• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN TENTANG ARBITRASE AD HOC DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGATURAN TENTANG ARBITRASE AD HOC DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN TENTANG ARBITRASE AD HOC DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

Antono

Konsultan dan Pengacara E-mail: antonolawyer@gmail.com

Abstract :

Article 6 paragraph (9) of Act Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution as positive law stipulates that if the peaceful effort cannot be reached, then the parties based on written agreement may refer the settlement of their dispute through insitutional arbitration or ad hoc arbitration. Act Number 30 of 1999 does regulate not clearly and expressly on ad hoc arbitration. Seemingly, Act Number 30 of 1999 is more oriented to institutional arbitration. In Indonesia there are a number of institutional arbitration such as BANI, BASYARNAS, and BAPMI. This research is normative legal research. The type of the research is vague norm and the approaches applied are statute approach and comparative approach.

The results of the research are as follows: firstly, Act Number 30 of 1999 regulates more on institutional arbitration and regulates relatively less on ad hoc arbitration. There are not sufficient regulation on the recruitment so it is not clear what the criteria and procedure of recruitment of ad hoc arbitrators. The position of the ad hoc arbitrators is unclear; the office or domicile of the ad hoc arbitration is unknown, thus, it makes difficult for the society who want to bring their disputes to the ad hoc arbitration. It is different from institusional one which has its own arbitration law of procedure (lex atribtri), ad hoc arbitration does not possess it own arbitration law of procedure (lex atribtri). The executorial power of the award made by ad hoc arbitration is still dilematic and its registration at the District Court is still hindered because the District Court is still reluctant to recognize the award of ad hoc arbitration. It is so because ad hoc arbitration is considered not so credible and the District Court does trust it because its existence is not clear. If an award is not registered at the District Court which is proven with the presence of Registration Deed issued by the District Court so such arbitral award can not be executed (does not have executorial power).

Keywords: Regulation, Ad Hoc Arbitration, Act Number 30 of 1999

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alter-natif Penyelesaian Sengketa yang merupa-kan hukum positif (hukum yang berlaku saat ini) yang mengatur tentang arbitrase ada di-sebut tentang arbiter ad hoc, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (9) berbunyi: “Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat

dicapai, maka para pihak berdasarkan kese-pakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitra-se atau arbitraarbitra-se ad hoc.”

Dari bunyi Pasal 6 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Seng-keta di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Apabila usaha perdamaian tidak dapat

(2)

mengajukan usaha penyelesaian sengke-ta tersebut secara arbitrase.

2. Penyelesaian secara arbitrase tersebut dapat melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

3. Syarat untuk dapat mengajukan penyele-saian sengketa secara arbitrase adalah berdasarkan kesepakatan secara tertulis (Perjanjian Arbitrase).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur seca-ra jelas dan tegas mengenai arbitseca-rase ad hoc. Nampaknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa lebih berorientasi pada arbitrase institusional (arbitrase yang melembaga). Hal ini bisa kita lihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 misalnya Pasal 52 yang berbunyi: “Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat (binding opinion) dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian”. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini tidak ada ketentuan yang memberikan wewenang kepada arbitrase ad hoc untuk memberikan pendapat yang mengikat (binding opinion).

Menurut Gunawan Wijaya arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi

tertentu dan bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.1

Sifatnya yang permanen dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat permanen atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa, dengan per-kataan lain bahwa badan arbitrase institusio-nal ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa. Hal ini adalah merupakan suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang bersifat ad hoc karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setelah timbulnya sengketa.

Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini, maka dalam tataran prakteknya sering mengalami hambatan seperti: kesulit-an dalam melakukkesulit-an komunikasi, menetap-kan aturan-aturan prosedural dan penetapan cara pemilihan arbiter yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas, maka para pihak yang ber-sengketa sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional dalam rangka penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Dengan kata lain pada tataran praktek arbitrase yang bersifat institusional ini lebih

1 Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Op. cit.

(3)

diminati karena dirasakan mempunyai ke-unggulan dibanding arbitrase yang bersifat ad hoc.

Dilihat dari segi rekrutmennya (recrui-tment) arbiter pada arbitrase institu-sional dilakukan oleh masing-masing lembaga arbitrase secara ketat dan selektif. Para arbiter yang terpilih kemudian diangkat sebagai arbiter pada lembaga arbitrase ter-sebut. Syarat-syaratnya sangat ketat setidak-tidaknya mengacu kepada ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyele-saian Sengketa dan peraturan tambahan yang dibuat sendiri oleh lembaga.

Pada arbitrase ad hoc tidak jelas bagaimana kriteria para pihak memilih arbiter ad hoc. Tidak jelas tentang kualifikasi dan sertifikasi dari orang-orang yang dapat diangkat oleh para pihak untuk bisa menjadi arbiter ad hoc. Sangat tergantung pada selera para pihak untuk memilih siapa yang mereka inginkan untuk menjadi arbiter ad hoc.

Berbeda dengan arbitrase institusio-nal yang mempunyai Peraturan Arbitrase (Rule of Arbitration) atau lex arbitri yang dibuat sendiri oleh lembaga arbitrase ter-sebut, dalam arbitarse ad hoc tidak ada Peraturan Arbitrase (Rule of Arbitration) atau lex arbitri.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Bab IV dengan judul bab “Acara Yang Berlaku di Hadapan

Majelis Arbitrase” Pasal 27 sampai dengan Pasal 51 hanya bersifat pokok-pokok saja sehingga belum mengatur secara rinci, jelas, dan tegas tentang Hukum Acara Arbitrase. Oleh sebab itu maka pada arbitrase institu-sional dibuat sendiri Peraturan Arbitrase (Rule of Arbitration). Sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada lembaga/ organ/ orang yang membuat Peraturan Arbitrase (Rule of Arbitration). Ini menjadi masalah sehingga arbitrase ad hoc sulit berkembang.

Terkait dengan kekuatan eksekuto-rial putusan arbitrase ad hoc juga terdapat masalah karena terdapat ketidakjelasan tentang ketentuan pendaftaran putusan arbitrase ad hoc di Pengadilan Negeri.

Dalam sejumlah kasus terdapat kesulitan dalam melakuan pendaftaran putusan arbitrase ad hoc karena Pengadilan Negeri berpendapat bahwa:

(a) arbitrase ad hoc tidak mempunyai prosedur arbitrase (arbitration rules) yang jelas.

(b) tidak jelas syarat-syarat untuk bisa diangkat, ditetapkan, dan terdaftar sebagai arbiter ;

(c) tidak diketahui tempat bisa bertemu dan konsultasi dengan arbiter;

(d) tidak jelas tempat persidangan arbitrasenya;

(g) putusan yang dijatuhan oleh arbitrase ad hoc dianggap kurang kredibel (kurang dapat dipercaya) dibandingan dengan dari pada putusan arbitrase institusional.

(4)

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan melakukan penulisan tesis ini dengan judul “Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul serta latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam tesis ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan mengenai pengangkatan dan kedudukan arbiter ad hoc serta hukum acara arbitrase ad hoc di Indonesia?

b. Bagaimana kekuatan eksekutorial putusan yang dibuat oleh arbitrase ad hoc dan pendaftaran putusan arbitrase ad hoc di Pengadilan Negeri ?

PEMBAHASAN

Pengaturan mengenai Pengangkatan dan Kedudukan Arbiter Ad Hoc serta Lex Arbitri Arbitrase Ad Hoc

1. Pengaturan Pengangkatan dan Kedudukan para Arbitrase Ad Hoc

Pengaturan tentang pengangkatan arbiter merupakan hal yang penting karena tanpa adanya para arbiter maka penyelesaian sengketa secara arbitrase tidak bisa

terlaksana. Arbiter merupakan pelaksana utama dalam suatu arbitrase.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berseng-keta atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa ter-tentu yang diserahkan penyelesaiannya me-lalui arbitrase, demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Secara umum, mengenai penunjukan atau pengangkatan arbiter dapat kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Seng-keta. Dari bunyi pasal di atas dapat kita ketahui bahwa sepanjang seseorang meme-nuhi syarat-syarat di atas, maka ia dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ke-tentuan ini juga tidak mensyaratkan bahwa ia harus menempuh pendidikan khusus untuk menjadi arbiter.

Dari bunyi pasal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat kita ketahui bahwa sepanjang seseorang memenuhi syarat-syarat di atas, maka ia dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ketentuan ini juga tidak mensyaratkan bahwa ia harus menempuh pendidikan khusus untuk men-jadi arbiter. Di samping itu, profesi arbiter tidak mensyaratkan Sarjana Hukum (S.H.) di dalamnya.

(5)

Kemudian, dalam suatu arbitrase ad hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk me-nunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak (Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Jenis arbitrase ad hoc disebut juga “arbitrase volunter” atau “arbitrasi per-orangan”.2

Pasal 615 Rv ayat (1) tampaknya hanya mengenal lembaga arbitrase ad hoc. Pengertian arbitrase ad hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Dengan demikian, kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc bersifat “insidentil”. Ke-dudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu. Selesai sengketa diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.3

Untuk menyebut arbiter institusional Pasal I ayat (2) Konvensi New York 1958 menggunakan istilah “arbitrators of permanent arbitral body” (arbiter dari suatu badan arbitrase yang permanen/ institusio-nal). Menurut Konvensi New York 1958

2 Gunawan Wijaya. 2005. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jaarta: PT. RajaGrafindo

Persada, hlm 34

3 Idrus Abdullah. 2013. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution). Jakarta: Yayasan

Masyarakat Indonesia Baru, hlm 45

pengakuan dan pelaksanaan arbitrase inter-nasional (asing) berlaku baik terhadap putusan yang dijatuhkan oleh arbitrase ad hoc dan arbitrase permanen/ institusional).

Namun demikian Konvensi New York 1958 tidak mengatur tentang pengangkatan da kedudukan arbiter baik pada arbitrase ad hoc dan arbitrase permanen/ institusional. Konvesi ini hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksana-an arbitrase internasional (asing).

Peraturan Arbitrase (Arbitration Rules) versi UNCITRAL (United Nations Commi-ssion on International Trade Law – suatu Komisi PBB untuk Hukum Dagang Inter-nasional) ada mengatur mengenai pengang-katan arbiter (appointment of arbitrators), yaitu dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8.

Untuk di Indonesia lembaga yang berwenang melakukan penunjukkan (appointing authority) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu Pengadilan Negeri.

Peraturan Arbitrase UNCITRAL menghendaki agar dalam suatu pengang-katan arbiter (appointment of arbitrator) harus jelas:

a. Nama lengkap arbiternya; b. Alamatnya yang jelas;

c. Uraian kualifikasi (description of arbitrator’s qualification).

(6)

Yang menjadi masalah untuk arbitrase ad hoc di Indonesia adalah tidak jelas:

a. Siapa nama lengkap arbiternya; b. Apa alamatnya arbiter tersebut;

c. Apa uraian kualifikasi arbiter tersebut (description of arbitrator’s qualification).

Kondisi ini menimbulkan masalah dalam hal pengangkatan arbitrase ad hoc di Indonesia.

Di dalam Konvensi Washington 1965 tentang Penyelesaian Sengketa Investasi antara Negara melawan Warga Negara Asing diatur tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa Investasi (International Center for Investment Disputes - ICSID) dimana di dalam Pasal 14 ditegaskan syarat-syarat menjadi arbiter ICSID, yaitu:

a. Orang yang mempunyai moral yang tinggi (person of high moral character); b. Mempunyai kompetensi yang diakui

(recognized competence) di bidang: 1) Hukum (law);

2) Perdagangan (commerce);

3) Industri (industry); atau 4) Keuangan (finance).

2. Peraturan Arbitrase (Lex Arbitri) Arbitrase Ad Hoc

Peraturan Arbitrase (lex arbitri) umumnya dimiliki oleh lembaga arbitrase. Tiap-tiap lembaga arbitrase baik itu nasional maupun internasional mempunyai Peraturan Arbitrase (lex arbitri) masing-masing.

Keadaannya berbeda dengan arbit-rase ad hoc, yang bersifat insidentil, tidak permanen, seringkali tidak mempunyai Peraturan Arbitrase (lex arbitri). Hal serupa terjadi di Indonesia. Padahal hukum acara arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersifat pokok-pokok saja dan tidak rinci. Untuk membicarakan tentang Peraturan Arbitrase (lex arbitri) ini maka perlu mengacu dan membahas sejumlah lembaga arbitrase sebagai rujukan, baik itu lembaga arbitrase nasional dan internasional.

Abitrase institusional (institusional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”, disebut juga permanent arbitral body. Nama itulah

(7)

yang diberikan Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase institusional. Arbitrase institusional ialah badan arbitrase yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menanga-ni sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar penga-dilan. Pihak-pihak yang ingin penyelesaian permasalahan mereka dilakukan oleh arbitrase, dapat menjanjikan akan diputus oleh arbitrase institusional. Organisasi menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.4

Faktor kesengajaan dan sifat permanen yang melekat pada arbitrase institusional, merupakan ciri pembeda badan ini dengan arbitrase ad hoc. Ciri lain, arbitrase institusional sudah ada berdiri sebelum sengketa timbul. Sedang arbitrase ad hoc, selain sifatnya insidentil, untuk

4 Gary Goodfaster et.al. 1995. “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia”, dalam Agnes M. Toar. Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 26

menangani suatu kasus tertentu, baru dibentuk setelah perselisihan timbul.5

Perbedaan lain, arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Sebaliknya, arbitrase ad hoc bubar dan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus. Selain daripada hal-hal yang diutarakan, kesengajaan mendirikan arbitra-se institusional arbitra-sebagai badan yang bersifat permanen, sekaligus disusun organisasinya serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara pemeriksaan sengketa.6

Pada umumnya hampir setiap negara telah memiliki arbitrase institusional yang bersifat nasional, sebagai pusat arbitrase nasional pada negara masing-masing. Semula hanya dijumpai di kawasan negara-negara maju. Tapi belakangan, terutama pada masa akhir-akhir ini telah dijumpai di berbagai kawasan negara-negara berkem-bang sebagai upaya mengantisipasi perkem-bangan perekonomian dan teknologi. Untuk sekedar catatan mengenai arbitrase

5 Ibid, hlm 48 6 Ibid

(8)

sional yang bersifat nasional di luar Indonesia, dapat disebut antara lain:7

a. Nederlands Arbitrage Instituut merupa-kan pusat arbitrase nasional Belanda, di dalamnya duduk wakil-wakil dari Kamar Dagang Belanda,

b. The Japan Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang di lingkungan Kamar Dagang dan industri Jepang.

c. The American Arbitration Association, merupakan arbitrase institusional nasional yang didirikan di negara Amerika Serikat yang pendiriannya didukung oleh Kamar Dagang Amerika. d. The British Institute of Arbitrators,

sebagai pusat arbitrase internasional negara Inggris.

Di samping arbitrase institusional yang bersifat nasional, ada juga arbitrase institusional yang berwawasan internasional. Bahkan badan-badan arbitrase internasional yang ada sudah lama didirikan. Salah satu badan arbitrase internasional yang tertua antara lain Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC). Badan ini didirikan di Paris pada tahun

7 Andi Julia Cakrawala. 2015. Penerapan

Konsep Hukum Arbitrase On Line di Indonesia.

Yogyakarta: Rangkang Education, hlm 72

1919. Pada dasarnya badan-badan arbitrase yang berwawasan internasional, merupakan “pusat” arbitrase menyelesaikan sengketa di bidang tertentu antara para pihak yang berlainan kewarganegaraan di bidang perdagangan pada umumnya.8

Selain daripada ICC, badan-badan arbitrase yang berwawasan internasional yang paling menonjol antara lain:

1) The International Centre For

Settlement of Investment Disputes

(ICSID) dan lazim disingkat atau disebut dengan nama “Centre”.

2) UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commision on International Trade Law )

Disamping badan arbitrase yang bersifat internasional, ada juga arbitrase yang bersifat regional yang didirikan oleh Asia-Africa Legal Consultative Committee (AALCC) – Komite Konsultasi Hukum Asia Afrika yang berkantor pusat di New Delhi, India. Berdasarkan pertemuan AALCC di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1978, kemudian pada tahun 1979 AALCC mendirikan lembaga arbitrase untuk

(9)

san Asia Afrika, berkedudukan di kota Kairo, Mesir.

Salah satu lembaga arbitrase di Indonesia yang mempunyai Peraturan Arbit-rase (lex arbitri) sendiri adalah Badan

Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS).

Disamping institusional yang bersifat nasional dan regional sebagaimana disebutkan di atas, terdapat pula arbitrase institusional internasional, antara lain: - The International Centre For Settlement

of Investment Disputes (ICSID);

- United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL); dan

- Court Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC).

Di samping berbagai kelebihan dari penyelesaian sengketa di arbitrase, yang menurut saya menjadi keunggulan adalah arbitrer pemeriksa perkara adalah ahli yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha yang dipersengketakan. Berbeda dengan sidang perdata di tingkat pengadilan negeri, dalam proses arbitrase didahului dengan

pengajuan permohonan arbitrase disertai dengan permohonan penunjukkan arbitrer yang akan dipilih oleh pemohon untuk menangani sengketa di arbitrase hingga bukti-bukti yang akan diajukan oleh pemohon untuk mendukung permohonannya (statement of claim).9

Arbitrase sebagai lembaga penyele-saian sengketa di luar pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Idealnya, para pihak yang menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak lagi membawa permasalahan ke pengadilan, baik dalam hal eksekusi ataupun membatal-kan putusan arbitrase. Walaupun hanya berupa quasi judicial, lembaga arbitrase akan lebih efektif dipilih untuk menyele-saikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan secara sukarela dan dengan itikad baik karena secara prinsip, para pihak memilih arbitrase untuk menghindari pengadilan. Salah satu alasa nnya karena sifat tertutup arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan kasus mereka. Mengingat, publikasi tentang

9 Gunawan Wijaya. 2008. Seri Aspek Hukum

Dalam Bisnis. Arbitrase vs Pengadilan. Jakarta:

(10)

sengketa kurang baik bagi pebisnis. Yang menarik dalam arbitrase, sebelum sidang dimulai, para pihak sudah mengetahui posisi dan sikap masing-masing pihak sebagaima-na tertuang dalam permohosebagaima-nan arbitrase dan jawaban terhadap permohonan arbitrase. Bahkan, para pihak pun sudah menyerahkan daftar bukti untuk mendukung dalilnya sehingga pada saat sidang pemeriksaan arbitrase, para pihak mendapatkan keleluasaan untuk mengutarakan argumennya secara verbal dan juga dapat menyertakan bukti tambahan.10

Peraturan Arbitrase (lex arbitri) di Badan arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam mempertimbangkan Peraturan Arbitrase (lex arbitri) bagi arbitrase ad hoc di Indonesia.

Menurut Vasudha Tamrakar dan Garima Tiwari dari National Law Institute University, India, apabila dalam arbitrase ad hoc di India, para pihak atau arbiter ad hoc kesulitan dalam membuat/ menentukan tata cara arbitrase (rule of arbitration/lex

10 Ibid

arbitri) maka dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: 11

a. dengan mengadopsi peraturan arbitrase dari suatu lembaga arbitrase (adoption of the rules of an arbitral institution); b. mengikuti prosedur arbitrase

Undang-Undang yang berlaku di India atau mengacu ke Undang-Undang Arbitrase Inggris (English Arbitration Act) 1996; c. mengacu ke peraturan arbitrase

UNCITRAL; atau

d. mengadopsi ketentuan arbitrase ad hoc yang terdapat di dalam kontrak-kontrak lainnya.

Di Amerika Serikat (USA) peraturan arbitrase (lex arbitri) untuk persidangan arbitrase (arbitral proceedings) arbitrase ad hoc dilaksanakan berdasarkan Peraturan Arbitrase Dagang Internasional Amerika (American International Commercial

Arbitration Court IACAC) yang

11Vasudha Tamrakar & Garima Tiwari. Legal Service India (LSI). www.legalserviceindia.com. Ad

Hoc and Institutional Arbitration. Diakses tgl. 1

(11)

merupakan lembaga arbitrase di Amerika Serikat. 12

Di Belanda lembaga arbitrase nasionalnya adalah The Netherlands Arbit-ration Institute (NAI) yang didirikan pada tahun 1949, berkedudukan di Rotterdam. Badan Pengelola (Governing Body) NAI terdiri dari:

a. perwakilan-perwakilan masyarakat bisnis (business community);

b. para profesional hukum;

c. anggota-anggota dari lembaga yudikatif (members of the judicary);

d. perwakilan dari Kamar Dagang Belanda yang berkedudukan di Den Haag;

e. perwakilan dari Kamar Dagang Internasional (ICC) Belanda; dan

f. perwakilan dari Asosiasi Industri, Perdagangan, dan Akuntansi Belanda.13

Arbitrase di Belanda baik ad hoc maupun institusional diatur dalam Undang-Undang Arbitrase (Arbitrage Wet) tahun 1986 yang telah dimasukkan ke dalam Pasal 1020 s.d. Pasal 1076 Kitab Undang-Undang

12 American International Commercial Arbitration Court. www. Court-inter.us. “Ad Hoc

Arbitration”. Diakses tgl. 1 Agustus 2016.

13 Blenheim Advocaten. Arbitration in the Netherlands. https://www.blenheim.nl. Diakses tgl. 1 Agustus 2016.

Hukum Acara Perdata Belanda (Nederlands

Burgerlijk Processrecht) yang dalam

literatur bahasa Inggris disebut sebagai Dutch Code of Civil Procedure (DCCD). 14

Undang-Undang Arbitrase (Arbitra-ge Wet) Belanda tahun 1986 banyak menga-cu kepada Model Law (model hukum) dari Peraturan Arbitrase (Arbitration Rules) UNCITRAL tahun 1976 dan (Arbitration Rules) UNCITRAL tahun 1985. 15 Dengan demikian maka di Belanda baik arbitrase ad hoc maupun arbitrase institusional banyak mengikuti ketentuan-ketentuan Peraturan Arbitrase (Arbitration Rules) UNCITRAL.

Dari uraian di atas maka perlu dipertimbangkan untuk mengatur tentang Peraturan Arbitrase (Arbitration Rules) atau lex arbitri dari arbitrase ad hoc di Indonesia. Perlu adanya peran permintah Indonesia yang lebih aktif agar arbitrase ad hoc bisa berfungsi sebagaimana mestinya, efektif, efisien, dan bermanfaat maksimum bagi masyarakat.

B. Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase Ad Hoc dan Pendaftaran Putusan Arbitrase Ad Hoc di Pengadilan Negeri

1. Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase Ad Hoc

14 GAR Reference. Commercial Arbitration in the

Netherlands. Diakses tgl. 1 Agustus 2016.

(12)

Suatu putusan baik itu putusan arbitrase maupun putusan pengadilan diharapkan kekuatan eksekutorial. Suatu putusan tidak mempunyai arti apa-apa apabila tidak bisa dieksekusi (dilaksanakan).

Baik arbitrase institusional maupun arbitrase ad hoc mengeluarkan suatu putusan (arbitral award). Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad hoc atau pun lembaga arbitrase untuk diputus olehnya.16

Pasal 59 s.d. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur tentang eksekusi (pelaksanaan) putusan arbitrase nasional, sedangkan Pasal 65 s.d. 69 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

16 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani. Op.cit, hm 93. Lihat juga Rachmadi Usman. 2003. Penyelesaian

Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti., hlm 84

mengatur tentang eksekusi (pelaksanaan) putusan arbitrase internasional.

Didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak ada diatur tentang eksekusi (pelaksanaan) putusan arbitrase ad hoc. Hal ini karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 lebih berorientasi pada arbitrase institusional. Kondisi ini menim-bulkan kekaburan hukum tentang eksekusi (pelaksanaan) putusan arbitrase ad hoc.

Mengenai Kekuatan Putusan Arbit-rase baik melalui lembaga ArbitArbit-rase berskala nasional maupun secara Inter-nasional, contohnya ada BANI, ICSID, UNCITRAL adalah final dan binding. Dengan kata lain putusan tersebut adalah langsung menjadi putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Serta putusan menjadi mengikat para pihak dan secara otomatis tertutup pula upaya untuk banding, dan kasasi sesuai Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 .

2. Pendaftaran dan Eksekusi Putusan Arbitrase Ad Hoc

Putusan arbitrase dilakukan secara sukarela. Namun jika tidak dilaksanakan, maka untuk melakukan eksekusi dengan

(13)

bantuan pengadilan, harus didaftarkan terlebih dahulu agar memiliki kekuatan eksekutorial.

Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, suatu putusan arbit-rase merupakan putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan elat tetap dan mengikat para pihak (final and binding). Hal tersebut menjadi salah satu karakteristik penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase yang membedakannya dengan penyelesaian melalui jalur litigasi pada umumnya. Penye-lesaian melalui jalur litigasi dapat memakan waktu yang elative lebih lama, karena ter-dapat upaya-upaya elat yang ter-dapat diambil oleh pihak yang kalah yang tidak sependapat dengan putusan Majelis Hakim. Upaya elat tersebut seperti banding ke Pengadilan Ting-gi dan Kasasi serta Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Berbeda dengan putusan arbitrase, upaya elat apapun tidak dimungkinkan kare-na sifat putusan itu sendiri yang bersifat final dan langsung memiliki kekuatan elat tetap sejak diputuskan oleh arbiter atau

ma-jelis arbiter. Secara prinsip, putusan tersebut dapat dilaksanakan secara sukarela. Namun, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, maka dapat meminta bantuan Pengadilan dalam melaksanakan eksekusi. Hal ini me-ngingat, lembaga arbitrase hanyalah quasi pengadilan sehingga putusan arbitrase tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

Namun terdapat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengharuskan suatu putusan arbitrase tersebut diserahkan dan didaftarkan ke Pani-tera Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maupun bagian penjelasan tidak dijelaskan pengadilan negeri mana yang berwenang untuk menerima pendaftaran putusan arbit-rase tersebut.

Namun jika merujuk kepada Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase tersebut didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Dalam hal ini berarti pihak termohon dalam perkara arbitrase tersebut sebelumnya. Lain halnya terhadap suatu

(14)

putusan arbitrase internasional yang mana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah menentukan secara tegas terkait masalah pengakuan dan pelaksanaan putus-an arbitrase internasional tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Siapa yang berhak mendaftarkan putusan arbitrase? Lalu muncul pertanyaan terkait pihak mana yang berwenang untuk mendaftarkan putusan arbitrase tersebut? Apakah pihak Pemohon dalam perkara arbitrase atau pihak yang menang? Karena mungkin saja pihak pemohon dalam perkara arbitrase tersebut merupakan pihak yang kalah atau merupakan pihak yang tidak setuju dengan putusan majelis arbiter tersebut.

Jika hal tersebut terjadi maka ter-dapat kemungkinan bagi pemohon untuk tidak mendaftarkan putusan arbitrase ter-sebut, karena dengan tidak didaftarkannya putusan tersebut maka putusan arbitrase ter-sebut tidak dapat dieksekusi atau dilak-sanakan.

Penyusun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sepertinya telah meng-akomodir kekhawatiran tersebut karena secara jelas dan tegas dalam Pasal 59 disebutkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Dengan demikian maka pihak yang berwenang untuk melaporan dan mendaftarkan putusan arbitrase tersebut yai-tu arbiter, lembaga arbitrase atau kuasanya. Dalam hal arbitrase melalui BANI maka nantinya BANI-lah pihak yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusannya tersebut dalam kurun waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dibacakan oleh Majelis Arbiter.

Bukti putusan tersebut didaftarkan oleh pihak yang berwenang dibuktikan dengan dilampirkannya lembar asli surat pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya bersamaan dengan putusan arbit-rase yang akan didaftarkan. Walaupun pendaftaran dilakukan oleh arbiter atau

(15)

kuasanya namun semua biaya yang me-nyangkut pendaftaran tersebut ditanggung oleh para pihak yang bersengketa.

Hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan me-nimbulkan pertanyaan yaitu mengenai teknis pengajuan pendaftaran tersebut apakah permohonan diajukan secara tertulis atau lisan. Dengan tidak adanya pengaturan untuk hal tersebut maka dapat diasumsikan perdaftaran dapat diajukan secara tertulis ataupun lisan.

Panitera pengadilan yang menerima permohonan pendaftaran putusan arbitrase nantinya akan memberikan catatan atau tandatangan pada bagian akhir atau pinggir putusan. Dengan telah didaftarkannya putusan arbitrase, maka putusan tersebut bersifat autentik dan dapat dijalankan sebagaimana putusan pengadilan yang telah berkekuatan elat tetap (in kracht). Pengaturan mengenai pendaftaran putusan arbitrase dalam kurun waktu 30 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berlaku secara mutlak, karena dengan tidak

dipenuhinya ketentuan tersebut menga-kibatkan putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Bukti adanya catatan atau tandatangan pada bagian akhir atau pinggir putusan tersebut merupakan bukti telah dilakukannya kewajiban untuk mendaftar-kan dan putusan dapat dilaksanamendaftar-kan. Dengan telah didaftarkannya putusan arbitrase ter-sebut maka pihak-pihak dalam perkara wajib untuk melaksanakan putusan tersebut.

Dalam hal terdapat pihak-pihak yang tidak mau atau enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela, maka atas dasar permohonan eksekusi dari salah satu pihak Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan perintah untuk melak-sanakan putusan tersebut. Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelak-sanaan putusan akan memeriksa apakah putusan tersebut telah memenuhi persya-ratan formil suatu perkara diperiksa melalui arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

(16)

Persyaratan formil dimaksud yaitu sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan dan terdapat kesepakatan antar para pihak untuk menyelesaikan segala permasalahan melalui jalur arbitrase. Tindakan pihak Ketua Pengadilan yang hanya memeriksa dari segi formil dan tidak memeriksa elativ serta pertimbangan elat dalam putusan tersebut, menunjukkan sifat kemandirian lembaga arbitrase yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga peradilan lain. Hal ini merupakan perlindungan dan jaminan yang diberikan oleh Undang-Undang agar putusan arbitrase tetap bersifat mandiri, final dan mengikat.

PENUTUP

1. Pada arbitrase ad hoc kriteria, prosedur pemilihan dan penunjukan seorang arbiter ad hoc tidak jelas, demikian halnya dengan pengaturan mengenai pengangkatan dan kedudukan arbiter ad hoc. Berbeda halnya dengan arbitrase institusional di mana lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) melakukan sendiri pemilihan (rekruitmen) dan pengangkatan para

arbiternya. Dengan mengacu kepada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang untuk dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter, lembaga arbitrase membuat sendiri ketentuan-ketentuan tambahan berkaitan dengan tata cara pemilihan dan kriterianya. Arbiter yang terpilih kemudian tercatat sebagai arbiter tetap pada lembaga tersebut dan ditetapkan keahliannya dibidang apa. Keduduan arbiter ad hoc juga tidak jelas, tidak diketahui dimana kantor/domisilinya sehingga menyulitkan masyarakat yang ingin menyelesiakan sengketa secara arbitrase ad hoc. Berbeda halnya dengan aribitarse institusional maka arbitrase ad hoc tidak mempunyai hukum acara arbitrase (lex atribtri) sendiri.

2. Kekuatan eksekutorial putusan yang dibuat oleh arbitrase ad hoc masih dilematis dan pendaftaran putusan arbitrase ad hoc di Pengadilan Negeri

(17)

dapat terkendala karena Pengadilan Negeri enggan mengakui putusan arbitrase ad hoc. Hal ini karena arbitrase ad hoc dianggap kurang kredibel (kurang terpercaya) oleh Pengadilan Negeri karena eksistensinya yang tidak jelas. Apabila suatu putusan arbitrase tidak didaftarkan di Pengadilan Negeri yang dibuktikan dengan adanya Akta Pendaftaran yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan (tidak mempunyai kekuatan eksekutorial).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Idrus. 2013. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan (Alternative Dispute

Resolution). Jakarta: Yayasan

Masyarakat Indonesia Baru.

Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar. Jakarta: Fikahati Aneka & BANI.

Adolf, Huala. 2014. Dasar-dasar, Prinsip dan Filosofi Arbitrase. Bandung: Keni Media.

Amiruddin & Zainal Asikin, 2006,

Pengantar Metode Penelitian

Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Basarah, Moch. 2011. 2011. Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan Modern

(On Line). Yogyakarta: Genta

Publishing.

Cakrawala, Andi Julia. 2015. Penerapan Konsep Hukum Arbitrase On Line di Indonesia. Yogyakarta: Rangkang Education.

Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. Gautama, Sudargo. 1994. Arbitrase Bank

Dunia. Bandung: Alumni.

Goodpaster, Gary & et.al. 1995. “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, dalam Agnes M. Toar. Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

--- Felix O. Soebagjo & Fatmah Jatim. 1995. Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Ibrahim, Johnny, 2005. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang.

Margono, Suyud. 2000. ADR (Alternative Dispute Resolution)& Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. ---. 2010. Penyelesaian Sengketa

Bisnis Alternative Dispute

Resolution (ADR). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Marwan, M & Jimmy P. 2009. Kamus Hukum. Surabaya: Realty Publisher. Marzuki, Peter Mahmud, 2005. Penelitian

(18)

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal

Hukum: Suatu Pengantar.

Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdul Kadir. 1993. Pengantar

Hukum Perusahaan Indonesia.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mulyadi, Kartini & Gunawan Wijaya. 2003.

Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian. Cet ke-1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Nasution, S, 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Rahmadi, Takdir Rahmadi. 2011. Mediasi

Penyelesaian Sengketa Melalui

Pendeatan Mufakat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada (Rajawali Pers).

Salim, H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Cet ke-3. Jakarta: Sinar Grafika.

Simorangkir, J.C.T. et.al, 2008, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji. 1995.

Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.

Subekti, R . 1981. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta.

Suparman, Eman. 2012. Arbitrase dan

Dilema Penegakan Keadilan.

Jakarta: Fikahati Aneska.

Sutiarso, Cicut. 2010. Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. Umar, Husein & A. Supriyani Kardono.

1995. Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indon esia. Jakarta: BANI.

Usman, Rachmadi. 2003. Penyelesaian

Sengketa di Luar Pengadilan.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Widnyana, I Made. 2009. Alternatif

Penyelesaian Sengketa (ADR).

Jakarta: Fikahari Aneska.

Wijaya, Gunawan. 2005. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

--- & Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta: Rajawali Pers. ---. 2008. Seri Aspek Hukum Dalam

Bisnis. Arbitrase vs Pengadilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Zaidah, Yusna. 2015. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Syariah di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti

Azis, Abdul. 2013. Pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri

(Tinjauan terhadap Pasal 70

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS). Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangurat, Banjarmasin.

Referensi

Dokumen terkait

Komitmen organisasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap budgetary slack , maka disarankan agar perusahaan berusaha untuk meningkatkan rasa kebersamaan dengan

Saat ini warga binaan juga telah mampu memutar keuangan hasil berjualan produk jamur segar, mereka mampu membeli sendiri bibit jamur dari hasil penjualan mereka,

Tinggi tanaman kedelai dengan pola tanam T6 strip relay K–T menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari pola tanam yang lain, dimana pada pola tanam ini tanaman kedelai ditanam 1

Pulau Sempu adalah kawasan cagar alam yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang. Selain fungsinya sebagai kawasan konservasi ekosistem alami, Pulau Sempu juga menjadi

1. Prosedur pelayanan yang diberikan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, serta adanya petunjuk mengenai prosedur pelayanan publik dengan aparat Kecamatan

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

berbasis pendidikan multikultural dapat dikembangkan baik dengan basis teori behavioristik, kognitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan siswa

Pada gambar 3.1 bagian a, bisa dilihat secara visual bahwa ritme sinyal pada gelombang tidak berada pada garis isoline(garis 0), sehingga padda bagian durasi tertentu