• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor membutuhkan tempat untuk parkir. Lahan parkir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor membutuhkan tempat untuk parkir. Lahan parkir"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Kendaraan bermotor membutuhkan tempat untuk parkir. Lahan parkir dapat dijadikan suatu bisnis. Lahan parkir tidak terlepas dari masalah yang cukup serius. Tidak jarang konsumen pengguna jasa parkir menjadi pihak yang dirugikan jika terjadi kehilangan atas kendaraannya maupun barang yang ada di dalam kendaraan maupun kerusakan-kerusakan yang terjadi selama waktu penitipan di area parkir.1 Ketentuan mengenai parkir diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.2

Gedung-gedung perkantoran maupun pusat perbelanjaan biasanya mempunyai lahan parkir yang disediakan untuk memberikan fasilitas kepada para karyawan maupun pengunjung untuk memarkirkan kendaraan mereka. Untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di lahan parkir, maka pemilik toko atau pusat perbelanjaan mempercayakan lahan parkirnya untuk dikelola oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini dikenal sebagai pengelola jasa parkir. Pengelola jasa parkir yaitu pengelola lokasi area parkir untuk menerima penghentian atau penaruhan (kendaraan bermotor) untuk beberapa saat dan disebut sebagai pelaku usaha. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

1

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 53.

2 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

(2)

Konsumen, Pasal 1 angka 3, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.3

Definisi pelaku usaha tersebut dapat menjaring semua kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa dari pelaku usaha. Dengan adanya rumusan pelaku usaha yang luas tersebut dimungkinkan bahwa setiap kerugian dari konsumen yang diakibatkan oleh kesalahan pelaku dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku usaha yang bersangkutan dan salah satu tujuan dari UUPK untuk meningkatkan mutu dan daya saing pelaku usaha secara lebih kompetitif dapat diwujudkan.4

Pada Pasal 19 UUPK menjelaskan tanggung jawab pelaku usaha yaitu:5 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

3 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 4

Kelik Wardiono, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen Aspek Subtansi Hukum

Struktur Hukum dan Kultur Hukum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Ombak Dua, hlm. 58.

(3)

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pembatasan ganti kerugian yang demikian, berarti bahwa kepentingan produsen juga mendapat perlindungan dalam UUPK. Tanpa adanya pembatasan tanggung gugat dalam pemberian ganti kerugian tersebut, dapat mengakibatkan gulung tikarnya pelaku usaha. Ketentuan tentang pembatasan ganti rugi, mengandung arti keseimbangan perlindungan antara konsumen dengan pelaku usaha.6

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPK, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.7 Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut:8 “A person who buys goods or service for personal, family, or

household use, with no intention or resale, a natural person who use products for personal rather than business pupose.”(Seseorang yang membeli barang/jasa

untuk penggunaan pribadi, keluarga, atau rumah tangga, tanpa niat atau penjualan

6 Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di

Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 70.

7 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 8 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minnesota, West Publishing,

(4)

kembali, orang alami yang menggunakan produk untuk keperluan pribadi daripada bisnis.)

Pelaku usaha dan konsumen masing-masing mempunyai kewajiban dan hak serta tanggung jawab yang harus terpenuhi. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak kewajiban dan hak serta tanggung jawab darinya tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kerugian salah satu pihak atau kedua pihak tersebut. Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.9

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) dalam Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa: Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUH Perdata menyatakan bahwa: Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya. Pasal 1367 KUH Perdata menyatakan bahwa: Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatanya sendiri melainkan juga atas kerugian yang menjadi tanggung jawab atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

9 Komariah, 2001, Edisi Revisi Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah

(5)

Di kalangan para ahli hukum, baik praktisi maupun teoritisi untuk tanggung jawab diistilahkan dengan responsibility maupun liability.10 Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum perlindungan konsumen dirasakan sangat penting. Ada empat alasan, yaitu: pertama, tanggung jawab mutlak merupakan instrumen hukum yang relatif masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam praktiknya sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang bersangkutan, yaitu antar-kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru produsen, yaitu bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen.11

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tersebut dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini produsen wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.12

10Agus M. Toar, 1990, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya,

kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Denpasar 3-14 Januari, hlm. 1.

11Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan

Tanggungjawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, hlm. 1.

(6)

Pasal 28 UUPK menyatakan terkait pembuktian terhadap pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan dalam ganti kerugian tersebut, merupakan beban tanggung jawab pelaku usaha. Rumusan ini dikenal kemudian dengan dengan sistem pembuktian terbalik. Hal ini merupakan salah satu pemberdayaan konsumen. Karena pihak penggugat (konsumen) tidak lagi dibebani untuk membuktikan kesalahan produsen, melainkan produsen yang harus membuktikan ketidakbersalahannya. Sehingga, apabila produsen tidak mampu membuktikan ketidakbersalahannya, maka dengan sendirinya dianggap bersalah, sehingga bertanggungjawab untuk ganti kerugian yang ditimbulkan oleh produknya.13

Black`s Law Dictionary mendefinisikan a statute that safeguards consumers in the use goods and services. (Sebuah undang-undang yang melindungi konsumen dalam menggunakan barang dan jasa.)14 Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan bahwa Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.15

Sebagai pengelola jasa parkir pihak pengelola parkir, wajib menjamin keamanan pihak pengguna jasa parkir atas kendaraan bermotor yang diparkir. Pada kenyataannya banyak area parkir yang tidak dapat memberikan rasa aman pada konsumen pengguna jasa parkir. Banyak kasus hilangnya kendaraan bermotor di area parkir tanpa ada tanggung jawab dari pengelola parkir.16 Perjanjian yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha adalah perjanjian

13 Ahmadi Miru, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

hlm. 148.

14 Bryan, 2004, (Op.Cit), hlm. 335.

15 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 16 Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni: Bandung, hlm. 147.

(7)

penitipan barang. Konsep perjanjian penitipan barang terdapat pada Pasal 1694 KUH Perdata yaitu perjanjian penitipan barang terjadi apabila seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpan dan mengembalikan dalam wujud asalnya.

Dalam skripsi ini penulis akan meneliti mengenai perlindungan konsumen dalam perparkiran sebagai perjanjian penitipan barang. Masalah pelayanan bisnis jasa perparkiran salah satunya kasus perparkiran di Yogyakarta dengan Putusan Mahkamah Agung No. 3416K/Pdt/1985. Dalam putusan tersebut majelis hakim berpendapat bahwa parkir merupakan perjanjian penitipan barang. Oleh karena itu, hilangnya kendaraan milik konsumen menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk membayar ganti rugi kepada pihak konsumen.

Pengelola jasa parkir, PT. Cipta Sumina Indah Satresna digugat oleh para konsumen yaitu Ramadhan M. dan Ariyanti pada Putusan Mahkamah Agung No. 2157K/Pdt/2010. Ramadhan dan Ariyanti kehilangan kendaraannya saat berkunjung di Mal Lembuswana. Ramadhan dan Ariyanti meminta pertanggungjawaban ganti rugi atas kendaraan yang hilang di area parkir. Namun, PT Cipta Sumina Indah Satresna menolak untuk bertanggung jawab. PT Cipta Sumina Indah Satresna menyatakaan bahwa retribusi kendaraan bermotor untuk parkir di area Mal Lembuswana hanya untuk pemakaian lahan parkir.

Penerapan hukum oleh majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3416K/Pdt/1985, dimana putusannya majelis hakim menerapkan perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan barang bukan perjanjian sewa lahan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk untuk membahas mengenai pertimbangan hakim yang menganggap parkir sebagai perjanjian penitipan barang.

(8)

B.

Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis merumusan masalah yang hendak ditulis sebagai berikut: Bagaimana Perlindungan Konsumen dalam Perparkiran sebagai Perjanjian Penitipan Barang?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan konsumen dalam perparkiran sebagai perjanjian penitipan barang.

D.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan ini, dibagi menjadi dua yaitu: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan pemikiran hukum bagi perkembangan ilmu hukum terutama untuk pelaku usaha jasa parkir. Bahwa parkir adalah suatu perjanjian penitipan barang.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan pemahaman untuk menjawab permasalahan hukum terhadap bentuk hukum dari usaha jasa parkir.

E.

Orisinalitas Penelitian

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membandingkan dengan skripsi yang pernah ditulis. Skripsi yang pernah ditulis: Pertama, skripsi yang ditulis oleh M. Khaeroni (3189056). Judul: Tanggung Jawab Pengelola Parkir terhadap Kehilangan Kendaraan Bermotor Roda Dua (Studi Kasus di Salatiga dan Surakarta). Perumusan Masalah: Bagaimana hubungan hukum antara pengelola

(9)

dengan pengguna jasa (pemakir kendaraan) dan Bagaimana tanggung jawab dari pengelola jika terjadi kehilangan kendaraan? Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi M. Khaeroni adalah penulis membahas perlindungan konsumen dalam perparkiran sebagai perjanjian penitipan barang sedangkan dalam perbandingan skripsi di atas membahas tanggung jawab pengelola parkir atas perjanjian eksenorasi parkir merupakan suatu titipan, barang hilang tanggungan sendiri.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Nimrod Androiha (312008089). Judul: Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Sengketa Konsumen di Pengadilan dalam Putusan No. 300/Pdt/G/2010/Pn.Tng. Rumusan Masalah: bagaimana Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Sengketa Konsumen di Pengadilan dalam Putusan No. 300/Pdt/G/2010/Pn.Tng? Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi Nimrod Androiha adalah penulis membahas perlindungan konsumen dalam perparkiran sebagai perjanjian penitipan barang sedangkan dalam perbandingan skripsi di atas membahas sengketa konsumen di Pengadilan yang bertentangan dengan UUPK dan KUH Perdata yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.

F.

Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.17 Dalam hal ini penelitian

17 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

(10)

disebut sebagai hukum normatif sehingga yang digunakan adalah penulisan pada dogmatik hukum, penulisan berdasarkan bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan-bahan-bahan hukum tersier.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini penulis menggunakan:

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

b. Pendekatan Konseptual (conseptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

c. Pendekatan Kasus (case approach), dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.18

3. Bahan Hukum Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan putusan hakim.19 Penulis dalam penelitian ini menggunakan bahan primer, seperti:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

18Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, hlm. 133-135.

(11)

4. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3416K/Pdt/1985 dan No. 2157K/Pdt/2010

b. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.20

c. Bahan hukum tersier adalah kamus hukum, eksiklopedia dan thesaurus.

Referensi

Dokumen terkait

Sari Bumi Raya Kudus, yang dapat memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat sehingga kinerja pada perusahaan tersebut dapat berjalan dengan maksimal.. 1.3

Orangtua yang ingin mendaftarkan anaknya disekolah tersebut cenderung tidak mengkhawatirkan dikarenakan lembaga Al-Mufidah mengelolah anak dengan praktek serta

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara power otot

PENJELASAN PASAL

korelasi, namun jika memang terdakwa sebelumnya tidak ditahan dan hakim berpendapat tetap tidak perlu dilakukan penahanan, maka putusan yang tidak memuat status

untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi, emosi maupun sosial. Salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak adalah aspek

Analisis Deskriktif digunakan untuk melihat perkembangan variabel yang digunakan dalam penelitian, variabel yang dalam penelitian ini adalah Indeks Saham Syariah

Pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai PT dan aPTT memendek pada semua penderita sepsis dengan luaran decompensated DIC, hasil ini sesuai dengan teori