bentuk asal, penelitian ini menggunakan beberapa kriteria dalam menentukan bentuk asal, seperti yang disarankan oleh Ahmad (1993:68—71), yaitu (a) keselarasan pola, (b) kesederhanaan, (c) keteramalan, (d) kealamiahan, (e) frekuensi, dan (f) kriteria sintaksis atau keintian. Putra (2007:37-38) kemudian memberikan perbedaan yang

(34)

cukup jelas mengenai kriteria-kriteria di atas. Kriteria keselarasan pola merupakan pola yang jelas memberi petunjuk untuk menafsirkan pola bunyi yang belum jelas. Hal ini sangat terkait dengan kesemetrian suatu pola tertentu. Kesederhanaan merupakan kriteria yang mengacu pada konsep ekonomis, yakni semakin sedikit kaidah yang digunakan untuk menerangkan suatu varian semakin besar kemungkinan menjadi bentuk asal. Adapun kriteria keteramalan mencakupi pemilihan kaidah yang mampu meramalkan dengan tepat secara fonologis tentang proses perubahan bentuk suatu varian. Kaidah yang dikemukakan untuk menjelaskan perubahan-perubahan bentuk varian haruslah bersifat alamiah merupakan penjelasan kriteria kealamiahan. Kealamiahan juga mengandung maksud kewajaran perubahan-perubahan bentuk fonologis. Kriteria frekuensi adalah kadar kemunculannya dalam pemakaian dan luas lingkungan fonetiknya. Terakhir, kriteria sintaksis atau keintian digunakan apabila kriteria tersebut di atas tidak dapat memecahkan penentuan bentuk asal. Keintian maksudnya suatu bentuk yang dipakai dalam kalimat inti memiliki kemungkinan yang lebih besar sebagai bentuk asal daripada bentuk yang dipakai dalam kalimat transformasi. Selain itu, dalam penentuan bentuk asal juga diperhatikan kriteria yang disarankan oleh Schane (1992:63) bahwa kebanyakan proses fonologis dapat dijelaskan sebagai gejala artikulatoris dan perseptual. Asimilasi merupakan proses perubahan fonologis dari segi koartikulatsi. Gejala artikulatoris sangat terkait dengan kemudahan dalam pengucapan. Terkait dengan gejala perseptual, vokal bertekanan lebih kuat daripada vokal tak bertekanan, sehingga perubahan

(35)

cenderung dari vokal bertekanan ke vokal tak bertekanan, atau dari vokal tak bertekanan ke vokal pepet (Schane, 1992:63).

Berdasarkan keterangan di atas, teori fonologi generatif dapat dimanfaatkan untuk menelusuri bentuk asal dari suatu ungkapan ke dalam bentuk turunan, yang sesuai dengan sifat-sifat fonetik yang diramalkan. Hal ini juga didasarkan pada konsep dasar fonologi generatif, yaitu setiap morfem memiliki satu bentuk dasar di dalam bentuk asalnya, sekalipun boleh memiliki lebih dari satu bentuk fonetik. Pastika (1990:12) menegaskan bahwa semua varian morfem yang terjadi dalam lingkungan yang berbeda dapat diderivasikan dari bentuk asalnya dengan kaidah-kaidah fonologis. Selain itu, perlu ditambahkan bahwa dalam menghadapi morfem-morfem yang berselang-seling secara fonologis, harus dapat ditentukan kaidah-kaidah yang paling wajar, yang dapat diterapkan sehingga penentuan bentuk asal dan bentuk turunan yang biasanya memiliki lebih dari satu bentuk fonetik menjadi wajar pula.

Schane (1973:74-75) mengemukakan bahwa konsep bentuk asal (BA) yang digunakan dalam fonologi generatif didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu (1) jika suatu morfem yang bervariasi digambarkan dengan satu BA, maka seorang peneliti telah memberikan suatu bentuk khas kepada suatu morfem yang khas pula; (2) kaidah-kaidah yang mengubah BA menjadi BT-lah yang menandai dengan tegas proses-proses suatu bahasa; dan (3) BT-lah yang langsung mengemukakan beberapa perwujudan morfem yang fonetis (Pastika, 1990: 1). Berdasarkan pernyataan ini, jika suatu morfem tidak digambarkan dengan khas,

(36)

maka semua varian harus didaftarkan satu per satu dalam leksikon dengan suatu pernyataan mengenai distribusinya.

Dialektologi generatif membangun pendekatan ini dan menangani atau mengkaji perbedaan antardialek dengan cara yang sama seperti perbedaan-perbedaan fonologi dan morfologi di antara bentuk-bentuk yang ada (Chambers dan Peter Trudgill (1980:46). Atas asumsi dasar tatabahasa generatif yang ―dua unsur itu berbeda‖ (Parera, 1991:84), dialektologi generatif menilai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam suatu dialek yang berhubungan dapat dijelaskan melalui suatu bentuk dasar. Perbedaan tersebut dapat berupa kaidah fonologis yang diterapkan pada bentuk dasar dan/atau lingkungan diterapkannya kaidah (Chambers dan Peter Trudgill (1980:46).

Penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam dialektologi generatif. Adapun prinsip-prinsip tersebut yang diterapkan dalam penelitian ini, yaitu (1) memilah bunyi bahasa Wakatobi, khususnya variasi fonologis, (2) mengidentifikasikan bunyi dan fonem bahasa Wakatobi, (3) mengidentifikasikan karakter segmen dalam ciri pembeda, (4) memilah variasi fonologis bahasa Wakatobi yang muncul akibat adanya konvergensi dan divergensi, dan (5) menelusuri bentuk turunan yang merupakan variasi yang muncul dari bentuk asal.

Berdasarkan keterangan di atas, cara kerja teori dialektologi generatif dalam penelitian ini, yaitu menelusuri dan mengidentifikasi bunyi dan fonem bahasa Wakatobi, mengidentifikasi dan menganalis ciri-ciri pembeda dari setiap fonem tersebut, dan mendeskripsikan dan menganalisis variasi fonologis baik yang bersifat teratur maupun parsial. Hasil variasi fonologis tersebut dijadikan

(37)

acuan dalam penyusunan bentuk asal dan bentuk turunan dengan memperhatikan proses dan kaidah-kaidah fonologis yang dianggap paling wajar.

2.4 Model Penelitian

Atas dasar abstraksi dan sistesis rumusan permasalahan dan tujuan penelitian disusun rumusan model penelitian. Model penelitian dibuat untuk memudahkan peneliti membentuk suatu alur pikir yang sistematis. Rumusan ini memberikan arahan pokok masalah dan tujuan penelitian berdasarkan teori dan metode yang digunakan. Hal ini, membantu menjelaskan kajian yang ingin dikerjakan. Model ini menjadi dasar pijakan dalam menganalisis data kebahasaan Wakatobi, sehingga semua pokok permasalahan dapat tergambar dengan jelas. Model ini juga menjadi pegangan peneliti dalam menghubungkan tujuan, teori, dan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, model penelitian sangat diperlukan bagi peneliti, baik sebelum penelitian, saat penelitian, maupun saat penganalisaan data. Berikut ini adalah model penelitian yang disusun berdasarkan tahapan-tahapan penelitian, sehingga dapat diperoleh hasil sesuai dengan yang diinginkan dalam tujuan penelitian.

(38)

Bagan 1 Model Penelitian Keterangan:

Tujuan penelitian saling berhubungan untuk menghasilkan temuan penelitian.

Metode dan teori yang digunakan secara bersama untuk mendeskripsikan dan menganalisis tujuan penelitian.

Menggambarkan atau menghasilkan. Saling berhubungan.

Metode Agih dan Padan Dialektologi Tradisional dan Generatif Deskripsi dan variasi fonologis, serta proses dan kaidah fonologis bahasa Wakatobi Variasi leksikal bahasa Wakatobi Pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan berkas isoglos dan metode dialektometri

Temuan Penelitian

DIALEK GEOGRAFI BAHASA WAKATOBI DI LEPAS PANTAI SULAWESI TENGGARA

Dialektologi Generatif

Metode Agih dan Padan

Data

Metode Berkas Isoglos dan Dialektometri

Dialektologi Tradisional

(39)

Penjelasan Bagan

Penelitian berjudul ―Dialek Geografi Bahasa Wakatobi di Lepas Pantai Sulawesi Tenggara‖ memiliki empat tujuan penting yang ingin dicapai. Keempat tujuan tersebut terkait dengan: (1) deskripsi dan variasi fonologis bahasa Wakatobi; (2) proses dan kaidah fonologis bahasa Wakatobi; (3) variasi leksikal bahasa Wakatobi; dan (4) pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan berkas isoglos dan metode dialektometri. Dengan teori dan metode yang lazim digunakan dalam dialektologi/dialek geografi dicermati data penelitian berupa bahasa Wakatobi (kosakata dan frase), sehingga diperoleh pengklasifikasian data untuk dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.

Secara khusus, penelitian bahasa Wakatobi melibatkan dua jenis data, yaitu data kosakata dan frase yang diperoleh dari hasil penyimakan dan wawancara kepada informan. Lebih jauh, deskripsi dan variasi fonologis sebagai tujuan pertama, serta proses dan kaidah fonologis sebagai tujuan kedua penelitian ini dianalisis menggunakan teori dalam generatif. Adapun tujuan ketiga, yaitu variasi leksikal bahasa Wakatobi dianalisis menggunakan teori dialektologi tradisional. Walaupun demikian, dalam penerapan dialektologi tradisional, penelitian ini tidak menganalisis atau mendeskripsikan sejarah kata, tetapi hanya mendeskripsikan variasi-variasi leksikal yang terjadi pada setiap titik pengamatan di Wakatobi. Artinya, penelitian ini tidak sepenuhnya menerapkan prinsip dialektologi tradisional. Tujuan keempat, pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan metode berkas isoglos dan dialektometri digunakan teori dialektologi tradisional dan generatif. Metode agih dan padan digunakan untuk menganalisis variasi fonologis dan leksikal bahasa Wakatobi. Sebagai kesimpulan, data

(40)

penelitian dianalisis, baik secara kuantitatif (dialektometri) maupun kualitatif (deskripsi dan variasi fonologis, proses dan kaidah fonologis, variasi leksikal, dan peta bahasa/berkas isoglos). Oleh karena itu, analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai aspek fonologis dan leksikal bahasa Wakatobi, serta pengelompokan bahasa Wakatobi.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasan (2003) menyimpulkan bahwa kegiatan promosi hotel adalah bentuk kegiatan komunikasi pemasaran yang dilakukan pengelola hotel untuk menyebarkan

Teori struktural digunakan untuk membedah unsur-unsur yang berkaitan dalam karya sastra, dan teori fungsi guna melihat fungsi yang terdapat dalam karya sastra yang telah

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian eksperimen yang berbasis metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dua kelas VIII

Penelitian terdahulu menggunakan teori Linguistik Kebudayaan dan Etnografi Komunikasi sebagai landasannya untuk mengkaji bentuk, fungsi, dan makna, sedangkan

Teori MSA digunakan dalam mengkaji struktur semantik verba ujaran bahasa Bali dengan membatasinya menggunakan teknik parafrasa sedangkan teori peran umum (macro- role)

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan menggunakan beberapa teori dalam mengungkapkan bentuk dan makna ornamen yang terdapat pada benda-benda

Penelitian Warami menggunakan teori ekolinguistik yang dipertegas dengan memaparkan (1) prinsip dasar ekolinguistik yang terdiri atas tiga komponen, yaitu ideologi,

(2) Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Dipandang dari dimensi geografi, perubahan atau perbedaan yang disebut variasi ada yang terjadi