• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI TEKNOLOGI PEMBESARAN ABALON (Haliotis squamata) DALAM MENUNJANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI TEKNOLOGI PEMBESARAN ABALON (Haliotis squamata) DALAM MENUNJANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Teknologi pembesaran abalon telah dilakukan dengan memanfaatkan rumput laut hasil budidaya masyarakat pesisir. Tujuan ujicoba adalah pemanfaatan rumput laut hasil budidaya untuk pembesaran yuwana abalon. Digunakan yuwana abalon dengan ukuran panjang cangkang awal 30,59±2,80 sampai 31,73±2,07 mm dan Jenis rumput laut yang digunakan sebagai pakan abalon adalah Gracilaria, E. cottonii dan kombinasi keduanya. Hasil yang dicapai pada akhir ujicoba untuk pertumbuhan panjang dan bobot yuwana abalon adalah dengan pakan (A) = Gracilaria: 41,39 mm dan 10,73 g; pakan (B) = E. cottonii: 37,18 mm dan 7,39 g, serta pakan (C) = kombinasi Gracilaria + E. cottonii: 40,05 mm dan 10,02 g. Hubungan panjang-bobot abalon dengan pemberian pakan (A) menghasilkan R² = 0,854; pakan (B) dengan R² = 0,891; dan pakan (C) dengan R² = 0,613. Laju pertumbuhan panjang dan bobot harian untuk ujicoba A, B, dan C berturut-turut adalah 120,00 μm dan 38,44 μg; 73,89 μm dan 38,44 μg serta 92,44 μm dan 65,44 μg. Pembesaran abalon dapat memanfaatkan jenis rumput laut yang dibudidaya oleh masyarakat pesisir.

KATA KUNCI: abalon, Haliotis squamata, teknologi PENDAHULUAN

Abalon (Haliotis sp.) merupakan binatang laut yang digolongkan dalam kekerangan dan termasuk dalam klas Gastropoda, famili Haliotidae. Jenis abalon di alam diperkirakan lebih dari 100 spesies, namun yang telah berhasil dibudidaya hanya beberapa spesies saja. Di Jepang ada 7 spesies yang dibudidaya, yaitu Haliotis gigantean, H. sieboldii, H. discus, H. discus hannai, H. diversicolor, H. asinina, dan H. supertexta (Takashi, 1980). Sementara jenis abalon di Indonesia seperti Haliotis asinina dan H. squamata masih belum banyak dilakukan.

Abalon tergolong hewan yang memiliki nilai eksotik, dan bernilai ekonomis tinggi. Pada daerah tertentu, jenis abalon (H. asinina) dalam kondisi hidup dijual dengan harga Rp 200.000,-/kg, tetapi jenis lainnya (H. squamata) dengan harga Rp 600.000,-/kg bahkan salah satu restoran atau hotel mewah di Jakarta mematok tarif hidangan abalon hingga satu juta lima ratus ribu rupiah per porsi (Anonim, 2006). Abalon termasuk hewan yang bersifat endemik. Di alam, pada stadia larva memakan diatom bentik, sedangkan abalon dari stadia yuwana hingga dewasa dapat memakan makroalga (seaweed) yang terdiri atas tiga jenis, yaitu alga coklat, hijau, dan merah (Fallu, 1991). Sedangkan alga merah seperti Gracilaria sp. adalah jenis pakan alami yang dilaporkan baik bagi abalon dari spesies H. asinina (Singhagraiwan & Doi, 1993), dan H. squamata (Susanto et al., 2007).

Abalon termasuk hewan herbivorous (Darma, 1988) sehingga dapat mengkonsumsi rumput laut sebagai pakan. Jenis rumput laut yang dapat digunakan sebagai pakan abalon adalah Gracilaria maupun Ulva (Susanto et al., 2008; Rahmawati et al., 2008; Rusdi et al., 2009;). Abalon dapat mencerna rumput laut karena memiliki enzim yang dapat melisis jaringan dinding sel rumput laut seperti enzim selulase dan pektinase atau secara komersial disebut dengan macerozyme (Mulyaningrum & Suryati, 2008). Menurut Singhagraiwan (1993), Gracilaria merupakan makanan yang baik untuk perkembangan gonad induk abalon jenis Haliotis asinina.

Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat, tidak mempunyai akar dan batangnya berupa thalus (Anggadiredja et al., 2006). Rumput laut jenis Eucheuma cottonii disebut juga dengan Kappaphycus alvarezii, banyak dihasilkan dari budidaya dan telah berkembang di sepanjang pantai Indonesia. Penyediaan benih rumput laut tersebut dapat berasal dari alam, budidaya maupun perbenihan secara vegetatif atau generatif (Nurdjana, 2006; Parenrengi et al., 2007).

APLIKASI TEKNOLOGI PEMBESARAN ABALON (

Haliotis squamata

)

DALAM MENUNJANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

Bambang Susanto, Ibnu Rusdi, Riani Rahmawati, I Nyoman Adiasmara Giri, dan Tatam Sutarmat Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut

Jl. Br. Gondol Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Kotak Pos 140 Singaraja, Bali 81101 E-mail: rimgdl@indosat.net.id

(2)

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol-Bali, telah berhasil memproduksi benih abalon dari spesies H. squamata, sementara masyarakat pesisir telah mampu membudidaya rumput laut dari jenis E. Cottonii dan Gracilaria sp. Untuk itu, perlu dilakukan ujicoba pembesaran abalon dengan memanfaatkan beberapa jenis rumput laut hasil budidaya sebagai pakan abalon. Pembenihan dan pembesaran abalon diharapkan dapat dikembangkan secara bersama-sama dengan masyarakat pembudidaya rumput laut agar diperoleh hasil yang lebih berdaya guna. Tujuan ujicoba ini untuk mengaplikasikan teknologi pembesaran abalon dengan memanfaatkan beberapa jenis rumput laut yang telah dibudidaya oleh masyarakat pesisir, sasaran dari ujicoba ini diharapkan untuk menghasilkan teknik produksi abalon yang dengan aplikasi, dan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam membudidaya abalon serta meningkatkan pendapatannya.

BAHAN DAN METODE

Ujicoba ini dilakukan pada Keramba Jaring Apung (KJA) Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, yang berlokasi di Desa Pemuteran Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Bali. Yuwana abalon yang digunakan dalam uji coba ini adalah yuwana abalon yang berasal dari alam, kemudian diaklimatisasikan dalam bak yang dilengkapi dengan sistem air mengalir dan aerasi selama satu minggu kemudian dilakukan seleksi sesuai ukuran yang diperlukan dalam penelitian. Abalon yang digunakan dalan ujicoba ini dipilih dengan ukuran panjang cangkang awal seperti tersaji dalam Tabel 1.

Pemeliharaan yuwana abalon selanjutnya di tempatkan dalam wadah jaring ø 0,5 cm, dengan ukuran panjang x lebar x tinggi : 1 m x 1 m x 1,25 m dan dalam jaring tersebut diberikan shelter berupa potongan pipa PVC ø : 6" yang berfungsi sebagai pelindung atau tempat bersembunyi bagi abalon (Gambar 1). Setiap jaring ditebar yuwana abalon dengan kepadatan awal sebanyak 200 ekor/ m2.

Selama ujicoba diberi pakan dengan jenis rumput laut yang berbeda sebagai perlakuan yaitu: (A). Gracilaria, (B). Eucheuma cottonii, (C) kombinasi E. cottonii, dan Gracilaria. Untuk menghindari kotoran yang menempel pada jaring, maka setiap dua minggu dilakukan pembersihan kotoran dan sekaligus dilakukan pengamatan terhadap kondisi abalon.

Tabel 1. Data ukuran awal yuwana abalon yang digunakan dalam uji coba pakan berbeda

Gracilaria E, cottonii Kombinasi Panjang cangkang (mm) Maksimum 36,60 34,00 34,40 Minimum 26,40 27,20 28,20 Rataan 30,59 30,63 31,73 SD± 2,80 2,30 2,07 Lebar cangkang (mm) Maksimum 21,90 22,20 24,20 Minimum 16,60 17,10 17,60 Rataan 19,06 19,59 20,32 SD± 1,58 1,63 1,61 Bobot badan (g) Maksimum 5,80 5,60 6,00 Minimum 1,80 2,20 2,40 Rataan 4,01 3,93 4,13 SD± 1,01 0,84 1,03

(3)

Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan (panjang dan lebar cangkang, serta bobot badan) yang dilakukan setiap bulan. Untuk mengetahui pertambahan panjang, lebar cangkang abalon dilakukan pengukuran dengan jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm; sementara bobot badan diukur dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 g. Pertumbuhan panjang mutlak cangkang dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997): yaitu L = Lt – Lo, di mana L = Pertumbuhan panjang mutlak biota uji (mm); Lo = Panjang cangkang rata-rata biota uji pada awal penelitian (mm); Lt = Panjang cangkang rata-rata biota uji pada akhir penelitian (mm). Pertumbuhan bobot mutlak abalon dihitung mengunakan rumus Effendie (1997) yaitu: W = Wt – Wo, di mana: W = pertumbuhan bobot mutlak hewan uji (g); Wt = bobot rata-rata biota uji pada akhir penelitian, dan Wo = bobot rata-rata biota uji pada awal penelitian. Laju pertumbuhan harian abalon dihitung berdasarkan rumus Zonneveld et al. (1991) yaitu: DGR = (Wt – Wo)/t, di mana DGR = laju pertumbuhan harian (g/hari), Wo = bobot biota uji pada awal penelitian (g), Wt, = bobot biota uji pada akhir penelitian (g) dan t = lama pemeliharaan (hari). Sedangkan sintasan abalon dihitung menggunakan rumus Huynh & Fotedar (2004), yaitu: SR = Nt/No x 100, di mana: SR = sintasan hewan uji (%), No = jumlah hewan uji pada awal penelitian (ekor), dan Nt, = jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian (ekor).

Untuk mengetahui hubungan antara panjang-bobot badan dari ketiga perlakuan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi-korelasi. Sedang kualitas rumput laut dianalisis proksimat di laboratorium nutrisi dan teknologi pakan Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, sementara asam lemak daging abalon dianalisis di laboratorium perguruan tinggi. Sebagai data penunjang di monitor antara lain suhu air, pH, salinitas, oksigen terlarut, amonia, nitrit setiap bulan. HASIL DAN BAHASAN

Pertumbuhan Panjang, Lebar Cangkang, dan Bobot Badan

Dari hasil pengamatan pertumbuhan yuwana abalon yang meliputi pertumbuhan panjang, lebar cangkang, dan bobot badan selama ujicoba dengan pemberian jenis pakan berbeda dapat terlihat seperti Gambar 2, 3, dan 4.

Pada Gambar 2 terlihat bahwa yuwana abalon yang dipelihara dengan pemberian pakan rumput laut yang berbeda menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang berbeda pula dari ukuran panjang cangkangnya. Yuwana abalon yang diberi pakan Gracilaria menghasilkan pertumbuhan panjang cangkang yang lebih baik (41,39 mm) dibanding pemberian pakan kombinasi (40,05 mm) atau pemberian pakan E. cottoni (37,18 mm). Begitu juga pertumbuhan lebar cangkang yuwana abalon, di mana pemberian pakan Gracilaria memberikan ukuran lebar cangkang yang terbaik dibandingkan pemberian pakan lainnya (Gambar 3). Susanto et al. (2008) melaporkan bahwa abalon H. squamata lebih menyukai jenis pakan rumput laut jenis Gracilaria, sementara Rusdi et al. (2009) melaporkan bahwa yuwana abalon yang dipelihara dengan sistem air mengalir dan diberi pakan Gracilaria menghasilkan pertumbuhan panjang cangkang terbaik.

Gambar 1. Abalon berlindung pada shelter pipa PVC, dan jenis rumput laut (Gracilaria dan E. cottonii) sebagai pakan abalon

(4)

0 10 20 30 40 50 Pa nj ang c ang ka ng (m m ) 0 1 2 3

Masa pemeliharaan (bulan) Gracilaria

E. cottonii Kombinasi

Gambar 2. Pertumbuhan panjang cangkang abalon dengan jenis pakan berbeda

Gambar 3. Pertumbuhan lebar cangkang abalon selama uji coba

Gambar 4. Pertambahan bobot badan abalon dengan jenis pakan berbeda 0 2 4 6 8 10 12 bo bo t ba da n ( g) 0 1 2 3

Masa pemeliharaan (bulan)

Gracilaria E. cottonii Kombinasi

(5)

Dari pertumbuhan panjang dan lebar cangkang yuwana abalon terlihat bahwa abalon selama pemeliharaan lebih menyukai rumput laut jenis Gracilaria, sehingga pertumbuhannya pada bulan pertama sampai ketiga selalu lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan Shepherd & Steinberg (1992) dalam Corazani & Illanes (1996) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pemilihan alga oleh abalon sebagai makanannya yaitu senyawa metabolit yang ada dalam alga, morfologi alga, dan tingkat kekerasan alga tersebut, serta nilai nutrisi yang memiliki peranan dalam tahap perkembangan abalon. Sementara menurut Capinpin & Corre (1996) dengan menggunakan Gracilaria sp. sebagai pakan dapat memacu pertumbuhan dan dianggap cocok untuk budidaya abalon.

Pemeliharaan yuwana abalon dapat dilakukan dalam Keramba Jaring Apung (KJA) atau dalam bak terkontrol (Susanto, 2006), namun peningkatan pertumbuhan panjang cangkang yuwana abalon yang terbaik adalah bila pemeliharaannya dilakukan pada keramba jaring apung (Susanto et al., 2009). Gallardo & Salayo (2003) menginformasikan bahwa pemeliharaan abalon dilakukan dalam KJA dengan sistem modular dan menggunakan ukuran benih abalon dengan panjang cangkang awal 1,7 cm; dan bobot badan 1,5 g akan mencapai ukuran panjang cangkang 5,6 cm dengan bobot badan 50 g dengan lama pemeliharaan sekitar 9 bulan. Sedangkan Anonim (2000) menyatakan bahwa abalon dengan ukuran panjang cangkang awal 30 mm, dengan kepadatan antara 60—100 ekor/m2 untuk mencapai ukuran konsumsi (50—60 mm) dibutuhkan masa pemeliharaan selama 8—10 bulan. Cook (1991) melaporkan bahwa abalon merupakan organisme herbivora yang pasif, sehingga hanya akan memilih dan memanfaatkan pakan yang tersedia dan terdapat di sekitarnya saja. Pertumbuhan abalon sangat lambat serta berbeda antara satu spesies dengan lainnya dan pertumbuhannya hanya berkisar 1,0—2,5 mm/bulan (Stickney, 2000). Sedangkan hasil pengamatan yang dilakukan di BBRPBL Gondol untuk benih abalon H. squamata pertumbuhan panjang dan lebar cangkang relatif lebih cepat yaitu pada pemeliharaan 70 hari mencapai 5,81 mm dan 4,01 mm, dengan rata-rata pertumbuhan per bulannya sebesar 2,0—2,37 mm. Abalon, baik dari spesies H. Asinina maupun H. squamata sangat menyukai pakan rumput laut (Priyambodo et al., 2005; Susanto et al., 2007).

Pemberian pakan rumput laut untuk abalon H. squamata lebih cepat tumbuh dibanding H. asinina. Menurut Poore (1973), pemilihan pakan hanya akan terjadi bila pakan tersedia. Selain hal itu proses pemilihan makanan oleh abalon juga disebabkan oleh beberapa hal antara lain; keberadaan zat metabolit kimia dari alga, morfologi alga (kekerasan), dan nilai gizi (Shepherd & Steinberg, 1990 dalam Sharifuddin, 2000).

Pertambahan bobot dan pertumbuhan panjang cangkang abalon pada pengamatan yang dilakukan selama 6 minggu paling besar dicapai dengan pemberian pakan Gracilaria sp. Abalon memilih jenis pakan tertentu karena kebutuhan abalon untuk mengkonsumsi pakan dengan nilai nutrisi yang seimbang dan secara khusus abalon membutuhkan suplai nitrogen yang cukup dari pakannya.

Pertumbuhan panjang mutlak dari cangkang abalon yang tertinggi ditunjukkan pada perlakuan A: pemberian pakan Gracilaria yaitu sebesar 10,80 mm; disusul perlakuan B: Kombinasi Gracilaria + E. cottonii, dan pakan C: E. cottonii dan berturut-turut sebesar 8,32 mm dan 6,65 mm. Pertumbuhan bobot badan abalon mutlak tertinggi juga ditunjukkan pada pemberian pakan Gracilaria sp., diikuti oleh pakan kombinasi dan terendah pada pakan E. cottonii berturut-turut sebesar 6,72 g; 5,89 g; dan 3,46 g (Gambar 5 dan 6).

Hasil pengamatan laju pertumbuhan harian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian panjang cangkang abalon tertinggi adalah dengan pemberian pakan Gracilaria sp. diikuti pakan kombinasi dan E. cottonii, begitu juga laju pertumbuhan bobot badan harian abalon tertinggi ditunjukkan pada pemberian pakan Gracilaria sp. dan diikuti pemberian pakan kombinasi serta E. cottonii (Gambar 5). Susanto et al. (2008) melaporkan bahwa laju pertumbuhan bobot harian yuwana abalon yang dipelihara dalam bak terkontrol sebesar 9,04 mg/hari. Hal ini sesuai dengan Neori et al. (1998); Shpigel et al. (1999); Boarder & Shpigel (2001) yang menyatakan bahwa pemberian pakan rumput laut sampai akhir penelitian menunjukkan peningkatan pertumbuhan abalon yang baik untuk jenis Haliotis tuberculata, Haliotis discus hannai, dan Haliotis roei di Afrika Selatan. Laju pertumbuhan harian terbesar dicapai dengan pemberian pakan Gracilaria sp. (2,85±0,28%) dan pertumbuhan yang lebih

(6)

baik ditunjukkan oleh abalon yang diberi pakan Gracilaria sp. Gracilaria sp. merupakan pakan yang baik untuk pertumbuhan abalon dibandingkan Ulva sp., meskipun abalon lebih banyak mengkonsumsi Ulva sp. (Indarjo et al., 2007).

Sampai akhir pengamatan diperoleh persentase sintasan yuwana abalon dengan pemberian jenis pakan berbeda menghasilkan sintasan antara 10,00%—26,67%. Persentase sintasan tertinggi diperoleh dengan pemberian pakan C (kombinasi Gracilaria dan E. cottonii). Rendahnya sintasan dari pemeliharaan yuwana abalon tersebut disebabkan karena banyak kematian yuwana abalon mulai masa pemeliharaan bulan kedua, di mana pada saat pengamatan kualitas air, kondisi lingkungan seperti suhu air dan salinitas di laut cenderung meningkat, salinitas meningkat dari 34 ppt menjadi 36 ppt dan suhu air dari 28,5°C—30,9°C, sehingga kondisi abalon melemah pada masa pemeliharaan bulan kedua sampai bulan ketiga yang akhirnya banyak kematian.

Hubungan Panjang – Bobot Yuwana Abalon

Hubungan antara panjang cangkang dengan bobot badan yuwana abalon perlu diketahui untuk memberikan informasi bahwa dengan melihat ukuran panjang cangkang maka dapat diketahui bobot

Gambar 5. Pertumbuhan panjang mutlak dan bobot mutlak yuwana abalon 0 2 4 6 8 10 12

Gracilaria E. cottonii Kombinasi

Panjang cangkang (mm) Bobot badan (g)

Gambar 6. Laju pertumbuhan harian untuk panjang dan bobot badan yuwana abalon

0 20 40 60 80 100 120

Gracilaria E. cottonii Kombinasi

Panjang cangkang (μm) Bobot badan (μg)

(7)

badan dari yuwana abalon tersebut. Hubungan panjang bobot mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang ke dalam nilai berat. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya. Menurut Effendie (1992), hubungan panjang dan bobot badan mempunyai persamaan sebagai berikut W = aLb, di mana W = bobot (gram), L = panjang (cm), a dan b adalah suatu konstanta. Hasil transformasi ke dalam regresi linier diperoleh nilai b tertinggi ditunjukkan oleh pemberian pakan rumput laut Gracilaria. Pertumbuhan abalon yang mempunyai nilai b<3 berarti pertumbuhan bobotnya tidak sebanding dengan pertumbuhan cangkangnya, sementara nilai b>3, pertumbuhan yuwana abalon lebih cenderung ke bobot badannya. Menurut Anderson & Gutreuter (1983), berdasarkan nilai ’b’ pertumbuhan organisme bisa dikelompokkan menjadi allometrik negatif (b<3), allometrik positif (b>3), dan isometrik (b=3). Menurut Uki (1989), hubungan panjang dan bobot H. discus hannai pada panjang cangkang 1—9 cm diperoleh nilai sebagai berikut W = 0,14 L3. Persamaan korelasi-regresi dari ketiga perlakuan diperoleh nilai “R2” tertinggi adalah dengan pemberian pakan E. cottonii dan diikuti pemberian pakan Gracilaria dan pakan kombinasi (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan E. cottonii mempunyai hubungan yang sangat erat antara panjang cangkang dengan bobot badan yuwana abalon.

Pemberian pakan Gracilaria sp. menghasilkan persamaan y = 0,0001x3.040 dengan R² = 0,8546; pemberian pakan E. cottonii y = 0,0002x2.953 dengan R² = 0,8915; dan pakan kombinasi menghasilkan y = 0,0008x2.517 dengan R² = 0,6136.

Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa pemberian pakan (A): Gracilaria sp. memberikan nilai “b” sebesar 3,040; lebih baik daripada jenis (B) E. cottonii dan (C) Kombinasi. Hal ini membuktikan bahwa makroalga jenis Gracilaria sp. merupakan pakan yang cocok untuk abalon jenis H. squamata, untuk menghasilkan bobot badan yang baik selain itu, jenis rumput laut E. Cottonii dapat juga diberikan sebagai pakan abalon dan menghasilkan pertumbuhan bobot badan yang baik pula.

Gambar 7. Hubungan antara panjang cangkang dan bobot badan yuwana abalon yang dipelihara dengan pemberian pakan berbeda

Perlakuan C : Kombinasi Gracilaria + E. cottonii

Perlakuan B : Eucheuma cottonii Perlakuan A : Gracilaria

(8)

Analisa Proksimat dan Asam Lemak

Hasil analisis proksimat dari rumput laut yang digunakan sebagai pakan yuwana abalon tersaji pada Tabel 2, diketahui bahwa rumput laut jenis Gracilaria mengandung protein dan abu lebih tinggi dibandingkan dengan E. cottonii, hal ini menunjukkan bahwa rumput laut Gracilaria dapat memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibanding pemberian pakan E. cottonii. Bagi abalon, protein merupakan komponen penting untuk pertumbuhan (Fleming et al., 1996). Kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan abalon (Fallu, 1991). Menurut Mujiman (1992), zat-zat gizi yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga, mengganti sel-sel tubuh yang rusak, dan untuk tumbuh antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air. Zat yang paling berperan dalam pertumbuhan adalah protein.

Pakan alami abalon yang baik untuk pertumbuhannya adalah walaupun rendah lemak tetapi kaya cadangan karbohidrat (Painter, 1983 dalam Knauer et al., 1996). Abalon memiliki kemampuan yang besar untuk mensintesis lemak dari sumber karbohidrat (Durazo-beltran et al., 2003). Akan tetapi untuk meningkatkan pertumbuhan abalon yang baik dibutuhkan makroalga dengan kandungan lemak berkisr antara 3%—5% (Mercer et al., 1993).

Moyes & West (1995) mengemukakan bahwa lipid merupakan unsur penting makanan bukan semata-mata karena nilai energinya yang tinggi, melainkan karena adanya vitamin yang larut dalam lemak dan asam lemak esensial yang terkandung pada pakan alami. Tingginya nilai lemak pada pakan menyebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi rendah sehingga energi yang dihasilkan juga rendah dan menyebabkan laju pertumbuhan abalon menjadi lambat (Thongrod et al., 2003). Lipid memegang peranan penting pada nutrisi abalon sebagai penyedia EFA, khususnya HUFA (High Un-saturated Fatty Acid) (Uki et al., 1986; Uki & Watanabe, 1992).

Sampai saat ini informasi mengenai kebutuhan asam lemak esensial (EFA) untuk abalon belum tersedia. Asam lemak esensial tidak dapat disintesa oleh tubuh biota melainkan harus disuplai dari pakan. PUFA (Polyunsaturated fatty acid) dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan reproduksi abalon yang harus didapatkan dari pakan sebagai asam lemak esensial (Dunstan et al., 1996). Hasil analisis asam lemak dari daging abalon belum dapat disajikan karena masih dalam proses analisis di laboratorium.

Kualitas Air

Hasil pengukuran kualitas air pada masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 3.

Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan menunjukkan bahwa kisaran nilai yang berfluktuasi dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan abalon. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu dan salinitas, masing-masing cenderung sangat ekstrim karena salinitas air sampai 36 ppt, dan suhu di atas 30°C. Pada kondisi suhu diaas 30°C dengan periode yang panjang akan mempengaruhi kondisi abalon. Menurut Irwan (2006), suhu yang optimal untuk abalon berkisar antara 24°C—30°C, sedangkan salinitas optimum antara 30—35 ppt. Menurut Fallu (1991), Kisaran salinitas normal yang cocok untuk pertumbuhan abalon yaitu berkisar 33—35 ppt dan pertumbuhan hewan laut tidak optimal pada salinitas di atas 35 ppt.

Tabel 2. Analisis proksimat dari rumput laut yang digunakan untuk pakan yuwana abalon Komposisi (%) Gracilaria sp. E. cottonii

Protein 9,28 3,05

Lemak 1,49 3,24

Abu 52,23 46,29

(9)

Tabel 3. Hasil pengukuran kualitas air pada masing-masing perlakuan Variabel A B C Suhu (°C) 29,8–31,2 29,8–31,09 29,8–31,02 Salinitas (ppt) 34–36 34–36 34–36 Oksigen terlarut 5,0–5,4 5,1–5,4 5,1–5,4 pH 8,1–8,56 8,1–8,53 8,1–8,55 Amonia (mg/L) 0,005– 0,010 0,007–0,013 0,007–0,012 Nitrit (mg/L) 0,004–0,006 0,007–0,512 0,006–0,060 KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pemberian pakan rumput laut dengan jenis yang berbeda memberikan tingkat pertumbuhan yang berbeda pula dan pembesaran abalon dapat memanfaatkan beberapa jenis rumput laut yang diproduksi oleh masyarakat.

2. Jenis pakan E. cottonii dapat diberikan sebagai pakan dalam aplikasi pembesaran abalon spesies H. squamata.

Saran

Pembesaran abalon disarankan untuk dilakukan kembali dengan memberikan beberapa jenis rumput laut yang dihasilkan oleh masyarakat sebagai pakan abalon dan dimulai pada kondisi lingkungan perairan yang mendukung kehidupan abalon.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Saudara I Made Buda, Hendra, dan Wiwin sebagai staf teknisi pada hatcheri Abalon yang telah membantu selama persiapan sampai selesai pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Saudara/i Ni Putu Ayu Kenak, Ni Putu Ari Arsini, Ni Kadek Ariani, Darsudi, dan Deny Puji Utami yang telah membantu dalam kegiatan analisis laboratorium.

DAFTAR ACUAN

Anderson, R.O. & Gutreuter, S.J. 1983. Length weight and Associated structural indices. In Nielsen, L.A., Johnson, D.L. (Eds.), Fisheries Techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland, p. 283—300.

Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H., & Istini, S. 2006. Rumput laut, pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Penebar Swadaya, 147 hlm.

Anonim. 2000. Abalone seed production and culture. Aquaculture Department, Southeast Asian Fish-eries Development Center, Tigbauan, Iloilo, Philippines, 6 pp.

Anonim. 2006. Budidaya abalon. Majalah demersal http://www.abalondirect.com/abdirect/ About_Abalon/ Facts/facts.html.

Boarder, S.J. & Shpigel, M. 2001. Comparative growth perfomance of juvenil Haliotis roei fed on en-riched Ulva rigida and various artificial diets. J. Shellfish Res., 20: 653—657.

Capinpin, E.C. & Corre, K.G. 1996. Growth rate of the Philippine abalone, Haliotis asinina fed an artificial diet and macroalgae. Aquaculture, 144: 81—89.

Cook, P.A. 1991. The potential for abalone culture in South Africa. In : Cook PA (ed) Perlemoen farming in South Africa. Mariculture Association of South Africa, p. 27—32

Corazani, D. & Illanes, Z.E. 1996. Growth of Juvenile Abalone Haliotis discus hannai Ino 1953 and Haliotis rufescens Swainson 1822 Fed With Different Diets. J. of Shellfish Research, 17: 663—666. Cox, K.W. 1996. California Abalones. Famili Haliotidae. California Fish and Game. Fisheries Bulletin,

(10)

Dharma, B. 1988. Siput dan kerang Indonesia I. Cetakan pertama. PT Sarana Graha. Jakarta, hlm. 30— 45.

Dunstan, G.A., Baillie, H.J., Barrett, S.M., & Volkman, J.K. 1996. Effect of diet on the lipid composition of wild and cultured abalone. Aquaculture, 140: 115—127.

Durazo-Beltra´n, E., Louis R. D’Abramo, Jorge Fernando Toro-Vazquez, Carlos Vasquez-Pela´ez, & Marý´a Teresa Viana. 2003. Effect of triacylglycerols in formulated diets on growth and fatty acid composition in tissue of green abalone (Haliotis fulgens). Aquaculture, 224: 257—270

Effendie, M.I. 1992. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Agromedia. Bogor, 112 hlm. Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor, 105 hlm.

Fallu, R. 1991. Abalone farming Set by setrite typesetter limited Printed and bound in Great Britain by Harnolls, Bodmin, Conwail, 195 pp.

Fleming, A.E., Van Burneveld, R.J., & Hone, P.W. 1996. The development of artificial diets for abalone : A review and future directions. Aquaculture, 140: 5—53.

Furkon, U.A. 2007. Konsumsi kerang dan udang membahayakan, benarkah. Diakses dari http:// ukonisme.blogspot.com/2007/02/ konsumsi-kerang- dan udang-membahayakan. html, 3 hlm. Gallardo, W.G. & Salayo, N.D. 2003. Abalone culture–a new business. Opportunity. SEAFDEC Asian

Aquaculture, 25(3).

Huynh, M.S. & Fotedar, R. 2004. Growth, survival, hemolymph osmolality and organosomatic indices of the western king prawn (Penaeus laticulatus Kihinouye, 1896) reared at different salinities. Aquac-ulture, 234: 601—614.

Indarjo, A., Hartati, R., Samidjan, I., & Anwar, S. 2007. Pengaruh pakan Gracilaria sp. dan pakan buatan terhadap pertumbuhan Abalon Haliotis asinina. Prosiding Seminar Nasional Moluska dalam penelitian, konservasi dan ekonomi, hlm. 215—228.

Irwan, J.E. 2006. Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina L.) Produksi Hatchery di Indonesia. Jurusan Perikanan, UNHALU, Kendari, Sulawesi Tenggara, 21 hlm

Knauer, J., Britz, P., & Hecht, T. 1996. Comparative growth performance and digestive enzyme activity of juvenile South African abalone, Haliotis midae, fed on diatoms and a practical diet. Aquaculture, 140: 75—85.

Litaay, M. 2009. Peranan-nutrisi-dalam-siklus-reproduksi-abalon. Diakses dari http:// i n d o b a h a r i . b l o g s t e r. c o m / p e r a n a n - n u t r i s i - d a l a m - s i k l u s - r e p r o d u k s i - a b a l o n . www.oseanografi.lipi.go.id/ download/ose_xxx3_ peran.pdf

Mai, K., Mercer, J.P., & Donlon, J. 1995. Comparative studies on the nutrition of two species of aba-lone, Haliotis tuberculata L. and Haliotis discus hannai Ino: III. Response of abalone to various levels of dietary lipid. Aquaculture, 134: 65—80.

Mercer, J.P., Mai, K.S., & Donlon, J. 1993. Comparative studies on the nutrition of two species of abalone, Haliotis tuberculara Linnaeus and Haliotis discus hannai Ino. 1. Effects of algal diets on growth and biochemical composition. Invert. Reprod. Dev., 23: 75—88.

Moyes, C.D. & West, T.G. 1995. Exercise metabolism of fish. In: Hochachka, P.W., Mommsen, T.P. (Eds.), Metabolic Biochemistry. Biochemistry and Molecular Biology of Fishes, 4: 367—392.

Muchtadi, T.R. 2000. Asam Lemak Omega 9 dan manfaatnya bagi Kesehatan. Media Indonesia, 29 November 2000. Diakses dari http://www.bimoli.com/omega9b.htm. April, 2009-04-04

Mujiman, A. 1992. Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta, 190 hlm

Mulyaningrum, S.R.H & Suryati, E. 2008. Aktivitas enzim komersial, ekstrak kasar enzim dari viscera keong emas (Pila polita), abalone (Haliotis asinina), dan bekicot (Achtina fullica) untuik lisis jaringan rumput laut, Kappaphycus alvarezii pada kultur protoplas. J. Ris. Akuakultur, 3(3): 313—321. Neori, A., Ragg, N.L.C., & Shpigel, M. 1998. The integrated culture of seaweed, abalone and clams in

modular intensive land-based systems: II. Performance and nitrogen partitioning within an aba-lone (Haliotis tuberculata) and macroalgae culture system. Aquaculture. Eng., 17: 215—239. Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia.disampaikan pada Diseminasi

(11)

Parenrengi, A., Suryati, E., & Rachmansyah. 2007. Penyediaan benih dalam menunjang kebun bibit dan budidaya rumput laut, Kappaphycus alvarezii. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta, 12 hlm.

Poore, G.C.B. 1973. Ecology of New Zealand abalones, Haliotis species (Mollusca: Gastropoda). IV. Reproduction. NZ J. Mar. Freshwater Res., 7: 67—84

Priyambodo, B., Sofyan, Y., & Suastika Jaya, I.B.M. 2005. produksi benih tiram abalon (Haliotis asinina) di Loka Budidaya Laut Lombok. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. UGM. Yogyakarta, 5 hlm.

Rahmawati, R., Rusdi, I., & Susanto, B. 2008. Studi tentang pertumbuhan abalon Haliotis squamata (Reeve, 1846) dengan pemberian pakan makroalga yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2008. Teknologi Budidaya Perikanan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. STP Jakarta. hlm. 342—349.

Rusdi, I., Susanto, B., & Rahmawati, R. 2009. Pemeliharaan abalon Haliotis squamata dengan sistem pergantian air yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Moluska. FPIK-IPB. Bogor.

Sharifuddin. 2000. Food and Growth in Haliotis (preview). J. Perikanan UGM, II(1): 1—12.

Shpigel, M., Ragg, N.L., Lapatsch, I., & Neori, A. 1999. Protein content determines the nutritional value of the seaweed Ulva lactuca L. for the abalone Haliotis tuberculata L. and H. discus hannai. J. Shellfish Res., 18: 227—233.

Singhagraiwan, T. & Doi, M. 1993. Seed production and culture of a tropical abalone Haliotis asinina Linne. Department of fisheries, Ministry of Agriculture and Cooperatives. Thai. Mar. Fisheries Res. Bull., 2: 83—94.

Stickney, R.R. 2000. Abalone Culture. Encyclopedia Of Aquaculture. California, p. 1—6.

Susanto, B. 2006. Report of JICA Training Course at Japan, Sustainable Mariculture Technology, period 8 September to 1 November 2006, 12 pp (Unpublish).

Susanto, B., Hanafi, A., Zafran, & Ismi, S. 2007. Pematangan gonad induk dan perbaikan kualitas benih abalon (Haliotis squamata). Laporan Teknis BBRPBL – Gondol Bali, 17 hlm.

Susanto, B., Rusdi, I., Ismi, S., Hanafi, A., Supii, A.I., & Styadi, I. 2008. Perbaikan teknik pemeliharaan larva–juvenil abalone (Haliotis squamata) melalui manajemen pakan dan lingkungan. Laporan teknis BBRPBL, 13 hlm.

Susanto, B., Rusdi, I., Ismi, S., & Rahmawati, R. 2009. Perbenihan dan pembesaran abalon (Haliotis squamata) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol Bali. Prosiding Seminar Nasional Moluska 2, “Moluska peluang bisnis dan konservasi”. FPIK-IPB. Bogor, V: 149—161.

Takashi. 1980. Abalone and their industry in Japan. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, p. 165—177.

Thongrod, S., Tamtina, M., Chairatb, C., & Boonyaratpalinc, M. 2003. Lipid to carbohydrate ratio in donkey’s ear abalone (Haliotis asinina, Linne) diets. J. of A Department of Fisheries, Coastal Aquatic Feed Research Institute, Jatujak, Bangkok 10900, Thailand, 165—174.

Uki, N. 1989. Abalon seedling production and its theory. National Research Institute of Aquaculture Fisheries Agency. Japan, Int. J. Aq. Fish Technol., 1: 224—231.

Uki, N., Sugiura, M., & Watanabe, T. 1986. Requirement of essential fatty acids in the abalone Haliotis discus hannai. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish., 52: 1013—1023.

Uki, N. & Watanabe, T. 1992. Review of the nutritional requirements of abalone Haliotis spp and development of more efficient diets. In: Sheperd, S.A., Tegner, M.J., Guzma´n del Proo´, S.A. (Eds.), Abalone of the World: Biology, Fisheries and Culture. Fishing News Books, Oxford, p. 504—517. Zonneveld, N., Huisman, E.A., & Boon, J.H. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Penerjemah. Pustaka

Gambar

Tabel 1. Data ukuran awal yuwana abalon yang digunakan dalam uji coba pakan berbeda
Gambar 1. Abalon berlindung pada shelter pipa PVC, dan jenis rumput laut (Gracilaria dan E
Gambar 4. Pertambahan bobot badan abalon dengan jenis pakan berbeda
Gambar 6. Laju pertumbuhan harian untuk panjang dan bobot badan yuwana abalon
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terjadi karena fluorida yang masuk ke dalam tubuh akan bergabung dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen fluorida (HF) yang mudah melintasi

membangunkan sntu aplikasi \\ eb yang berorientas1kan Perdn g angnn Elct...tronik (E-Commerce), iaitu menubuhkan s ebuah g edun g buku elektronik sc carn dalam tnlian

attitude yang dimiliki oleh tenaga kerja non lokal, attitude tenaga kerja lokal sangat kurang sekali. Dari segi motivasi, tenaga kerja dinilai tidak bersemangat dalam

Penentuan konsentrasi optimum TiO 2 sebagai katalis pada degradasi 2,4-D secara sonolisis dilakukan dengan cara yang sama.. Larutan tiap variasi pH tersebut dimasukkan

PEKERJAAN KEFARMASIAN UU 36 / 2009 : Kesehatan Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi Penyimpanan dan distribusi obat Pengelolaan obat Pelayanan obat atas resep

Berdasarkan sumber yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit kulit di atas, maka dapat disimpulkan faktor- faktor yang dominan

Hasil Penelitian pada pendidikan dan penyuluhan POKJA: setiap tahun dilakukan pelatihan POKJA dan setiap bulan di lakukan pertemuan POKJA rutin yang didalamnya