• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), termasuk di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), termasuk di"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), termasuk di dalamnya Hak Cipta, wajib diimplementasikan dalam prakteknya di Indonesia. Pemberlakukan Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UUHC”) yang mana akan digantikan dengan peraturan hak cipta yang baru yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC Baru”) diharapkan oleh banyak pihak untuk mampu memberikan perlindungan atas penggunaan Hak Cipta bagi pemegang Hak Cipta. Keyakinan ini didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya adanya penyempurnaan terhadap materi UUHC itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan pada bagian penjelasan UUHC Baru, disebutkan bahwa terdapat perubahan yang secara garis besar mengatur tentang:

a. Perlindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu yang lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di berbagai negara sehingga jangka waktu perlindungan Hak Cipta dibidang tertentu diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia.

b. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemiliki hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekomomi dalam bentuk jual putus (sold flat). c. Pemyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase atau pengadilan,

(2)

d. Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya.

e. Hak Cipta sebaga benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia. f. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila

ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

g. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalty.

h. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial. i. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi

pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri.

j. Penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelktual yang memiliki ruang lingkup objek yang dilindungi paling luas karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup pula program computer. Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan berbagai negara yang berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan adanya pembaruan UUHC, mengingat Hak Cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional. Dengan UUHC

(3)

yang memenuhi unsur perlindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini maka diharapkan kontribusi sektor Hak Cipta dan Hak Terkait bagi perekonomian negara dapat lebih optimal.

Adapun keberadaan UUHC adalah diperuntukkan untuk melindungi hak bagi mereka yang telah menghasilkan karya-karya yang berasal dari pengungkapan (ekspresi), intelektualitas (intangible), dan bukannya yang bersifat kebendaan (tangible), apabila yang belum berwujud apa-apa seperti ide-ide informasi maka hal ini belum dapat memperoleh perlindungan berdasarkan UUHC ini.

Pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHC dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah:

“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dnegan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) UUHC tersebut dijelaskan bahwa:

“Yang dimaksud dengan hak ekslusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya

Dalam pengertian “mengumumkan dan memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.”

Dalam UUHC dijelaskan pula bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak yang di miliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas Ciptaannya. Hak ekonomi ini merupakan hak khusus bagi Pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya dan memberi ijin untuk itu. Pencipta dalam hal ini memiliki hak ekonomi atas Ciptaanya namun Pencipta dapat

(4)

dapat mengalihkan haknya tersebut kepada pihak lain sehingga pihak yang menggunakan hak tersebut dengan ijin Pencipta akan disebut sebagai pemegang Hak Cipta. Dengan adanya pengalihan hak tersebut bukan berarti penerima hak memiliki HKI. HKI tetap berada di tangan Pencipta. Lain halnya dengan hak moral. Adapun yang dimaksud dengan hak moral adalah suatu pengakuan manusia terhadap hasil karya orang lain yang sifatnya non ekonomi, dimana hak moral ini melekat pada Pencipta dan tidak dapat dialihkan seperti halnya hak ekonomi.3 Perbedaan antara hak moral dan hak ekonomi menurut Abdul Kadir Muhammad sebagaimana dikutip Ranti Fauza Mayana dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, menyebutkan bahwa hak moral adalah hak yang melindungi pribadi atau reputasi Pencipta yang melekat pada pribadi Pencipta. Apabila hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain, maka hak moral tidak dapat dipisahkan dari Penciptanya karena bersifat pribadi dan kekal.4 Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta ini memiliki nilai ekonomi yang dapat dieksploitasi sendiri oleh Penciptanya maupun bisa dialihkan kepada pemegang Hak Cipta, sedangkan hak moral adalah hak yang selalu melekat pada Pencipta dimana hak ini terkait dengan reputasi Penciptanya.

Pada ketentuan Pasal 24 UUHC mengenai Hak Moral juga disebutkan bahwa suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia. Film merupakan salah satu bentuk Ciptaan yang dilindungi oleh UUHC yang mana film dalam UUHC dinyatakan sebagai karya sinematografi. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

3 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, (Jakarta:Grasindo,

2007), hlm.115.

4 Ibid.

(5)

film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Dalam suatu proses pembuatan suatu sinematografi terdapat hubungan hukum terkait proses lahirnya suatu karya cipta antara produsen, sutradara, penulis scenario, pembuat story board, pemusik dan dapat juga melibatkan peran fotografer yang pada akhirnya disatukan menjadi satu kesatuan untuk menghasilkan sebuah karya cipta sinematografi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (selanjutnya akan disebut sebagai “UU Perfilman”), secara lebih detail disebutkan pihak-pihak yang mungkin terlibat dalam proses pembuatan film meliputi: penulis scenario film, sutradara film, artis film, juru kamera film, penata cahaya film, penata suara film, penyunting suara film, penata laku film, penata music film dan perancang animasi.

Dalam suatu hubungan hukum pada proses pembuatan karya cipta sinematografi timbul suatu pertanyaan mengenai siapa yang berhak sebagai Pencipta dan pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi tersebut.Berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat (3) UUHC, disebutkan bahwa dalam suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas. Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 20 ayat (4) UU Perfilman menegaskan bahwa perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa ketegasan keberadaan hak yang dalam hal ini termasuk di dalamnya hak atas kepemilikan sebuah karya dapat dipertegas dengan membuat suatu perjanjian.

(6)

Namun permasalahannya adalah dalam bentuk praktek pembuatan suatu karya cipta sinematografi yang melibatkan banyak pihak dalam proses pembuatannya belum semua dilandasi dengan suatu perjanjian untuk menegaskan keberadaan kepemilikan Hak Cipta dari karya cipta, sehingga hal ini dapat menimbulkan kesalahan persepsi mengenai siapa saja pihak yang memang berhak untuk menggunakan Hak Cipta atas karya sinematografi tersebut. Pada prinsipnya yang termasuk dalam kategori pelanggaran atas Hak Cipta adalah apabila seseorang yang bukan pemilik Hak Cipta, dan tanpa izin dari pemiliknya, tidak mempunyai kewenangan untuk menggunakannya seperti melakukan pelanggaran untuk mengkomersialisasikan atau menyewakan setiap salinan, mendistribusikan salinan, membuat atau memiliki harta yang tidak ada kaitannya dengan penemuan yang digunakannya itu atau dimaksudkan untuk digunakan sebagai tujuan membuat salinan; atau menyebablan hasil karya tersebut dipamerkan di depan publik. Dalam hal ini, perlindungan Hak Cipta atas film menjadikan Pencipta atau pemegang Hak Cipta memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial, hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUHC. Pada umumnya pelanggaran yang sering terjadi dimasyarakat adalah mengenai siapa pihak yang dianggap sebagai Pencipta atas suatu Ciptaan. Adapun yang dianggap sebagai pelanggaran dalam hal ini, adalah apabila melihat pada unsur kerugian secara materiil bagi pihak terkait atau oleh pihak yang merasa memiliki hak ekonomi atas suatu Ciptaan. Pelanggaran terhadap Hak Cipta ini motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan atas suatu Ciptaan dengan tanpa hak untuk menggunakan karya tersebut, yang mana hal ini jelas merupakan tindakan yang merugikan Penciptanya. Adapun upaya hukum dalam tuntutan perdata yang dapat dilakukan dalam kasus pelanggaran HKI yaitu ganti rugi dan keuntungan, penetapan sementara penyitaan barang dan putusan penyerahan

(7)

barang. Untuk mencegah semakin besarnya kerugian yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta ini maka berdasarkan UUHC disebutkan bahwa pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat memintakan kepada Pengadilan Niaga untuk dapat menerbitkan surat penetapan dahulu.

Pemutaran film Soekarno yang dilakukan beberapa waktu yang lalu menuai kontroversi antara Rachmawati Soekarnoputri yang merupakan salah satu putri dari Soekarno membawa kasus Hak Cipta atas film Soekarno ke Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun alasan Rachmawati untuk membawa kasus ini ke jalur hukum lantaran penokohan dan alur cerita film ini tidak sesuai dengan fakta yang mana hal ini dilakukan dengan melakukan perubahan atas alur cerita film tanpa seizin dari Rachmawati selaku Pencipta dari naskah “SOEKARNO” atau dikenal “BUNG KARNO: INDONESIA MERDEKA” dan sebagai salah satu ahli waris dari mantan Presiden Repubik Indonesia Pertama tersebut. Besar nilai tuntutan yang dimintakan oleh Rachmawati dalam kasus ini adalah Rp 1,- (satu Rupiah) untuk kerugian materiil dan Rp1,- (satu Rupiah) untuk ganti kerugian immaterial. Adapun alasan permintaan ganti kerugian ini dikarenakan gugatan tersebut tidak mencari nilai materi tetapi adalah untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah yang tidak dapat dinilai dengan uang. Adapun untuk mencegah timbulnya kerugiaan yang lebih besar maka dalam kasus ini Rachmawati melakukan permohonan kepada Pengadilan Noaga Jakarta Pusat untuk menerbitkan penetapan sementara guna mencegah dan menghentikan peredaran, dan menghentikan pemutaran film Soekarno tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka dalam penulis akan melakukan penelitian mengenai pelanggaran atas Hak Cipta khususnya mengenai pelanggaran atas hak moral dengan melihat pada kasus pemutaran film Soekarno dan mengangkatnya dalam bentuk penulisan thesis dengan judul “Penetapan Sementara (Injuction) atas Pelanggaran Hak Moral Pada Hukum

(8)

dibidang Hak Cipta (dalam Perkara Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.JKT.PST)”.

a. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini perumusan masalah dibatasi pada analisa peraturan perundangan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang berlaku terkait pelanggaran Hak Cipta yang meliputi Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta jo. Undang-Undang No.28 Tahun 2014 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara, dan peraturan terkait lainnya.

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1) Apakah penetapan sementara pengadilan (injuction) terkait dengan Hak Moral atau Hak Ekonomi dapat diterapkan terhadap pelanggaran Hak Cipta?

2) Apakah Pencipta (selaku pencipta pagelaran) berhak untuk mengajukan penetapan sementara (injuction) terhadap Pencipta dan Pemegang Hak Cipta atas adaptasi suatu pagelaran yang telah menjadi film dan telah memiliki hak untuk memproduksi Ciptaan berupa film berdasarkan suatu perjanjian kerjasama produksi film layar lebar?

3) Apakah keputusan hakim pada perkara Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.JKT.PST tepat ditinjau dari Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta jo. Undang-Undang No.28 Tahun 2014?

(9)

b. Faedah yang Diharapkan

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan bagi pihak terkait dengan industri perfilman atas penerapan penetapan sementara terkait dengan pelangaran atas Hak Moral yang diterapkan dalam sengketa Hak Cipta berikut bentuk pengaplikasian suatu perjanjian kerjasama atas suatu produksi film layar lebar. Sementara bagi penulis penelitian ini memberikan manfaat dalam menambah pengetahuannya terhadap upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal terjadinya pelanggaran Hak Cipta khususnya terkait dengan hak moral selain untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.

Dari segi teoritis, penelitian ini berusaha untuk menganalisa dan menjelaskan penerapan atas bentuk upaya hukum berupa penetapan sementara atas kasus pelanggaran Hak Cipta khususnya atas pelanggaran hak moral yang terjadi di Indonesia yang pada akhirnya dapat memberikan masukan dalam menyempurnakan peraturan perundangan ke depannya.

c. Keaslian Penelitian

Penelitian terkait dengan proses Penetapan Sementara (Injuction) di Pengadilan Niaga, sepengetahuan penulis pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain.

2. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui apakah penetapan sementara pengadilan (injuction) terkait dengan Hak Moral atau Hak Ekonomi dapat diterapkan terhadap pelanggaran Hak Cipta.

(10)

b. Mengetahui apakah Pencipta (selaku pencipta pagelaran) berhak untuk mengajukan penetapan sementara (injuction) terhadap Pencipta dan Pemegang Hak Cipta atas adaptasi suatu naskah yang telah menjadi film dan telah memiliki hak untuk memproduksi Ciptaan berupa film berdasarkan suatu perjanjian kerjasama produksi film layar lebar.

c. Mengetahui apakah keputusan hakim pada perkara Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.JKT.PST sudah tepat apabila ditinjau dari Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta jo. Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

3. Tinjauan Pustaka

Konsep Penetapan Sementara (Injuction) berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, yang ditelusuri akarnya dari Romawi Kuno (Ancient Rome). Mahkamah Agung Amerika Serikat menggunakan istilah “extraordinary remedies”5, juga digunakan istilah Preliminary Injuction6. Penetapan sementara adalah sebuah putusan yang dimintakan sebelum suatu kasus diajukan ke pengadilan. Putusan penetapan ini ada sebelum adanya perselisihan. Ketentuan ini secara formal belum diundangkan dalam hukum acara perdata maupun hukum acara niaga. Dalam hal ini penetapan sementara berbeda dengan “Provisional Decision” atau dikenal dengan Putusan Sela yaitu suatu putusan yang dimintakan setelah kasus utama disidangkan yang diatur dalam Pasal

5 Ryan McLeod, “Injuction Junction: Remembering the proper function and form of equitable relief in Trademark

Law”, Duke Law and Technology Review, Vol. 5 No.13, Mei 2006, North Carolina: Duke University School of Law, hlm.2.”

6 David A. Kalow and Milton Springout, “Impact of Second Circuit’s Preliminary Injuction Standard After ‘Salinger’”,

New York Law Journal, Vol. 246 No.88, November 2011, New York: ALM Publication, hlm.1.

(11)

180 HIR atau Hukum Acara Perdata Indonesia.7 Penetapan sementara ini hanya diberikan oleh pengadilan, apabila pemohon dapat memberikan bukti yang kuat adanya dugaan pelanggarn HKI, menunjukkan kerugian, baik aktual maupun potensi yang diderita sangat serius, dan memberikan bukti valid (clear evidence) bahwa termohon memiliki incriminating documents dan bukti lain di mana ada kekhawatiran barang bukti tersebut akan hilang atau dimusnahkan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat kita lihat peran penting suatu upaya hukum berupa penetapan sementara dalam suatu kasus pelanggaran Hak Cipta. Dengan adanya penetapan sementara ini adalah untuk mencegah semakin besarnya kerugian yang akan ditimbulkan dalam kasus pelanggaran Hak Cipta tersebut. Dalam kasus film Soekarno ini, penetapan sementara yang dimintakan oleh Rachmawati adalah untuk mencegah dan menghentikan peredaran dan menghentikan pemutaran film Soekarno. Hal ini dikarenakan film Soekarno tersebut di produksi untuk tujuan pendidikan bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional agar mengenal perjuangan Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia yang pertama. Sehingga apabila pembuatan film tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada atau dalam kasus ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap naskah yang dibuat oleh Rachmawati, maka dikhawatirkan apabila film ini telah ditayangkan dan dikonsumsi oleh masyarakat maka tidak akan mudah untuk ditarik kembali dan menjelaskan kepada masyarakat bahwa isi dari film Soekarno ini adalah salah dan keliru termasuk pengenalan atas karakter Soekarno, sebagai suatu kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

7 Sayud Margono, “Dampak Implementasi TRIPs Agreement terhadap prosedur upaya hukum HaKI di Indonesia”,

Jurnal Supremasi Hukum, Vol. III No 1, Januari 2012, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Sahid, hlm. 8.

(12)

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa gugatan yang dilakukan atas pelanggaran Hak Cipta tidak hanya dapat dilakukan dengan alasan ganti kerugian ekonomi saja, namun juga dapat dilakukan untuk menuntut kerugian atas dasar hak moral dari suatu Ciptaan. Dalam prakteknya, tidak semua orang memahami bahwa pelanggaran atas suatu Hak Cipta bukan hanya dapat dituntut untuk kerugia secara ekonomis saja, namun juga dapat dituntut dari sisi hak moral dari si Pencipta. Selain itu, hal yang harus dipahami dalam kasus ini adalah apakah pihak yang melakukan gugatan tersebut memang memiliki hak untuk melakukan gugatan tersebut. Hal ini dikarenakan yang menjadi objek atas gugatan adalah suatu karya sinematografi berupa film. Berdasrkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUHC, ditentukan bahwa jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja, maka pihak yang membuat karya cipta tersebut dianggap sebagai Pencipta dan pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak. Penjelasan pasal ini selanjutnya menentukan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja disini adalah Ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja. Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa bila tidak ada perjanjian maka kepemilikan Hak Cipta ada pada pihak yang menbuat karya cipta.

Perlindungan atas Hak Cipta berdasarkan UUHC memang sudah cukup lama berlaku di Indonesia, namun masyarakat Indonesia tampaknya belum memahami pengaturan hukum atas Hak Cipta khususnya mengenai kepemilikan atas suatu Ciptaan berupa karya cipta film yang berasal dari adaptasi suatu naskah. Sehingga dalam implementasinya masih banyak pihak tidak mengetahui bahwa dalam pembuatan suatu karya cipta sinematografi berupa film dapat terdiri dari satu PenciptaDengan demikian adanya penelitian ini perlu untuk dilakukan karena hal ini terkait dengan pemberian perlindungan hukum bagi para Pencipta atas suatu ciptaam berdasarkan hukum positip d Indonesia.

(13)

4. Metoda Penelitian

a. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat pendekatan yuridis normatif dengan menganalisa bahan-bahan pustaka bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang akan diteliti. Alasan pemilihan metode ini dikarenakan penulis melakukan penelitian dengan cara menganalisa putusan-putusan pengadilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Niaga maupun di tingkat Mahkamah Agung, serta penulis juga membandingkan analisa tersebut dengan buku-buku yang berkaitan dengan putusan pengadilan tersebut.

b. Bahan/materi Penelitian Kepustakaan

1) Bahan hukum primer yang dipergunakan, yaitu antara lain: a) Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;

b) Putusan pengadilan terkait dengan kasus pemutaran film Soekarno.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku, artikel, berita baik dari koran maupun internet, serta pendapat para ahli hukum di bidang Hak Cipta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3) Bahan hukum tersier, yaitu kamus, ensiklopedia, dan bahan lain yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain: Black Law Dictionary dan Kamus Hukum Indonesia.

Selain bahan/materi dari penelitian kepustakaan, diperlukan juga penelitian lapangan untuk memperoleh data primer berupa seperti: Pengacara, Subdit Hukum Direktorat Hak Cipta,

(14)

Pemeriksa Hak Cipta dan Direktorat Jenderal HKI. Sedangkan bentuk analisa adalah deskriptif analisis yang kualitatif, Metode analisa kualitatif dengan menyajikan data yang di analisa secara deskriptif dan mendalam secara terperinci. Alasan pemilihan metode kualitatif adalah karena metode ini merupakan metode yang paling tepat untuk meneliti fakta nyata yang terdapat di masyarakat mengenai objek penelitian.

c. Alat

Instrumen penelitian yang digunakan adalah studi dokumen dari berbagai bahan-bahan kepustakaan dan bahan hukum primer tersebut di atas untuk meneliti tingkat kesesuaiannya.

d. Analisa Data

Penelitian berawal dari telaahan atas kasus pelanggaran Hak Moral dalam suatu perkara Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Perkara Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.JKT.PST tentang pemutaran film Soekarno. Hal ini juga ditunjang dengan kepustakaan, media elektronik (website) maupun wawancara dengan narasumber. Bahan-bahan tersebut dikaji dan dianalisis dengan studi kepustakaan (dokumen) sehingga di peroleh informasi mengenai dampak hukum pengaturan undang-undang mengenai penerapan injuction (penetapan sementara) atas Hak Moral, dengan menggunakan analisa putusan pengadilan terhadap kasus dalam Perkara Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.JKT.PST tentang pemutaran film Soekarno tersebut.

(15)

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka, dan wawancara dengan nara sumber seperti: Pengacara, Subdit Hukum Direktorat Hak Cipta, Pemeriksa Hak Cipta dan Direktorat Jenderal HKI. Sedangkan bentuk analisa adalah deskriptif analisis yang kualitatif, Metode analisa kualitatif dengan menyajikan data yang di analisa secara deskriptif dan mendalam secara terperinci. Alasan pemilihan metode kualitatif adalah karena metode ini merupakan metode yang paling tepat untuk meneliti fakta nyata yang terdapat di masyarakat mengenai objek penelitian.

Dari hasil analisa tersebut dapat disimpulkan kelompok atau aturan mana saja dari bahan-bahan hukum yang dianalisa yang telah mengakomodasi atau sejalan dengan tindak pelanggaran Hak Cipta dengan upaya hukum yang telah dilakukan apakah telah sesuai dengan peraturan yang ada. Penelitian ini berbentuk penelitian preskriptif, yang mana penelitian ini bertujuan memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang ada8.

e. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis memaparkan mengenai latar belakang penelitian dan penulisan tesis, pokok-pokok permasalahan, tujuan penulisan tesis, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan tesis ini.

8 Ibid., hal.4.

(16)

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum tentang Hak Cipta, termasuk didalamnya mengenai kepemilikan atas Hak Cipta, sistem pendaftaran Hak Cipta, prosedur pendaftaran Hak Cipta, pembatalan Hak Cipta, dan terakhir penulis menguraikan lebih lanjut mengenai upaya hukum atas pelanggaran kepemilikian Hak Cipta, khususnya dengan menggunakan upaya hukum penetapan sementara (injunction), serta pihak yang dapat melakukan upaya hukum atas pelanggaran Hak Cipta.

BAB III: METODE PENELITIAN

Dalam bab ini penulis akan menjelas mengenai bentuk penelitian yang akan digunakan dalam melakukan penulisan ini.

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai proses hukum yang terjadi sehubungan dengan pelanggaran Hak Cipta, serta akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan berupa injuction (penetapan sementara) atas pelanggaran hak moral pada hukum di bidang Hak Cipta.

BAB V: PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan terkait dengan pembahasan di bab-bab sebelumnya. Selain itu penulis juga akan mencoba memberikan saran mengenai apa yang sebaiknya dilakukan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Keindahan alam yang eksotis, masih alami dan belum banyak dijamah orang, sehingga dibuatlah media yang mempromosikan pulau ini dalam bentuk video

Maka dari itu penulis berinisiatif membuat informasi tambahan yang menarik yaitu berinovasi dalam menyajikan standar operasional prosedur tugas akhir mahasiswa FKTI

Perbandingan data dari surat kabar dengan data lain seperti data kepolisian atau rumah sakit dan data dari metode survei tradisional mengungkapkan bahwa studi surat kabar yang

Berdasarkan Gambar 4, hasil analisa data rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap sifat organoleptik warnaleathernanas antara 4.33-5.83 yaitu dari netral sampai

Marilah kita belajar untuk hidup dengan bijaksana, sebarkan metta ke semua makhluk. Akhir kata, Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Buku ini adalah kelanjutan dari buku Hijau, sebuah

Tujuan penggunaan alat vakum adalah membantu sang bayi lahir tepat waktu sesuai dengan kesepakatan umum yang dipakai para ahli kebidanan, yakni pada kehamilan pertama maksimal

Metode survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi penelitian melakukan perlakuan dalam pengumpulan data,

Berdasarkan hasil tinjauan pada penelitian sebelumnya terdapat kesamaan yaitu untuk meningkatkan pelayanan guna untuk memenuhi kepuasan pelanggan, namun yang menjadi