• Tidak ada hasil yang ditemukan

Social Capital And Civil Participation In The Development Of Village Tourism Area In Lombok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Social Capital And Civil Participation In The Development Of Village Tourism Area In Lombok"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 1, December 2020

Social Capital And Civil Participation In The Development Of Village

Tourism Area In Lombok

Modal Sosial Dan Partisipasi Warga Dalam Pembangunan

Kawasan Desa Wisata Di Lombok

Abdul Wahid a

, Nia Ashton Destrity b

abc

Universitas Brawijaya Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia

a

wahidjumaizah@ub.ac.id

Abstract

The development of tourism villages is in line with the management of social capital in the community. This study aims to reveal how social capital and citizen participation contribute to the development of Central Lombok tourism. In-depth interviews and observations were used purposively on the headman and manager of the tourism village in the Sade and Stanggor village, Central Lombok. This study found that the progress of the management of this tourism village cannot be separated from the social capital owned by the community and its management. The management of the tourism village is determined by leadership, culture, awareness, and participation of the tourism village community (community based development). Leadership is an important factor as a motor of participation and a guardian of shared values. Culture that is reflected in the architecture of buildings, traditional ceremonies, arts and literature, and crafts are part of the basic capital of tourism. This strong modality makes the tourism village accepted because it is considered to provide material benefits for residents. The study of tourism villages in this research focuses on the management of tourism villages by the community and local village officials. In fact, the development of tourism villages is inseparable from the macro policies of the central and regional governments. Therefore, a study of the form of policy and its influence on the development of tourism villages can be examined in further research.

(2)

Abstrak

Pengembangan desa wisata sejalan dengan pengelolaan modal sosial di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana modal sosial dan partisipasi warga berkontribusi pada pengembangan pariwisata Lombok Tengah. Wawancara mendalam dan observasi dilakukan secara purposif terhadap kepala desa dan pengelola desa wisata di desa Sade dan Stanggor Lombok Tengah. Studi ini menemukan bahwa kemajuan pengelolaan desa wisata ini tidak lepas dari modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat dan pengelolaannya. Pengelolaan desa wisata ditentukan oleh kepemimpinan, budaya, kesadaran, dan partisipasi masyarakat desa wisata (community based development). Kepemimpinan merupakan faktor penting sebagai motor partisipasi dan pengawal nilai-nilai bersama. Kebudayaan yang tercermin dalam arsitektur bangunan, upacara adat, kesenian dan sastra, serta kerajinan tangan merupakan bagian dari modal dasar pariwisata. Modalitas yang kuat inilah yang membuat desa wisata diterima karena dinilai memberikan manfaat materiil bagi warga. Kajian desa wisata dalam penelitian ini berfokus pada pengelolaan desa wisata oleh masyarakat dan perangkat desa setempat. Padahal, pembangunan desa wisata tidak terlepas dari kebijakan makro pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu kajian tentang bentuk kebijakan dan pengaruhnya terhadap pembangunan desa wisata dapat dikaji dalam penelitian selanjutnya.

Kata Kunci: modal sosial, pariwisata, pembangunan berbasis masyarakat.

PENDAHULUAN

Pemerintah Pusat menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu langkah strategis untuk menumbuhkan perekonomian di Indonesia. Akhir 2017 lalu, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) secara khusus menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pariwisata IV di Jakarta yang menargetkan wisatawan mancanegara (Wisman) sebanyak 17 juta dan 275 juta wisatawan nusantara (wisnus). Sudah ada 10 destinasi wisata yang secara khusus dikembangkan sampai 2019. Pengembangan sektor pariwisata diyakini berpotensi mendatangkan devisa negara sebesar Rp30 triliun-Rp50 triliun (Disbudpar, 2016). Langkah strategis dari Pemerintah Pusat tersebut juga disambut oleh beberapa daerah wisata unggulan, salah satunya adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pengembangan kawasan wisata, salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan perekonomian penduduk yang tinggal di sekitar kawasan wisata. Menurut data Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat, jumlah wisatawan mancanegara dan lokal mengalami peningkatan signifikan. Peningkatan ini juga turut memengaruhi Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) yang terus tumbuh setidaknya sebesar 10,64 persen per-tahun (2006-2012). Pada 2018, PDRB tercatat menyumbang 27,66 persen dan diproyeksikan meningkat menjadi 39,70 persen pada 2023.

Pengembangan sektor pariwisata tentu harus dibarengi dengan pengembangan kualitas SDM, terutama di kawasan wisata yang masih dalam tahap pengembangan

(3)

seperti desa wisata. Seringkali, pengembangan desa wisata tidak diimbangi melalui identifikasi permasalahan SDM dan perencanaan yang serius. Studi yang dilakukan oleh I Gede Sunarjaya, Made Antara, dan Dewa Putu Oka Prasiasa (2018) menyebutkan, absennya perencanaan menyeluruh dan minimnya dukungan dari pengampu kepentingan menyebabkan sulitnya mempercepat pembangunan Desa Wisata. Perencanaan menyeluruh ini di antaranya meliputi penyiapan SDM, penggalian modal sosial masyarakat, hingga luputnya identifikasi partisipasi masyarakat di kawasan wisata. Menurut Mill (2000) bila tidak ada perencanaan pada suatu tempat wisata dapat berakibat negatif pada tempat tersebut.

Penelitian lain terkait dengan potensi desa wisata dilakukan oleh Tunjung Wulan dan Parfi Khadiyanto (2013) yang mengidentifikasi permasalahan dalam pengembangan desa wisata. Menurut Wulan & Khadiyanto, pertumbuhan produk rendah merupakan permasalahan dalam pengembangan desa wisata. Selain itu, permasalahan pengembangan desa wisata juga disebabkan oleh belum terbangunnya sarana secara lengkap di objek wisata utama dan masih belum memadainya kondisi aksesbilitas.

Dua penelitian tersebut menunjukkan, pengembangan desa wisata harus dibarengi dengan penyiapan SDM dan partisipasi masyarakat melalui pendampingan sekaligus pelatihan berkelanjutan. Selama ini, keberadaan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di berbagai daerah, terutama di kawasan wisata seringkali terhambat berkembang karena seakan berjalan sendiri tanpa pendampingan yang serius dari pemerintah. Pengembangkan bisnis yang dilakukan kelompok masyarakat harus di dalam sekala perencanaan ekonomi kreatif yang lebih terarah. Kelompok masyarakat harus mampu menciptakan suatu produk yang dikemas dengan kreatifitas dan inovasi yang tinggi sehingga sektor pariwisata indonesia dapat mendapatkan nilai lebih.

Salah satu aspek penting keterkaitan antara masyarakat dan pembangunan pariwisata adalah modal sosial, yakni serangkaian nilai, norma, kepercayaan, sertajaringan sosial. Keseluruhan hal-hal tersebut merupakan bagian penting bagi pembangunan masyarakat. Dalam konteks ini adalah pembangunan pariwisata, khususnya desa wisata. Riset ini berupaya untuk mengidentifikasi modal sosial di masyarakat NTB, terutama Lombok yang diharapkan dapat dijadikan sebagai basis pengembangan kawasan desa wisata berbasis partisipasi masyarakat. Masyarakat perlu

memaksimalkan modal-modal yang diperlukan dalam membangun dan

mengembangkan sektor-sektor yang ada di indonesia guna membangun bangsa agar menjadi lebih baik. Modal sosial dapat mendorong masyarakat dapat mencapai tujuan

(4)

yang diinginkan secara bersama. Sebagaimana modal fisik dan manusia, modal sosial memengaruhi produktivitas individu dan kelompok sosial.

Upaya memetakan modal sosial merupakan usaha untuk mengetahui potensi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam meningkatkan perekonomian di bidang pariwisata. Untuk itu, studi ini ditujukan untuk melakukan pengkajian penguatan modal sosial masyarakat desa wisata di Lombok untuk menghadirkan dan mendekatkan sektor pariwisata pada partisipasi masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui latar dan masalah sosial terkait modal sosial di masyarakat kawasan desa wisata Lombok yang sebagai basis pengembangan kawasan desa wisata berbasis partisipasi masyarakat dan sejauh mana partisipasi warga di kawasan desa wisata Lombok dalam menjalankan pengembangan kawasan wisata berdasarkan program pemerintah daerah Povinsi Nusa Tenggara Barat.

Konsep modal sosial menjadi konsep penting dalam memahami perkembangan ekonomi kontemporer di era globalisasi. Dalam konteks pembangunan, modal sosial dikaitkan pada kapasitas bekerja sama, membangun kepercayaan dan kewarganegaraan. Bila melihat setiap pembangunan maka modal sosial memiliki pengaruh yang besasr dalam setiap hasil dari suatu pembangunan, termasuk di dalamnya pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Itulah mengapa beberapa kebijakan pembangunan memerlukan kerjasama kolektif.

Robert Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai alat individu atau organisasi sosial seperti norma, jaringan, dan kepercayaan sosial yang bisa memfasilitasi kerjasama dan kordinasi yang saling menguntungkan (Kamarni, 2012). Definisi ini oleh Putnam kemudian dikembangan dan dipahami sebagai sekumpulan asosiasi yang bersifat horizontal di antara orang yang memiliki pengaruh terhadap produktivitas masyarakat disekitarnya. Modal sosial menurut Robert Putnam mempunyai 3 aspek penting dalam menjelaskan nilai modal sociall, yakni: modal sosial bisa dilihat sebagai institusi sosial yang melibatkan norma-norma, jaringan, dan kepercayaan sosial, yang bisa mendorong pada bentuk kerjasama untuk kepentingan bersama (Lawang, 2004).

James Colleman kemudian menjabarkan bahwa modal sosial merupakan sesuatu yang dilihat bedasarkan fungsinya dan bukan entitas tunggal, namun tergabung dari entitas yang berbeda-beda dengan memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek struktur sosial yang berbeda-beda; dan entitas tersebut memberikan fasilitas kepada setiap tindakan individu dari struktur sosial tersebut (Prasetyo, 2010). Modal sosial berarti

(5)

memiliki sifat produktif, tidak secara utuh bisa ditukar, namun dapat ditukar dengan beberapa aktivitas khusus. Bentuk modal sosial sendiri berupa hak dan kewajiban, sanksi dan norma yang efektif, hubungan otoritas, memudahkan beberapa tindakan individu hingga merugikan orang lain dan menciptakan kontrak sosial yang melekat pada struktur relasi di kalangan individu dan kelompok. Sedangkan menurut Piere Bourdieu, modal sosial memiliki definisi jumlah sekumpulan sumberdaya, potensial dan nyata, yang bertambah kepada individu maupun kelompok akibat bertambahnya jumlah jaringan yang bertahan lama dari hubungan yang sudah terlembaga, yang berasal dari perkenalan yang baik maupun dari pengakuan yang saling menguntungkan (Jenkins, 2004).

Definisi modal sosial di atas setidaknya mencakup nilai-nilai dan aturan bersama dalam perilaku sosial, termasuk kepercayaan dan tanggung jawab sipil. perkembangan wacana ekonomi sejalan dengan munculnya literatur 'lembaga informal' di bidang terkait seperti ekonomi pembangunan. Modal sosial dalam hal ini menjadi penting karena memengaruhi lingkungan sosial dan politik yang pada gilirannya membentuk norma-norma seperti yang berkaitan dengan pemerintahan, aturan hukum, dan kebebasan politik sipil.

Melihat terciptanya kerja sama antara asosiasi dengan institusi maka diperlukan kerangka kerja formal sebagai landasan untuk bertindak. Menurut Grootaert (1998) kerangka kerja formal dibagi menjadi tiga yaitu pembagian informasi (sharing information) yang menunjukkan bahwa institusi mempunyai peran penting dalam membantu pelaku pasar, salah satunya menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang cuku tepat. Tujuannya adalah agar para pelaku pasar bisa membuat tindakan atau keputusan yang tepat dan efisien menghindari dan meminimalisir kegagalan dalam pasar terkait informasi; koordinasi aktivitas (coordinating activities), institusi formal maupun informal sering mengalami kegagalan akibat tidak ada kordinasi tindakan yang jelas, maka dibentuknya kerangka kerja dan koordinasi untuk meminimalisir kegagalan dan memperkuat rasa kepercayaan antar anggota dan hubungan interaksi mereka, maka dari itu kerangka kerja dan kordinasi perlu dikembangkan lebih lanjut; keputusan bersama (making collective decisions), institusi lokal perlu memperkuat kesepakatan bersama dan cara kerja dengan cara aset-aset yang di distribusikan secara adil dan pembagian keuntungan relatif sama. Ketika pemerintah dan sistem hukum berjalan dengan baik, maka bisa dipastikan institusi berkembang secara optimal akibat adanya kebebasan berpendapat. Maka yang paling penting adalah kesamaan pandangan antara

(6)

peran pemerintah pusat dengan institusi lokal agar berjalan dengan seimbang. Ketiga kerangka kerja formal tersebut merupakan alat pendukung yang optimal dalam proses pembangunan. Adapun empat implikasi modal sosial dalam pembangunan, yaitu modal sosial memiliki peran yang penting dalam pembangunan manusia, pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, dan pembangunan politik.

International Labour Organisation mendefinisikan community-based tourism (CBT) model sebagai setiap bentuk organisasi bisnis yang didasarkan pada properti dan pengelolaan mandiri pada aset-aset patrimonial masyarakat, sesuai dengan praktik demokrasi dan solidaritas; dan distribusi manfaat yang dihasilkan dari jasa wisata, untuk mendukung pertemuan kualitas antarbudaya dengan pengunjung (Zapata, Hall, Lindo, & Vanderschaeghe, 2011). Aset masyarakat ini dapat mencakup antara lain lingkungan alam, infrastruktur, atau event khusus yang dapat membentuk image atau citra pariwisata tersendiri di benak wisatawan. Model CBT ini banyak diterapkan khususnya di masyarakat pedesaan, salah satunya dalam bentuk pengembangan ecotourism. CBT bertujuan untuk menciptakan industri pariwisata yang berkelanjutan (setidaknya secara diskursif), dengan fokus melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pemeliharaan pengembangan pariwisata (Salazar, 2012). South African Community Based Tourism telah mengidentifikasi tiga kriteria utama CBT yaitu lokasi CBT di tengah masyarakat (yaitu di tanah ulayat atau dengan manfaat bagi masyarakat melalui biaya sewa), dimiliki oleh satu atau lebih anggota masyarakat (yaitu untuk kepentingan satu atau lebih anggota masyarakat), dan dikelola oleh anggota masyarakat (yaitu anggota masyarakat dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan) (Zapata et al., 2011).

Berdasarkan tiga kriteria yang telah disampaikan di atas, maka CBT dapat memfasilitasi potensi masyarakat dan meningkatkan manfaat yang diperoleh bagi masyarakat lokal (setempat). Rozemeijer menyebukan tiga manfaat yang diharapkan dari CBT yaitu CBT menghasilkan pendapatan dan lapangan pekerjaan, dengan demikian berkontribusi terhadap pembangunan pedesaan (manfaat utama untuk daerah terpencil), manfaat yang diperoleh dari penggunaan sumber daya alam untuk pariwisata akan mendorong masyarakat menggunakan sumber daya secara berkelanjutan, dan menambah nilai pada produk pariwisata nasional melalui diversifikasi pariwisata, meningkatkan volume dan skala ekonomis (Salazar, 2012). Mengacu pada hasil riset berupa eksplorasi pada enam kasus proyek CBT di Nicaragua, dapat dipetakan bahwa praktik CBT terdiri dari tiga fase yang berbeda yaitu fase eksplorasi di mana ide bisnis disusun, fase keterlibatan di mana pasokan dan infrastruktur wisata dikembangkan, dan

(7)

fase ketiga ditandai dengan pertumbuhan arus pengunjung dan pengembangan (Zapata et al., 2011). Selain fase, studi yang sama menemukan bahwa CBT membawa dampak pada berbagai aspek antara lain lapangan pekerjaan dan pendapatan, keterampilan dan self-esteem, perempuan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan (Zapata et al., 2011).

Tidak hanya fase dan dampak, studi yang menganalisis kontribusi CBT pada pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Nicaragua ini juga mengemukakan model pengembangan CBT. Model pertama yaitu bottom-up dengan karakteristik proyek yang lahir dan didanai oleh kewirausahaan lokal dan memiliki fokus yang kuat pada pasar domestik; model kedua yaitu top-down sebagai model CBT dengan pertumbuhan yang cenderung rendah atau stagnan, proyek yang diciptakan sebagai hasil dari pendanaan eksternal dan kewirausahaan, dengan fokus awal pada pasar internasional dan dibantu oleh LSM untuk mengakses pasar (Zapata et al., 2011). Berikut merupakan tabel karakteristik dan efek dari kedua model CBT.

Sustainable development (pembangunan berkelanjutan) telah menjadi agenda global yang memengaruhi praktik kebijakan dalam berbagai sektor di berbagai negara. Barke & Towner; Berke mengartikan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya untuk (1) membangun lingkungan menjadi lebih layak huni melalui penggunaan kembali sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia, (2) ekosistem menjadi lebih sehat, (3) pembangunan ekonomi menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan tempat daripada meningkatkan keuntungan dari pihak yang berkuasa dan (4) manfaat dari perbaikan kondisi lingkungan dan ekonomi menjadi lebih terdistribusi secara merata (dikutip dari (M. M. Whitford & Ruhanen, 2010). Jika berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka pembangunan berkelanjutan merujuk pada upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan memperhatikan faktor ekonomi, lingkungan, dan indiidu (masyarakat). Oleh karena itu praktik pembangunan secara berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek etis sebagai bentuk tanggung jawab sosial tidak hanya meningkatkan kualitas masyarakat tetapi juga menjaga dan memelihara kondisi lingkungan.

Untuk dapat melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan dengan ideal, maka diperlukan partisipasi dari masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Menurut Connell partisipasi tidak hanya mengenai upaya mencapai distribusi sumber daya material yang lebih efisien dan lebih adil, tetapi juga mengenai berbagi pengalaman dan transformasi proses belajar untuk pengembangan diri sendiri (self-development) (Okazaki, 2008). Pariwisata merupakan instrumen pembangunan yang digunakan oleh

(8)

banyak masyarakat untuk mempromosikan pembangunan lokal (Aref, 2011). Partisipasi masyarakat menjadi komponen penting dalam membangun sektor pariwisata yang berkelanjutan. Partisipasi masyarakat dalam konteks pariwisata ditujukan untuk menghasilkan dampak terbaik bagi masyarakat dari bidang pariwisata yang dikembangkan, misalnya memanfaatkan potensi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Arnstein menjelaskan bahwa tujuan dari partisipasi adalah power redistribution (redistribusi kekuasaan), sehingga memungkinkan masyarakat untuk secara adil meredistribusi manfaat dan biaya (Okazaki, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi berhubungan dengan pembagian kekuasaan, sehingga masyarakat memiliki hak dalam pengelolaan, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memperoleh manfaat dari sektor pariwisata yang dibangun.

Arnstein mengemukakan ladder of citizen participation dengan delapan anak tangga untuk mengidentifikasi level partisipasi masyarakat dan juga menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam mempromosikan keterlibatan yang lebih besar yang dikategorikan ke dalam tiga tingkat evolusi bertahap yaitu non-participation (anak tangga pertama adalah manipulation di mana pemegang kekuasaan memanfaatkan partisipasi sebagai sarana hubungan masyarakat yang terdistorsi, kedua therapy di mana nilai-nilai dan sikap warga lokal disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat luas dengan kekuasaan); degress of tokenism (anak tangga ketiga informing di mana penduduk setempat diinformasikan mengenai hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka sebagai langkah pertama dan paling penting menuju keterlibatan publik yang sah/terlegitimasi, keempat consultation di mana warga didorong untuk mengekspresikan pendapat mereka sebagai langkah menuju partisipasi penuh, kelima placation di mana pengaruh publik mulai tumbuh, tetapi sebagian besar masih bersifat token); degress of citizen power (anak tangga keenam partnership di mana negosiasi dilakukan antara warga negara dan pemegang kekuasaan dengan demikian meredistribusi kekuasaan dan tanggung jawab untuk perencanaan dan pengambilan keputusan, ketujuh delegated power di mana publik mencapai kekuasaan dominan atas pengambilan keputusan, kedelapan citizen control di mana warga diberikan kontrol dan kekuasaan penuh untuk kebijakan dan manajemen) (Okazaki, 2008).

(9)

METODE

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif berupaya untuk memahami manusia tidak hanya berdasarkan skala kuantitatif, tapi juga pada pemaknaan, nilai sosial budaya, situasi sosial, dan lain-lain (Denzin & Licoln, 2009; Lindlof TR,. & Taylor, BC., 2002, Moloeng, LJ., 2012). Untuk mengetahui latar dan masalah sosial terkait modal sosial dan bentuk partisipasi warga di kawasan desa wisata Lombok, penelitian ini dilakukan di dua lokasi desa wisata di Lombok, yakni Desa Wisata Setanggor di Lombok Tengah dan Desa wisata Sade di Desa Rambita, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Teknik pengambilan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi lapang. Informan ditentukan secara purposive pada Ketua Adat Desa Sade dan Penggerak wisata Desa Stanggor, Kabupaten Lombok Tengah. Data dari dokumen BPS, pemberitaan, dan institusi pemerintah setempat juga digunakan. Pengambilan data dilakukan pada Juni-Juli 2019. Data yang terkumpul kemudian dianalisa menggunakan teknin analisis interaktif Miles, Huberman, Saldana (2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gagasan awal pengembangan desa wisata dilakukan dengan mengidentifikasi potensi desa. Dua desa wisata dalam kajian ini memang memiliki latar belakang berbeda. Desa Sade sudah mengawali pengembangan desa wisata pada 1970an, sedangkan Desa Sade baru mengembangkan desa wisata setelah 2010an.

Pada Desa Stanggor, gagasan pengembangan desa wisata pada awalnya mendapat resistensi dari sebagian masyarakat karena menilai bahwa pariwisata membawa mudharat. Penolakan ini direspon oleh penggerak wisata dengan penekanan bahwa pariwisata yang diusung adalah pariwisata halal (halal tourism) dan penerapan peraturan tidak tertulis atau disebut sebagai awik-awik (aturan adat) yang menjelaskan bahwa orang-orang yang datang ke desa harus mengikuti peraturan desa. Informan Desa Stanggor memberikan contoh mengenai kesesuaian peraturan desa tidak tertulis dengan konsep pariwisata halal dengan menyambut kedatangan tamu dengan memakaikan sarung kepada wisatawan untuk menjelaskan bahwa pakaian tersebut merupakan tradisi warga lokal. Selain itu, pemandu wisata lokal juga berupaya mengedukasi wisatawan mengenai peraturan desa tidak tertulis lainnya seperti larangan untuk membawa minuman keras, dan mengganti minuman keras dengan minuman lokal untuk mengganti fungsi minuman keras bagi wisatawan.

(10)

Informan selaku penggerak gagasan desa wisata Stanggor mengungkapkan bahwa sumber daya manusia di Desa Stanggor cukup baik. Warga desa harus berani dalam mengembangkan potensi desa. Selanjutnya informan menggabungkan seluruh karang taruna untuk bersama mengembangkan desa wisata. Salah satu kendala yang muncul adalah ketakutan masyarakat lokal pada tergerusnya budaya asli mereka dengan budaya asing. Oleh karena itu, konsep pariwisata halal menjadi solusi untuk menjawab ketakutan masyarakat lokal. Hal ini diperkuat dengan latar belakang penggerak sebagai Ketua Asosiasi Pariwisata Islam Indonesia. Gagasan desa wisata dapat diterima oleh masyarakat karena penggerak memaparkan seluruh keuntungan yang dapat diperoleh dari upaya pengembangan desa wisata yang telah direncanakan.

Sejumlah kawasan atau objek wisata yang mengandung nilai atau kepercayaan masyarakat lokal dinilai tidak bertentangan dengan konsep pariwisata halal dengan basis nilai Islam. Hal ini disampaikan oleh informan karena kepercayaan masyarakat di desa masih merujuk pada kepercayaan animisme dan dinamisme. Berdasarkan praktik tersebut, informan meyakini bahwa pariwisata adalah mengenai cerita, tourism is about storytelling. Oleh karena itu, keterampilan bercerita dari pemandu wisata sangat diperlukan untuk mendukung desa wisata.

Berbeda dengan Desa Stanggor, potensi pengembangan desa wisata di Desa Sade muncul dari filosofi yang diyakini oleh masyarakat lokal Desa Sade bahwa kedatangan tamu atau pengunjung menandakan kebahagiaan akan datang dalam kehidupan masyarakat. Pada awalnya tidak ada motif ekonomi, hanya berangkat dari keyakinan yang disebut sebagai pedaet pesile, kunjungan dari tamu sebagai bagian dari silaturrahim. Hal ini disebut sebagai pengadek-adek (petilaran) atau peninggalan dari masyarakat terdahulu yang diwujudkan dalam pengembangan desa wisata.

Salah satu motif masyarakat lokal untuk mengembangkan desa wisata adalah kecintaan masyarakat terhadap peninggalan leluhur yang diperkuat dengan konteks religiusitas dan keyakinan bahwa jika tidak menjalankan maka masyarakat merasa khawatir akan muncul tulemane (kualat atau mendapat azab/hal-hal yang tidak baik) karena ketidaksetiaan masyarakat dalam melaksanakan tradisi dan budaya. Motif selanjutnya adalah aspek sosial yang dikenal dengan pedaet pesile (duduk bersila) yang merujuk pada tradisi silaturrahim. Motif yang ketiga adalah motif ekonomi yang tidak dipungkiri menjadi dorongan masyarakat mengembangkan desa wisata.

Data di lapangan menyebutkan, banyak desa wisata yang pengembangannya diinisiasi oleh aktor dari luar desa. Namun untuk Desa Sade, pengembangan desa wisata

(11)

Sade digerakkan dan dipertahankan oleh masyarakat lokal desa yang diperkuat dengan dukungan peran dari sejumlah aktor di luar desa.

Kesadaran dan keyakinan masyarakat lokal Desa Sade untuk tetap setia memelihara petuah dan tradisi peninggalan leluhur serta nilai silaturrahim mendorong pengembangan desa wisata dan keterlibatan warga lokal dalam pelaksanaanya. Keyakinan dan nilai tersebut juga menjadi dasar masyarakat lokal menerima kedatangan para tamu (wisatawan) dengan tetap menjunjung nilai akulturasi antara Islam dan budaya asli masyarakat Desa Sade.

Keberadaan Desa Sade sebagai daerah tujuan wisata tumbuh dan berkembang secara alami yang telah ditandai dengan kunjungan wisatawan khususnya wisatawan mancanegara pada tahun 1975. Selanjutnya pada tahun 1985, sejumlah aktor berperan dalam pengembangan potensi pariwisata Desa Sade antara lain WTO, PBB, dan organisasi dengan perhatian pada pariwisata dunia UNDV/WNDV. Namun, tidak banyak peran yang dijalankan oleh organisasi-organisasi internasional tersebut. Sekitar tahun 1989, pemerintah Indonesia seperti Kementrian dan Deparpostel mulai menunjukkan perhatian mereka terhadap pariwisata desa.

A. Kultur sebagai modal sosial penggerak desa wisata

Kultur atau budaya, dalam hal ini adalah keseluruhan aspek yang melekat dan menjadi bagian integral pada masyarakat, menjadi pondasi fundamental dalam pembangunan pariwisata. Daya tarik wisata, hampir di seluruh wilayah di Indonesia, berkenaan dengan bangunan fisik, kebudayaan fisik, adat istiadat dan relasi sosial yang dinilai unik.

Aset masyarakat di Desa Stanggor, misalnya, yang difungsikan sebagai objek pariwisata terdiri dari bangunan dan aktivitas kesenian dan kebudayaan. Terdapat empat belas (14) tradisi asli dan tujuh (7) kearifan lokal yang dikembangkan dan selebihnya merupakan bentuk pengembangan. Misalnya salah satu tradisi asli Desa Stanggor adalah ritual malam Ngendeng Api yang dinilai memiliki keunikan dan menjadi nilai tambah bagi desa wisata Stanggor. Tradisi asli ini mendapat respon positif dari masyarakat karena masyarakat merasa senang dengan mengingat tradisi zaman dahulu mereka. Selain itu, terdapat ritual pergi ke makam Raden Kekah, penyebar agama Islam pertama di Lombok Tengah, yang dibuka hanya pada hari Minggu. Di Desa Stanggor juga teerdapat objek wisata berupa gong tua dengan usia lebih dari 200 tahun dengan kepercayaan masyarakat lokal ketika gong berbunyi maka ada sesuatu yang terjadi dan

(12)

keinginan orang yang memegang gong tersebut akan terkabul. Objek wisata dengan muatan kepercayaan masyarakat lokal ini menjadi salah satu daya tarik yang dijual kepada wisatawan. Warga melakukan pembenahan destinasi, terutama pada aspek arsitektur karena keberadaan objek wisata yang cukup lama. Selain itu, pengembangan pariwisata juga ditekankan pada aspek edukasi kepada masyarakat misalnya mengenai kebersihan kawasan atau lokasi wisata untuk menjaga dan memelihara pesona kawasan wisata.

Daya tarik pariwisata yang ditawarkan Desa Sade terdiri dari empat (4) unsur yaitu unsur fisik yaitu arsitektur bangunan tradisional seperti Bale Gunung Ratih yang merupakan rumah tempat tinggal penduduk desa. Berikut merupakan penjelasan informan mengenai Bale Gunung Ratih dan fungsi dari bagian-bagian rumah tradisional penduduk lokal desa.

“… artinya menjadi daya tarik kepariwisataan kita di Sade ini ada 4 unsur sesungguhnya yang menjadi daya pikat, daya tarik. Yang pertama dari sisi fisik, bangunan arsitektur. Bentuk bangunan-bangunan tradisional yang masih kita pertahankan. Misalnya Bale Gunung Ratih, adalah bale, rumah tempat tinggal masyarakat penduduk yang secara spesifik terdiri dari langandalam ada langanduah. Kalo langandalam itu ada istilahnya dalam bale dan ada juga namanya bale dalam. Nah bale dalam dan dalam bale ini berfungsi beda. Kalo yang dalam bale itu sebagai tempat memasak dan juga tempat tidur. Lalu yang bale dalam, tempat melahirkan keturunan. Artinya melahirkan anak bagi ibu. Disamping itu juga tempat menaruh, menyimpan benda-benda pusaka misalnya keris, ada tombak, dan lain sebagainya. Sedangkan di langanduah artinya bagian dua ini nanti bapak bisa melihat ada apa namanya, ada serambi. Ada serambi kanan ada serambi kiri yang dipisahkan oleh lawang atau pintu dan beberapa anak tangga untuk masuk ke dalam bagian atas itu.” (Pak Kurdap, wawancara, 13 Juli 2019)

Selain arsitektur bangunan tradisional, unsur kedua adalah upacara tradisional, misalnya upacara pernikahan. Salah satu upacara tradisional yang dinilai unik adalah upacara ritual seperti tradisi ritual Molimonti yang merupakan tradisi besar dengan bagian tradisi-tradisi kecil lainnya antara lain tradisi Roah Rasul, Ngayu Ayu, Roah Ngelema’, Ngatuangsari, Maleman, Bungkatan, dan tradisi lainnya. Pada dasarnya tradisi Molimonti menunjukkan simbol dengan bebagai makna kehidupan. Informan menyebutkan the spirit of life dari masyarakat lokal. Salah satu makna yang dihadirkan adalah keberadaan manusia di alam ruh yang diwujudkan melalui simbol bubur putih.

(13)

Unsur ketiga adalah kesenian seperti kesenian Gendang Beli dan Oncer, dan sastra tradisional yang memiliki kesamaan dengan sastra di Jawa dan Bali. Kesamaan ini berangkat dari aksara Jawa sebagai induk sastra yang digunakan. Contoh sastra tradisional di Desa Sade adalah Kitab Jatisware, Kitab Bambari, Kitab Rengganis, dan Kitab Puspakarme yang menjelaskan tata krama (kawit-kawitan). Kitab-kitab tersebut masih banyak digunakan (dibacakan) ketika upacara khitanan, panen, dan pengobatan. Selain kitab, terdapat tembang yang sama dengan tembang Jawa seperti tembang Sinom, Kinanthi, Dandang, dan Gendhis.

B. Keterlibatan warga lokal dalam pengembangan desa wisata di Lombok

Warga lokal terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan desa wisata. Keterlibatan dalam pengembangan desa wisata menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah melakukan upaya pengembangan diri secara tidak langsung. Sebagian masyarakat yang tidak mendapatkan pengarahan secara sadar, aktif, dan sukarela melibatkan diri dalam upaya mendukung pengembangan desa wisata seperti kesadaran dan kesediaan warga lokal untuk menjaga kebersihan di kawasan rumah tempat tinggal mereka.

Informan menyatakan bahwa tingkat partisipasi warga lokal sangat tinggi, sehingga pariwisata Desa Stanggor dijadikan sebagai unit usaha Bumdes. Sejumlah faktor yang menghasilkan partisipasi warga lokal adalah kepemimpinan dari penggerak gagasan desa wisata dan kedekatan emosional penggerak dengan masyarakat lokal. Salah satu bentuk partisipasi aktif warga lokal ditunjukkan dengan pernyataan informan yang menyebutkan bahwa terdapat empat belas (14) orang kader dari warga lokal yang dapat menggantikan peran penggerak desa wisata.

Keterlibatan perangkat desa salah satunya ditunjukkan dari wewenang kepala desa untuk mengalokasikan anggaran desa yang digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia guna mendukung pengembangan desa wisata. Selanjutnya partisipasi juga ditunjukkan oleh kepada dusun yang juga tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) untuk melakukan pengawasan terhadap kawasan wisata untuk mempertahankan nilai pariwisata halal. Selain itu, keterlibatan kepada dusun ini dapat mendorong munculnya rasa memiliki dari warga lokal terhadap desa wisata Stanggor. Partisipasi warga lokal juga ditunjukkan dengan keterlibatan kelompok karang taruna yang berperan sebagai pemandu wisata lokal.

(14)

homestay, menjadikan rumah penduduk sebagai homestay. Selain fasilitas tempat tinggal, tawaran yang diberikan kepada wisatawan adalah ajakan makan bersama oleh penduduk lokal sebagai pemilik rumah kepada tamu (wisatawan). Upaya ini dinilai dapat membangun kesadaran wisata bagi warga lokal.

Pengembangan desa wisata melalui konversi homestay ini dilakukan dengan menerapkan standar tertentu untuk menjaga kualitas pelayanan yang diberikan. Pada awalnya dilakukan pendataan terhadap rumah warga yang akan difungsikan sebagai homestay. Selanjutnya, masyarakat yang bersedia menjadikan rumahnya sebagai homestay harus menaati peraturan Pokdarwis yaitu memberikan makanan yang mereka makan kepada wisatawan. Standar yang diberlakukan berkaitan dengan aspek kebersihan dan higienitas.

Antusiasme masyarakat juga distimulasi oleh adanya bantuan pendanaan untuk pengembangan desa wisata seperti bantuan membangun homestay dari kementerian, galeri, dan bumdes. Hal ini mendorong partisipasi masyarakat dengan membangun tempat makan di kawasan wisata.

Pada dasarnya masyarakat desa telah memiliki kebiasaan melayani yang dinilai sebagai pendukung pengembangan desa wisata. Tidak hanya itu, budaya masyarakat lokal seperti gotong royong (misalnya aktivitas rutin bulan bakti gotong royong setiap hari Jumat) juga menjadi komponen penting yang menunjang pengembangan desa wisata.

Berdasarkan penjelasan informan, masyarakat lokal menunjukkan partisipasi dan keterlibatan mereka dalam industri pariwisata. Pemerintah hanya berperan memberikan pembinaan kepada masyarakat. Unsur kesenian seperti tarian Rudak dan event yang dikelola oleh paguyuban dan Pokdarwis yang membantu membangun kembali pariwisata. Selain itu keterlibatan BKD sebagai organisasi desa yang menangani persoalan desa.

Di Desa Sade keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal tidak lepas dari nilai tradisi yang dipertahankan secara turun temurun. Informan selaku kepala dusun menjelaskan bahwa masyarakat Desa Sade merupakan masyarakat yang dinamis namun tetap menjunjung tinggi budaya asli mereka. Modernisasi membawa beragam hal baru bagi masyarakat lokal. Namun informan menegaskan bahwa adopsi unsur modern tidak dilarang (dibolehkan) namun untuk menghindari konsekuensi atau dampak yang tidak baik, maka masyarakat desa tetap diharuskan menjaga dan menaati seluruh aturan yang mengacu pada adat.

(15)

Berkaitan dengan proses internalisasi nilai yang dipertahankan, informan menyatakan bahwa penguatan nilai-nilai dilakukan melalui pelaksanaan tradisi dan penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam simbol-simbol tradisi Molimonti yang secara rutin disampaikan setiap bulan. Informan mengungkapkan bahwa penanaman nilai dilakukan kepada anak-anak misalnya untuk tidak mengganggu, bersikap sopan, dan tidak meminta-minta. Selain itu, informan juga menegaskan bahwa penanaman nilai juga sudah dilakukan sejak dari keluarga. Tidak hanya kepada anak-anak, warga desa perempuan dan generasi muda juga selalu diingatkan untuk tidak mudah terpengaruh dan menampilkan sifat yang menunjukkan pergeseran nilai-nilai budaya asli masyarakat lokal. Misalnya, mengenai berpakaian yang harus tetap mempertahankan kebiasaan berpakaian masyarakat desa. Oleh karena itu, informan juga menyampaikan bahwa sudah menjadi kewajiban dan tugas dari kepala dusun sebagai pengelingsir untuk selalu mengingatkan, menasihati, dan memberikan saran kepada masyarakat.

C. Model community-based tourism desa wisata di Lombok

Aset masyarakat yang menjadi daya tarik desa wisata di Lombok (Desa Stanggor dan Desa Sade) terdiri dari arsitektur bangunan tradisional, upacara tradisional, kesenian dan sastra, serta kerajinan yang merepresentasikan tradisi asli dan kearifan lokal warga desa. Sejumlah aset wisata tersebut sering kali dikemas dalam bentuk event khusus yang menjadi kekhasan citra pariwisata di Lombok. Berdasarkan data yang telah diperoleh, pengembangan desa wisata di kedua desa tersebut menunjukkan penerapan Community-based Tourism Model (Model CBT). Hal ini dibuktikan dari keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pemeliharaan pengembangan industri pariwisata di kedua desa tersebut. Sebagaimana tujuan dari model CBT adalah untuk menciptakan industri pariwisata yang berkelanjutan (setidaknya secara diskursif), dengan fokus melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pemeliharaan pengembangan pariwisata (Salazar, 2012). Selain itu, berdasarkan tiga kriteria utama CBT yang dikemukakan oleh South African Community Based Tourism lokasi CBT di kedua desa menunjukkan bahwa objek wisata berada di tengah masyarakat yaitu di tanah ulayat seperti di Desa Sade dengan bangunan Bale Gunung Ratih yang merupakan rumah tempat tinggal penduduk setempat. Bangunan rumah tradisional ini dimiliki oleh anggota masyarakat, dan beragam aset pariwisata di dua desa tersebut dikelola oleh anggota masyarakat. Masyarakat memiliki peran dan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan

(16)

informan yang menunjukkan bahwa perangkat desa dan warga lokal memiliki wewenang untuk menentukan arah pengembangan desa wisata di Desa Stanggor dan Desa Sade.

Berdasarkan tiga kriteria yang telah disampaikan di atas, penerapan CBT di Desa Stanggor dan Desa Sade dapat memfasilitasi potensi masyarakat dan meningkatkan manfaat yang diperoleh bagi masyarakat lokal. Kesadaran dan keyakinan masyarakat lokal Desa Sade untuk tetap setia memelihara tradisi peninggalan leluhur, nilai silaturrahim, dan menjunjung tinggi nilai akulturasi antara Islam dan budaya asli masyarakat lokal menjadi potensi dalam pengembangan desa wisata. Pengembangan desa wisata di kedua desa ini jelas membawa manfaat dari aspek ekonomi berupa pendapatan dan lapangan pekerjaan bagi warga lokal dalam rangka melaksanakan pembangunan desa. CBT membawa dampak pada berbagai aspek antara lain lapangan pekerjaan dan pendapatan, keterampilan dan self-esteem, perempuan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan (Zapata et al., 2011).

Berdasarkan data yang diperoleh, praktik CBT di Desa Stanggor menunjukan sejumlah tahapan antara lain identifikasi potensi desa yang dilanjutkan dengan pengembangan insfrastruktur wisata dengan melibatkan masyarakat lokal melalui program konversi homestay yang menjadikan rumah penduduk sebagai homestay. Kemudian setelah tahapan tersebut dilakukan, informan menyatakan bahwa upaya pengembangan desa wisata yang telah dilakukan dinilai berhasil mendorong kunjungan dari wisatawan. Tahapan-tahapan tersebut menunjukkan tiga fase yang terdiri dari fase eksplorasi ide bisnis, fase keterlibatan pengembangan infrastruktur wisata, dan fase pertumbuhan arus pengunjung dan pengembangan yang telah diidentifikasi pada riset terdahulu atas enam kasus proyek CBT di Nicaragua (Zapata et al., 2011).

Berdasarkan karakteristik pengembangan CBT yang dikemukakan oleh (Zapata et al., 2011), praktik CBT di Desa Stanggor dapat dikategorikan sebagai CBT dengan model top-down. Hal ini dikarenakan peran utama dari penggerak pengembangan desa wisata yang berasal dari luar desa (diinduksi secara eksternal). Berbeda dengan Desa Sade yang dapat digolongkan sebagai CBT dengan model bottom-up karena inisiasi pengembangan Desa Sade sebagai tujuan wisata tumbuh dan berkembang secara alami dan dipertahankan oleh masyarakat lokal desa serta kepemilikan yang kuat dari masyaralat desa setempat.

(17)

D. Partisipasi warga dan pembangunan berkelanjutan di desa wisata Lombok Pengembangan desa wisata di Desa Stanggor dan Desa Sade direncanakan dan diterapkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan dari komitmen dan pertimbangan penggerak (inisiator) dan masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata. Pelaku desa wisata yang sebagian besar merupakan penduduk lokal berupaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa dengan memperhatikan faktor ekonomi, lingkungan, dan masyarakat. Perangkat desa berperan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan konsep pariwisata halal, selalu mengingatkan untuk tetap mempertahankan nilai dan makna tradisi leluhur, dan mengedukasi masyarakat lokal mengenai kebersihan dan keamanan lokasi wisata serta tata krama dan kesopanan. Praktik pembangunan desa wisata secara berkelanjutan di kedua desa ini sangat memperhatikan aspek etis sebagai bentuk tanggung jawab sosial dengan tidak hanya meningkatkan kualitas masyarakat tetapi juga menjaga dan memelihara kondisi lingkungan.

Untuk dapat melaksanakan pembangunan desa wisata secara berkelanjutan dengan ideal, maka diperlukan partisipasi dari masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Partisipasi yang ditunjukkan di desa wisata Sade diwujudkan Dalam bentuk internalisasi nilai-nilai leluhur yang harus dipertahankan dan dipelihara melalui pelaksanaan ritual tradisi dan pesan informal yang telah dimulai di lingkup keluarga untuk tetap melakukan penyesuaian perubahan dengan budaya asli yang dimiliki masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat lokal di Desa Stanggor ditunjukkan melalui keterlibatan warga dalam program konversi homestay dan seluruh aturan yang mengikutinya terkait standar pelayanan. Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat lokal juga dapat dilihat dari pembentukan kader wisata di Desa Stanggor dan keterlibatan kelompok karang taruna dan Pokdarwis (misalnya sebagai pemandu wisata lokal), serta anak-anak yang turut mengambil peran dalam memberi sambutan dan salam kepada wisatawan. Informan juga menegaskan bahwa pariwisata adalah mengenai cerita, tourism is about storytelling. Pemandu wisata lokal yang akan bercerita kepada wisatawan mengenai kearifan lokal dan beragam kepercayaan masyarakat desa. Beragam bentuk partisipasi tersebut merepresentasikan berbagi pengalaman dan transformasi proses belajar untuk pengembangan diri sendiri (self-development) (Okazaki, 2008).

Berdasarkan ladder of citizen participation yang dikemukakan oleh Arnstein, partisipasi masyarakat pada pengembangan desa wisata Stanggor dapat diidentifikasi dan dikategorikan berada pada level partisipasi degress of tokenism (anak tangga ketiga

(18)

informing di mana penduduk setempat diinformasikan mengenai hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka sebagai langkah pertama dan paling penting menuju keterlibatan publik yang sah/terlegitimasi, keempat consultation di mana warga didorong untuk mengekspresikan pendapat mereka sebagai langkah menuju partisipasi penuh, kelima placation di mana pengaruh publik mulai tumbuh, tetapi sebagian besar masih bersifat token) (Okazaki, 2008). Sementara partisipasi masyarakat pada pengembangan desa wisata Sade dapat diidentifikasi dan dikategorikan berada pada level partisipasi degress of citizen power (anak tangga keenam partnership di mana negosiasi dilakukan antara warga negara dan pemegang kekuasaan dengan demikian meredistribusi kekuasaan dan tanggung jawab untuk perencanaan dan pengambilan keputusan, ketujuh delegated power di mana publik mencapai kekuasaan dominan atas pengambilan keputusan, kedelapan citizen control di mana warga diberikan kontrol dan kekuasaan penuh untuk kebijakan dan manajemen) (Okazaki, 2008). Wujud partisipasi pada kategori degress of citizen power terwujud melalui partisipasi masyarakat lokal dalam industri pariwisata dan pemerintah hanya berperan memberikan pembinaan kepada masyarakat.

KESIMPULAN

Dalam kesimpulan, peneliti tidak boleh mengulang pembahasan. Namun memberikan penutup dari pembahasan yang telah dilakukan serta saran-saran ataupun rekomendasi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Dijelaskan secara singkat dan lugas. Pengembangan desa wisata memiliki latar sosial berbeda antara satu dengan yang lain. Pada kajian ini, partisipasi warga di kawasan Desa Setanggor dan Sade-Rembitan dalam pembangunan pariwisata tergolong sangat tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas pariwisata yang makin maju. Kemajuan pengelolaan desa wisata ini tidak dapat lepas dari modal sosial yang dimiliki masyarakat di Kawasan wisata dan pengelolaannya yang baik.

Pengeloaan desa wisata ini ditentukan oleh kepemimpinan, kultur, kesadaran, dan partisipasi warga desa wisata. Modal sosial penting yang melekat pada seseorang yang berkontribusi terhadap kemajuan pariwisata. Kepemimpinan penting sebagai bagian dari aktor penggerak partisipasi dan penjaga nilai bersama. Kultur yang terefleksi dari arsitektur bangunan, upacara tradisional, kesenian dan sastra, serta kerajinan yang menjadi bagian dari aset pariwisata. Adanya kesadaran bersama terhadap kemajuan desa wisata. Desa wisata diterima karena memberi keuntungan material bagi warga.

(19)

Kajian tentang desa wisata dalam riset ini terfokus pada pengelolaan desa wisata oleh masyarakat dan aparat desa setempat. Padahal, pengembangan desa wisata tidak lepas dari kebijakan makro pemerintah pusat maupun daerah. Oleh karena itu, kajian tentang bentuk kebijakan dan pengaruhnya pada pengembangan desa wisata dapat dikaji pada penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abascal, T. E., Fluker, M., & Jiang, M. (2016). Domestic demand for Indigenous tourism in Australia: understanding intention to participate. Journal of

Sustainable Tourism, 24(8–9), 1350–1368.

https://doi.org/10.1080/09669582.2016.1193187

Aref, F. (2011). Barriers to Community Capacity Building for Tourism Development in Communities in Shiraz, Iran. Journal of Sustainable Tourism, 19(3), 347–359. https://doi.org/10.1080/09669582.2010.517314

Disbudpar NTB. (2016). Pemerintah Targetkan Rp 50 Trilun dari Pariwisata diakses di http://www.disbudpar.ntbprov.go.id/pemerintah-targetkan-rp-50-triliun-dari-pariwisata/ pada 5 Maret 2019

Grootaert Christian (1998). Social Capital: The Missing Link? The World Bank Social Development Family, Enviromentally, and Socially Sustainable Development Network, Social Capital InitiativeI. Working Paper No.3.

Jenkins, Richard (2004). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kamarni, Neng (2012). Analisis Modal Social Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol. 3 No. 3 2012.

Lawang, Robert M. Z (2004). Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar. Depok: FISIP UI Press.

Lindlof, T.R., & Taylor, B.C. (2002). Qualitative Communication Research Methods. California: Sage Publication

Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda

Miles, M.B., Huberman, A.M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. California: Sage Publication.

Noor, J. (2011). Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, & karya ilmiah. Jakarta: Prenadamedia Grup.

(20)

Okazaki, E. (2008). A community-based tourism model: Its conception and use. Journal

of Sustainable Tourism, 16(5), 511–529. https://doi.org/10.2167/jost782.0

Prasetyo, Suyanto (2010). Peranan Modal Sosial Untuk Strategi Kelangsungan Hidup Ekonomi Rumah Tangga Kaum Difabel Dalam Self Group Solo. Jakarta: Universitas Sebelas Maret.

Salazar, N. B. (2012). Community-based cultural tourism: Issues, threats and

opportunities. Journal of Sustainable Tourism, 20(1), 9–22.

https://doi.org/10.1080/09669582.2011.596279

Sunarjaya, G., Antara, M., & Prasiasa, DPO., (2018). Kendala Pengembangan Desa Wisata Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung. JUMPA 4 [2] : 215 - 227

Weaver, D. (2010). Indigenous tourism stages and their implications for sustainability.

Journal of Sustainable Tourism, 18(1), 43–60.

https://doi.org/10.1080/09669580903072001

Whitford, M. M., & Ruhanen, L. M. (2010). Australian indigenous tourism policy: Practical and sustainable policies? Journal of Sustainable Tourism, 18(4), 475– 496. https://doi.org/10.1080/09669581003602325

Whitford, M., & Ruhanen, L. (2016). Indigenous tourism research, past and present: where to from here? Journal of Sustainable Tourism, 24(8–9), 1080–1099. https://doi.org/10.1080/09669582.2016.1189925

Wu, T. C. (Emily), Wall, G., & Tsou, L. Y. (2017). Serious tourists: a proposition for sustainable indigenous tourism. Current Issues in Tourism, 20(13), 1355–1374. https://doi.org/10.1080/13683500.2014.970143

Wulan, T., Parfi, K. (2013). Identifikasi dan Masalah Desa Wonosoco dalam Upaya Pengembangan sebagai Desa Wisata di Kudus. Jurnal Ruang Vol. 1 No. 1 2013 Zapata, M. J., Hall, C. M., Lindo, P., & Vanderschaeghe, M. (2011). Can

community-based tourism contribute to development and poverty alleviation? Lessons from

nicaragua. Current Issues in Tourism, 14(8), 725–749.

Referensi

Dokumen terkait

Teori agensi dapat digunakan untuk membantu memahami konflik kepentingan yang mucul antara pemegang saham atau pemilik perusahaan (prinsipal) dan individu atau

Jadi pendidikan umum yang menitikberatkan pada usaha untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa, pada dasarnya berbeda dengan Ilmu Sosial Dasar mata kuliah bantu yang

Menuju Kota Tangguh di Sungai Code Yogyakarta; Perencanaan Integratif Perkotaan dengan Pendekatan Pengelolaan DAS dan Pengurangan Risiko Bencana.. Yogyakarta: Gadjah

The objective of the research: (1) to identify social characteristic of farmer’s economy related to farmer’s participation in Development Program of

Proses transisi manajemen dan kepemilikan pada perusahaan dilihat melalui dua sisi yaitu dari sisi kesiapan calon suksesor dan dari sisi relasi dalam keluarga yang

The Emplementation of Health Protocol Facilities through Handwashing and Social Distancing Education in The Tourism Area of Pecel Kampong, Ngerangan Village Klaten

DAFTAR PESERTA LOMBA PGSD PRESENT II SE-RIAUN. 2018

Data percobaan pengujian dengan variasi waktu dan temperatur menunjukkan bahwa Pt yang tidak terekstrak pada perlakuan temperatur kamar dan waktu 30 menit memberikan