Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh :
Maulana Hamzah NIM : 106044101371
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh :
Maulana Hamzah NIM : 106044101371
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 03 Desember 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 03 Desember 2010
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM Nip: 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Nip. 195003061976031001
(...)
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH Nip. 197202241998031003
(...)
3. Pembimbing 1 : Drs. H. Hamid Farihi, MA Nip. 195811191986031001 (...) 4. Pembimbing 2 : Drs. Heldi, M.Pd Nip. 196304141993031002 (...) 5. Penguji 1 : H. Damanhuri, SH Nip. 194703081971071001 (...)
6. Penguji 2 : Dra. Maskufa, M.Ag
Nip. 196807031994032002
(...)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:
MAULANA HAMZAH NIM: 106044101371
Di bawah Bimbingan
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Drs. H. Hamid Farihi, MA Drs. Heldi, M.Pd
NIP: 195811191986031001 NIP: 196304141993031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 November 2010
Skripsi, konsentrasi peradilan agama program studi ahwal syakhsiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1431 H/2010 M, xi + 62 halaman + 7 lampiran.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana persepsi para aktivis gender Indonesia terhadap sistem waris 2:1 dalam konsep pembagian kewarisan hukum Islam. Mengetahui apa yang menjadi latar belakang dari persepsi mereka dan apa saja argumen yang mereka utarakan, serta solusi apa yang mesti dijalankan dalam menghadapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian dua berbanding satu antara anak laki-laki dan perempuan ini.
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) yang deskriptif sesuai dengan hukum normatif. Metode desktiptif analitis yaitu metode yang memaparkan mesalah-masalah sebagaimana adanya disertai argumentasi-argumentasi, dan metode deskriptif explanatoris yaitu metode yang berdasarkan rasional dan logis secara induktif dan deduktif terhadap sasaran pemikiran.
Skripsi ini menyimpulkan bahwa sistem pembagian waris yang diatur dalam al- Qur’an sudah sesuai dengan fitrah manusia. Namun yang harus dicermati dan lebih difokuskan adalah perhatian kita terhadap pengelolaan harta waris itu sendiri, jangan sampai menjadi sia-sia begitu saja. Dan terhadap perbedaan pendapat harus dijadikan sebagai sebuah rahmat bukan laknat, sehingga kita dapat terus berkarya dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat.
¾ Kata kunci : Aktivis Gender, Waris 2:1, Hukum Waris Islam ¾ Pembimbing : Drs. H. Hamid Farihi, MA. Drs. Heldi, M.Pd ¾ Daftar pustaka : 1983-2010
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput shalawat serta salam kita haturkan kepada kekasih Allah Baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
”Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana hukum Islam. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah serta manfaat yang didapat dan menjadi kesan yang sangat bermakna. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah memberikan bantuan, dan bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua tercinta yang selalu mencurahkan kasih sayang yang tiada henti-hentinya. Semoga amal keduanya mendapat balasan yang setimpal di sisi Allah SWT. Amin.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik jurusan Peradilan Agama kelas A angkatan 2006.
penulis, yang telah sabar membimbing sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. Semoga amal beliau diberi ganjaran oleh Allah SWT.
4. Para aktivis yang bersedia untuk diwawancarai yaitu bapak Abdul Wahid Maryanto, Lc., M.Ba. dari Yayasan Puan Amal Hayati, dan mas M. Taufik Damas, Lc. Dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Dan seluruh staf perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Untuk Ayah saya tercinta H. Mugeni dan ibunda tercinta Eti Sukarti serta untuk kakak dan adik-adik tersayang yang telah memberikan nasehat serta dukungan yang tak terhingga bagaikan sinar matahari yang tak bosan-bosannya menyinari bumi ini.
7. Untuk seluruh sahabat penulis, khususnya kepada Arif Rahman dan segenap kawan-kawan Komcab, Firman Abdurrahman, Ahmad Afandi, S.HI., Asep Dadan dan seluruh teman seperjuangan yang telah mewarnai hari-hari penulis
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang telah berjasa dan memberikan kontribusi baik moriil maupun materiil. Penulis tidak bisa membalas kebaikan mereka kecuali dengan doa semoga Allah SWT membalas amal perbuatan dan budi baik sekalian. Amin.
Jakarta, 10 November 2010
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN...ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...iii
LEMBAR PERNYATAAN...iv
ABSTRAK...v
KATA PENGANTAR...vi
DAFTAR ISI...vii
BAB I PENDAHULUAN ………..………...………..1
A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………....5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu………....7
E. Metode Penelitian ………...9
F. Teknik Penulisan………...…..12
G. Sistematika Penulisan………...12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS 2:1...14
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam...14
B. Dasar Hukum Waris...18
C. Rukun dan Syarat Waris...27
D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam...28
PEREMPUAN MENURUT AKTIVIS GENDER INDONESIA...35
A. Pengertian Gender...35
B. Karakteristik Aktivis Gender Indonesia...40
C. Persepsi Para Aktivis Gender terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Disertai Argumen-Argumen yang Melatarbelakangi Persepsi Mereka...43
BAB IV HASIL PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1...54
A. Analisa tentang Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam...54
B. Solusi dalam Menghadapi Sikap Pro dan Kontra terhadap Sistem Pembagian Waris 2:1...57 BAB V PENUTUP ...60 A. Kesimpulan...60 B. Saran...61 DAFTAR PUSTAKA...62 LAMPIRAN...65 x
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini, berbagai budaya dan keanekaragaman adat istiadat sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pembagian harta waris. Sudah tidak asing lagi bagi kita bahwa perkara harta peninggalan ini sering sekali menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat, apalagi di masa-masa serba sulit seperti sekarang ini.
Sebagai akibat dari tuntutan keadaan yang sulit, peran perempuan seringkali menjadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat yang mengatasnamakan kebutuhan hidup, perempuan bekerja membantu suami mencari penghasilan tambahan. Bahkan, tidak jarang pula seorang isteri menjadi tulang punggung keluarga.
Bila kita perhatikan partisipasi perempuan dalam kehidupan sehari-hari, maka kita akan mendapatkan betapa besar peran wanita dalam menopang ekonomi keluarga. Sebagai contoh peran wanita sebagai sumber daya manusia yang dimanfaatkan untuk tenaga kerja di pabrik-pabrik (buruh), perkantoran (karyawati), tenaga kerja wanita (TKW) yang dikirim ke luar negeri, dan lain sebagainya. Bahkan lebih dari itu, bangsa Indonesia pun pernah dipimpin oleh presiden dari kalangan perempuan yakni Megawati Soekarno Putri. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini
sebagai sumber daya manusia, peran perempuan semakin penting dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Bila dilihat dari struktur bangsa Indonesia yang multikultur, kita bisa amati bersama ada beberapa hukum adat yang berlaku di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagai contoh sistem adat Minangkabau yang memberikan porsi warisan lebih besar kepada anak perempuan ketimbang laki-laki, padahal mayoritas warga Minangkabau beragama Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa efektifitas hukum kewarisan Islam di Indonesia belum sepenuhnya diadopsi dan dipraktekan secara utuh.
Hingga saat ini, di negara-negara Islam yang memberlakukan sistem kewarisan Islam, baik dari golongan Syi’ah, Sunni, maupun negara-negara Islam yang telah mengusahakan pengkodifikasian hukum waris lewat sistem perundang-undangan seperti Turki dan lain-lain, masih tetap menggunakan dan mempertahankan sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan. Begitupula di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 ditegaskan bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.1 Ini berarti apabila anak perempuan berjumlah dua orang dan ada seorang anak laki-laki, maka masing-masing anak perempuan memperoleh 1/4 sedangkan anak laki-laki 2/4, cara seperti ini ditentukan
1
Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.131.
langsung oleh al- Qur’an surat al- Nisaa/ 4:11, tanpa dapat diinterpretasikan lain karena teks tersebut dianggap telah jelas.
ÞΟä3ŠÏ¹θãƒ
ª!$#
þ’Îû
öΝà2ω≈s9÷ρr&
(
Ìx.©%#Ï9
ã≅÷VÏΒ
Åeáym
È⎦÷⎫u‹sVΡW{$#
4
βÎ*sù
£⎯ä.
[™!$|¡ÎΣ
s−öθsù
È⎦÷⎫tGt⊥øO$#
£⎯ßγn=sù
$sVè=èO
$tΒ
x8ts?
(
βÎ)uρ
ôMtΡ%x.
Zοy‰Ïm≡uρ
$yγn=sù
ß#óÁÏiΖ9$#
4
ϵ÷ƒuθt/L{uρ
Èe≅ä3Ï9
7‰Ïn≡uρ
$yϑåκ÷]ÏiΒ
â¨ß‰¡9$#
$£ϑÏΒ
x8ts?
βÎ)
tβ%x.
…çµs9
Ó$s!uρ
4
βÎ*sù
óΟ©9
⎯ä3tƒ
…ã&©!
Ó$s!uρ
ÿ…çµrOÍ‘uρuρ
çν#uθt/r&
ϵÏiΒT|sù
ß]è=›W9$#
4
βÎ*sù
tβ%x.
ÿ…ã&s!
×οuθ÷zÎ)
ϵÏiΒT|sù
â¨ß‰¡9$#
4
.⎯ÏΒ
ω÷èt/
7π§‹Ï¹uρ
©Å»θãƒ
!$pκÍ5
÷ρr&
A⎦ø⎪yŠ
3
öΝä.äτ!$t/#u™
öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ
Ÿω
tβρâ‘ô‰s?
öΝß㕃r&
Ü>tø%r&
ö/ä3s9
$YèøtΡ
4
ZπŸÒƒÌsù
š∅ÏiΒ
«!$#
3
¨βÎ)
©!$#
tβ%x.
$¸ϑŠÎ=tã
$VϑŠÅ3ym
∩⊇⊇∪
Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al- Nisa’/4:11).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa anak laki-laki mendapatkan porsi warisan dua bagian perempuan. Dalam ayat tersebut, muncullah tanggapan dari para cendekiawan muslim. Menurut Thohir al Haddad dan Nashr Abu Zaid, bahwa pembagian tersebut 2:1 sudah tidak berlaku untuk masa kini dengan alasan keadaan berbeda, dengan menggunakan kaidah fikih:
ﺗﻐﻴ
ﺮ
ﹾﺍ
َﻷ
ﺣ
ﹶﻜ
ِﻡﺎ
ِﺑ ﺘ
ﻐﻴ
ِﺮ
ﺰﻟﺍ
ﻣ
ِﻥﺎ
ﻭ
ﹾﺍ ﹶﳌ
ﹶﻜ
ِﻥﺎ
”Taghoyyurul ahkam bi taghoyyuri zaman wal makan” (suatu hukum bisa berubah jika keadaan dan waktunya berubah juga).2 Suatu kenyataan perubahan telah terjadi bahwa perempuan hari ini telah ikut berpartisipasi bersama laki-laki dalam menjalani kehidupan ini dalam segala aspeknya: ekonomi, budaya, pendidikan dan politik, dan sebagainya sebagaimana laki-laki.
Tidak sedikit pula cendekiawan muslim yang tetap memegang teguh prinsip pembagian 2:1 ini karena kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa sampai kapanpun tugas yang diemban oleh seorang laki-laki lebih berat ketimbang dengan beban yang diemban perempuan. Contoh yang sangat sering mereka utarakan adalah mencari nafkah dan menjadi pemimpin dalam keluarga serta masih banyak lagi contoh-contoh yang menjadi landasan mereka tetap berpegang teguh pada prinsip pembagian 2:1 yang telah diterangkan dalam al-Qur’an surat al- Nisa ayat 11. Selain itu, mereka mempertimbangkan kepada sejarah diberlakukannya pembagian 2:1, dimana perempuan tidak mendapat bagian warisan apapun dalam hukum kewarisan sebelum Islam, sekarang menjadi mempunyai kedudukan kokoh, mendapat seperdua dari perolehan anak laki-laki yang selama ini mengambil semua harta peninggalan.3
2
Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul Fiqhiyyah), (Surabaya: Kalam Mulia, 1992), h.38.
3
Berangkat dari pola pikir yang seperti inilah penulis berpikir untuk mencoba meneliti lebih jauh masalah pewarisan yang ada pada masyarakat ini. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini secara jelas dan gamblang tentang sistem pembagian waris yang terdapat dalam al- Qur’an beserta letak keadilan dengan sistem pembagian 2:1 dalam hukum kewarisan Islam dan bagaimana persepsi para aktivis gender mengenai sistem ini dengan berkutat pada relevansi dan efektifitasnya pada masa kini dengan mengangkatnya dalam judul: ”Persepsi Aktivis
Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam menyusun skripsi ini, untuk mempermudah pembahasan, penulis akan membatasi dan merumuskan masalah sesuai dengan judul skripsi yaitu persepsi aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 dalam hukum kewarisan Islam.
1. Batasan Masalah
Yang pertama, penulis akan membatasi aktivis gender yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu para aktivis atau penggiat masalah perempuan yang ada di Indonesia. Mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia bila ingin menggalinya secara detail, maka penulis akan lebih memfokuskan penelitian pada persepsi aktivis tentang sistem pembagian harta waris 2:1 yang telah dimuat dalam buku-buku ilmiah atau literatur-literatur yang ada kaitannya dengan masalah ini serta tidak menutup
kemungkinan persepsi-persepsi mereka yang penulis angkat dari artikel-artikel yang dimuat dalam media-media cetak maupun dari hasil wawancara. Dengan demikian
locus (ruang lingkup) dari penelitian ini menjadi lebih sempit, sehingga penelitian
menjadi jelas dan terarah. 2. Rumusan masalah
Kemudian yang kedua, penulis akan merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana persepsi para aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan disertai argumen mereka?
b. Apakah solusi yang tepat untuk menanggapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis persepsi dan argumen para aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan.
b. Untuk mengetahui solusi yang tepat dalam menanggapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan.
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Untuk memberikan kajian dalam memperkaya literatur serta penelitian secara mendalam lebih lanjut.
b. Sebagai kontribusi pemikiran terhadap kajian hukum kewarisan Islam terutama dalam konsep keadilannya.
c. Untuk dijadikan bahan rujukan pada kajian-kajian ilmiah selanjutnya.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi/ tesis/ disertasi yang secara khusus membahas tema atau judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Fakultas Hukum Universitas lain pada umumnya. Hemat penulis, ada beberapa karya tulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum, di antaranya :
Nilayatul Maula, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep Pembagian Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan Menurut Prof. Dr. H. Munawwir Sjadzali, MA.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Eli Nurmalia, “Respons Perempuan terhadap Sistem Pembagiam Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam” (Studi di Rt.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2008.
Uun Ru’yatul Hilal, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Hukum Waris Bagi Rata pada Masyarakat Desa Bahagia, Kecamatan Babelan Kotamadya Bekasi”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Data pada skripsi yang pertama, yaitu skripsi dari saudari Nilayatul Maula, ia lebih memfokuskan penelitiannya pada pemikiran seorang tokoh saja yaitu Munawwir Sjadzali. Jenis penelitian ini memang sama seperti yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian kepustakaan (library research), namun tidak memakai wawancara, sedangkan penulis selain juga menggunakan metode wawancara, juga tidak memfokuskan penelitian hanya pada seorang tokoh saja, melainkan banyak tokoh.
Dalam skripsi kedua, yakni skripsi saudari Eli Nurmalia, meliputi wilayah Bojongkulur Kabupaten Bogor. Pada skripsi terdahulu ini penulisnya menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan hanya membahas masalah respons dari perempuan di wilayah itu yang mereka semua tidak dapat dipastikan mengerti akan sistem pembagian dalam kewarisan Islam.
Adapun dalam skripsi terdahulu yang ketiga, yakni skripsi dari saudari Uun Ru’yatul Hilal lebih cenderung meneliti lebih dalam tentang praktek pembagian secara merata terhadap harta waris yang terjadi di wilayah desa Bahagia. Dan jenis penelitian dalam skripsi yang ketiga ini hampir sama dengan skripsi yang kedua yaitu dengan lebih mengutamakan jenis penelitian lapangan (field research).
Sedangkan, penulis memposisikan skripsi ini kepada pemikiran para aktivis gender Indonesia dalam menanggapi permasalahan sistem pembagian 2:1. Begitu pula dengan jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Dengan demikian skripsi ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Oleh karena itu pula penulis merasa perlu untuk mengangkat tema atau judul dan pembahasan yang diangkat dalam skripsi ini.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
a. Dilihat dari segi jenis datanya penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif karena data-data yang penulis gunakan berupa data kualitatif. Selain itu, jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan yang dimaksud adalah penulis berupaya mencari data-data dari literatur-literatur dan referensi yang berhubungan dengan skripsi ini. Referensi diambil dari al- Qur’an dan Hadits, juga kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian buku-buku yang berkaitan dengan kesetaraan gender, kewarisan wanita dalam Islam dan dari bahan-bahan lain seperti karya tulis skripsi, makalah, majalah, koran, artikel serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi di atas.
b. Dari segi tujuannya penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis karena bertujuan memberikan gambaran dan penjelasan tentang pokok permasalahannya yakni efektifitas pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan dalam perspektif aktivis gender Indonesia.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terdiri dari dua sumber, yakni:
1) Sumber primer, yaitu berupa hasil wawancara, dokumen-dokumen, buku-buku yang menyangkut dengan kewarisan Islam, fikih perempuan, kesetaraan gender.
2) Sumber sekunder, yakni memberikan penjelasan dan menguatkan data primer yang mencakup karya tulis berupa makalah, koran, majalah dan lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
Adapun Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara karena salah satu metode penelitian yang digunakan berupa wawancara. Penulis juga menggunakan pedoman dokumentasi yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari datanya, dan check-list yaitu daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya, sebagai instrumen
penelitian karena salah satu metode penelitian yang penulis pakai adalah metode dokumentasi.4
3. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian yang menggunakan metode library research ini, dalam pengolahan data digunakan metode kualitatif, yakni dengan cara pengumpulan data sebanyak-banyaknya kemudian diolah menjadi satu kesatuan data mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan.
4. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam skripsi ini adalah kualitatif-normatif yakni analisa data dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan kewarisan Islam dan persepsi aktivis gender Indonesia.
Selain itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis juga menggunakan metode analisis induktif, yaitu dengan cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik pada kesimpulan umum.
4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, cet.XII (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h.135-136.
F. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet.1, 2007.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I: Seperti pada umumnya merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, lalu dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu kemudian dilengkapi dengan metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II: Penulisan mencakup tinjauan umum tentang waris, yang terdiri dari pengertian hukum kewarisan Islam, dasar hukum waris, pengertian persepsi, dan konsep keadilan 2:1 dalam hukum kewarisan Islam.
Bab III: Lebih fokus terhadap apa yang disebut dengan gender dan perkembanganya, kemudian menerangkan secara jelas konsep pembagian waris 2:1 menurut aktivis gender dan disertai dengan argumen-argumen yang melatarbelakangi persepsi mereka.
Bab IV: Penulis berkutat pada hasil penelitian mengenai sistem pembagian waris 2:1, dengan mengemukakan: analisa penulis akan persepsi para aktivis yang sudah dibahas, dan mencoba menawarkan solusi dalam menghadapi sikap pro dan kontra terhadap sistem bagi waris 2:1 ini.
Bab V: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan dilengkapi dengan lampiran.
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Waris 2:1
A. Pengertian Waris
1) Pengertian Secara Etimologi
”lafadz faraid
(ﺾﺋاﺮﻓ)
merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafadzfaridhah
(ﺔﻀﻳﺮﻓ)
yang mengandung arti mafrudhah (ﺔﺿوﺮﻔﻣ)
yang samaartinya dengan muqaddarah (
ةرﺪﻘﻣ
) yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat di dalam al-Qur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan dengan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai denganfaraid”.5
Adapun penggunaan kata mawarits
(ثراﻮﻣ)
lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawarits merupakan bentuk plural dari katamiirats
(ثاﺮﻴﻣ)
yang berarti mauruts(ثورﻮﻣ)
yakni harta yang diwarisi.Dengan demikian maka arti kata warits yang dipergunakan dalam beberapa
kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya adalah orang pewaris.6
2) Pengertian Secara terminologi
Para ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu faraidh atau fiqh mawarits. Walapun definisi-definisi yang mereka utarakan secara redaksional berbeda, namun, memiliki pengertian yang sama. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Muhammad al- Syarbiny yang mendefinisikan ilmu faraidh sebagai berikut:
ﹶﺍﹾﻟِﻔ
ﹾﻘﻪ
ﹾﻟﺍ
ﻤﺘ
ﻌﱠﻠ
ﻖ
ِﺑ
ﹾﻟﺎِﺈ
ﺭ
ِﺙ
ﻭ
ﻣﻌ
ِﺮﹶﻓ
ِﺔ
ﹾﻟﺍ
ِﺤ
ﺴ
ِﺏﺎ
ﹾﻟﺍ
ﻤ
ﻮ
ِّﺻ
ﹸﻞ
ِﺍ ﹶﻟ
ﻣ ﻰ
ﻌِﺮ
ﹶﻓٍﺔ
ﹶﺫ
ِﻟ
ﻚ
ﻭ
ﻣﻌ
ِﺮﹶﻓ
ِﺔ
ﹶﻗ
ﺪ
ِﺭ
ﹾﻟﺍﻮ
ِﺟﺍ
ِﺐ
ِﻣ
ﻦ
ِﺘﻟﺍ
ﺮ
ﹶﻛ
ِﺔِﻟ
ﹸﻜ
ﱢﻞ
ِﺫ
ﺣ ﻱ
ﻖ
.
Artinya: “ilmu fiqh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris)”.7
Hasbi ash- Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
6 Ibid. h.5
7 Suparman Usman, Yusuf Somawinata. Fiqh Mawaris:Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
ِﻋﹾﻠ
ﻢ
ﻳ
ﻌﺮ
ﻑ
ِﺑ
ِﻪ
ﻣ
ﻦ
ﻳ
ِﺮ
ﹸﺙ
ﻭ
ﻣ
ﻦ
ﹶﻟ
ﻳ ﺎ
ِﺮ
ﹸﺙ
ﻭ
ِﻣﹾﻘ
ﺪ
ﺭﺍ
ﹸﻛ
ﱢﻞ
ﻭ
ِﺭﺍ
ٍﺙ
ﻭ
ﹶﻛﻴ
ِﻔﻴ
ﹸﺔ
ﺘﻟﺍ
ﻮِﺯ
ﻳِﻊ
.
Artinya: “ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya”.8
Dengan demikian kita dapat tarik kesimpulan dari beberapa definisi yang diungkapkan di atas, bahwa imu faraidh itu mencakup tiga unsur penting di dalamnya, yaitu:
1. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris, 2. Pengetahuan tentang bagian-bagian setiap ahli waris, dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.9
Dalam literatur hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya menyadur dari bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan, memandang kepada warisan yang menjadi objek dari hukum itu. Untuk maksud terakhir ini ada yang memberi nama dengan pusaka yaitu nama lain
8
Ibid. h.14
9 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys
dari harta yang dijadikan objek warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.
Dalam istilah hukum baku yang digunakan adalah kata kewarisan, dengan mengambil asal kata waris dengan tambahan awalan ke- dan akhiran –
an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat
pula berarti proses. Dalam arti pertama mengandung makna ”hal ihwal orang
yang menerima harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung makna ”hal ihwal peralihan harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup”.
Arti yang terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.10
Penggunaan kata hukum di awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat dan penggunaan kata Islam di belakang mengandung arti dasar yang menjadi rujukan. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan: ”seperangkat
peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
orang yang beragama Islam”.11
10 Ibid. h.13
B. Dasar Hukum Waris
Adapun dasar-dasar hukum yang dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan pemberlakuan hukum waris bagi umat Islam adalah sebagai berikut:
1. Ayat-ayat al- Qur’an:
a) QS. al- Nisa (4): 7
ÉΑ%y`Ìh=Ïj9
Ò=ŠÅÁtΡ
$£ϑÏiΒ
x8ts?
Èβ#t$Î!≡uθø9$#
tβθç/tø%F{$#uρ
Ï™!$|¡ÏiΨ=Ï9uρ
Ò=ŠÅÁtΡ
$£ϑÏiΒ
x8ts?
Èβ#t$Î!≡uθø9$#
šχθç/tø%F{$#uρ
$£ϑÏΒ
¨≅s%
çµ÷ΖÏΒ
÷ρr&
uèYx.
4
$Y7ŠÅÁtΡ
$ZÊρãø¨Β
∩∠∪
Artinya: ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(QS.al- Nisa’:4/7)
Ayat diatas menjadi landasan bagi kita untuk mengetahui bahwa setiap anak kandung baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan harta peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Sebabnya sudah tentu karena hubungan darah antara mereka. Adapun bagian yang diperoleh masing-masing daripada mereka yang telah ditetapkan menjadi ahli waris tidak dijelaskan dalam ayat ini, melainkan diterangkan pada ayat selanjutnya yaitu pada ayat kesebelas masih dalam surat al-nisa’.
b) QS. al-Nisa (4): 11
ÞΟä3ŠÏ¹θãƒ
ª!$#
þ’Îû
öΝà2ω≈s9÷ρr&
(
Ìx.©%#Ï9
ã≅÷VÏΒ
Åeáym
È⎦÷⎫u‹sVΡW{$#
4
βÎ*sù
£⎯ä.
[™!$|¡ÎΣ
s−öθsù
È⎦÷⎫tGt⊥øO$#
£⎯ßγn=sù
$sVè=èO
$tΒ
x8ts?
(
βÎ)uρ
ôMtΡ%x.
Zοy‰Ïm≡uρ
$yγn=sù
ß#óÁÏiΖ9$#
4
ϵ÷ƒuθt/L{uρ
Èe≅ä3Ï9
7‰Ïn≡uρ
$yϑåκ÷]ÏiΒ
â¨ß‰¡9$#
$£ϑÏΒ
x8ts?
βÎ)
tβ%x.
…çµs9
Ó$s!uρ
4
βÎ*sù
óΟ©9
⎯ä3tƒ
…ã&©!
Ó$s!uρ
ÿ…çµrOÍ‘uρuρ
çν#uθt/r&
ϵÏiΒT|sù
ß]è=›W9$#
4
βÎ*sù
tβ%x.
ÿ…ã&s!
×οuθ÷zÎ)
ϵÏiΒT|sù
â¨ß‰¡9$#
4
.⎯ÏΒ
ω÷èt/
7π§‹Ï¹uρ
©Å»θãƒ
!$pκÍ5
÷ρr&
A⎦ø⎪yŠ
3
öΝä.äτ!$t/#u™
öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ
Ÿω
tβρâ‘ô‰s?
öΝß㕃r&
Ü>tø%r&
ö/ä3s9
$YèøtΡ
4
ZπŸÒƒÌsù
š∅ÏiΒ
«!$#
3
¨βÎ)
©!$#
tβ%x.
$¸ϑŠÎ=tã
$VϑŠÅ3ym
∩⊇⊇∪
Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.al- Nisa’:4/11)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang bagian anak pada permulaan ayat, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, hal ini menunjukkan betapa pentingnya mendahulukan anak dalam perbagian harta pusaka dari orang tuanya sendiri.
c) QS. al-Nisa (4): 12
öΝà6s9uρ
ß#óÁÏΡ
$tΒ
x8ts?
öΝà6ã_≡uρø—r&
βÎ)
óΟ©9
⎯ä3tƒ
£⎯ßγ©9
Ó$s!uρ
4
βÎ*sù
tβ$Ÿ2
∅ßγs9
Ó$s!uρ
ãΝà6n=sù
ßìç/”9$#
$£ϑÏΒ
z⎯ò2ts?
4
.⎯ÏΒ
ω÷èt/
7π§‹Ï¹uρ
š⎥⎫Ϲθãƒ
!$yγÎ/
÷ρr&
&⎥ø⎪yŠ
4
∅ßγs9uρ
ßìç/”9$#
$£ϑÏΒ
óΟçFø.ts?
βÎ)
öΝ©9
⎯à6tƒ
öΝä3©9
Ó‰s9uρ
4
βÎ*sù
tβ$Ÿ2
öΝà6s9
Ó$s!uρ
£⎯ßγn=sù
ß⎯ßϑ›V9$#
$£ϑÏΒ
Λä⎢ò2ts?
4
.⎯ÏiΒ
ω÷èt/
7π§‹Ï¹uρ
šχθß¹θè?
!$yγÎ/
÷ρr&
&⎦ø⎪yŠ
3
βÎ)uρ
šχ%x.
×≅ã_u‘
ß^u‘θãƒ
»'s#≈n=Ÿ2
Íρr&
×οr&tøΒ$#
ÿ…ã&s!uρ
îˆr&
÷ρr&
×M÷zé&
Èe≅ä3Î=sù
7‰Ïn≡uρ
$yϑßγ÷ΨÏiΒ
â¨ß‰¡9$#
4
βÎ*sù
(#þθçΡ%Ÿ2
usYò2r&
⎯ÏΒ
y7Ï9≡sŒ
ôΜßγsù
â™!%Ÿ2uà°
’Îû
Ï]è=›W9$#
4
.⎯ÏΒ
ω÷èt/
7π§‹Ï¹uρ
4©|»θãƒ
!$pκÍ5
÷ρr&
A⎦ø⎪yŠ
uöxî
9h‘!$ŸÒãΒ
4
Zπ§‹Ï¹uρ
z⎯ÏiΒ
«!$#
3
ª!$#uρ
íΟŠÎ=tæ
ÒΟŠÎ=ym
∩⊇⊄∪
Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.(QS.al- Nisa’:4/12)
Ayat 12 surah al- Nisa’ ini merupakan kelanjutan dari ayat 11 yang melengkapi penjelasan mengenai pembagian dari harta pusaka yang
ditinggalkan oleh si pewaris kepada ahli warisnya. Sebenarnya, inti dari ayat-ayat kewarisan adalah ayat-ayat 11 dan 12 surah al- Nisa’ ini. Di sini diatur perolehan anak, ibu bapak, janda duda, dan saudara serta wasiat dan hutang.
Adapun yang menjadi asbabun nuzul dari turunnya ayat 11 dan 12 ini adalah suatu kejadian yang dialami oleh Sa’ad bin Rabi’ dalam hubungan dengan perang Uhud, bulan Syawal tahun ke-3 Hijrah. Peristiwa ini diabadikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzy:
ﻋ
ﻦ
ﺟ
ِﺑﺎ
ِﺮ
ﺑ
ِﻦ
ﻋ
ﺒِﺪ
ِﷲﺍ
ﹶﺎﻗ
ﹶﻝ
:
ﺟ
ﹶﺄ
ِﺕ
ﹾﻟﺍ
ﻤ
ﺮﹶﺃ
ﹸﺓ
ِﺑ ِﺈ
ﺑ ﻨ
ﺘﻴ
ِﻦ
ﹶﻟ
ﻬ
ﹶﻓ ﺎ
ﹶﻘﹶﻟﺎ
ﺖ
ﻳ ﺎ
ﺭ
ﺳ
ﻮ
ﹶﻝ
ِﷲﺍ
ﻫ
ﺗﺎ
ِﻥﺎ
ِﺇ ﺑ
ﻨﺘ
ﺎ
ﺳ
ﻌ
ﺑ ﺪ
ِﻦ
ﺮﻟﺍ
ِﺑﻴ
ِﻊ
ﹸﻗ ِﺘ
ﹶﻞ
ﻳ
ﻮﻡ
ﹸﺃ
ﺣ
ٍﺪ
ﺷ
ِﻬﻴ
ﺪ
ﻭ ﺍ
ِﺇ
ﱠﻥ
ﻋ
ﻤ
ﻬ
ﻤ
ﹶﺃ ﺎ
ﺧ
ﹶﺬ
ﻣ
ﹶﻟﺎ
ﻬ
ﻤ
ﹶﻓ ﺎ
ﹶﻠﻢ
ﻳ
ﺪ
ﻉ
ﹶﻟ
ﻬ
ﻤ
ﻣ ﺎ
ﹰﻟﺎ
ﻭ ﺎ
ﹶﻟ ﺎ
ﺗﻨ
ِﻜ
ﺤ
ِﻥﺎ
ِﺇ ﱠﻟ
ﻭ ﺎ
ﹶﻟﻬ
ﻤ
ﻣ ﺎ
ﹲﻝﺎ
.
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
ﻳ
ﹾﻘ
ِﻀ
ُﷲﺍ ﻲ
ِﻓ
ﹶﺫ ﻰ
ِﻟ
ﻚ
ﹶﻓ
ﺰﻨﹶﻟ
ﺖ
ﻳﺁ
ﹸﺔ
ﹾﻟﺍ
ِﻤﻴ
ﺮ
ِﺙﺍ
ﹶﻓ ﺒ
ﻌ
ﹶﺚ
ﺭ
ﺳ
ﻮ
ﹸﻝ
ِﷲﺍ
ﺻ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳ
ﱠﻠﻢ
ِﺇ ﹶﻟ
ﻋ ﻰ
ﻤ
ِﻬ
ﻤ
ﹶﻓ ﺎ
ﹶﻘ
ﹶﻝﺎ
:
ﹶﺃﻋ
ِﻂ
ﺑﺍ
ﻨﺘ
ِﻲ
ٍﺪﻌﺳ
ﱠﺜﻟﺍ
ﹶﻠﹶﺜﻴ
ِﻦ
ﻭ
ﹶﺍ
ﻋ
ِﻂ
ﹸﺃ
ﻣﻬ
ﻤ
ﺎ
ﱡﺜﻟﺍ
ﻤ
ﻦ
ﻭ
ﻣ
ﺑ ﺎ
ِﻘ
ﻲ
ﹶﻓ
ﻬ
ﻮ
ﹶﻟ
ﻚ
.
12Artinya: “Dari Jabir bahwa ia berkata: datang janda Sa’ad bin Rabi’ kepada Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, Ini ada dua orang anak perempuan
12 Abu Dawud, Sunan Abi Daud II, (Cairo: Musthafa Babiy, 1952), h.109; Abu Isa
dengan saya, bapak keduanya telah mati syahid ketika ikut berperang dengan engkau di medan Uhud. Paman keduanya (saudara laki-laki kandung sa’ad) mengambil harta bendanya (warisan Sa’ad), tidak disisakannya sedikitpun juga, sedangkan keduanya tidak dapat dikawinkan kecuali mereka mempunyai harta. Lalu berkata Rasulullah: Allah akan memberi ketentuan mengenai hal ini. Maka turunlah ayat kewarisan (QS.al-Nisa’/4: 11-12). Rasul lalu mengirim utusan memanggil paman kedua anak perempuan itu. Sesudah menghadap, Rasul memerintahkan: berikan kepada kedua anak perempuan Sa’ad 2/3 harta peninggalan dan ibunya 1/8 harta pennggalan dan sisanya ambillah olehmu.
Pembagian warisan ini menurut para sahabat merupakan pembagian
warisan pertama dalam Islam.13 2. Sunnah Nabi: Hadits Nabi Muhammad saw. yang mengatur kewarisan antara
lain:
a.) Hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat al- Bukhari:
ﻋ
ﻦ
ِﺍ ﺑ
ِﻦ
ﻋ
ﺒ
ٍﺱﺎ
ﺭ
ِﺿ
ﻲ
ُﷲﺍ
ﻰﹶﻟﺎﻌﺗ
ﻋﻨ
ﻬ
ﺎﻤ
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
:
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
ﻮﺳﺭ
ِﷲﺍ ﹸﻝ
ﺻ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳﱠﻠ
ﻢ
:ﹶﺃ
ﹾﻟ
ِﺤ
ﹸﻘﻮ
ﹾﻟﺍ ﺍ
ﹶﻔﺮ
ِﺋﺍ
ﺾ
ِﺑ ﹶﺄ
ﻫِﻠ
ﻬ
ﹶﻓ ﺎ
ﻤ
ﺑ ﺎ
ِﻘ
ﻰ
ﹶﻓ
ﻬ
ﻮ
ِﻟ ﹶﺄ
ﻭﹶﻟ
ﺭ ﻰ
ﺟ
ٍﻞ
ﹶﺫ
ﹶﻛ
ٍﺮ.
)
ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻖﹶﻔﺘﻣ
(
14Artinya: ”Berikanlah faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki dari keturunan laki-laki yang terdekat” (muttafaq alaih).
Jika ada pertanyaan tentang manfaat penyebutan kata dzakar (laki-laki) setelah kata rajul (laki-(laki-laki), padahal rajul dan dzakar sama saja?
13 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.44 14 Syekh Abi Abdillah Abdussalam Allusy, Ibanah al- Ahkam Fi Syarhi Bulughul Maram Juz
Jawabannya adalah karena penyebutan tersebut merupakan penegasan yang menggantikan posisi anak perempuan.15
b.) Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim, Abu dawud, al-Tirmiziy, dan Ibnu Majah:
ﻭ
ﻋ
ﻦ
ﹸﺃ
ﺳ
ﻣﺎ
ﹶﺔ
ﺑ
ِﻦ
ﺯ
ﻳٍﺪ
ﺭ
ِﺿ
ﻲ
ُﷲﺍ
ﻋ
ﻨﻪ
:
ﹶﺃﱠﻥ
ﻨﻟﺍ
ِﺒﻰ
ﺻ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳ
ﱠﻠﻢ
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
:
ﹶﻟ ﺎ
ﻳِﺮ
ﹸﺙ
ﹾﻟﺍ
ﻤ
ﺴ
ِﻠﻢ
ﹾﻟﺍ
ﹶﻜ
ِﻓﺎ
ﺮ
ﻭ
ﹶﻟ ﺎ
ﻳ
ِﺮ
ﹸﺙ
ﹾﻟﺍ
ﹶﻜ
ِﻓﺎ
ﺮ
ﹾﻟﺍ
ﻤ
ﺴ
ِﻠﻢ
.
)
ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻖﹶﻔﺘﻣ
(
16Artinya: ”Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabi saw. Bersabda: seorang muslim tidak mewarisi muslim dan non-muslim tidak mewarisi seorang non-muslim”(muttafaq alaih).
c.) Hadits Nabi dari Amr bin Syuaib menurut riwayat al- Nasa’iy dan Daruquthniy:
ﻋ ِﻪﻴِﺑﹶﺍ ﻦﻋ ٍﺐﻴﻌﺷ ِﻦﺑ ﻭِﺮﻤﻋ ﻦﻋﻭ
ﹶﻝﺎﹶﻗ ِﻩﺪﺟ ﻦ
:
ِﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ
ﺻ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳﱠﻠ
ﻢ:
ﹲﺊﻴﺷ ِﺙﺍﺮﻴِﻤﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ِﻞِﺗﺎﹶﻘﹾﻠِﻟ ﺲﻴﹶﻟ
.
ِﺪﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻮﹶﻗ ﻭ ﻲِﻨﹾﻄِﻗﺭﺍﺪﻟﺍﻭ ﻲِﺋﺎﺴﻨﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ
ﻭ ﺮﺒﹾﻟﺍ
ﹶﺃ
ﻋﱠﻠ
ﻪ
ﻨﻟﺍ
ﺴ
ِﺋﺎ
ﻲ
ﻭ
ﺼﻟﺍ
ﻮ
ﺏﺍ
ﻭ
ﹾﻗﹶﻔ
ﻪ
ﻋ
ﹶﻠ
ﻋ ﻰ
ﻤ
ٍﺮﻭ
.
1715 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, h.19
16 Syekh Abi Abdillah Abdussalam Allusy, Ibanah Al-Ahkam Fi Syarhi Bulughul Maram Juz
III, (Beirut: Dar El- Fikr, 2004) Cet.1, h.226
Artinya: ”Dan dari amr bin syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada bagian dari harta warisan bagi seorang pembunuh.” (HR. al- Nasa’iy dan Daruquthniy)
Kedua hadits di atas menjadi acuan bagi kita bahwa di antara penghalang seseorang mendapatkan harta warisan adalah kafir atau murtad dan pembunuh si mayit. Hal ini telah disepakati oleh jumhur ulama.
d.) Hadits Nabi dari Sa’ad bin Abi Waqqash menurut riwayat al-Bukhari:
ﻋ
ﻦ
ﺳ
ﻌِﺪ
ﺑ
ِﻦ
ﹶﺃِﺑ
ﻭ ﻰ
ﱠﻗ
ٍﺹﺎ
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
:
ﻣﺮ
ﺿ
ﺖ
ِﺑ
ﻤ
ﱠﻜ
ﹶﺔ
ﻣ
ﺮ
ﺿ
ﹶﻓ ﺎ
ﹶﺄ
ﺳ
ﻌﻴ
ﺖ
ِﻣ
ﻨﻪ
ﻋ
ﹶﻠ
ﹾﻟﺍ ﻰ
ﻤ
ﻮ
ِﺕ
ﹶﻓﹶﺄﺗ
ِﻧﺎ
ﻨﻟﺍ ﻰ
ِﺒﻰ
ﺻ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳ
ﱠﻠﻢ
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
ﻳ
ﻌﻮ
ﺩِﻧ
ﹶﻓ ﻰ
ﹸﻘﹾﻠ
ﺖ
ﻳ
ﺭ ﺎ
ﺳ
ﻮ
ﹶﻝ
ِﷲﺍ
ِﺇ
ﱠﻥ
ِﻟ
ﻲ
ﻣ
ﹰﻟﺎ
ﺎ
ﹶﻛِﺜ
ﻴﺮ
ﻭ ﺍ
ﹶﻟ ﻴ
ﺲ
ِﻟ
ِﺍ ﻲ
ﱠﻟ
ِﺇ ﺎ
ﺑﻨِﺘ
ﻲ
ﹶﺃ ﹶﻓ
ﹶﺄﺗ
ﺼ
ﺪ
ﻕ
ِﺑ ﹸﺜ
ﹸﻠﹶﺜ
ﻲ
ﻣ
ِﻟﺎ
ﻲ
ﹶﻓ ؟
ﹶﻘ
ﹶﻝﺎ
ﹶﻟ ﺎ
,
ﹸﻗﹾﻠ
ﺖ
ﹶﻓ
ﺸﻟﺎ
ﹾﻄ
ﺮ
ﹶﻓ ؟
ﹶﻘ
ﹶﻝﺎ
ﹶﻟﺎ
,
ﻭ
ﹸﻗ ﹾﻠ
ﺖ
ﱡﺜﻟﺍ
ﹸﻠ
ﹸﺚ
,
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
ﱡﺜﻟﺍ
ﹸﻠ
ﹸﺚ
ﹶﻛ
ِﺒﻴ
ﺮ
ِﺇﻧ
ﻚ
ﹶﺃ
ﹾﻥ
ﺗ
ﺮ
ﹾﻛ
ﺖ
ﻭ
ﹶﻟﺪ
ﻙ
ﹶﺃ
ﹾﻏِﻨ
ﻴًﺀﺎ
ﺧ
ﻴﺮ
ِﻣ
ﻦ
ﹶﺃ
ﹾﻥ
ﺗﺘ
ﺮ
ﱠﻛ
ﻬ
ﻢ
ﻋ
ﹶﻟﺎﹰﺔ
ﻳ ﺘ
ﹶﻜ
ﱠﻔﹸﻘ
ﻮ
ﹶﻥ
ﻨﻟﺍ
ﺱﺎ
.
18Artinya: “Dari Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: saya pernah sakit di mekkah, sakit yang membawa kematian. Saya dikunjungi oleh Nabi saw. Saya berkata kepada Nabi: Wahai Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiganya? jawab Nabi: ”tidak”. Saya berkata lagi: bagaimana kalau separuhnya ya rasulullah? jawab Nabi: ”tidak”. Saya berkata lagi: ”sepertiga?” Nabi berkata: sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan
keluargamu berkecukupan lebih baik dari meninggalkannya berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada orang.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjadi dasar bahwasanya meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik ketimbang meninggalkan keturunan dalam keadaan miskin, karena kalau seseorang sudah miskin artinya ia akan lemah, dan kebanyakan dari orang yang lemah itu dekat kepada kekafiran. Begitu pula sebaliknya orang yang berkecukupan akan menjadi kuat, dan Allah lebih menyukai umat-Nya yang kuat daripada yang lemah.
e.) Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhariy dan Muslim:
ﻋ
ﻦ
ﹶﺍ ِﺑ
ﻫ ﻰ
ﺮﻳ
ﺮﹶﺓ
ﺭ
ِﺿ
ﻲ
ُﷲﺍ
ﻋ
ﻨﻪ
ﻋ
ِﻦ
ﻨﻟﺍ
ِﺒ
ﺻ ﻰ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳ
ﱠﻠﻢ
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
:
ﹶﺃﻧ
ﹶﺃ ﺎ
ﻭﹶﻟ
ﻰ
ِﺑﹾﻟﺎ
ﻤ
ﺆِﻣ
ِﻨﻴ
ﻦ
ِﻣ
ﻦ
ﹶﺃ ﻧ
ﹸﻔ
ِﺴ
ِﻬ
ﻢ
ﹶﻓ
ﻤ
ﻦ
ﻣ
ﺕﺎ
ﻭ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﺩ
ﻳﻦ
ﻭ
ﹶﻟﻢ
ﻳ ﺘ
ﺮ
ﻙ
ﻣ
ﹰﻟﺎ
ﹶﻓ ﺎ
ﻌﹶﻠﻴ
ﻨ
ﹶﻗ ﺎ
ﻀ
ﺅﺎ
ﻩ
ﻭ
ﻣ
ﻦ
ﺗ
ﺮ
ﻙ
ﻣ
ﹰﻟﺎ
ﹶﻓ ﺎ
ﹾﻠﻮ
ﺭﹶﺛ
ﺘﻪ
19.
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad saw. berkata: saya adalah lebih utama bagi seorang muslim dan diri mereka sendiri. Siapa-siapa yang meninggal dan mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (HR. Bukhari Muslim)
f.) Hadits Nabi dari Jabir bin Abdullah menurut riwayat Ibnu Majah:
ﻋ
ﻦ
ﺟ
ِﺑﺎ
ِﺮ
ﺑ
ِﻦ
ﻋ
ﺒِﺪ
ِﷲﺍ
ﻭ
ﹾﻟﺍ
ِﻤ
ﺴ
ﻮِﺭ
ﺑ
ِﻦ
ﻣ
ﺨ
ﺮﻣ
ِﺔ
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
:
ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ
ﺭ
ﺳ
ﻮ
ﹸﻝ
ُﷲﺍ
ﺻ
ﱠﻠ
ُﷲﺍ ﻰ
ﻋ
ﹶﻠﻴِﻪ
ﻭ
ﺳ
ﱠﻠﻢ
ﹶﻟ
ﻳ ﺎ
ِﺮ
ﹸﺙ
ﺼﻟﺍ
ِﺒﻲ
ﺣ
ﺘ
ﻳ ﻰ
ﺴ
ﺘِﻬ
ﹶﻞ
ﺻ
ِﺭﺎ
ﺣ
ﹶﻗ ﺎ
ﹶﻝﺎ
ﻭ
ﺳﺍ
ِﺘﻬ
ﹶﻠ
ﹸﻟ ﺎ
ﻪﹶ
ﺃ
ﹾﻥ
ﻳ ﺒ
ِﻜ
ﻰ
ﻭ
ﻳ
ِﺼ
ﻴﺢ
ﹶﺃﻭ
ﻳ
ﻌ
ِﻄ
ﺲ
.
20Artinya: ”Dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah berkata keduanya berkata Rasulullah SAW: seorang bayi tidak berhak menerima warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan jeritan. Gerakannya diketahui dari tangis, teriakan dan bersin.” (HR. Ibnu Majah)
Bila kita gabungkan antara hadits-hadits di atas dengan ayat-ayat al- Qur’an yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa dalil-dalil tersebut telah mencakup seluruh hukum waris. Dengan kata lain, dalil-dalil di atas telah menjelaskan pembagian harta waris secara
fardh ’bagian tetap’ dan ta’shib ’bagian lunak’.21
3. Ijma’
Para sahabat, tabi’in ”generasi pascasahabat”, dan tabi’it tabi’in ”generasi pasca-tabi’in”, telah berijma’ atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tiada seorang pun yang menyalahi ijma’ tersebut.
20 Ibid.
C. Rukun dan Syarat Waris
1. Rukun pusaka mempusakai itu ada tiga hal, yaitu
a. Mauruts
(
ﹲﺙ
ﺭﻭ
ﻣﻮ
)
yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh si mati yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat, kalau ada meninggalkan wasiat.b. Muwarrits
(
ﹲﺙ
ﺭ
ﻣﻮ
)
yaitu orang yang meninggal dunia, baik karena mati hakiki, maupun hukmi. Mati hukmi maksudnya, dia sudah dianggap mati atas putusan pengadilan, seperti karena telah lama menghilang atau sebab-sebab lainnya.c. Warits
(
ﹲﺙ
ِﺭﺍ
ﻭ
)
yaitu ahli waris yang akan menerima pembagian warisan seperti karena ada hubungan perkawinan dan hubungan darah (keturunan).222. Syarat-Syarat Pusaka Mempusakai Ada Tiga Hal, Yaitu: a. Orang yang mewaritskan (muwarrits) sudah meninggal,
b. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat kematian muwarrits,
c. Tidak ada penghalang (mawani’ul irtsi =
ِﺙ
ﺭ
ﹾﺍِﻻ
ﻊ
ِﻧﺍ
ﻣﻮ
) untuk mendapatkan warisan.23D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh uang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian24. Untuk lebih jelasnya, penulis akan memberikan perinciannya sebagai berikut:
1. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini disebut secara ijbari.
Kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan, yaitu
melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Dalam hukum kewarisan Islam sendiri diberlakukannya asas ijbari ini mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan ahli warisnya. Adanya asas ijbari
23 Ibid. h.15
dalam hukum Islam sendiri pun dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi kepada siapa harta itu beralih.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral berarti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
3. Asas Individual
Asas kewarisan secara individual mengandung makna bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
4. Asas Keadilan Berimbang
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata adil dapat diartikan sebagai berikut: keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian hukum kewarisan Islam, hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup, karena masalah wasiat diatur tersendiri dalam hukum kewarisan Islam.25
E. Pengertian Persepsi
1) Pengertian Secara Etimologi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti dari kata persepsi adalah: 1. tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan, 2. proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.26 Atau juga diartikan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Sedangkan penginderaan sendiri
25 Ibid. h.18
26 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Namun, proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. 27 Dalam kamus standar dijelaskan bahwa persepsi dianggap sebagai sebuah pengaruh ataupun sebuah kesan oleh benda yang semata-mata menggunakan pengamatan penginderaan.28
2) Pengertian Secara Terminologi
Beberapa tokoh memiliki beberapa pengertian menganai persepsi, diantara tokoh itu adalah Moskowiz dan Orgel (1969) yang menyatakan bahwa persepsi itu merupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya.29 Sedangkan menurut Gibson dan Donely (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Ada pula Rakhmat Jalaludin (1998), yang menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
27 Bimo Walgito, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi, 2007), ed.revisi,
h.53
28 Abdurrahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif
Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h.88
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.30
Sebenarnya masih banyak lagi tokoh yang mendefinisikan persepsi, namun penulis mengambil kesimpulan dari beberapa definisi di atas bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.
F. Konsep Keadilan 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam
Salah satu asas dalam hukum kewarisan Islam adalah asas keadilan berimbang. Yang dimaksud dengan asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, yang ahli warisnya hanyalah keturunan laki-laki saja/garis kebapakan).
30 Setia Budi, Tinjauan Pustaka: Pengertian Persepsi, Artikel diakses pada tanggal 13 April 2010 dari http://www.damandiri.or.id/file/Setiabudiipbtinjauanpustaka.pdf
Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176. 31
Syariat telah menentukan bagian anak perempuan dan bagian anak laki-laki, yaitu satu berbanding dua (setengah bagian anak laki-laki). Pembagian ini bukan merupakan kezaliman, sebab pemberian warisan berbeda dengan pembagian kasih sayang yang menuntut kesamaan dalam pemberian.
Tidak boleh berbuat zalim terhadap anak perempuan dengan tidak memberikan haknya dalam kedua pemberian (kasih sayang dan harta waris), karena ia termasuk orang yang berhak atas kedua pemberian tersebut menurut ketetapan syara’ bahkan telah ditentukan pembagiannya, supaya ia menunaikan tanggung jawabnya dan menjaga kehormatannya dengan keridhaan Tuhannya yang maha suci. Kalau beberapa kenyataan dapat disimpulkan sejumlah faedah: bahwa anak perempuan setelah pernikahannya dan setelah melahirkan anak-anaknya, akan berubah persepsinya tentang hak miliknya dari harta warisan peninggalan ayahnya, dan berbeda dengan persepsi sebelumnya ketika ia masih bersama saudara-saudaranya di rumah keluarganya.
Perlu diketahui bahwa anak perempuan dewasa yang mengetahui hakekat penggunaan nafkah tersebut dengan benar dan bijaksana adalah anak perempuan yang mampu menentukan sikap yang tepat dalam menghadapinya (mampu mengambil tindakan yang bijaksana terhadap harta tersebut), yaitu jika ia menghendaki untuk
31 Kamil Musa, Anak Perempuan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994),
memiliki harta ia akan mengambil haknya secara sempurna atau jika ia telah memandang situasi dan kondisi lain dari sudut-sudut kehidupan keluarganya maka ia akan bersikap toleran, yaitu dengan merelakannya (tidak mengambilnya).32
Demikianlah konsep keadilan yang ada dalam hukum kewarisan Islam, dari hal tersebut kita dapat melihat seperti apa gambaran keadilan yang terdapat dalam konsep pembagian warisan antara anak laki-laki dengan perempuan.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG AKTIVIS GENDER INDONESIA
A. Pengertian Gender 1. Definisi Gender
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan"33.
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin".34 Dalam
Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.35 Di dalam
Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
33
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, (1992), h.3
34
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983), h. 265
35
The apparent disparity between man and women in values and behavior. Lihat Victoria neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), h.561
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.36 Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex &
Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).37 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Linda L. Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society
defines as masculine or feminin is a component of gender).38
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.39 Sejalan dengan perkataan Elaine showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi
36
Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol.1, (New York: Green Wood Press), h.153
37
Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, (London: Mayfield Publishing Company, 1993), h.4
38
Linda L. Linsey, Gender Roles: a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h.2
39
“Gender is a basis for defining the different contributions that man and woman make to culture and collective life by dint of which they are as man and women”. Lihat H.T. Wilson, Sex and Gender, making cultural sense of civilization, (Leiden New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1989), h.2