• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

(Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum YANCE ARIZONA

02 140 037

Program Kekhususan Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2007

(2)

Demi masa Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan kerugian Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasuhat-menasehati supaya menetapi kesabaran

(Al-Ashr, Surat ke-103)

“Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,.. dan hukum itu tidak ada untuk

dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu,... untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.”

(Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif)

“Barang siapa yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut”

(Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum)

“The Propheesies of what the court will do... are what I mean by the law"

Apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya artikan sebagai hukum.

(Oliver Wendel Holmes, Mantan Hakim Agung Amerika Serikat, disebut-sebut sebagai pelopor aliran realisme hukum)

(3)

LEMBARAN PENGESAHAN No. Reg: 223/PK-VI/03/07

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

(Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Disusun Oleh: YANCE ARIZONA

02 140 037

Telah dipertahankan dalam sidang ujian komprehensif Pada tanggal 9 Maret 2007

Sidang ujian telah menyatakan lulus

Dekan Pembantu Dekan I

Prof. Dr. H. Elwi Danil, S.H., M.H. Najmi, S.H,. M.H.

NIP. 131 599 909 NIP. 131 264 686

Pembimbing I Pembimbing II

Thamran Anwar, S.H. Arfiani, S.H., M.H.

NIP. 130 344 857 NIP. 131 912 053

Penguji I Penguji II

Dahrul Dahlan, S.H. Didi Nazmi, S.H., M.H.

(4)

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

(Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

ABSTRAK

(Yance Arizona, 02140037, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Hal 141, 2007) Salah satu ciri pokok Undang Undang Dasar 1945, disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic

constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). Hal ini dikarenakan Undang

Undang Dasar 1945 mengatur tentang pokok-pokok sistem perekonomian negara yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Dalam pengembangan hukum tentang perekonomian tersebut lahirlah berbagai undang-undang yang mengatur tentang bagaimana penyelenggaraan ekonomi, di mana peranan negara, masyarakat dan pihak swasta? Diantaranya adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Kemudian kedua undang-undang itu telah diajukan permohonan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana didalilkan oleh pemohon, dalam kedua undang-undang tersebut terdapat muatan swastanisasi, komersialisasi dan privatisasi cabang produksi penting dan kekayaan alam yang seharusnya berada dibawah penguasaan negara (Pasal 33 UUD 1945). Tetapi, dalam diktum putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus kedua perkara tersebut berbeda secara diametral, di mana pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dikabulkan permohonannya, sedangkan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 ditolak permohonannya.

Timbulnya perbedaan diktum putusan ini membuat hal tersebut menarik dikaji secara hukum. Mungkinkah Mahkamah Konstitusi berbeda menafsirkan “penguasaan negara” dalam kedua putusan tersebut? Untuk itulah penelitian ini dilakukan. Dengan metode pendekatan sistem (systematical approach) dan didukung dengan pendekatan kasus (case approach) penulis melihat Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan kedua putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang tersebut sebagai sebuah sistem yang harmonis.

Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa terdapat perbedaan metode tafsir yang digunakan oleh Mahkmah Konstitusi dalam memutus kedua pengujian undang-undang tersebut. Disamping itu, klausula Conditionally Constitutional yang diperkenalkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan klausula yang bertentangan dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang dijelaskan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bila dilihat dengan pendekatan hukum sebagai sebuah sistem norma.

(5)

KATA PENGANTAR

Sewajibnya sebagai seorang muslim, penulis mengucapkan hamdallah karena Allah SWT yang telah menghendaki terselesaikannya skripsi ini sehingga dapat lulus dalam sidang ujian komperehensif S1 pada tanggal 9 Maret 2007. Pencerahan, petunjuk dan kesabaran yang penulis dapatkan dari Allah SWT merupakan rahmat yang selalu mengiringi gerak penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, walau terkadang penulis sering melupakan segala karunia yang diberikan-Nya. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan sekaligus menunjukkan betapa tidak sempurnanya penulis. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada arwah Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran-ajaran yang menjadi pedoman bagi penulis untuk menghindari kekhufuran dan jurang kebodohan.

Menulis sebuah karya ilmiah, seperti skripsi, yang mengupas satu putusan Pengadilan atau Mahkamah bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi membandingkan penafsiran hakim dalam dua buah putusan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini menjadi sulit: 1) pelajaran tentang penafsiran hukum tidak diajarkan secara mendalam di S1; 2) membedah putusan Mahkamah Konstitusi memerlukan ketangkasan untuk mengejar dan menaungi paradigma baru ketatanegaraan sebagai konsekuensi reformasi konstitusi yang telah kita alami (1999-2002). Tetapi dalam tantangan besar itu penulis harus berani menghadapinya, tidak ingin pesimis, karena tidak sedikit pun ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan untuk pesimis.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada kedua Orang Tua penulis tercinta (Sailal Alimin dan Nurhayati), serta keluarga yang terkasih (Teteh Yanti, Ngah Dian, dan Adikku Kirana Pungki Apsari), masih teramat banyak pengabdian yang wajib Yance (Roy) lakukan bila mengingat semua yang telah Yance (Roy) peroleh selama ini. Kemudian buat “kekasih tercinta” Fetri Syaflidar Yesti atas semua cinta, pengorbanan, dan pengertian yang tak terkirakan, serta hari-hari yang berarti dalam menemani penulis menyelesaikan skripsi ini. “Percayalah fe, apapun yang abang lakukan adalah untuk

membuat fe bahagia.”

Penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Prof. Dr. H. Elwi Danil, S.H., M.H.), Bapak Pembantu Dekan I (Najmi, S.H., M.H.), Bapak Pembantu Dekan II (Ilhamdi Taufik, S.H.) seorang dosen sekaligus “guru”, penulis akan selalu merindukan kuliah-kuliah terbaik dari beliau, Bapak Pembantu Dekan III (Rembrandt, S.H., M.Pd). Kepada ibu Yunita Sofyan dan Bapak Suharizal selaku Ketua Bagian dan Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara. Kemudian kepada Bapak Thamran Anwar, S.H dan Ibu Arfiani, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan masukkan bagi penulis. seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan juga kepada bang Charles Simabura dan bang Feri Amsari yang telah membimbing penulis selama kuliah di Universitas Andalas.

Secara khusus penulis ingin menyampaikan terimakasih yang besar kepada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Benardius Steny, yang telah banyak membantu baik secara pendanaan maupun pemahaman dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sangat terkesan ketika dikatakan bahwa skripsi penulis ini adalah skripsi yang “berani,” karena tidak banyak mahasiswa yang mau atau mampu membedah sebuah putusan, apalagi putusan Makamah Konstitusi. Juga kepada bang Andiko, Mas Asep, bang Nifan, Mbak Ncus, Pak Leman, dan semuanya di HuMa.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Hakim Konstitusi (I Dewa Gde Palguna), Tenaga Ahli Mahkamah Konstitusi (Mahmud Aziz, Irmanputra Sidin, dan Wasis Susetio),

(6)

dan Pegawai Mahkamah Konstitusi (Mas Dian) yang telah banyak membantu dan memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini

Rasa hormat penulis kepada “Guru Tata Negara Penulis yang Pertama,” Bapak Muhammad A.R yang telah memberi bekal ilmu yang cukup banyak. Kemudian kepada tokoh-tokoh yang telah banyak memberikan inspirasi bagi penulis lewat buku-buku: Satjipto Rahardjo (hukum), Tan Malaka dan Fritjof Capra (filsafat) yang telah memisahkan dan mengembalikanku kepada “Tuhan,” Gunawan Mohamad (budaya), Jalaludin Rakhmat (komunikasi), Eric Fromm (psikologi), dan Sang Proklamator, Soekarno (Politik). Buku-buku mereka adalah suatu wilayah pergulatan untuk “Menjadi” dan merupakan referensi untuk tugas hidup penulis pada masa depan: Membuat

Sejarah-sejarah Kebajikan.

Kepada kawan-kawan semuanya yang pernah berinteraksi dengan penulis, penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan, dorongan atau segala perlakuan yang telah dijalin dengan penulis. Seperti kawan-kawan di LAM&PK, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Padang 2002, FORMASI, IMK-UNAND, HMK SUMBAR, BEM FHUA Periode 2006-2007, PMTN, KAM Pembaharuan, BAKo SUMBAR, LBH Padang, Uni An (PBHI), Q-BAR, Walhi, Warsi, ISMAHI Wilayah III SUMBAGTENG, Rekan-rekan Perbanas, para “Primus” (Pria Mushala) Al-Jadid Gerbang Kampus, seluruh kawan-kawan HIMA dan LO Fakultas Hukum Universitas Andalas dan kawan-kawan-kawan-kawan lainnya yang tidak penulis sebutkan secara eksplisit di sini.

Sebagai sebuah karya ilmiah, penulis mengakui dan menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis menerima segala bentuk kritik dan saran dari berbagai pihak untuk kesempurnaan skripsi ini dimasa yang akan datang. Skripsi ini hanyalah setangkai tunas di tengah belantara ilmu hukum, dan ilmu hukum pun hanyalah bagian terkecil dari galaksi ilmu pengetahuan yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua

Mushala Al-Jadid – Padang,

Maret 2007

(7)

DAFTAR ISI Abstrak... Kata Pengantar ... Daftar Isi ... Daftar Tabel ... BAB I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 10 C. Tujuan Penelitian... 11 D. Manfaat Penelitian... 12 E. Tinjauan Pustaka... 13 F. Metodologi Penelitian ... 23

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI... 28

A. Sejarah Lahirnya Mahkamah Konstitusi... 28

1. Dunia ... 28

2. Indonesia... 30

B. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Inodonesia.. 32

C. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi... 36

1. Hukum Acara ... 36

2. Putusan Mahkamah Konstitusi... 43

BAB III. PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA... 54

A. Pengertian dan Landasan Penafsiran Hukum ... 54

1. Pengertian ... 54

2. Landasan penafsiran hukum ... 54

B. Penafsiran Hukum pada umumnya... 60

1. Penafsiran Hukum menurut Utrecht ... 60

2. Penafsiran lainya ... 66

C. Prinsip-prinsip Penafsiran Konstitusi menurut Jon Roland ... 68

BAB IV. PEMBAHASAN ... A. Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ... 76

1. Pemohon dan Jenis Permohonan ... 76

2. Bagian yang dimohonkan... 77

3. Dalil-dalil permohonan (isu hukum) dan petitum ... 79

4. Penafsiran Mahkamah Konstitusi ... 82

B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ... 88

1. Pemohon dan Jenis Permohonan... 88

2. Bagian yang dimohonkan ... 91

3. Dalil-dalil permohonan (isu hukum) dan petitum ... 95

4. Penafsiran Mahkamah Konstitusi... 99

5. Dissenting Opinion ... 110

C. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 120

1. Penafsiran terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945... 121

2. Penafsiran terhadap Uindang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ... 124

3. Penafsiran Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ... 125

(8)

D. Conditionally Constitutional ... 129 1. Pengertian ... 129 2. Tata cara pengujian kembali ... 131 3. Pengaruhnya Conditionally Constitutional terhadap sifat

putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final dan mengikat ... 134 BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 137 B. Saran ... 141 DAFTAR PUSTAKA

(9)

Daftar Tabel

Tabel.1. Pemohon dan Jenis Permohonan PUU Ketenagalistrikan...76

Tabel 2. Materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian yang dimohonkan dalam PUU Ketenagalistrikan...77

Tabel 3. Petitum permohonan PUU Ketenagalistrikan...81

Tabel 4. Pertimbangan hukum atau Panafsiran Mahkamah Konstitusi dalam putusan PUU Ketenagalistrikan ...83

Tabel 5. Permohonan 058/PUU-II/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air...89

Tabel 6. Permohonan 059/PUU-I/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air...89

Tabel 7. Permohonan 060/PUU-II/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air...89

Tabel 8. Permohonan 063/PUU-II/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air...90

Tabel 9. Permohonan 008/PUU-III/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air...90

Tabel 10. Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian yang dimohonkan dalam PUU Sumber Daya Air ...91

Tabel 11. Metode penafsiran konstitusi dalam putusan PUU Sumber Daya Air.99 Tabel 12. Penafsiran Hakim Konstitusi yang dissenting opinion dalam PUU Sumber Daya Air...110

Tabel 13. Perbandingan sifat putusan Mahkamah Konstitusi dengan Conditionally Constitutional...135

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara berdaulat yang lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis Undang Undang Dasar 1945 – Pen). Undang-Undang Dasar 1945 disamping mengatur tata kenegaraan juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34. Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya memuat materi-materi konstitusi yang hanya bersifat politik. Tradisi yang dianut Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara sosialis seperti negara-negara di Eropa Timur.1

Adanya perbedaan dalam susunan materi konstitusi yang digunakan oleh negara-negara di dunia menjadikan bentuk konstitusi dapat dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut konstitusi politik (political constitution) seperti dalam konstitusi negara Perancis, Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Austia, Swiss, Siprus, Yunani, Denmark, Finlandia, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Monaco, dan Liechtenstein. Sedangkan kelompok kedua terlihat dalam konstitusi negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah, Hongaria, dan Indonesia yang dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution).2

Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat pada materi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar 1945 keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan memasukkan 2 (dua) ayat baru, yaitu:

(4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang

Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk mengakomodasi ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi ekonomi. Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33 disebutkan bahwa:

1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie I), hal. 124.

(11)

"dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh

semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."3

Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian besar sekali.4 Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 beserta

penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.5

Jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.

Tetapi, permasalahan yang sering kali muncul menyangkut Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu mendapat perhatian, ialah tentang aturan pelaksanaannya yang lahir dalam bentuk undang-undang, yaitu tentang bagaimana peranan negara dalam penguasaan sumber daya alam (ekonomi) yang ada. Hak negara dalam menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh dalam beberapa undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam:

1. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria;

2. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan; 3. UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan kontinen;

4. UU Nomro 13 Tahun 1980 tentang Jalan;

5. UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;

6. UU Nomor 20 Tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan;

7. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

8. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kehutanan; 9. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 10. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan 11. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 12. UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

3 Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999, hal. 1

4 D. Soekarno, Amandemen terhadap UUD 1945, Suara Pembaruan, 1996, http://www.suarapembaruan.com/News/1999/06/140699/OpEd/op02/op02.html, (diakses tanggal 4 April 2006)

(12)

13. UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan INTERNATIONAL COVENANT

ON ECONOMIC, SOCIAL, AND CULTURAL RIGHTS (Kovenan Internasional

Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).

Selama ini, jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung semangat untuk membela kesejahteraan rakyat banyak. Akan tetapi, sekarang kita menghadapi era globalisasi yang melahirkan ekonomi pasar,6 persaingan bebas antarnegara,

antarmanusia. Bahkan kita telah masuk ke dalam asosiasi APEC dan WTO, yang kesemuanya berintikan ekonomi pasar dan persaingan bebas. Dapatkah kita mempertahankan pelaksanaan Pasal 33, yang meletakkan fungsi menguasai negara sangat besar, dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang ini? Semua tantangan ini dapat kita amati dari produk perundang-undangan yang dibuat. Apakah undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ? agar jiwa dari pasal tersebut dapat terjaga.

Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi ini lebih dikenal dengan istilah judicial review. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar disebut dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of

Constitution) dan penafsir konstitusi (The Sole of Interpreter Constitution)

Dalam sejarah Mahkamah Konstitusi di Indonesia sejak tahun 2003, Mahkamah Konstitusi telah melakukan beberapa pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain:

1. Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;

2. Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan; 3. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan 4. Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pengesahan

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang-Undang-Undang. Sekilas bila diamati, alasan pemohon dalam keempat pengujian undang-undang tersebut didasarkan kepada alasan yang hampir sama, yaitu mengenai bagaimana peranan “menguasai negara” dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara dalam mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari cabang-cabang produksi penting dan sumber daya alam (Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Disamping alasan terebut, permohonan pengujian keempat undang-undang tersebut juga dilandasi atas kekhawatiran akan swastanisasi atau liberalisasi yang merupakan corak utama dari sistem ekonomi pasar bebas.7

Namun, hal menarik yang dapat ditemui bila melihat keempat putusan pengujian undang-undang tersebut yaitu terdapatnya perbedaan diktum putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pengujian keempat undang-undang tersebut. Permohonan

6 Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanisme pasar. Dalam hal ini penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntungan pada pihak produsen, pedagang maupun konsumen, menentukan harga-harga yang disebut harga tawaran bebas – dan selanjutnya menentukan apa dan berapa banyak jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi. Lihat Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, Angkasa, Bandung, 1990, hal 35

7 Sepanjang kenyataan sejarah, sistem liberal-kapitalistis atau free enterprise atau lasses faire ini mampu mengembangkan perekonomian industri yang hebat, tetapi juga disertai ketidak-adilan sosial yang parah. Lihat Tom Gunadi, Ibid

(13)

Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dikabulkan keseluruhannya oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga undang-undang tersebut tidak berlaku lagi; Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dikabulkan sebagiannya oleh Mahkamah Konstitusi; Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi; Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ditolak keseluruhannya oleh Mahkamah Konstitusi.

Dari berbagai pengujian undang-undang tersebut, penulis berminat untuk melakukan penelitian mengenai Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, yaitu membandingkan bagaimana interpretasi atau penafsiran hakim dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor Registrasi Perkara 001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003, 022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Pengujian Undang-undang Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/2004, 059/PUU-II/2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-II/2005 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, khususnya menyangkut penguasaan negara atas cabang produksi penting dan sumber kakayaan alam.

Pemilihan perbandingan kedua putusan tersebut karena, bila dilihat dari amar putusannya, terdapat perbedaan yang sangat diametral, yang satu dikabulkan keseluruhan dan yang satunya lagi ditolak keseluruhan. Hal ini kemungkinan besar dapat memudahkan penulis untuk melakukan perbandingan penafsiran atau interpretasi Hakim Konstitusi dalam Putusan Pengujian Undang-undang terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Penelitian ini diarahkan untuk memaparkan penafsiran hakim dalam kedua putusan tersebut. Akan diuraikan dan dijelaskan mengenai persamaan dan perbedaan penafsiran hakim dalam pengujian undang-undang tersebut. Sehingga pada kemudian hari dapat membantu untuk memprediksikan bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang lainnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. khususnya pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang didasarkan kepada alasan “konstitusionalitas penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi penting dan sumber daya alam.

Disamping itu, di dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi mencantumkan klausula conditionally

constitutional yang memberikan landasan bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004

tentang Sumber Daya Air dapat diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi dengan syarat-syarat konstitutional tertentu, yaitu dilihat dulu ketentuan pelaksana dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Apabila ketentuan pelaksana dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam pelaksanaannya (misalnya Peraturan Pemerintah) ditafsirkan berbeda dengan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, maka Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan conditionally constitutional seperti ini, sekilas mirip dengan nebis in idem dalam peradilan umumnya. Sedangkan sifat putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final sehingga tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan lagi.

(14)

Untuk itu penulis, dalam hal ini akan melakukan penelitian dengan judul

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

(Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

B. Perumusan Masalah

Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

2. Metode Penafsiran apa yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

3. Termasuk metode penafsiran apa klausula Conditionaly Constitutional dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor Registrasi Perkara 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan apa pengaruhnya terhadap sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan, menerangkan, dan menjawab permasalahan yaitu:

1. Untuk mengetahui, bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

2. Untuk mengetahui, metode penafsiran apa yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

3. Untuk mengetahui, termasuk metode penafsiran apa, klausula Conditionally

Constitutional dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor Registrasi

Perkara 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan bagaimana pengaruhnya terhadap sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

(15)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pihak, antara lain:

1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut Penafsiran Hukum atau Penafsiran Konstitusi.

2. Bagi masyarakat dan khalayak umum, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam memantau pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang tersebut.

3. Bagi Mahkamah Konstitusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di masa yang akan datang.

4. Bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di masa yang akan datang, agar dapat membawa dampak yang positif bagi kemajuan kehidupan ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat tercipta kehidupan yang adil dan demokratis.

5. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya Hukum Tata Negara, hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai penambah literatur dalam memperluas pengetahuan hukum masyarakat serta memberikan sumbangan pemikiran bagi Hukum Tata Negara, khususnya dalam kajian mengenai penafsiran hukum dan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi.

E. Tinjauan Pustaka 1. Konstitusi

Istilah “konstitusi”8 dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer,

yang berarti membentuk.9 M. Solly Lubis, S.H, mengemukakan Istilah “konstitusi”

berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu negara.10

Prof. Herman Heller membagi pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian yakni sebagai berikut:11

1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan hukum.

2. Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle Rechtsverfassung). Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan istilah abstraksi.

8 Istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin), “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionnel” (bahasa Perancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “masyrutiyah” (bahasa Arab), lihat Astim Riyanto, Teori Konstitusi, YAPEMDO, Bandung, 2000, hal. 17.

9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid, hal. 20.

(16)

3. Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita menghubungkan pengertian konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar itu hanyalah merupakan sebagian dari pengertian konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene verfassung), menurut beberapa para sarjana merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian umum.

F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:12

1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuasaaan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah sesungguhnya konstitusi.

2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung über Art und

Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.13 Sedangkan James

Bryce mengartikan konstitusi adalah “A frame of political society, organized through and

by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights”.14

Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan:

1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen; 2. Fungsi dari alat-alat kelengkapan;

3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.15

Kemudian C.F Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut “Constitution is a collection of principles according to which the power of

the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.” 16

Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:

1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas); 2. Hak-hak yang diperintah;

3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).

12 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 10.

13 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah

Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI. Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 288. Seperti dikutip oleh Maria Farida Indrawati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 28.

14 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, op.cit., hal. 11. 15 Ibid, hal. 12.

(17)

Menurut K.C. Wheare yang mengartikan konstitusi sebagai “Keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.”17

Peraturan di sini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (nonlegal). Sehingga, dari pengertian K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, disimpulkannya bahwa

“konstitusi dalam dunia politik sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu:

Pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara

dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan, baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (nonlegal atau extra legal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.”18

Namun, apapun bentuknya, suatu konstitusi sejati mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal berikut: Pertama, cara pengaturan berbagai jenis institusi; Kedua, jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut; dan

Ketiga, dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.19

Dari beberapa pengertian di atas, merupakan sebagian pandangan yang mengartikan konstitusi lebih luas pengertiannya dari Undang-Undang Dasar. Pengertian senada juga diungkapkan oleh Leon Duguit, seorang sosiolog dalam bukunya Traite de Droit

Constitutionnel, dengan metodenya “tinjauan secara sosiologi hukum” (rechtssosiologische beschouwing) dan titik tolak pahamnya “hukum yang hidup dalam masyarakat” (de droit social atau sociale recht) bahwa:

“…. konstitusi bukanlah sekedar Undang-Undang Dasar yang memuat sejumlah/kumpulan norma-norma semata-mata, akan tetapi struktur yang nyata-nyata terdapat dalam kenyata-nyataan masyarakat. Dengan perkataan lain, konstitusi adalah faktor-faktor kekuatan yang nyata (de reele machtsfactoren) yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.”20

2. Pengujian Konstitusional

Kehidupan hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil

law system). Hal ini masih dapat dibuktikan sampai hari ini dengan masih digunakannya

beberapa undang-undang yang menjadi “tulang punggung” hukum Indonesia modern, misalkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan pengadopsian dari Wet Boek Van Straftrechts di negeri Belanda tempo dulu. Begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek)

Dalam sistem hukum civil law hukum dipandang hanya ada dalam peraturan perundang-undangan formil,21 peraturan perundang-undangan formil itu ada dalam

undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Bahkan undang-undang yang dibuat oleh legislatif itu tidak dapat diganggu gugat karena ia merupakan hasil dari demokrasi

17 K.C Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, Cet II, Judul asli Modern Constitution, diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Eureka, Surabaya, 2005, hal. 1.

18 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Op.cit, hal. 13-14.

19 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, diterbitkan kerjasama antara Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, hal. 16., yang merupakan terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study Of Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.

20 Astim Riyanto, op.cit., hal. 27.

(18)

melalui pembuatnya, yaitu legislator. Sehingga yang berhak untuk merubahnya hanyalah legislator itu sendiri.22

Sebagai konsekuensi dari tidak dapat diganggu gugatnya undang-undang, maka peran hakim dalam civil law system hanya sebagai cerobong dari undang-undang (la

bouche de la loi), hakim hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis.23 Namun Dalam

perjalanan sejarah, bila dulu hakim disebut cerobongnya undang-undang, maka dalam hukum modern ada freiheid, kebebasan hakim. Jadi hakim boleh menerapkan dan boleh juga tidak menerapkan undang-undang (contra legem).24 Kemudian juga ada istilah rechtsverfijning atau pengkonkretan hukum.25

Kebebasan hakim sebagaimana disebut di atas bahkan sampai kepada kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan yang dibuat oleh legislatif maupun eksekutif. Kewenangan hakim melalui Pengadilan atau Mahkamah untuk menguji peraturan perundang-undangan kemudian disebut judicial review¸ dan pengujian terhadap konstitusionalitas suatu norma hukum terhadap konstitusi disebut pengujian konstitusional (Constitutional Review).

Di Indonesia, masalah kebutuhan untuk melakukan pengujian hukum (undang-undang) sudah cukup lama membara dalam pikiran kaum intelektual kita. Muhammad Yamin misalnya, dilaporkan ingin memasukkan pengujian hukum tersebut dalam Undang Undang Dasar. Tetapi, Soepomo menolaknya, dengan alasan, kita masih belum siap melakukan itu. Kita belum punya ahli untuk pekerjaan itu, kata arsitek Undang Undang Dasar 1945 itu.26

Istilah pengujian konstitusional (Constitutional Review) berbeda dengan istilah

judicial review.27 Pembedaan ini dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh

lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana Undang-Undang Dasar memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep

judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal

legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan

constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap

Undang-Undang Dasar.28

Berkenaan dengan hal tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan yang diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu negara. Seperti dapat dilakukan oleh

22 Hasil wawancara dengan Mahmud Aziz (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 25 Januari 2006. Hal yang sama juga disampaikan oleh I Gede Dewa Palguna (Hakim Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 Januari di Mahkamah Konstitusi.

23 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.cit, hal. 8. 24 Ibid, hal. 9.

25 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002. hal. 148.

26 Satjipto Rahardjo, Peninjauan Hukum dan Cacat Undang-undang, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hal. 143-144.

27 Judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan. Atau dalam Blacks Law, judicial review diartikan sebagai “power of courts to review decisions of another department or level of government.” Erick Barent mengemukakan pengertian judicial review sebagai berikut “judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the power of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.” Dalam The Encyclopedia Americana, judicial review didefinisikan sebagai berikut: “judicial review is the power of the courts of the country to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be contrary to the constitution are consideral null and void and therefore unenforceable.” Menurut Jimly Asshiddiqie, judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaaan negara (separation of power). Lihat Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5-9.

28 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), hal. 3.

(19)

Mahkamah Konstitusi, ataupun oleh Mahkamah Agung dan badan-badan khusus lainnya. Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem Perancis, disebut Counseil Constitutionnel yang memang bukan court atau pengadilan sebagai lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi yang merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah judicial review, maka dengan sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya adalah pengadilan atau lembaga yudisial (judiciary). Namun, dalam konsepsi judicial review cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.29

Dalam praktek sehari-hari maupun dalam lingkungan fakultas-fakultas hukum di tanah air kita, istilah-istilah toetsingrechts, judicial review, dan constitutional review memang sering dicampuradukan pengertiannya masing-masing. Istilah judicial review jelas tidak sama dengan constitutional review, dan berbeda pula dengan pengertian

judicial preview seperti dalam sistem Perancis. Kalau berbicara mengenai hak atau

kewenangan untuk menguji maka digunakan istilah hak untuk menguji atau hak uji, yang dalam bahasa Belandanya disebut toetsingsrecht. Jika hak uji diberikan pada hakim, maka namanya judicial review atau review oleh lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada lembaga legislatif, maka namanya

legislative review, dan jika kewenangan itu diberikan pada eksekutif, maka namanya executive review.30

Hak menguji (toetsingsrecht) terbagi atas dua macam, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele toetsingsrecht).31 Hak

menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.

Hak menguji materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.

Sedangkan menurut Prof. Harun Alrasid, hak uji formal ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang, dan hak uji material ialah mengenai kewenangan pembuat undang-undang dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.32

Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara a posteori, maka pengujian itu dapat disebut sebagai

judicial review. Akan tetapi, jika pengujian itu bersifat a priori, yaitu terhadap rancangan

undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan judicial review, melainkan judicial

preview. Jika ukuran pengujian itu dengan menggunakan konstitusi sebagai alat

29 Ibid. 30 Ibid, hal. 6.

31 Ph. Kleintjes, seperti dikutip oleh Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi. kedua. Cetakan pertama, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 6. Lihat pula Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 28. Lihat pula Fatmawati, op. cit., hal. 5.

(20)

pengukur, maka kegiatan pengujian itu dapat disebut sebagai constitutional review atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law).33

Namun, apabila norma yang diuji itu menggunakan undang-undang sebagai batu ujian, misalnya Mahkamah Agung menurut pasal 24A ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka pengujian semacam itu tidak dapat disebut sebagai constitutional review melainkan judicial review

on the legality of regulation. Dengan demikian, harus dibedakan juga antara upaya

pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dengan upaya pengujian legalitas (legal review). Di samping itu, harus dibedakan pula kualifikasi dari norma hukum yang diuji. Jika normanya bersifat umum dan abstrak (general and abstract), berarti norma yang diuji itu adalah produk regeling, dan hal ini termasuk wilayah kerja pengujian dalam konteks hukum tata negara. Akan tetapi, kalau norma hukum yang diuji itu bersifat konkrit dan individual, maka judicial review semacam itu termasuk lingkup peradilan tata usaha negara.34

Sehingga dalam konteks sistem constitutional review tercakup dua tugas pokok.

Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem dalam demokrasi dalam hubungan

perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan;

Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan

oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.35

F. Metodologi Penelitian

Penelitian pada umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan terhadap objek penulisan atau suatu karya ilmiah guna mendapatkan informasi-informasi, pokok-pokok pikiran dan pendapat lainnya dari pakar sesuai dengan ruang lingkup yang diteliti. Dalam hal ini penulis menggunakan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk tipe penelitian hukum normatif, yang menekankan pada materi hukum, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok masalah yang dibahas.

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini, pendekatan masalah yang akan digunakan adalah

pendekatan Sistem hukum (systematical approach), pendekatan yang menekankan dengan melihat hukum sebagai sebuah sistem dari Undang Dasar, Undang-undang, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan peraturan lainnya. Disamping itu, penelitian ini juga didukung dengan pendekatan kasus (case approach), yaitu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan

33 Jimly Asshiddiqie II, op. cit., hal. 7. 34 Ibid.

35 Herbert Hausmaninger, The Australian legal System, 3rd edition, Manz, Wien, 2003, hlm. 139., sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie II, ibid, hal. 9.

(21)

hukum dalam praktik hukum,36 yaitu penormaan dari kaidah-kaidah yang terdapat

di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945

3. Bahan Hukum37

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi setiap individu atau masyarakat, baik yang berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan 3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

7) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

8) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002

9) Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor Registrasi Perkara 001-021- 022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

10) Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor Registrasi Perkara 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan menjelaskan bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, hasil penelitian, hasil seminar, risalah sidang amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan hasil wawancara dengan hakim konstitusi (I Dewa Gede Palguna) dan tenaga ahli Mahkamah Konstitusi (Mahmud Aziz dan Wasis Susetio)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan informasi, petunjuk, dan penjelasan, terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

4. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Pengolahan dan analisa bahan hukum merupakan proses pencarian dan perencanaan secara sistematis terhadap semua bahan hukum telah dikumpulkan agar peneliti memahami apa yang akan ditemukan dan dapat menyajikannya pada orang lain dengan jelas. Untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum

Analisa bahan hukum dilakukan dengan analisis kualitatif, yaitu dengan cara menafsirkan gejala yang terjadi, tidak dalam paparan perilaku, tetapi dalam sebuah kecenderungan. Analisa bahan hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan semua

36 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet II, Bayumedia, Malang, 2006, hal. 312. 37 Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data,” tetapi istilah “bahan hukum,” karena dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, karena yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap bahan hukum. Disamping itu kata “data” memiliki makna empiris (ex-post) sehingga tidak diperlukan dalam penelitian hukum normatif (pure legal). Lihat Johnny Ibrahim, Ibid, hal. 268-269.

(22)

bahan hukum yang diperlukan, yang bukan merupakan angka-angka dan kemudian menghubungkannya dengan permasalahan yang diteliti.

5. Kendala yang dihadapi

Dalam penelitian ini, penulis menemui beberapa kendala, terutama menyangkut pengumpulan bahan hukum yang digunakan sebagai bahan dasar maupun sebagai bahan untuk menganalisis putusan. Kendala-kendala tersebut antara lain:

a. Penulis tidak mendapatkan kajian atau kuliah tentang penafsiran hukum semasa kuliah. Sehingga penulis harus mencari kajian-kajian tentang penafsiran hukum dalam buku-buku ilmu hukum. Sedangkan literatur tentang penafsiran hukum atau penafsiran konstitusi dalam buku-buku hukum di Indonesia sangat terbatas.

b. Tidak semua hakim konstitusi dapat diwawancari, kebanyakan hakim beralasan karena prinsip “hakim tidak boleh mengomentari putusan yang telah dibuatnya.” Tetapi ada satu hakim yang bisa diwawancarai, yaitu I Dewa Gde Palguna

c. Sulitnya mendapatkan catatan atau risalah perdebatan hakim dalam memutus perkara yang sedang diuji.

d. Sulitnya menndapat risalah sidang penyusunan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat republik Indonesia

(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi 1. Dunia

Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.38 Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama

kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.

Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper)39 memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya

memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus40 dalam rangka

penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of

mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak

dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan

Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.41 Atas dasar penafsiran terhadap

konstitusilah perkara ini diputus oleh John Marshall. Sehingga perdebatan terhadap kontroversial putusan ini berkembang hingga ke daratan Eropa.

Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.42

38 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 5. 39 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), hal. 18.

40 Write of mandamus merupakan suatu alas dasar bagi seseorang untuk menjalankan tugas yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan padanya. Pandangan Penulis yang didasarkan pada keterangan-keterangan dalam Jimly Asshiddiqie II, Ibid, hal. 18-21.

41 Ibid, hal. 19.

(24)

Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini.43 Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang

mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya. 44

2. Indonesia

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan.45

Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Dilakukannnya perubahan terhadap Undang Undang Dasar yang merupakan salah satu agenda penting pada waktu itu. Sehingga pada perubahan ketiga tahun 2001 diadopsilah pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.46

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.47 Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga

negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum tersebut dapat diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau

The Guardian and The Interpreter of The Constitution.

43 Ibid. 44 Ibid, hal. 7. 45 Ibid, hal. 8. 46 Ibid, hal. 9.

(25)

B. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental

rights) juga benar adanya.48 Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut:

“… salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.49

Lebih jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:

“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.50

Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan kepadanya.

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:51

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

48 Maruarar Siahaan, Op.cit., hal. 11.

49 Penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Bagian Umum

50 Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, Hal. iv. Seperti dikutip oleh Maruarar Siahaan, op.cit., hal. 12.

51 Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 9 November 2001.

Gambar

Tabel 4. Pertimbangan hukum atau Panafsiran Mahkamah Konstitusi dalam putusan PUU Ketenagalistrikan
Tabel 8. Permohonan 063/PUU-II/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air
Tabel 10. Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian yang dimohonkan dalam PUU Sumber Daya Air
Tabel 11. Metode penafsiran konstitusi dalam putusan PUU Sumber Daya Air

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena sejak awal perkawinan model tersebut dilakukan karena adanya masalah dan motif-motif lain yang tidak bisa sepenuhnya dipertanggungjawabkan, maka dalam

Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi: 1 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

Berkaitan dengan perkembangan fisik ini, Kuhlen dan Thomson mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu : (1) Sistem syaraf sangat

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

a) Observasi, dengan metode penelitian langsung pada saat PKL/magang waktu itu, penulis melakukan penelitian mengenai penerapan bagi hasil yang diterapkan di BPR

Tujuan penelitian ini adalah untuk Menghasilkan produk asap cair dari limbah kebun kelapa sawit berupa pelepah dan tandan kosong sawit serta untuk mengetahui kandungan

Data Kelahiran hidup di Kabupaten Karimun pada tahun 2014 tercatat sebanyak 4.890 kelahiran dan terdapat 45 kasus lahir mati yang terdiri dari 22 bayi laki-laki dan 23

Judul : Potret Kejiwaan dalam Drama Dor Karya Putu Wijaya, S.H.. Pengabdian