• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan gambaran hasil penelitian yang telah diuraikan pada. bab empat diatas, maka dari fakta-fakta atau hasil penelitian tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berdasarkan gambaran hasil penelitian yang telah diuraikan pada. bab empat diatas, maka dari fakta-fakta atau hasil penelitian tersebut"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

Berdasarkan gambaran hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab empat diatas, maka dari fakta-fakta atau hasil penelitian tersebut selanjutnya dilakukan pembahasan berdasarkan kerangka pemikiran yang digunakan. Untuk mempermudah dalam pembahasan maka, peneliti mengelompokkan keadaan point-point sebagai berikut :

A. Penyandang cacat dan ketidakberdayaan yang dihadapi.

Berdasarkan hasil penelitian tentang latar belakang dan Kondisi ketidakberdayaan yang dialami oleh peyandang cacat, terlihat adanya keadaan yang dihadapi sebagai dampak dari kecacatan baik yang dirasakan oleh penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. Penyandang cacat dalam konsep yang dikemukakan oleh Ife (bab 2, hal 54-56), merupakan kelompok yang mengalami ketidakberdayaan yang termasuk kedalam other disadvantage yaitu kelompok lemah/kurang beruntung secara khusus. Kelompok ini timbul disebabkan karena dua hal yaitu pertama permasalahan ketidakberuntungan sebagai permasalahan individu yang bersumber dari individu itu sendiri, meliputi patologi individu seperti manula, anak da remaja, penyandang cacat, gay, lesbian, dan suku terasing (Individual perspective). Sebab kedua, permasalahan ketidakberdayaan sebagai akibat dari pandangan yang lebih memusatkan pada pengalaman subjektif terhadap power daripada eksistensi objektifnya, dengan mekanisme pengendalian yang utama memusatkan pada ide-ide, bahasa dan penjelasan pengetahuan

(2)

yang digunakan. Dalam perspektif ini (Post structural perspective) permasalahan penyandang cacat tidak dilihat secara objektif tapi lebih kepada pemahaman-pemahaman subjektif, sehingga upaya penumbuhan kemampuan kurang mendukung kebutuhan sebenarnya yang diharapkan penyandang cacat. Penggunaan berbagai istilah bagi penyandang cacat lebih mengarah kepada diskriminasi dan penempatan penyandang cacat sebagai sumberdaya yang tidak produktif, semakin mengarah kepada Kondisi ketidakberdayaan penyandang cacat.

Terkait dengan Kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi penyandang cacat, merujuk pada kajian yang yang dikemukakan oleh Adam dan Soifer (Bab 2, hal 57), terlihat dari hasil penelitian bahwa kelima informan penyandang cacat diharapkan kepada Kondisi ketidakberdayaan sebagai berikut :

1. Kehilangan fungsi pengendalian diri kehilangan peranan dan kehilangan kesabaran emosional. Kehilangan fungsi pengendalian diri terkait dengan gangguan fisik dan mental yang dihadapi oleh kelima informan tersebut. Kehilangan peranan menyangkut hilangnya peran yang sedang atau yang harus ditampilkan sebagai akibat dari kecacatannya, serta kehilangan kesabaran emosional yang disebabkan oleh gangguan secara mental, kehilangan ini secara khusus terjadi pada informan Tn dan informan Ar yang mengalami gangguan mental, sementara informan Hr, informan At dan Informan Mm tidak mengalami karena lebih kepada gangguan fisik.

(3)

2. Mengalami kehilangan selama periode yang panjang atau tetap dalam kedudukannya di rumah, pekerjaan dan masyarakat. Kehilangan ini dialami oleh kelima informan sebagai berikut :

a. Informan Hr mengalami kehilangan kemandirian dalam beraktifitas dirumah sehingga harus tergantung pada keluarganya, kehilangan kesempatan sekolah, dan kehilangan aktifitasnya dalam masyarakat. b. Informan At mengalami kehilangan kemandirian dan beraktifitas

dirumah dan tergantung pada keluarganya, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan aktifitasnya dalam masyarakat.

c. Informan Tn mengalami kehilangan kemandirian dalam beraktifitas di rumah dan tergantung pada keluarganya, kehilangan pekerjaan dan kehilangan aktifitasnya dalam masyarakat.

d. Informan Ar mengalami kehilangan kemandirian dalam beraktifitas dirumah, kehilangan kesempatan untuk sekolah, dan kehilangan aktifitasnya dalam masyarakat.

e. Informan Mn mengalami kehilangan kemandirian dalam beraktifitas di rumah, kehilangan kesempatan untuk sekolah, dan kehilangan aktifitasnya dalam masyarakat.

3. Merasakan perubahan pada kemampuan diri, dan mengalami dukungan emosional dari keluarga dan teman-teman yang kurang. Perubahan pada kemampuan diri sebagian besar terjadi pada kelima informan, sementara kurangnya dukungan emosianal dari keluarga dan teman-teman tidak

(4)

terjadi pada informan Hr. Dalam kasus informan Hr, dukungan dari keluarga dan teman-teman malah semakin besar sehingga dapat memperkecil atau bahkan sama sekali tidak merasakan kecacatan yang dialami.

4. Mengalami perasaan terguncang, penolakan, kemarahan, kesdihan atas hilangnya kemmpuan yang mereka miliki sebelumnya. Keadaan ini terjadi pada kasus informan Hr, informan At, dan Informan Tn, hal ini dimungkinkan karena kecacatan yang mereka alami terjadi karena kecelakaan, sakit, dan Masalah keluarga, dimana sebelumnya Kondisi mereka tidak mengalami kecacatan. Sementara pada kasus informan Ar dan informan Mm, karena kecacatannya sejak lahir, keadaan demikian tidak terjadi.

Berdasarkan kajian hasil penelitian diatas, terlihat bahwa secara garis besar kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi informan penyandang cacat disebbakan karena faktor internal dan eksternal. Sebagaimana dijelaskan oleh Sulaiman (bab 2 hal. 51), faktor internal yang dihadapi oleh informan penyandang cacat meliputi ketidakberdayaan secara fisik, psikis, mental dan sosial, ketidakbedayaan terhadap pengetahuan, informasi dan keterampilan, ketidak.kurang percayaan diri dan harga diri; kepasrahan; keputusasaan, ketergantungan; dan ketidakberdayaan semangat dan dorongan. Sementara faktor eksternal yang dihadapi informan penyandang

(5)

cacat meliputi pendidikan dan sosialisasi, perhatian dari lingkungan sekitarnya, penelantaran dan pengucilan.

Dampak dari kecacatan juga terjadi pada keluarga dimana anggotanya mengalami kecacatan serta masyarakat. Dalam konteks-kontek kecacatan yang dihadapi oleh kelima informan, terdapat perbedaan konsekuensi yang terjadi diantara kelima keluarga informan dan lingkungan masyarakatnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut berdasar pada kajian Hayes dan Cuskelly (Bab 2, hal. 59-60), konsekuensi-konsekuensi yang terjadi adalah sebagai berikut :

1. Pandangan keluarga bahwa kecacatan adalah masalah aib yang sangat besar karena menyangkut ”kehormatan keluarga”, serta pandangan bahwa kecacatan adalah masalah potensial yang harus dikembangkan oleh keluarga sehingga terjadi proses ”akomodasi keluarga”. Pada kasus kelima informan penyandang cacat diatas, sifat dari keluarga dalam memandang kecacatan lebih kepada pandangan kedua, yaitu sebagai masalah potensial yang harus dikembangkan dalam suatu proses ”akomodasi keluarga”. Dalam menjalankan proses tersebut, ternyata terdapat perbedaan faktual dari kasus kelima keluarga tersebut, sebagai berikut :

a. Pada keluarga informan Hr, proses akomodasi keluarga terlihat terjadi secara terus-menerus sejak awal terjadinya kecacatan, dimana baik ibu, bapak dan adik-adik dari informan Hr membantu untuk

(6)

menciptakan rutinitas kehidupan sehari-hari seperti perawatan diri, tugas-tugas rumah tangga, dukungan sosial, sumber keuangan dan perana orang tua.

b. Pada keluarga informan At, proses akomodasi keluarga memang terlihat sejak awal terjadinya kecacatan, dimana isteri dari informan At membantu untuk memenuhi kebutuhan informan At, tapi selanjutnya terhenti karena perubahan sikap sang isteri yang selanjutnya tidak membantu, malahan selanjutnya lebih cenderung menganggap kecacatan suaminya sebagai aib keluarga yang mengganggu kehormatan keluarga.

c. Pada informan Tn, Informan Ar dan Informan Mm, pandangan kecacatan sebagai suatu masalah potensial yang harus dikembangkan tidak dibarengi dengan kemampuan dan pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan proses ”akomodasi keluarga”, sehingga meskipun mereka menerima kecacatan yang dialami anggota keluarganya, namun mereka tidak berusaha dan pasrah menerima kenyataan kecacatan tersebut.

2. Dilihat dari respon keluarga terhadap kecacatan, hampir semua keluarga mengalami proses duka cita yang mendalam yang bisa berkembang pada penyangkalan atau penerimaan dari kondisi kecacatan tersebut. Dalam kasus kelima keluarga informan, seluruh keluarga mengalami proses duka cita secara mendalam terutama yang dirasakan keluarga informan

(7)

Hr, informan At dan informan Tn. Proses duka cita tersebut dalam kasus keluarga informan Hr, informan Ar, informan Tn dan informan Mm tidak berlangsung secara berlarut-larut dan berakhir pada penerimaan dari keluarga terhadap kecacatan. Sementara kasus pada keluarga informan At berakhir pada penyangkalan dari keluarga dalam hal ini isteri informan At yang tidak menerima kecacatan tersebut dan akhirnya keluarga jadi rentan dan bercerai.

3. Keluarga dihadapkan pada pandangan masyarakat yang menolak atau menerima kecacatan. Dalam kasus kelima keluarga informan, seluruhnya tidak menerima penolakan dari masyarakat sekitarnya, bahkan dalam kasus informan Hr, informan At dan informa Tn, masyarakat sekitarnya justru semakin memberikan perhatian dan berusaha membantu agar supaya informan dapat menghadapi hidup dan kehidupan dengan baik. 4. Keluarga mengalami kondisi keterasingan dengan lingkungan luar atau

tetap memelihara hubungan sosial. Pada kasus kelima keluarga informan tersebut, tidak ada keluarga yang menjadi terasing dengan lingkungan sekitarnya karena mengalami kesibukan dalam mengurus anggota keluarganya yang mengalami kecacatan, sehingga mereka tetap menjalin hubungan sosial dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

5. Adanya pengaruh dari saudara kandung yang menolak atau menerima kecacatan yang dihadapi oleh saudaranya. Pada kasus kelima keluarga tersebut, pengaruh tersebut nampak pada keluarga informan Hr dimana

(8)

keempat adiknya menerima kecacatan dan membantu informan dalam proses kemandiriannya, hal yang sama juga terjadi pada keluarga Tn dan informan Ar. Sementara pada informan Mm kelima kakaknya pada dasarnya menerima kecacatan yang dihadapi tetapi tidak semuanya membantu secara langsung proses pencapaian kemandirian informan Mm, tetapi menyerahkan kepada kakaknya yang keempat (Ibu Yn). Hal ini dimungkikan karena mereka punya kesibukan sendiri untuk memenuhi keluarga masing-masing, sementara inu Yn mereka anggap punya waktu dan kemampuan karena menjadi kader RBM.

B. Pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat melalui rehabilitasi bersumberdaya masyarakat

Pada bagian ini, akan membahas hasil penelitian menyangkut dua hal yaitu proses pemberdayaan terhadap penyandang cacat yang dilakukan oleh kader RBM, dan hasil yang dicapai dari proses peemberdayaan tersebut sesuai dengan tujuan dilaksanakan program RBM ini. Proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kader RBM meliputi tahap persiapan : (membuat peta lokasi, kunjungan dari rumah ke rumah dan deteksi kecacatan, dan menentukan paket latihan bagi penyandang cacat), tahap pelaksanaan yaitu melatih keluarga penyandang cacat dan masyarakat, serta tahap pembinaan yaitu melakukan kunjungan, pembinaan dan rujukan. Hasil pemberdayaan

(9)

yang dicapai meliputi kemampuan kader RBM dalam melakukan deteksi kecacatan, kemampuan penyandang cacat dalam mencapai kemandiriannya, dan kemampuan masyarakat untuk terlibat secara aktif. Gambaran hasil penelitian menyangkut kedua unsur tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Proses pelaksanaan pemberdayaan.

Proses pelaksanaan pemberdayaan terhadap penyandang cacat melalui RBM, dilakukan secara bersama-sama antara kader RBM, penyandang cacat,keluarga penyandang cacat dan masyarakat. Keempat komponen tersebut merupakan unsur utama dalam program RBM, dan masing-masing mempunyai peranan yang harus dilakukan sesuai dengan tahap kegiatan proses pemberdayaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap proses pemberdayaan yang dilakukan, peran-peran yang seharusnya ditampilkan pada masing-masing komponen tersebut, belum secara keseluruhan dilaksanakan dimana pada tahap-tahap tertentu peran tersebut belum dijalankan dengan baik.

a). Tahap persiapan.

Tahap ini terdiri dari pembuatan peta wilayah binaan, kunjungan dari rumah ke rumah, dan melakukan deteksi kecacatan. Pada tahap ini, peranan yang dominan adalah kader RBM dan masyarakat. Dari hasil penelitian, terlihat peranan ini lebih banyak dilakukan oleeh kader RBM tanpa melibatkan anggota masyarakat. Keterlibatan masyarakat baru terlihat setelah kader RBM memberitahukan kepada masyarakat tentang

(10)

keberadaan penyandang cacat diwilayah binaannya sebagai hasil dari kegiatan di atas. Pendataan penyandang cacat melalui kunjungan ke rumah dan melakukan deteksi kecacatan, seharusnya merupakan kegiatan bersama antara kader RBM dan masyarakat sekitarnya.

b). Tahap pelaksanaan.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melatih keluarga penyandang cacat dan masyarakat agar selanjutnya mereka dapat melatih penyandang cacat sesuai dengan tingkat kemandirian yang telah ditentukan. Peran yang terlibat dalam tahap ini menyangkut semua komponen yaitu kader RBM, penyandang cacat, keluarga penyandang cacat dan masyarakat. Dari hasil penelitian terlihat bahwa dominasi kader RBM sangat besar dalam proses ini, sehingga penyandang cacat, keluarga dan masyarakat kurang terlibat. Penentuan tingkat kemandirian yang ingin dicapai oleh penyandang berdasarkan 23 kriteria kemandirian (manual RBM) sesuai tingkat gangguan yang dimiliki, seharusnya dilakukan secara bersama-sama antar kader, penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. Bahkan dalam kegiatan ini lebih diuoayakan pada kemampuan penyandang cacat dan keluarga untuk bisa menentukan kebutuhan akan kemandirian yang diinginkannya dengan berdasar pada 23 kriteria kemandirian dan bukannya penentuan secara sepihak dari kader RBM.

(11)

Kegiatan dalam tahap ini adalah mengadakan kunjungan dan pembinaa serta melakukan rujukan. Peran utama dalam kegiatan ini adalah kader RBM terutama dalam kaitannya dengan pemberian bimbingan, supervisi dan motivasi serta untuk menjembatani penyandang cacat dan keluarga dengan para profesional dan masyarakat dalam meningkatkan atau mencapai kemandirian penyandang cacat. Pada penelitian yang dilakukan terlihat bahwa kegiatan pembinaan ini belum dilaksanakan secara memadai. Hal ini terlihat dimana seharusnya kader melakukan rujukan terhadap informan Ar dan Mm yang tingkat kemandiriannya untuk bersekolah belum tercapai secara penuh. Kenyataan ini seharusnya disikapi oleh kader RBM dengan melakukan rujukan terhadap profesional atau instansi yang terkait dalam Tim RBM kecamatan maupun kota sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini kebutuhan penyandang cacat adalah untuk bisa sekolah, sehingga bisa dirujuk melalui Tim RBM keecamatan untuk mendapatkan pelayanan dari instansi/Dinas pendidikan setempat.

Dalam kajian proses pemberdayaan sebagai strategi dalam kegiatan yang berbasiskan masyarakat yang dikemukakan oleeh Ife (bab 2, hal 67-70), terlihat bahwa proses pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan oleh kader RBM diatas, terkait dengan konsep pemberdayaan yang dilakukan melalui proses pendidikan dan penumbuhan kesadaran, penginformasian, pengorganisasian dan pelatihan. Proses penumbuhan kedasaran dan

(12)

penginformasian dilakukan dalam tahap persiapan pemberdayaan penyandang cacat melalui kegiatan kunjungan dari rumah ke rumah dan deteksi kecacatan. Dalam kegiatan ini kader RBM beserta masyarakat memberikan penjelasan dan pemahaman kepada keluarga tentang program RBM dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian penyandang cacat serta perlunya keterlibatan keluarga dan penyandang cacat itu sendiri untuk mencapai kemandirian tersebut, melalui pendidikan dan penumbuhan kesadaran.

Aspek lain dari proses pendidikan adalah pengorganisasian dan pelatihan. Komponen ini dalam program RBM dilaksanakan pada tahap pelaksanaan yaitu kegiatan melatih keluarga dan masyarakat yang selanjutnya dari hasil latihan tersebut, mereka terapkan langsung untuk melatih penyandang cacat mencapai kemandiriannya. Dalam aspek pengorganisasian terdapat upaya pembagian peran dan fungsi dari masing-masing komponen yang terlibat dalam rangka mencapai kebutuhan yang diinginkan. Sementara dalam kegiatan pelatihan, diarahkan kepada pemberian keterampilan dan kemampuan kepada keluarga dan masyarakat yang didasarkan pada penentuan kebutuhan yang diinginkan dan ditentukan secara bersama oleh keluarga dan masyarakat.

Dari hasil penelitian, terlihat bahwa penginformasian, penumbuhan kesadaran dan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan kegiatan RBM dimasyarakat telah dilakukan oleh kader RBM sebagai pelaksanaan utama

(13)

kegiatan program. Dari kegiatan tersebut terlihat adanya upaya memberikan pengetahuan dan informasi mengenai kondisi kecacatan yang dihadapi dan menumbuhkan kesadaran penyandang cacat dan keluarga untuk tetap menyadari adanya potensi yang dimiliki serta mempunyai kesadaran dan keinginan untuk merubah kondisi tersebut kearah yang lebih baik.

Kegiatan pelatihan sebagai komponen lainnya dalam proses pendidikan ini, dari hasil penenlitian yang dilakukan lebih didominasi oleh kader RBM dan keterlibatan yang kurang dari penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. Dominasi tersebut terlihat dengan penentuan kemandirian yang ingin dicapai oleh penyandang cacat, dimana kader RBM tidak memperhatikan peran keluarga dan penyandang cacat itu sendiri yang seharusnya dalam program RBM ini turut berperan dan menentukan kebutuhan hidupnya. Mengacu kepada kecenderungan primer dan sekunder dari proses pemberdayaan yang dikemukakan oleh Pranarko dan Vidhyandika (bab 2, hal. 71-72), seharusnya kader RBM berusaha untuk mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang menajdi kebutuhan hidupnya dan selanjutnya memberikan atau mengalhkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan kepada individu itu sendiri untuk lebih berdaya dan mampu memnuhi kebutuhannya.

(14)

Tujuan dilaksanakan pemberdayaan penyandang cacat melalui program RBM ini adalah agar kader RBM mampu mendeteksi kecacatan, penyandang cacat mencapai kemandirian sesuai dengan 23 kriteria kemandirian serta, masyarakat aktif terlibat dalam keegiatan pemberdayaan. Dari hasil penelitian yang dilkukan, kecenderungan yang dicapai berdasarkan ketiga aspek tersebut dapat diuraikan berikut ini.

a). Kader mampu mendeteksi kecacatan

Program rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM) bagi penyandang cacat dilaksanakan agar masyarakat mampu melaksanakan rehabilitasi kepada penyandang cacat meliputi rehabilitasi medis, pendidikan, keterampilan dan rehabilitasi sosial. Kader RBM sebagai pelaksana kegiatan utama (Charge Agent) dalam program RBM ini, harus dibekali dengan keterampilan yang menyeluruh menyangkut keempat aspek rehabilitasi diatas, sehingga mampu untuk melakukan deteksi kecacatan baik dari aspek medis, pendidikan, keterampilan dan sosial.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa kemampuan kader RBM dalam mendeteksi kecacatan, lebih pada kemampuan secara medis dalam menentukan tingkat kecacatam/gangguan yang dialami, sementara kemampuan kader RBM dalam melakukan deteksi kecacatan dari aspek rehabilitasi pendidikan, keterampilan dan sosial masih kurang memadai.

Hal ini dimungkinkan karena kader RBM mendapatkan pelatihan berdasarkan buku manual RBM, yang lebih diarahkan kepada

(15)

langkah-langkah yang dilakukan dalam mendeteksi kecacatan dari aspek medis saja, sementara langkah-langkah untuk melakukan deteksi kecacatan berdasarkan unsur rehabilitasi lainnya yaitu rehabilitasi pendidikan, keeterampilan dan rehjabilitasi sosial unsur rehabilitasi lainnya tidak secara rinci dijelaskan dan dilatih.

Kader RBM sebagai agen perubahan (Change agent) dalam kegiatan RBM ini, memiliki beberapa peranan yang harus ditampilkan dalam masyarakat. Ife (Bab 2, hal.63-64) mengemukakan peranan tersebut meliputi peranan sebagai fasilitator, representator, edukator dan tehnikal. Dari konsep tersebut, terlihat bahwa kemampuan seorang kader RBM sebagai agen perubahan, tidak hanya mampu mendeteksi kecacatan dari keempat aspek rehabilitais diatas (peran sebagai tehnikal), tetapi juga harus mampu berperan sebagai educator (memberikan informasi, penumbuhan kesadaran dan pelatihan kepada penyandang cacat), sebagai fasilitator (memberikan semangat, menghidupkan, menggiatkan, dan memotivasi masyarakat untuk melakukan kegiatan RBM), serta sebagai representator (mewakili penyandang cacat dalam mengakses lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan dukungan yang bermanfaat bagi kebutuhan penyandang cacat).

Dari hasil penelitian terlihat bahwa peran-peran tersebut masih belum secara memadai dapat dilaksanakan. Sebagai seorang tehnikal,

(16)

kader RBM tidakmhanya mampu unttuk melakukan deteksi kecacatan dari aspek media atau kesehatan saja melainkan cukup meliputi kemampuan dalam melakukan deteksi kecacatan dari aspek rehabilitasi pendidikan, keterampilan dan sosial. Peran sebagai edukator, kader RBM terlihat telah mampu melatih keluarga dan penyandang cacat sehingga mempunyai kemampuan untuk mencapai kemandiriannya. Dalam melaksanakan peran ini, kader RBM belum secara penuh melibatkan keluarga dan penyandang cacat terutama dalam menentukan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Peran sebagai fasilitatorrr, kader RBM terlihat dalam elibatkan, memotivasi, dan menggiatkan kegiatan RBM dalam masyarakat,namun masyarakat belum dilibatkan secara langsung dapam proses pemberdayaan secara keseluruhan. Sebagai seorang representator, kader RBM selama ini mampu mengakses penyandang cacat untuk mendapatkan pelayanan rujukan kesehatan dari puskesmas atau rumah sakit, sementara lembaga-lembaga lainnya yang dapat memberikan pelayanan rujukan dalam rehabilitasi pendidikan (Sekolah, lembaga pendidikan), rehabilitasi pelatihan (pemberian keterampilan kerja) dan rehabilitasi sosial (pemberian pelayanan sosial), belum secara memadai diperankan oleh kader RBM.

b). Penyandang cacat mandiri

Pemberdayaan yang dilakukan terhadap kelima informan penyandang cacat, dirahkan agar penyandang cacat memiliki tingkat

(17)

kendirian sesuai dengan ”23 kriteria kemandirian” yang meliputi aspek kesehatan, sosial, pendidikan dan keterampilan. Pemberdayaan penyandang cacat melalui pendekatan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM), harus memenuhi empat unsur rehabilitasi meliputi rehabilitasi medik (kesehatan), sosial, pendidikan dan rehabilitasi keterampilan.

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kemandirian yang ingin dicapai oleh peyandang cacat adalah sebagai berikut :

Dari hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa penyandang cacat telah dapat mencapai kemandirian dari hasil pelatihan yang mereka lakukan sesuai dengan tingkat kecacatannya. Merujuk kepada dimensi pemberdayaan yang dikemukakan oleh Ife (bab 2, hal. 53-54), bahwa dalam pemberdayaan yang berbasiskan masyarakat terdapat tujuh power/kemampuan yang harus dicapai yaitu pilihan personal dan kesempatan hidup; kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup; kemampuan dalam mengungkapkan ide atau gagasan; akses terhadap instuisi; aktifitas ekonomi dan reproduksi.

(18)

Kemandirian dan kemampuan yang telah dicapai penyandang cacat, belum mencapai tujuh dimensi pemberdayaan diatas. Kemandrian yang telah dicapai baru memenuhi kemampuan dalam mencapai pilihan personal, kesempatan hidup dan pemenuhan kebutuhan penyandang cacat. Kemampuan dalam mengungkapkan ide/gagasan, akses terhadap pelayanan rehabilitasi, aktifitas ekonomi dan reproduksi belum secara memadai dicapai oleh penyandang cacat. Dari kajian tersebut, terlihat bahwa upaya pemberdayaan terhadap penyandang cacat harus lebih ditingkatkan dalam pencapaian kemampuan berdasarkan dimensi pemberdayaan diatas.

C. Masyarakat secara aktif terlibat dalam kegiatan RBM.

Tujuan ketiga dari program RBM adalah ketelibatan masyarakat secara penuh dalam program RBM baik menyangkut persiapan pelaksanaan dan pembinaan. Keterlibatan masyarakat secara aktif, mengacu kepada indikator masyarakat aktif sebagaimana dikemukakan oleh Etziomi dalam Poloma (Bab 2, hal. 65).

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan program RBM, belum memenuhi indikator masyarakat aktif yang menyangkut kesadaran diri, komitemn pada tujuan yang harus dicapai, dan kemampuan dalam pengendalian kehidupan sesuai dengan kebutuhan. Kesadaran diri masyarakat terhadap program RBM untuk meningkatkan kemampuan penyandang cacat terlihat dengan adanya

(19)

pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai permasalahan penyandang cacat, cara untuk merencanakan permasalahan tersebut, dan pengendalian serta pengembangan atas kekuatan yang ada pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kesadaran diri tersebut belum diikuti dengan komitmen masyarakat untuk dapat melaksanakan kegiatan tersebut secara menyeluruh. Masyarakat hanya terlibat dalam pelaksanaan kegiatannya saja sementara pada tahap persiapan dan pembinaan belum terlihat peran aktif masyarakat. Kemampuan masyarakat dalam mengendalikan kehidupan sesuai dengan kebutuhan menyangkut akses masyarakat terhadap kebutuhan. Pada indikator ini, belum secara aktif mampu mencari akses baik dari sumber masyarakat itu sendiri maupun sumber dari luar (institusi) yang dapat memenuhi kebutuhan penyandang cacat.

Kenyataan keterlibatan masyarakat tersebut, menandakan perlunya upayan unttuk meningkatkan peran masyarakat secara aktif dalam ketiga hal tersebut. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat dalam melaksanakan program RBM, selaian sebagai salah satu tujuan program, juga merupakan kondisi yang menunjang tercapainya kemandirian penyandang cacat sesuai dengan tujuh dimensi keberdayaan.

(20)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Latar belakang kecacatan yang dihadapi informan penyandang cacat disebabkan karena sejak lahir (informan Ar dan Mm) dan diluar kelahiran yang disebabkan karena kecelakaan (informan Hr), penyakit (informan At) dan karena masalah perceraian keluarga (informan Tn). Kondisi kecacatan yang dihadapi selanjutnya menghadirkan tantangan, hambatan dan gangguan didalam pencapaian tugas-tugas kehidupan penyandang cacat.

2. Dampak kecacatan tidak hanya dirasakan oleh penyandang cacat itu sendiri, tetapi juga meliputi keluarga dan masyarakat. Pertama, penyandang cacat dihadapkan kepada kondisi ketidakberdayaan baik secara fisik/mental (hambatan fisik/mental karena kecacatannya yang mengganggu aktifitas sehari-hari), psikis (rendah diri, malu bergaul, tidak menerima kondisi cacat yang dialami), sosial (tidak bisa menjalankan peran soail dikeluarga dan masyarakat), dan pendidikan (ketidakmampuan dalam memperoleh dan menjangkau pelayanan pendidikan yang ada atau khusus). Kedua, keluarga yang anggotanya mengalami kecacatan, mengalami situasi kesedihan dan duka cita yang mendalam, perasaan pasrah dan menerima kecacatan yang dihadapi tanpa ada upaya perubahan, kurang memberikan perhatian

(21)

terhadap anggota keluarganya yang mengalami kecacatan dan bagaimana upaya yang harus dilakukan. Terakhir, masyarakat yang berada disekitar tempat tinggal keluarga penyandang cacat belum memahami tentang kecacatan, sehingga kurang kepedulian dan perhatian mereka terhadap penyandang cacat.

3. Pemberdayaan penyandang cacat melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM), dilaksanakan dalam bentuk pembinaan wilayah dalam hal pencegahan, deteksi, dan rehabilitasi penyandang cacat yang meliputi rehabilitasi medis, pendidikan, keterampilan dan sosial. Pembinaan berarti pemindahan pengetahuan dan kemampuan kepada penyandang cacat, keluarga dan masyarakat sehingga secara bersama-sama dan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada mampu melaksnakan pemberdayaan terhadap penyandang cacat.

4. Tujuan utama kegiatan RBM adalah memandirikan penyandang cacat diwilayah binaan sesuai dengan tingkat kecacatan dengan tujuan khusus kader mampu mendeteksi penyandang cacat, penyandang cacat mandiri sesuai dengan 23 kriteria kemandirian, dan masyarakat secara aktif terlibat dalam kegiatan RBM. Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan hasil penelitian, tujuan khusus dari kegiatan RBM tersebut belum mencapai hasil yang memadai baik menyangkut kader RBM, penyandang cacat, maupun masyarakat.

(22)

5. Kemampuan kader RBM dalam mendeteksi kecacatan, masih terbatas kepada kemampuan untuk mendeteksi kecatatan dari aspek medis.kesehatan, sementara upaya untuk melakukan deteksi kecacatan dari aspek rehabilitasi lainnya yaitu pendidikan, keterampilan dan rehabilitasi sosial tidak secara terperinci dipelajari dan diperoleh kader RBM melalui kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh Tim RBM kecamatan. Hal ini memungkinkan terjadinya keterbatasan kader RBM terutama dalam memenuhi kebutuhan penyandang cacat menyangkut aspek pendidikan dan keterampilan, sehingga hasil yang dicapai belum memadai. Sebagai agen perubahan, kader RBM juga belum secara memadai mampu menjalankan perannya sebagai educator, representator, serta fasilitator bagi tercapainya kebutuhab dan kemandiiran penyandang cacat.

6. Kemandirian penyandang cacat sebagai hasil pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan, pada dasarnya telah mampu dicapai sesuai dengan 23 kriteria kemandirian yang telah ditetapkan oleh program RBM. Sebagai suatu upaya pemberdayaan, kemandirian atau kemampuan penyandang cacat belum mencapai keseluruhan dimensi pemberdayaan yang harus dipenuhi. Kemandirian yang telah dicapai baru memenuhi kemampuan dalam meencapai pilihan personal, kesempatan hidup dan pemenuhan kebutuhan penyandang

(23)

cacat. Kemampuan dalam mengungkapkan ide/gagasan, akses terhadap pelayanan rehabilitasi, aktifitas eekonomi dan reproduksi belum secara memadai dicapai oleh penyandang cacat.

7. Keterlibatan masyarakat dalam melaksaakan program RBM, belum memenuhi indikator masyarakat aktif yang menyangkut kesadaran diri, komitmen pada tujuan yang harus dicapai dan kemampuan dalam pengendalian kehidupan sesuai dengan kebutuhan. Kesadaran diri masyarakat terhadap program RBM untuk meningkatkan kemampuan penyandang cacat terlihat dengan adanya pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai permasalahan penyandang cacat, cara untuk merencanakan permasalahan tersebut, dan pengendalian serta pengembangan atas kekuatan yang ada pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kesadaran diri tersebut beelum diikuti dengan komitmen masyarakat untuk dapat melaksanakan keegiatan tersebut secara menyeluruh, masyarakat hanya terlibat dalam pelaksanaan kegiatannya saja sementara pada tahap persiapan dan pembinaan belum terlihat peran aktif masyarakat. Kemampuan masyarakat dalam mengendalikan kehidupan sesuai dengan kebutuhan menyangkut akses masyarakat terhadap kebutuhan. Pada indikator ini, masyarakat belum secara aktif mampu mencari akses baik dari sumber masyarakat itu sendiri maupun sumber dari luar (institusi) yang dapat memenuhi kebutuhan penyandang cacat.

(24)

8. Proses pemberdayaan yang dilakukan kader RBM baik pada tahap persiapan pelaksanaan maupun pembinaan, belum secara penuh dilaksanakan oleh kader sebagaimana yang telah ditetapkan dalam program RBM. Pada tahap persiapan, masyarakat tidak dilibatkan oleh kader RBM baik dalam kegiatan kunjungan dari rumah ke rumah serta dalam mendeteksi kecacatan. Dalam pelaksanaan kegiatan menyangkut penentuan tingkat kemdirian dan paket latihan yang diberikan, terlihat adanya dominasi kader RBM dalam menentukan tingkat kemandirian, sementara peran keluarga dan penyandang cacat yang seharusnya turut menentukan secara bersama belum tercapai. Pada tahap pembinaan dan rujukan, kader RBM belum mampu melakukan proses rujukan dalam rangka memenuhi keebutuhan penyandang cacat terutama proses rujukan dalam kaitannya dengan rehabilitasi pendidikan, keterampilan dan rehabilitasi sosial. Selama ini kemampuan kader RBM dalam merujuk penyandang cacat terbatas pada rujukan ke puskesmas dan rumah sakit. Keterbatasan kader dalam melakukan rujukan tersebut, lebih didasarkan kepada belum adanya kerangka pelaksanaan tujuan yang dirancang dalam membantu kader untuk menjembatani penyandang cacat dengan berbagai pelayanan rehabilitasi yang diperlukan.

(25)

Program rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM) bagi penyandang cacat, sebagai program pembinaan wilayah dalam rangka meningkatkan kemandirian penyandang cacat, sangat bermanfaat dan perlu untuk dilanjutkan dan dikembangkan. Dari kesimpulan diatas, program RBM ini memerlukan upaya perbaikan dan perubahan dalam rangka untuk pelaksanaan proses pemberdayaan dan tujuan program RBM secara penuh dan menyeluruh.

Peningkatan perbaikan tersebut perlu dilakukan oleh Tim RBM kecamatan Coblong sebagai organisasi penunjang yang memberikan pembinaan, bimbingan dan pendampingan khususnya kepada kader RBM,

penyandang cacat, keluarga dan masyarakat diwilayah binaan kelurahan . Saran yang disampaikan sehubungan perbaikan tersebut meliputi :

1. Kemampuan kader RBM dalam melakukan deteksi kecacatan terbatas padac kemampuan mendeteksi kecacatan dari aspek medis/kesehatan sementara aspek lainnya belum dapat dilaksanakan secara memadai (lihat bab empat, hal 26). Upaya yang dilakukan adalah perlunya dilaksanakan pelatihan lanjutan bagi kader RBM oleh tim RBM kecamatan Coblong dengan dukungan dari Tim RBM kota Bandung. Pelatihan ini terutama untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan deteksi kecacatan dari aspek rehabilitasi pendidikan, keterampilan dan sosial. Peranan kader RBM sebagai agen perubahan, juga diperluas dengan penambah wawasan peranannya sebagai

(26)

edukator, fasilitator, representator, maupun sebagai tehnikal. Peningkatan kemampuan dan peran kader RBM tersebut, diharapkan dapat mewujudkan tercapainya kemandirian dan kemampuan penyandang cacat sesuai dengan dimensi-dimensi pemberdayaan.

2. Penyandang cacat, keluarga dan masyarakat dalam proses pemberdayaan tidak secara penuh dilibatkan oleh kader RBM, sehingga proses tersebut lebih didominasi oleh kader RBM (lihat bab empat, hal. 126,127). Tim RBM kecamatan dalam hal ini perlu memberikan arahan dan pembinaan kepada kader RBM untuk melibatkan masyarakat secara aktif dan menyeluruh baik dalam kegiatan persiapan, pelaksanaan, maupun pembinaan. Penyandang cacat dan keluarga, juga harus mempunyai peranan dalam menentukan tingkat kemandirian dan jenis latihan yang diberikan, sehingga pelatihan kemandirian yang dilakukan selaras dengan keinginan dan kebutuhan penyandang cacat. 3. Kemampuan kader RBM dalam melakukan rujukan dalam rangka

pencapaian dan peningkatan kemandirian penyandang cacat belum memadai, sehingga tingkat kemandirian penyandang cacat belum tercapai secara penuh (lihat bab empat, hal. 129). Untuk itu perlu disusun kerangka pelaksanaan rujukan bagi penyandang cacat dalam upaya mencapai atau meningkatkan kemandirian dan kemampuannya, sehingga memperoleh pelayanan dalam bidang rehabilitasi kesehatan, pendidikan, keterampilan dan sosial. Kerangka pelaksanaan rujukan tersebut dibuat

(27)

oleh Tim RBM untuk dipahami dan dijadikan pedoman bagi kader RBM dalam membantu penyandang cacat untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumebr pelayanan rehabilitasi dalam rangka mencapai dan meningkatkan kemandiriannya.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila volume produksi berubah sedangkan faktor- faktor yang lain (harga jual. biaya variabel, biaya tetap) tidak berubah maka berpengaruh terhadap perolehan laba perusahaan..

Perubahan dapat dilihat dari tingkat pendapatan kusir, jam kerja kusir dalam beroperasi menggunakan delman, serta manajemen pemeliharaan kuda yang diterapkan meliputi

Hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang merasakan jasa layanan diberikan oleh tenaga kesehatan dengan cepat, Maka dari dimensi Responsiveness sudah dapat

Teknik sputtering memiliki beberapa kelebihan antara lain : film yang terbentuk mempunyai komposisi yang serupa dengan bahan taget, kualitas, struktur dan

4. Penguatan dilakukan pada 14 PKBM yang tersebar di delapan kecamatan melalui peningkatan kualitas tutor mengajar, manajemen pengelolaan PKBM, melatih tutor dalam hal metode

mendamaikan kedua belah pihak dengan cara mempertemukan para pihak untuk mediasi. Ketua Pengadilan Agama Rengat Bapak Drs. Muhdi Kholil, SH., M.A., M.M juga menyampaikan

Kelimpahan total zooplankton pada Muara Sungai Selam pada saat pasang dengan nilai tertinggi 94,9 Individu/l terdapat di wilayah muara dan pada saat surut

Pengertian ini sejalan dengan pendapat Doney dan Cannon (1997, p. 36) yang menyatakan bahwa rasa percaya timbul sebagai hasil dari kehandalan dan integritas mitra yang