• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut. penjajahan hukum belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut. penjajahan hukum belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Negara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan bangsa Indonesia itu pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut sekaligus terkandung di dalamnya pernyataan untuk merdeka dari bayang-bayang penjajahan hukum belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia, di samping merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan yang luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Salah satu wujud keinginan yang luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas ditandai dengan membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Dengan demikian keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan tersebut bukan hanya sekedar menjadi keinginan berkehidupan kebangsaan yang bebas tetapi berkehidupan yang bebas dalam keteraturan dan dalam suasana tertib hukum, apalagi di era reformasi seperti saat ini.

Reformasi di Indonesia ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, yang akhirnya membawa dampak perubahan dan pembaharuan hampir disegala bidang tata kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dibidang hukum dilaksanakan dengan mengganti

(2)

produk-produk hukum yang dinilai bersifat represif dan otoriter dengan produk hukum yang lebih demokratis dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Apabila ditelisik lebih jauh, sebenarnya keinginan dan usaha pembaharuan hukum di Indonesia sudah di mulai sejak lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 tentunya tidak boleh dilepaskan dari landasan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila’. Inilah garis kebijakan sekaligus tujuan pembaharuan hukum di Indonesia.5

Pembaharuan hukum di Indonesia salah satunya melingkupi pembaharuan hukum militer, di dalam hukum militer telah dilakukan usaha-usaha memperbaharui seperti di dalam hukum disiplin militer yang semula dipakai Kitab Undang-Undang Hukum Disipilin Militer yang merupakan terjemahan dari Wetboek Van krijgstucht Voor Nederlands Indie (Staatblad 1924 Nomor 168) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947, dan selanjutnya dengan dikeluarnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, ketentuan Wetboek Van krijgstucht Voor Nederlands Indie dinyatakan tidak berlaku. Demikian juga pembaharuan dibidang hukum acara pidana militer dan Peradilan Tata Usaha Militer dengan produk hukum perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

5

Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hlm 1.

(3)

Militer, dan pembaharuan hukum pelaksanaan pidana Strafvollstreckungsgesetz, sedangkan hukum pidana substantif terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).

Hingga kini masih digunakan KUHPM yang merupakan terjemahan dari Wetboek Van Militair Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (staatsblad. 1934 Nomor 167) yang merupakan kitab undang-undang warisan Pemerintah Hindia Belanda dahulu yang berlaku untuk KNIL yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.6

Lahirnya peradilan militer tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang telah melahirkan keamanan bagi bangsa dan negara yakni TNI dengan rakyat bersatu padu mengusir penjajah dari bumi Indonesia meskipun telah banyak menelan korban para pahlawan perintis kemerdekaan yang gugur sebagai patriot, pahlawan heroik dengan gagah perkasa, berani menentang maut, sebagai bukti kecintaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia meski harus berkorban jiwa dan raganya.7

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau disebut juga militer adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri

6

Marjoto, 1958, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara Serta Komentar-komentarnya, Politea, Bogor, hlm 6.

7

(4)

dalam dinas keprajuritan yang dalam pengertian umum Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.8

Dalam hal kedudukannya di depan hukum, Tentara Nasional Indonesia atau sering juga disebut militer mempunyai kedudukan yang sama dengan warga negara yang lain, artinya sama-sama tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku dinegara baik hukum perdata, hukum acara perdata, hukum pidana, maupun hukum acara pidana. Akan tetapi pada Tentara Nasional Indonesia dalam pengaturan hukum pidana dan hukum acara pidana mempunyai aturan hukum serta alat perlengkapan hukum tersendiri. Dengan demikian anggota Tentara Nasional Indonesia sebagai warga negara Indonesia tunduk pada ketentuan hukum pidana militer yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dan hukum acara pidana militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer diatur mengenai hukum pidana militer yang dalam pengertiannya adalah bagian dari hukum positif yang berlaku bagi subyek peradilan militer yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana, yang menentukan hal apa dan bilamana pelanggarnya dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan menentukan juga cara

8

(5)

penuntutan, penjatuhan pidana, dan pelaksanaan pidana demi tercapainya keadilan dan ketertiban hukum.9

Untuk ikut mendorong terciptanya suatu angkatan bersenjata atau dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kuat dan solid diperlukan suatu hukum khusus dan peradilan yang tersendiri terpisah dari peradilan umum.10 Proses penegakan hukum pidana militer sebagai suatu wacana dalam masyarakat menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai komentar dan pendapat baik yang berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan masyarakat selalu menghiasi media massa yang ada di negeri ini. Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya kinerja sistem dan peradilan militer yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.11 Oleh karena itu Masyarakat berkehendak agar dilakukannya reformasi dalam bidang peradilan militer.

Masyarakat yang menghendaki agar diadakan reformasi dalam peradilan militer terutama mengenai yuridiksinya melontarkan argumen sebagai berikut:12

1. Pelaksanaan persidangan di lingkungan peradilan militer saat ini banyak diwarnai dengan intervensi dari pejabat di lingkungan TNI, sehingga dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat;

2. Sesuai dengan asas kesamaan didepan hukum, maka antara orang sipil dan prajurit militer yang melakukan tindak pidana umum harus sama

9

S.R. Sianturi,1985, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni, Jakarta, hlm 18.

10

S.Sarwo Edy, Bekerjanya Peradilan Militer studi di lingkungan peradilan militer(tesis) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1999, hlm4.

11

Suara Pembaharuan ,Pengadaan alutsista TNI harus transparan,jakarta, 31 maret 2002, hlm11.

12

Dwiyono, TNI Diadili di Peradilan Umum. Siapa Takut ?, Forum Hukum Volume: 3, 2006, hlm41.

(6)

perlakuan di depan hukum sehingga prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum;

3. Terdapat kecenderungan para komandan selalu membela atau melindungi anak buahnya yang melakukan tindak pidana umum apalagi yg korbannya berasal dari pihak sipil;

4. Proses peradilan di lingkungan peradilan militer dinilai “sangat tertutup” sehingga sulit bagi masyarakat umum untuk memantau perkembangan penyelesaian perkara pidana yang korbannya orang umum atau sipil, sehingga masyarakat yang menjadi korban kejahatan sering kali tidak mengetahui penyelesaiannya.

Kasus yang belum lama ini terjadi yang menyita perhatian publik mengenai yurisdiksi peradilan militer ini yakni kasus penembakan dan pembantaian sadis yang dilakukan oleh beberapa anggota militer Komando Pasukan Khusus (KOPASUS) terhadap beberapa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta. Dalam kasus ini masyarakat secara umum menginginkan para tersangka dibawa atau diadili di peradilan umum. Menurut Hendardi, pilihan TNI yang membawa 11 pelaku penyerbuan lembaga pemasyarakatan Cebongan ke peradilan militer tetap tidak akan sepenuhnya memenuhi rasa keadilan publik.13

Kasus atau permasalahan lainnya yang akhir-akhir ini mencuat yakni mengenai perdebatan tentang bisa atau tidaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk ke dalam tubuh TNI dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi di dalam tubuh TNI.

13

Hendardi, “Peradilan Militer Tidak Akuntabel, Penyerang LP Cebongan Harus Diadili Di Peradilan Umum”,Suara Pembaruan.com.http://suarapembaruan.com/TNI-Pelaku-Pidana-Umum-Jangan-Lagi-Diadil-di-Pengadilan-Militer.html diakses pada 28 oktober 2013.

(7)

Menurut Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti dan Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo :

Selama ini KPK enggan mengusut korupsi di tubuh TNI. Salah satu contoh adalah kasus cek pelawat di mana ada sejumlah anggota DPR yang mantan anggota Fraksi TNI-Polri yang diduga menerima aliran dana terkait pemenangan Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Mereka tidak dipidana di pengadilan umum, namun dikembalikan ke korpsnya untuk di disiplinkan berdasarkan undang-undangnya sendiri. Selanjutnya Menurut Adnan, yang diperlukan saat ini adalah ketegasan dan keberanian dalam mengusut perwira TNI yang diduga memiliki keterlibatan korupsi. Jika KPK sepenuhnya dalam upaya membersihkan semua lembaga negara dari korupsi, seharusnya TNI pun diupayakan untuk diusut. LanjutAdnan mengatakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 memang menghambat upaya pemberantasan korupsi di tubuh militer atau TNI.14

Berbicara mengenai peradilan pidana militer tidak terlepas dari sejarah atau perkembangan historis peradilan militer itu sendiri. Sejak Republik Indonesia berdiri hingga lahirnya redefenisi dan reposisi TNI-POLRI menurut ketetapan MPR NO.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR NO.VII/MPR/2000 tentang Peran dan Tugas Tni dan Polri, sudah terhitung beberapa kali terjadi pasang surut dalam hal mendesain peradilan militer itu sendiri. Redefinisi dan reposisi TNI dan POLRI yang terjadi di Indonesia juga mencakup bidang peradilan yang berlaku bagi keduanya. Selama ini semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dan POLRI, baik tindak pidana militer (military offenses) maupun umum (civil offenses), diproses melalui peradilan militer.15

14

Media Indonesia “Jangan Ragu Bidik TNI”, http://mediaindonesia.com/DPR KPK Jangan Ragu Bidik TNI_Indonesia Media Online.htm diakses 28 Oktober 2013

15

Mohammad Fajrul Falaakh, Sistem Peradilan Bagi Polisi dan Militer, jurnal Hukum, Universtias Gadjah Mada, yogyakarta, 2001, hlm1.

(8)

Kompetensi peradilan militer telah mengalami perkembangan, baik menyangkut susunan peradilan, wewenang mengadili, subyek yang diperiksa, maupun jenis perkaranya.16 Kompetensi peradilan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan wilayah kerjanya (kompetensi relatif) dan kompetensi yang merupakan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara berkaitan dengan subyek atau jenis perkara yang diperiksa (kompetensi absolut).

Kompetensi peradilan militer mempunyai perkembangan tersendiri, sesuai dengan kebutuhan dalam memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat atau dalam rangka menyesuaikan dengan situasi politik kenegaraan yang berkembang saat itu.17

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang hingga saat ini masih berlaku, kompetensi absolut peradilan militer yaitu berwenang mengadili perkara tindak pidana militer maupun tindak pidana umum yang pelakunya adalah anggota militer atau pada saat tindak pidana dilakukan pelakunya berstatus militer aktif.18 Hal ini bisa di lihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pasal 9 ayat (1)yang berbunyi :

Pengadilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:19

16

Paul Sudiyono, Kemandirian Penegak Hukum Militer dalam Sistem Hukum Indonesia,Makalah, 2012, hlm 6.

17

Soegiri dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer Di Negara Republik Indonesia, CV Indra Djaja, jakarta, 1976 hlm6-7.

18

Dwiyono, Op.Cit, hlm36.

19

(9)

a. Prajurit;

b.yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang

dipersamakan atau dianggap sebagai Prajuritberdasarkan undang-undang;

d.seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglimadengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilanmiliter”.

Jadi sudah sangat jelas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 ini melingkupi segala jenis tindak pidana yang pelakunya adalah anggota militer. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 ini memang dimaksudkan agar penegakan hukum dan keadilan dalam lingkungan militer sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakimanyang pada pasal 1 menyatakan :

Kekuasaan Kehakiman, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia.20

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”.21 Namun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ini sudah harus dilakukan perubahan, karena ada beberapa ketentuan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, salah satunya mengenai yurisdiksi peradilan militer yang pada masa yang akan datang yang nantinya hanya

20

Lihat Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

21

(10)

mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana militer saja, tetapi perubahan undang-undang ini tak kunjung selesai atau terwujud sampai saat ini.

Sebagai suatu sistem, kinerja peradilan militer berada pada titik yang buruk. Berbagai keluhan dari masyarakat pun muncul berkaitan dengan tidak transparan dan akuntabelnya peradilan militer. Bahkan produk hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menjadi dasar acuan kompetensi peradilan militer sudah banyak dan sering dikritik agar dilakukan perubahan, karena seperti yang sudah dibahas sebelumnya tuntutan masyarakat dan perkembangan sosial masyarakat yang menginginkan anggota militer yang melakukan tindak pidana umum agar dibawa ke peradilan umum dan tidak perlu lagi dibawa ke peradilan militer, hal ini sebagai bentuk krisis kepercayaan masyarakat terhadap bekerjanya peradilan militer. Namun kiranya keinginan masyarakat itu masih sulit untuk direalisasi karena terbentur ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menjadi dasar anggota militer yang melakukan tindak pidana umum atau tindak pidana korupsi tetap dibawa ke ranah peradilan militer.

Sudarto mengatakan seperti yang dikutip oleh Barda nawawi Arif, bahwa:

Politik kriminal dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.22

22

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Semarang, hlm 1.

(11)

Melihat arah garis politik kriminal kita sebenarnya sudah jelas mempunyai niat untuk melakukan perubahan dalam hal menarik anggota militer yang melakukan tindak pidana umum untuk diadili dalam peradilan umum, hal ini bisa dilihat dimulai dengan dikeluarkannya ketetapan MPR NO.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik, dan Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik.

Di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 ada ketentuan pasal 3 ayat (4) huruf a yang mengatakan “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.23

Arah politik hukum atau kebijakan para perumus kebijakan untuk membawa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum ke rana peradilan umum sesuai dengan keinginan masyarakat semakin jelas dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang didalam Undang-undang ini dengan ketentuan pasal 65 ayat (2) yang berbunyi “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.24

23

Lihat Dalam Pasal 3 ayat (4) Tap MPR NO.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI-POLRI

24

Lihat Dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

(12)

Namun kiranya dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ini terdapat keganjilan dimana ketentuan pasal 65 ayat (2) bisa diterapkan dengan ada pengecualian yaitu syarat berlaku ketentuan pasal 65 ayat (2) yang tertuang dalam ketentuan peralihannya yakni pada pasal 74 ayat (1) dan (2) yang mengisyaratkan ketentuan pasal 65 ayat (2) bisa berlaku jika telah dibuat undang-undang baru yang menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Apabila sampai saat ini undang-undang baru pengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 belum dibuat maka mengenai kompetensi peradilan masih menganut ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tersebut yang dimana anggota militer apapun tindak pidana yang dilakukan baik itu tindak pidana militer ataupun tindak pidana umum, masih berada dalam yuridiksi peradilan militer.

Sampai saat ini Rancangan Undang (RUU) pengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 belum kunjung selesai, karena terdapat tolak-tarik yang alot dalam tahap pembahasannya antara pihak legislatif dan eksekutif. Muncul pertanyaan selanjutnya sebenarnya garis arah politik untuk membawa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi ke peradilan umum seperti yang tercantum di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mau diteruskan ataukah tidak. Dalam artian tetap menggunakan paradigma TNI yang melakukan apapun tindak pidananya tetap di bawah yusisdiksi peradilan militer, karena sampai saat ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 belum kunjung dilakuka revisi.

(13)

Bertolak dari pokok–pokok pikiran tersebut diatas, penelitian ini bermaksud menganalisis fenomena permasalahan yang diangkat sehingga menemukan kesimpulan atau jawaban terhadap fenomena permasalahan tersebut agar dapat memberikan pandangan yang bersumber dari kajian akademis sehingga bersifat kredibel dan akuntabel. Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap polemik hukum yang ada.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari penjelasan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan untuk diteliti adalah :

1. Mengapa sampai saat ini belum dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer?

2. Bagaimana kelanjutanarah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004? 3. Bagaimana seharusnya pengaturan penegakan hukum terhadap tindak

pidana yang melibatkan militer di masa yang akan datang ? B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

Penelitian ini secara objektif memiliki tujuan untuk mengetahui, menganalisis, menelaah, dan memahami alasan yang menyebabkan belum dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan bagaimana seharusnya pengaturan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang melibatkan militer di masa yang akan datang serta kelanjutan arah politik hukum pidananya.

(14)

2. Tujuan Subjektif

Penelitian ini secara subjektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis peneliti untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H.) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, lebih khusus bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana berkaitan dengan politik penegakan hukum pidana padaperadilan pidana militer

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi hukum, akademisi dan regulator dalam rangka menerapkan, mengembangkan dan membentuk hukum khususnya berhubungan dengan masalah politik hukum peradilan pidana yang melibatkan anggota militer. D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan terdapat beberapa karya tulis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi yang berkaitan dengan hukum pidana militer. Berikut beberapa karya tulis ilmiah yang penulis maksud.

(15)

Pertama, karya tulis ilmiah dengan judul “Bekerjanya Peradilan Militer (studi di lingkungan peradilan militer)”. Karya tulis ini merupakan tesis yang dibuat pada tahun 1999 oleh saudara S. Sarwo Edy, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu Bagaimanakah bekerjanya atau dijalankannya peradilan militer dan faktor-faktor apasajakah yang mempengaruhi bekerjanya peradilan militer ?. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik kesimpulan bahwa bekerjanya peradilan militer merupakan suatu kerja sistem peradilandengan adanya kedudukan Atasan Yang berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer, Oditur, dan pengadilan serta pemasyarakatan militer sebagai sub sistem-sub sistem dalam sistem yang besar yaitu sistem peradilan militer. Ada beberapa hal yang mempengaruhi bekerjanya peradilan militer dimulai dari sistem pemeriksaan oleh Mahkamah Militer seperti halnya pada peradilan umum adalah mengenai acara pemeriksaan biasa, cepat dan koneksitas. Satu hal yang tidak dijumpai pada peradilan umum adalah acara pemeriksaan khusus, yaitu acara pemeriksaan pada pengadilan militer pertempuran, yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran, dan putusan pengadilan pertempuran itu hanya dapat diupaya hukum kasasi. Selanjutnya adanya penggolongan kewenangan tiap-tiap pengadilan terhadap prajurit dengan kriteria kepangkatan seperti pengadilan militer berwenang mengadili prajurit paling tinggi berpangkat kapten, sedangkan bagi prajurit berpangkat perwira menengah ke atas merupakan kewenangan pengadilan

(16)

militer tinggi. Hal ini secara hakekat menunjukan diskriminasi perlakuan terhadap prajurit yang melakukan tindak pidana.

Kedua, karya tulis ilmiah dengan judul “Penyelesaian Perbedaan Pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan Oditur Militer Dalam Perkara Pidana Di Wilayah Hukum Pengadilan Yogyakarta”. Karya tulis ini merupakan skripsi yang dibuat pada tahun 2013 oleh saudara Andrie Gunawan Fakultas Hukum Universitas Gajah mada. Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu : (1) Apa pertimbangan perwira penyerah perkara dan oditur militer dalam menentukan penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI ?; (2) Bagaimana proses penyelesaian perbedaan pendapat antara perwira penyerah perkara dan oditur militer dalam perkara pidana di wilayah hukum pengadilan militer yogyakarta ?. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman antara Papera dan Oditur adalah sama. Jika ada perbedaan pendapat diantara keduanya, disebabkan adanya dua kewenangan. Oditur mempunyai kewenangan untuk merumuskan pasal-pasal apa saja yang telah dilanggar oleh tersangka dan menentukan penyelesaian dari perkara tersebut apakah akan diselesaikan melalui jalur pengadilan ataukah diselesaiakan melalui jalur luar pengadilan. Begitu pula Papera juga mempunyai wewenang untuk menentukan penyelesaian dari perkara pidana yang dilakukan oleh anggotanya. Apakah diselesaikan melalui jalur pengadilan ataukah melalui jalur luar pengadilan. Walaupun saran pendapat hukum Oditur hanya bersifat saran tetapi Oditur

(17)

dapat melakukan upaya hukum dengan membawa perbedaan pendapat ke Pengadilan Militer Utama. (2) Dalam prakteknya, pengadilan militer utama memutus semua perbedaan pendapat baik itu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun yang tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan Oditur, Oditur mengajukan permohonan disertai alasan-alasan kepada Perwira Penyerah Perkara agar perbedaan pendapat diputuskan oleh pengadilan militer utama.

Ketiga, karya tulis ilmiah dengan judul “Peradilan Militer di Bawah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (studi tentang kedudukan dan yurisdiksinya)”. Karya tulis ini merupakan disertasi yang dibuat pada tahun 2009 oleh saudara Tarsen Buaton Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Adapun rumusan masalahnya antara lain : (1) Bagaimanakah kedudukan dan yurisdiksi peradilan militer di Indonesia setelah ditetapkannya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ?; (2) Bagaimanakah kedudukan asas-asas militer yang merupakan bagian dari asas kesatuan komando ?; (3) Sistem Peradilan Militer yang bagaimanakah yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia ?. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Bahwa setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, yang sebelumnya sepenuhnya ada dibawah kendali Markas besar TNI, membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, terbebas dari campur tangan komando. (2) Bahwa

(18)

asas-asas peradilan militer yaitu asas komando, asas komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum atau Paperajuga tidak berlaku lagi atau peranannya akan berkurang. Dengan demikian, fungsi pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang dan ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. (3) Sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana berdasarkan Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tentangKekuasaan Kehakiman jo.Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dimana peradilan militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum bagi anggota militer.

Keempat, karya tulis ilmiah dengan judul “Kebijakan Legislatif Mengenai Hukum Pidana Militer di Indonesia”. Karya tulis ini merupakan tesis oleh Supriyadi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan latar belakang pemikiran eksistensi hukum pidana militer bagi anggota militer di Indonesia. Dalam kesimpulan tesis ini dinyatakan bahwa eksistensi hukum

(19)

pidana militer diperlukan untuk menjaga integritas anggota militer serta menjamin terlaksananya dan berhasilnya peran dan tugas militer.

Meskipun terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang hukum pidana militer, namun penelitian ini memiliki objek penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh penulis secara khusus mengkaji tentang politik penegakan hukum pada peradilan pidana militer yang mengambil fokus tentang alasan dibalik belum dilakukannya perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kelanjutan arah politik hukum pidana militer dan Ius constituendum pengaturan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang melibatkan militer, sehingga membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu atau penulisan karya ilmiah sebelumnya. Penelitian dengan objek yang sama belum pernah penulis temukan di Fakultas hukum Universitas Gadjah Mada maupun di tempat lain, setelah penulis melakukan penelusuran dan pengamatan.

Referensi

Dokumen terkait

pengaruh positif pendapatan perkapita (Y) terhadap permintaan kredit konsumsi di sumatera utara adalah elastis.Suku bunga tabungan (rD), jumlah kantor bank (N) dan

Kandungan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang terkait baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan

Permainan berdimensi ontologis. Seorang pemain tahu pasti bahwa yang dilakukan hanyalah permainan tapi dia bermain dengan begitu serius. Play itself contains its own, even

Observasi Vomiting (mual muntah) adalah pengeluaran isi lambung secara paksa melalui mulut disertai kontraksi

6.3.1 Sistem yang terbuka untuk seluruh pihak yang terkena dampak, harus menyelesaikan perselisihan dengan cara yang benar, tepat waktu dan efektif, serta menjamin anonimitas

Pada contoh Gambar 3.9 file data raster memiliki ekstensi .asc dan telah tergeoreferensi sehingga akan menempati lokasi yang benar dalam peta QGIS.. Apabila data raster

Dalam amanat konstitusi pada pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dinyatakan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan" Dalam