• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. konflik yang dapat mempengaruhi perdamaian dunia dewasa ini. Setelah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. konflik yang dapat mempengaruhi perdamaian dunia dewasa ini. Setelah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik Internasional seperti konflik antar-negara tidak lagi menjadi satu-satunya konflik yang dapat mempengaruhi perdamaian dunia dewasa ini. Setelah era Perang Dingin berakhir, konflik yang terjadi dalam sebuah negara (Internal Conflict) muncul di berbagai negara, terutama negara berkembang. Hal-hal yang memicu konflik sangat beragam dan kompleks, beberapa diantaranya seperti; ketidakharmonisan antar-suku, ras dan agama, pemerintahan yang otoriter, serta ketimpangan ekonomi. Konflik internal suatu negara tidak hanya mempengaruhi stabilitas pertahanan keamanan nasional dan mengancam kehidupan populasinya tetapi juga mempengaruhi dunia Internasional dalam praktik perdamaian dunia.

Ancaman terhadap populasi suatu negara akibat adanya konflik muncul dalam berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelanggran HAM. Isu HAM dalam wilayah konflik terus meluas seiring meningkatnya volume konflik. Akibatnya adalah kaum perempuan dan anak-anak banyak yang menjadi korban melalui kasus kekerasan seperti pemukulan, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan tindak kekerasan lainnya. Anak-anak dan kaum perempuan yang seharusnya diperhatikan dan dilindungi berbalik menjadi penargetan oleh pihak-pihak bertikai. Konflik internal yang mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM terus terjadi di beberapa negara di Dunia. Salah satunya yang paling rentan dengan konflik seperti ini adalah Republik Sudan.

(2)

2

Sudan merupakan negara yang terletak di Afrika Utara. Negara dengan beragam etnis, bahasa, dan agama ini memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1956 dari jajahan Mesir dan Inggris. Selama lebih dari empat dekade Sudan berada dalam beragam konflik bersenjata yang berdampak buruk bagi perkembangan politik, ekonomi dan sosial negaranya.1 Pada masa kini, Sudan menjadi ladang bagi maraknya konflik politik dan perang saudara. Salah satu konflik besar yang terjadi adalah konflik sipil di Darfur, sebuah wilayah yang terletak di bagian barat Sudan. Konflik Darfur merupakan produk dari serangkaian faktor yang kompleks, termasuk sengketa atas akses dan kontrol terhadap sumber daya alam, distribusi yang tidak merata dalam bidang ekonomi dan politik, militerisasi, dan perdagangan senjata ilegal.2

Kekerasan melebarluas dan menjadi bagian dari konflik. Dampaknya tidak hanya dirasakan pihak-pihak yang betikai tetapi pada penduduk yang ikut mengalami sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi mereka, terutama kaum perempuan. Dalam konflik yang berkepanjangan di Sudan, perempuan selalu ada dalam daftar korban konflik. Perempuan Sudan dianggap sebagai kunci bagi keberlangsungan hidup penduduknya maupun kelompok-kelompok etnis didalamnya. Menyerang mereka dapat dikatakan menyerang seluruh isi kelompok masyarakat atau etnis tertentu. Penyerangan terhadap perempuan dalam skala besar selama konflik inilah yang terjadi di Darfur. Konflik ini dipicu oleh kelompok-kelompok pemberontakan dari Darfur yang menuntut hak-hak politik dan ekonomi mereka terhadap pemerintahan pusat Sudan.

1

Idris, Amir. 2005. Conflict and Politics of Identity in Sudan . Palgrave Macmillan. New York. Hal 1

2

Flint, Julie. 2010. The Other War: Inter-Arab Conflict in Darfur. Small Arms Survey, Graduate Institute of International and Development Studies. Geneva, Switzerland. Hal 9

(3)

3

Konflik dan kekerasan di Darfur diawali oleh serangkaian serangan bersenjata dari kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice For Equality Movement (JEM) pada tahun 2003. Dua kelompok pemberontak yang didominasi oleh ras non-arab (Afrika) ini memiliki tujuan membangun “Sudan bersatu” dan menuntut keadilan dan kesetaraan di bidang sosial, politik dan ekonomi untuk seluruh warga Sudan terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama kepada pemerintah Sudan di Khartoum yang merupakan ras arab. Aksi pemberontakan yang dilancarkkan adalah penyerangan terhadap sejumlah pos polisi pemerintahan, serta beberapa bangunan yang merupakan fasilitas umum di Sudan.

Pemerintah Sudan merespon aksi pemberontakan tersebut dengan menggunakan milisi yang disebut Janjaweed. Janjaweed adalah milisi pemerintah yang tidak resmi berasal dari ras arab (nomaden) dan diperintahkan untuk memerangi kelompok pemberontak SLA dan JEM. Pada kenyataanya di lapangan, yang diperangi sebagian besar adalah warga sipil dari desa Fur, Mesalit, dan Zaghawa yang merupakan daerah asal kelompok pemberontak. Mereka menyerang dan menggusur tempat-tempat yang dianggap menjadi pusat berkumpulnya pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran bom-bom dari pesawat militer maupun helikopter. Sebagian milisi Janjaweed memasuki desa-desa dengan berjalan kaki, menunggangi kuda, dan mengendarai mobil, untuk menjarah penduduk desa-desa tersebut. Keadaan menjadi semakin buruk ketika milisi janjaweed melakukan penyiksaaan, pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap perempuan baik dewasa maupun yang masih dibawah umur untuk melemahkan kelompok pemberontak.

(4)

4

Aksi kekerasan oleh milisi Janjaweed terhadap perempuan menimbulkan dampak buruk terhadap kondisi perempuan di Darfur secara fisik dan psikologi. Luka fisik, Trauma berkepanjangan, depresi, dan ketakutan dialami oleh perempuan korban konflik Darfur, terutama yang bermukim di daerah-daerah asal pemberontak. Konflik ini berkembang dengan cepat dan terus menelan korban. Sejak dimulainya konflik pada tahun 2003 telah lebih dari 400.000 orang tewas, 3,5 juta orang mengalami bencana kelaparan hebat dan 2,5 juta orang mengungsi karena kekerasan yang terus meningkat.3

Meluaskan konflik serta tingginya angka kekerasan membuat kasus Darfur menjadi sorotan masyarakat Internasional. Tekanan dari luar negara Sudan agar konflik segera ditangani terus bergulir. PBB turut mengintervensi dengan menugaskan beberapa lembaganya untuk menjalankan misi perdamaian di Darfur. Dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya lembaga PBB yang berperan di Darfur adalah United Nations Development Fund for Women (UNIFEM).

UNIFEM adalah salah satu agen PBB yang didedikasikan untuk memajukan hak-hak perempuan dan mencapai kesetaraan gender. UNIFEM didirikan oleh Resolusi Majelis Umum PBB pada tahun 1976.4 Lembaga ini menyediakan bantuan keuangan dan teknis untuk program dan strategi inovatif yang mendorong pemberdayaan perempuan. UNIFEM bekerja pada premis bahwa

3

SUNY Oneonta. Instability & Conflict in Darfur, Sudan. Diakses dari situs

http://employees.oneonta.edu/allenth/IntroductoryGeographyTracyAllen/DarfurConflict Poster.pdf. tanggal 18 juni 2013

4

(5)

5

hak dasar setiap wanita adalah untuk hidup bebas dari diskriminasi dan kekerasan, dan bahwa kesetaraan gender adalah penting untuk mencapai pembangunan.

Dalam upaya mengurangi dan mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan di Darfur, UNIFEM merancang beberapa program dengan fokus terhadap berbagai isu-isu perempuan di wilayah tersebut. Kegiatan UNIFEM dijalankan melalui kemitraaan dengan Misi PBB di Darfur (UNAMID), polisi lokal, polisi relawan, LSM lokal, para pemimpin suku serta tokoh-tokoh masyarakat. Salah satu kegiatannya difokuskan untuk melatih perempuan korban konflik di kamp-kamp pengungsi untuk melindungi diri dari kekerasan seksual.5 Para wanita juga mendapatkan informasi di mana harus mencari dukungan medis serta langkah-langkah keselamatan untuk menghindari berbagai bentuk kekerasan. Melibatkan sejumlah perempuan dalam pembicaraan damai di Darfur untuk menyampaikan hak mereka juga merupakan salah satu program kerja UNIFEM. Hal itu dilakukan dengan harapan dapat mengurangi kekerasan yang dialami perempuan dan dapat menyuarakan perlindingan serta pemenuhan hak-hak mereka. Selain itu, UNIFEM juga menyoroti pemberdayaan perempuan pasca-konflik dalam bidang ekonomi.

UNIFEM merupakan satu-satunya lembaga Internasional yang mengangkat dan melakukan upaya positif terkait isu kekerasan terhadap perempuan pada konflik Darfur yang memanas sejak tahun 2003. Program dan kegiatan yang dijalankan memiliki fokus utama pada pemenuhan hak-hak perempuan dalam konflik serta perbaikan kondisi perempuan pasca konflik.

5

UN WOMAN, Afrika, UN Woman takes action, diambil dari situs

(6)

6

Sebagai sebuah wilayah yang rentan konflik, menjadikan Darfur terus mendapat sorotan dunia Internasional. Konflik Darfur tahun 2003 adalah salah satu konflik internal Sudan yang memiliki dampak kemanusiaan yang sangat buruk dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Sudan, terutama terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Tingginya angka kekerasan akibat konflik mengundang sejumlah reaksi dari lembaga Internasional terkait isu hak asasi manusia, salah satunya UNIFEM.

Berdasarkan uraian diatas, Penelitian ini berfokus pada peran UNIFEM dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Darfur terkait kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender yang terjadi di wilayah konflik, khususnya Darfur. Dimaksudkan untuk mengetahui seberapa signifikan lembaga Internasional seperti UNIFEM yang memiliki mandat memperjuangkan hak perempuan menangani permasalahan perempuan Darfur serta mengetahui hasil dan tanggapan masyarakat atas kegiatan UNIFEM di Darfur.

B. Rumusan Masalah

Konflik di Darfur yang dimulai pada tahun 2003 telah menimbulkan tragedi kemanusiaan dalam skala besar. Perempuan mengalami berbagai tindak kekerasan fisik dan mental yang merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Dalam merespon isu perempuan pada konflik Darfur, Organisasi kemanusiaan seperti UNIFEM yang merupakan organisasi dibawah naungan PBB telah menjalankan program-programnya di Darfur. Peran UNIFEM adalah dalam rangka perlindungan hak-hak perempuan dan mencegah meluasnya kekerasan terhadap perempuan sesuai mandat organisasinya.

(7)

7

Berdasarkan permasalahan ini maka pertanyaan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana peran UNIFEM dalam melindungi perempuan dari kekerasan dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai korban konflik Darfur? UpayaUNIFEM dalam hal ini adalah untuk menanggulangi dampak buruk bagi perempuan akibat konflik, serta mempromosikan pemenuhan hak-hak perempuan agar tidak terjadi kekerasan terhadap mereka di kemudian hari.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari pertanyaan penelitian ini adalah untuk menggambarkan kondisi konflik Darfur yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia khususnya perempuan, serta mengetahui bagaimana peran UNIFEM dalam upaya perlindungan perempuan dan menghentikan segala bentuk kekerasan yang menimpa mereka.

D. Studi Literatur

Fenomena kekerasan di wilayah konflik adalah hal yang lazim terjadi. Darfur merupakan wilayah yang telah sejak lama bergelut dalam konflik. Kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut seolah menjadi bagian dari setiap pertikaian. Tahun 2003 adalah tahun dimana Darfur menjadi sorotan dunia Internasional. Konflik yang mencuat antara kelompok pemberontak dan pemerintah ini menyebabkan tingginya angka pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Persoalan konflik Darfur telah dipaparkan oleh sejumlah peneliti dalam beberapa jurnal dengan menyoroti dinamika konflik darfur, isu pelanggaran HAM

(8)

8

terhadap perempuan, serta adanya peran Organisasi Internasional UNIFEM mananggapi isu kekerasan terhadap perempuan di Darfur.

Justin Wagner dalam penelitiannya “The Systematic Use Of Rape As A Tool Of War In Darfur: A Blueprint For International War Crimes Prosecutions”, telah memaparkan tentang adanya tindak kekerasan yang terjadi di Darfur. Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dilakukan oleh milisi Janjaweed terhadap warga sipil dengan menargetkan laki-laki, perempuan dan anak-anak tanpa pandang bulu.6 Misi Janjaweed yang awalnya adalah menumpas gerakan pemberontakan berubah menjadi penyerangan terhadap penduduk di desa-desa asal kelompok pemberontak. Perempuan yang bermukim di daerah tersebut mengalami bebagai tindak kekerasan seperti; Penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, pembunuhan dan kekerasan seksual lainnya. Pemerkosaan terhadap perempuan dan anak gadis sering digunakan sebagai strategi serangan Janjaweed terhadap kelompok pemberontak dalam konflik Darfur. Seperti yang terjadi di Tawila, salah satu desa di Darfur Utara, pasukan Janjaweed menyerang sebuah sekolah asrama yang menampung sekitar 110 anak perempuan, serta memperkosa sebagian dari mereka dan guru di sekolah tersebut. Pemerkosaan masal oleh pasukan Janjaweed ini dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan dan mempermalukan penduduk sipil. Tidak hanya kelompok pemberontak yang dimusuhi Janjaweed tetapi juga seluruh hal dianggap berhubungan dengan mereka ikut dihancurkan, sperti halnya rumah-rumah penduduk dan penduduk sipil yang ikut menjadi korban.

6

Wagner, Justin, 2005, The Systematic Use Of Rape As A Tool Of War In Darfur: A Blueprint For

(9)

9

Menyikapi sejumlah kekerasan akibat konflik, Pemerintah Pusat Sudan di Khartoum serta pihak-pihak yang bertikai telah mengupayakan pembicaraan damai. Meluasnya konflik dan dampak buruknya terhadap penduduk sipil mengundang perhatian dari dunia internasional. Lembaga internasional PBB juga turut menjalankan misi perdamaiannya di Darfur. Meskipun pada awalnya kehadiran PBB mengalami sejumlah penolakan dan hambatan, namun PBB pada akhirnya tetap melakukan intervensi kemanusian di Darfur lewat pembicaraan diplomatik dengan pemerintah Sudan dan menghasilkan kesepakatan terkait misi kemanusiaan PBB di Darfur.

Wilayah konflik dengan angka kekerasan terhadap perempuan yang tinggi merupakan salah satu target UNIFEM dalam menjalankan mandatnya. Berbagai program dirancang dan dibuat dengan menyoroti isu-isu perempuan dengan mempromosikan hak-hak mereka, melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender, serta mengupayakan keterlibatan perempuan dalam sektor publik agar dapat menyuarakan hak-hak mereka.

Jurnal “Gender based violence” yang ditulis oleh Claire M Renzetti. membahas tentang program dan strategi UNIFEM dalam upaya kepedulian terhadap hak-hak asasi perempuan.7 Pada 14 November 2004, UNIFEM mengumumkan penghargaan hibah kepada 17 kelompok perempuan di negara berkembang sebagai program untuk mengatasi kekerasan berbasis gender di wilayah konflik dan upaya pemulihan pasca-konflik. Selain itu, upaya

7

Renzetti, Claire M. 2005. Gender-Based Violence. The Lancet vol. 365. 9464. Elsevier Limited. London. United States. Diambil dari situs

http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/199026904?accountid=13771. Tanggal 27 juni 2013

(10)

10

peningkatkan akses perempuan terhadap layanan sosial selama rekonstruksi pasca konflik dan melatih perempuan untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian juga menjadi bagian dari program UNIFEM. Dana hibah yang disalurkan merupakan komitmen UNIFEM untuk menangani kekerasan terhadap perempuan selama konflik dan upaya pembangunan perempuan pasca-konflik. Statistik mereka menunjukkan bahwa sekitar 70% dari korban konflik terakhir adalah non-kombatan, dan sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Penggunaan “tubuh perempuan” sebagai strategi pertempuran bagi mereka yang menggunakan teror sebagai taktik perang masih terus terjadi. Perempuan mengalami sejumlah aksi kekerasan fisik dan mental karena dianggap paling lemah dan mudah ditaklukan.

Strategi pemberdayaan perempuan oleh UNIFEM juga dilakukan dengan mempromosikan keterlibatan perempuan dalam proses pembicaraan damai di wilayah yang berkonflik. Adanya peran perempuan dalam proses tersebut diharapkan dapat menyuarakan hak-hak mereka terkait upaya perlindungan dan pemenuhan. Persoalan partisipasi perempuan dalam proses perdamaian telah dibahas dalam berbagai resolusi dan perjanjian internasional. Pada tahun 1982, Majelis umum PBB telah mengeluarkan Resolusi 37/63 (Declaration on the Participation of Women in Promoting International Peace and Cooperation),8 yang menyerukan adanya upaya nasional maupun internasional untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perdamaian dan pembangunan, serta menyediakan kesempatan

8

Anderlini, Sanam Naraghi. 2000. Women at the Peace Table: Making a Difference. UNIFEM. Diakses dari situs http://www.unifem.org/materials/item_detailf6c8.pdf. Tanggal 27 juni 2013

(11)

11

praktis bagi partisipasi perempuan dalam mempromosikan perdamaian dan kerja sama internasional, pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial.

Thalif Dean dalam Rights: Women Out In The Cold At Peace Talks, mengatakan bahwa peran UNIFEM dalam upaya menempatkan perempuan dalam pembicaraan damai telah dilakukan di beberapa negara di kawasan Afrika, salah satunya adalah di Darfur. Penasehat UNIFEM Anne Marie Goetz, mengatakan bahwa resolusi dewan keamanan PBB 1325 yang diadopsi tahun 2000 dengan komitmen kesetaraan gender dalam mempertahankan dan mempromosikan perdamaian masih belum sepenuhnya diterapkan. Sangat sedikit perempuan yang terlibat dalam pembicaraan damai sebagai negosiator resmi atau pengamat.9 Proses Disarmament, Demobilization and Reintegration (DDR) yang membahas tentang kebutuhan perempuan terkait dengan pasukan perdamaian, perencanaan pasca-konflik serta pembiayaan untuk pemulihan perempuan masih tetap lemah. Dalam menanggapi hal ini UNIFEM berupaya menjalankan misinya melalui pengembangan kemampuan kelompok perempuan di Darfur dengan membuka konsultasi perdamaian nasional dengan wanita, serta memfasilitasi akses perempuan ke lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses perdamaian.

Melibatkan perempuan dalam pembicaraan damai juga dilakukan UNIFEM di Darfur. hal ini bertujuan agar pemerintah beserta petinggi-petinggi dalam pembicaraan tersebut mendengarkan keinginan perempuan, sebagai korban

9

Deen, Thalif. 2008. Rights: Women Out In The Cold At Peace Talks. Global Information Network. United States. Diakses dari

http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/457574882?accountid=13771. Tanggal 27 Juni 2013

(12)

12

dalam konflik. kegiatan UNIFEM dalam Upaya perlindungan perempuan dari tindak kekerasan adalah dengan memberikan penyuluhan kepada tokoh-tokoh masyarakat serta kelompok-kelompok perempuan akan pentingnya pemenuhan terhadap hak-hak mereka. Menyalurkan bantuan dana untuk membantu pemulihan perempuan pasca-konflik juga dapat memperbaiki kondisi perempuan terkait kehidupan ekonomi mereka. Konflik yang kompleks hingga tingginya angka kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia menjadi tantangan tersendiri dalam kerangka kerja UNIFEM di Darfur. Oleh sebab itu, partisipasi aktif dari berbagai pihak dalam masyarakat dan pemerintah untuk melindungi perempuan dapat membawa hasil yang positif bagi kehidupan perempuan selanjutnya.

Dari tulisan beberapa peneliti diatas, telah dijabarkan mengenai adanya program dan kegiatan UNIFEM menyoroti isu perempuan di wilayah konflik termasuk Darfur yang juga merupakan apa yang akan disampaikan dalam penelitian ini. Namun kasus yang diangkat lebih berfokus pada mempromosikan perempuan ke dalam lembaga-lembaga publik serta proses pembicaraan damai pada konflik, serta perencanaan pasca konflik yang terjadi di Kawasan Afrika secara keseluruhan. Sedangkan penelitian ini memiliki fokus pada peran UNIFEM terkait isu kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sebagai korban konflik yang terjadi di Darfur.

(13)

13 E. Kerangka Konseptual

I. Konsep Organisasi Internasional

Organisasi internasional dalam pengertian Michael Hass memiliki dua pengertian yaitu: pertama, sebagai suatu lembaga atau struktur yang mempunyai serangkaian aturan, anggota, jadwal, tempat, dan waktu pertemuan; kedua, organisasi internasional merupakan bagian-bagian yang menjadi satu kesatuan yang utuh dimana tidak ada aspek non-lembaga dalam istilah organisasi internasional tersebut.10 Tujuan dari organisasi internasional adalah mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan, sedangkan metode organisasi adalah untuk melangsukan koordinasi secara rutin dengan teknik pembagian tugas dan tugas khusus.11

Cheever dan Haviland mendeskripsikan Organisasi Internasional sebagai pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, yang umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala.12

Definisi organisasi internasional juga dijabarkan oleh Teuku May Rudy yang mengatakan organisasi internasional adalah:13

Suatu pola kerja sama yang melintasi batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan

10

Michael Hass dalam Anak Agung Banyu Perwita. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. Hal 93

11 Ibid 12

John Baylis & Steven Smith, 2001. The Globalization of World Politics; Second Edition, Oxford University Press Inc. New York.

13

(14)

14

melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non pemerintah pada negara yang berbeda.

Sebuah organisasi internasional yang fungsional tentu memiliki fungsi dalam menjalakan kegiatannya. Fungsi organisasi internasional menurut A. Le Roy Bennett dalam bukunya International Organizations: Principles and Issues, menjelaskan fungsi utama organisasi internasional adalah untuk menyediakan sarana kerjasama antar negara-negara, dimana kerjasama tersebut dapat menghasilkan keuntungan untuk semua atau sebagian besar negara. Selain itu Organisasi Internasional juga memiliki peran untuk menyediakan sarana berupa saluran komunikasi antar pemerintah sehingga ide-ide dapat bersatu ketika masalah muncul ke permukaan. Lebih lanjut ia menggolongkan Organisasi Internasional modern dalam dua kategori utama yaitu Inter-govermental Organization (IGO‟s) dan Non-Govermental Organization ( NGO‟s).14

Berdasarkan kategori organisasi internasional tersebut, UNIFEM merupakan Inter-govermental Organization (IGO). Berada di bawah naungan PBB, UNIFEM berdiri sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki ruang lingup melintasi batas negara, memiliki prioritas untuk mencapai misi-misinya, serta memiki struktur organisasi yang jelas. Dengan mandat menyoroti isu-isu perempuan di dunia, UNIFEM tidak terikat oleh negara manapun, sehingga kehadirannya tidak mengancam kedaulatan negara. Peran UNIFEM di wilayah dengan kasus keterbelakangan dan kekerasan terhadap perempuan yang

14

Le Roy A. Bennet,1997. International Organizations: Principles and Issues. New Jersey: Prentice Hall Inc.Hal 2-3

(15)

15

tinggi adalah sangat penting, mengingat situasi perempuan yang dapat menjadi semakin buruk jika tidak ada ataupun kurangnya upaya penganganan.

Anak Agung Banyu Perwita memaparkan bahwa sebuah organisasi internasional memiliki peran yang telah diakui karena keberhasilannya memecahkan permasalahan yang dihadapi suatu negara. Kehadiran organisasi internasioanl mencerminkan kebutuhan manusia untuk bekerjasama sekaligus sebagai sarana untuk menangani masalah-masalah yang timbul melalui kerjasama tersebut.15 Peranan organisasi internasional yang dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu:16

1. Sebagai instrumen, organisasi internasional digunakan oleh negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya.

2. Sebagai arena, organisasi internasional merupakan tempat bertemu bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah yang dihadapi. organisasi internasional juga sering digunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri negara lain dengan tujuan untuk mendapat perhatian internasional.

3. Sebagai aktor independen, organisasi internasional dapat membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan dari luar organisasi.

15

Perwita. Anak Agung Banyu, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, hal 95

16

Archer dalam Anak Agung Banyu Perwita, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, hal 95

(16)

16

Konsep peran organisasi internasional diatas menempatkan UNIFEM sebagai sebagai aktor independen dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Lembaga ini dapat bertindak sesuai dengan kewenangan yang ada tanpa dipengaruhi oleh pihak-pihak dari luar yang dapat dipergunakan oleh mereka sebagai alat untuk memenuhi kepentingan mereka. Peran UNIFEM berupa penyaluran dana bantuan maupun upaya teknis terhadap masyarakat, khususnya perempuan di daerah konflik maupun dalam kondisi pemulihan pasca-konflik.

Sebuah organisasi internasional menurut Teuku May Rudi memiliki beberapa kriteria yang dapat memaksimalkan kinerja organisasi tersebut, antara lain:17

1. Memiliki kemampuan mengadakan perjanjian

2. Memiliki kemampuan mengajukan tuntutan terhadap negara-negara anggota maupun negara bukan anggota terhadap hal-hal yang merugikan organisasi

3. Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki aset berupa barang-barang seperti bangunan, peralatan milik organisasi tersebut, serta status khusus bagi personalia yang diberi kepercayaan atau diakreditas atas nama organisasi

4. Memiliki tempat kedudukan untuk mengajukan perkara ke pengadilan internasional berdasarkan yurisdiksi internasional

5. Adanya perlindungan fungsional terhadap staf dan personalia

17

Rudy, Teuku May. 2005. Administrasi dan Organisasi Internasional. PT Refika Aditama. Bandung. Hal 26

(17)

17

6. Memiliki hak organisasi yang disertai pengakuan atau penerimaan negara atau organisasi lain untuk mengirim perwakilan dalam menghadiri berbagai konferensi internasional yang berkenaan.

Sebagai sebuah organisasi internasional, UNIFEM memiliki tujuan dan upaya-upaya terkait perlindungan hak perempuan, pemberdayaan perempuan serta memajukan kesetaraan gender. Untuk mendukung tujuannya ini, UNIFEM memfokuskan kegiatannya dalam area strategis yaitu 1. Mengurangi kemiskinan feminis. 2. Mengakhiri kekerasan terhadap wanita, 3. Mencegah penyebaran HIV AIDS diantara wanita dan anak perempuan, 4. Meraih kesetaraan gender dalam pemerintahan yang demokratis dalam situasi damai ataupun perang.18

Menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan fokus awal dari semua strategi yang dilakukan UNIFEM dalam upayanya perlindungan dan pemberdayaan perempuan. pemberdayaan perempuan turut mencakup bidang politik maupun ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan telah diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia baik dalam berbagai perjanjian internasional maupun nasional. Pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia telah menjadi obsesi utama PBB sejak tahun 1945.

Majelis Umum PBB menyatakan bahwa menghormati hak asasi dan martabat manusia adalah dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia.19 Mekanisme HAM dalam sistem PBB bekerja di tiga bidang: informasi;

18

UNIFEM, 2010, UNIFEM annual report 2009-2010. New York. Diakses dari

http://www.unifem.org/attachments/products/AnnualReport_2009-2010_en.pdf. diakses tanggal 4 juli 2013

19

The United Nations and Human Rights. Diakses dari situs http://www.un.org/rights/dpi1774e.htm. tanggal 5 juli 2013

(18)

18

analisis dan kebijakan pembangunan; penyediaan dukungan kepada badan-badan hak asasi manusia; serta promosi dan perlindungan hak asasi manusia.20 Badan-badan PBB yang memiliki program tertentu secara langsung terkait dengan HAM dan kekerasan terhadap perempuan selain UNIFEM adalah UNICEF, UNFPA, UNRWA WHO dan UNHCR. Besarnya bentuk dukungan, mitra organisasi dan anggaran yang dialokasikan untuk program-program yang dijalankan oleh organisasi-organisasi PBB ini bervariasi sejalan dengan mandat organisasi dan siklus programnya.21

Mekanisme HAM dalam sistem PBB terus dikembangkan guna menghentikan segala bentuk pelanggaran dan memastikan penghormatan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Kaum perempuan adalah sosok yang sering mengalami berbagai pelanggaran terhadap hak-haknya, terutama didaerah konflik. Tingginya angka kekerasan yang dialami terus memperburuk kondisi kehidupan mereka. Upaya organisasi internasional dalam sistem PBB terkait perlindungan terhadap hak asasi perempuan serta pemberdayaannya telah ada dan terus mengalami perkembangan. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan merupakan bagian dari upaya pencegahan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

20

Thakur, Ramesh. 2006. The United Nations,Peace And Security. Cambridge University Press. New York. Hal 93

21

Violence against Women ssessing the Situation in Jordan. Diakses dari situs

http://www.un.org/womenwatch/ianwge/taskforces/vaw/VAW_Jordan_baseline_assessment_final. pdf. tanggal 5 juli 2013

(19)

19

2. Kekerasan terhadap perempuan (Violence Against Women)

Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi. Istilah kekerasan terhadap perempuan yang didefinisikan oleh deklarasi mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan (1993) adalah setiap tindak kekerasan berdasarkan gender, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan pada kerugian fisik, seksual dan psikologis atau penderitaan kaum perempuan, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.22

Lebih lanjut dalam deklarasi tersebut menjabarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan meliputi, tetapi tidak hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:23

(a) Tindak kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan, dan praktik-praktik tradisional lain yang berbahaya terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri, dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi;

(b) Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan

22

Nasution, Adnan Buyung dan A. Patra M Zen. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi

Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 396

23

(20)

20

dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa;

(c) Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara, di manapun terjadinya.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena yang hampir tidak terpisahkan dari konflik atau peperangan. Dalam situasi konflik jenis kekerasan terhadap perempuan yang kerap muncul adalah pemerkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seks, serta penghamilan paksa. Penggunaaan kekerasan terhadap perempuan seperti pemerkosaan kerap dijadikan sebagai strategi dalam perang. Salah satu alasannya adalah karena perempuan dilihat sebagai kunci keberlangsungan sebuah masyarakat atau kelompok tertentu, sehingga kekerasan yang dilakukan dapat menghancuran atau menaklukan kelompok tersebut.24

Pemerkosaan secara sistematis dalam situasi konflik merupakan alat untuk melakukan penyiksaan terhadap warga sipil, yang telah terjadi selama bertahun-tahun di banyak negara. Pemerkosaan dilakukan tidak hanya untuk menyerang kaum perempuan itu sendiri namun untuk menyerang target atau musuh yang dianggap memiliki hubungan dengan perempuan tersebut. Dampak dari tindak kekerasan seperti ini menyebabkan kerentanan fisik, menumbuhkan perasaan malu dan kotor, sehingga mengalami penolakan oleh pasangannya, keluarga dan masyarakat.25

24

Wandita, Galuh. Transitional Justice. Jurnal dinamika HAM volume 2 no 1, april-september 2001, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya dan Yayasan Obor Indonesia, Surabaya, hal 7

25

Skjelsbæk, Inger & Dan Smith. 2001. Gender, Peace And Conflict. SAGE Publications Ltd. London. Hal 4-5

(21)

21

Perkosaan perempuan menurut Susan Brownmiller dalam Against Our Will; Man, Woman, and Rape dapat dituangkan dalam satu kalimat, yaitu jika seorang perempuan memilih untuk tidak melakukan hubungan intim dengan seorang laki-laki dan laki-laki tersebut tetap memaksakan keinginannya, maka inilah yang dikatakan tindak kriminal pemerkosaan.26 Pemerkosaan dan konflik atau perang kerap berkaitan dari masa ke masa. Di era modern, perkosaan dalam perang telah dilarang dan dianggap sebagai tindak pidana dalam hukum internasional mengenai perang. Meskipun begitu tindak pemerkosaan masih terus berlanjut dan menjadi bagian dalam perang.

Cynthia Enloe berpendapat bahwa pemerkosaan tidak seharusnya dimasukkan ke dalam bagian dari tindakan penekanan kepada siapapun karena alasan dan dampaknya yang sangat berbeda. Pemerkosaan di waktu perang yang banyak dilakukan oleh tentara adalah hasil dari sistem patriarki yang ditanamkan melalui militerisasi.27 Tubuh perempuan sering dijadikan sasaran dalam sebuah konflik bersenjata melalui berbagai tindak kekerasan seksual. Kekerasan terhadap perempuan digunakan sebagai alat untuk meneror penduduk sipil serta melemahkan pihak musuh.

Penggunaan perempuan sebagai senjata perang merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar hukum hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan. Deklarasi Wina tahun 1993 memaparkan bahwa hak asasi perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, integral, tidak dapat

26

Brownmiller, Susan. 1975. Against Our Will; Man, Woman, and Rape. Fawcett Columbine. New York. Hal 18

27

Enloe, Chyntia. 1993. The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War. Berkeley: University of Californian Press. Hal. 120

(22)

22

dipisahkan. Pelanggaran hak asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata adalah pelanggaran dari prinsip-prinsip fundamental hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain; pembunuhan, pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual dan kehamilan secara paksa.28

Pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dalam bentuk kekerasan seperti dijabarkan diatas terjadi di Darfur pada tahun 2003. Konflik bersenjata yang melibatkan kelompok pemberontak dan milisi pemerintah membuat keadaan perempuan semakin buruk. Penghinaan, Penyiksaan, pemerkosaan serta pembunuhan terhadap wanita dan anak perempuan menjadi hal yang umum terjadi setiap harinya pada saat konflik berlangsung. Penggunaan pemerkosaan sebagai strategi perang juga terjadi di berbagai desa Di Darfur. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan ketakutan dan trauma yang mendalam dan membuat kelompok pemberontak menghentikan aksinya. Akibat kekerasan ini, perempuan terpaksa meninggalkan desa mereka dan menjadi pengungsi.

F. Metode Penelitian

Peran UNIFEM dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan pada konflik di Darfur akan diteliti menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan kualitatif. Data-data dan informasi yang diperlukan dalam melegkapi tesis ini diperoleh dengan analisis tekstual terhadap kajian pustaka,

28

Luhulima. Achie Sudiarti. 2007. Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no 7 tahun 1984

tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.

(23)

23

informasi media masa, elektronik atau internet, dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan topik kajian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab yaitu:

BAB I Bagian ini akan menjabarkan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, studi literatur, kerangka konseptual, dan metode penelitian.

BAB II Bagian ini akan membahas tentang dinamika konflik Darfur tahun 2003, serta bagaimana dampaknya terhadap perempuan.

BAB III Bagian ini akan membahas tentang peran lembaga Internasional dalam menangani isu perempuan di wilayah konflik serta menjelaskan profil UNIFEM secara umum dan bagaimana strateginya dalam membantu dan memberdayakan perempuan di wilayah konflik Darfur.

BAB IV Bagian ini akan membahas tentang peran dan strategi UNIFEM dalam upaya perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender dan pemberdayaannya pasca konflik di Darfur.

Referensi

Dokumen terkait

Push Strategy (Strategi Mendorong) Glad Coffee & Resto menerapkan Push Strategy (strategi mendorong) yang ditujukan untuk mendorong peningkatan penjualan pada

Dengan temuan – temuan dari hasil penelitian, observasi, serta wawancara yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa variabel budaya organisasi memiliki pengaruh

a) proses dan hasil penelitian yang dilakukan secara terintegrasi dengan prinsip penilaian paling sedikit edukatif, objektif, akuntabel, dan transparan yang merupakan penilaian yang

Peningkatan kompetensi peserta PEDAMBA: Kelas Pemanfaatan Software Tracker dalam pelajaran Fisika Tahap ke-I” dapat dilihat dari hasil evaluasi pelaksanaan

Hopkins(Sutama 2010 : 15) PTK adalah penelitian yang mengkombinasikan prosedur penelitian dengan tindakan substantive, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuiri

Angin yang bergerak dalam arah Utara-Selatan oleh gaya Coriolis akan dibelokkan kekanan di Belahan Bumi Utara (BBU) dan kekiri di Belahan Bumi Selatan (BBS)

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan antara lain: (1) memberikan soal pretest pada siswa kelas kontrol dan siswa kelas eksperimen, (2)

• Pemilihan state berdasarkan aturan seleksi alam yang diterapkan pada state collection (sering disebut sebagai populasi).. Pencarian